You are on page 1of 7

Jurnal Silvikultur Tropika

Vol. 07 No. 3, Desember 2016, Hal 181-187


ISSN: 2086-8227

EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
The Effectiveness of Policy Implementation on Forest Rehabilitation and Reclamation

Didid Sulastiyo, Hariadi Kartodihardjo, dan Sudarsono Soedomo

Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga,
Bogor-16680
E-mail: deedeed_5319@yahoo.com

ABSTRACT

The policy on forest rehabilitation and reclamation have been implemented since 1950, but not effective decrease the
extend of the critical forest and land yet. The objective of this research was to formulate option of effectiveness
enhancement of forest rehabilitation and reclamation policy implementation. This research applied the theory that
developed by Edward III and IDS’s policy process. The policy text (rule in form) of forest rehabilitation and reclamation
has not been used effectively to solve the solve the problem on the ground because the lack of sufficient regulation on the
pre-condition, maintenance and responsibility in regards to the asset lost, participation, empowerment and transparency.
There is divergent in the implementation of forest rehabilitation and reclamation policy. The implementation of policy
requires high transaction cost with limited participation and did not legitimate due to ineffective communication,
structure of birocracy, disposition/attitude and resources. To increase the effectiveness implementation of policy and
institution on forest rehabilitation and reclamation, the goverment have to improve the effectiveness of communication,
structure of birocracy, disposition/attitude, and resources. Furthermore, the result of this research also recommends the
importance of network development through social movement by using mass-media and social media, which will be
usefull to provide pressure on the policy development process by addressing the counter policy narative.

Key words: efectiveness, implementation, policy, rehabilitation, reclamation

PENDAHULUAN tahun 2010‒2014 sebagai upaya untuk menanggulangi


kekritisan hutan dan lahan, akan tetapi upaya tersebut
Sejak awal tahun 1950-an, Pemerintah Indonesia masih belum optimal, ditunjukkan oleh masih tingginya
telah menerapkan berbagai program rehabilitasi hutan, luasan lahan kritis nasional pada periode tahun 2006‒
akan tetapi tingkat keberhasilannya sangat rendah 2013 sebesar 24.3 juta ha (Kemenhut 2010; KLHK
sehingga tidak memberikan dampak positif terhadap 2015). Sejalan dengan hal itu, kegiatan reklamasi yang
perbaikan kualitas lingkungan hidup dan ekosistem dilaksanakan oleh pemegang ijin pinjam pakai kawasan
(Nawir et al. 2007). Akibat kegagalan implementasi hutan (IPPKH) belum menunjukkan hasil yang optimal.
kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), negara Sampai tahun 2013 realisasi kegiatan reklamasi hutan
telah dirugikan 5.2 miliar USD yang berasal dari alokasi baru mencapai 35.11% atau 28 586.77 ha dari total luas
dana reboisasi (DR) saja, belum termasuk kegiatan RHL areal yang telah dibuka oleh pemegang IPPKH (Zubayr
yang dibiayai dari sumber dana lainnya (Barr et al. et al. 2014).
2010). Efektivitas implementasi suatu kebijakan dapat
RHL cenderung diidentikkan dengan kegiatan terjadi apabila kebijakan dirumuskan atas dasar masalah
bercocok tanam bukan merupakan suatu upaya mem- yang tepat dan terdapat kemampuan menjalankan
bangun hutan (Kartodihardjo 2006). Sejalan dengan itu, solusinya di lapangan (Dunn 2003). Kegagalan imple-
Zubayr et al. (2014) menyatakan bahwa kegagalan mentasi kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan lebih
implementasi kebijakan reklamasi hutan lebih disebab- banyak dipengaruhi oleh faktor non teknis, belum
kan oleh tidak adanya struktur insentif yang sesuai dan menyentuh penyiapan pra kondisi yang optimal yang di
biaya transaksi yang relatif tinggi. Kegagalan rehabili- dalamnya termuat resolusi konflik atas lahan, rekayasa
tasi dan reklamasi hutan lebih pada diskursus terhadap sosial, penguatan modal sosial, kelembagaan dan
sumberdaya hutan (Kartodihardjo 2006). sebagainya. Penyiapan pra kondisi menjadi salah satu
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan aspek penting yang menentukan keberhasilan imple-
(KLHK) telah mengalokasikan dana APBN untuk mentasi kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan.
kegiatan RHL sebesar Rp 3.34 triliun1 dalam periode Pada sisi yang lain, kegiatan rehabilitasi dan
reklamasi hutan selama ini menggunakan skema hibah
1
Alokasi dana APBN untuk RHL periode tahun 2010—2014 sebagaimana diatur dalam Permenkeu No. 214/PMK.05/
sebesar Rp 3.34 triliun, yang terdiri dari Rp 1.78 triliun 2013, bibit kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan
dana DIPA Kemenhut dan Rp 1.56 triliun dana DAK bidang dikategorikan dalam belanja barang sehingga bukan
Kehutanan. merupakan aset dan tidak tercatat di dalam neraca
182 Didid Sulastiyo et al. J. Silvikultur Tropika

negara (Kemenkeu 2013). Hal tersebut menyebabkan bentuk tertulis (transkrip data). Selanjutnya dari hasil
tidak adanya tanggung jawab mengikat dan rendahnya transkrip data diambil kata kunci dan diberikan kode.
komitmen pelaksana terhadap keberhasilan kegiatan. Kata-kata kunci yang memiliki makna yang sama
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagai- digolongkan ke dalam satu besaran kategori dan
manakah kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan akhirnya dibuat suatu kesimpulan. Uji validitas
diimplementasikan, hambatan apa yang mempengaruhi dilakukan dengan triangulasi yaitu cara uji silang antara
implementasi kebijakan tersebut dan bagaimana sumber data yang satu dengan sumber data lainnya.
penyiapan pra kondisi yang optimal mendorong Proses ini dilakukan terus menerus sampai tidak ada lagi
efektivitas implementasi kebijakan rehabilitasi dan perbedaan-perbedaan dan tidak ada lagi yang perlu
reklamasi hutan dalam konteks rehabilitasi DAS?. dikonfirmasikan kepada informan (Irawan 2006).
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) menganalisis isi
(content analysis) teks kebijakan rehabilitasi dan Metode Analisis Data
reklamasi hutan, 2) menganalisis implementasi
Analisis isi teks peraturan dilakukan untuk melihat
kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan serta
sejauh mana teks peraturan menjawab berbagai
hambatan-hambatan yang mempengaruhi implementasi
permasalahan di lapangan. Peraturan perundangan yang
kebijakan tersebut, 3) merumuskan opsi peningkatan
dilakukan analisis isi adalah Peraturan Pemerintah (PP)
efektivitas implementasi kebijakan dan kelembagaan
No. 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi
rehabilitasi dan reklamasi hutan.
Hutan, Permenhut (P) No. 9 tahun 2013 tentang Tata
Cara Pelaksanaan, Kegiatan Pendukung dan Pemberian
Insentif Kegiatan RHL, Permenhut (P) No. 87 tahun
METODE PENELITIAN
2014 tentang Pedoman Penanaman bagi Pemegang Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam Rangka
Waktu dan Tempat
Rehabilitasi DAS.
Penelitian ini dilakukan di kantor pusat KLHK dan Untuk menganalisis implementasi kebijakan serta
PT Petrochina di Jakarta sebagai pusat penyusunan hambatan yang mempengaruhi implementasi kebijakan
kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan dalam digunakan pendekatan Edward III (1980), antara lain
konteks rehabilitasi DAS. Untuk menggambarkan komunikasi (parameter: transmisi, kejelasan dan
implementasi kebijakan rehabilitasi hutan diambil lokus konsistensi), sumberdaya (parameter: staf, informasi,
wilayah DAS Ciliwung, sedangkan untuk implementasi otoritas dan fasilitas), disposisi/sikap (parameter: efek
kebijakan reklamasi hutan dalam konteks rehabilitasi disposisi, susunan kepagawaian/birokrasi, dan insentif),
DAS dipilih PT. Petrochina sebagai salah satu struktur birokrasi (parameter: standart operational
pemegang IPPKH yang melaksanakan kegiatan procedure (SOP) dan fragmentasi).
rehabilitasi DAS di Hutan Lindung Gambut (HLG) Untuk merumuskan opsi peningkatan efektivitas
Sungai Beram Hitam Kabupaten Tanjung Jabung Barat implementasi kebijakan dan kelembagaan rehabilitasi
Provinsi Jambi. Penelitian ini dilakukan dengan dan reklamasi hutan digunakan pendekatan Edward III
beberapa tahapan, yaitu studi pustaka, pengambilan (1980) dan policy process IDS (2006). IDS (2006)
data, pengolahan data serta analisis data yang dalam penelitian proses kebijakan pada dasarnya
dilaksanakan pada bulan November 2015‒April 2016. mencoba menelusuri bagaimana masalah dan solusi
kebijakan dibuat, oleh siapa, dan bagaimana dampak
Pengumpulan Data dan Penentuan Narasumber yang ditimbulkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas,
IDS (2006) melakukannya dengan tiga pendekatan yang
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
saling berhubungan dan untuk menemukan ruang
adalah pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus.
kebijakan (policy space), yaitu pengetahuan dan
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan
diskursus (narasi yang digunakan), aktor dan jaringan
mengumpulkan data, peraturan dan literatur terkait,
(siapa saja yang terlibat dan bagaimana mereka saling
observasi langsung terhadap aspek-aspek yang dikaji,
terhubung), politik dan kepentingan (dinamika
serta wawancara mendalam (in-depth interview)
kekuasaan yang mendasari).
terhadap informan kunci (key informan) yang memiliki
kompetensi sesuai topik kajian.
Penentuan narasumber dilakukan dengan teknik
HASIL DAN PEMBAHASAN
snowball sampling dengan quota control, yaitu
mengikuti informasi dari informan kunci sebelumnya
Teks Kebijakan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
yang ditentukan secara sengaja (purposive) untuk
(Rehabilitasi DAS)
menentukan informan berikutnya (Sugiyono 2010).
Informan kunci dipilih berdasarkan peran, pengetahuan, P 09/2013 dan P 87/2014 merupakan sebagian
keterlibatan, komunikatif, dan kesediaan untuk melaku- peraturan pelaksana yang dimandatkan oleh PP
kan wawancara. Dalam penelitian ini informan kunci 76/2008. Hasil analisis isi (content analysis) menunjuk-
terdiri dari pejabat dan staf KLHK, Direktorat KKSDA- kan bahwa masih terdapat beberapa mandat yang
Bappenas, Ditjen Angaran-Kemenkeu, Pemda, jajaran diamanatkan di dalam PP 76/2008 tidak diatur di kedua
direksi dan pelaksana IPPKH, akademisi, LSM, masya- Permenhut tersebut. Salah satunya adalah penyiapan pra
rakat serta informan lainnya yang terkait. kondisi yang mencakup pemilihan lokasi yang bebas
Hasil wawancara baik berupa rekaman audio konflik, resolusi konflik, penguatan modal sosial dsb.
maupun catatan tulisan tangan akan ditransfer menjadi PP 76/2008 pasal 5 ayat 2 yang mengamanatkan
Vol. 07 Desember 2016 Efektivitas Implementasi Kebijakan Rehabilitasi & Reklamasi Hutan 183

kejelasan status penguasaan lahan, pada P.09/2013 hal Kegiatan RHL berdasarkan P.09/2013 lokus
itu tidak diatur. Kejelasan status penguasaan lahan RHL kegiatannya berada di luar dan di dalam kawasan hutan.
hanya dilakukan di atas peta tanpa dilakukan pemetaan Pelaksanaan kegiatan RHL apabila tidak adanya
partisipatif dengan melibatkan stakeholder yang terkait, kejelasan status lahan dan legitimasi penguasaan
sehingga banyak lokasi RHL yang dilaksanakan di lahannya cenderung menimbulkan ekses negatif
kawasan hutan gagal karena adanya konflik lahan.2 sehingga berdampak kepada rendahnya keberhasilan
Sedangkan pada P.87/2014, hanya eksplisit disebutkan kegiatan RHL (Schlager dan Ostrom 1992; Ribbot dan
bahwa lokasi yang akan digunakan untuk rehabilitasi Peluso 2003). Rehabilitasi DAS berdasarkan P.87/2014
DAS harus bebas konflik, mekanisme pemetaan lokus kegiatannya berada di dalam kawasan hutan dan
partisipatif dan strategi penyelesaian apabila terjadi dalam satu RTk RHL DAS serta harus dalam satu
konflik tidak diatur. Kejelasan status penguasaan lahan hamparan yang kompak. Realitas di lapangan sangat
menjadi hal yang fundamental karena berhubungan sulit untuk menemukan lokasi dalam satu hamparan
dengan property right terutama di kawasan hutan yang kompak, sehingga pelaksanaan rehabilitasi DAS
negara. Hak kepemilikan oleh negara (state property) yang tersebar dinilai tidak berhasil oleh pemerintah,
menjadi sumberdaya akses yang terbuka yang tidak walaupun secara penilaian teknis silvikultur dan dampak
jelas kepemilikannya/insecure property right (Ellsworth dapat dinilai berhasil serta memiliki multiplier effect,
2004).3 akan tetapi dikarenakan tidak dalam satu hamparan
Dalam hal resolusi konflik PP 76/2008 pasal 4 huruf yang kompak dinilai tidak berhasil.5
2 poin c mengamanatkan pemahaman prinsip sistem Kegagalan kegiatan RHL dan rehabilitasi DAS lebih
tenurial. Pada P.09/2013 dan P.87/2014, resolusi konflik disebabkan oleh ketidakefektifan pengurusan manaje-
dalam kerangka prinsip sistem tenurial tidak diatur, men aset. P.09/2013 dan P.87/2014 mengatur bahwa
sehingga apabila terjadi konflik lahan di dalam kegiatan pemeliharaan hanya dilaksanakan sampai tahun ke tiga
RHL dan rehabilitasi DAS tidak ada exit strategy (bisa ditambah sampai tahun ke lima dengan ketentuan
penyelesaian masalah. Demikian juga penguatan modal khusus), setelah itu tidak ada kegiatan pemeliharaan
sosial masyarakat, hal tersebut tidak diatur. untuk memastikan tanaman berhasil yang notabene
Indikator keberhasilan kegiatan dalam ketiga merupakan aset pemerintah. Di sisi yang lain, per-
peraturan itu, hanya didasarkan pada indikator tanggung jawaban kehilangan aset tidak diatur di kedua
keberhasilan teknis silvikultur (jumlah pohon/ha), tidak Permenhut tersebut, walaupun menggunakan dana
sampai kepada evaluasi dampak serta multiplier effect APBN. Hal tersebut disebabkan oleh biaya untuk
yang diakibatkan. Kegiatan RHL dan rehabilitasi DAS pengadaan bibit tanaman dikategorikan ke dalam
hanya dititikberatkan kepada kegiatan menanam belanja barang sehingga tidak ada pertanggung jawaban
bibit/pohon bukan merupakan kegiatan membangun aset yang hilang.6
hutan secara menyeluruh (Kartodihardjo 2006). PP 76/2008 pasal 4 huruf 2 poin d mengatur prinsip
PP 76/2008 pasal 4 huruf 2 poin g mengamanatkan andil biaya untuk kegiatan RHL dan rehabilitasi DAS.
pendekatan kebijakan secara partisipatif. P.09/2013 dan Kegiatan RHL sebagian besar hanya bertumpu pada
P.87/2014 pendekatan kebijakannya lebih bersifat top skema pendanaan APBN sehingga sangat bergantung
down sehingga partisipasi dari masyarakat kecende- kepada ketersediaan anggaran RHL pada setiap periode
rungannya sangat rendah. PP 76/2008 pasal 4 huruf 2 tahun anggaran. Masih belum optimalnya pengem-
poin f mengamanatkan pemberdayaan masyarakat dan bangan kegiatan RHL yang bersumber dari dana non
penguatan kapasitas kelembagaan, akan tetapi hal APBN, karena ketidakjelasan manajemen aset di dalam
tersebut tidak diatur di dalam Permenhut P.09/2013 dan pengelolaannya.10 Sedangkan untuk kegiatan rehabilitasi
P.87/2014, sehingga dalam implementasinya cenderung DAS (hasil wawancara dengan Dir. HSE PT Petrochina)
bersifat keproyekan dan bersifat jangka pendek hanya didanai oleh pemegang IPPKH, semua biaya
(Kartodihardjo 2006). P.09/2013 dan P.87/2014 tidak dibebankan kepada pemegang ijin sehingga tidak ada
mengakomodir ruang diskresi dan fleksibilitas andil biaya dari pemerintah.
kebijakan bahkan cenderung kaku, sehingga apabila PP 76/2008 pasal 4 ayat 2 huruf f mengamanatkan
terjadi kasus yang tidak diatur, tidak terdapat diskresi transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan RHL dan
dan exit strategy penyelesaian masalah.4 rehabilitasi DAS, akan tetapi masih sering terjadi
asimetric information dalam pelaksanaannya, karena
tidak adanya keterbukaan informasi sehingga menim-
2
bulkan high transactional cost, contohnya adalah di
Hasil wawancara dengan Dir. HSE PT Petrochina, Kasubdit dalam penentuan lokasi lahan kritis pada rehabilitasi
Reklamasi dan Ka.BPDASHL Batanghari
3 DAS. Akibat tidak adanya transparansi terhadap data
Lokasi rehabilitasi DAS PT Petrochina di HLG Beram Hitam
telah terjadi perambahan oleh masyarakat, hampir 65% beralih lokasi lahan kritis, seringkali terjadi asimetric informa-
fungsi menjadi perkebunan sawit rakyat dan beberapa menjadi tion, dimana terdapat celah yang dapat dimanfaatkan
areal pemukiman, meskipun secara legal merupakan kawasan oleh beberapa oknum untuk dijadikan bahan transaksi
HL yang dikelola oleh Pemda Kab. Tanjung Jabung Barat. sehingga menimbulkan high transaction cost (Jensen &
Akibat konflik lahan, PT Petrochina sebagai pemegang Meckling 1976).
IPPKH tidak dapat melaksanakan kegiatan rehabilitasi DAS Skema insentif di dalam kegiatan RHL pada
dengan optimal, yang mengakibatkan hasil penilaian oleh tim pelaksanaannya sering terjadi mis insentif. Insentif
terpadu bentukan pemerintah dinilai gagal, karena sampai
akhir tahun jumlah pohon/ha kurang dari 700 batang/ha
sebagaimana diatur dalam P.09/2013. 5
Hasil wawancara dengan Dir. HSE PT Petrochina
4 Hasil wawancara dengan Dir. HSE PT Petrochina 6
Hasil wawancara dengan Dir. KKSDA Bappenas
184 Didid Sulastiyo et al. J. Silvikultur Tropika

kegiatan RHL sering dijadikan bahan politisasi elit speaking yang baik sehingga pesan kebijakan tidak
partai politik untuk kampanye, sedangkan dalam kontek terkomunikasikan dengan jelas. Akibatnya terjadinya
rehabilitasi DAS tidak diatur.7 mis persepsi dan multi tafsir, sehingga pada level
pelaksana sering melakukan manuver dari pesan sebuah
Implementasi Kebijakan Rehabilitasi dan Reklamasi kebijakan, baik manuver positif maupun negatif.
serta Hambatannya Komunikasi yang dilakukan para elit birokrat sering
tidak konsisten, inkonsistensi bisa diakibatkan adanya
Untuk menganalisis implementasi kebijakan dan
unsur ketidaksengajaan (lupa) maupun secara sengaja.
hambatan yang mempengaruhi digunakan pendekatan
Inkonsistensi secara sengaja diakibatkan oleh tingginya
teori yang dikembangkan oleh Edward III (1980)
pengaruh politis di dalam proses perumusan kebijakan
(Tabel 1).
yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan dan
Adanya gap tingkatan birokrasi menyebabkan
perubahan kebijakan akibat pengaruh elit politik.
transmisi menjadi terhambat karena adanya tata urutan
Tidak meratanya distribusi SDM (baik kuantitas,
transmisi yang cukup panjang dari level pimpinan
kualitas serta ketidakjelasan pola karir), staf yang ada
sampai ke tingkat pelaksana, selain itu hambatan
kecenderungannya hanya memiliki kompetensi teknis
transmisi diakibatkan oleh perbedaan kedudukan di
yang berkaitan dengan pengelolaan hutan saja dan
dalam struktur birokrasi (atasan dan bawahan). Kultur
mewarisi perilaku birokrat jaman dulu. Belum ada SDM
budaya ketimuran menyebabkan keengganan untuk
yang memiliki kompetensi untuk melakukan rekayasa
berkomunikasi dengan bebas tanpa memandang jabatan
sosial/resolusi konflik untuk mendukung keberhasilan
sehingga menyebabkan adanya gap/jarak di dalam
rehabilitasi dan reklamasi terutama di dalam kawasan
berkomunikasi. Selain itu, birokrat tidak terbiasa untuk
yang terdapat konflik lahan. Adanya resistensi terhadap
menggunakan media online/sosial di dalam mentrans-
pembaharuan/terobosan-terobosan baru dan lebih
misikan pesan kebijakan agar proses komunikasi lebih
menggunakan pengetahuan yang dipilihnya sendiri dan
efektif. Birokrasi cenderung mentransmisikan pesan
terlanjur diyakini sebagai kebenaran menyebabkan sunk
menggunakan jalur kedinasan dalam bentuk persuratan,
cost effect di dalam implementasi kebijakan rehabilitasi
disposisi atau memo yang cenderung tidak efektif dan
dan reklamasi hutan (Diamond 2005). Masih ada
efisien.
anggapan bahwa kegiatan rehabilitasi dan reklamasi
Birokrat kecenderungannya mengkomunikasikan
hutan hanya sebatas kegiatan bercocok tanam semata
pesan kebijakan mengunakan istilah birokrasi yang sulit
dan cenderung tidak mempertimbangkan faktor non
untuk dipahami oleh orang awam, selain itu sebagian
teknis di dalam mendukung keberhasilan kegiatan
besar birokrat tidak mempunyai kemampuan public
tersebut (Kartodihardjo 2006; Persaki 2006).

7
Hasil wawancara dengan Kepala BPDASHL Batanghari dan
Kepala BPDASHL Citarum-Ciliwung

Tabel 1 Parameter implementasi kebijakan Edward III (1980)


No Variabel Fakta Implikasi
1. Komunikasi
a. Transmisi Gap tingkatan birokrasi, kultur budaya ketimuran, Delivery message kebijakan ter-
perbedaan cara pandang, penggunaan media hambat, lambannya implementasi
komunikasi yang kurang memadai kebijakan
b. Kejelasan Mis komunikasi, transfer informasi Mis persepsi, multi tafsir, manu-
ver
c. Konsistensi Tingginya pengaruh politis, inkonsistensi (sengaja/ Penyimpangan, perubahan ke-
tidak sengaja) bijakan oleh elit politik
2. Sumberdaya
a. Staf Distribusi SDM yang tidak merata (kuantitas, Sunk cost effect
kualitas, dan pola karir yang tidak jelas), tidak ada
SDM yang memiliki kompetensi resolusi konflik/
rekayasa sosial, dskursus konservatif
b. Informasi Minimnya sosialisasi yang efektif, tidak ada Asimetric information (high tran-
transparansi/keterbukaan informasi saction cost)
c. Otoritas Gap antara pemerintah pusat dan daerah, tumpang Program tidak sinkron, bersifat
tindih kewenangan sektoral
d. Fasilitas Keterbatasan dan mis alokasi sarpras, keterbatasan Indikator keberhasilan hanya
pendanaan (hanya bertumpu APBN), standar biaya sebatas output
yang rendah (tidak memasukkan biaya pra kondisi)
3. Disposisi/sikap
a. Efek disposisi Perbedaan cara pandang, diskresi Street level bureucrat
b. Susunan Birokrasi yang panjang dan berjenjang, watak High transaction cost
kepegawaian/biro birokrat
krasi
Vol. 07 Desember 2016 Efektivitas Implementasi Kebijakan Rehabilitasi & Reklamasi Hutan 185

No Variabel Fakta Implikasi


c. Insentif Mis insentif, tidak ada skema reward and punish- Partisipasi masyarakat rendah
ment
4. Struktur birokrasi
a. Standart SOP yang cenderung kaku, tidak ada exit strategy Fleksibilitas rendah
operational penyelesaian masalah
procedure (SOP)
b. Fragmentasi Pendelegasian kewenangan tidak jelas dan terbatas, Legal tapi tidak legitimate
hanya melibatkan unsur pemerintah
Sumber: hasil wawancara dan observasi

Informasi menjadi hal penting di dalam mendukung di tingkat daerah/lapangan yang secara langsung
efektivitas implementasi suatu kebijakan. Minimnya menjalankan keputusan dari suatu kebijakan untuk
sosialisasi yang efektif, baik kepada pelaksana di mencari solusi terhadap permasalahan faktual yang
lapangan maupun masyarakat menyebabkan rendahnya terjadi di lapangan yang biasanya disebut dengan street
partisipasi masyarakat dan stakeholder lain yang terkait, level bureucrat (Lipsky 1980).
selain itu tidak adanya transparansi/keterbukaan Elemen susunan kepegawaian/birokrasi terdapat
informasi, misalnya informasi terkait lokasi lahan kritis. birokrasi yang panjang dan berjenjang serta masih
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya asimetric banyak aparat yang memiliki watak birokrat (bukan
information yang menimbulkan celah, sehingga sering pelayan masyarakat), sehingga menyebabkan high
dimanfaatkan oleh oknum untuk menjadi bahan transaction cost, contohnya di dalam mendapatkan
transaksi yang menyebabkan high trasactional cost di informasi lokasi lahan kritis, terdapat asimetric
dalam kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan (Jensen information akibat belum adanya transparansi maka
& Meckling 1976). akan menimbulkan biaya tambahan di dalam
Ketidakjelasan otoritas mengakibatkan adanya gap mendapatkan informasi tersebut sehingga cenderung
antara pemerintah pusat dan daerah serta masih terdapat tidak efisien atau menimbulkan high transaction cost
tumpang tindih kewenangan di dalam implementasi (Jensen & Meckling 1976).
kebijakan. Hal itu berimplikasi terjadinya ketidak- Kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan dalam
singkronan program dan cenderung bersifat sektoral pelaksanannya sering terjadi mis insentif kepada
sehingga mengakibatkan ketidakefektifan implementasi masyarakat dan belum adanya skema reward and
kebijakan. Program pembangunan kehutanan, baik yang punishment yang tepat demi mendukung efektivitas
dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemda masih implementasi kebijakan tersebut. Walaupun pada
bersifat parsial, sehingga kecenderungannya program Permenhut No. P.09/2013 telah diatur skema insentif,
yang satu tidak menunjang program yang lain akan tetapi skema insentif yang diatur hanya terbatas
(Kartodihardjo 2006). pada pemberian upah tanam RHL yang sering
Keterbatasan sarpras, mis alokasi sarpras, keter- dipolitisasi, belum mencakup skema insentif dalam arti
batasan pendanaan (lebih bertumpu kepada APBN) dan yang lebih luas, seperti kemudahan pengurusan kredit,
juga standar biaya yang rendah (belum memasukkan pengurangan pajak dsb, sehingga mengakibatkan
biaya pra kondisi) di dalam implementasi kebijakan rendahnya pastisipasi masyarakat.
rehabilitasi dan reklamasi hutan, mengakibatkan indika- SOP yang ada cenderung kaku dan tidak adanya exit
tor keberhasilan hanya sebatas output, akibat tidak strategy penyelesaian masalah di lapangan, sehingga
adanya pembaharuan sistem penganggaran (Persaki SOP yang ada cenderung tidak fleksibel. Apabila ada
2006). Kegiatan rehabilitasi dan reklamasi hutan sering permasalahan di lapangan yang tidak diatur di dalam
dianggap tidak berhasil oleh masyarakat dikarenakan SOP, maka tidak ada exit strategy penyelesaian
tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap masalah, contohnya apabila terjadi konflik masyarakat
perbaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan terhadap lahan, pelaksana di lapangan cenderung
masyarakat. melakukan diskresi untuk mencari solusi penyelesaian
Pada efek disposisi terdapat perbedaan cara pandang masalah.
antara pejabat di level atas dengan pelaksana di
lapangan yang menimbulkan terjadinya diskresi. Opsi Peningkatan Efektivitas Implementasi Kebijak-
Diskresi timbul oleh adanya sebuah fenomena di an dan Kelembagaan Rehabilitasi dan Reklamasi
lapangan baik yang di dalamnya belum terdapat sebuah Hutan
kebijakan yang mengatur dan/atau fenomena yang
Implementasi Kebijakan RHL dan rehabilitasi DAS
dalam pelaksanaannya tidak mungkin merujuk per-
yang dikembangkan oleh KLHK terjadi pro dan kontra
aturan yang ada (Trusty & Cerveny 2012). Dalam
dalam perkembangannya sebagaimana Tabel 2.
implementasi kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan
sering terjadi diskresi yang dilaksanakan oleh birokrasi
186 Didid Sulastiyo et al. J. Silvikultur Tropika

Tabel 2 Analisis IDS (2006)


Faktor Pro Pemerintah Anti Pemerintah
Narasi kebijakan RHL dan rehab DAS direduksi kepada perbaikan Rehabilitasi dan reklamasi hutan
aspek teknis silvikultur penanaman pohon di hutan merupakan kegiatan menyeluruh
dan lahan kritis sehingga aspek kelembagaan, untuk memperbaiki aspek ekologi,
sosek, politik menjadi faktor eksogen sosial ekonomi, politik dan
kelembagaan
Tolok ukur Jumlah bibit yang telah ditanam selama 5 tahun Hutan dengan adanya pengelolaan
keberhasilan secara intensif
Aktor/jaringan Pemerintah pusat, Pemda, pemegang IPPKH LSM, masyarakat, akademisi
Politik/kepentingan Memenuhi kepentingan administrasi dan politik Memperbaiki kualitas lingkungan
pemerintah dan pemegang IPPKH hidup dan kesejahteraan
masyarakat
Policy space Mudah karena didukung kekuatan politik Sulit karena tidak mendapatkan
pemerintah dan pengusaha (pemegang IPPKH) dukungan politik pemerintah
Sumber: hasil wawancara dan observasi

Kesulitan pembaharuan kebijakan rehabilitasi dan tersembunyi di baliknya, yang cenderung mengabaikan
reklamasi yang telah berlangsung puluhan tahun kepentingan kelompok marginal (masyarakat), akibat
bersumber dari narasi kebijakan dan diskursus yang adanya pola dominasi dan eksklusi dan berusaha
telah melekat dalam keyakinan para pembuat kebijakan mencari alternatif atau narasi/diskursus tandingannya
(Kartodihardjo 2006). Ironisnya, perubahan kebijakan (conter discource).
yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas Konsep policy space sangat terkait dengan sampai
implementasi kebijakan tersebut dilakukan dengan dimana pembuatan kebijakan dibatasi oleh kekuatan-
hanya mengubah teks peraturan perundangan dan sering kekuatan seperti jejaring aktor yang dominan maupun
tidak dilakukan melalui perbaikan narasi kebijakan yang narasi. Apabila terjadi tekanan yang kuat untuk
dimaksud. Narasi kebijakan yang ada cenderung tidak mengadopsi strategi tertentu, maka pembuat keputusan
berubah dari tahun ke tahun dan bahkan dipertahankan tidak memiliki ruang yang lebar untuk memper-
oleh elit birokrat sebagai dinding yang tebal yang sangat timbangkan opsi-opsi yang beragam. Aktor atau
sulit ditembus. Hal itu tidak mungkin dirobohkan, jaringan yang memiliki kapasitas (leverage) yang sangat
karena telah terpakunya narasi kebijakan/menjadi besar atas proses dapat memaksakan preferensinya
bagian dari, bukan hanya isi peraturan perundangan dalam pembentukan pilihan kebijakan (IDS 2006).
akan tetapi juga kelembagaan atau institusi yang Situasi tersebut terjadi dalam pembuatan kebijakan
menentukan cara pikir, cara kerja, cara menentukan rehabilitasi dan reklamasi hutan. Pemerintah dan
subyek dan obyek pembangunan, cara mengukur pemegang IPPKH mempunyai kekuatan politik yang
keberhasilan, maupun cara untuk menginterpretasikan kuat sehingga dapat menanamkan narasi kebijakannya
situasi dan kondisi di lapangan dalam pelaksanaan dalam membuat keputusan.
kebijakan rehabilitasi dan reklamasi hutan (Jones dan Narasi kebijakan tandingan (conter policy narrative)
McBeth 2010). Jaringan aktor yang terbentuk yang yang diusung oleh pihak kontra pemerintah hanya
mengusung narasi kebijakan tersebut sangat kuat dan sebatas dipahami oleh pembuat kebijakan, akan tetapi
tak tertembus sehingga kondisinya tidak kondusif untuk tidak dapat diwujudkan untuk memperbaiki kebijakan
merubah kebijakan yang dominan itu (IDS 2006). yang ada. Untuk memperbaiki kebijakan tersebut perlu
Akibat yang ditimbulkan dari kepentingan pemerintah/ penguatan jaringan pembawa narasi kebijakan tan-
pemegang IPPKH yang hanya sebatas memenuhi dingan. Hal itu dapat dijembatani dengan pembentukan
kepentingan administrasi dan politik, mengakibatkan ruang populer, yaitu dengan menggunakan media massa
permasalahan yang ada sulit atau bahkan tidak pernah dan media sosial sebagai sarana untuk membangun
terselesaikan dengan baik dan akan selalu berulang jaringan melalui gerakan sosial, agar dapat membuat
menjadi sebuah tradisi kesalahan di setiap periodenya. 8 tekanan/mempengaruhi proses pembuatan kebijakan
Di lain pihak, terdapat kelompok yang kontra dengan memberikan narasi kebijakan tandingan.
dengan kebijakan pemerintah, mengusung narasi
kebijakan yang berbeda yang berusaha untuk merubah
narasi kebijakan yang ada. Kelompok ini berusaha SIMPULAN DAN SARAN
mencoba memecahkan masalah teknis yang didahului
dengan mencari/menemukenali kembali diskursus/ Adanya ketidaksesuaian antara teks kebijakan
narasi yang diperlukan sebagai pembaharuan kebijakan. dengan kondisi faktual, antara lain belum diaturnya
Kelompok ini berusaha untuk mendekonstruksi narasi penyiapan pra kondisi, pemeliharaan dan pertanggung-
yang sudah ada guna mengungkap ideologi yang jawaban kehilangan aset, partisipasi dan pemberdayaan
8
serta transparansi. Dalam implementasi kebijakan
RHL tidak signifikan meningkatkan penutupan lahan.
Terjadi penurunan penutupan lahan pada periode 2010-2014
rehabilitasi dan reklamasi hutan terdapat penyimpangan,
sebesar 32.8 ribu ha, sedangkan realisasi penanaman RHL high transaction cost, rendahnya partisipasi, dan
periode tahun 2010-2014 sebesar 2.8 juta ha (Baplan 2008; rendahnya legitimasi, yang diakibatkan oleh tidak
Ditjen BPDASPS 2014; Ditren PKTL 2015). efektifnya komunikasi, struktur birokrasi, disposisi/
Vol. 07 Desember 2016 Efektivitas Implementasi Kebijakan Rehabilitasi & Reklamasi Hutan 187

watak dan sumber daya. Untuk meningkatkan efek- [IDS] Institute of Development Studies. 2006.
tivitas implementasi kebijakan dan kelembagaan Understanding Policy Process: A Review of IDS
rehabilitasi dan reklamasi hutan, maka pemerintah perlu Research on The Environment. Brighton (UK):
mengefektifkan komunikasi, struktur birokrasi, dispo- University of Sussex.
sisi/watak, dan sumber daya, disamping itu perlunya Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
membangun jaringan melalui gerakan sosial dengan untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta (ID): Universitas
menggunakan media massa dan media sosial agar dapat Indonesia.
membuat tekanan pada proses pembuatan kebijakan Jensen MC, Meckling WH.1976. Theory of The Firm :
dengan memberikan narasi kebijakan tandingan. Managerial Behaviour, Agency Cost, and
Memasukkan aspek sosial ekonomi, politik, dan Ownership Structure. Journal of Financial
kelembagaan di dalam perbaikan kebijakan rehabilitasi Economic. 3: 305-360. Norht Holland Publishing.
dan reklamasi hutan serta pemilihan lokasi harus Jones MD, McBeth MK. 2010. A Narative Policy
dilakukan secara selektif dan diutamakan pada kawasan Framework: Clear Enogh to Be Wrong. Journal of
KPH untuk memastikan legalitas dan legitimasi Policy Studies.
penguasaan lahannya. Kartodihardjo H. 2006. Masalah kelembagaan dan arah
kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Jurnal
Analisis Kebijakan Kehutanan. 3(1): 29-41.
UCAPAN TERIMA KASIH [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Rencana
Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis Jakarta (ID): Kemenhut.
sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartdodihardjo, [Kemenkeu] Kementerian Keuangan. 2013. Peraturan
MS dan Dr. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA selaku Menteri Keuangan No.214/PMK.05/2013 tentang
komisi pembimbing dan semua pihak yang membantu Bagan Akun Standar. Jakarta (ID): Kemenkeu.
kelancaran penelitian ini. [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehu-
tanan. 2015. Statistik Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan 2014. Jakarta (ID):
DAFTAR PUSTAKA Pusdatin-KLHK.
Lipsky M.1980. Street-level Bureaucracy: Dilemmas of
[Baplan] Badan Planologi Kehutanan. 2008. Rekalkulasi the Individual in Public Services. New York (US):
Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008. Jakarta Russell Sage Foundation.
(ID): Dephut. Nawir AA, Murniati, Rumboko L. 2007. Forest
Barr CA, Dermawan A, Purnomo H, Komarudin H. Rehabilitation in Indonesia: Where to After More
2010. Financial Governance and Indonesia’s Than Three Decades. Bogor (ID): CIFOR.
Reforestation Fund: A Political Economic Analysis [Persaki] Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia. 2006.
of Lesson for REDD. Bogor (ID): CIFOR. Kajian Kinerja Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan
Diamond J. 2005. Collapse: How Societies Chose to Lahan. Jakarta (ID): Persaki.
Fail or Survive. London (UK): Penguin Book Ltd. Ribbot JC, Peluso NL. 2003. A theory of acces. Journal
[Ditjen BPDASPS] Direktorat Jenderal Bina Rural Sociology. 68(2): 153-181.
Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. 2014. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif.
Statistik Ditjen BPDASPS Tahun 2014. Jakarta Bandung (ID): Alfabeta.
(ID): Kemenhut. Schlager R, Ostrom E. 1992. Property right regime and
[Ditjen PTKL] Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan natural resources: a conceptual analysis. Journal
dan Tata Lingkungan. 2015. Rekalkulasi Land Economic. 8(3): 249-262.
Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2014. Jakarta Trusty T, Cerveny LK. 2012. The role of discretion in
(ID): KLHK. recreation decision-making by resource profes-
Dunn WN. 1999. Analisis Kebijakan Publik. sionals in the USDA Forest Service. Journal of
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Environmental Management. 107:114-
Edward III GC. 1980. Implementing Public Policy. 123.doi:10.1016/j.jenvman.2012.04.021.
Washington (USA): Congressional Quarterly Zubayr S, Darusman D, Nugroho B, Nurrochmat DR.
Press. 2014. Peranan para pihak dalam implementasi
Ellsworth, L. 2004. A Place in the World: A review of kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk
the global debate on tenure security. pertambangan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehu-
tanan. 11(3): 239-259.

You might also like