You are on page 1of 11

Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara

Tindak Pidana Korupsi

IMPLEMENTASI PENERAPAN PENAFSIRAN HAKIM TENTANG


PELANGGARAN UNSUR BERTENTANGAN DENGAN KEWAJIBAN
PEGAWAI NEGERI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Farhana Nabila Hanifah, Anatomi Muliawan
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul
Jl. Arjuna Utara No.9, Kebon Jeruk, Jakarta Barat
farhanabilahanifah@gmail.com

Abstract
In the current reform era, the realization of good governance must be supported, among others, by law
enforcement against corruption. Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999
concerning Eradication of Corruption Crimes is the legal basis used in Indonesia. Several cases of judge's
interpretation in a Corruption Case are needed to provide clarity regarding whether or not the elements of a
crime have been fulfilled. This thesis discusses "Implementation of Judges' Interpretation of the Violation of
Elements Contrary to the Obligations of Civil Servants in Corruption Cases (Case Study of the Corruption
Court Decision Number 132 / PID.SUS / TPK / 2017 / PN.JKT.PST.", With the problem and purpose of
knowing the forms of legal interpretation in the Corruption Case and the application of the judge's
interpretation to the case study. This research was obtained from primary, secondary and tertiary legal
materials which were then analyzed in a descriptive normative manner. Analytical interpretation methods
and also the construction of law are not permitted in criminal law. The Panel of Judges in this case adopted
a systematic interpretation in their decision. In this case Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of
Corruption Crimes as amended by Law Number 20 of 2001 concerning Amendment to Law Number 31 of
1999 concerning Corruption Crimes is linked to Act Number 5 of 2014 of the State Civil Apparatus (ASN)
concerning Civil Servants.

Keywords: Interpretation, State Civil Apparatus, Corruption

Abstrak
Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya good governance antara lain harus didukung dengan
penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menjadi dasar hukum yang digunakan di Indonesia. Beberapa kasus penafasiran hakim dalam suatu perkara
Tindak Pidana Korupsi diperlukan untuk memberikan kejelasan mengenai terpenuhi atau tidaknya unsur-
unsur tindak pidana. Penelitian ini membahas “Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang
Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST.)”,
dengan permasalahan dan tujuan mengetahui bentuk-bentuk penafsiran hukum dalam perkara Tindak Pidana
Korupsi dan penerapan penafsiran hakim pada studi kasus. Penelitian ini diperoleh dari bahan hukum primer,
sekunder, serta tersier yang kemudian dianalisis secara normatif deskriptif. Metode penafsiran analogis dan
juga pengkontruksian hukum tidak diperkenankan dalam hukum pidana. Majelis Hakim dalam perkara ini
dalam Putusannya menerapkan penafsiran sistematis. Dalam hal ini Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
dihubungkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang Pegawai Negeri.

Kata Kunci : Penafsiran, Aparatur Sipil Negara, Korupsi

Pendahuluan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang


Pada era reformasi sekarang ini, terwujudnya Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
good governance antara lain harus didukung dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang selanjutnya
penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi. disebut dengan “UU No. 28/1999”. Selanjutnya,
Hal ini selaras dengan tujuan yang diamanatkan oleh beberapa peraturan perundang-undangan dibentuk

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 117


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

dalam upaya memberantas korupsi tersebut, yaitu: negara dengan jumlah yang sangat besar. Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang merupakan gejala masyarakat yang dijumpai hampir
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah disetiap bidang kehidupan masyarakat, baik dibidang
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ekonomi, hukum, sosial budaya maupun politik.
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Fakta adanya sejarah membuktikan bahwa hampir
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana setiap negara dihadapkan pada masalah korupsi.(Evi
Korupsi selanjutnya disebut UU KPK. Selanjutnya, Hartanti, 2005)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Dalam usaha pencegahan dan pemberantasan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tindak pidana korupsi, masyarakat mempunyai hak
selanjutnya disebut “UU KPK” dan Undang Undang dan tanggung jawab dalam arti masyarakat berperan
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
Pidana Korupsi selanjutnya disebut “UU Pengadilan tindak pidana korupsi.(Nyoman Serikat Putra Jaya,
Tipikor”. 2005)
Putusan pengadilan pada umumnya masih jauh Tindak pidana korupsi merupakan permasalahan
di bawah batas maksimum ancaman pidana yang yang saat ini dirasakan semakin pesat
ditetapkan dalam undang-undang. Seringkali hakim perkembangannya seiring dengan semakin maju
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan terkait kasus pembangunan suatu bangsa, maka semakin
korupsi menjatuhkan sanksi pidana yang cukup jauh meningkat pula kebutuhan dan mendorong untuk
di bawah ancaman maksimum pemidanaan yang melakukan korupsi.(Andi Hamzah, 2005)
diatur dalam Undang-Undang Tipikor. Lebih jauh Dalam kejahatan tindak pidana korupsi, unsur
lagi, pengadilan dalam menjatuhkan putusan melawan hukum dalam perkara korupsi merupakan
pemberian sanksi pidana kepada para koruptor, hal yang penting dan menentukan untuk adanya suatu
ternyata memberikan hukuman yang berbeda-beda tindak pidana korupsi yang harus
antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain. dipertanggungjawabkan, baik tanggung jawab jabatan
Dengan kata lain, terjadi suatu disparitas pemidanaan, maupun tanggung jawab pribadi. Konsekuensi
yaitu penerapan pidana yang tidak sama terhadap tanggung jawab pribadi berkaitan dengan tanggung
tindak pidana yang sama.(Sigid Suseno dan Nella jawab pidana.
Sumika Putri, 2013) Selanjutnya, dalam beberapa kasus penafasiran
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar hakim dalam suatu perkara Tindak Pidana Korupsi
yang pokok dalam menjatuhi pidana terhadap orang diperlukan untuk memberikan kejelasan mengenai
yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana.
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang Salah satu kasus yang ingin penulis teliti, yaitu
telah dilakukannya, tindak pidana juga mengenai kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
dilarang dengan menerapkan suatu perbuatan yaitu Novel Hasan (Kepala Biro Perencanaan dan
mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu Organisasi BAKAMLA RI) sesuai dengan studi kasus
berdasarkan asas legalitas (principle of legality) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor
sebagai suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada 132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST.
perbuatan yang dapat dilarang dan diancam dengan Penulis ingin menganalisis kasus Tindak Pidana
pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam Korupsi yang dilakukan oleh Novel Hasan (Kepala
perundang-undangan. Tindak pidana merupakan Biro Perencanaan dan Organisasi BAKAMLA RI)
bagian dasar dari suatu kesalahan yang dilakukan sesuai dengan studi kasus Putusan Pengadilan Tindak
terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Pidana Korupsi Nomor Perkara
Asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa Latin 132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST dengan suatu
Nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege permasalahan yang dihasilkan yaitu tentang Perluasan
seperti yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 Kitab Penafsiran Hakim terhadap Kewajiban sebagai
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia diakui Aparatur Sipil Negara kepada Novel Hasan yang
oleh banyak negara, baik yang “liberal-kapitalis”, didakwa oleh Hakim.
maupun “sosialistis”.(Farid, 2010)
Salah satu tindak pidana yang memperoleh Permasalahan
perhatian publik yang sangat besar adalah Tindak Sejalan dengan latar belakang tersebut, untuk
Pidana Korupsi karena tindak pidana tersebut mengetahui permasalahan yang akan di bahas oleh
dilakukan secara masif, dan seringkali merugikan

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 118


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

penulis maka menurut penulis rumusan masalah yang perundang-undangan (rechts vacuum) ataupun kalau
akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : sudah diatur tetapi ketentuan perundang-undangan
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk penafsiran hukum tersebut tidak mengatur secara jelas dan lengkap serta
terkait dengan perkara Tindak Pidana Korupsi? tidak memiliki relevansi dengan rasa keadilan dan
2. Bagaimanakah penerapan penafsiran hakim dalam perkembangan hukum masyarakat.(Ahmad Syaukani
perkara Tindak Pidana Korupsi dengan studi kasus dan A. Hasan Thohari, 2004)
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor Metode Penafsiran yaitu Penafsiran Gramatikal,
Perkara 132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST Historis, Sistematis (Logis), Sosiologis (Teleologis),
dengan terdakwa Novel Hasan? Autentik, Argumentum A Contario, Analogi,
Ekstensif, Restriktif, Futuritis, dan Komparatif.
Metode Penelitian Penafsiran gramatikal (grammatical intepretatie)
Metode Pendekatan dalam penelitian ini, disebut juga penafsiran menurut atau atas dasar
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat
undang-undang dan pendekatan perbandingan, yang bersangkutan. Bekerjanya penafsiran ini ialah
adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya
a. Pendekatan undang-undang (statute approach,) dari suatu rumusan norma hukum atau bagian
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang
dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu sebenarnya menurut bahasa sehari-hari yang
hukum yang sedang ditangani. digunakan masyarajat bersangkutan.(Adami Chazawi,
b. Pendekatan perbandingan (comparative approach), 2009)
dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan Penafsiran Historis adalah meneliti sejarah
hukum.(Peter Mahmud Marzuki, 2008) daripada undang-undang yang bersangkutan.
Dalam membuat tulisan ini, penulis Penafsiran historis ini adalah 2 macam :
menggunakan tipe penelitian hukum normatif dimana a) Penafsiran menurut sejarah pembuatan undang-
penulis melakukan penelitian atas keberlakuan hukum undang (wetshistorische interpretatie).
yang berlaku sebagai norma di masyarakat dengan Penafsiran wetshistorische ini juga dinamakan
cara meneliti study pustaka dengan bahan-bahan yang penafsiran sempit dan hanya menyelidiki “apakah
terkait dengan permasalahan yang dibahas oleh maksud pembuat undang-undang dalam
penulis. Ditinjau dari sifatnya penelitian ini menetapkan peraturan perundang-undangan itu
merupakan, “penelitian deskriptif yaitu penelitian atau siapa yang membuat rancangan untuk undang-
yang dimaksudkan untuk memberikan data yang undang, apa dasar-dasarnya, apa yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau diperdebatkan dalam sidang-sidang DPR dan
gejala-gejala lainnya. sebagainya sehingga undang-undang itu dapat
ditetapkan secara resmi.
Hasil dan Pembahasan b) Penafsiran menurut sejarah hukum
Penafsiran merupakan proses, cara, perbuatan (Rechtshistorische Interpretatie).
menafsirkan upaya untuk menjelaskan arti sesuatu Penafsiran historis ini dinamakan penafsiran yang
yang kurang jelas (Kamus Besar Bahasa Indonesia). luas, karena penafsiran wetshistorisch termasuk di
Secara istilah (terminologi) upaya mencari dan dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini
menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari
dalam undang-undang sesuai dengan yang suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku
dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat atau dari sistem hukum lain yang sekarang masih
Undang-undang dan berhubungan erat dengan soal berlaku atau dari sistem hukum lain yang sekarang
bahasa, yang terpakai untuk mewujudkan dalam kata- masih berlaku di negara lain.
kata beberapa pengertian hukum, dalam Penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran
membicarakan hal-hal yang mengenai hukum, di yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal
antara orang-orang yang saling memperdebatkan yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
suatu hal pengertian hukum, harus ada kata sepakat bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum
tentang arti kata-kata yang dipergunakan.(Afiifah, lainnya, atau membaca penjelasan suatu perundang-
2015) undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud.
Dalam praktek harus diakui, seringkali dijumpai Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang
suatu permasalahan yang tidak diatur dalam disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Penafsiran

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 119


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan ketentuan hukum tersebut tidak lagi menjadi terlalu
keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar luas sehingga kejelasan, ketegasan dan kepastian
penerapan hukum dapat sesuai dengan tujuannya hukum yang terkandung di dalamnya akan lebih
ialah kepastian hukum berdasarkan asas keadilan mudah diraih. (Ensikloblogia, 2016)
masyarakat. Penafsiran Futuristik dengan mengacu kepada
Penafsiran Autentik atau penafsiran secara resmi rumusan dalam rancangan undang-undangan atau
(authentieke interpretatie atau officieele interpretatie) rumusan yang di cita-citakan (ius constituendum).
ialah penafsiran secara resmi. Dalam berbagai Futuristik juga bisa diartikan dengan mencari
perundang-undangan, pembentuk undang-undang pemecahannya dalam peraturan perundang-undangan
telah memasukan keterangan resmi mengenai yang belum mempunyai kekuatan berlaku yaitu
beberapa istilah atau kata dalam perundang-undang dalam rancangan undang-undang.(Mawar, n.d.)
yang bersangkutan. Penafsiran yang dilakukan oleh Model penafsiran komparatif adalah metode
Pembuat Undang-Undang sendiri dapat diikuti dalam membandingkan antara berbagai sistem hukum yang
penjelasan Undang-Undang sebagai lampiran dan cenderung berupaya mecari kesamaan sistem.
tambahan Lembaran Negara dari Undang-Undang Berlawanan dengan penafsiran sistematis yang
yang bersangkutan.(Juanda, 2016) melihatnya sebagai satu kesatuan.
Penafsiran Argumentum A Contrario, yaitu cara Perlu kita perhatikan pendapat penulis Indonesia.
penafsiran yang didasarkan pada perlawanan Moeljatno menolak pemakaian penerapan analogi
pengertian antara soal-soal yang diatur dalam suatu tetapi sebaliknya menerima penafsiran eskensif. Ia
pasal undang-undang. Jadi bekerjanya penafsiran ini mencoba pula untuk menarik garis pemisah antara
berupa kebalikan dari kerja penafsiran analogi dan penerapan analogi dan penafsiran eksensif.(Andi
penafsiran eksensif. Hamzah, 2010)
Penafsiran Analogi adalah penafsiran hukum Dalam hukum pidana sendiri penafsiran dibatasi,
yang menganggap suatu hal yang belum diatur dalam hanya penafsiran ekstensif saja yang dapat dilakukan.
suatu hukum sebagai hal atau disamakan sebagai hal Metode penafsiran analogis dan juga pengkontruksian
yang sudah diatur dalam hukum tersebut, karena hal hukum itu tidak diperkenankan dalam hukum pidana
ini memang bisa dan perlu dilakukan. Analogi dapat sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum pidana
terjadi apabila terhadap suatu rumusan norma tertentu melarang analogi.(Amdani, 2016)
dalam UU yang jelas isi dan pengertiannya untuk Alasan mengapa analogi dilarang dalam hukum
kejadian-kejadian konkret tertentu lain yang jelas pidana yaitu untuk menjamin kepastian hukum.
berbeda dan tidak termasuk pada isi dan apa yang Dirasakan sebagai pelanggaran atas kepastian
diatur oleh norma tadi, namun ada persamaan rasio berlakunya hukum apabila analogi itu digunakan,
dengan kejadian tadi, oleh karena itu, dengan cara sebagaimana dasar dibentuknya rumusan Pasal 1
analog normatersebut masuk pula dan Ayat (1) KUHP adalah latar belakang kepastian
diberlakukannya terhadap kejadian yang berbeda tadi. hukum dalam rangka melindungi rakyat dari upaya
(Adami Chazawi, 2009) sewenang-wenangan penguasa melalui para hakim.
Penafsiran ekstensif yaitu suatu penafsiran Akan tetapi, dilihat adanya kelemahan dari larangan
hukum yang bersifat memperluas ini pengertian suatu menggunakan analogi, perluasan berlakunya hukum
ketentuan hukum dengan maksud agar dengan mempunyai manfaat dalam upaya mencapai suatu
perluasan tersebut, hal-hal yang tadinya tidak keadilan, yang menurut masyarakat sesuatu perbuatan
termasuk dalam ketentuan hukum tersebut sedangkan yang tidak secara tepat dapat dipidana melalui aturan
ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang pidana tertentu, namun dengan menggunakan analogi
mengaturnya, dapat dicakup oleh ketentuan hukum bagi pelaku perbuatan itu menjadi dapat dipidana.
yang diperluas itu. Argumentum A Contrario merupakan cara
Penafsiran Restrektif adalah penafsiran hukum penafsiran atau penjelasan undang-undang yang
yang pada dasarnya merupakan lawan atau kebalikan dilakukan oleh hakim dengan mendasarkan pada
dari penafsiran ekstensif. Kalau penafsiran ekstensif pengertian sebaliknya dari suatu peristiwa konkrit
bersifat memperluas pengertian suatu ketentuan yang dihadapi dengan suatu peristiwa konkrit yang
hukum, maka penafsiran restriktif justru bersifat telah diatur dalam undang-undang. Hakim
membatasi atau memperkecil pengertian suatu mengatakan “peraturan ini saya terapkan pada
ketentuan hukum dengan maksud agar dengan peristiwa yang tidak diatur ini, tetapi secara
pembatasan tersebut, ruang lingkup pengertian kebalikannya”. Jadi, pada Argumentum A Contrario

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 120


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

titik berat diletakkan pada ketidak-samaan mengklasifikasinya menjadi 4 (empat) macam motif,
peristiwanya. seperti teori GONE yang dikemukakan oleh Jack
Scolten sebagaimana dikutip oleh Liza Erwina Bologne, mengatakan ada 4 (empat) akar penyebab
S.H.,M.Hum dalam Penemuan Hukum Oleh Hakim korupsi yaitu Greed, Opportunity, Need, dan Exposes.
di Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana a. Corruption by Greed Motif , korupsi karena
Universitas Sumatera Utara mengatakan bahwa tidak kerakusan dan keserakahan koruptor, ia tidak
hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan pernah puas dengan keadaan dirinya.
Undang-undang secara analogi dan menerapkan b. Corruption by Opportunity Motif , korupsi karena
Undang-undang secara Argumentum A Contrario sistem memberi lubang atau peluang terjadinya
hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undang-undang korupsi. Sistem pengendalian yang tidak rapi,
tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan,
positip sedangkan menjalankan Undang-undang orang dengan mudah memanipulasi angka-angka
secara Argumentum A Contrario membawa hasil sehingga dengan mudah terjadi perilaku curang dan
yang negatif.(Widiyasari, 2010) menyimpang, dan disaat bersamaan sistem
Penafsiran Argumentum A Contrario sama pengawasan tidak ketat, berakibat pada peluang
halnya seperti Analogi yang penerapannya dilarang korupsi terbuka lebar.
dalam hukum pidana, Alasannya, dalam hal ini c. Corruption by Need , Motif korupsi karena sikap
Argumentum A Contrario merupakan suatu mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu
Pengkonstruksian hukum dengan cara mengabstraksi sarat akan kebutuhan yang tidak pernah usai.
prinsip suatu ketentuan untuk kemudian prinsip itu d. Corruption by Expose, Motif korupsi karena
diterapkan secara berlawanan arti atau tujuannya pada hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku rendah,
suatu peristiwa konkret yang belum ada sehingga calon korupsi dan masyarakat yang
pengaturannya. Dalam hukum pidana sangat dengan melihat sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap
kental mengakui asas legalitas “Tiada suatu perbuatan pelaku korupsi sangat rendah dan tidak setimpal
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dengan korupsi yang dilakukannya.(HASBI ASH
dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum SIDDIQI, 2019)
perbuatan dilakukan.”, jika ketentuan ini di abstraksi Definisi tindak pidana korupsi dalam perundang-
kemudian diterapkan berlawanan berarti ada suatu undangan adalah rumusan-rumusan tentang segala
perbuatan yang belum ada pengaturannya bisa perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang
dipidanakan. Maka dengan hal ini Pengkostruksian Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan
hukum Argumen A Contrario maupun Analogi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
dilarang diterapkan di Hukum Pidana. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal
Sudikno Mertokusumo menjelaskan latar 2 “Setiap orang yang secara melawan hukum
belakang perlunya seorang hakim melakukan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
melakukan menangguhkan atau menolak keuangan negara atau perekonomian negara”. Dan
menjatuhkan putusan dengan alasan undang-undang dalam Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan
tidak lengkap atau tidak jelas. Lalu, hasil temuan itu menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
berikutnya dan menjadi sebuah yurisprudensi.(Online, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
2012) jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan keuangan negara atau perekonomian negara”.
yang semakin sulit dijangkau oleh aturan hukum
pidana karena perbuatan korupsi bermuka majemuk Bentuk-Bentuk Penafsiran Hukum Terkait
yang memerlukan kemampuan berpikir aparat Dengan perkara Tindak Pidana Korupsi
pemeriksa dan penegak hukum disertai pola Penafsiran Historis
perbuatan yang sedemikian rapi. Oleh karena itu, Metode penafsiran menurut sejarah pembuatan
perubahan dan perkembangan hukum merupakan undang-undang (wetshistorische interpretatie)
salah satu cara untuk mengantisipasi korupsi digunakan dalam praktik peradilan di MK dapat
tersebut.(Surachim dan Suhandi Cahaya, 2011) dilihat seperti terdapat dalam Putusan Mahkamah
Dari sekian banyak faktor-faktor penyebab Konstitusi RI Nomor 005/PUU-IV/2006 dalam
terjadinya korupsi di Indonesia, penulis akan perkara permohonan pengujian Undang-Undang

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 121


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Majelis telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Hakim Berpendapat sebagai berikut: Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
“Di dalam konteks penafsiran otentik untuk Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
memberikan penafsiran original intend suatu Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
pasal maka hal tersebut dapat dilacak pada KUHP Jo.Pasal 64 ayat 1 KUHP :
perdebatan ketika Pasal dimaksud dirumuskan. Atau
Pada Rapat Pleno ke-41 Panitia Ad Hoc I, Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 8 dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor
Juni 2000, diajukan suatu usulan 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
bahwa: ”Komisi Yudisial berfungsi Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
agung” ”...pengawas yudisial yang mengawasi Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
segala tingkah laku hakim dalam bidang yudisial Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55
yang dilakukan oleh para hakim disemua ayat (1) ke-1 KUHP Jo.Pasal 64 ayat (1) KUHP.
tingkatan...” (Buku Kedua, Jilid 3C, Risalah Bahwa dari dakwaan alternatif tersebut, sesuai
Rapat PAH I MPR, Sekertariat Jenderal MPR-RI, dengan fakta-fakta yang diperoleh di persidangan,
hlm. 433 dan hlm. 442). maka Majelis Hakim langsung memilih dakwaan
alternatif ke dua, yang salah satu penafsiran unsurnya
Di dalam Rapat Pleno ke-36 Panitia Ad Hoc dari sebagai berikut :
Badan Pekerja MPR tanggal 26 September 2001, juga “Ad.1 Unsur Setiap Orang
diajukan suatu gagasan yang berkaitan dengan Menimbang bahwa di dalam Undang Undang Tindak
cakupan pihak yang perlu diawasi oleh Komisi Pidana Korupsi, pengertian setiap orang…” ”
Yudisial, yaitu: ”...Komisi Yudisial sebenarnya “Ad.2 Unsur dengan menguntungkan diri sendiri
adalah bukan hanya menyangkut hakim agung tetapi atau diri sendiri atau korporasi ;
menyangkut seluruhnya hakim tinggi dan hakim Menimbang, bahwa unsur dengan tujuan
pengadilan negeri...mengusulkan supaya para hakim menguntungkan dalam pasal 3 Undang-undang
ini di filter oleh suatu komisi yang sifatnya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan
permanen...”. (Buku ke-2, Jilid 8A, Risalah Rapat unsur subjektif yang melekat pada bathin si pembuat
PAH I, Sekertariat Jenderal MPR-RI, 2001, hlm. 26). dalam melakukan perbuatan menyalahgunakan
Di dalam Naskah Akademis mengenai Rancangan kewenangan, kesempatan, sarana atau kedudukan
UU Komisi Yudisial menurut versi Mahkamah yakni untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
Agung juga dapat ditemukan hal-hal yang berkaitan lain atau suatu korporasi. Unsur tujuan (doel) tidak
penafsiran kata ”hakim”, seperti antara lain: ”...kata berbeda artinya dengan maksud atau kesalahan
hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, sebagai maksud (opzet als oogmerk) atau kesengejaan
baik hakim tingkat pertama, tingkat banding dan dalam arti sempit ; Bahwa unsur menguntungkan diri
tingkat kasasi” (Naskah Akademis Rancangan UU sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung, hlm. 26 dimaksud dalam pasal 3 Undang-undang
dan 58). ”...kami memandang...tugas yang ditafsirkan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini, dapat
dari fungsi diatas... pengawasan dan pendisiplinan diartikan bahwa ada keuntungan yang diperoleh oleh
hakim (termasuk hakim agung)”. (Naskah Akademis pelaku tindak pidana korupsi atau orang lain atau
dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial versi suatu korporasi yang dilakukan dengan
Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 45) menyalahgunakan kewenangannya, dan keuntungan,
yang diperoleh itu bisa berupa uang, pemberian
Penerapan Penafsiran Historis menurut sejarah hadiah, fasilitas dan kenikmatan lainnya ;
hukum (Rechtshistorische Interpretatie) pada Putusan Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Perkara nomor 67/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Jkt.Pst RI tanggal 29 Juni 1989 Nomor : 813 K/PID/1987
terdakwa telah dituntut Penuntut Umum dengan yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau
dakwaan alternatif yaitu : orang lain atau suatu badan cukup dinilai dari
Pertama, sebagaimana diatur dan diancam kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan
pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 122


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

perilaku Terdakwa sesuai dengan kewenangan yang melainkan sudah jamak terjadi. Karena itulah
dimilikinya karena jabatan atau kedudukan ; berkembang ilmu tentang penafsiran hukum. Dengan
Menimbang ,bahwa kata “ atau “ setelah kalimat demikian, dalam hubungannya dengan permohonan a
dengan tujuan dalam unsur kedua di atas mengandung quo, tidak adanya – atau lebih tepatnya, tidak
makna alternatif, artinya yang diuntungkan itu bisa mudahnya – menentukan ukuran tentang suatu hal,
diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi, yang atau peristiwa, atau perbuatan, atau keadaan “yang
mempunyai kapasitas yang sama di dalam meresahkan masyarakat” tidaklah dapat diartikan
pemenuhan unsur kedua ini, dan dengan terpenuhi bahwa hal, peristiwa, perbuatan, atau keadaan yang
salah satu unsur berarti telah memenuhi unsur meresahkan masyarakat itu menjadi tidak ada atau
tersebut; lebih baik ditiadakan, apalagi menyatakannya sebagai
sesuatu yang inkonstitusional. Sebab, jika alur
Penafsiran Sosiologis (Teleologis) penalaran ini diikuti, maka istilah “kepentingan
Contoh Penafsiran Sosiologis (Teleologis), umum”, “ketertiban umum”, “kepentingan bangsa”,
Berdasarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan masih banyak lagi, yang tidak dapat diberikan
Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. ukuran yang pasti secara hukum, harus pula dianggap
 Pasal 11 huruf b UU KPK yang berbunyi, tidak ada atau lebih baik ditiadakan dan dinyatakan
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud inkonstitusional, karena semua istilah tersebut juga
dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan mengandung potensi atau kerentanan untuk
Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, disalahgunakan sehingga menimbulkan
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ketidakpastian dan ketidakadilan. Mahkamah tidak
yang: a. .....; b. mendapat perhatian yang meresahkan sependapat dengan jalan pikiran demikian. Sebab,
masyarakat; c. ...”, oleh Pemohon II dianggap telah bagaimanapun sulitnya menemukan ukuran atau
menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan definisi hukum tentang sesuatu “yang meresahkan
karena tidak adanya ukuran yang pasti mengenai frasa masyarakat” itu bukan berarti fakta tentang keresahan
“yang meresahkan masyarakat” dalam Pasal 11 huruf itu tidak ada;
b UU KPK tersebut sehingga rentan untuk Bahwa Mahkamah sama sekali tidak bermaksud
disalahgunakan. menafikan kalau ketidakmudahan dalam menentukan
ukuran tentang hal, peristiwa, perbuatan, atau
Terhadap dalil Pemohon II tersebut, Mahkamah keadaan “yang meresahkan masyarakat” mempunyai
akan memberikan pertimbangannya sebagai berikut: potensi untuk disalahgunakan. Maksud Mahkamah
Bahwa norma hukum yang dirumuskan secara adalah, jika hanya dengan dalil demikian tidaklah
tertulis ke dalam bentuk rumusan pasal atau ayat dari cukup untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 11
suatu undang-undang hakikatnya adalah proposisi huruf b UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.
atau pernyataan yang terdiri atas serangkaian konsep Sebab, jika dibaca secara utuh Pasal 11 UU KPK
atau pengertian. Oleh karena itu, suatu pernyataan yang berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas
hukum hanya dapat dimengerti secara benar apabila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
terlebih dahulu telah terdapat pemahaman yang benar Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
terhadap konsep-konsep atau pengertian-pengertian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
yang membentuk pernyataan itu. Yang menjadi pidana korupsi yang:
masalah adalah bahwa acapkali suatu konsep atau a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
pengertian yang berada di alam kehendak (wollen, negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan
sollen) tatkala diverbalkan ke dalam rumusan kata- tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat
kata ternyata tidak menghasilkan definisi yang penegak hukum atau penyelenggara negara;
mampu merepresentasikan keseluruhan konsep yang b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dikehendaki itu sehingga pernyataan atau proposisi dan/atau
yang dihasilkan pun menjadi tidak mudah untuk c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.
dipahami. Tentu tidak dapat serta-merta lantas ditarik 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”,
kesimpulan bahwa jika demikian halnya maka
pengertian atau konsep itu tidak ada atau lebih baik Maka sangat jelas bahwa adanya kata “dan/atau”
ditiadakan dengan alasan menimbulkan setelah kalimat “mendapat perhatian yang
ketidakpastian hukum. Dalam dunia hukum, keadaan meresahkan masyarakat” harus ditafsirkan bahwa
demikian bukan saja bukan merupakan hal baru syarat yang tak dapat ditiadakan agar KPK

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 123


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan dan melanggar ketentuan dalam Pasal 12 huruf b
penuntutan tindak pidana korupsi ada pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
huruf a yang dikumulatifkan dengan huruf b atau c Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
atau keduanya (b dan c). Dengan kata lain, syarat diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
pada huruf a bersifat mutlak, sedangkan syarat pada 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
huruf b dan pada huruf c boleh terpenuhi salah satu 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
atau keduanya. Sedangkan jika hanya terpenuhi salah Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana
satu dari huruf b atau huruf c, atau huruf b sekaligus dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
huruf c, namun syarat pada huruf a tidak ada maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta
KPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan dijatuhi hukuman Pidana Penjara selama 4 (empat)
penyelidikan, lebih-lebih penyidikan dan penuntutan. tahun dan pidana denda sebesar Rp 200.000.000,00
Dengan demikian, jika seseorang yang (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
terhadapnya telah dilakukan penyelidikan, penyidikan, denda tidak dibayar diganti dengan menjalani
atau bahkan penuntutan oleh KPK padahal syarat kurungan selama 2 (dua) bulan, lamanya Terdakwa
yang terpenuhi hanya syarat pada huruf b atau c (atau dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dengan
keduanya) namun syarat pada huruf a tidak terpenuhi, pidana yang dijatuhkan.
maka sudah tentu orang yang bersangkutan dapat Mengingat Jabatan dari Terdakwa yaitu selaku
mengajukan keberatan dalam persidangan (karena Pegawai Negeri Sipil Kepala Biro Perencanaan dan
KPK tidak berwenang menerbitkan SP3) agar hakim Organisasi di Badan Keamanan Laut Republik
menyatakan bahwa KPK tidak berwenang melakukan Indonesia (BAKAMLA RI), bahwa unsur Pegawai
penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan atas tindak Negeri atau Penyelenggara Negara dalam ketentuan
pidana yang bersangkutan. Keberatan yang sama pun Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun
dapat diajukan oleh seseorang jika, misalnya, KPK 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
merasa berwenang karena menurutnya syarat pada sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
huruf a dan huruf b terpenuhi sedangkan menurut 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
orang yang bersangkutan syarat pada huruf b itu Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
justru tidak terpenuhi, misalnya dengan mengajukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menunjukan
saksi ahli untuk membuktikannya. Dalam hal keadaan kualitas subjek hukum pelaku tindak pidana, yaitu
demikian terjadi maka hal itu sepenuhnya merupakan harus unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara
kompetensi hakim atau pengadilan di lingkungan Negara. Kata “atau” pada unsur tersebut bersifat
peradilan umum untuk memutusnya. Dengan alternatif (pilihan), artinya apabila salah satu telah
demikian, dalil Pemohon II yang menyatakan bahwa terbukti maka unsur tersebut telah terpenuhi.
Pasal 11 huruf b telah menimbulkan ketidakpastian Dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-
hukum, tidak sepenuhnya benar. Sebab, kepastian Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
hukum tetap dijamin meskipun kepastian itu baru Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diperoleh setelah adanya putusan hakim yang akan diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
memberikan penilaian apakah syarat “yang 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
meresahkan masyarakat” itu terpenuhi atau tidak; 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Dengan keseluruhan pertimbangan di atas, Korupsi yang dimaksud dengan “Pegawai Negeri”,
Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon II, meliputi :
sepanjang menyangkut Pasal 11 huruf b UU KPK, 1. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam
tidak cukup beralasan; Undang-Undang tentang Kepegawaian
2. Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam
Penerapan Penafsiran Hakim Dalam Perkara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Tindak Pidana Korupsi Studi Kasus Putusan 3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor Negara atau daerah
132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST 4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu
Dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana korporasi yang menerima bantuan dari keuangan
Korupsi Nomor Perkara Negara atau daerah
132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST tentang 5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi
Tindak Pidana Korupsi yaitu Terdakwa NOVEL lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari
HASAN melakukan korupsi secara bersama-sama Negara atau masyarakat.

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 124


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

Dengan memperhatikan pengertian unsur pegawai terdakwa selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara
negeri tersebut diperoleh pemenuhan unsur hukum, Negara.
yaitu : Dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
1. Bahwa Terdakwa NOVEL HASAN merupakan Pasal 3 huruf b menjadi hubungan yang digunakan
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam jabatan Sipil Majelis Hakim, yang isinya pengertian dalam
Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Badan jabatannya bertentangan dengan kewajibannya
Keamanan Laut Republik Indonesia (BAKAMLA Aparatur Sipil Negara sebagai profesi berlandaskan
RI). kepada Kode Etik dan kode Perilaku yang bertujuan
2. Bahwa peran Pegawai ASN sebagai perencanaan, untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN
pelaksana dan pengawas penyelenggara tugas (Aparatur Sipil Negara) serta dalam Pasal 12 diatur
umum pemerintah dan pembangunan nasional pegawai ASN berperan melalui pelaksanaan
melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional
publik yang profesional bebas dari intervensi bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktek
politik, serta bersih dari praktek korupsi, kolusi dan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan bahkan setiap
nepotisme, vide pasal 12 Undang-Undang ASN pegawai negeri sipil dalam sumpah jabatnnya juga
(Aparatur Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014) telah berjanji tidak akan menerima sesuatu dalam
3. Bahwa atasan Langsung Terdakwa adalah Saksi kedudukan/jabatan yang akan diembannya.
Eko Susilo Hadi selaku Plt Sekretaris Utama Menurut Analisa Penulis, pada isi Putusan
(Sestama) BAKAMLA RI. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor Perkara
Selanjutnya unsur menerima hadiah yang 132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST serta dengan
dimaksud telah juga terpenuhi pada perbuatan fakta-fakta hukum yang ada didalamnya, Majelis
terdakwa : Unsur padahal diketahui atau patut diduga Hakim dalam perkara ini serta dalam Putusannya
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau menerapkan penafsiran sistematis yaitu suatu cara
disebabkan karena telah melakukan atau tidak untuk mencari pengertian dari suatu rumusan norma
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang hukum atau bagian/unsur dari norma hukum dengan
bertentangan dengan kewajibannya. cara menghubungkan pasal yang satu dengan pasal
Memperhatikan unsur “bertentangan dengan yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
kewajibannya” pada terdakwa diperoleh pula analisa bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum
unsur , yaitu : lainnya, sehingga menjadi jelas apa yang
1. Bahwa terdakwa Novel Hasan merupakan Kepala dimaksudkan oleh undang-undang tersebut. Dalam
Biro Perencanaan dan Organisasi di Badan hal ini Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Keamanan Laut Republik Indonesia . dihubungkan pasalnya terhadap pasal dari Undang-
2. Dengan jabatan tersebut, terdakwa berhak untuk Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) tentang
menyusun dan mengajukan Anggaran Pendapatan Pegawai Negeri, kewajibannya serta apa yang
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun bertentangan dengan kewajibanya. Unsur-unsur yang
Anggaran 2016. terpenuhi dari hubungan dari pasal kedua Undang-
3. Sebagai Kepala Biro Perencanaan, terdakwa Undang tersebut menjadi bahan pertimbangan serta
menjalankan tugas dan fungsinya untuk penafsiran dalam perkara tindak pidana korupsi ini.
mengkoordinasikan rencana anggaran di Bakamla. Jadi perbuatan Terdakwa dalam perkara ini yang
Atas dasar tersebut, dapat dikatakan bahwa telah menerima uang sejumlaah SGD104.500 telah
terdakwa tidak melakukan sesuatu yang bertentangan bertentangan dengan kewajiban Terdakwa Selaku
dengan kewajibannya atau telah melakukan sesuatu Pegawai Negeri Sipil yang dalam pelaksanaan
yang bertentangan dengan kewajibannya sebagai kebijakan dan pelayanan publik yang profesional
Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi di Bakamla, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktek
yang artinya unsur bertentangan dengan kewajiban korupsi, kolusi dan nepotisme sekaligus juga harus
tidak terpenuhi untuk terdakwa selaku Kepala Biro mematuhi kode etik dan perilaku seorang pegawai
Perencanaan dan Organisasi di Bakamla. Namun negeri ASN yang harus menjunjung tinggi standar
karena tidak terpenuhinya unsur bertentangan dengan etika profesi yakni menjalankan tugas secara
kewajibannya sebagai Karo BAKAMLA, Majelis profesional dan tidak memihak
Hakim melakukan Pemenuhan unsur dengan cara
memperluas dan menghubungkan pengertian
“bertentangan dengan kewajibannya” terhadap

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 125


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

Penutup Undang. Penafsiran hukum penting kehidupan atau


Interpretasi atau penafsiran merupakan salah aktivitas yang berkaitan dengan hukum. Tetapi Perlu
satu metode penemuan hukum yang memberi adanya gambaran yang jelas tentang metode
penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang- penafsiran yang digunakan hakim dalam setiap
undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan putusannya, sehingga dapat memudahkan para pihak
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam ataupun masyarakat untuk memahami setiap putusan
melakukan penafsiran hukum terhadap suatu dengan adanya penafsiran hukum yang ada agar
peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mempelajari dan memperdalami ilmu dari penafsiran
lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak hukum yang ada menjadi lebih ringan
dapat bertindak sewenang-wenang, Bentuk penafsiran
hukum pada umumnya digunakan pada semua
Peradilan termasuk di Peradilan Tindak Pidana Daftar Pustaka
Korupsi. Adami Chazawi. (2009). Pelajaran Hukum Pidana.
Terdapat beberapa metode Penafsiran yaitu Jakarta: Rajawali Pers.
Penafsiran Gramatikal, Historis, Sistematis (Logis),
Sosiologis (Teleologis), Autentik, Argumentum A Afiifah, H. N. (2015). Penafsiran Hukum Yang
Contario, Analogi, Ekstensif, Restriktif, Futuritis, dan Digunakan Hakim Mengenai Syarat Sahnya
Komparatif. Tetapi penafsiran dalam Tindak Pidana Perkawinan (Studi Terhadap Putusan Perkara
Korupsi terhadap beberapa putusan yang ditemui Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr). Skripsi, 83.
penulis, hakim menggunakan Penafsiran Historis https://doi.org/10.1145/3132847.3132886
menurut sejarah pembuatan undang-undang
(wetshistorische interpretatie), Penerapan Penafsiran Ahmad Syaukani dan A. Hasan Thohari. (2004).
Historis menurut sejarah hukum (Rechtshistorische Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT.
Interpretatie), Penafsiran Teleologis (sosiologis) dan Rajawali Grafindo Persada.
Penafsiran Sistematis.
Fakta-fakta hukum yang ada Dalam Putusan Amdani, Y. (2016). Implikasi Penafsiran Undang-
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor Undang Oleh Hakim Praperadilan Dalam
132/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST, Majelis Perkara Tindak Pidana Korupsi. Mimbar
Hakim dalam menentukan unsur pada pasal 12 b yg Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah
berbunyi “ pegawai negeri atau penyelenggara negara Mada, 27(3), 459.
yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut https://doi.org/10.22146/jmh.15872
diduga bahwa hadiah tersebut disebabkan karena
telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang Andi Hamzah. (2005). Perbandingan Korupsi
bertentangan dengan kewajibannya” Majelis Hakim Diberbagai Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
menerapkan Penafsiran Sistematis dengan
menggabungkan pasal 12 b Undang-Undang Nomor ------------. (2010). Asas-Asas Hukum pidana Edisi
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Revisi 2008. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidana Korupsi dengan Pasal 3 huruf b Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara Arianto, H. (2010). Hukum Responsif dan Penegakan
(ASN) tentang Pegawai Negeri sehingga menjadi Hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 7(2),
jelas apa yang dimaksudkan oleh undang-undang 18013.
tersebut. dihubungkan pasalnya terhadap pasal dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Ensikloblogia. (2016). Pengertian Penafsiran Hukum
Negara (ASN) tentang Pegawai Negeri, kewajibannya dan Macam-Macam Penafsiran Hukum.
serta apa yang bertentangan dengan kewajibanya. Retrieved from
Unsur-unsur yang terpenuhi dari hubungan pasal http://www.ensikloblogia.com/2016/08/penge
kedua Undang-Undang tersebut menjadi bahan rtian-penafsiran-hukum-dan-macam.html
pertimbangan serta penafsiran dalam perkara tindak
pidana korupsi ini. Evi Hartanti. (2005). Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Penafsiran dapat berfungsi sebagai metode Sinar Grafika.
dalam arti menambah, mengurangi, atau memperbaiki
makna yang terdapat dalam suatu teks Undang-

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 126


Implementasi Penerapan Penafsiran Hakim Tentang Pelanggaran Unsur Bertentangan Dengan Kewajiban Pegawai Negeri Dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi

Farid, Z. A. (2010). Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar (Beberapa Tinjauan dari Putusan MKRI). Lex
Grafika. Jurnalica, 4(2), 17930.

Hasbi Ash Siddiqi. (2019). Pidana, Analisis Undang- Widiyasari, P. (2010). Analisis Yuridis Penggunaan
Undang Pemberantasan Tindak Perspektif, Penafsiran A Contrario Argumentum Oleh
Korupsi Dan Penerapan Hukumnya Dalam Hakim Untuk Menilai Berlakunya Uu Kpk
Law, Economic Analysis Of Law (Universitas Dan Implikasinya Terhadap Keabsahan
Islam Indonesia Yogyakarta). Penyidikan Perkara Korupsi Pengadaan
https://doi.org/10.22201/fq.18708404e.2004.3. Helikopter ( Studi Putusan Ma Nomor
66178 Putusan Mahkamah Agung Nomor
1688K/2000 ). 11.
Juanda, H. E. (2016). Konstruksi Hukum Dan Metode https://doi.org/10.1093/occmed/kqq062
Interpretasi Hukum. No. 2, 4. Retrieved from
https://docplayer.info/58155934-Konstruksi- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
hukum-dan-metode-interpretasi-hukum.html Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Muliawan, A., & Caniago, C. (2010). Efektifitas Pidana Korupsi
Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Tindak
Pidana Gratifikasi. Lex Jurnalica, 7(2), 18002. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil
Negara (ASN) tentang Pegawai Negeri
Mawar, S. (n.d.). Metode Penemuan Hukum
(Interpretasi Dan Konstruksi) Dalam Rangka
Harmonisasi Hukum. 13.

Nyoman Serikat Putra Jaya. (2005). Tindak Pidana


Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia.
Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.

Online, H. (2012). Kapan dan Bagaimana Hakim


melakukan Pemuan Hukum? Retrieved from
Hukum Online website:
http;//www.hukumonline.com/klinik/detail/ula
san/lt4f0aa8449485b/kapan-dan-bagaimana-
hakim-melakukan-penemuan-hukum.html,

Peter Mahmud Marzuki. (2008). Penelitian Hukum.


Jakarta: Kencana.

Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri. (2013). Hukum


Pidana Indonesia: Perkembangan dan
Pembaharuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Surachim dan Suhandi Cahaya. (2011). Strategi dan


Tekni Korupsi (Cetakan Pe). Jakarta: Sinar
Grafika.

Susetio, W. (2007). Konsep Welfare State dalam


Amandemen UUD 1945: Implementasinya
dalam Peraturan Perundang-Undangan

JCA of LAW Vol. 1 No. 1 Tahun 2020 127

You might also like