Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
As a climate change mitigation action, East Kalimantan Province has targeted emission reduction from
mangrove forest. Mangrove-related policies at national and local levels have been issued before and after the
program execution. It is necessary to measure the effectiveness of the policies to identify potential challenges in its
implementation, particularly from policy aspect. This analysis is required to support the Government in achieving
the emission reduction target, so it would obtain payment compensation from World Bank by 2024. Effectiveness
of the policies is analysed using Grindle Theory combined with climate change mitigation principles in mangrove
management. The results show that there is still ineffectivences in implementing climate change mitigation on
mangrove management including requirements for technical regulations determining the content of the issued
policies, provision of one mangrove and land use data, and of green fish pond management options. Moreover,
coordination among related sectors, raising awareness programs, and facilitation for local coastal community to
apply sustainable mangrove management play significant role in the effectiveness of the implementation. In theory,
the effectiveness of policy implementation is affected by clarity of policy content, both in conceptual and practical
terms, through coordination and communication within related actors, both authorities and affected actors.
Keywords: Mangrove management policy; climate change mitigation; policy effectiveness; land use.
ABSTRAK
Sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim, Provinsi Kalimantan Timur menargetkan penurunan emisi
dari hutan mangrove. Kebijakan terkait pengelolaan mangrove, baik di tingkat nasional maupun Provinsi Kaltim
telah banyak dikeluarkan sebelum dan sesudah program perubahan iklim dideklarasikan. Diperlukan kajian untuk
mengukur efektivitas kebijakan tersebut sehingga dapat diketahui potensi kendala upaya mitigasi perubahan
iklim dilihat dari aspek kebijakannya. Kajian ini diperlukan agar pemerintah Provinsi Kaltim dapat mencapai
target penurunan emisi dan mendapat kompensasi pembayaran dari World Bank pada tahun 2024. Efektivitas
kebijakan dianalisis menggunakan pendekatan teori Grindle yang dikombinasikan dengan konteks mitigasi
perubahan iklim dalam pengelolaan mangrove. Hasil analisis menunjukkan masih terdapat ketidakefektifan dalam
pelaksanaan mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan mangrove, di antaranya adalah belum adanya peraturan
teknis sebagai peraturan lanjutan yang menjelaskan isi kebijakan nasional yang telah dikeluarkan, penyediaan
satu data mangrove dan tata guna lahan, serta penyediaan opsi pengelolaan mangrove ramah lingkungan. Selain
itu, diperlukan koordinasi antar sektor terkait, sosialisasi dan pendampingan terhadap masyarakat pesisir dalam
pemanfaatan mangrove secara berkelanjutan khususnya untuk tambak. Secara konseptual, kajian ini menunjukkan
bahwa keberhasilan suatu kebijakan juga dipengaruhi oleh kejelasan isi kebijakan, baik yang bersifat konsep
maupun praktis, serta proses koordinasi dan komunikasi antar pihak, baik yang berwenang maupun yang terkena
dampak kebijakan.
Kata kunci: Kebijakan pengelolaan mangrove; mitigasi perubahan iklim; efektivitas kebijakan; tata guna lahan.
©2019 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2019.16.1.11-29 11
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
12
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
periode tahun 2020- 2024, di mana penurunan pada tahun 2023 (tahap pertama) dan tahun
emisi dari pengelolaan mangrove menjadi 2025 (tahap kedua).
salah satu targetnya.
Sampai saat ini, terdapat berbagai kebijakan II. METODE PENELITIAN
terkait pengelolaan mangrove, baik berupa
A. Kerangka Pikir
peraturan maupun program di tingkat nasional
maupun provinsi. Meskipun demikian, Kebijakan merupakan suatu alat yang
penelitian kebijakan pengelolaan mangrove digunakan untuk mencapai suatu tujuan
khususnya dalam konteks mitigasi perubahan tertentu. Untuk mencapai target penurunan
iklim masih sedikit dibandingkan dengan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, KLHK
aspek biofisiknya (Mwangi et al., 2017). sebagai national focal point program mitigasi
Beberapa penelitian yang telah dilakukan perubahan iklim telah menetapkan empat
seperti Friess et al. (2016), Lugina, Alviya, strategi utama di sektor kehutanan yaitu
Indartik, & Pribadi (2017), dan Mwangi et al. pencegahan deforestasi 0,325 juta ha per
(2017) mengidentifikasi beberapa isu dalam tahun, rehabilitasi 12 juta ha lahan kritis,
kebijakan terkait pengelolaan mangrove, restorasi 2 juta ha gambut serta penerapan
di antaranya adalah adanya konflik dan sustainable forest management. Untuk
ketidakjelasan tujuan kebijakan, kurangnya mendukung strategi mitigasi perubahan
koordinasi antar pihak yang berwenang, serta iklim tersebut, kebijakan pengelolaan
sulitnya pelaksanaan kebijakan di tingkat mangrove, baik di tingkat pusat maupun
lapangan. Selain itu, terdapat tumpang tindih daerah harus berorientasi pada pencegahan
kepentingan yang menciptakan ambiguitas deforestasi mangrove akibat konversi
kepemilikan hutan mangrove, menyulitkan menjadi penggunaan lain khususnya tambak
pengelolaan serta mengarah pada konflik yang merupakan penyebab utama kerusakan
(Eddy et al., 2016; Walters et al., 2008). Oleh mangrove. Hal ini sejalan dengan temuan
karena itu, untuk mengukur keberhasilan Murdiyarso et al. (2015) yang mengemukakan
upaya mitigasi perubahan iklim melalui bahwa pencegahan deforestasi mangrove di
pengelolaan mangrove berkelanjutan, Indonesia mampu mengurangi emisi sekitar
diperlukan analisis lebih lanjut terhadap 10-30% per tahun dari sektor kehutanan.
kebijakan pengelolaan mangrove yang ada, Selain itu, upaya mitigasi juga dilakukan
apakah kebijakan tersebut sudah tepat dan melalui rehabilitasi ekosistem mangrove yang
efektif untuk mendukung upaya mitigasi sudah rusak seperti bekas tambak yang sudah
perubahan iklim. tidak aktif lagi.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis Terdapat dua sektor kunci dalam
efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove pengelolaan ekosistem mangrove, yaitu sektor
untuk mendukung upaya mitigasi perubahan kehutanan serta sektor perikanan dan kelautan.
iklim, baik di tingkat nasional maupun Sektor kehutanan memiliki kewenangan
provinsi, yang dalam hal ini mengambil mengelola mangrove yang masuk ke dalam
kasus di Provinsi Kaltim. Hasil kajian dapat kawasan hutan, sedangkan mangrove di luar
memberikan gambaran bottleneck upaya kawasan hutan berada di bawah kewenangan
mitigasi perubahan iklim pada pengelolaan sektor perikanan dan kelautan. Oleh karena
mangrove dilihat dari aspek kebijakan serta itu, kebijakan pengelolaan mangrove yang
memberikan rekomendasi solusinya. Secara ada pada umumnya dipengaruhi oleh
khusus, kajian ini diperlukan untuk membantu kepentingan dan kewenangan kedua sektor
pemerintah Provinsi Kaltim mencapai target tersebut. Sementara itu, pihak yang paling
penurunan emisi sehingga mendapat insentif terkena dampak dari kebijakan pengelolaan
positif dari World Bank yang akan diberikan mangrove untuk mendukung upaya mitigasi
13
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
perubahan iklim adalah para petani tambak. oleh masyarakat atau perubahan ekosistem
Efektivitas berbagai kebijakan terkait mangrove secara fisik.
pengelolaan mangrove untuk mendukung 4) Kejelasan pelaksana kebijakan
upaya mitigasi perubahan iklim dianalisis Kebijakan dapat dilaksanakan oleh
menggunakan pendekatan teori implementasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau
kebijakan Grindle (1980), serta diselaraskan masyarakat.
dengan konteks mitigasi perubahan
iklim dalam pengelolaan mangrove, yaitu 5) Tingkat kepatuhan dan respon para pihak
pencegahan konversi mangrove menjadi yang terlibat
tambak serta rehabilitasi mangrove. Langkah Tingkat kepatuhan diukur dengan menilai
pertama pengukuran efektivitas kebijakan perubahan perilaku stakeholder mengikuti
adalah menganalisis apakah isi kebijakan apa yang diharapkan dari suatu kebijakan.
tersebut sesuai dengan konteks mitigasi B. Pengumpulan Data
perubahan iklim. Apabila kebijakan tersebut
Review berbagai literatur, dokumen
sesuai konteks mitigasi perubahan iklim,
peraturan dan kebijakan lain terkait
kemudian efektivitas kebijakan untuk
pengelolaan mangrove di level nasional dan
mendukung upaya mitigasi perubahan
Provinsi Kaltim dilakukan untuk mengkaji
iklim dianalisis lebih lanjut menggunakan
orientasi kebijakan serta variabel efektivitas
pendekatan teori Grindle. Teori Grindle
kebijakan dalam teori Grindle. Selain itu, data
menyatakan bahwa efektivitas pelaksanaan
dan informasi tentang kebijakan pengelolaan
kebijakan sangat bergantung pada isi
mangrove di tingkat nasional dan provinsi
kebijakan (content of policy) dan konteks
serta kondisi pengelolaan mangrove di tingkat
implementasi (contex of implementation).
tapak dikumpulkan melalui wawancara
Kebijakan yang efektif harus memperhatikan
mendalam (in-depth interview) dengan para
beberapa variabel di antaranya yaitu:
pihak/instansi yang terlibat dalam pengelolaan
1) Kepentingan para pihak terkait ekosistem mangrove. Wawancara juga
Pihak yang paling relevan dengan ditujukan untuk mengkonfirmasi kepentingan
pengelolaan mangrove adalah sektor antar sektor terhadap pengelolaan mangrove,
kehutanan yang mengedepankan aspek proses interaksi dan koordinasi yang
kelestarian ekologi, sektor perikanan dilakukan antar sektor dalam merumuskan dan
yang memiliki kepentingan peningkatan mengimplementasikan kebijakan pengelolaan
produktivitas perikanan, serta masyarakat mangrove, serta untuk mengkonfirmasi
yang berorientasi pada peningkatan temuan dari review dokumen. Perkembangan
pendapatan. kondisi pengelolaan mangrove di tingkat tapak
2) Manfaat yang akan didapatkan dilakukan melalui pengamatan langsung di
lapangan dan berdasarkan referensi berbagai
Terdapat dua kategori manfaat utama yaitu literatur hasil penelitian di lokasi kajian.
ekonomi dan ekologi. Kepentingan para Wawancara difokuskan pada sektor
pihak dan manfaat ekologi, ekonomi diukur kehutanan serta sektor kelautan dan
melalui kontribusi kegiatan pengelolaan perikanan, yang merupakan dua sektor kunci
mangrove terhadap pendapatan daerah dan dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
masyarakat, serta penerapan aspek kelestarian Pihak yang diwawancara adalah KLHK,
dalam pengelolaan mangrove. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
3) Skala perubahan/target yang ingin dicapai Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltim,
dari kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, Bappeda
Variabel perubahan yang diukur adalah Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan dan
perubahan budaya pengelolaan mangrove Perikanan Provinsi Kaltim, Dinas Kelautan
14
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
dan Perikanan Kabupaten Kutai Kertanegara, fungsi ekologis pesisir. Kebijakan tersebut
serta Non Government Organisations (NGO) ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden
nasional dan lokal yang terkait pengelolaan (Perpres) No. 73/2015 tentang Pelaksanaan
mangrove. Koordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil Tingkat Nasional. Dalam
C. Analisis Data
Perpres No. 73/2015 ini diatur tata cara
Kombinasi analisis konten dan analisis pelaksanaan koordinasi pengelolaan wilayah
deskriptif kualitatif digunakan untuk dapat pesisir dan pulau-pulau kecil tingkat nasional
menyimpulkan apakah isi dan konteks yang bertujuan agar pelaksanaan kegiatan
implementasi kebijakan terkait pengelolaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
mangrove sudah sesuai dengan konteks kecil pada tingkat nasional menjadi harmoni,
mitigasi perubahan iklim dalam pengelolaan sinergi, terpadu, dan berkelanjutan.
mangrove serta memperhatikan variabel Kebijakan nasional mangrove juga
efektivitas kebijakan dalam teori Grindle. mengacu pada Perpres No. 73/2012 tentang
Analisis konten adalah suatu metode untuk Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
menganalisis data kualitatif yang fokus Mangrove. Perpres tersebut mengatur arah
pada subjek dan konteks dalam menekankan kebijakan, asas, visi, misi, dan sasaran
variasi, seperti kesamaan dan perbedaan antara pengelolaan ekosistem mangrove. Salah
bagian-bagian dalam teks. Analisis ini dapat satu misinya adalah melakukan konservasi
digunakan pada berbagai tingkat abstraksi dan rehabilitasi ekosistem mangrove
dan interpretasi (Graneheim, Lindgren, & pada kawasan lindung dan budidaya serta
Lundman, 2017). Dasar epistemologis dari meningkatkan kesejahteraan masyarakat
analisis ini adalah bahwa data dan interpretasi melalui peningkatkan nilai manfaat
adalah kreasi orang yang diwawancarai dan sumberdaya mangrove dan pemanfaatan
pewawancara, dan interpretasi selama fase ekosistem mangrove yang bijak.
analisis adalah kreasi para peneliti dan teks Selain itu, kebijakan pengelolaan ekosistem
(Sandelowski, 2011). Dengan demikian teks mangrove memiliki keterkaitan dengan
diartikan menyiratkan lebih dari satu makna berbagai regulasi lainnya, baik secara langsung
tunggal. maupun tidak langsung. Pada tahun 2017,
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
mengeluarkan peraturan tentang Kebijakan,
A. Kebijakan Nasional Terkait Strategi, Program, dan Indikator Kinerja
Pengelolaan Mangrove Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional
Kebijakan nasional pengelolaan mangrove sebagai tindak lanjut Perpres No. 73/2012.
merujuk pada Undang-Undang (UU) No. Peraturan tersebut menargetkan pemulihan
27/2007 yang telah diubah menjadi UU mangrove 3,49 juta ha pada tahun 2045 serta
No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah mengamanahkan KLHK, Badan Pertanahan
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut Nasional (BPN), serta KKP untuk menyusun
membolehkan penebangan mangrove pada kriteria ekosistem mangrove sebagai kawasan
kawasan yang telah dialokasikan untuk lindung/konservasi atau kawasan budidaya/
budidaya perikanan sepanjang memenuhi pemanfaatan, serta untuk menyusun norma,
kaidah-kaidah konservasi. Meskipun prosedur, standar, dan kriteria (NPSK)
membolehkan penebangan mangrove, mekanisme konversi mangrove. Kesesuaian
tetapi UU tersebut melarang konversi kebijakan nasional pengelolaan dengan
ekosistem mangrove di zona budidaya konteks mitigasi perubahan iklim tersaji
yang tidak memperhitungkan keberlanjutan dalam Tabel 1.
15
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
16
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
kehutanan tidak mengatur secara spesifik mangrove sudah selaras dengan prinsip
hutan mangrove. Dalam kebijakan kehutanan, mitigasi perubahan iklim, baik pencegahan
pengelolaan hutan mangrove mengikuti status konversi maupun mendukung upaya
fungsi hutan mengrove itu sendiri. Misalnya, rehabilitasi mangrove. Meskipun demikian,
hutan mangrove yang berfungsi sebagai hutan keselarasan kebijakan pengelolaan mangrove
produksi maka kebijakan yang berlaku adalah dengan konteks mitigasi perubahan iklim
kebijakan pengelolaan hutan produksi lestari belum menjamin efektivitas pelaksanaannya
(PHPL) yang mengatur teknik penebangan di tingkat tapak. Efektivitas pelaksanaan
yang lestari. Sementara itu penebangan kebijakan tersebut dianalisis menggunakan
tidak diperbolehkan di hutan mangrove yang teori Grindle sebagaimana tersaji dalam Tabel
termasuk fungsi lindung dan konservasi. 2.
Tabel 1 menunjukkan bahwa seluruh Analisis efektivitas kebijakan pengelolaan
kebijakan nasional terkait pengelolaan mangrove di tingkat nasional yang mengacu
17
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
pada teori Grindle menunjukkan bahwa dengan peraturan yang lebih teknis. Sebagai
pada dasarnya seluruh kebijakan telah contoh, pentingnya kriteria kawasan lindung
mengakomodir kepentingan para pihak, dan budidaya ekosistem mangrove, kebijakan
baik untuk tujuan perlindungan mangrove, satu peta mangrove serta prosedur konversi
peningkatan produksi perikanan, maupun mangrove perlu ditetapkan dalam peraturan
kepentingan pemberdayaan masyarakat. teknis, misalnya peraturan menteri. Sampai
Hal tersebut sesuai dengan prinsip mitigasi saat ini peraturan-peraturan teknis sebagai
perubahan iklim di mana kepentingan sosial tindak lanjut dari kebijakan nasional yang
ekonomi masyarakat merupakan salah satu telah digariskan belum tersedia sehingga risiko
bagian penting. Sidik, Supriyanto, Krisnawati, kerusakan mangrove masih tinggi. Selain itu,
& Muttaqin (2018) dan Primavera & Esteban tim koordinasi pengelolaan mangrove yang
(2008) mengemukakan bahwa upaya mitigasi seharusnya diketuai oleh Menteri LHK dan
perubahan iklim di sektor pengelolaan beranggotakan lintas sektor sesuai dengan
mangrove yang hanya mengedepankan amanat Perpres No. 73 tahun 2012 belum
konservasi berisiko menimbulkan konflik terbentuk. Dikeluarkannya Perpres No.
dengan masyarakat sekitar. Maknanya, 73 tahun 2015 menimbulkan ketumpang-
membuka akses masyarakat terhadap tindihan kewenangan antara KLHK dan KKP
pemanfaatan mangrove menjadi penting terkait koordinasi pengelolaan mangrove
dalam kebijakan pengelolaan mangrove untuk yang masuk ke dalam wilayah pesisir.
mendukung mitigasi perubahan iklim. Isu penting lain dalam kebijakan
Namun demikian, kejelasan manfaat bagi pengelolaan mangrove terkait teori Grindle
para pihak terkait tidak selalu diikuti oleh adalah ketidakjelasan pelaksana kebijakan
kejelasan skala perubahan yang ditargetkan dari kegiatan reboisasi sebagaimana tertera
kebijakan-kebijakan tersebut. Ketidakjelasan dalam UU No. 31/2004. Selain itu, tingginya
kaidah konservasi dalam pemanfaatan kepentingan ekonomi masyarakat terhadap
mangrove mengakibatkan target konservasi mangrove sering menyebabkan tingkat
mangrove sulit tercapai. Sampai saat ini, kepatuhan masyarakat terhadap aturan
teknologi konservasi dalam pemanfaatan konservasi yang ditetapkan dalam kebijakan
mangrove belum banyak dikembangkan dan pengelolaan mangrove menjadi rendah. Hal
disosialisasikan kepada masyarakat. Selain tersebut diperparah dengan ketidakjelasan
itu, penerimaan masyarakat terhadap sistem penetapan zona perlindungan dan
silvofishery, salah satu teknik pengelolaan pemanfaatan. Wibowo, Boesono, & Aditomo
tambak ramah lingkungan, masih rendah. Hal (2012) menunjukkan bahwa masyarakat
ini disebabkan selain kurangnya sosialisasi, pesisir kurang memahami arti sistem zonasi
silvofishery membutuhkan tambahan biaya di mana masyarakat masih berkeinginan
investasi awal serta proses klasterisasi tambak untuk memanfaatkan zona lindung untuk
(Bosma, Nguyen, Siahainenia, Tran, & Tran, usaha perikanan.
2014). Kebijakan penetapan mangrove jenis
Ketidakjelasan target kebijakan juga bakau sebagai kawasan lindung, sementera
dipicu oleh belum selesainya penyusunan satu jenis bukan bakau dapat berfungsi sebagai
peta mangrove serta masih diperlukannya areal budidaya sejalan dengan konsep buffer
peraturan teknis sebagai penjelasan dari zone. Buffer zone dikembangkan di sekeliling
regulasi yang telah dikeluarkan. Kebijakan area yang akan dilindungi untuk mengurangi
di tingkat nasional yang merekonsiliasi tekanan masyarakat sekitar terhadap area
kepentingan konservasi dan kepentingan yang dilindungi tersebut (Mehring & Stoll-
kesejahteraan masyarakat melalui “syarat Kleemann, 2011). Dengan demikian, penetapan
kaidah konservasi” perlu ditindaklanjuti bakau sebagai zona lindung diharapkan dapat
18
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
menjadi pelindung bagi zona dalam menuju KKP dan KHLK sebagai dua institusi yang
lautan, sedangkan zona yang dekat daratan berwenang dalam koordinasi pengelolaan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mangrove. Peraturan Menteri Koordinator
menerapkan kaidah kelestarian. Hanya saja, (Permenko) Perekonomian No. 4/2017
kebijakan ini perlu didukung oleh kejelasan kemudian menegaskan kembali perlunya
peta zonasi mangrove sehingga tidak terjadi koordinasi antar sektor yang terkait dengan
tumpang tindih antara kawasan lindung dan pengelolaan mangrove khususnya KLHK,
kawasan budidaya. Ketidakjelasan kawasan KKP, dan Kementerian Agraria dan
lindung atau budidaya di tingkat tapak Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sering menyebabkan terjadinya saling klaim (Kementerian ATR/BPN). Kementerian ATR/
pengelolaan mangrove khususnya antara BPN berperan dalam penentuan kawasan
KLHK, KKP dan masyarakat setempat. lindung dan budidaya, sedangkan KLHK
Uraian di atas menggambarkan dan KKP memegang peran penting dalam
bahwa pada dasarnya kebijakan nasional pengelolaan mangrove di tingkat tapak,
pengelolaan mangrove yang ada telah sesuai khususnya terkait pengelolaan kawasan hutan
tujuan mitigasi perubahan iklim. Hanya saja, dan pemberdayaan masyarakat. Orientasi
kebijakan nasional pengelolaan mangrove kebijakan pengelolaan mangrove di kedua
untuk mitigasi perubahan iklim menjadi sektor tersebut akan memengaruhi kelestarian
kurang efektif akibat adanya ketidakjelasan hutan mangrove di Indonesia.
kaidah dan opsi konservasi sebagaimana Masalahnya adalah ketidakjelasan batas
tertera dalam narasi kebijakan, adanya mangrove yang merupakan kawasan hutan
tumpang tindih kebijakan, serta belum dan di luar kawasan hutan menjadikan area
adanya peraturan teknis sebagai tindak lanjut kewenangan kedua kementerian tersebut
dari kebijakan yang telah ditetapkan untuk juga menjadi tidak jelas. Salah satu pemicu
panduan pelaksanaan di tingkat tapak. ketidakjelasan kewenangan pengelolaan
Analisis lanjutan berdasarkan teori mangrove adalah belum selesainya penyusunan
Grindle juga menunjukkan bahwa pada satu peta mangrove yang dijadikan referensi
dasarnya konten seluruh kebijakan terkait bersama. Selain itu, perbedaan orientasi
pengelolaan mangrove sudah efektif, hanya pengelolaan mangrove kedua sektor tersebut
UU No. 31/2004 saja yang tidak menjelaskan sering menyebabkan tujuan kelestraian
secara tegas pelaksana kegiatan reboisasi mangrove sulit terwujud. Pengelolaan
hutan bakau sebagai upaya meningkatkan mangrove yang melibatkan berbagai sektor
sumberdaya perikanan. Dari sisi konteks khususnya perikanan, kehutanan, lingkungan,
implementasi, ketidakefektivan kebijakan dan daerah tertinggal menyebabkan berbagai
terjadi karena beberapa hal, di antaranya kebijakan yang ada sulit untuk dilaksanakan
tingkat kepatuhan masyarakat pesisir yang di tingkat tapak (Bosma, Sidik, van-Zwieten,
masih rendah serta kurangnya sosialisasi Aditya, & Visser, 2012).
terkait hal tersebut kepada petani tambak Untuk mendukung mitigasi perubahan
yang merupakan pihak paling terkena dampak iklim di sektor pengelolaan mangrove,
kebijakan. Hal ini menyebabkan perubahan KLHK memprioritaskan program dan
yang diharapkan sulit dicapai. alokasi anggaran setiap tahun untuk kegiatan
rehabilitasi mangrove. Anggaran kegiatan
B. Kebijakan Pengelolaan Mangrove
rehabilitasi mangrove juga bersumber dari
Antar Sektor Terkait
dana rehabilitasi yang dibebankan kepada
Adanya Perpres No. 73/2012 dan pemegang izin pinjam pakai kawasan melalui
Perpres No. 73/2015 menegaskan perlunya Permen LHK No. 50/2016. Untuk periode
sinkronisasi kebijakan yang dikeluarkan oleh tahun 2015-2019, KLHK menganggarkan
19
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
20
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
21
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
komitmen Green Kaltim pada tahun 2010 pertimbangan prioritas dalam isu perubahan
yang kemudian diperkuat dengan Peraturan iklim di Provinsi Katim meskipun telah
Gubernur (Pergub) Kaltim No. 22/2011 tentang mengusung Kaltim Hijau dalam target
Pedoman Pelaksanaan Kaltim Hijau. Pergub pembangunannya.
tersebut mengamanatkan pembangunan Berdasarkan Rencana Strategis Wilayah
di setiap sektor harus mendukung prinsip Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP-3-K)
pembangunan rendah emisi, atau dengan kata Provinsi Kaltim tahun 2014-2034, luas hutan
lain mendukung mitigasi perubahan iklim. mangrove di Kaltim adalah 360.819,26 ha
Untuk mendukung pembangunan rendah yang tersebar di tujuh kabupaten/kota, yaitu
emisi di sektor mangrove, Pemda Kaltim Berau (22,35%), Kutai Timur (8,39%),
telah mengeluarkan berbagai kebijakan Bontang (0,56%), Kutai Kartanegara (36%),
sebagaimana digambarkan dalam Tabel 5. Balikpapan (0,52%), Penajam Paser Utara
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 10 (17,28%), dan Paser (15%). Sebagian besar
kebijakan yang diuraikan terkait pengelolan ekosistem mangrove di Kutai Kartanegara
mangrove, beberapa di antaranya tidak tersebar di kawasan Delta Mahakam yang
mendukung aksi mitigasi perubahan iklim sebagian wilayahnya masuk dalam Kesatuan
dalam pengelolaan mangrove. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Delta
tersebut tidak secara jelas menetapkan Mahakam. Namun demikian sekitar 75%
perlindungan ekosistem mangrove sebagai ekosistem mangrove di Provinsi Kaltim dalam
program prioritas dalam upaya penurunan kondisi terdegradasi dengan skala kerusakan
emisi di Provinsi Kaltim. Upaya rehabilitasi bervariasi (Dianawati, 2014). Program
mangrove hanya dilakukan di lokasi-lokasi pengembangan tambak telah menghambat
tertentu, tidak menyeluruh pada semua area upaya perlindungan ekosistem mangrove.
yang memiliki ekosistem mangrove yang Hal ini diperparah ketika tata batas mangrove
terdegradasi. Selain itu, Sungai Mahakam yang termasuk kawasan hutan dengan areal
yang merupakan sentra mangrove di Kaltim penggunaan lain belum jelas, sehingga
dialokasikan untuk pengembangan sistem penyediaan satu peta integratif yang menjadi
pengelolaan sumber daya air, termasuk pegangan bagi seluruh sektor merupakan hal
tambak. Hal tersebut mengindikasikan penting.
bahwa pengelolaan mangrove tidak menjadi Sebelum tahun 2010, Pemda Kaltim lebih
22
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
23
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
24
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
Tabel 6 Efektivitas kebijakan pengelolaan mangrove di Provinsi Kaltim berdasarkan teori Grindle
Table 6 Effectiveness of mangrove management policies at East Kalimantan Province referring to Grindle
theory
pengelolaan mangrove yang terkait dengan ini, silvofishery dan silvoagroforestry (sawah
ekonomi masyarakat lokal sebagian pasang surut) yang diharapkan menjadi “win-
besar berupa pemanfaatan mangrove win solution” dalam pengelolaan mangrove
untuk tambak dan sebagian lainnya untuk menuju pembangunan ekonomi hijau belum
pengembangan wisata dan pembangunan banyak dikembangkan di tingkat tapak,
sarana prasarana transportasi, pertambangan, khususnya tambak masyarakat.
dan industri. Meskipun pengembangan Untuk mengimplementasikan kebijakan
ekonominya diarahkan menjadi ekonomi yang telah disusun, khususnya merekonsiliasi
hijau sebagaimana komitmen green Kaltim, kepentingan ekonomi dan ekologi dalam
ancaman degradasi mangrove akibat aktivitas rangka mendukung komitmen green Kaltim,
pengembangan budidaya perikanan perlu diperlukan komunikasi dan koordinasi
diperhitungkan dengan serius. Sampai saat intensif antar sektor untuk menyelaraskan
25
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
Tabel 7 Isu strategis dan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kaltim pada periode 2016-2036
Table 7 Strategic issues and activities of coastal area management conducted by Marine and Fishery Service in
East Kalimantan Province over period of 2016-2036
target dan program masing-masing sektor. Uraian di atas dapat dimaknai bahwa masih
Hal ini sangat penting mengingat tujuan terdapat ketidakefektifan dalam kebijakan
perlindungan mangrove sering bertentangan pengelolaan mangrove untuk mendukung
dengan program perluasan tambak di sektor upaya mitigasi perubahan iklim. Masih
kelautan dan perikanan. Sebagai contoh ditargetkannya perluasan tambak dan produksi
adalah program peningkatan hasil perikanan perikanan di seluruh kabupaten pesisir,
dan perluasan tambak akan berdampak pada sedangkan konservasi mangrove hanya di
peningkatan konversi hutan mangrove. beberapa kabupaten saja menunjukkan bahwa
26
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
27
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 16 No.1, Mei 2019 : 11-29
koordinasi dan komunikasi antar sektor for the conservation of mangrove forests in
serta pengembangan opsi pemanfaatan Southeast Asia. Conservation Biology, 30(5),
933-949. doi://10.1111/cobi.12784.
tambak ramah lingkungan yang mudah Giri, C., Zhu, Z., Tieszen, L. L., Singh, A., Gillette,
dan murah. S., & Kelmelis, J. A. (2008). Mangrove forest
distributions and dynamics (1975-2005) of
UCAPAN TERIMA KASIH the tsunami affected region of Asia. Journal
(ACKNOWLEDGEMENT) of Biogeography, 35(3), 101-111.
Graneheim, U. H., Lindgren, B. M., & Lundman,
B. (2017). Methodological challenges in
Kegiatan penelitian ini didanai oleh program qualitative content analysis: A discussion
FCPF World Bank. Penulis memberikan paper. Nurse Education Today, 56, 29-34.
apresiasi kepada para narasumber yang Grindle, M. (1980). Politics and policy implementation
telah bersedia diwawancara dan membantu in the third world. Lincoln, United Kingdom:
Princeton University Press.
menyediakan data dan informasi. Apresiasi
Karlina, E., Kusmana, C., Marimin, & Bismark, M.
juga diberikan kepada para reviewer yang (2016). Analisis keberlanjutan pengelolaan
telah memberikan masukan yang sangat hutan lindung mangrove di Batu Ampar,
berharga untuk perbaikan tulisan ini. Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan
Barat. Jurnal Analisis Kebijakan, 13(3), 201-
219.
REFERENCES Kauffman, J. B., Arifanti, V. B., Trejo, H. H., Garcoa,
M. C. J., Norfolk, J., Cifuentes, M., . . .
Bhomia, R. K., Kauffman, J. B., & McFadden, T. N. Murdiyarso, D. (2017). The Jumbo carbon
(2016). Ecosystem carbon stocks of mangrove footprint of a shrimp: carbon losses from
forests along the Pacific and Caribbean coasts mangrove deforestation. Frontiers in Ecology
of Honduras. Wetlands Ecology Management, and the Environment. doi:10.1002/fee.1482
24, 187-201. doi://10.1007/s11273-016-9483- KLHK. (2017). Sambutan Menteri Lingkungan Hidup
1. dan Kehutanan pada Konferensi Internasional
Bosma, R. H., Nguyen, T. H., Siahainenia, A. J., Tran, Ekosistem mangrove berkelanjutan
H. T., & Tran, H. N. (2014). Shrimp-based “International Conference on Sustainable
livelihoods in mangrove silvo-aquaculture Mangrove Ecosystems”. Bali.
farming systems. Reviews in Aquaculture, 6, Kuenzer, C., Bluemel, A., Gebhardt, S., Quoc, T. V., &
1-18. Dech, S. (2011). Remote sensing of mangrove
Bosma, R. H., Sidik, A. S., van-Zwieten, P., Aditya, A., ecosystems: A review. Remote Sensing, 3,
& Visser, L. (2012). Challenges of a transition 878-928.
to a sustainably managed shrimp culture Lugina, M., Alviya, I., Indartik, & Pribadi, M. A.
agro-ecosystem in the Mahakam delta, East (2017). Strategi keberlanjutan pengelolaan
Kalimantan, Indonesia. Wetlands Ecology hutan mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali.
Management, 20, 89-99. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(1),
Dianawati, L. (2014). Kajian peran lembaga dan 61-77.
kearifan masyarakat dalam pengelolaan Masood, H., Afsar, S., Zamir, U. B., & Kazmi, J. H.
ekosistem hutan mangrove secara terpadu di (2015). Application of comparative remote
Delta Mahakam. (Thesis), Universitas Gadjah sensing techniques for monitoring mangroves
Mada, Yogyakarta. in Indus Delta, Sindh, Pakistan. Biological
Donato, D. C., Kauffman, J. B., & Murdiyarso, D. Forum-An International Journal, 7(1), 783-
(2011). Mangroves among the most carbon- 792.
rich forests in the tropics. Nature Geoscience, Mehring, M., & Stoll-Kleemann, S. (2011). How
4, 293-297. effective is the buffer zone? Linking
Eddy, S., Ridho, M. R., Iskandar, I., & Mulyana, A. institutional processes with satellite images
(2016). Community-based mangrove forests from a case study in the Lore Lindu Forest
conservation for sustainable fisheries. Jurnal Biosphere Reserve, Indonesia. Ecology and
Silvikultur Tropika, 7(3), S42-S47. Society, 16(4), 3. doi://10.5751/ES-04349-
Friess, D. A., Thompson, B. S., Brown, B., Amir, A. 160403.
A., Cameron, C., Koldewey, H. J., . . . Sidik, Murdiyarso, D., Purbopuspito, J., Kauffman, J. B.,
F. (2016). Policy challenges and approaches Warren, M. W., Sasmito, S. D., Donato, D.
28
Efektivitas Kebijakan Pengelolaan Mangrove untuk Mendukung Mitigasi Perubahan Iklim ........(Mimi Salminah & Iis Alviya)
C., . . . Kurnianto, S. (2015). The potential Sandelowski, M. (2011). When a cigar is not just
of Indonesian mangrove forests for global a cigar: alternative takes on data and data
climate change mitigation. Nature Climate analysis. Res. Nurs. Health, 34(4), 342-352.
Change, 5, 1089-1092. Mwangi, E., Mshale, Sidik, F., Supriyanto, B., Krisnawati, H., & Muttaqin,
B., Banjade, M. R., Herawati, T., Lisnawati, M. Z. (2018). Mangrove conservation for
N., & Lawry, S. (2017). Mangrove governance climate change mitigation in Indonesia. Wiley
and tenure: Insights for policy and practice Interdisciplinary Reviews: Climate Change,
from selected sites in Indonesia, Tanzania and 9(5). doi://10.1002/wcc.529.
a global review. Paper presented at the Annual Walters, B. B., Ronnback, P., Kovacs, J. M., Crona,
World Bank Land and Poverty Conference, B., Hussain, S. A., Badola, R., . . . Dahdouh-
Washington, DC. Guebas, F. (2008). Ethnobiology, socio-
Prasetiyo, D. E., Zulfikar, F., Shinta, & Zulkarnain, I. economics and management of mangrove
(2016). Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove di forests: a review. Aquatic Botany, 89(220-
Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu: Studi 236).
Konservasi Berbasis Green Economy. Omni- Wibowo, B. A., Boesono, H., & Aditomo, A. B.
Akuatika, 12(1), 48-54. (2012). Analisis kebijakan terhadap aktivitas
Primavera, J., & Esteban, J. (2008). A review of penangkapan ikan nelayan Karimun Jawa
mangrove rehabilitation in the Philippines: Kabupaten Jepara. Jurnal Saintek Perikanan,
successes, failures and future prospects. 8(1), 37-45.
Wetland Ecology Management, 16(3), 173-
253.
29