You are on page 1of 16

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.

2, November 2019 : 89-104


p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi RISTEKDIKTI No. /E/KPT/201

KAJIAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH


PADA KAWASAN HUTAN
(Strategy Review of Regional Spatial Planning on Forest Area)

Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi Kurniawan


Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim
Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 272, Bogor 16118, Indonesia
E-mail: syahadatepi@yahoo.com; elvida_ys@yahoo.com; respect_andri@yahoo.com; elvida_ys@yahoo.com

Diterima 30 Juli 2018, direvisi 13 Agustus 2019, disetujui 13 Agustus 2019

ABSTRACT

Spatial planning that only prioritizes economic interests has serious environmental impacts. The aims of
this paper are: 1) Reviewing spatial planning policy based on spatial plans, 2) Identifying problems of spatial
arrangement of forest area, and 3) Finding strategy for solving spatial settlement problems. The result of the study
shows that there is disharmony between spatial planning policies of the Ministry of Home Affairs and the Ministry
of Environment and Forestry, it requires harmonization and synchronization in its implementation. Problems
in spatial planning are: 1) Spatial planning in several regions has not received the main proportion as a basic
instrument for the preparation of regional development program plans, 2) Conflict of spatial use between society
and government, 3) Dichotomy of interest in spatial plans from excavating local revenue from natural resources
without and or less attention to environmental impacts and space, 4) Inefficiency of spatial planning institute as well
as supervision of space utilization. Strategy to solve spatial problems in revised spatial plans can be implemented
through: 1) Changing designation and function of forest area, 2) Integrating teamwork acceleration of forest area
designation and function, and 3) Implementating forest area utilization audit based on sustainability forest.

Keywords: Spatial planning; dichotomy of interest; sustainability forest.

ABSTRAK
Penataan ruang yang hanya mengutamakan kepentingan ekonomi memberikan dampak lingkungan serius.
Tulisan ini bertujuan: 1) Mengkaji kebijakan penataan ruang berdasarkan rencana tata ruang wilayah, 2)
Mengidentifikasi permasalahan penataan ruang kawasan hutan, 3) Menyusun strategi penyelesaian permasalahan
penataan ruang. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskripstif. Analisis isi digunakan
untuk melihat muatan isi dan substansi produk kebijakan terkait penataan ruang. Hasil kajian menunjukkan
adanya disharmoni kebijakan penataan ruang antara Kementerian Dalam Negeri dan KLHK sehingga memerlukan
harmonisasi dan sinkronisasi dalam pelaksanaannya. Empat masalah penataan ruang yakni: 1) Penataan ruang
di beberapa daerah belum mendapat proporsi utama sebagai instrumen dasar penyusunan rencana program
pembangunan daerah, 2) Konflik pemanfaatan ruang antara masyarakat dan pemerintah, 3) Penyusunan rencana
tata ruang terjadi dikotomi kebutuhan antara menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah dari sumberdaya
alam yang dimiliki tanpa dan/atau kurang memperhatikan dampak lingkungan dan penyelamatan ruang, 4) Belum
optimalnya kelembagaan penataan ruang di daerah serta mekanisme pengawasan pemanfaatan ruang. Strategi
penyelesaian permasalahan penataan ruang nasional dalam revisi rencana tata ruang wilayah dapat dilaksanakan
melalui: 1) Perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan, 2) Percepatan kerja tim terpadu perubahan
peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan, 3) Pelaksanaan audit pemanfaatan ruang kawasan hutan
berdasarkan prinsip kelestarian kawasan hutan.

Kata kunci: Penataan ruang; konflik pemanfaatan ruang; rencana tata ruang wilayah.

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.2.89-104 89
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

I. PENDAHULUAN Permasalahannya adalah usulan perubahan


Perkembangan penataan ruang di peruntukan tersebut tidak hanya diusulkan pada
Indonesia belum diikuti dengan kajian khusus kawasan hutan yang tidak dibebani hak Izin
secara hukum yang komprehensif, walaupun Pemanfaatan Hutan (IPH), tetapi sering juga
ada namun masih bersifat serpihan, parsial, tumpang-tindih dengan kawasan hutan yang
tidak utuh dan menyeluruh. Adanya otonomi telah dibebani izin. Kondisi ini memberikan
daerah dan pemberian kebebasan kepada implikasi terhadap ketidakpastian usaha
daerah untuk mengatur daerahnya sendiri investasi kehutanan serta akan mempengaruhi
dari segi administrasi, operasional, dan upaya pencapaian pengelolaan hutan lestari
lain-lain dipandang sebagai suatu langkah (PHL) bagi kesejahteraan masyarakat. Lebih
kebijakan yang baik, tetapi hal ini justru mulai jauh lagi, usulan perubahan kawasan tersebut
menimbulkan permasalahan baru. Faktanya tidak hanya terbatas pada kawasan hutan
banyak lahan terdegradasi akibat perubahan produksi tetapi meliputi kawasan hutan
fungsi kawasan hutan untuk Izin Usaha konservasi dan hutan lindung.
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Hutan mempunyai posisi yang strategis
Alam/Hutan Tanaman Industri (IUPHHK sebagai penjaga keseimbangan dalam sebuah
HA/HTI) di daerah. sistem daerah aliran sungai (DAS) sehingga
Pelaksanaan penataan ruang kawasan setiap perubahan kawasan hutan untuk
hutan diatur dalam Undang-Undang (UU) kepentingan pembangunan di luar kehutanan
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang harus selalu dijaga agar tidak mengurangi
lebih dikenal dengan istilah Tata Guna Hutan daya dukung lingkungan dari sistem DAS
Kesepakatan (TGHK), sedangkan Rencana tersebut. Harus ada upaya bersama untuk
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) memprioritaskan optimalisasi pemanfaatan
diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang lahan (kawasan hutan yang telah dilepas),
Penataan Ruang termasuk pengaturan terhadap sebelum mengubah bentang alam hutan
kawasan hutan (Syahadat & Subarudi, 2012). menjadi kawasan budidaya lain yang dapat
Diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 memberikan dampak lingkungan yang
dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun berkepanjangan.
2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Faktor pendorong lainnya yang
Nasional (RTRWN) telah mendorong seluruh melatarbelakangi munculnya usulan
provinsi di Indonesia melakukan penyesuaian perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi
(revisi) RTRWP. APLyaitu adanya keterlanjuran kegiatan non
Kebutuhan lahan bagi investasi atau kehutanan yang sudah berjalan tanpa atau
perindustrian di luar sektor kehutanan belum melalui mekanisme perubahan fungsi
dan pembangunan infrastruktur perkotaan kawasan hutan yang berlaku saat ini, atau
dan pedesaan (termasuk kebutuhan untuk belum adanya persetujuan dari Kementerian
pemekaran wilayah administrasi kabupaten/ Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
kota) menjadi pendorong munculnya usulan sesuai amanat UU No. 41 Tahun 1999 Pasal
perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi 19. Tujuan kajian ini adalah: a) Mengkaji
Areal Penggunaan Lain (APL). Sebagai kebijakan penataan ruang berdasarkan
contoh, kebutuhan kawasan perindustrian RTRWP, b) Mengidentifikasi permasalahan
yang seiring waktu pembangunannya mulai dalam penataan ruang kawasan hutan, dan c)
tidak teratur dan berdampak buruk pada Strategi penyelesaian permasalahan penataan
kelestarian alam dan alokasi pembangunan ruang.
tata ruang yang tidak tepat fungsi (Kandiawan,
Hani’ah, & Subiyanto, 2017).

90
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

II. METODE PENELITIAN oleh Pemerintah Indonesia, dan laporan


A. Pendekatan (Kerangka Pemikiran) kajian yang dilakukan oleh tim terpadu
mengenai perubahan kawasan hutan. Kajian
Alur pikir dalam penelitian ini adalah
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
mengidentifikasi permasalahan yang ada
implementasi penataan ruang kawasan hutan
dalam penataan kawasan hutan, kemudian
di daerah. Ketidaksesuaian antara peraturan
dilihat dan dikaji dampaknya sehingga
dan implementasi di lapangan akan dikaji
dapat diberikan alternatif penyelesaian
dan bagaimana strategi ke depan untuk
permasalahan terkait penataan kawasan hutan.
menyelesaikannya.
Hasil analisis pengembangan wilayah melalui
penataan ruang kawasan hutan digunakan D. Analisis Data
untuk merumuskan upaya penyempurnaan Penelitian ini menggunakan metode
sistem penataan ruang kawasan hutan yang deskriptif kualitatif. Moleong (2000)
ada di Indonesia (Gambar 1). mendefinisikan metode kualitatif sebagai
B. Ruang Lingkup Kegiatan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
Ruang lingkup strategi penataan ruang
dari orang-orang dan perilaku yang dapat
wilayah pada kawasan hutan mencakup
diamati. Pendekatan deskriptif dirancang
kebijakan penataan ruang kawasan hutan,
untuk mengumpulkan informasi tentang
mekanisme pelepasan kawasan hutan, dan
keadaan nyata sekarang. Penelitian kualitatif
sinkronisasi pengembangan wilayah melalui
dengan pendekatan deskriptif adalah
penataan ruang yang menitikberatkan pada
penelitian yang mengungkapkan fakta apa
sinkronisasi kebijakan TGHK dengan RTRW.
adanya tentang suatu obyek, gejala, keadaan
C. Metode Pengumpulan Data dengan menggambarkan, menguraikan,
Penelitian ini merupakan desk study. Data menginterpretasikan, dan diambil suatu
yang dikumpulkan adalah data sekunder kesimpulan dalam bentuk tulisan yang
seperti luas kawasan hutan, peraturan sistematis. Kajian lebih ditekankan pada
perundangan mengenai tata ruang, baik yang faktor-faktor yang menyebabkan adanya
dikeluarkan oleh KLHK atau kementerian keinginan setiap daerah untuk mengubah
teknis lainnya maupun UU yang diterbitkan status kawasan hutan, kemudian dibandingkan

Gambar 1 Kerangka pikir pengembangan wilayah melalui penataan ruang kawasan hutan
Figure 1 Logical framework of regional development through spatial arrangement of forest area

91
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

dengan peraturan yang ada mengenai Pada beberapa daerah, pengawasan dan
perubahan kawasan dan tata ruang. pengendalian belum tegas dan optimal
Analisis isi dan substansi peraturan (Lismarini, 2016). Penataan ruang kota bukan
perundangan menggunakan metode content hanya penataan kepentingan aktor terkait aspek
of analysis yang dikembangkan oleh Bungin ekonomi dan politik, tetapi juga menyangkut
(2001). Analisis isi digunakan untuk menilai relasi kekuasaan aktor sebagai regulator,
suatu kebijakan dari sisi muatan atau isinya, investor, dan pemanfaat. Pada relasi itu
termasuk perbedaan isi dan substansi negosiasi antar aktor menjadi penentu praktik
dari produk kebijakan terkait peraturan politik penataan atas suatu ruang, baik untuk
perundangan mengenai tata ruang dan melihat kepentingan publik di mana semua anggota
bagaimana implementasi kebijakan tersebut. masyarakat bisa menggunakan ruang itu
Fokus penelitian ini mencakup kebijakan sepenuhnya maupun untuk kepentingan yang
penataan ruang kawasan hutan, mekanisme bersifat komersial dan hanya dapat diakses
pelepasan kawasan hutan, dan sinkronisasi oleh kelompok masyarakat tertentu. Menata
pengembangan wilayah melalui penataan ruang bukan hanya persoalan pro dan kontra
ruang yang menitikberatkan pada sinkronisasi ekologi, green city, tetapi juga merupakan
kebijakan TGHK dengan RTRW. persoalan politik sehingga menganalisis
tata ruang berarti pula menganalisis arah
III. HASIl DAN PEMBAHASAN pembangunan daerah (Aminah, 2015).
Pembangunan daerah seyogianya
A. Kebijakan Penataan Ruang dilakukan melalui penataan ruang secara
Berdasarkan RTRWP lebih terpadu dan terarah agar sumberdaya
Penataan ruang terdiri dari perencanaan tata yang terbatas dapat dimanfaatkan secara
ruang, pemanfaatan, dan pengendalian tata efektif dan efisien. Salah satu upayanya
ruang. Pemanfaatan ruang merupakan proses adalah melalui keterpaduan dan keserasian
penyusunan dan pelaksanaan program serta pembangunan dalam dimensi ruang yang
pembiayaan akibat penggunaan ruang yang tertata secara baik. Penataan ruang bertujuan
telah ditetapkan pada perencanaan tata ruang. mewujudkan pemanfaatan ruang yang
Pengendalian tata ruang merupakan proses berkualitas, berdaya-guna, dan berhasil-guna
pengendalian dan penertiban ruang akibat dari untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
pemanfaatan yang harus berdasarkan pada secara berkelanjutan melalui upaya
perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan
(Agus, 2012). ruang, kenyamanan bagi penghuninya, dan
Proses usulan revisi RTRWP melalui peningkatan produktivitas kota sehingga
persetujuan substansi kehutanan dilakukan mampu mendorong sektor perekonomian
berdasarkan permasalahan yang ada, di wilayah dengan tetap memperhatikan aspek
antaranya tuntutan perubahan tata ruang kesinergian, keberlanjutan, dan berwawasan
yang sangat kuat seiring dengan maraknya lingkungan (Wahyuni, 2008).
pemekaran wilayah. Proses perencanaan tata Kebutuhan lahan bagi investasi di luar
ruang merupakan kegiatan penyusunan dan sektor kehutanan dan pembangunan infra
penetapan rencana penggunaan tata ruang struktur perkotaan dan pedesaan (termasuk
yang terdiri dari penyusunan struktur dan kebutuhan untuk pemekaran wilayah
pola ruang (Agus, 2012). Pemerintah sebagai administrasi kabupaten/kota) menjadi
aktor penata ruang memiliki kekuasaan dalam pendorong munculnya usulan perubahan
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan peruntukan kawasan hutan menjadi APL.
atau pengendalian. Permasalahannya adalah usulan perubahan
peruntukan tersebut tidak hanya diusulkan

92
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

pada kawasan hutan yang tidak dibebani hak, untuk dicarikan jalan keluarnya. Ketentuan
tetapi sering juga terjadi terhadap kawasan tidak diperbolehkan pemutihan di dalam
hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan. review tata ruang di dalam UU No. 26 tahun
Kondisi tersebut memberikan implikasi 2007 dan keharusan penerapan pengenaan
terhadap ketidakpastian terhadap usaha/ sanksi terhadap pelanggaran UU No. 41
investasi kehutanan serta mempengaruhi Tahun 1999 merupakan permasalahan hukum
upaya pencapaian PHL bagi kesejahteraan yang harus segera dicarikan jalan keluarnya/
masyarakat. Lebih jauh lagi usulan perubahan solusinya (Syahadat & Subarudi, 2012).
kawasan tersebut tidak hanya terbatas pada Berdasarkan data dan informasi yang
kawasan hutan produksi, tetapi kawasan hutan diperoleh, kebijakan penataan ruang perlu
konservasi dan hutan lindung. memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Faktor pendorong lainnya yang 1. Dasar Hukum Kebijakan Penataan
melatarbelakangi munculnya usulan Ruang
perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi
Peraturan perundangan yang mendasari
APL yaitu adanya keterlanjuran kegiatan non
kebijakan penataan ruang adalah UU No.
kehutanan yang sudah berjalan tanpa atau
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU
belum melalui mekanisme perubahan fungsi
No. 26 Tahun 2007 mengenai RTRW yang
kawasan hutan yang berlaku saat ini, atau
diturunkan dalam PP No. 26 Tahun 2008
belum adanya persetujuan dari KLHK sesuai
tentang RTRWN. Sebagian peraturan terkait
dengan amanat UU No. 41 Tahun 1999 Pasal
telah dikaji substansinya sebagaimana
19. Kondisi tersebut ternyata memberikan
tercantum pada Tabel 1.
implikasi yuridis/ hukum yang tidak mudah
Tabel 1 Peraturan perundangan terkait penataan ruang
Table 1 Regulation related to spatial planning

Peraturan perundangan
Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
Undang-Undang - Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan Adanya pembagian
No. 41 Tahun 1999 penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan kawasan hutan
(Kehutanan) (Pasal 16). berdasarkan fungsi
- Berdasarkan fungsi pokoknya, hutan dibagi menjadi: pokoknya, maka setiap
1) Hutan konservasi, 2) Hutan lindung, dan 3) Hutan usulan perubahan fungsi
produksi. kawasan hutan dalam
- Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan revisi RTRWP harus
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat memperhatikan kriteria
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan teknis dari masing-
kawasan hutan lindung dan dilakukan tanpa mengubah masing fungsi pokok
fungsi pokok kawasan hutan (Pasal 38). kawasan hutan tersebut.
Undang-Undang No. - Rencana struktur ruang meliputi rencana sistem pusat Muatan rencana tata
26 Tahun 2007 (Tata permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. ruang mencakup rencana
ruang) - Rencana pola ruang meliputi peruntukan kawasan struktur ruang dan
lindung dan kawasan budidaya yang meliputi rencana pola ruang.
peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian
lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan
keamanan.
- Dalam rangka pelestarian lingkungan, rencana tata
ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit
30% dari luas daerah aliran sungai (DAS).
- Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan
keterkaitan antar wilayah, antar fungsi kawasan, dan
antar kegiatan kawasan (Pasal 17).

93
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

Tabel 1 Lanjutan
Table 1 Continued
Peraturan perundangan
Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
Peraturan Pemerintah - Rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN) RTRWN menjadi
No. 26 Tahun 2008 bertujuan untuk mewujudkan: 1) ruang wilayah pedoman untuk
tentang RTRWN nasional yang aman, nyaman, produktif, dan (i) perwujudan
berkelanjutan; 2) keterpaduan perencanaan tata ruang keterpaduan, keterkaitan,
wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; 3) dan keseimbangan
keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah perkembangan antar
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka wilayah provinsi, serta
perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak keserasian antar sektor,
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan (ii) penetapan lokasi
ruang; dan 4) pemanfaatan sumberdaya alam secara dan fungsi ruang untuk
berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan investasi, dan (iii)
masyarakat (Pasal 2). penataan ruang kawasan
- Kawasan lindung terdiri dari (Pasal 51): strategis nasional.
1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya dan berdasarkan Pasal 52
lebih lanjut dirinci, yaitu: a) Kawasan hutan lindung,
b) Kawasan bergambut, dan c) Kawasan resapan
air;
2) Kawasan perlindungan setempat;
3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar
budaya;
4) Kawasan rawan bencana alam;
5) Kawasan lindung geologi, dan kawasan lindung
lainya.
- Kawasan budidaya terdiri dari (Pasal 63):
1) Kawasan peruntukan hutan produksi;
2) Kawasan peruntukan hutan rakyat;
3) Kawasan peruntukan pertanian;
4) Kawasan peruntukan perikana;
5) Kawasan peruntukan pertambangan;
6) Kawasan peruntukan industri;
7) Kawasan peruntukan pariwisata;
8) Kawasan peruntukan pemukiman;
9) Kawasan peruntukan lainnya.
Sumber (Source): Dari berbagai sumber peraturan perundangan, diolah (From various sources of legislation,
analyzed).

Tabel 1 menunjukkan bahwa terlihat struktur ruang dan pola ruang, di mana pola
adanya perbedaan yang cukup signifikan ruang terbagi menjadi kawasan lindung dan
terkait penataan ruang kawasan hutan. kawasan budidaya.
Menurut UU No. 41 Tahun 1999 terdapat Jika dibandingkan penataan ruang
3 fungsi kawasan yaitu: a) kawasan hutan berdasarkan TGHK dengan fungsi kawasan
konservasi (HK), b) kawasan hutan lindung menurut PP No. 26 Tahun 2008 tentang
(HL), dan 3) kawasan hutan produksi (HP); RTRWN, khususnya dalam pola ruang, terlihat
akan tetapi dalam UU No. 26 Tahun 2007 bahwa pemanfaatan kawasan hutan produksi
yang dijabarkan dalam PP No. 26 Tahun 2008 berdasarkan TGHK, dalam RTRW masuk
bahwa penataan ruang wilayah terbagi 2 yaitu dalam kawasan budidaya dalam pengertian

94
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

kawasan budidaya memungkinkan kawasan pola ruang. Rekomendasi tempat/lokus


tersebut dimanfaatkan untuk selain kegiatan lahan usaha yang diberikan tanpa melihat
kehutanan. Artinya, pemanfaatannya dapat apakah lahan tersebut masuk pada kawasan
diubah untuk lahan perkebunan, pertanian, hutan atau tidak. Hal ini secara teknis dapat
perikanan, pariwisata, dan lain sebagainya. menimbulkan efek yang kurang baik dalam
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan penataan ruang kawasan hutan. Pemberian
kebebasan kepada daerah untuk mengatur rekomendasi tempat/lokus oleh BKPMPT
lahan/areal daerahnya. Hal ini berdampak daerah tanpa melihat tata ruang kawasan hutan
pada timbulnya permasalahan terkait dengan berdasarkan TGHK yang dibuat oleh KLHK
perubahan status fungsi kawasan hutan yang dapat menimbulkan konflik pemanfaatan
tadinya terdiri dari HK, HL, dan HP atau HPT, lahan.
menjadi kawasan APL. Penataan ruang berdasarkan TGHK (UU
Secara hirarki hukum, UU No. 41 Tahun No. 41 Tahun 1999) dengan fungsi kawasan
1999 dan UU No. 26 Tahun 2007 yang menurut PPNo. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN
dijabarkan dalam PP No. 26 Tahun 2008 sangat berbeda. Pemanfaatan kawasan HP
mempunyai kekuatan hukum yang sama. berdasarkan TGHK dalam RTRW masuk
Apabila kedua aturan tesebut digunakan dalam kriteria kawasan budidaya. Pengertian
sebagai dasar acuan dalam pembuatan suatu kriteria kawasan budidaya memungkinkan
produk kebijakan, keduanya mempunyai kawasan tersebut dimanfaatkan untuk selain
kekuatan hukum yang sama dan sah kegiatan kehutanan, seperti lahan perkebunan,
secara substansi. Kebijakan tersebut dapat pertanian, perikanan, pariwisata, dan lain
dilaksanakan sebagai dasar acuan dalam sebagainya.
pelaksanaan (petunjuk pelaksanaan/juklak), 2. Mekanisme Permohonan Lahan Usaha
baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun
demikian, kebijakan tersebut akan bermasalah Masalah penataan ruang tidak hanya
atau dapat menimbulkan konflik kepentingan terkait dengan UU tentang kehutanan maupun
dalam permohonan izin pemanfaatan lahan penataan ruang, namun juga terkait dengan
usaha atau pemanfaatan hutan. permohonan ijin. Perpres No. 97 Tahun 2014
Konflik kepentingan terjadi karena tentang PTSP menerangkan bahwa “setiap
mekanisme permohonan izin pemanfaatan permohonan izin, baik permohonan lahan
lahan dan pemanfaatan hutan lainnya diatur usaha atau permohonan izin lainnya harus
berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. melalui Pemerintah Daerah, dalam hal ini
97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Terpadu BKPMPT daerah, dan harus ada kajian secara
Satu Pintu (PTSP). Setiap permohonan teknis yang dilakukan oleh dinas teknis
izin pemanfaatan lahan dan pemanfaatan terkait”.
hutan lainnya dapat dilakukan melalui Dalam mengkaji permohonan izin terkait
Badan Koordinasi Penanaman Modal dan tempat/lokus usaha kehutanan, dinas teknis
Perizinan Terpadu (BKPMPT) daerah, yang yang mempunyai kewenangan, setidaknya
selanjutnya diterusken ke dinas teknis terkait adalah Dinas Kehutanan atau dinas lainnya
untuk dipelajari dan diberikan rekomendasi terkait bidang kehutanan. Kajian permohonan
secara teknis. Dasar hukum yang digunakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang
untuk pemohonan tersebut adalah RTRW berlaku, di antaranya adalah PP No. 104
Daerah yang sudah disahkan, artinya dalam Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan
memberikan rekomendasi tempat/lokus lahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan,
usaha disesuaikan dengan RTRW daerah yang Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan
dibuat berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008, Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 96 Tahun
di mana lahan usaha masuk dalam kriteria 2018 tentang Pelepasan Kawasan Hutan,

95
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

Permen LHK No. 97 Tahun 2018 tentang LHK No. P.97/2018 atau pelepasan kawasan
Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH). hutan (Permen LHK No. P.96/2018) sesuai
Mekanisme penggunaan kawasan dengan permohonan, baik perseorangan,
hutan yang ditawarkan oleh pemerintah kelompok, atau masyarakat dan harus
adalah TMKH atau pelepasan kawasan memenuhi persyaratan administrasi dan
hutan. Permohonan tersebut selanjutnya teknis. Ruang lingkup perubahan peruntukan
dibandingkan dengan RTRWP yang sudah kawasan hutan yang telah dikaji beberapa
disahkan. Rekomendasi tempat/lokus lahan substansinya disajikan dalam Tabel 2.
usaha disesuaikan dengan RTRWP yang 4. Pemanfaatan Ruang Berdasarkan
dibuat berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 di Kebijakan TGHK dan RTRWP
mana lahan usaha masuk dalam pola ruang. Menurut Ostrom (2000) dalam Nilasari,
Pemberian rekomendasi tempat/ lokus lahan Murtilaksono, & Soetarto (2017) hutan
usaha tanpa melihat apakah lahan tersebut merupakan sumberdaya alam milik bersama
termasuk pada kawasan hutan atau tidak, (common pool resources), yaitu sebagai
dapat menimbulkan konflik/efek kurang baik barang publik yang sulit untuk dilakukan
terhadap penataan ruang kawasan hutan yang pembatasan atas hak pemanfaatannya.
ada. Schlager & Ostrom (1996) dalam Nilasari
3. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan et al. (2017) mengidentifikasi 5 jenis hak
Menurut PP No. 104 Tahun 2015, yang paling relevan dengan pemanfaatan
perubahan peruntukan kawasan hutan dapat sumberdaya alam milik bersama, yaitu: a) Hak
dilakukan secara parsial untuk wilayah akses (right of access), b) Hak pemanfaatan
provinsi dan dapat dilakukan melalui cara (rights of withdrawal), c) Hak pengelolaan
TMKH yang ditindaklanjuti dengan Permen (rights of management), d) Hak pembatasan

Tabel 2 Perubahan peruntukan kawasan hutan


Table 2 Changes in forest area designation

Ruang lingkup
Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Scope)
Tukar-menukar - Tukar-menukar kawasan hutan hanya dapat dilakukan Pertimbangan dari
kawasan hutan pada hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi gubernur diterbitkan
(Exchanging forest terbatas (Pasal 10). dalam jangka waktu
areas) - Tukar-menukar kawasan hutan dilakukan dengan paling lama 30 (tiga
ketentuan tetap terjaminnya luas kawasan hutan paling puluh) hari sejak
sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari luas DAS, pulau, tanggal diterimanya
dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; permohonan
dan mempertahankan daya dukung kawasan hutan tetap pertimbangan
layak kelola (Pasal 12 ayat 1 dan 2). lahan pengganti.
- Tukar-menukar kawasan hutan dapat dilakukan dengan Apabila gubernur
lahan pengganti dari lahan bukan kawasan hutan; dan/ tidak memberikan
atau kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan pertimbangan dalam
harus memenuhi persyaratan letak, luas, dan batas lahan jangka waktu yang
pengganti yang jelas; terletak dalam DAS, provinsi, atau telah ditentukan
pulau yang sama; dapat dihutankan kembali dengan cara maka dianggap
konvensional kecuali yang berasal dari kawasan hutan telah memberikan
produksi yang dapat dikonversi (masih produktif); tidak pertimbangan tukar-
dalam sengketa dan bebas dari segala jenis pembebanan menukar kawasan hutan
dan hak tanggungan; dan mendapat pertimbangan dari dan permohonan tukar-
gubernur tentang informasi lahan pengganti (Pasal 12 menukar kawasan hutan
ayat 2 dan 3). dapat diproses.

96
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

Tabel 2 Lanjutan
Table 2 Continued

Ruang lingkup
Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Scope)
Pelepasan kawasan - Kawasan hutan produksi yang dapat dilakukan Diajukan kepada
hutan (Release of pelepasan berupa kawasan hutan produksi yang dapat Menteri dan harus
forest zone) dikonversi yang tidak produktif, kecuali pada provinsi memenuhi persyaratan
yang tidak tersedia lagi kawasan hutan produksi yang administrasi dan teknis.
dapat dikonversi yang tidak produktif (Pasal 19).
- Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tidak
dapat diproses pelepasannya pada provinsi dengan luas
kawasan hutan sama dengan atau kurang dari 30% (tiga
puluh per seratus), kecuali dengan cara tukar-menukar
kawasan hutan (Pasal 19 ayat 2).

Sumber (Source): PP No. 104 Tahun 2015 tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

(rights of exclusion), dan e) Hak pelepasan a. Mekanisme Penyelesaian Hak-hak Pihak


(rights of alienation). Konflik terjadi karena Ketiga
terdapat perbedaan cara pandang antara Mekanisme ini terdapat dalam proses
beberapa pihak terhadap obyek yang sama penataan batas yang diatur dalam Peraturan
(Wulan, Yasmi, Purba, & Wollenberg, 2004 Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.44/
dalam Hakim, Murtilaksono, & Rusdiana, Menhut-II/2012 jo. P.62/Menhut-II/2013
2016) dan antara beberapa individu atau tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam
kelompok tersebut merasa memiliki tujuan Pasal 23 peraturan tersebut telah dimasukkan
yang berbeda (Fisher, Abdi, Ludin, Smith, bukti kepemilikan hak-hak pihak ketiga yang
& Williams, 2010). Konflik menyangkut dapat diakomodir untuk dikeluarkan dari
hubungan sosial antar manusia, baik secara kawasan hutan, terdiri dari bukti tertulis yang
individual maupun kolektif. Semua hubungan disesuaikan dengan peraturan perundang-
sosial pasti memiliki tingkat antagonisme, undangan di bidang pertanahan dan bukti tidak
ketegangan, atau perasaan negatif (Johnson, tertulis berupa pemukiman, fasilitas umum,
1990 dalam Sumartias & Rahmat, 2013). dan fasilitas sosial yang ada, baik sebelum
Hal ini merupakan akibat dari keinginan maupun setelah penunjukan kawasan hutan.
individu atau kelompok untuk meningkatkan Menyelesaikan konflik dengan melepaskan
kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan lahan hutan negara untuk masyarakat yang
sosial, atau penghargaan lainnya (Sumartias telah digunakan untuk pemukiman, fasilitas
& Rahmat, 2013). sosial, dan fasilitas umum akan memperkuat
Kementerian LHK selaku pemegang keamanan tenurial kawasan hutan (Gamin,
kewenangan dalam pengurusan sektor 2014).
kehutanan telah menerbitkan beberapa
kebijakan untuk pengaturan permasalahan b. Mekanisme RTRW
tenurial, pengelolaan kawasan hutan, Penyelesaian konflik penguasaan lahan
penyelesaian konflik kawasan hutan dan melalui review RTRW menurut UU No.
beberapa pilihan kebijakan tersebut perlu 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
didalami dalam penerapannya. Terdapat berpotensi memiliki legalitas dan legitimasi
beberapa solusi yang ditawarkan dalam yang tinggi mengingat proses RTRW telah
penyelesaian permasalahan tenurial tersebut, melalui pembahasan secara menyeluruh dan
yaitu: bertahap berdasarkan kajian dan persetujuan

97
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

tim terpadu, tetapi kekurangan mekanisme Sejalan dengan hal tersebut, menurut Aji
ini adalah jangka waktu yang berdurasi lima et al. (2011), pengembangan social forestry
tahunan (Gamin, 2014). Percepatan Peraturan merupakan solusi atas keterbatasan akses dan
Daerah (Perda) terkait revisi RTRW di daerah, kontrol sumberdaya alam untuk mengurangi
baik provinsi dan kabupaten menjadi kunci konflik dan kemisikinan di desa-desa sekitar
penting dalam implementasi penataan ruang hutan. Pengembangan PHBM didasarkan
yang terarah untuk kepentingan ekonomi, pada kondisi fisik wilayah dan sosial
sosial, dan lingkungan (Subekti, Karjoko, & masyarakat dengan tetap memperhatikan
Astuti, 2017). peraturan perundangan yang berlaku. Skema
PHBM harus didasarkan akses yang legal dan
c. Pelepasan Secara Parsial
pasti bagi masyarakat terhadap sumberdaya
Perubahan peruntukan dan fungsi hutan. Hutan dikelola oleh masyarakat
kawasan hutan secara parsial diusulkan oleh sesuai keinginan dan keputusan terhadap
pihak pemerintah daerah dan harus melalui sumberdaya hutan tersebut.
kajian tim terpadu dengan kriteria penilaian PHBM diatur dalam PP No. 6 Tahun 2007
yang benar secara formal perundangan, jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan
sesuai dengan tatanan sosial setempat, dan Perencanaan Hutan, serta Pemanfaatan
memenuhi persyaratan keilmuan, serta Hutan. Dari sisi legal formal, KLHK
mempertimbangkan nilai strategis kawasan mempunyai berbagai jenis model PHBM
bagi pembangunan berkelanjutan (UU No. seperti yang diistilahkan dengan Hutan
41 Tahun 1999 Pasal 19). Pelepasan kawasan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD),
hutan secara parsial ditunjuk berdasarkan dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
keputusan Menteri LHK. Proses kajian untuk Program PHBM dapat diterapkan untuk
menilai perubahan kawasan hutan oleh tim mengakomodir kegiatan masyarakat di
terpadu membutuhkan waktu dan biaya yang dalam kawasan hutan berupa lahan kebun
besar sehingga mekanisme penyelesaian masyarakat agar dapat memiliki hak resmi
ini pada masing-masing lokasi kajian tidak atau legal di mata hukum positif sehingga tidak
menjadi prioritas usulan dari pemerintah memunculkan permasalahan di kemudian
daerah, baik kabupaten maupun provinsi. hari. Tantangan dalam penerapan PHBM
d. Program Pengelolaan Hutan Berbasis adalah proses perizinan yang berbelit dan
Masyarakat (PHBM) memakan waktu lama serta perlu pengelolaan
Mekanisme ini bertujuan untuk hutan hingga tingkat tapak, dalam hal ini
meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan
legitimasi atau pengakuan masyarakat (KPH) dan perencanaan kehutanan yang
terhadap keberadaan kawasan hutan melalui tepat terutama pada program pemberdayaan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
hutan secara legal. Program PHBM merupakan 5. Dampak Pelaksanaan Kebijakan
sebuah istilah untuk berbagai konsep Pemanfaatan Kawasan Hutan
pengelolaan hutan secara kolaboratif antar Diberlakukannya kebijakan pemanfaatan
pihak yang memiliki kepentingan atau social kawasan hutan sesuai dengan UU No.
forestry. Pengelolaan kolaboratif kawasan 26 Tahun 2007 berdampak pada adanya
hutan menurut Adiwibowo & Mardiana keinginan pemerintah daerah untuk
(2009) dapat mengurangi konflik yang melakukan perubahan kawasan hutan menjadi
terjadi sekaligus sebagai jalan mengentaskan APL. Dampak diberlakukannya kebijakan
kemiskinan masyarakat sekitar hutan. pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan

98
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

Tabel 3 Pelepasan kawasan hutan per tahun


Table 3 Release of forest areas every year

Tahun (Year)
No Uraian (Remarks)
2010 (ha) 2011 (ha) 2012 (ha) 2013 (ha) 2014 (ha) 2015 (ha)
1 Perkebunan/pertanian 4.917.142,83 366.271,35 359.213,71 216.201,85 495.008,57 325.141,68
(Plantation/agriculture)
2 Transmigrasi 875.682,38 369,19 2.247,45 7.170,24 642,45 00,00
(Transmigration)
Jumlah (Total) 5.792.825,21 366.640,54 361.461,16 223.772,09 496.651,02 325.141,68

Sumber (Source): Statistik Kehutanan, 2017; data diolah (data processed).

Tabel 4 Persentase rata-rata pelepasan kawasan hutan


Table 4 Percentage of average release of forest areas

No. Tahun (Year) Jumlah (Total) (ha) (%)


1. 2010 5.792.825,21 76,57
2. 2011 366.640,54 4,85
3. 2012 361.461,16 4,78
4. 2013 223.772,09 2,96
5. 2014 495.651,02 6,55
6. 2015 325.141,68 4,30
Total 7.565.491,70 100
Rata-rata /tahun Average/year) 1.260.915,28 16,67
Sumber (Source): Statistik Kehutanan, 2017; data diolah (data processed).

RTRWN dan TGHK dapat dilihat pada Tabel lahan pertanian beririgasi teknis berubah
3. Pada tahun 2010 pelepasan kawasan hutan menjadi permukiman atau industri,
rata-rata digunakan sebagai APL. kawasan hutan menjadi penggunaan lain
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa yang berakibat banjir.
rata-rata pelepasan kawasan hutan per tahun 2. Tingginya konflik pemanfaatan ruang, baik
dari tahun 2010-2015 sebesar 1.260.915,28 antara masyarakat dengan pemerintah,
ha (16,67%). Pelepasan kawasan hutan antar instansi pemerintah maupun antar
setelah tahun 2010 cenderung menurun, hal kewenangan tingkatan pemerintahan. Hal
ini terkait dengan semakin berkurangnya tersebut dapat mengganggu pelaksanaan
luasan kawasan hutan yang tersedia untuk pembangunan di daerah.
dimanfaatkan di luar kegiatan kehutanan. 3. Dalam penyusunan RTRW telah terjadi
dikotomi kebutuhan antara menggali
B. Permasalahan Penataan Ruang sumber-sumber pendapatan asli daerah
Permasalahan penataan ruang yang terjadi dari sumberdaya alam yang dimiliki tanpa
di daerah, antara lain: dan/atau kurang memperhatikan dampak
1. Penataan ruang belum mendapat perhatian lingkungan dan penyelamatan ruang.
utama sebagai instrumen dasar penyusunan 4. Belum optimalnya kelembagaan penataan
rencana program pembangunan daerah ruang di daerah serta mekanisme
pada beberapa provinsi dan kabupaten/ pengawasan pemanfaatan ruang.
kota. Hal ini tercermin dari semakin 5. Posisi kawasan hutan dalam tata ruang.
luasnya lahan yang beralih fungsi seperti Posisi kawasan hutan dalam RTRW

99
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

(pola ruang) daerah berdasarkan PP No. 26 Setiap permohonan izin pemanfaatan


Tahun 2008 terlihat kawasan hutan produksi kawasan hutan harus dilakukan oleh Gubernur
(HP, HPT, dan HPK) berada pada kawasan melalui BKPMPT, di mana dasar permohonan
budidaya. Secara tidak langsung kawasan pemanfaatan kawasan hutan yang digunakan
hutan tersebut dapat diubah pemanfaatannya adalah RTRW daerah yang sudah disahkan
menjadi pemanfaatan di luar bidang usaha oleh BAPPEDA. Permohonan izin masuk ke
kehutanan seperti kawasan pemukiman, KLHK melalui BKPM, selanjutnya dipelajari
kawasan perikanan, kawasan pertambangan, dengan dasar hukum UU No. 41 Tahun 1999,
kawasan pariwisata, dan lain sebagainya PP No. 104 Tahun 2015, dan Permen LHK
(Gambar 2). No. 96 Tahun 2018. Adapun dasar pembuatan
Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi peta yang dimohon adalah TGHK, sementara
APL oleh pemerintah daerah dalam Kenya- dasar hukum dalam permohonan pemanfaatan
taannya dapat dilakukan sesuai dengan kawasan hutan oleh pemohon (Pemerintah
kebu-tuhan ruang daerah setempat atau oleh Daerah dan/atau BKPMT) adalah UU No. 26
pemohon seperti badan usaha, perorangan, Tahun 2007, yang ditindaklanjuti PP No. 26
koperasi, dan pemohon lainnya. Mekanisme Tahun 2008.
dan kebijakan perubahan tersebut sudah Permasalahannya adalah bahwa dalam
ada seperti UU No. 41 Tahun 1999, PP No. proses permohonan sering terjadi perbedaan
104 Tahun 2015, dan Permen LHK No. 96 atau gap, terutama dalam peta spasial. Hal
serta No. 97 Tahun 2018, akan tetapi dalam tersebut terjadi karena dalam penafsiran
pelaksanaannya selalu terjadi gap, terutama pemanfaatan ruang kawasan hutan, KLHK
dalam paduserasi kawasan hutan. Terjadinya (UU No. 41 Tahun 1999) dan Kementerian
gap dalam paduserasi karena adanya Dalam Negeri (UU No. 26 Tahun 2007) sangat
perbedaan kebijakan terkait tata ruang yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.
diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri Beberapa faktor yang menyebabkan kurang
yaitu UU No. 26 Tahun 2007 yang ditindak- optimalnya penataan ruang daerah adalah:
lanjuti dengan penerbitan PP No. 26 Tahun 1. Lemahnya koordinasi antar instansi terkait
2008 tentang RTRWN. dalam penyelenggaraan penataan ruang

Sumber (Source): PP No. 26 Tahun 2008


Gambar 2 Posisi kawasan hutan dalam perencanaan tata ruang
Figure 2 Position of forest area in spatial planning.

100
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

daerah sehingga berdampak pada kurang 2. Pelaksanaan Tim Terpadu Perubahan


terpadunya perencanaan tata ruang antar Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
instansi. Menurut Imran (2008), adanya dalam revisi RTRWP.
konflik antar-sektor dan antar-wilayah Dalam UU No. 41 Tahun 1999 diatur bahwa
dalam penataan ruang masih menjadi setiap perubahan peruntukan dan fungsi
hambatan untuk mencapai kelestarian kawasan hutan memerlukan penelitian
hutan. oleh tim terpadu (Pasal 19). Dalam ayat (1)
2. Kurang adanya sinkronisasi dan dinyatakan bahwa “Perubahan peruntukan
harmonisasi antar provinsi yang berbatasan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan
dan/atau provinsi dengan kabupaten/kota oleh Pemerintah dengan didasarkan pada
di masing-masing provinsi serta antar hasil penelitian terpadu”. Pada ayat (2)
kabupaten/kota yang berbatasan dalam dinyatakan bahwa “Perubahan kawasan
proses penyusunan rencana tata ruang. hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
Koordinasi dan sinergitas antar stakeholder (1) yang berdampak penting dan cakupan
dan antar batas wilayah administarsi masih yang luas serta bernilai strategis (DPCLS),
menjadi hambatan dalam pelaksanaan tata ditetapkan oleh Pemerintah dengan
ruang daerah (Efendi, Zuhri, Mukhlis, & persetujuan DPR”; selanjutnya pada ayat
Iqbal, 2010; Winarsih, Titik Djumiarti, & (3) dinyatakan “Ketentuan tentang cara
Rihandoyo, 2016). Masih sering terjadi perubahan peruntukan kawasan hutan
tumpang-tindih kelembagaan dalam dan perubahan fungsi kawasan hutan
pelaksanaan penyusunan jenis rencana tata sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ruang yang bersifat makro dalam kebijakan dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
RTRW dan mikro/rencana rinci (teknis) di Pemerintah”.
daerah. 3. Audit Pemanfaatan Ruang Kawasan
3. Masih lemahnya koordinasi penegak Hutan.
hukum (PPNS, Polisi Pamong Praja) Audit kawasan hutan dilakukan untuk
dalam implementasi rencana tata ruang. mengetahui kondisi kawasan hutan
Dari uraian di atas terlihat bahwa dalam dengan permasalahannya serta arahan
pemanfaatan kawasan hutan atau lahan pemecahannya. Hasilnya diharapkan
usaha, perlu upaya sinkronisasi kebijakan dan dapat menjadi acuan dalam penetapan
koordinasi yang dilakukan oleh parapihak kebijakan pengelolaan kawasan hutan dan
yang mempunyai kewenangan (stakeholders) pemanfaatan/penggunaan kawasan hutan
terkait pemanfaatan ruang kawasan hutan. dengan sektor lain. Ada enam prinsip
dan arahan yang dapat digunakan dalam
C. Strategi Penyelesaian Permasalahan
pengembangan audit kawasan hutan, yaitu:
Penataan Ruang
a. Pertimbangan dalam menentukan
Strategi penyelesaian permasalahan kebutuhan lahan.
penataan ruang nasional dapat dilaksanakan b. Perlunya dilakukan kajian biofisik
melalui: secara keseluruhan dengan
1. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan perkecualian pada kawasan konservasi
hutan dalam revisi RTRWP. yang mempunyai fungsi pelestarian
Menurut PP No. 24 Tahun 2010 tentang dan perlindungan keanekaragaman
Penggunaan Kawasan Hutan, perubahan hayati dan plasma nutfah.
peruntukan perlu mengakomodir dinamika c. Perlunya re-skoring dalam menentukan
pembangunan nasional serta aspirasi hutan lindung dan kawasan lindung.
masyarakat dan tidak meninggalkan d. Mengacu pada kriteria penetapan fungsi
prinsip kelestarian kawasan hutan. pokok kawasan hutan konservasi, hutan

101
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

lindung, dan hutan produksi. daerah belum menjadi prioritas utama sebagai
e. Arahan penggunaan kawasan hutan instrumen dasar penyusunan rencana program
di luar kegiatan kehutanan pada hutan pembangunan daerah, 2) Konflik pemanfaatan
produksi dan hutan lindung. ruang antara masyarakat dan pemerintah,
f. Arahan penggunaan lahan untuk hutan 3) Dikotomi antara meningkatkan sumber
konservasi adalah pengelolaan zonasi penghasilan asli daerah versus kelestarian
secara komprehensif sehingga fungsi sumberdaya alam, 4) Belum optimalnya
utama sebagai kawasan konservasi kelembagaan penataan ruang di daerah serta
tetap terjaga tetapi peranan sebagai mekanisme pengawasan pemanfaatan ruang.
penyangga kehidupan dan fungsi sosial Strategi penyelesaian permasalahan
bagi masyarakat di dalam dan di sekitar penataan ruang nasional dalam revisi rencana
hutan juga tetap dijalankan. tata ruang wilayah dapat dilaksanakan melalui:
1) Perubahan peruntukan dan perubahan
fungsi kawasan hutan, 2) Percepatan kerja tim
IV. KESIMPULAN DAN SARAN terpadu perubahan peruntukan dan perubahan
fungsi kawasan hutan, 3) Pelaksanaan
A. Kesimpulan
audit pemanfaatan ruang kawasan hutan
Pengembangan wilayah sebagai bagian berdasarkan prinsip kelestarian kawasan
pengembangan wilayah nasional tidak terlepas hutan.
dari RTRWN yang telah menjadi kesepakatan
bersama. Di lain pihak pengembangan B. Saran
wilayah terkait kawasan hutan perlu tetap Pemerintah pusat khususnya KLHK harus
mengakomodir peraturan perundangan konsisten untuk tidak menyetujui revisi
kehutanan. Dalam upaya pengembangan RTRWP dari pemerintah daerah provinsi
wilayah yang serasi, seimbang, dan terpadu dan kabupaten/kota yang berada di kawasan
perlu harmonisasi dan sinkronisasi. Dari hasil hutan lindung dan hutan konservasi. Revisi
kajian yang dilakukan dalam pemanfaatan perubahan peruntukan kawasan hutan
kawasan hutan masih terdapat disharmonisasi menjadi APL yang diajukan harus dilengkapi
kebijakan tata ruang yang dikeluarkan oleh kajian teknis dan spasial terkait rencana dan
Kementerian Dalam Negeri yaitu UU No. 26 realisasi pemanfaatannya sebagai upaya
Tahun 2007 dan turunannya (PP No. 26 Tahun untuk mendukung moratorium izin konversi
2008 tentang RTRWN) dengan UU No. 41 hutan alam produksi dan menyelamatkan
Tahun 1999 yang ditetapkan KLHK. hutan alam yang tersisa.
Dengan diterbitkan kebijakan otonomi Keterlanjuran dari keberadaan usaha-usaha
daerah yang memberikan kebebasan pada non kehutanan di kawasan hutan produksi
pemerintah daerah untuk mengatur lahan/ yang sudah berjalan tanpa atau belum sesuai
arealnya, mendorong munculnya perubahan dengan mekanisme dan ketentuan UU No.
fungsi kawasan hutan yang tadinya kawasan 41 Tahun 1999 tentang kehutanan perlu
HK, HL, HP, dan HPT menjadi kawasan diselesaikan secara “win-win solution”
APL. Adanya usulan revisi RTRWP dari dengan melakukan tuntutan ganti rugi atau
pemerintah daerah untuk mengubah sistem bagi hasil yang proporsional hingga
peruntukan pemanfaatan lahan maupun berakhirnya masa berlaku izin tersebut.
fungsi kawasan kehutanan menjadi non Untuk menghindari konflik dengan
kehutanan mengakibatkan timbulnya konflik masyarakat yang dapat menghambat
pemanfaatan ruang/kawasan. program dan kebijakan kehutanan, perlu
Permasalahan dalam penataan ruang dilakukan identifikasi kondisi fisik dan
antara lain: 1) Penataan ruang di beberapa sosial terhadap suatu wilayah sebelum

102
Kajian Strategi Penataan Ruang Wilayah pada Kawasan Hutan ........(Epi Syahadat, Elvida Yosefi Suryandari, & Andri Setiadi
Kurniawan)

adanya proses penunjukan kawasan hutan. Maguire, B., Potss, J., & Fletcher, S. (2012). The role of
Pemerintah, baik pusat maupun daerah perlu stakeholders in the marine planning process-
stakeholder analysis within the solent, United
merumuskan kebijakan yang tepat untuk Kingdom. Marine Policy, 36(1), 246–257.
mengatasi dan mengurangi konflik yang ada, Marimin, M. (2009). Teori dan aplikasi sistem pakar
dengan melibatkan masyarakat pada setiap dalam teknologi manajerial. Bogor: IPB Press.
pengambilan keputusan terkait pengelolaan Nurfitriani, F., Darusman, D., Nurrochmat, D. R., &
kawasan hutan. Yustika, A. E. (2015). Analisis pemangku
kepentingan dalam transformasi kebijakan
fiskal hijau(stakeholder analysis in green
fiscal policy transformation). Jurnal Analisis
DAFTAR PUSTAKA Kebijakan Kehutanan, 12(2), 105–124.
Pari, G., & Nurhayati, T. (2009). Cuka kayu dari tusam
Darmaji, P. (2009). Teknologi asap cair dan aplikasinya dan limbah campuran industri penggergajian
pada pangan dan hasil pertanian (Pidato kayu untuk kesehatan tanaman dan obat.
pengukuhan jabatan Guru Besar dalam bidang Bogor.
teknologi pangan dan hasil pertanian pada Rangkuti, P.A. (2009). Strategi komunikasi
Fakultas Teknologi Pertanian. Yogyakarta: membangun kemandirian pangan. Jurnal
Universitas Gadjah Mada. Litbang Pertanian, 28(2), 39–45.
Dubois, O. (1998). Capacity to manage role changes Reed, M. S., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H.,
in forestry. London: International Institute for Hubacek, K., Morris, J., Stringer, L. C. (2009).
Environment Development. Who’s in and why? A typology of stakeholder
Febriyano, I. G. (2014). Politik ekologi pengelolaan analysis methods for natural resource
mangrove di Kabupaten Pesawaran Provinsi management. Journal of Environmental
Lampung (Disertasi Pascasarjana). Institut Management, 90(5), 1933–1949.
Pertanian Bogor, Bogor. Rodrigues, K. C. S., Apel, M. A., Henrique, A. T.,
Ferreti, V. (2016). From stakeholders analysis to & Neto, F. A. G. (2011). Efficient oleoresin
cognitive mapping and multi-attribute value biomass production in pines using low cost
theory: an integrated approach for policy metal containing stimulant paste. Journal
support. European Journal of Operational Crops and Product, 35(10), 4442–4448.
Research, 253(2), 524–541. Rodrigues, K. C. S., Azevedo, P. C. N., Sobreiro, L.
Frow, P., & Payne, A. (2011). A stakeholder perspective E., Pelissari, P., & Fett-Neto, A. G. (2008).
of the value proposition concept. European Oleoresin yield of Pinus elliottii plantations in
Journal of Marketing, 45(1/2), 223–240. subtropical cLimate: effect of tree diameter,
Harrison, J. S., Bosse, D. A., & Phillips, R. A. (2009). wound shape and concentration of active
Managing for stakeholders, stakeholder adjuvants in resin stimulating paste. Journal
utility functions, and competitive advantage. Crops and Product, 27(3), 322–327.
Strategic Management Journal, 31(1), 8–74. Sainoi, T., & Sdoodee, S. (2012) The impact of ethylene
Herawati, T., Widjayanto, N., Saharuddin, & gas aplication on young tapping rubber trees.
Eriyatno. (2010). Analisis respon pemangku Journal of Agriculture Technology,8(4),
kepentingan di daerah terhadap kebijakan 1497–1507.
hutan tanaman rakyat. Jurnal Analisis Saxena, J. P., Sushil, & Vrat, P. (1992). Hierarchy and
Kebijakan Kehutanan, 7(1), 13–25. classification of program plan elements using
Ichsan, A. C., Soekmadi, R., Adiwibowo, S., & interpretive structural modeling : a case study
Kusmana, C. (2017). Peran pemangku of energy conservation in the Indian Cement
kepentingan dalam pelaksanaan model Industry. Systems Practice, 5(6), 651–652.
desa konservasi di Taman Nasional Sharma, K. R., & Lekha, C. (2013). Tapping of
Gunung Rinjani. Jurnal Analisis Kebijakan Pinus roxburghii (chir pine) for oleoresin in
Kehutanan, 14(1), 47–59. Himachal Pradesh, India, 2(3), 51–55.
Li, T., S., T., & Skitmore, M. (2012). Conflict or Sundawati, L., & Sanudin, S. (2009). Analisis
consensus : an investigation of stakeholder Pemangku Kepentingan dalam Upaya
concerns during the participation process of Pemulihan Ekosistem Daerah Tangkapan
major infrastructure and construction projects Air Danau Toba. Jurnal Manajemen Hutan
in Hong Kong. Habitat International, 36(2), Tropika, 15(3), 102–110.
333–342.

103
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.2, November 2019: 89-104

Wijaya, M. (2010). Pirolisis limbah kayu dan bambu


yang ramah lingkungan untuk menghasilkan
asam asetat. Institut Pertanian Bogor.
Verhagen, K. (1996). Pengembangan keswadayaan :
Pengalaman LSM di tiga negara. Cimanggis:
Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara
(PUSPA SWARA).

104

You might also like