You are on page 1of 19

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.

1, Mei 2019 : 11-29


p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi RISTEKDIKTI No. 30/E/KPT/2018

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE UNTUK


MENDUKUNG MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
(Effectiveness of Mangrove Management Policies to Support Climate Change Mitigation
in East Kalimantan Province)
Mimi Salminah & Iis Alviya
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16118, Indonesia.
E-mail: mimiaruman@yahoo.com.sg, iis_alviya@yahoo.com

Diterima 21 September 2018, direvisi 27 Februari 2019, disetujui 2 April 2019

ABSTRACT

As a climate change mitigation action, East Kalimantan Province has targeted emission reduction from
mangrove forest. Mangrove-related policies at national and local levels have been issued before and after the
program execution. It is necessary to measure the effectiveness of the policies to identify potential challenges in its
implementation, particularly from policy aspect. This analysis is required to support the Government in achieving
the emission reduction target, so it would obtain payment compensation from World Bank by 2024. Effectiveness
of the policies is analysed using Grindle Theory combined with climate change mitigation principles in mangrove
management. The results show that there is still ineffectivences in implementing climate change mitigation on
mangrove management including requirements for technical regulations determining the content of the issued
policies, provision of one mangrove and land use data, and of green fish pond management options. Moreover,
coordination among related sectors, raising awareness programs, and facilitation for local coastal community to
apply sustainable mangrove management play significant role in the effectiveness of the implementation. In theory,
the effectiveness of policy implementation is affected by clarity of policy content, both in conceptual and practical
terms, through coordination and communication within related actors, both authorities and affected actors.

Keywords: Mangrove management policy; climate change mitigation; policy effectiveness; land use.

ABSTRAK
Sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur menargetkan penurunan emisi
dari hutan mangrove. Kebijakan terkait pengelolaan mangrove, baik di tingkat nasional maupun Provinsi Kaltim
telah banyak dikeluarkan sebelum dan sesudah program perubahan iklim dideklarasikan. Diperlukan kajian untuk
mengukur efektivitas kebijakan tersebut sehingga dapat diketahui potensi kendala upaya mitigasi perubahan
iklim dilihat dari aspek kebijakannya. Kajian ini diperlukan agar pemerintah Provinsi Kaltim dapat mencapai
target penurunan emisi dan mendapat kompensasi pembayaran dari World Bank pada tahun 2024. Efektivitas
kebijakan dianalisis menggunakan pendekatan teori Grindle yang dikombinasikan dengan konteks mitigasi
perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove. Hasil analisis menunjukkan masih terdapat ketidakefektifan dalam
pelaksanaan mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan mangrove, di antaranya adalah belum adanya peraturan
teknis sebagai peraturan lanjutan yang menjelaskan isi kebijakan nasional yang telah dikeluarkan, penyediaan
satu data mangrove dan tata guna lahan, serta penyediaan opsi pengelolaan mangrove ramah lingkungan. Selain
itu, diperlukan koordinasi antar sektor terkait, sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat pesisir dalam
pemanfaatan mangrove secara berkelanjutan khususnya untuk tambak. Secara konseptual, kajian ini menunjukkan
bahwa keberhasilan suatu kebijakan juga dipengaruhi oleh kejelasan isi kebijakan, baik yang bersifat konsep
maupun praktis, serta proses koordinasi dan komunikasi antar pihak, baik yang berwenang maupun yang terkena
dampak kebijakan.

Kata kunci: Kebijakan pengelolaan mangrove; mitigasi perubahan iklim; efektivitas kebijakan; tata guna lahan.

©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.11-29 11
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

I. PENDAHULUAN mangrove adalah 3,5 juta ha yang terdiri


Meskipun luas hutan mangrove hanya dari 2,2 juta ha dalam kawasan dan 1,3 juta
sekitar 3,7% luas tutupan hutan di Indonesia ha di luar kawasan (KLHK, 2017). Beberapa
tetapi mangrove memiliki peran penting faktor penyebab rusaknya hutan mangrove
dalam upaya pengendalian perubahan iklim di Indonesia adalah konversi hutan bakau
(PI). Luas hutan mangrove dunia hanya menjadi tambak, perkebunan kelapa sawit,
sekitar 1% dari luas hutan tropis tetapi pertanian, tambak garam, pemukiman,
kontribusi penyerapan karbonnya tiga kali industri, logging, penambangan, dan bencana
lebih tinggi daripada hutan tropis (Bhomia, alam. Dari berbagai faktor tersebut, penyebab
Kauffman, & McFadden, 2016). Kandungan utama kerusakan mangrove adalah konversi
karbon hutan mangrove wilayah Indo- mangrove untuk tambak ikan dan udang
Pacific mencapai 1.023 MgC ha−1 (Donato, yang berkembang pesat pada periode tahun
Kauffman, & Murdiyarso, 2011), sedangkan 1997-2005 dan menghasilkan pembangunan
hutan mangrove Indonesia sendiri memiliki tambak aktif seluas 0,65 miliar ha (Kauffman
cadangan karbon sekitar 1.083±378 MgC et al., 2017; Murdiyarso et al., 2015). Temuan
ha−1 atau 3,14 PgC (Murdiyarso et al., 2015). tersebut memperkuat penelitian (Giri et al.,
Selain itu, mangrove juga memiliki 2008) yang menyimpulkan bahwa sekitar
beragam manfaat ekonomi di antaranya 40% luasan mangrove di Indonesia telah
berperan sebagai sumber produksi kayu dan mengalami kerusakan selama 3 dekade akibat
perikanan, penyedia berbagai jasa lingkungan, konversi untuk pengembangan budidaya
serta memiliki potensi ekoturisme (Karlina, perairan. Kerusakan tersebut setara dengan
Kusmana, Marimin, & Bismark, 2016; tingkat emisi sebesar 0,07-0,21 Pg CO2e per
Kuenzer, Bluemel, Gebhardt, Quoc, & Dech, tahun (Murdiyarso et al., 2015).
2011; Masood, Afsar, Zamir, & Kazmi, 2015). Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim)
Sebagai contoh, penelitian (Prasetiyo, Zulfikar, berperan penting dalam upaya konservasi
Shinta, & Zulkarnain, 2016) menunjukkan mangrove di Indonesia. Sebelum era otonomi,
bahwa nilai ekonomi hutan mangrove Pulau Provinsi Kaltim merupakan provinsi kedua
Untung Jawa mencapai sekitar Rp 7,9 miliar setelah Irian Jaya yang memiliki total luas
per tahun yang terdiri dari nilai guna langsung mangrove terluas di Indonesia. Meskipun
dan tidak langsung. demikian, berdasarkan rasio luas ekosistem
Ancaman terhadap kelestarian ekosistem mangrove terhadap luas wilayah, Provinsi
mangrove di Indonesia semakin tinggi seiring Kaltim memiliki rasio tertinggi yaitu sekitar
dengan meningkatnya jumlah penduduk. 3,8%. Sementara itu, data deforestasi Provinsi
Data Kementerian Kehutanan tahun 2000 Kaltim dan Kalimantan Utara tahun 2017
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki luas menunjukkan deforestasi hutan mangrove
hutan mangrove sekitar 7,7 juta ha. Dari luasan primer seluas 5.142 ha, terbesar dibandingkan
tersebut hanya 30,7% dalam kondisi baik. provinsi lainnya.
Pada tahun 2009, menurut Badan Koordinasi Selain itu, Provinsi Kaltim merupakan
Survei dan Pemetaan (Bakosurtanal yang satu-satunya provinsi percontohan program
sekarang telah berubah menjadi Badan Reduced Emission from Deforestation and
Informasi Geospasial), hutan mangrove yang Forest Degradation (REDD+) sebagai
tersisa diperkirakan hanya sekitar 3,2 juta upaya mitigasi perubahan iklim sejak tahun
ha atau terjadi penurunan sekitar 4,5 juta ha 2016. Program tersebut dibiayai oleh Forest
dalam waktu 9 tahun (Eddy, Ridho, Iskandar, Carbon Partnership Facility - Carbon Fund
& Mulyana, 2016). Data terbaru Kementerian (FCPF-CF) World Bank. World Bank akan
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan insentif positif apabila Provinsi
tahun 2017 menunjukkan bahwa luas hutan Kaltim berhasil menurunkan emisinya pada

12
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

periode tahun 2020- 2024, di mana penurunan pada tahun 2023 (tahap pertama) dan tahun
emisi dari pengelolaan mangrove menjadi 2025 (tahap kedua).
salah satu targetnya.
Sampai saat ini, terdapat berbagai kebijakan II. METODE PENELITIAN
terkait pengelolaan mangrove, baik berupa
A. Kerangka Pikir
peraturan maupun program di tingkat nasional
maupun provinsi. Meskipun demikian, Kebijakan merupakan suatu alat yang
penelitian kebijakan pengelolaan mangrove digunakan untuk mencapai suatu tujuan
khususnya dalam konteks mitigasi perubahan tertentu. Untuk mencapai target penurunan
iklim masih sedikit dibandingkan dengan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, KLHK
aspek biofisiknya (Mwangi et al., 2017). sebagai national focal point program mitigasi
Beberapa penelitian yang telah dilakukan perubahan iklim telah menetapkan empat
seperti Friess et al. (2016), Lugina, Alviya, strategi utama di sektor kehutanan yaitu
Indartik, & Pribadi (2017), dan Mwangi et al. pencegahan deforestasi 0,325 juta ha per
(2017) mengidentifikasi beberapa isu dalam tahun, rehabilitasi 12 juta ha lahan kritis,
kebijakan terkait pengelolaan mangrove, restorasi 2 juta ha gambut serta penerapan
di antaranya adalah adanya konflik dan sustainable forest management. Untuk
ketidakjelasan tujuan kebijakan, kurangnya mendukung strategi mitigasi perubahan
koordinasi antar pihak yang berwenang, serta iklim tersebut, kebijakan pengelolaan
sulitnya pelaksanaan kebijakan di tingkat mangrove, baik di tingkat pusat maupun
lapangan. Selain itu, terdapat tumpang tindih daerah harus berorientasi pada pencegahan
kepentingan yang menciptakan ambiguitas deforestasi mangrove akibat konversi
kepemilikan hutan mangrove, menyulitkan menjadi penggunaan lain khususnya tambak
pengelolaan serta mengarah pada konflik yang merupakan penyebab utama kerusakan
(Eddy et al., 2016; Walters et al., 2008). Oleh mangrove. Hal ini sejalan dengan temuan
karena itu, untuk mengukur keberhasilan Murdiyarso et al. (2015) yang mengemukakan
upaya mitigasi perubahan iklim melalui bahwa pencegahan deforestasi mangrove di
pengelolaan mangrove berkelanjutan, Indonesia mampu mengurangi emisi sekitar
diperlukan analisis lebih lanjut terhadap 10-30% per tahun dari sektor kehutanan.
kebijakan pengelolaan mangrove yang ada, Selain itu, upaya mitigasi juga dilakukan
apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan melalui rehabilitasi ekosistem mangrove yang
efektif untuk mendukung upaya mitigasi sudah rusak seperti bekas tambak yang sudah
perubahan iklim. tidak aktif lagi.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis Terdapat dua sektor kunci dalam
efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove pengelolaan ekosistem mangrove, yaitu sektor
untuk mendukung upaya mitigasi perubahan kehutanan serta sektor perikanan dan kelautan.
iklim, baik di tingkat nasional maupun Sektor kehutanan memiliki kewenangan
provinsi, yang dalam hal ini mengambil mengelola mangrove yang masuk ke dalam
kasus di Provinsi Kaltim. Hasil kajian dapat kawasan hutan, sedangkan mangrove di luar
memberikan gambaran bottleneck upaya kawasan hutan berada di bawah kewenangan
mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan sektor perikanan dan kelautan. Oleh karena
mangrove dilihat dari aspek kebijakan serta itu, kebijakan pengelolaan mangrove yang
memberikan rekomendasi solusinya. Secara ada pada umumnya dipengaruhi oleh
khusus, kajian ini diperlukan untuk membantu kepentingan dan kewenangan kedua sektor
pemerintah Provinsi Kaltim mencapai target tersebut. Sementara itu, pihak yang paling
penurunan emisi sehingga mendapat insentif terkena dampak dari kebijakan pengelolaan
positif dari World Bank yang akan diberikan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi

13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

perubahan iklim adalah para petani tambak. oleh masyarakat atau perubahan ekosistem
Efektivitas berbagai kebijakan terkait mangrove secara fisik.
pengelolaan mangrove untuk mendukung 4) Kejelasan pelaksana kebijakan
upaya mitigasi perubahan iklim dianalisis Kebijakan dapat dilaksanakan oleh
menggunakan pendekatan teori implementasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau
kebijakan Grindle (1980), serta diselaraskan masyarakat.
dengan konteks mitigasi perubahan
iklim dalam pengelolaan mangrove, yaitu 5) Tingkat kepatuhan dan respon para pihak
pencegahan konversi mangrove menjadi yang terlibat
tambak serta rehabilitasi mangrove. Langkah Tingkat kepatuhan diukur dengan menilai
pertama pengukuran efektivitas kebijakan perubahan perilaku stakeholder mengikuti
adalah menganalisis apakah isi kebijakan apa yang diharapkan dari suatu kebijakan.
tersebut sesuai dengan konteks mitigasi B. Pengumpulan Data
perubahan iklim. Apabila kebijakan tersebut
Review berbagai literatur, dokumen
sesuai konteks mitigasi perubahan iklim,
peraturan dan kebijakan lain terkait
kemudian efektivitas kebijakan untuk
pengelolaan mangrove di level nasional dan
mendukung upaya mitigasi perubahan
Provinsi Kaltim dilakukan untuk mengkaji
iklim dianalisis lebih lanjut menggunakan
orientasi kebijakan serta variabel efektivitas
pendekatan teori Grindle. Teori Grindle
kebijakan dalam teori Grindle. Selain itu, data
menyatakan bahwa efektivitas pelaksanaan
dan informasi tentang kebijakan pengelolaan
kebijakan sangat bergantung pada isi
mangrove di tingkat nasional dan provinsi
kebijakan (content of policy) dan konteks
serta kondisi pengelolaan mangrove di tingkat
implementasi (contex of implementation).
tapak dikumpulkan melalui wawancara
Kebijakan yang efektif harus memperhatikan
mendalam (in-depth interview) dengan para
beberapa variabel di antaranya yaitu:
pihak/instansi yang terlibat dalam pengelolaan
1) Kepentingan para pihak terkait ekosistem mangrove. Wawancara juga
Pihak yang paling relevan dengan ditujukan untuk mengkonfirmasi kepentingan
pengelolaan mangrove adalah sektor antar sektor terhadap pengelolaan mangrove,
kehutanan yang mengedepankan aspek proses interaksi dan koordinasi yang
kelestarian ekologi, sektor perikanan dilakukan antar sektor dalam merumuskan dan
yang memiliki kepentingan peningkatan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan
produktivitas perikanan, serta masyarakat mangrove, serta untuk mengkonfirmasi
yang berorientasi pada peningkatan temuan dari review dokumen. Perkembangan
pendapatan. kondisi pengelolaan mangrove di tingkat tapak
2) Manfaat yang akan didapatkan dilakukan melalui pengamatan langsung di
lapangan dan berdasarkan referensi berbagai
Terdapat dua kategori manfaat utama yaitu literatur hasil penelitian di lokasi kajian.
ekonomi dan ekologi. Kepentingan para Wawancara difokuskan pada sektor
pihak dan manfaat ekologi, ekonomi diukur kehutanan serta sektor kelautan dan
melalui kontribusi kegiatan pengelolaan perikanan, yang merupakan dua sektor kunci
mangrove terhadap pendapatan daerah dan dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
masyarakat, serta penerapan aspek kelestarian Pihak yang diwawancara adalah KLHK,
dalam pengelolaan mangrove. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
3) Skala perubahan/target yang ingin dicapai Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim,
dari kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Bappeda
Variabel perubahan yang diukur adalah Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan dan
perubahan budaya pengelolaan mangrove Perikanan Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan

14
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

dan Perikanan Kabupaten Kutai Kertanegara, fungsi ekologis pesisir. Kebijakan tersebut
serta Non Government Organisations (NGO) ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden
nasional dan lokal yang terkait pengelolaan (Perpres) No. 73/2015 tentang Pelaksanaan
mangrove. Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Tingkat Nasional. Dalam
C. Analisis Data
Perpres No. 73/2015 ini diatur tata cara
Kombinasi analisis konten dan analisis pelaksanaan koordinasi pengelolaan wilayah
deskriptif kualitatif digunakan untuk dapat pesisir dan pulau-pulau kecil tingkat nasional
menyimpulkan apakah isi dan konteks yang bertujuan agar pelaksanaan kegiatan
implementasi kebijakan terkait pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
mangrove sudah sesuai dengan konteks kecil pada tingkat nasional menjadi harmoni,
mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan sinergi, terpadu, dan berkelanjutan.
mangrove serta memperhatikan variabel Kebijakan nasional mangrove juga
efektivitas kebijakan dalam teori Grindle. mengacu pada Perpres No. 73/2012 tentang
Analisis konten adalah suatu metode untuk Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
menganalisis data kualitatif yang fokus Mangrove. Perpres tersebut mengatur arah
pada subjek dan konteks dalam menekankan kebijakan, asas, visi, misi, dan sasaran
variasi, seperti kesamaan dan perbedaan antara pengelolaan ekosistem mangrove. Salah
bagian-bagian dalam teks. Analisis ini dapat satu misinya adalah melakukan konservasi
digunakan pada berbagai tingkat abstraksi dan rehabilitasi ekosistem mangrove
dan interpretasi (Graneheim, Lindgren, & pada kawasan lindung dan budidaya serta
Lundman, 2017). Dasar epistemologis dari meningkatkan kesejahteraan masyarakat
analisis ini adalah bahwa data dan interpretasi melalui peningkatkan nilai manfaat
adalah kreasi orang yang diwawancarai dan sumberdaya mangrove dan pemanfaatan
pewawancara, dan interpretasi selama fase ekosistem mangrove yang bijak.
analisis adalah kreasi para peneliti dan teks Selain itu, kebijakan pengelolaan ekosistem
(Sandelowski, 2011). Dengan demikian teks mangrove memiliki keterkaitan dengan
diartikan menyiratkan lebih dari satu makna berbagai regulasi lainnya, baik secara langsung
tunggal. maupun tidak langsung. Pada tahun 2017,
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
mengeluarkan peraturan tentang Kebijakan,
A. Kebijakan Nasional Terkait Strategi, Program, dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Mangrove Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional
Kebijakan nasional pengelolaan mangrove sebagai tindak lanjut Perpres No. 73/2012.
merujuk pada Undang-Undang (UU) No. Peraturan tersebut menargetkan pemulihan
27/2007 yang telah diubah menjadi UU mangrove 3,49 juta ha pada tahun 2045 serta
No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah mengamanahkan KLHK, Badan Pertanahan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut Nasional (BPN), serta KKP untuk menyusun
membolehkan penebangan mangrove pada kriteria ekosistem mangrove sebagai kawasan
kawasan yang telah dialokasikan untuk lindung/konservasi atau kawasan budidaya/
budidaya perikanan sepanjang memenuhi pemanfaatan, serta untuk menyusun norma,
kaidah-kaidah konservasi. Meskipun prosedur, standar, dan kriteria (NPSK)
membolehkan penebangan mangrove, mekanisme konversi mangrove. Kesesuaian
tetapi UU tersebut melarang konversi kebijakan nasional pengelolaan dengan
ekosistem mangrove di zona budidaya konteks mitigasi perubahan iklim tersaji
yang tidak memperhitungkan keberlanjutan dalam Tabel 1.

15
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

Tabel 1 Kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat nasional


Table 1 Mangrove management policies at national level

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan


Kebijakan/program mangrove
(Policies/programs) (Support to climate change mitigation in mangrove management)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
1. UU No. 27 tahun 2007 tentang a. Melarang menggunakan cara dan metode -
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan yang merusak ekosistem mangrove
Pulau-pulau Kecil, diubah melalui dalam pemanfaatan wilayah pesisir
UU No. 1 tahun 2014 b. Melarang konversi ekosistem mangrove
di kawasan atau zona budidaya yang
tidak memperhitungkan keberlanjutan
fungsi ekologis pesisir
2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penetapan kawasan pantai berhutan bakau -
Penataan Ruang (Rhizophora sp.) sebagai kawasan lindung
nasional
3. UU No. 31 Tahun 2004 tentang - Mendukung reboisasi
Perikanan hutan bakau untuk
meningkatkan sumberdaya
perikanan
4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Pelarangan pemanfaatan kayu bakau dan -
Tahun 2008 tentang Rencana Tata pelarangan kegiatan yang dapat mengubah,
Ruang Wilayah Nasional mengurangi luas dan/atau mencemari
ekosistem bakau dalam sistem zonasi
mangrove
5. Perpres No. 73 Tahun 2012 - Melakukan konservasi
tentang Strategi Nasional dan rehabilitasi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove ekosistem mangrove
pada kawasan lindung
dan kawasan budidaya
serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat
6. Perpres No.73 tahun 2015 Koordinasi satu pintu pengelolaan wilayah -
tentang Pelaksanaan Koordinasi pesisir di bawah KKP
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil Tingkat
Nasional
7. Peraturan Menteri Koordinator KLHK, KKP, Kemendagri harus Target pemulihan
Perekonomian No. 4 tahun 2017 menetapkan NPSK konversi mangrove mangrove 3,49 juta ha pada
tentang Kebijakan, Strategi, tahun 2045
Program, dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Nasional

Sistem pengelolaan mangrove dipengaruhi menjadi pedoman utama, apakah mangrove


oleh kebijakan pengelolaan pesisir dan menjadi kawasan pemanfaatan (budidaya)
perikanan karena mangrove merupakan salah atau kawasan konservasi. Kejelasan penetapan
satu ekosistem pesisir dan menjadi sumber kawasan tersebut memengaruhi sistem
produksi perikanan. Kebijakan lain yang pengelolaan mangrove yang dilaksanakan
memengaruhi adalah kebijakan tata ruang yang oleh pemerintah daerah. Kebijakan terkait

16
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

Tabel 2. Efektivitas kebijakan nasional pengelolaan mangrove berdasarkan teori Grindle


Table 2. Effectiveness of Mangrove management policies at national level referring to Grindle Theory

Efektivitas kebijakan menurut Teori Grindle


(Effectiveness of the policy referring to Grindle Theory)
Kejelasan
Kejelasan Tingkat
skala/target
Kebijakan/program Kepentingan Kejelasan pelaksana kepatuhan/res-
perubahan
(Policies/programs) para pihak manfaat kebijakan pon para pihak
(Clarity of
(Stakeholder (Clarity of (Clarity (Compliance
scale/target
interests) benefits) of policy level/response of
of the
implementor) stakeholders)
changes)
1. UU No. 27 tahun 2007 tentang V V - V -
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil, diubah
melalui UU No. 1 tahun 2014
2. UU No. 26 ahun 2007 tentang V V - V -
Penataan Ruang
3. UU No. 31 tahun 2004 tentang V V - - -
Perikanan
4. PP No. 26 tahun 2008 tentang V V V V -
Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
5. Perpres No. 73 tahun 2012 V V V V -
tentang Strategi Nasional
Pengelolaan Ekosistem
Mangrove
6. Perpres No.73 tahun 2015 V V V V -
tentang Pelaksanaan Koordinasi
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil Tingkat
Nasional
7. Peraturan Menteri Koordinator V V - V -
Perekonomian No. 4 tahun
2017 tentang Kebijakan,
Strategi, Program, dan Indikator
Kinerja Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Nasional
Keterangan (Remarks): V: Memenuhi persyaratan (Comply with the theory); -: Tidak memenuhi persyaratan
(Not comply).

kehutanan tidak mengatur secara spesifik mangrove sudah selaras dengan prinsip
hutan mangrove. Dalam kebijakan kehutanan, mitigasi perubahan iklim, baik pencegahan
pengelolaan hutan mangrove mengikuti status konversi maupun mendukung upaya
fungsi hutan mengrove itu sendiri. Misalnya, rehabilitasi mangrove. Meskipun demikian,
hutan mangrove yang berfungsi sebagai hutan keselarasan kebijakan pengelolaan mangrove
produksi maka kebijakan yang berlaku adalah dengan konteks mitigasi perubahan iklim
kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari belum menjamin efektivitas pelaksanaannya
(PHPL) yang mengatur teknik penebangan di tingkat tapak. Efektivitas pelaksanaan
yang lestari. Sementara itu penebangan kebijakan tersebut dianalisis menggunakan
tidak diperbolehkan di hutan mangrove yang teori Grindle sebagaimana tersaji dalam Tabel
termasuk fungsi lindung dan konservasi. 2.
Tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh Analisis efektivitas kebijakan pengelolaan
kebijakan nasional terkait pengelolaan mangrove di tingkat nasional yang mengacu

17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

pada teori Grindle menunjukkan bahwa dengan peraturan yang lebih teknis. Sebagai
pada dasarnya seluruh kebijakan telah contoh, pentingnya kriteria kawasan lindung
mengakomodir kepentingan para pihak, dan budidaya ekosistem mangrove, kebijakan
baik untuk tujuan perlindungan mangrove, satu peta mangrove serta prosedur konversi
peningkatan produksi perikanan, maupun mangrove perlu ditetapkan dalam peraturan
kepentingan pemberdayaan masyarakat. teknis, misalnya peraturan menteri. Sampai
Hal tersebut sesuai dengan prinsip mitigasi saat ini peraturan-peraturan teknis sebagai
perubahan iklim di mana kepentingan sosial tindak lanjut dari kebijakan nasional yang
ekonomi masyarakat merupakan salah satu telah digariskan belum tersedia sehingga risiko
bagian penting. Sidik, Supriyanto, Krisnawati, kerusakan mangrove masih tinggi. Selain itu,
& Muttaqin (2018) dan Primavera & Esteban tim koordinasi pengelolaan mangrove yang
(2008) mengemukakan bahwa upaya mitigasi seharusnya diketuai oleh Menteri LHK dan
perubahan iklim di sektor pengelolaan beranggotakan lintas sektor sesuai dengan
mangrove yang hanya mengedepankan amanat Perpres No. 73 tahun 2012 belum
konservasi berisiko menimbulkan konflik terbentuk. Dikeluarkannya Perpres No.
dengan masyarakat sekitar. Maknanya, 73 tahun 2015 menimbulkan ketumpang-
membuka akses masyarakat terhadap tindihan kewenangan antara KLHK dan KKP
pemanfaatan mangrove menjadi penting terkait koordinasi pengelolaan mangrove
dalam kebijakan pengelolaan mangrove untuk yang masuk ke dalam wilayah pesisir.
mendukung mitigasi perubahan iklim. Isu penting lain dalam kebijakan
Namun demikian, kejelasan manfaat bagi pengelolaan mangrove terkait teori Grindle
para pihak terkait tidak selalu diikuti oleh adalah ketidakjelasan pelaksana kebijakan
kejelasan skala perubahan yang ditargetkan dari kegiatan reboisasi sebagaimana tertera
kebijakan-kebijakan tersebut. Ketidakjelasan dalam UU No. 31/2004. Selain itu, tingginya
kaidah konservasi dalam pemanfaatan kepentingan ekonomi masyarakat terhadap
mangrove mengakibatkan target konservasi mangrove sering menyebabkan tingkat
mangrove sulit tercapai. Sampai saat ini, kepatuhan masyarakat terhadap aturan
teknologi konservasi dalam pemanfaatan konservasi yang ditetapkan dalam kebijakan
mangrove belum banyak dikembangkan dan pengelolaan mangrove menjadi rendah. Hal
disosialisasikan kepada masyarakat. Selain tersebut diperparah dengan ketidakjelasan
itu, penerimaan masyarakat terhadap sistem penetapan zona perlindungan dan
silvofishery, salah satu teknik pengelolaan pemanfaatan. Wibowo, Boesono, & Aditomo
tambak ramah lingkungan, masih rendah. Hal (2012) menunjukkan bahwa masyarakat
ini disebabkan selain kurangnya sosialisasi, pesisir kurang memahami arti sistem zonasi
silvofishery membutuhkan tambahan biaya di mana masyarakat masih berkeinginan
investasi awal serta proses klasterisasi tambak untuk memanfaatkan zona lindung untuk
(Bosma, Nguyen, Siahainenia, Tran, & Tran, usaha perikanan.
2014). Kebijakan penetapan mangrove jenis
Ketidakjelasan target kebijakan juga bakau sebagai kawasan lindung, sementera
dipicu oleh belum selesainya penyusunan satu jenis bukan bakau dapat berfungsi sebagai
peta mangrove serta masih diperlukannya areal budidaya sejalan dengan konsep buffer
peraturan teknis sebagai penjelasan dari zone. Buffer zone dikembangkan di sekeliling
regulasi yang telah dikeluarkan. Kebijakan area yang akan dilindungi untuk mengurangi
di tingkat nasional yang merekonsiliasi tekanan masyarakat sekitar terhadap area
kepentingan konservasi dan kepentingan yang dilindungi tersebut (Mehring & Stoll-
kesejahteraan masyarakat melalui “syarat Kleemann, 2011). Dengan demikian, penetapan
kaidah konservasi” perlu ditindaklanjuti bakau sebagai zona lindung diharapkan dapat

18
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

menjadi pelindung bagi zona dalam menuju KKP dan KHLK sebagai dua institusi yang
lautan, sedangkan zona yang dekat daratan berwenang dalam koordinasi pengelolaan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mangrove. Peraturan Menteri Koordinator
menerapkan kaidah kelestarian. Hanya saja, (Permenko) Perekonomian No. 4/2017
kebijakan ini perlu didukung oleh kejelasan kemudian menegaskan kembali perlunya
peta zonasi mangrove sehingga tidak terjadi koordinasi antar sektor yang terkait dengan
tumpang tindih antara kawasan lindung dan pengelolaan mangrove khususnya KLHK,
kawasan budidaya. Ketidakjelasan kawasan KKP, dan Kementerian Agraria dan
lindung atau budidaya di tingkat tapak Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sering menyebabkan terjadinya saling klaim (Kementerian ATR/BPN). Kementerian ATR/
pengelolaan mangrove khususnya antara BPN berperan dalam penentuan kawasan
KLHK, KKP dan masyarakat setempat. lindung dan budidaya, sedangkan KLHK
Uraian di atas menggambarkan dan KKP memegang peran penting dalam
bahwa pada dasarnya kebijakan nasional pengelolaan mangrove di tingkat tapak,
pengelolaan mangrove yang ada telah sesuai khususnya terkait pengelolaan kawasan hutan
tujuan mitigasi perubahan iklim. Hanya saja, dan pemberdayaan masyarakat. Orientasi
kebijakan nasional pengelolaan mangrove kebijakan pengelolaan mangrove di kedua
untuk mitigasi perubahan iklim menjadi sektor tersebut akan memengaruhi kelestarian
kurang efektif akibat adanya ketidakjelasan hutan mangrove di Indonesia.
kaidah dan opsi konservasi sebagaimana Masalahnya adalah ketidakjelasan batas
tertera dalam narasi kebijakan, adanya mangrove yang merupakan kawasan hutan
tumpang tindih kebijakan, serta belum dan di luar kawasan hutan menjadikan area
adanya peraturan teknis sebagai tindak lanjut kewenangan kedua kementerian tersebut
dari kebijakan yang telah ditetapkan untuk juga menjadi tidak jelas. Salah satu pemicu
panduan pelaksanaan di tingkat tapak. ketidakjelasan kewenangan pengelolaan
Analisis lanjutan berdasarkan teori mangrove adalah belum selesainya penyusunan
Grindle juga menunjukkan bahwa pada satu peta mangrove yang dijadikan referensi
dasarnya konten seluruh kebijakan terkait bersama. Selain itu, perbedaan orientasi
pengelolaan mangrove sudah efektif, hanya pengelolaan mangrove kedua sektor tersebut
UU No. 31/2004 saja yang tidak menjelaskan sering menyebabkan tujuan kelestraian
secara tegas pelaksana kegiatan reboisasi mangrove sulit terwujud. Pengelolaan
hutan bakau sebagai upaya meningkatkan mangrove yang melibatkan berbagai sektor
sumberdaya perikanan. Dari sisi konteks khususnya perikanan, kehutanan, lingkungan,
implementasi, ketidakefektivan kebijakan dan daerah tertinggal menyebabkan berbagai
terjadi karena beberapa hal, di antaranya kebijakan yang ada sulit untuk dilaksanakan
tingkat kepatuhan masyarakat pesisir yang di tingkat tapak (Bosma, Sidik, van-Zwieten,
masih rendah serta kurangnya sosialisasi Aditya, & Visser, 2012).
terkait hal tersebut kepada petani tambak Untuk mendukung mitigasi perubahan
yang merupakan pihak paling terkena dampak iklim di sektor pengelolaan mangrove,
kebijakan. Hal ini menyebabkan perubahan KLHK memprioritaskan program dan
yang diharapkan sulit dicapai. alokasi anggaran setiap tahun untuk kegiatan
rehabilitasi mangrove. Anggaran kegiatan
B. Kebijakan Pengelolaan Mangrove
rehabilitasi mangrove juga bersumber dari
Antar Sektor Terkait
dana rehabilitasi yang dibebankan kepada
Adanya Perpres No. 73/2012 dan pemegang izin pinjam pakai kawasan melalui
Perpres No. 73/2015 menegaskan perlunya Permen LHK No. 50/2016. Untuk periode
sinkronisasi kebijakan yang dikeluarkan oleh tahun 2015-2019, KLHK menganggarkan

19
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

Tabel 3 Kebijakan pengelolaan mangrove sektor kehutanan


Table 3 Mangrove management policies at forestry sector

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan


mangrove
Kebijakan/program
(Support to climate change mitigation in mangrove management)
(Policies/programs)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
1. Instruksi Presiden a. Tidak ada izin baru untuk konversi -
No. 10/2011 tentang hutan mangrove primer
Penundaan Penerbitan Izin b. Konversi hutan hanya dibolehkan
Baru dan Penyempurnaan untuk kepentingan yang bersifat
Tata Kelola Hutan Alam strategis
Primer dan Lahan Gambut
2. Konservasi Kawasan Penetapan mangrove di luar kawasan -
Ekosistem Esensial (KEE) hutan sebagai KEE
mangrove
3. Program Rehabilitasi - Rehabilitasi hutan mangrove/pantai/
dan Reboisasi Mangrove rawa/ gambut seluas 31.675 ha pada
KLHK periode 2010-2014
4. Permen LHK No. 50/2016 - Penggunaan dana rehabilitasi
tentang Pedoman Pinjam yang bersumber dari pemegang
Pakai Kawasan Hutan izin pinjam pakai kawasan untuk
rehabilitasi mangrove
5. Program TORA Tidak selaras Tidak selaras

Rp21.250.000.000 untuk rehabilitasi pantai konflik tenure dengan masyarakat terkait


dan mangrove. pengelolaan hutan, berisiko mengancam
Upaya rehabilitasi mangrove di kawasan kelestarian hutan mangrove. Beberapa objek
hutan memberikan dampak positif terhadap TORA berada di hutan mangrove dan berisiko
upaya penurunan deforestasi di kawasan hutan berubah fungsi menjadi lahan budidaya
mangrove. Data statistik LHK tahun 2015 perikanan dan pertanian. Kebijakan dan
menunjukkan penurunan angka deforestasi program pengelolaan mangrove di sektor
hutan mangrove di Provinsi Kaltim pada tahun kehutanan diuraikan pada Tabel 3.
2013-2014. Kebijakan lain sektor kehutanan Tabel 3 menunjukkan bahwa kebijakan
yang mendukung mitigasi perubahan iklim pengelolaan mangrove di sektor kehutanan
adalah diberlakukannya moratorium izin sudah mendukung upaya mitigasi perubahan
konversi hutan primer termasuk hutan iklim, kecuali program TORA yang
mangrove primer sejak tahun 2011. Selain menjadi prioritas pemerintahan 2014-2019.
itu, KLHK juga sedang menyusun satu peta Berdasarkan Keputusan Menteri LHK No.
mangrove, di mana Jawa sudah mulai disusun SK.180/2017 tentang Peta Indikatif Alokasi
pada tahun 2013, Sumatera pada tahun 2014, Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber
Sulawesi pada tahun 2015, serta Bali dan Tanah Objek Reforma Agraria seluas kurang
Nusa Tenggara pada tahun 2016. Peta satu lebih 379.227 ha hutan yang sudah berupa
mangrove untuk seluruh wilayah diharapkan tambak dan sawah rakyat akan dilepas
selesai pada tahun 2019. menjadi hak masyarakat tanpa ada ketentuan
Di sisi lain, kebijakan pengalokasian tanah agar masyarakat mengembangkan pola
objek reforma agraria (TORA) seluas 4,1 juta agroforestri. Untuk menjaga fungsi ekosistem
ha yang diharapkan mampu menyelesaikan hutan khususnya mangrove, Pemerintah

20
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

Tabel 4 Kebijakan pengelolaan mangrove sektor perikanan


Table 4 Mangrove management policies at fishery sector

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam


pengelolaan mangrove
Kebijakan/program (Support to climate change mitigation in mangrove management)
(Policies/programs)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
1. Penghentian program rehabilitasi Tidak selaras Tidak selaras
dan reboisasi mangrove KKP
2. Target perluasan tambak KKP Tidak selaras Tidak selaras
2015-2019

perlu memberikan panduan pemanfaatan Dengan demikian, kepentingan ekonomi


lahan mangrove objek TORA melalui sektor perikanan menjadi ancaman bagi
pengembangan silvofishery. kelestarian ekosistem mangrove. Program dan
Program rehabilitasi lahan dan hutan kebijakan pengelolaan mangrove di sektor
mangrove memiliki kejelasan pelaksana, perikanan disajikan dalam Tabel 4.
target yang ingin dicapai serta sumberdaya Program perluasan tambak dan
yang dialokasikan. Tantangan utama peningkatan target produksi di sektor
efektivitas kebijakan di sektor kehutanan perikanan merupakan salah satu penyebab
merujuk teori Grindle adalah menyediakan tingkat deforestasi mangrove di areal budaya
opsi pengelolaan mangrove yang ramah lebih tinggi dibandingkan di kawasan hutan.
lingkungan serta sistem insentif khususnya Hal itu juga dapat menyebabkan tingkat
untuk menggantikan nilai ekonomi KEE, perambahan mangrove menjadi tinggi akibat
melakukan sosialisasi kepada masyarakat, perpindahan tambak yang tidak aktif setelah
serta perlunya pendampingan masyarakat 20 tahun. Data statistik KLHK tahun 2015
untuk mempraktikkan opsi tersebut. Hal menunjukkan bahwa deforestasi mangrove di
ini diperlukan untuk meningkatkan tingkat APL seluas 595.4 ha, sedangkan di kawasan
kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan hutan lebih kecil yaitu seluas 458.6 ha pada
yang ada. Penyediaan opsi lokasi lain selain periode tahun 2013-3014. Sebagian besar
hutan mangrove untuk objek TORA oleh deforestasi mangrove di kawasan hutan
Pemda juga dapat menjadi salah satu solusi terjadi akibat perambahan oleh masyarakat
untuk mencegah konversi hutan mangrove. untuk pengembangan tambak udang atau ikan
Sementara itu, kepentingan ekonomi di (Murdiyarso et al., 2015).
sektor perikanan khususnya target produksi
C. Kebijakan Pengelolaan Mangrove di
perikanan budidaya tambak merupakan
Provinsi Kaltim
salah satu hal yang berpotensi menghambat
pelaksanaan upaya mitigasi perubahan iklim. Kebijakan pengelolaan mangrove
KKP telah menargetkan perluasan 60.000 ha di tingkat nasional menjadi dasar bagi
tambak udang selama periode 2015-2019 yang pengelolaan mangrove di tingkat provinsi.
terdiri dari 10.000 ha tambak intensif, 20.000 Meskipun demikian, berdasarkan UU tentang
ha tambak semi-intensif, dan 30.000 ha tambak Pemda, pemda memiliki kewenangan untuk
tradisional. Ekspor perikanan tahun 2014 pun menentukan pemanfaatan mangrove. Sebelum
didominasi oleh ekspor komoditas udang menjadi provinsi percontohan REDD+,
yang dibudidayakan di tambak masyarakat. Pemda Kaltim telah mendeklarasikan

21
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

komitmen Green Kaltim pada tahun 2010 pertimbangan prioritas dalam isu perubahan
yang kemudian diperkuat dengan Peraturan iklim di Provinsi Katim meskipun telah
Gubernur (Pergub) Kaltim No. 22/2011 tentang mengusung Kaltim Hijau dalam target
Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau. Pergub pembangunannya.
tersebut mengamanatkan pembangunan Berdasarkan Rencana Strategis Wilayah
di setiap sektor harus mendukung prinsip Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K)
pembangunan rendah emisi, atau dengan kata Provinsi Kaltim tahun 2014-2034, luas hutan
lain mendukung mitigasi perubahan iklim. mangrove di Kaltim adalah 360.819,26 ha
Untuk mendukung pembangunan rendah yang tersebar di tujuh kabupaten/kota, yaitu
emisi di sektor mangrove, Pemda Kaltim Berau (22,35%), Kutai Timur (8,39%),
telah mengeluarkan berbagai kebijakan Bontang (0,56%), Kutai Kartanegara (36%),
sebagaimana digambarkan dalam Tabel 5. Balikpapan (0,52%), Penajam Paser Utara
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 10 (17,28%), dan Paser (15%). Sebagian besar
kebijakan yang diuraikan terkait pengelolan ekosistem mangrove di Kutai Kartanegara
mangrove, beberapa di antaranya tidak tersebar di kawasan Delta Mahakam yang
mendukung aksi mitigasi perubahan iklim sebagian wilayahnya masuk dalam Kesatuan
dalam pengelolaan mangrove. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta
tersebut tidak secara jelas menetapkan Mahakam. Namun demikian sekitar 75%
perlindungan ekosistem mangrove sebagai ekosistem mangrove di Provinsi Kaltim dalam
program prioritas dalam upaya penurunan kondisi terdegradasi dengan skala kerusakan
emisi di Provinsi Kaltim. Upaya rehabilitasi bervariasi (Dianawati, 2014). Program
mangrove hanya dilakukan di lokasi-lokasi pengembangan tambak telah menghambat
tertentu, tidak menyeluruh pada semua area upaya perlindungan ekosistem mangrove.
yang memiliki ekosistem mangrove yang Hal ini diperparah ketika tata batas mangrove
terdegradasi. Selain itu, Sungai Mahakam yang termasuk kawasan hutan dengan areal
yang merupakan sentra mangrove di Kaltim penggunaan lain belum jelas, sehingga
dialokasikan untuk pengembangan sistem penyediaan satu peta integratif yang menjadi
pengelolaan sumber daya air, termasuk pegangan bagi seluruh sektor merupakan hal
tambak. Hal tersebut mengindikasikan penting.
bahwa pengelolaan mangrove tidak menjadi Sebelum tahun 2010, Pemda Kaltim lebih

Tabel 5 Kebijakan pengelolaan mangrove di tingkat Provinsi Kaltim


Table 5 Mangrove management policies at East Kalimantan Province

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam


pengelolaan mangrove
Kebijakan
(Support to climate change mitigation in mangrove management)
(Policies)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
1. Perda Provinsi Kaltim No. Sistem zonasi untuk zona konservasi, -
07/2009 tentang Pengelolaan zona pemanfaatan, zona tertentu, dan
Sumberdaya Wilayah Pesisir, alur dapat menekan angka konversi
Laut dan Pulau-pulau Kecil mangrove
2. Perda Provinsi Kaltim No. - Rehabilitasi mangrove yang
7/2014 tentang Rencana tidak lagi menjadi program
Pembangunan Jangka prioritas tahun 2018 tidak
Menengah Daerah (RPJMD) selaras dengan mitigasi
Provinsi Kaltim tahun 2013- perubahan iklim
2018

22
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam


pengelolaan mangrove
Kebijakan
(Support to climate change mitigation in mangrove management)
(Policies)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
3. Perda Provinsi Kaltim No. Prioritas pengembangan jaringan -
15/2008 tentang Rencana tambak, sementara konservasi
Pembangunan Jangka Panjang mangrove tidak menjadi prioritas
Daerah Provinsi Kaltim Tahun tidak selaras dengan mitigasi
2005-2025 perubahan iklim
4. Perda No. 1/2016 tentang RTRW Penetapan konservasi mangrove -
Kaltim tahun 2016-2036 hanya di Delta Mahakam, Teluk
Balikpapan, Kepulauan Derawan, dan
Kepulauan Balabalagan, sedangkan
pengembangan tambak diizinkan di
seluruh kabupaten pesisir kecuali
Balikpapan bertentangan dengan
mitigasi perubahan iklim
5. Pergub Kaltim No. 13/2016 Pengembangan daerah perlindungan -
tentang Rencana Strategi laut untuk konservasi mangrove
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau selaras dengan mitigasi perubahan
Kecil Provinsi Kaltim Tahun iklim
2016-2036
6. Pergub No. 22/2011 tentang a. Berkontribusi dalam rencana Mendukung mitigasi
Pedoman Pelaksanaan Kaltim pembangunan nasional terkait perubahan iklim namun tidak
Hijau penurunan emisi nasional sebesar secara jelas memasukkan
26% sampai dengan 2020 konservasi mangrove dalam
b. Mengurangi terjadinya pencemaran pelaksanaan Kaltim Hijau
dan perusakan kualitas ekosistem
darat, air, dan udara di Kaltim
7. Rencana Kehutanan Tingkat Penyelamatan dan perluasan Mendukung mitigasi
Provinsi (RKTP) untuk jangka mangrove dan hutan pantai berbasis perubahan iklim, tetapi
waktu 20 tahun (2011-2030) partisipasi masyarakat lokal terutama sayangnya Kabupaten Berau
di Teluk Balikpapan, Bontang, yang memiliki luas mangrove
Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan kedua terbesar di Kaltim
Penajam Paser Utara. dan Kabupaten Paser tidak
menjadi prioritas.
8. Strategi dan Rencana Aksi a. Menghentikanan perizinan a. Mendukung mitigasi PI.
Provinsi (SRAP) Implementasi pembukaan lahan tambak pada b. Kejelasan target,
REDD+ Kaltim (kebijakan dan kawasan mangrove yang berhutan pelaksana, target output,
strategi pengurusan kawasan b. Mendorong perubahan tambak kelembagaan dan
berdasarkan kabupaten/kota tradisional ke tambak silvofishery sumberdaya
di Kalimantan Timur selama c. Perlu Pergub tentang peta yang c. Perlu mengintegrasikan
jangka waktu 20 tahun (2011- komprehensif SRAP ke dalam rencana
2030) d. Forum multi fihak pengelolaan kegiatan masing-masing
mangrove sektor/dinas
e. Peningkatan kesejahteraan nelayan
9. Visi Kaltim Hijau 2030 Tidak secara langsung menyebutkan Mendukung mitigasi PI
pengelolaan mangrove, namun secara secara umum, namun tidak
implisit tertuang dalam pembangunan secara jelas memasukkan
ekonomi rendah karbon dengan konservasi mangrove sebagai
me-ngurangi risiko lingkungan & salah satu upaya mencapai
kerusak-an ekologi yang menjadi target, serta kejelasan
salah satu target indikator ekonomi pelaksana program.
makro di 2030.

23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

Keselarasan dengan konteks mitigasi perubahan iklim dalam


pengelolaan mangrove
Kebijakan
(Support to climate change mitigation in mangrove management)
(Policies)
Pencegahan konversi mangrove Rehabilitasi mangrove
(Prevention of mangrove conversion) (Mangrove rehabilitation)
10. Master Plan Perubahan Iklim • Penyelamatan dan perluasan Mendukung mitigasi PI dan
Kalimantan Timur tahun 2015 mangrove dan hutan pantai berbasis sudah memasukkan kegiatan
– 2035 masyarakat lokal menjadi kebijakan konservasi mangrove sebagai
umum dan strategi pengurusan strategi pengurusan kawasan
kawasan hutan di Balikpapan, hutan. Sayangnya kebijakan
Bontang, Kutai Kertanegara, Kutai itu tidak diberlakukan pada
Timur, dan Penajam Paser Utara, semua daerah yang memiliki
hutan mangrove.

memprioritaskan pengembangan tambak dan pendampingan masyarakat yang intensif


dibandingkan konservasi atau rehabilitasi serta penyediaan insentif konservasi bagi
mangrove. Hal tersebut terlihat dari Perda masyarakat. Efektivitas kebijakan tingkat
No. 15/2008 tentang Rencana Pembangunan Provinsi Kaltim berdasarkan teori Grindle
Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan ditampilkan dalam Tabel 6.
Timur Tahun 2005-2025. Bahkan menurut Pembangunan wilayah ekosistem
(Bosma et al., 2012), di Delta Mahakam sebagai mangrove di Provinsi Kaltim juga tertuang
wilayah yang memiliki hutan mangrove dalam Rencana Strategis Wilayah Pesisir
terluas di Kaltim, konversi mangrove menjadi dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K) tahun
tambak udang sudah dimulai sejak tahun 2016-2036 yang disusun oleh Dinas Kelautan
1990. Setelah deklarasi pembangunan Green dan Perikanan Provinsi Kaltim dan disahkan
Kaltim pada tahun 2010, kebijakan Pemda melalui Pergub No. 13/2016 tentang Rencana
Kaltim lebih memperhatikan kelestarian Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
mangrove. Sayangnya, kebijakan tersebut Kecil tahun 2016-2036. Dokumen rencana
belum menyeluruh. Berdasarkan RTRW strategis tersebut memuat arah kebijakan
tahun 2016, Pemda Kaltim mengembangkan lintas sektor untuk kawasan perencanaan
program rehabilitasi mangrove hanya di pembangunan melalui penetapan tujuan,
lima kabupaten/kota pesisir, sedangkan sasaran, dan strategi, serta target pelaksanaan
Kabupaten Berau dan Kabupaten Paser dengan indikator yang tepat untuk memantau
tidak diprioritaskan untuk perlindungan rencana tingkat nasional. Rencana strategis ini
ekosistem mangrove. Sebaliknya, program bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
pengembangan tambak ditargetkan di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
kabupaten pesisir yang memiliki ekosistem terpadu dan berkelanjutan menuju masyarakat
mangrove. Kaltim yang adil dan sejahtera dengan
Untuk kebijakan yang sudah mendukung kegiatan sebagaimana tersaji pada Tabel 7.
mitigasi perubahan iklim, analisis lanjutan Rencana kegiatan dalam pengelolaan
berdasarkan teori Grindle menunjukkan wilayah pesisir sebagaimana ditampilkan
bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap dalam Tabel 7 menggambarkan bahwa
kebijakan tersebut masih perlu ditingkatkan. kebijakan pengelolaan mangrove dititik-
Misalnya, medorong perubahan tambak beratkan pada pengembangan ekonomi dan
tradisional ke silvofishery dan pelibatan kesejahteraan masyarakat lokal. Kegiatan
masyarakat dalam upaya konservasi wilayah yang bersifat konservasi atau perlindungan
pesisir memerlukan mekanisme sosialisasi mangrove relatif lebih sedikit. Kegiatan

24
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

Tabel 6 Efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove di Provinsi Kaltim berdasarkan teori Grindle
Table 6 Effectiveness of mangrove management policies at East Kalimantan Province referring to Grindle
theory

Efektivitas kebijakan menurut Teori Grindle


(Effectiveness of the policy referring to Grindle Theory)
Tingkat
Kejelasan
Kejelasan kepatuhan/
Kebijakan/program skala/target
Kepentingan Kejelasan pelaksana respon para
(Policies/programs) perubahan
para pihak manfaat kebijakan pihak
(Clarity
(Stakeholder (Clarity of (Clarity (Compliance
of scale/
interests) benefits) of policy level/
target of the
implementor) response of
changes)
stakeholders)
1. Perda Provinsi Kaltim No. V V V V -
07/2009 tentang Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir,
Laut dan Pulau-pulau Kecil
2. Pergub Kaltim No. 13/2016 V V V V -
tentang Rencana Strategi
Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil Prov Kaltim
Tahun 2016- 2036
3. Rencana Kehutanan Tingkat V V - V V
Propinsi (RKTP) untuk jangka
waktu 20 tahun (2011-2030)
4. Strategi dan Rencana V V V V -
Aksi Provinsi (SRAP)
Implementasi REDD+
Kaltim (Kebijakan dan
Strategi Pengurusan Kawasan
berdasarkan Kabupaten/Kota
di Kalimantan Timur selama
Jangka Waktu 20 tahun (2011-
2030)
Keterangan (Remarks): V: Memenuhi persyaratan (Comply with the theory); -: Tidak memenuhi persyaratan
(Not comply).

pengelolaan mangrove yang terkait dengan ini, silvofishery dan silvoagroforestry (sawah
ekonomi masyarakat lokal sebagian pasang surut) yang diharapkan menjadi “win-
besar berupa pemanfaatan mangrove win solution” dalam pengelolaan mangrove
untuk tambak dan sebagian lainnya untuk menuju pembangunan ekonomi hijau belum
pengembangan wisata dan pembangunan banyak dikembangkan di tingkat tapak,
sarana prasarana transportasi, pertambangan, khususnya tambak masyarakat.
dan industri. Meskipun pengembangan Untuk mengimplementasikan kebijakan
ekonominya diarahkan menjadi ekonomi yang telah disusun, khususnya merekonsiliasi
hijau sebagaimana komitmen green Kaltim, kepentingan ekonomi dan ekologi dalam
ancaman degradasi mangrove akibat aktivitas rangka mendukung komitmen green Kaltim,
pengembangan budidaya perikanan perlu diperlukan komunikasi dan koordinasi
diperhitungkan dengan serius. Sampai saat intensif antar sektor untuk menyelaraskan

25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

Tabel 7 Isu strategis dan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kaltim pada periode 2016-2036
Table 7 Strategic issues and activities of coastal area management conducted by Marine and Fishery Service in
East Kalimantan Province over period of 2016-2036

Isu strategis Kegiatan


(Strategic issues) (Activities)
1. Degradasi a. Melibatkan masyarakat pesisir dalam perlindungan dan konservasi ekosistem
sumberdaya pesisir mangrove, terumbu karang, dan padang lamun
dan pulau-pulau b. Menekan sekecil mungkin sumber-sumber pencemaran yang masuk ke perairan
kecil pesisir
c. Pengembangan daerah perlindungan laut/kawasan konservasi laut untuk
konservasi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun
2. Pembangunan a. Pengaturan kegiatan reklamasi pantai untuk kegiatan industri
ekonomi di wilayah b. Pengaturan wilayah penangkapan ikan tradisional di wilayah pesisir
pesisir dan pulau- c. Meningkatkan koordinasi dan penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya
pulau kecil wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
d. Melakukan kegiatan pelatihan dan pendampingan masyarakat pesisir untuk
peningkatan ekonomi rumah tangga
e. Mengembangkan alternative livelihoods masyarakat pesisir
f. Memfasilitasi kerjasama masyarakat dan pihak swasta dengan prinsip mutual
benefit
3. Pengawasan dan a. Melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait dalam upaya pengawasan dan
pengendalian pengendalian pemanfaatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
pemanfaatan di b. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya
wilayah pesisir dan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
pulau-pulau kecil c. Mengoptimalkan peran petugas pengawasan sumberdaya pesisir dan pulau-
pulau kecil
d. Menyusun rencana pengelolaan untuk rehabilitasi sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil
4. Mitigasi bencana dan a. Meningkatkan kapasitas, respon, dan kesiap-siagaan masyarakat terhadap
perubahan iklim bencana pesisir
b. Mengidentifikasi jenis dan daerah rawan bencana pesisir
c. Kampanye mitigasi bencana melalui pendidikan formal
d. Menyusun pedoman mitigasi bencana
e. Membangun komitmen, kesepahaman, dan kerjasama yang kuat megenai peran
dan tanggung jawab institusi di luar lingkungan Pemerintah Provinsi Kaltim
dalam mitigasi bencana
f. Menyusun peraturan daerah yang diperlukan untuk menunjang upaya mitigasi
dan penanggulangan bencana secara efektif
g. Menyiapkan sarana dan prasarana untuk mitigasi bencana peisisir dan
perubahan iklim

target dan program masing-masing sektor. Uraian di atas dapat dimaknai bahwa masih
Hal ini sangat penting mengingat tujuan terdapat ketidakefektifan dalam kebijakan
perlindungan mangrove sering bertentangan pengelolaan mangrove untuk mendukung
dengan program perluasan tambak di sektor upaya mitigasi perubahan iklim. Masih
kelautan dan perikanan. Sebagai contoh ditargetkannya perluasan tambak dan produksi
adalah program peningkatan hasil perikanan perikanan di seluruh kabupaten pesisir,
dan perluasan tambak akan berdampak pada sedangkan konservasi mangrove hanya di
peningkatan konversi hutan mangrove. beberapa kabupaten saja menunjukkan bahwa

26
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

tujuan perlindungan ekosistem mangrove bagi masyarakat serta sosialisasi dan


dalam kebijakan nasional belum didukung pendampingan masyarakat pesisir untuk
penuh oleh kebijakan yang lebih teknis di mengembangkan pemanfaatan mangrove
level provinsi, khususnya Kaltim. ramah lingkungan yang diperlukan untuk
Selain keperluan mendesak untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat
menyusun RZWP-3-K sebagai panduan terhadap implementasi kebijakan. Oleh karena
pemanfaatan mangrove, sosialisasi teknik itu, pengembangan teknik-teknik silvofishery
pemanfaatan tambak ramah lingkungan serta menjadi kunci bagi keberhasilan upaya
insentif konservasi memegang peran penting mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan
untuk keberhasilan upaya mitigasi perubahan mangrove.
iklim di Kaltim. Untuk meningkatkan Secara konseptual tantangan sebuah
penerimaan masyarakat pesisir, khususnya kebijakan adalah koordinasi dan komunikasi
petani tambak terhadap kebijakan mitigasi parapihak, baik yang berwenang maupun
perubahan iklim, diperlukan pendampingan yang terkena dampak kebijakan. Selain itu
masyarakat oleh Dinas Kelautan dan kejelasan isi kebijakan, baik yang bersifat
Perikanan serta Dinas Kehutanan atau KPHP konsep maupun teknis menjadi syarat penting
sebagai pengelola mangrove di tingkat tapak. untuk efektivitas implementasi sebuah
kebijakan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
B. Saran
A. Kesimpulan Untuk mencapai target mitigasi perubahan
Masih terdapat tantangan dalam iklim dalam pengelolaan mangrove diperlukan
implementasi kebijakan pengelolaan pembenahan beberapa hal di antaranya:
mangrove dilihat dari konteks mitigasi 1. KLHK perlu segera melakukan percepatan
perubahan iklim serta konten kebijakan penyusunan satu peta mangrove,
dan konteks implementasi teori Grindle. penyusunan mekanisme konversi
Tantangan tersebut bersifat praktikal maupun mangrove, serta berkoordinasi dengan
konseptual. Tantangan kebijakan di tingkat KKP dan BPN guna menyusun kriteria
nasional adalah perlunya satu data mangrove ekosistem mangrove untuk kawasan
yang menegaskan penetapan zonasi lindung atau budidaya.
mangrove, serta perlunya peraturan teknis 2. KKP perlu melaksanakan kembali program
sebagai penjabaran kebijakan nasional yang reboisasi mangrove sebagai implementasi
ada. Peraturan teknis merupakan prasyarat UU No. 31/2004.
penting untuk mempermudah implementasi 3. Pemda Kaltim dan KPH sebagai pengelola
kebijakan nasional di tingkat provinsi serta hutan di tingkat tapak perlu segera
untuk menghindari perbedaan interpretasi melakukan pengembangan dan sosialisasi
kebijakan oleh para pihak. Selain itu, kejelasan opsi pengelolaan tambak ramah lingkungan
pelaksana kebijakan khususnya reboisasi yang efisien dari sisi biaya, sekaligus
mangrove di sektor kelautan dan perikanan melakukan pendampingan terhadap petani
perlu dipertegas, mengingat kepentingan tambak.
sektor tersebut terhadap peningkatan produksi 4. Perlu peningkatan koordinasi dan
perikanan sangat tinggi. komunikasi antar sektor terkait, baik di
Secara spesifik, tantangan kebijakan di tingkat nasional maupun provinsi.
Provinsi Kaltim adalah kejelasan kebijakan 5. KLHK dan Pemda perlu merumuskan
rehabilitasi mangrove di seluruh kabupaten mekanisme penyediaan sistem insentif
pesisir serta koordinasi antar sektor. Selain konservasi bagi petani tambak.
itu, pemberian insentif konservasi mangrove 6. Penelitian lanjutan terkait proses

27
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29

koordinasi dan komunikasi antar sektor for the conservation of mangrove forests in
serta pengembangan opsi pemanfaatan Southeast Asia. Conservation Biology, 30(5),
933-949. doi://10.1111/cobi.12784.
tambak ramah lingkungan yang mudah Giri, C., Zhu, Z., Tieszen, L. L., Singh, A., Gillette,
dan murah. S., & Kelmelis, J. A. (2008). Mangrove forest
distributions and dynamics (1975-2005) of
UCAPAN TERIMA KASIH the tsunami affected region of Asia. Journal
(ACKNOWLEDGEMENT) of Biogeography, 35(3), 101-111.
Graneheim, U. H., Lindgren, B. M., & Lundman,
B. (2017). Methodological challenges in
Kegiatan penelitian ini didanai oleh program qualitative content analysis: A discussion
FCPF World Bank. Penulis memberikan paper. Nurse Education Today, 56, 29-34.
apresiasi kepada para narasumber yang Grindle, M. (1980). Politics and policy implementation
telah bersedia diwawancara dan membantu in the third world. Lincoln, United Kingdom:
Princeton University Press.
menyediakan data dan informasi. Apresiasi
Karlina, E., Kusmana, C., Marimin, & Bismark, M.
juga diberikan kepada para reviewer yang (2016). Analisis keberlanjutan pengelolaan
telah memberikan masukan yang sangat hutan lindung mangrove di Batu Ampar,
berharga untuk perbaikan tulisan ini. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan
Barat. Jurnal Analisis Kebijakan, 13(3), 201-
219.
REFERENCES Kauffman, J. B., Arifanti, V. B., Trejo, H. H., Garcoa,
M. C. J., Norfolk, J., Cifuentes, M., . . .
Bhomia, R. K., Kauffman, J. B., & McFadden, T. N. Murdiyarso, D. (2017). The Jumbo carbon
(2016). Ecosystem carbon stocks of mangrove footprint of a shrimp: carbon losses from
forests along the Pacific and Caribbean coasts mangrove deforestation. Frontiers in Ecology
of Honduras. Wetlands Ecology Management, and the Environment. doi:10.1002/fee.1482
24, 187-201. doi://10.1007/s11273-016-9483- KLHK. (2017). Sambutan Menteri Lingkungan Hidup
1. dan Kehutanan pada Konferensi Internasional
Bosma, R. H., Nguyen, T. H., Siahainenia, A. J., Tran, Ekosistem mangrove berkelanjutan
H. T., & Tran, H. N. (2014). Shrimp-based “International Conference on Sustainable
livelihoods in mangrove silvo-aquaculture Mangrove Ecosystems”. Bali.
farming systems. Reviews in Aquaculture, 6, Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., &
1-18. Dech, S. (2011). Remote sensing of mangrove
Bosma, R. H., Sidik, A. S., van-Zwieten, P., Aditya, A., ecosystems: A review. Remote Sensing, 3,
& Visser, L. (2012). Challenges of a transition 878-928.
to a sustainably managed shrimp culture Lugina, M., Alviya, I., Indartik, & Pribadi, M. A.
agro-ecosystem in the Mahakam delta, East (2017). Strategi keberlanjutan pengelolaan
Kalimantan, Indonesia. Wetlands Ecology hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali.
Management, 20, 89-99. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1),
Dianawati, L. (2014). Kajian peran lembaga dan 61-77.
kearifan masyarakat dalam pengelolaan Masood, H., Afsar, S., Zamir, U. B., & Kazmi, J. H.
ekosistem hutan mangrove secara terpadu di (2015). Application of comparative remote
Delta Mahakam. (Thesis), Universitas Gadjah sensing techniques for monitoring mangroves
Mada, Yogyakarta. in Indus Delta, Sindh, Pakistan. Biological
Donato, D. C., Kauffman, J. B., & Murdiyarso, D. Forum-An International Journal, 7(1), 783-
(2011). Mangroves among the most carbon- 792.
rich forests in the tropics. Nature Geoscience, Mehring, M., & Stoll-Kleemann, S. (2011). How
4, 293-297. effective is the buffer zone? Linking
Eddy, S., Ridho, M. R., Iskandar, I., & Mulyana, A. institutional processes with satellite images
(2016). Community-based mangrove forests from a case study in the Lore Lindu Forest
conservation for sustainable fisheries. Jurnal Biosphere Reserve, Indonesia. Ecology and
Silvikultur Tropika, 7(3), S42-S47. Society, 16(4), 3. doi://10.5751/ES-04349-
Friess, D. A., Thompson, B. S., Brown, B., Amir, A. 160403.
A., Cameron, C., Koldewey, H. J., . . . Sidik, Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B.,
F. (2016). Policy challenges and approaches Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D.

28
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)

C., . . . Kurnianto, S. (2015). The potential Sandelowski, M. (2011). When a cigar is not just
of Indonesian mangrove forests for global a cigar: alternative takes on data and data
climate change mitigation. Nature Climate analysis. Res. Nurs. Health, 34(4), 342-352.
Change, 5, 1089-1092. Mwangi, E., Mshale, Sidik, F., Supriyanto, B., Krisnawati, H., & Muttaqin,
B., Banjade, M. R., Herawati, T., Lisnawati, M. Z. (2018). Mangrove conservation for
N., & Lawry, S. (2017). Mangrove governance climate change mitigation in Indonesia. Wiley
and tenure: Insights for policy and practice Interdisciplinary Reviews: Climate Change,
from selected sites in Indonesia, Tanzania and 9(5). doi://10.1002/wcc.529.
a global review. Paper presented at the Annual Walters, B. B., Ronnback, P., Kovacs, J. M., Crona,
World Bank Land and Poverty Conference, B., Hussain, S. A., Badola, R., . . . Dahdouh-
Washington, DC. Guebas, F. (2008). Ethnobiology, socio-
Prasetiyo, D. E., Zulfikar, F., Shinta, & Zulkarnain, I. economics and management of mangrove
(2016). Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di forests: a review. Aquatic Botany, 89(220-
Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu: Studi 236).
Konservasi Berbasis Green Economy. Omni- Wibowo, B. A., Boesono, H., & Aditomo, A. B.
Akuatika, 12(1), 48-54. (2012). Analisis kebijakan terhadap aktivitas
Primavera, J., & Esteban, J. (2008). A review of penangkapan ikan nelayan Karimun Jawa
mangrove rehabilitation in the Philippines: Kabupaten Jepara. Jurnal Saintek Perikanan,
successes, failures and future prospects. 8(1), 37-45.
Wetland Ecology Management, 16(3), 173-
253.

29

You might also like