You are on page 1of 10

121

KEBIJAKAN PENGENDALIAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Syukri Umasangaji
FISIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km. 12,5 Simpang Baru Panam, Pekanbaru 28293

Abstract: Land and Forest Fires always accur in Indonesia at least in every year. The central and
provincial government have made various act to deal with land and forest fires in preventively and
repressively. However, fires still going on from year to year which effected to material and social
problems. This research aims inidentify and analyze land and forest fires control policy in Riau
Province on 2010-2015, especially related to the role and actors configuration, programs and network
in the control policy of land and forest fires. This research used the theory of Lester and Stewart
policy which explains that policy implementation is defined as administration laws inti various
actors, organized (networks) to achieve the policies. This research used a qualitative approach. The
results of this research indicate that land and forest fires control policy in Riau Province is still more
focused on repressive efforts than preventive efforts. For that reason, land and forest fires control
policies need to be revaluated in order to find the best solution in avoiding land and forest fires,
among others by revorming forest and land management policies; reviewing land use permits;
resolve land dispute issues; support efforts to control of land and forest fires with an optimal
budget; forming regulations on the control of land and forest fires; empowering the community of
land users not to burn the forest and fine new ways that do not damage the environment.

Abstrak: Setiap tahun kebakaran hutan dan lahan terjadi di Indonesia. Pemerintah pusat maupun
pemerintah provinsi telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kebakaran hutan dan lahan,
baik secara preventif maupun represif. Namun demikian, kebakaran masih terus berulang dari tahun
ke tahun yang berdampak pada masalah materiil maupun sosial. Studi ini bertujuan untuk menganalisis
kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau tahun 2010-2015 terutama
terkait dengan konfigurasi peran aktor, program-program serta jaringan pengendalian kebakaran
hutan dan lahan. Analisis dalam studi ini menggunakan teori kebijakan Lester dan Stewart yang
menjelaskan bahwa implementasi kebijakan diartikan sebagai pengadministrasian undang-undang
ke dalam berbagai aktor, organisasi (jaringan), prosedur dan teknik-teknik (program) yang bekerja
secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dari upaya kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan
dengan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian kebakaran
hutan dan lahan di Provinsi Riau masih lebih dititikberatkan pada upaya represif daripada upaya
preventif. Untuk itu, kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan perlu dievaluasi kembali
dalam upaya mencari solusi terbaik dalam menghindari kebakaran hutan dan lahan, antara lain
dengan cara mereformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan; mengkaji ulang izin pemanfaatan
lahan; menyelesaikan persoalan sengketa lahan; merampungkan perda tentang RTRW; mendukung
upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan anggaran yang optimal; membentuk perda
tentang pengendalian karhutla; memberdayakan masyarakat; dan menegakkan hukum. Selain itu
perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat pengguna lahan agar tidak membakar hutan dan
menemukan cara baru yang tidak merusak lingkungan.
Kata Kunci: kebakaran hutan, peran aktor, kebijakan

PENDAHULUAN taranya melaui pembakaran hutan yang akhir-


Hutan sebagai bagian dari sumber daya akhir ini semakin marak di Indonesia.
alam nasional memiliki arti dan peranan penting Padahal kerugian sosial ekonomi dan eko-
dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pemba- logis yang timbul oleh kebakaran hutan cukup
ngunan dan lingkungan hidup. Telah diterima besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk
sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan diukur dengan nilai rupiah. Secara ekologis in-
yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, siden kebakaran hutan mengancam flora dan
harus dibina dan dilindungi dari berbagai tinda- fauna alam Indonesia yang khas, bahkan mungkin
kan yang berakibat hilangnya keseimbangan eko- membuat punah. Kerugian yang harus ditanggung
sistem dunia. Namun ada saja tindakan dari ma- oleh bangsa Indonesia akibat kebakaran hutan
nusia yang melakukan perusakan hutan dian- tahun 1997 dulu diperkirakan mencapai Rp. 5,96

121
122 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 15, Nomor 2, Mei 2017, hlm. 85-164

trilyun atau sekitar 70,1 % dari nilai PDB sektor yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau
kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan,
terkena dampak kebakaran hutan di Indonesia yang menyebabkan kebakaran yang terjadi tidak
pada tahun 1997 mengalami kerugian US$ 300 bisa dikontrol. Tantangan dan hambatan yang
juta di sektor industri dan pariwisata, sedangkan berjalan berdampingan dengan tugas pengen-
Singapura mengalami kerugian sekitar US$ 60 dalian serta sejauh mana kebijakan itu memberi
juta di sektor pariwisata (KLH dan UNDP, 1998). pengaruh dalam pengendalian kebakaran hutan
Pada tahun 2014 dan 2015 terjadi pening- dan lahan di Provinsi Riau.
katan pembakaran hutan di Wilayah Riau. Akibat
kebakaran hutan tersebut telah menimbulkan METODE
kabut asap dalam jumlah besar sehingga Riau Penelitian ini merupakan penelitian empirik
ditetapkan darurat Bencana Kabut Asap. Hal dalam bentuk Kualitatif. Meyer dan Greenwood
yang mengkhawatirkan adalah bila dicermati dari (1984) menjelaskan bahwa “penelitian empirik
tahun ke tahun pembakaran hutan yang terjadi dilakukan untuk memverifikasi proporsi-proporsi
malah semakin meningkat. Untuk wilayah Riau mengenai beberapa aspek hubungan antara alat
saja misalnya berdasarkan pantauan terakhir dan tujuan dan proses dalam penelitian. Penelitian
satelit NOAA 18 diketahui bahwa hampir semua ini juga dapat dipandang sebagai penelitian sosial
daerah di Riau yang mengalami kebakaran hutan terapan karena bentuk penelitian ini memiliki fo-
dan lahan, yaitu Kabupaten Bengkalis, Siak, kus utama yang sama dengan penelitian terapan,
Pelalawan, Indragiri Hilir (Inhil), Indragiri Hulu, yakni pemecahan masalah praktis. Pendapat lain
Rokan Hilir, dan Kabupaten Kepulauan Meranti. menyatakan bahwa penelitian terapan dilakukan
Kasus kebakaran hutan dan lahan tentu dengan tujuan menerapkan, menguji, dan me-
berdampak pada berbagai sektor. Sebagaimana ngevaluasi kemampuan suatu teori yang diterap-
yang telah dijelaskan di atas, dampak paling parah kan dalam memecahkan masalah-masalah
dialami oleh masyarakat tentu berkaitan dengan praktis (Sugiono, 1999).
kondisi kesehatan masyarakat terdampak ke- Dasar pendekatan penelitian yang diguna-
bakaran hutan dan lahan tersebut. Pada dasarnya, kan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
praktek pembakaran hutan dan lahan merupakan Metode kualitatif memiliki beberapa prespektif
salah satu cara yang digunakan oleh sebagian teori yang dapat mendukung penganalisaan yang
perusahaan perkebunan untuk menaikan pH lebih mendalam terhadap gejala yang terjadi,
tanah, disamping itu pembakaran merupakan Dikarenakan kajiannya adalah fenomena masya-
cara instan berbiaya murah dan hasilnya cocok rakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis),
untuk tanaman seperti sawit. Namun sayangnya, yang sulit diukur dengan menggunakan angka-
praktek pembakaran hutan dan lahan tersebut angka maka penelitian ini membutuhkan analisa
tidak mempertimbangkan kerugian yang di- yang lebih mendalam dari sekedar penelitian
timbulkan baik secara langsung maupun tidak kuantitatif yang sangat bergantung pada kuan-
langsung. Kebakaran hutan dan lahan yang ter- tifikasi data. Penelitian ini mencoba memahami
jadi telah menimbulkan kerugian yang cukup b- apa yang dipikirkan oleh masyarakat terhadap
anyak diantaranya hilangnya kesempatan panen, suatu fenomena.
penyakit pernapasan (ISPA), menganggu pe-
nerbangan, rusaknya lingkungan dengan hilang- HASIL DAN PEMBAHASAN
nya suatu ekosistem dan lainnya. Dampak sampi- Peran Aktor
ngan lainnya yang telah mulai dirasakan adalah Sejak kebakaran hutan yang cukup besar
naiknya suhu permukaan bumi telah menimbul- yang terjadi pada tahun 1982/83 yang kemudian
kan cuaca panas dan kering yang pada akhirnya diikuti rentetan kebakaran hutan beberapa tahun
ikut serta mendorong perubahan iklim. berikutnya hingga yang paling mutakhir pada
Atas dasar uraian di atas, penelitian ini lebih tahun 2014 dan 2015 silam. Pemerintah sebe-
menitikberatkan dalam kebijakan seperti apa narnya telah melakukan berbagai langkah, baik
Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Umasangaji) 123

bersifat antisipatif (pencegahan) maupun pena- penyesuaian telah dilakukan, mengapa keba-
nggulangannya. Upaya yang telah dilakukan un- karan dan kabut asap muncul kembali? Terdapat
tuk mencegah kebakaran hutan dilakukan, de- dasar manajemen yang dilakukan selama ini,
ngan memantapkan kelembagaan dengan mem- yakni penanggulangan (pemadaman saja).
bentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan Keselarasan kualitas sumber daya manusia
Lembaga non struktural berupa Pusdalkar- yang mendukung suksesnya pengendalian keba-
hutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta Brigade- karan hutan dan lahan belum memiliki standar
brigade pemadam kebakaran hutan di masing- antara provinsi dan kabupaten. Peralatan lengkap
masing HPH dan HTI. berada di Pekanbaru, sementara kebakaran
Selain itu, pemerintah juga melengkapi hutan dan lahan berada di wilayah Kabupaten.
perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk Kurangnya upaya peningkatan yang dilakukan
teknis pencegahan dan penanggulangan keba- oleh Pemerintah Provinsi Riau, pemahaman
karan hutan. Melengkapi perangkat keras berupa dasar dalam paragraf ini tidak berbicara jumlah
peralatan pencegah dan pemadam kebakaran tenaga yang memadamkan (tahap penanggu-
hutan. Melakukan pelatihan pengendalian keba- langan) saja, namun pengendalian yang dilaku-
karan hutan bagi aparat pemerintah, tenaga kan secara utuh.
BUMN dan perusahaan kehutanan serta masya- Perencanaan yang dilakukan memang de-
rakat sekitar hutan. Kampanye dan penyuluhan ngan tahapan terstandar yang menjadi patokan
melalui berbagai Apel Siaga pengendalian keba- namun pengawasan sepertinya dilupakan oleh
karan hutan. Pemberian pembekalan kepada Pemda Riau. Seperti dilansir media dan kasus
pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan Tran- yang sudah terbukti sebelumnya bahwa keba-
smigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda karan yang terjadi selama ini merupakan unsur
oleh Menteri Kehutanan dan Menteri Negara kesengajaan yang dilakukan baik masyarakat,
Lingkungan Hidup. Dalam setiap persetujuan pengusaha maupun korporasi konsesi perke-
pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non bunan di Riau. Tindak lanjut dari masalah pe-
kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan negakan hukum yang dilakukan (juga arah yang
tanpa bakar (Soemarsono, p.14). harus dituju dalam dimensi kelembagaan) yaitu
Lebih lanjut dengan merujuk Permen LHK mengkaji kembali IUP (Izin Usaha Perkebunan)
RI No. P.32/Menlhk/Setjen/ Kum.1/3/2016 yang ada, termasuk pembekuan izin ataupun
menyebutkan bahwa Organisasi Pengendali ketegasan dari Pemprov Riau untuk pencabutan
Kebakaran Hutan (Dalkarhutla) dibentuk izin jika memang pantas diberlakukan. Penga-
berdasarkan Tingkat Pemerintahan dan Tingkat wasan izin setiap IUP perusahaan belum secara
Pengelolaan. Organisasi Dalkarhutla Tingkat utuh menjadi tahapan dalam tuntutan manajemen
Pemerintahan terdiri dari tingkat Pemerintah; SDM pengendalian kebakaran hutan dan lahan
tingkat Pemerintah Provinsi; dan tingkat Peme- di Riau.
rintah Kabupaten/Kota. Semakin jelas bahwa Dimensi implementasi kebijakan yang
peran aktor dalam pengendalian kebakaran hu- terjadi dalam kapabilitas Pemerintah Provinsi
tan dan lahan itu telah ditetapkan dalam kebijakan Riau menjalankan amanat Peraturan Gubernur
pemerintah. Riau Nomor 27 Tahun 2014 tentang Prosedur
Rekonstruksi dari kelembagaan yang ter- Tetap Pengendalian Bencana Kabut Asap akibat
bentuk memang telah mengalami perubahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau, untuk me-
dalam pola pengendalian kebakaran hutan dan mobilisasi sumber daya manusia yang ada dalam
lahan di Provinsi Riau. Terbukti dengan dilaku- bekerja sesuai dengan struktur yang telah di-
kannya rencana aksi, pemantapan struktur orga- tetapkan. Seperti yang telah dikemukakan oleh
nisasi, serta membentuk komunitas masyarakat Grindel dalam Nugroho (2009), setiap peraturan
yang dekat dengan lokasi yang kerap terbakar. yang dibentuk, bergantung bagaimana implemen-
Beragam pembenahan telah dilakukan, namun tasi dilakukan oleh aktor pelaksana.
pertanyaan mendasar ketika perubahan dan Posko Gabungan merupakan bentuk tin-
124 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 15, Nomor 2, Mei 2017, hlm. 85-164

dakan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi yang telah dilakukan pemegang izin sebagian
Riau, penyatuan semua aktor yang terlibat masih dalam proses tahap melengkapi.
dengan harapan terjalin networking yang baik Masyarakat Peduli Api (MPA) adalah
dan komunikasi yang selaras. Jika mencermati masyarakat yang secara sukarela peduli terhadap
konten dari keb3akan (Peraturan Gubernur) pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang
yang berlaku, memang mengacu pada pengen- telah dilatih atau diberi pembekalan serta dapat
dalian bencana kabut asap, komunikasi yang diberdayakan untuk membantu pengendalian
dibentuk masih kurang, karena perbedaan kom- kebakaran hutan dan lahan. Setiap Pemegang
petensi yang bekerja pada semua level peme- IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan
rintahan dengan tiga tahapan pengendalian yang lindung dan hutan produksi; dan pemegang
harus dipenuhi. Oleh sebab itu, peran aktor Pe- IPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi
merintah Provinsi Riau dalam konteks ini masih dan HTR;Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan
lemah karena hanya berorientasi pada pema- Hutan untuk kegiatan non pertambangan;
daman serta kurang melakukan fungsi pencega- Pengelola Hutan Kemasyarakatan; Pengelola
han padahal keberadaan kawasan hutan itu Hutan Desa; Penanggung jawab Hutan Adat;
berada di Kabupaten/Kota yang mestinya di- Pemilik Hutan Hak; Pemegang KHDTK; dan
koordinasikan oleh Pemerintah Provinsi Riau Kelompok tani sekitar hutan atau desa kon-
dengan Kabupaten/Kota termasuk dalam kon- servasi atau kampung iklim atau desa wisata ber-
teks pengendalian kebakaran hutan dan lahan basis ekosistem hutan; wajib memfasilitasi orga-
itu penyediaan anggaran dan penyediaan peralatan. nisasi kelompok-kelompok Masyarakat Peduli
Mengenai pengendalian kebakaran, peru- Api (MPA).
sahaan swasta diwajibkan memilki sarana keba- Dalam satu MPA sekurang-kurangnya
karan. Peran aktor swasta itu mestinya menjadi terdiri dari 2 regu, masing-masing regu terdiri
sangat urgent mengingat kasus kebakaran hutan dari 15 anggota masyarakat setempat dalam satu
dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau mayoritas desa. Pembentukan dan pembinaan MPA,
berasal dari lahan pihak swasta yang mendapat- dilakukan bersama dengan kesatuan pengelolaan
kan izin usaha pengelolaan hasil hutan maupun hutan dan/atau Manggala Agni terdekat. Setiap
izin usaha d sektor perkebunan (HTI dan sawit). organisasi MPA sekurang-kurangnya mempunyai
Padahal dalam izin usaha ada kesanggupan pihak perangkat organisasi dan tugas, meliputi:
perusahaan untuk memenuhi sarana dan prasa- 1. Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA).
rana kebakaran. Melaksanakan tugas perencanaan, pengor-
Jika berbicara peralatan untuk pemadam ganisasian, operasional, pengawasan dan
kebakaran di Provinsi Riau, luas lahan yang evaluasi dalam setiap usaha Dalkarhutla di
rawan Karhutla mencapai 250.000 hektar, jika desanya;
terjadi kebakaran membutuhkan alat yang khu- 2. Sekretaris merangkap Bendahara. Melak-
sus untuk melakukan pemadaman. Dari hasil sanakan tugas untuk mengelola administrasi
kegiatan pembinaan dan monitoring yang telah keuangan dan tugas-tugas kesekretariatan;
dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 3. Kepala Regu. Melaksanakan tugas opera-
kelengkapan sarana dan prasarana kepada Pe- sional dalkarhutla.
megang izin usaha dari plus minus 75 pemegang
izin usaha yang tersebar di Provinsi Riau, Program Pencegahan Kebakaran Hutan dan
terdapat paling tidak 16 pemegang izin usaha yang Lahan
sudah dimonitoring oleh Dinas Kehutanan Menurut Pusbinluh (2000), selain me-
Provinsi Riau. Namun tidak ada dijelaskan dalam lakukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
rekap data apakah hasil monitoring tersubut langkah nyata yang dapat dilakukan adalah
pemegang izin patuh atau tidak terhadap aturan pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan
yang telah ditetapkan, nara sumber hanya me- lahan. Kegiatan-kegiatan pencegahan tersebut
ngatakan bahwa hasil pembinaan dan monitoring meliputi: Pemetaan dan pemantauan kondisi
Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Umasangaji) 125

rawan kebakaran, melakukan patroli dan pe- perti pembukaan dan persiapan lahan tanpa
ngawasan pada daerah rawan kebakaran, bakar (zeroburning-based land cleaning),
mempersiapkan SDM dan peralatan pemada- atau dengan pembakaran yang terkendali
man, pendeteksian dini kebakaran, pembuatan (controlled burning-based land cleaning).
tempat-tempat penampungan air, pembuatan c. Pengembangan sistem kepemilikan lahan
sekat bakar, pemasangan dan sosialisasi rambu secara jelas dan tepat sasaran. Kegiatan ini
-rambu bahaya kebakaran dan pelaksanaan dimaksudkan untuk menghindari pengelolaan
teknologi penyiapan lahan tanpa bakar (zero lahan yang tidak tepat sesuai dengan
burning). peruntukan dan fungsinya.
Pencegahan merupakan komponen ter- d. Pencegahan perubahan ekologi secara besar-
penting dari seluruh sistem pengendalian keba- besaran diantaranya dengan membuat dan
karan hutan dan lahan. Bila pencegahan dilak- mengembangkan pedoman pemanfaatan
sanakan dengan baik, maka bencana kebakaran hutan dan lahan gambut secara bijaksana
dapat diminimalkan, bahkan dihindari. Pence- (wise use of peatland), dan memulihkan hu-
gahan harus dimulai sejak awal proses pemba- tan dan lahan gambut yang telah rusak.
ngunan sebuah wilayah, perencanaan tata guna e. Pengembangan program penyadaran mas-
hutan atau lahan, pemberian izin kegiatan hingga yarakat terutama yang terkait dengan tin-
pemantauan dan evaluasi. Oleh karena itu, dalam dakan prncegahan dan pengendalian keba-
perencanaan pembangunan sebuah wilayah, karan. Program ini diharapkan dapat men-
dibutuhkan sebuah peraturan daerah tentang dorong dikembangkannya strategi pence-
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar pe- gahan dan pengen dalian kebakaran berbasis
rencanaan pembangunan lebih terarah. masyarakat (community-based fire mana-
Upaya untuk menyelamatkan hutan tentu- gement).
nya tidak dapat dilepaskan dari penyelesaian tu- f. Pengembangan sistem penegakan hukum.
nggakan masalah di masa sebelumnya, baik dari Hal ini mencakup penyelidikan terhadap pe-
sisi persoalan nyata di tingkat tapak, persoalan nyebab kebakaran serta mengajukan pihak-
kebijakan, maupun persoalan kapasitas penye- pihak yang diduga menyebabkan kebakaran
lenggara kehutanan. Identifikasi masalah kehu- ke pengadilan.
tanan secara tepat dan fundamental dengan me- g. Pengembangan sistem informasi kebakaran
nggunakan informasi yang akurat, akan menen- yang berorientasi kepada penyelesaian ma-
tukan capaian perbaikan kinerja kehutanan. salah. Hal ini mencakup pengembangan sistem
Penyelesaian permasalahan kehutanan tersebut pemeringkatan bahaya kebakaran (Fire
bukan hanya menentukan apa masalahnya, tetapi Danger Rating System) dengan memadukan
juga memerlukan strategi bagaimana solusi dua iklim (curah hujan dan kelembaban
masalah-masalah tersebut dapat dijalankan. Se- udara), data hidrologis (kedalam muka ir
lanjutnya, agar strategi tersebut dapat dilakukan tanah dan kadar legas tanah), dan data bahan
optimal maka prasyarat kelembagaan dan yang dapat memicu timbulnya api. Kegiatan
kepemimpinan (leadership) kehutanan menjadi ini akan memberikan gambaran secara karto-
sebuah keharusan. Beberapa upaya pencegahan grafi terhadap kerawanan kebakaran.
yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya Sementara itu merujuk pada laporan ke-
api diantaranya; giatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan
a. Penatagunaan lahan sesuai dengan peruntu- oleh Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Dinas Ke-
kan dan fungsinya masing-masing dengan hutanan secara institusional telah menyusun
mempertimbangkan kelayakannya secara kegiatan sebagai berikut:
ekologis disamping secara ekonomis. 1. Kegiatan Non Struktural
b. Pengembangan sistem budidaya pertanian a) Sosialisasi/Pembinaan kepada masyarakat
dan perkebunan serta sistem produksi kayu di daerah rawan Karhutla
yang tidak rentan terhadap kebakaran, se- b) Pembentukan dan Pelatihan Relawan/
126 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 15, Nomor 2, Mei 2017, hlm. 85-164

Masyarakat Peduli Karhutla untuk jangka waktu tertentu atas dasar reko-
c) Koordinasi dan komunikasi antar stake- mendasi Badan yang diberi tugas untuk menang-
holders gulangi bencana. Beradasarkan pasal 7 (2)
d) Patroli terpadu dan terukur di daerah ra- Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 Tentang
wan karhutla Penanggulangan Bencana, penetapan status dan
2. Struktural : tingkat bencana nasional dan daerah sebagai-
a) Pembuatan sekal kanal (4.730 unit) mana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat
b) Pembuatan embung (388 unit) indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b.
kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana
Program Pemadaman Kebkaran Hutan dan dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena
Lahan: Penetapan Status Bencana bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang
Penetapan status bencana kabut asap yang ditimbulkan. Sedangkan pasal 51 menjelaskan
terjadi di Indonesia merupakan langkah termudah (1) Penetapan status darurat bencana dilaksana-
yang dilakukan oleh Pemerintah. Berbagai kon- kan oleh pemerintah sesuai dengan skala ben-
troversi penetapan status bencana nasional itu cana. Penetapan untuk skala nasional dilakukan
terjadi karena penetapan status bencana itu oleh Presiden, skala provinsi dilakukan oleh
diikuti dengan pembiayaan yang tidak sedikit dan gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan
pertanggungjawabannya sangat tidak jelas. oleh bupati/walikota.
Memang Pemerintah Daerah mendorong untuk
ditetapkannya status bencana, akan tetapi peran Koordinasi Antar Lembaga dalam Pengen-
Pemda bukan berarti semakin dieliminir dalam dalian Kebakaran Hutan dan Lahan
kasus itu. Akan tetapi yang terjadi kemudian Upaya pengendalian kebakaran hutan dan
justru peran Pemda dieliminir dan peran BNPB lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
menjadi lebih dominan. Riau juga meliputi tiga tahap sebagaimana pen-
Sementara itu Kepala Pusat Data Informasi jelasan di atas, yaitu pencegahan, pemadaman
dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo dan pasca kebakaran. Jika mencermati tugas dan
Purwo Nugroho, mengatakan penetapan kabut tanggung jawab posko satagas Dalkarhutla Riau,
asap sebagai bencana nasional kurang tepat. pencegahan dan pengendalain kebakaran hutan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) masih dalam tahap pegendalian kabut asap.
menilai adanya penetapan tersebut hanya akan Terlihat yang menjadi acuan pengendalian keba-
melepaskan tanggungjawab pemerintah daerah karan adalah kebijakan yang telah ditentukan
ke pemerintah pusat. Sutopo mengatakan dalam berdasarkan Peraturan Gubernur Riau Nomor:
bencana kabut asap, peran pemerintah daerah 11 Tahun 2014 Tentang Pusat Pengendalian
terutama pejabat terkait seperti Bupati, Walikota Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau.
dan Gubernur sangat dibutuhkan. Adapun upaya-upaya penanggulangan yang
Penetapan status bencana tertuang da- dilakukan membentuk posko satgas terpadu dan
lam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 ten- melakukan aktivasi posko, melakukan pema-
tang penanggulangan bencana. Dalam Undang- daman dan pembagian masker. Mengendalikan
undang itu, bencana adalah peristiwa atau rang- dan mengkordinasikan tugas sub satgas darat de-
kaian peristiwa yang mengancam dan meng- ngan unsur-unsur lain yang terlibat dalam pe-
ganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat ngendalian bencana asap akibat kebakaran hutan
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau dan lahan.
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga Masih lemahnya koordinasi antar aktor
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, atau institusi di dalam satgas karhutla. Persoalan
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan koordinasi yang kurang berjalan dengan baik
dampak psikologis. dikarenakan banyaknya organisasi yang terlibat
Status keadaan darurat bencana adalah dan masing-masing organisasi cenderung men-
suatu keadaan yang ditetapkan oleh Pemerintah dahulukan kepentingan fungsionalnya masing-
Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Umasangaji) 127

masing. Persoalan selanjutnya adalah mengenai Untuk itu, meskipun dana tidak mencukupi
pola kepemimpinan yang bersifat non struktural untuk kegiatan di lapangan para petugas tetap
dan ad-hoc yang menimbulkan inefisiensi dan melakukan kegiatan di lapangan secara gotong
kerancuan. Jaringan atau kelembagaan yang royong dengan terpadu untuk menutupi biaya
berbentuk dalam forum koordinasi yang bersifat operasional masing-masing petugas. Salah satu
ad-hoc ini menyebabkannya tidak memiliki man- fungsi dari Badan Penanggulangan Bencana
dat yang memadai untuk menyusun strategi ja- daerah (BPBD) tersebut adalah untuk meng-
ngka panjang ataupun kegiatan yang berke- koordinasi pelaksanaan kegiatan penanggula-
lanjutan. ngan bencana secara terencana, terpadu, dan
Terkait dengan koordinasi antar lembaga menyeluruh.
dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan Permasalahan yang terjadi tentang kegiatan
di Provinsi Riau ini, Direktur WALHI Riau dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan
wawancara penelitian mengungkapkan bahwa dan lahan di Riau selain keterbatasan anggaran
aktivitas pengendalian Karhutla lebih bersifat dan tidak ada dana khusus untuk kegiatan
represif dan koordinasi antar lembaga sangat pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Pada
lemah terutama yang berkaitan dengan aspek rekapitulasi anggaran Dinas Lingkungan Hidup
penegakan hukum. dan Kehutanan Provinsi Riau Tahun 2010-2015
Selain itu, di dalam pelaksanaan penanga- menunjukkan belum dianggarkannya anggaran
nan kebakaran hutan dan lahan Pemerintah Pro- program kegiatan Pembinaan Masyarakat Peduli
vinsi Riau juga membentuk peraturan yang me- Api serta program kegiatan Koordinasi Pence-
ngatur tentang prosedur penanganan kebakaran gahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi
hutan dan lahan tersebut yaitu Peraturan Gubernur Riau. Berdasarkan hasil penelitian, kedua
Riau Nomor 27 Tahun 2014 tentang Prosedur program tersebut baru dianggarkan pada tahun
Tetap Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan anggaran 2016 dengan pagu anggaran Program
di Provinsi Riau. Prosedur tetap yang diatur di Pembinaan Masyarakat Peduli Api sebesar
dalam peraturan Gubernur itu dimaksud untuk Rp. 314.503.500,- dan Program Koordinasi
memberikan penjelasan tentang tata cara dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di
prosedur serta dijadikan pedoman dalam pe- Provinsi Riau sebesar Rp. 139.033.600,-. Pa-
ngendalian bencana asap akibat kebakaran hutan dahal dari sisi kepentingannya, Program Koor-
dan lahan di Provinsi Riau termasuk juga untuk dinasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
tingkat kabupaten yang berada di Provinsi Riau. inilah yang sangat penting, agar bisa memini-
Berdasarkan Peraturan Gubernur tersebut, orga- malisir atau bahkan mencegah terjadinya keba-
nisasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan karan hutan dan lahan di Provinsi Riau.
disusun dalam bentuk Bagan Organisasi. Sementara itu posko satgas terpadu di-
biayai melalui BNPB tidak mampu membiayai
Permasalahan Anggaran kebutuhan oprasional sehari-hari maupun untuk
Kurang optimalnya pemerintah daerah da- tim personil satgas yang bekerja. Ada kecende-
lam menangani kebakaran hutan dan lahan terlihat rungan koordinasi antara lembaga baru akan
pada alokasi anggaran untuk pencegahan dan dilakukan ketika bencana datang. Sebaiknya,
pengendalian kebakaran masih sangat kecil, se- penanganan semestinya sudah dimulai dari tahap
dangkan biaya untuk pencegahan dan pengen- pencegahan jangan sampai bencana asap ber-
dalian kebakaran membutuhkan biaya yang ulang kembali. Sementara itu, APBD Provinsi
mendukung. Hal ini dapat kita lihat pada reka- Riau setiap tahun meningkat secara signifikan
pitulasi anggaran pengendalian kebakaran hutan sejak tahun 2009-2013. Tercatat realisasi be-
dan lahan pada Dinas Lingkungan Hidup dan lanja tahun 2009 sebesar Rp. 3,7 triliun dan me-
Kehutanan Provinsi Riau, dimana hanya terdapat ningkat pada tahun 2013 sebesar Rp. 8,4 Triliun.
rata-rata anggaran sebesar Rp. 750.000.000 Namun, peningkatan belanja daerah tersebut
dari tahun 2010-2015. tidak berkontribusi besar terhadap alokasi
128 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 15, Nomor 2, Mei 2017, hlm. 85-164

anggaran pelestarian lingkungan. Meskipun se- penanganan kebakaran hutan maupun dari sisi
tiap tahun dialokasikan anggaran program pena- penegakan hukumnya. Pemerintah Pusat mau-
nggulangan kebakaran hutan dan lahan di APBD pun Pemerintah Daerah Riau harusnya berani
Provinsi Riau, namun nilainya sangatlah minim. menindak tegas masyarakat dan mencabut izin
Tahun 2009-2013 di Dinas Kehutanan Provinsi perusahaan yang terbukti menyebabkan keba-
Riau dialokasikan anggaran sebesar Rp. 6.065. karan hutan. Tidak adanya tindakan tegas dari
625.000, dengan realisasi (2009-2013) sebesar pemerintah mengakibatkan kebakaran hutan
Rp. 3.916.006.050,-. Sedangkan di Badan selalu terjadi dari tahun ke tahun sementara
Lingkungan Hidup provinsi Riau, tahun 2009- disisi lain pemerintah punya banyak lembaga
2013 dialokasikan sebesar Rp. 12.549.594. setingkat kementerian yang seharusnya dapat
050.00 dan teralisasi sebesar Rp. 7.866.929. berperan strategis dalam mengatisipasi masalah
140.00. Kalau dihitung secara persentase de- ini.
ngan jumlah APBD Riau selama 2009 - 2013 Permasalahan kebakaran hutan dan lahan
sebesar Rp. 28.642.594.737.572.80 maka, yang terjadi di Provinsi Riau hingga saat ini tidak
alokasi anggaran untuk bencana tahunan tersebut dipungkiri terjadi karena aspek regulasi yang
hanya 0,47%. belum memadai sebagai bentuk pencegahan
Terkait dengan realisasi anggaran, ber- terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan.
dasarkan hasil wawancara Ketua Pansus Kar- Berdasarkan kajian kerangka perundang-
hutla DPRD Provinsi Riau mengungkapkan undangan, paling tidak ada 7 UU yang berkaitan
bahwa bukan hanya kurangnya anggaran yang secara langsung dan tidak langsung terhadap
menjadi permasalahan, tetapi kurangnya resapan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan
angaran juga menyebabkan upaya pengendalian Provinsi Riau khususnya. Ada juga PP, Perpres,
karhutla menjadi kurang optimal. Hal ini dapat Permen dan Pergub khususnya Peraturan Gu-
kita lihat juga pada realisasi anggaran BPBD bernur Riau.
Provinsi Riau Tahun 2014 dimana anggaran Dari undang-undang misalnya, terdapat
program kegiatan Penanggulangan Kabut Asap UU yang saling kontradiktif antara yang satu
Akibat Karhutla dan program kegiatan Penga- dengan yang lain. Misalnya Undang-undang
daan Logistik Penanggulagan Bencana, masing- Nomor 32 Tahun 2009, dalam undang-undang
masing realisasi anggarannya tidak mencapai itu terdapat salah satu pasal yang menyebutkan
50%. bahwa “boleh terjadinya kebakaran untuk
Alokasi anggaran terkait pengendalian pembukaan lahan bagi masyarakat, per KK
kebakaran hutan dan lahan digunakan untuk diizinkan 1 hektar”. Sementara itu, UU 39 Tahun
Koordinasi, Sosialisasi, serta belanja barang 2014 menyebutkan “tidak boleh adanya pem-
(peralatan) untuk di Dinas Kehutanan. Sedang- bukaan lahan dengan cara pembakaran”, dari
kan untuk BLH anggaran tersebut digunakan kedua undang-undang ini sudah saling berten-
untuk sosialisasi, koordinasi, pelatihan dan pen- tangan dan membingungkan.
didikan. Dengan semakin tingginya potensi ke- Demikian halnya pada level peraturan yang
bakaran hutan di Riau yang terjadi setiap tahun, paling bawah, Gubernur Riau pada tahunn 2014
maka pemerintah daerah juga perlu menambah- telah menerbitkan Pergub Nomor 11 Tahun 2014
kan anggaran serta memberikan program- yang salah satu isinnya menyatakan bahwa
program yang jelas agar dapat terealisasi dengan “masyarakat boleh membuka lahan sebesar 2
baik. Sehingga bencana kebakaran hutan dapat hektar hanya dengan izin kepala desa”. Paling
ditanggulangi tidak hingga tahun 2015 sebelum aspek humum
benar-benar ditegakkan.
Evaluasi Kebijakan Pengendalian Karhutla Pada aspek kelembagaan, evaluasi perlu
Evaluasi harus dilakukan secara menye- dilakukan dengan mempertimbangkan efektifitas
luruh, baik terhadap elemen-elemen yang sudah dan efisiensi kerja kelembagaan. Tidak dapat
dibentuk untuk melakukan pencegahan dan dipungkiri bahwa pengendalian kebakaran hutan
Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Umasangaji) 129

dan lahan telah menyedot banyak perhatian dari masing pihak telah secara sadar membangun
beragam instansi pemerintah mulai dari peme- kesiapsiagaan terhadap kebakaran hutan dan
rintah pusat dan pemerintah daerah. Mestinya, lahan. Di sisi lain, aktor masyarakat terlihat
penguatan aspek regulasi dengan penekanan bahwa terbentuknya Masyarakat Peduli Api
pada satu atau dua instansi saja yang memiliki (MPA) cukup membantu pemerintah dalam
kewenangan dan tanggungjawab penanggulangan antisipasi Karhutla dan dengan adanya advokasi
karhutla dirasa lebih efektif sehingga alur kerja yang dilakukan oleh WALHI turut membantu
lebih singkat dan rentang kendali menjadi lebih pemerintah membawa para pembakar hutan dan
pendek. lahan ke ranah hukum.
Persoalannya adalah pada tataran daerah Jaringan pengendalian kebakaran hutan
yang telah diberi kewenangan belum mampu dan lahan secara kelembagaan (Pemerintah) me-
mewujudkan lahirnya Peraturan Daerah yang mang telah terbangun dengan baik, akan tetapi
benar-benar memberikan perhatian khusus pada jaringan kelembagaan itu belum mengarah pada
aspek kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya penguatan kebijakan sektor hulu yakni sektor
adalah baik secara mekanisme kerja maupun pencegahan hal itu tergambar dari koordinasi dan
penganggaran menjadi lebih sulit dan rumit sinkronisasi yang dilakukan lebih bersifat teknis
sehingga kejadian kebakaran hutan dan lahan pemadaman bukan pada aspek regulatif. Selain
tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang itu, minimnya anggaran turut mempersulit kegiatan
singkat. Selain itu, pada tataran kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan se-
misalnya DPRD sebagai aktor regulasi daerah, hingga penetapan status bencana nasional ben-
sampai saat ini belum memiliki inisiatif me- cana opsi yang paling emosional yang dikejar
nerbitkan atau merancang peraturan daerah yang oleh Pemerintah Provinsi Riau. Aspek lain tentu
berkaitan dengan pengendalian kebakaran hutan tidak lepas dari status kawasan hutan dan lahan
dan lahan. DPRD tampak lebih fokus pada dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
persoalan RTRW yang pada prinsipnya muatan yang sampai saat ini belum menemukan kejelasan
politis dan kepentingan ekonomisnya lebih tinggi sehingga berdampak pada peruntukan lahan yang
karena menyangkut status lahan dan kepemilikan ada.
lahan.
DAFTAR RUJUKAN
SIMPULAN Budi,Winarno., 2007., Kebijakan Publik:Teori
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan dan Proses. Jakarta: Media Press.
di Provinsi Riau dilihat dari sisi peran aktor Darwiati, W. dan F.D. Tuheteru. 2010. Dampak
khususnya peran aktor pemerintah terlihat jelas Kebakaran Hutan terhadap Pertumbuhan
bahwa pemerintah dalam kapasitasnya (Pusat- Vegetasi. Jurnal Mitra Hutan Tanaman.
Provinsi-Kabupaten/Kota) telah membangun Hatta, M. 2008. Dampak Kebakaran Hutan
kelembagaan (Organisasi) Dalkarhutla itu dengan Terhadap Sifat-Sifat Tanah di Kecamatan
lengkap sebagaimana merujuk pada peraturan Besitang Kabupaten Langkat. USU e-
yang ada. Dengan terbentuknya kelembagaan Repository. Medan.
pengendalian kebakaran hutan dan lahan itu Nasution, A.Z., Mubarak, dan Zulkifli. 2013.
secara nyata memang memberikan dampak Studi Emisi CO2 Akibat Kebakaran Hutan
positif terhadap cepatnya penanganan keba- di Provinsi Riau. Jurnal Bumi Lestari.
karan hutan dan lahan. Sementara itu pada aktor Notohadinegoro, T. 2006. Pembakaran dan
swasta belum sepenuhnya berperan dalam pe- Kebakaran Lahan. Yogyakarta: Universitas
ngendalian kebakaran hutan dan lahan. Dari dua Gadjah Mada
pihak swasta yang menjadi narasumber dalam Nugroho, Riant. 2003., Kebijakan Publik
studi ini jelas pihak-pihak tersebut berperan se- Formulasi, Implementasi dan Evaluasi.,
suai dengan fungsinya masing-masing dan Jakarta: Elex Media Komputindo.
berdasarkan informasi yang diperoleh, masing- Nugroho, Riant. 2004., Kebijakan Publik
130 Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Volume 15, Nomor 2, Mei 2017, hlm. 85-164

untuk Negara-negara Berkembang, Saharjo, B.H dan C. Gago. 2011. Suksesi alami
Model-model Perumusan Implementasi paska kebakaran pada hutan sekunder
dan Evaluasi. Jakarta: Elex Media di Desa Fatuquero, Kecamatan Railaco,
Kompuitindo. Kabupaten Ermera- Timor Leste. Jurnal
Nugroho, Riant. 2008., Public Policy., Alex Silvikultur Tropika
Media Komputindo Gramedia., Jakarta. Sujianto. 2008. Implementasi Kebijakan
Nugroho, S.P. 2000. Minimalisasi konsentrasi Publik. Pekanbaru: Alaf Riau.
penyebaran asap akibat kebakaran hutan Sugiyono., 2006. Metodologi Penelitian
dan lahan dengan metode modifikasi cuaca. Administratif. Bandung: Alfabeta.
Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Sumaryadi Nyoman., 2005., Perencanaan
Cuaca. Pembangunan Daerah Otonom dan
Perwitasari, D. dan B. Sukana. 2012. Gambaran Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta:
kebakaran hutan dengan kejadian penyakit Citra Utama.
ispa dan pneumonia di Kabupaten Batang Wahab, Solichin Abdul., 2012. Analisis
Hari, Provinsi Jambi tahun 2008. Jurnal Kebijakan; Dari Formulasi ke Model-
Ekologi Kesehatan. Model Implementasi Kebijakan Publik.
Qodriyatun, S. N. 2014. Kebijakan Penanganan Jakarta: Bumi Aksara.
Kebakaran Hutan dan Lahan. Prosiding Tangkilisan, Hesel Nogi., 2003. Implementasi
Info Singkat Kesejahteraan Sosial. Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman Offset.
Peneliti Madya bidang Kebijakan Rangkuti, Syahnan & Tambunan, Irma, 2015,
Lingkungan pada Pusat Pengkajian, Kabut Asap, Bencana Asap Terlama
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sepanjang Sejarah. http://print. kompas.
Setjen DPR RI com. Diakses pada tanggal 20 Januari 2017.

You might also like