You are on page 1of 16

KOMUNIKASI ANTARABDI DALEM

DI LINGKUNGAN KERATON SURAKARTA HADININGRAT


(Communication Among Abdi Dalem in The Palace of Surakarta Hadiningrat)

Eka Susylowati
Program Pascasarjana Linguistik
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
Posel: esusylowati@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 27 Agustus 2019—Direvisi Tanggal 4 November 2019—Disetujui Tanggal 21


November 2019)

Abstract
The Javanese language used in Surakarta Hadiningrat Palace as a media communication is still
dominant with its speech levels. In the palace, communication uses language levels from ngoko, madya,
krama, krama inggil, and even kedhaton language. The purpose of this study is to describe the form of
verbal interaction, factors, and social function of Javanese language in the palace. This research is a
qualitative research by taking the location of research in Surakarta Hadiningrat Palace. The data used
in the research namely Javanese in daily activities and traditional ceremonies in the palace. Oral and
written form the data of the research. The data is provided by the method of recording, observation, and
interview. In the data analysis using the speech component approach. From the results of the study it is
concluded that the form of the use of Javanese language used by abdi dalem is influenced by vertical
and horizontal relationships among participants. The factors that influence the use of Javanese
language are the speakers' assumptions about their social position and relationship with the person they
are talking to, the presence of a third person, the tone and atmosphere of speech, themes, and norms.
The social function of Javanese language in the palace for abdi dalem as an official media
communication in the palace, media for creating social distance between superiors and subordinates,
as an expression of respect, strengthening the position of the king, creating sincere/polite attitudes
among subordinates and superiors.

Keyword: Javanese, abdi dalem, Palace of Surakarta Hadiningrat

Abstrak
Bahasa Jawa yang digunakan di Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai alat komunikasi masih
mengenal unggah-ungguh (speech levels). Komunikasi menggunakan tingkatan bahasa mulai dari
ngoko, madya, krama, krama inggil, dan bahkan basa kedaton. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan wujud interaksi verbal, faktor penentu, fungsi sosial bahasa Jawa pada abdi dalem
Keraton Surakarta Hadiningrat. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mengambil lokasi
penelitian di Keraton Surakarta Hadiningrat. Data yang digunakan adalah bahasa Jawa dalam aktivitas
sehari-hari dan upacara adat di keraton. Datanya dalam bentuk lisan dan tulisan. Penyediaan data
dilakukan dengan metode rekam, observasi, dan wawancara. Analisis data menggunakan pendekatan
komponen tutur. Dari hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa wujud penggunaan bahasa Jawa pada
abdi dalem dipengaruhi oleh hubungan vertikal dan horizontal antarpartisipan. Faktor penentu yang
memengaruhi penggunaan bahasa Jawa adalah anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan
relasinya dengan orang yang diajak berbicara, kehadiran orang ketiga, nada dan suasana berbicara,
pokok pembicaraan, dan norma. Fungsi sosial bahasa Jawa untuk abdi dalem adalah sebagai alat
komunikasi resmi dalam keraton, alat untuk menciptakan jarak sosial antara atasan dan bawahan,
sebagai pengungkap rasa hormat, memperkuat kedudukan raja, menciptakan unggah-ungguh/sikap
sopan-santun antara bawahan dan atasan.

Kata kunci: bahasa Jawa, abdi dalem, Keraton Surakarta Hadiningrat


SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari, Keraton


Bahasa sangat erat hubungannya dengan Surakarta Hadiningrat menggunakan bahasa
masyarakat karena digunakan dalam Jawa mulai dari tingkatan ngoko, madya,
hubungan sosial sehari-hari. Bahasa juga krama, krama inggil dalam interaksi sosial.
menunjukkan identitas diri penutur tersebut Komunikasi antara seseorang yang satu dan
dalam lingkungan sosial. yang lain dalam keraton harus berhati-hati
Masyarakat Jawa mempunyai budaya karena terdapat berbagai lapisan dan tingkatan
dan identitas yang jelas. Identitas tersebut yang berbeda-beda. Masyarakat Keraton
merupakan ciri khas, tetapi seiring Surakarta Hadiningrat terdiri atas seorang raja
berjalannya waktu telah banyak berubah. Hal yang mempunyai sebutan sampeyan dalem,
tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal, salah putra-putri dalem ‘putra-putri raja, sentana
satunya adalah pengaruh budaya luar. Budaya dalem ‘kerabat raja’, dan abdi dalem ‘pegawai
Jawa banyak mengalami degradasi sehingga keraton’. Pemilihan kata harus disesuaikan
muncul istilah wong Jawa ilang Jawane dengan keadaan, yang mengucapkan, siapa
‘orang Jawa telah hilang Jawanya’ yang yang diajak berbicara, kapan, di mana,
artinya orang Jawa telah kehilangan identitas bagaimana, apa sebab, maksud, dan
utamanya, seperti budaya, bahasa, unggah- tujuannya. Hal ini memperlihatkan bahwa
ungguh (sopan-santun) dan sebagainya. tingkat tutur berbahasa masih digunakan.
Masyarakat Jawa mengenal sistem Poejosoedarmo mengatakan bahwa tingkat
stratifikasi sosial sejak kekuasaan Mataram tutur merupakan variasi-variasi bahasa yang
seperti yang dijelaskan Geertz yang dimuat perbedaan antara satu dan yang lainnya
dalam buku The Religion of Java (Geertz, ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang
1960). Dalam penelitiannya, Geertz ada pada diri penutur terhadap mitra tutur
menemukan pola penggunaan tingkat tutur (Poedjosoedarmo, 1979).
dalam bahasa Jawa, yaitu krama, madya, Berdasarkan hasil pembahasan dapat
ngoko, berdasarkan status sosial penuturnya, dinyatakan bahwa tingkat tutur adalah adat
yaitu priyayi, petani dan nonpriyayi. Selain sopan-santun dalam berbahasa (Dwirahardjo,
itu, Gumperz telah melakukan penelitian 2001). Adab sopan-santun dalam berbahasa
terhadap keragaman bahasa dalam masyarakat Jawa akan memperlihatkan perilaku
di wilayah pedesaan India. Keadaan sosial kebahasaan yang merupakan cermin perilaku
India tergolong unik karena masyarakatnya masyarakatnya. Pembagian tingkat tutur oleh
mempunyai latar belakang agama yang para ahli dimulai dari tingkat tutur yang cukup
berbeda dan masyarakat India sendiri terbagi rumit sampai pembagian tingkat tutur yang
menjadi beberapa kasta. Gumperz mengamati sederhana. Pada tahun 1899 Ki
hubungan-hubungan yang terbentuk antara Padmosoesastra telah memuat unggah-
golongan satu dengan golongan lainnya dan ungguhing basa. Konsep pembagiannya
mengamati penggunaan bahasa pada setiap diikuti secara sangat patuh oleh para ahli
hubungan tersebut. Dalam masyarakat bahasa selanjutnya, di antaranya adalah
keraton, seperti Keraton Surakarta Kartibasa (1946), Poerwodarminta (1953),
Hadiningrat, kelompok-kelompok sosial dan Prawiroatmojo (1955). Konsep tersebut
terwujud karena adanya rasa kebersamaan membagi tingkat tutur menjadi tujuh jenis
dalam anggota masyarakat tersebut. Dengan tingkat tutur bahasa Jawa, yaitu ngoko,
demikian, setiap anggota masyarakat madya, krama, krama inggil, krama desa,
mempunyai kebiasan dan perilaku berbeda kedhaton dan basa kasar. Pembagian tingkat
satu dengan yang lainnya, termasuk dalam tutur yang cukup rumit tersebut ternyata
penggunaan bahasa. kurang menguntungkan. Poejosoedarmo

168
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi masih mengenal tingkat tutur atau unggah-
tiga macam, yaitu ngoko, madya, krama ungguh.
(Poedjosoedarmo, 1979). Yang menjadi permasalahan dalam
Dalam Keraton Surakarta Hadiningrat penelitian ini adalah (1) bagaimana wujud
terdapat sistem komunikasi khusus yang interaksi verbal penggunaan bahasa Jawa
dilakukan oleh kelompok tertentu, tingkatan pada abdi dalem Keraton Surakarta
tertentu, dan pada waktu tertentu dengan Hadiningrat antara penutur dan mitra tutur, (2)
menggunakan bahasa tertentu, yaitu bahasa faktor-faktor apa yang memengaruhi ragam
kedaton. Sementara itu, di lingkungan keraton penggunaan bahasa Jawa pada abdi dalem di
di Yogyakarta bahasa tersebut dikenal dengan Keraton Mangkunegaran, (3) bagaimana
sebutan bahasa bagongan. Sampai sekarang fungsi sosial penggunaan bahasa Jawa pada
bahasa kedaton masih digunakan di Keraton abdi dalem di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Surakarta Hadiningrat, khususnya pada situasi Penggunaan bahasa Jawa tidak terlepas
resmi pada waktu upacara adat keraton. dari unggah-ungguh (tingkat tutur), suba sita
Penggunaan bahasa kedaton tidak begitu (kesantunan), dan trap silo uda negara
banyak diketahui karena menggunakan (kepangkatan). Tingkat tutur atau speech
leksikon yang “aneh” apabila didengarkan levels merupakan variasi berbahasa yang
masyarakat luas. Misalnya, penggunaan kata perbedaan-perbedaannya ditentukan oleh
pakenira ‘kamu’, manira ‘saya’, inggih ‘ya’ anggapan penutur (O1) tentang relasinya
dan lain sebagainya. Penggunaan kata–kata terhadap orang yang diajak berbicara (O2).
tersebut sangat jarang digunakan oleh Relasi tersebut dapat bersifat akrab, sedang
masyarakat umum. berjarak, menaik, mendatar, dan menurun
Sementara itu, kajian lainnya yang (Dwirahardjo, 2001).
berhubungan dengan penggunaan bahasa Bahasa Jawa mengenal adanya tingkat
kedaton dapat disimak dalam penelitian tutur atau undha-usuk yang cukup canggih
Murcahyanto (2008) yang berjudul dan rapi, yaitu ngoko lugu, ngoko andhap,
“Penggunaan Bahasa Kedhaton Dalam antya basa, basa antya, wredha krama,
Lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat”. mudha krama, kramantara, madya ngoko,
Penelitian ini mengamati bentuk penggunaan madya krama, madyantara, krama inggil, dan
bahasa kedaton yang dipengaruhi oleh krama desa. Selain itu, masih ada juga basa
hubungan vertikal antara penutur dan mitra kedaton dan basa bagongan. Pendapat
tutur dan adanya tingkat tutur dalam bahasa mengenai tingkat tutur tersebut dikemukakan
kedaton serta fungsi kultural dalam oleh Poedjosoedarmo (Poedjosoedarmo,
penggunaan bahasa kedaton. 1979). Seiring dengan perubahan zaman,
Menurut pengamatan peneliti, ada tingkat tutur mengalami penyempitan dan
banyak hal yang menarik untuk diamati dibagi menjadi dua jenis, yaitu ngoko dan
khususnya dalam sistem berkomunikasi. Perlu krama. Pendapat tersebut diperkuat oleh
diketahui bahwa dalam masyarakat Keraton Sudaryanto (Sudaryanto, 1990).
Surakarta Hadiningrat masih menggunakan Sebelumnya telah dikemukakan bahwa
tingkatan bahasa mulai dari ngoko, madya, dalam keraton terdapat masyarakat khusus
krama, krama inggil dan bahkan basa kedaton. yang dalam berkomunikasi menggunakan
Mengingat hal tersebut peneliti tertarik untuk bahasa Jawa pada waktu dan keadaan tertentu
meneliti lebih mendalam mengenai menggunakan kata-kata khusus yang disebut
penggunaan bahasa Jawa yang digunakan bahasa kedaton. Pada awalnya kedudukan
oleh abdi dalem Keraton Surakarta bahasa kedaton dalam bahasa Jawa
Hadiningrat sebagai alat komunikasi yang dimasukkan ke dalam tingkat tutur bahasa

169
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

Jawa, tetapi setelah mengalami Hymes membagi fungsi bahasa menjadi


perkembangan zaman kemudian kedudukan tujuh jenis, yaitu (1) fungsi ekspresif (untuk
bahasa kedaton sudah tidak termasuk ke memohon atau memrintah), (2) fungsi
dalam tingkat tutur bahasa Jawa. referensial (untuk menyatakan isi proposisi
Bahasa kedaton (di Yogyakarta disebut benar atau salah), (3) fungsi puitik
basa bagongan) adalah bahasa yang (menyatakan keindahan atau estetika), (4)
digunakan oleh keluarga raja dan/atau para fungsi fatik ( simpati dan solidaritas), dan (5)
karyawan (abdi) yang bekerja di dalam istana. fungsi metalinguistik (untuk menjelaskan
Selanjutnya, menurut Dwiraharjo bahasa dengan referensi pada bahasa itu sendiri), (6)
bagongan merupakan salah satu bentuk Fungsi kontekstual, (7) (Hymes, 1974) fungsi
akrolek, yaitu variasi sosial yang dianggap kontak (fisik atau psikologis) (Hymes, 1974).
lebih tinggi atau bergengsi daripada variasi Sementara itu, fungsi dari tataran
sosial lainnya (Dwirahardjo, 2001). Bahasa bahasa ngoko-krama dalam masyarakat ialah
kedaton dan basa bagongan merupakan (a) sebagai norma pergaulan dalam
bagian bahasa Jawa yang dibedakan menurut masyarakat, (b) sebagai tatanan unggah-
tingkat tuturnya dan termasuk bahasa yang ungguh yang berarti tata sopan antara
tidak produktif karena digunakan untuk bawahan dan atasan, (c) berfungsi sebagai alat
maksud dan tujuan tertentu dalam lingkungan untuk menyatakan sikap hormat dan
tertentu. keakraban, tataran krama menyatakan hormat
Fungsi bahasa dalam masyarakat adalah kepada orang yang diajak berbicara dan
sebagai alat komunikasi dalam interaksi sosial tataran ngoko memperlihatkan derajat
sehari-hari. Halliday dalam Sudaryanto keakraban kepada lawan berbicara yang
mengungkapkan ada tiga fungsi bahasa, yaitu sederajat, dan (d) untuk memperluas
(1) fungsi ideasional, bahasa merupakan kedudukannya dengan cara membuat suatu
medium pencerminan gagasan atau jarak sosial yang sangat kuat antara penguasa
pengalaman penuturnya atas dunia nyata, dan kawula (Moedjanto, 1987).
termasuk dunia dalam dari kesadarannya
sendiri, (2) fungsi interpersonal, bahasa METODE PENELITIAN
sebagai sarana untuk membangun dan
menjalani hubungan sosial antarpengguna Lokasi penelitan ini ialah di Keraton
bahasa, (3) fungsi tekstual, bahasa sebagai alat Surakarta Hadiningrat karena merupakan
untuk mengonstruksi atau menyusun sebuah pusat kebudayaan Jawa di Surakarta. Sebagai
teks (Sudaryanto, 1990). pusat kebudayaan Jawa, tata krama atau
Sementara itu, fungsi bahasa menurut unggah-ungguh merupakan hal yang sangat
Leech ada lima jenis, yaitu (1) informasional, penting dan dominan.
(2) ekspresif, (3) direktif, (4) aestetik, dan (5) Peneliti mengamati percakapan
fatis. Menurut Jacobson ada enam fungsi masyarakat keraton yang dijadikan sebagai
bahasa, yaitu (1) fungsi referensial, pengacu sumber data yang relevan pada sejumlah
pesan; (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan bagian yang digunakan sebagai tempat
pembicara; (3) fungsi konatif, pengungkap pengamatan. Peneliti memilih dua belas
keinginan pembicara yang langsung atau bagian yang tersebar di bagian tengah, timur,
segera dilakukan; (4) fungsi metalingual, barat, selatan, dan utara. Lokasi tersebut
penerang terhadap sandi atau kode yang adalah Bangsal Smarakata Sidhikara,
digunakan, (5) fungsi fatis, pembuka (6) Sasanawilapa, Sasana Sewaka, Sasana
fungsi puitik, penyandi pesan. Hondrowina, Keputren Kartipradja, Masjid

170
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

Agung, Sasanamulya, Bangsal Sewayana, sebelumnya diberi wawasan secukupnya.


Marcukhunda, Krendhawahana1. Partisipasi peneliti dalam memperoleh data
Informan sebagai sumber data terdiri tuturan lisan dapat bersifat aktif, yaitu dengan
atas para pengageng ‘pembesar keraton’ di memancing percakapan, dan dapat bersifat
antaranya adalah G.K.R. Wandhansari, pasif, yaitu dengan menyimak percakapan
pimpinan kantor Sasanawilapa (kantor yang terjadi dalam masyarakat keraton.
sekretariat pusat) dan K.G.P.H. Puger, B.A.,
pimpinan Sasanapustaka (perpustakaan Metode Analisis Data
keraton) sekaligus adik kandung raja. Rekaman digunakan untuk
Para sentana dalem di antaranya adalah mendokumentasikan percakapan masyarakat
K.P.H Brotoadiningrat, wakil pengageng keraton yang berupa data lisan dengan
kasentanan (wakil para kerabat raja), dan menggunakan ponsel sehingga tidak
K.P.H. Puspaningrat. Para abdi dalem antara mengganggu proses yang terjadi. Setelah itu,
lain K.R.A. Winarnokusuma, wakil percakapan yang sudah direkam
pengageng Sasanawilapa, K.R.A.T. ditranskipsikan secara ortografis.
Pujodiningrat, dan K.R.A.T. Budayaningrat Wawancara mendalam digunakan
sebagai praktisi tata cara upacara keraton. oleh peneliti untuk memperoleh data
Pemilihan informan dalam penelitian ini mengenai wujud, faktor-faktor penentu, dan
didasarkan pada pertimbangan kecakapan fungsi sosial penggunaan bahasa Jawa pada
(pengetahuan dan wawasan) bahasa dan abdi dalem Keraton Mangkunegaran.
budaya Jawa yang dimiliki. Wawancara mendalam ditujukan kepada
Dalam menggali data, peneliti informan yang menguasai kebudayaan Jawa,
memanfaatkan arsip atau dokumen resmi khususnya kepada G.K.R. Wandhansari
resmi atau naskah-naskah kuno yang selaku pimpinan sekretaris keraton, K.G.P.H.
berhubungan dengan bahasa kedaton yang Puger, B.A. selaku pimpinan perpustakaan
diambil dari Sasana Pustaka atas izin keraton dan K.R.Ar. Winarnokusuma selaku
K.G.P.H. Puger, B.A. selaku pimpinan humas keraton.
perpustakaan keraton. Data yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kontekstual-
Metode Pengumpulan Data sosiolinguistik. Konteks sosial yang ada di
Pengumpulan data dilakukan melalui luar bahasa, seperti siapa yang berbicara,
observasi, rekaman, dan wawancara. bentuk bahasa yang digunakan, kepada siapa,
Observasi dilakukan di Keraton kapan, di mana, situasi, dan mengenai
Mangkunegaran dengan cara mengikuti masalah apa menjadi perhatian. Analisis
aktivitas keraton dalam acara resmi (situasi menggunakan ancangan dari Poejosoedarmo
kerja sehari-hari, upacara adat seperti Grebeg dan Hymes (Hymes, 1974) yang
Besar, Grebeg Mulud ) atau tidak resmi mengungkapkan bahwa peristiwa antara
(istirahat, percakapan santai, acara keluarga penutur dan mitra tutur dipengaruhi oleh
keraton, seperti tedhak siti dan mahesa delapan faktor situasional yang disingkat
lawung2). dengan SPEAKING.
Selain itu, peneliti juga menggunakan Adapun komponen tutur yang
observasi takberperan untuk data (tuturan digunakan untuk menganalisis data adalah (1)
bahasa Jawa oleh masyarakat keraton penutur atau pembicara (O1), (2) lawan tutur
khususnya di keputren yang dipandang sulit (O2), (3) situasi tutur atau situasi bicara, (4)
dalam memperolehnya karena pertimbangan tujuan tutur, dan (5) hal yang dituturkan.
norma dan aturan setempat) sehingga peneliti PEMBAHASAN
menggunakan asisten peneliti yang

171
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

antarabdi dalem tersebut menggunakan


Secara hierarkis masyarakat Keraton bahasa Jawa (BJ) ragam krama. Abdi dalem
Mangkunegaran terdiri atas beberapa sering menggunakan ragam krama untuk
golongan, yaitu abdi dalem ‘hamba’, sentana menghormati. Biasanya abdi dalem yang
dalem ‘kerabat karaton’, putra-putri dalem menggunakan bentuk ragam krama
‘putra-putri raja, dan sinuhun ‘raja’ yang merupakan abdi dalem golongan tinggi,
masing-masing mempunyai tingkat misalnya abdi dalem yang mempunyai
kederajatan, kepangkatan, umur yang pangkat bupati. Tujuan dialog di atas adalah
berbeda-beda sehingga komunikasi antara membicarakan pengalaman abdi dalem di
satu dan yang lainnya sangat berhati-hati. keraton. Isi dialog adalah membicarakan
Komunikan harus dapat menyesuaikan pengalaman menjadi abdi dalem di keraton.
dengan kondisi, siapa yang diajak berbicara, Hal ini menunjukkan bahwa hubungan
kapan, di mana, bagaimana, apa sebab, keduanya bersifat horizontal.
maksud, dan tujuannya.
Secara umum mengenai penggunaan Komunikasi antara Abdi Dalem dan
bahasa Jawa yang digunakan dalam Keraton Sentana Dalem
Surakarta Hadiningrat menggunakan
tingkatan bahasa mulai ngoko, madya, krama Percakapan yang menggambarkan antara abdi
dan krama inggil dan bahasa kedaton. Di dalem dan sentana dalem pada saat pimpinan
bawah ini merupakan wujud penggunaan kasentanan ikut menerima tamu dari Malaysia
bahasa Jawa dalam masyarakat keraton. sebagai berikut.
Data 2
Komunikasi Antarabdi Dalem Abdi dalem: Kangjeng Gusti Kusumayuda,
dhawuhdalem, Pengageng, Wakil
Pengageng kadhawuhan nderek
Berikut ini contoh percakapan antar abdi nampi tamu saking Malaysia,
dalem dalam aktivitas sehari-hari dalam pangageman Jawi jangkep
keraton. padintenan sowan keraton
Data 1 ‘Kangjeng Gusti Kusumayuda,
Abdi dalem: Sameniko umur penjenengan pinten, perintah raja, Pimpinan, Wakil
Pak? ‘sekarang umur kamu Pimpinan mendapat tugas ikut
berapa Pak?’ menerima tamu dari Malaysia,
Abdi dalem: Menawi Jawi 81 menawi Masehi 79 pakaian Jawa lengkap padintenan
‘kalau Jawa 81, kalau Masehi 79’ keraton’
Abdi dalem:Pengalaman penjenengan dados abdi Sentana dalem: nggih ‘Ya’
dalem wonten keraton meniko
menapa mawon? ‘pengalaman Dialog di atas terjadi di kasentanan dalam
engkau menjadi abdi dalem di situasi resmi antara abdi dalem dan sentana
keraton sekarang apa saja?’
dalem. Penutur menggunakan ragam bahasa
Abdi dalem: Warni-warni pun, ning nyuwun sewu
wonten mriki kaliyan wonten Jawa krama dengan leksikon krama inggil,
ksatriyan mboten nate sedangkan mitra tutur menggunakan bentuk
diwedeni napa diweruhi ‘macam- krama. Hal ini terjadi karena mitra tutur
macam, tetapi minta maaf di sini mempunyai trah/keturunan serta kederajatan
dengan di ksatriyan tidak pernah dan kepangkatan yang lebih tinggi daripada
ditakuti’ penutur. Dialog di atas menunjukkan
Percakapan di atas terjadi di depan hubungan yang bersifat vertikal, yaitu
Sasanawilapa pada situasi tidak resmi hubungan atas-bawah antara sentana dalem
antarabdi dalem. Dalam interaksi verbal
172
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

dan abdi dalem. Tujuan dialog di atas ialah dialog tersebut adalah membicarakan tarian
menyampaikan perintah raja kepada Bedhaya Ketawang. Tujuan dari dialog di atas
pengageng dan wakil pengageng kasentanan yaitu membicarakan tarian Bedhaya
untuk menyambut tamu dari Malaysia. Data Ketawang yang tidak boleh diperlihatkan
lain yang menunjukkan percakapan antara secara umum.
abdi dalem dan sentana dalem adalah sebagai
berikut. Komunikasi antara Putri Dalem dan Abdi
Data 3 Dalem
Abdi dalem: Ndek ben wonten lho mahasiswa
saking ISI Yogya kalian suwargi Sepanjang pengamatan peneliti data ini sulit
Kangjeng Yoso, tanglet kenging ditemukan karena hubungan antara penutur
menapa keraton wonten dan mitra tutur yang vertikal, yaitu hubungan
istilahipun tarian-tarian ingkang atas-bawah. Contoh di bawah ini merupakan
mboten saged dipun tingali pun
dialog antara putri dalem dan abdi dalem yang
dalaken secara umum? ‘Dulu ada
mahasiswa dari ISI Yogya dengan berhasil diamati oleh peneliti.
almarhum Kanjeng Yasa, Data 4
bertanya mengapa keraton ada Abdi dalem: Gusti, punika wonten serat
istilahnya tari-tarian yang tidak panyuwunan saking RRI
dapat dikeluarkan secara umum?’ ngersakaken ngisi giayaran wulan
Sentana dalem: Nek aku yo iso jawab no ‘kalau Mei meniko saben dinten Senin jam
aku ya bisa menjawab’ wolu (8) ngantos jam sanga (9)
Abdi dalem : La, nggih. La, meniko keneng dalu bab kawruh budaya ‘Gusti, ini
nonton tapi sakmeniko orang ada surat permintaan dari RRI
yang dikersake dados undangan untuk mengisi siaran Bulan Mei
menapa-napa ngaten, La lajeng sekarang setiap hari Senin pukul
taksih ngoyak niko kan budaya delapan sampai pukul Sembilan
antawis meniko mboten angsal di malam tentang ilmu budaya’
pentaske setiap hari utawi biasa Putri dalem: nggih, engko aku diilengke ‘Ya,
dipun tontonaken umum sak nanti saya diingatkan’
jroning keraton setaun pisan Abdi dalem: Inggih, Gusti ‘Ya, Gusti’
ngaten lho ‘Ya, Boleh dilihat
tetapi hanya orang yang Peristiwa tutur di atas terjadi di Sasanawilapa
diperlukan seperti undangan pada situasi resmi antara abdi dalem dan putri
begitu. Terus masih bertanya lagi, dalem. Putri dalem menggunakan ragam
itu budaya berharga tidak boleh ngoko kepada abdi dalem, sebaliknya abdi
dipentaskan setiap hari atau dalem menggunakan ragam krama. Hal ini
diperlihatkan secara umum hanya terjadi karena mitra tutur adalah putri raja
di dalam keraton setahun sekali’ yang mempunyai trah /keturunan langsung
Sentana dalem: Bedhaya Ketawang ‘Bedhaya
dari raja dan mempunyai kekuasaan serta
Ketawang’
kedudukan sosial yang lebih tinggi. Selain itu,
Peristiwa dialog di atas terjadi di kasentanan penggunaan bentuk tingkat tutur ngoko-krama
pada situasi tidak resmi antara abdi dalem dan menunjukkan hubungan vertikal, yaitu sifat
sentana dalem. Dalam interaksi verbal penutur hubungan atasan dan bawahan. Tujuan dari
menggunakan bahasa Jawa (BJ) ragam krama tuturan (4) adalah memberitahukan kepada
dan ngoko, sedangkan mitra tutur putri dalem untuk siaran tentang ilmu budaya
menggunakan ragam ngoko karena hubungan di RRI. Isi dari dialog tersebut yaitu surat dari
antara penutur dan mitra tutur sudah akrab. Isi RRI kepada putri dalem untuk siaran
mengenai budaya. Selain itu, contoh data lain

173
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

mengenai dialog antara putra-putri dalem Data 6


dengan abdi dalem adalah sebagai berikut. Raja :Mas mriki, Gusti Galuh sampeyan
Data 5 gawekno dhawuh!
Abdi dalem: Gusti, kula wingi adalem dipun ‘Mas (sebutan untuk orang laki-laki)
timbali marak sampeyandalem, sini, Gusti Galuh kamu buatkan
dhawuhdalem nimbali perintah’
Pengageng sarta Wakil Abdi dalem: Nun Inggih, sendhika ‘Ya, siap’
Pengageng bebadan kadhawuhan Dialog ini terjadi di Sasanawilapa pada situasi
nderek nampi tamu saking resmi antara raja dan abdi dalem. Tingkat
Malaysia ‘Gusti, saya kemarin tutur yang yang digunakan oleh raja kepada
dipanggil dihadapan raja, abdi dalem adalah ngoko, sedangkan abdi
diperintahkan raja menyuruh dalem menggunakan krama dengan leksikon
Pimpinan dan Wakil Pimpinan krama inggil. Hal ini terjadi karena raja
badan mendapatkan tugas mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
menyambut tamu dari Malaysia’
kerajaan. Hubungan antar keduanya adalah
Putra dalem: Nggih njeng, penjenengan damelke
dhawuh ‘Ya, njeng, engkau hubungan vertikal.
buatkan perintah’ Tujuan dari dialog tersebut ialah raja
menyuruh abdi dalem untuk membuat surat
Dialog di atas antara abdi dalem dengan putri perintah untuk Gusti Galuh. Isi dari dialog di
dalem di Sasanawilapa dalam situasi resmi. atas adalah bahwa raja memerintahkan abdi
Penutur menggunakan bentuk krama dengan dalem untuk membuat surat perintah untuk
leksikon krama inggil, sedangkan mitra tutur Gusti Galuh. Sampai saat ini bahasa kedaton
menggunakan bentuk krama. Dalam dialog masih digunakan dalam keraton pada waktu
tersebut, penutur menggunakan bentuk ragam dan situasi, tempat-tempat dan orang–orang
krama inggil karena mitra tutur seorang putri tertentu meliputi upacara grebeg, yaitu
raja yang mempunyai trah dari raja dan status Grebeg Besar, Grebeg Mulud. Bahasa
sosialnya lebih tinggi daripada mitra tutur kedaton tidak digunakan untuk menggunjing
sehingga bentuk krama digunakan karena orang sehingga hanya digunakan untuk orang
memberikan kesan saling menghormati pertama dan kedua saja. Berikut ini adalah
antarkeduanya. Hal ini mencerminkan sifat contoh penggunaan bahasa kedaton dalam
hubungan vertikal antara putri dalem dan abdi waktu upacara grebeg.
dalem. Adapun isi tuturan tersebut adalah Data 7
memberikan informasi kepada pengageng Abdi dalem Bupati Estri/Utusan dalem (Pt):
’pimpinan’ dan wakil pengageng ‘wakil K.G.P.H. Puger
K.G.P.H. Puger (Mt) : Nun kula
pimpinan’ Tujuan dari dialog tersebut bahwa ‘Ya, saya’
pengageng beserta wakil pengageng ikut Abdi dalem Bupati Estri/Utusandalem (Mt):
menyambut tamu dari Malaysia. Pakenira tampa timbalandalem, pakenira
kapatedhan hajaddalem wilujengan
Komunikasi antara Abdi Dalem dan Raja garebeg besar Je 1941, kadhawuhan
handhawuhake marang KRAT
Sepanjang penelitian mengenai data tersebut Pujodiningrat, kadhawuhan handongani;
sangat sulit ditemukan karena jarang sekali Wilujengdalem SISKS PB XIII, Wilujenge
raja berkomunikasi dengan bawahannya. Data Karatondalem saisine, sarta Wilujenge
yang menunjukkan dialog antara raja dengan nagari Republik Indonesia yen wus
abdi dalem adalah sebagai berikut. kadongan nuli kadhawuhan mbagi ingkang
warata ‘kamu terima panggilannya, kamu
menerima hadiah berupa tugas upacara

174
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

selamatan garebeg besar Je 1941, perintah wakil raja kepada abdi dalem untuk
dari raja untuk memerintahkan kepada melanjutkan upacara Garebeg Besar di Masjid
Kangjeng Raden Aryo Tumenggung Agung. Setelah itu masih ada rangkaian
Pujodiningrat, untuk mendoakan; upacara lagi, yaitu memerintahkan kepada
keselamatan Raja PB XIII, keselamatan prajurit atau laporan prajurit sudah siap
karaton beserta isinya, dan keselamatan
melaksanakan upacara.
Negara Republik Indonesia. Kalau sudah
didoakan diperintahkan untuk membagi
yang merata’ Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ragam
K.G.P.H Puger (Mt): Nun inggih, sendika ‘Ya siap Penggunaan Bahasa Jawa
laksanakan’
K.G.P.H. Puger (Pt): K.R.A.T. Pujodiningrat Poejosoedarmo dalam (Rahardi, 2001)
timbalan dalem ‘Kangjeng Raden Aryo mengungkapkan ada empat belas macam
Tumengung Pujodiningrat perintah beliau’ konsep komponen tutur, yaitu (1) pribadi si
K.R.A.T. Pujodiningrat (Mt): Nun kula penutur atau orang pertama, (2) anggapan
‘Ya, saya’ penutur terhadap kedudukan sosial dan
K.G.P.H. Puger (Pt): Pakenira tampa relasinya dengan orang yang diajak berbicara,
timbalandalem, pakenira kapatedhan
(3) kehadiran orang ketiga, (4) maksud dan
hajaddalem wilujengan pareden grebeg
besar Je 1941, kadhawuhan ndongani ana kehendak penutur, (5) warna emosi penutur,
ing surambi mesjid. Yen wus (6) nada suasana bicara, (7) pokok
kadhonganan nuli mbage ingkang pembicaraan, (8) urutan bicara, (9) bentuk
warata.Tindakna! ‘kamu menerima wacana, (10) sarana tutur, (11) adegan tutur,
perintah beliau, kamu menerima hadiah (12) lingkungan tutur, (13) dan (14) norma
tugas upacara selamatan gunungan kebahasaan. Pada bagian ini dibahas faktor-
garebeg besar Je 1941, diperintahkan faktor yang memengaruhi penggunaan bahasa
untuk mendoakan di serambi Masjid. Jawa abdi dalem keraton sebagai berikut.
Kalau sudah didoakan, diperintahkan
unuk membagi yang merata.
Anggapan Penutur terhadap Kedudukan
Laksanakan!’
K.R.A.T. Pujodiningrat (Mt): Nun inggih,
Sosial dan Relasinya dengan Orang yang
sendhika ‘Ya siap, laksanakan’ Diajak Berbicara

Dialog tersebut terjadi dalam situasi resmi di Kedudukan sosial partisipan dapat
Bangsal Smarakata. Interaksi verbal yang memengaruhi pemilihan ragam penggunaan
terjadi dalam percakapan di atas bahasa Jawa seperti dalam data berikut ini.
menggunakan pola bahasa kedaton, yaitu abdi Data 8
dalem bupati estri berperan sebagai utusan Abdi dalem: Ndara enggung apa ora mlebu?
’Ndara enggung apa tidak
raja, yaitu menyampaikan perintah dari raja masuk?’
kepada pimpinan upacara Grebeg Besar Abdi dalem : Mlebet, wonten Kartipradja.
sekaligus mewakili raja yaitu seorang putra ’masuk, ada di Kartipradja’
raja (gusti) yang sudah bergelar pangeran. Abdi dalem: Yo, engko kon rene. ‘Ya, nanti suruh
Dalam dialog selanjutnya terjadi dialog ke sini’
antara pengageng upacara yang berperan Abdi dalem: Nggih ’Ya’
sebagai wakil raja kepada abdi dalem (ulama)
isinya adalah menyampaikan perintah dari Dialog di atas terjadi di depan Kartipradja
raja untuk memimpin doa. Kemudian dialog antara bupati dan Bupati Anom. Bentuk ngoko
selanjutnya adalah dialog yang terjadi antara digunakan oleh penutur yang berperan
pengageng upacara yang berperan sebagai sebagai bupati, sedangan bentuk krama

175
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

digunakan oleh mitra tutur yang berperan jarak lagi antara keduanya. Hal ini dapat
sebagai abdi dalem Bupati Anom. Hal ini disimpulkan bahwa ragam bahasa Jawa krama
terjadi karena penutur mempunyai status yang digunakan untuk menghormati mitra tutur,
lebih tinggi daripada mitra tutur. Dalam sedangkan ragam bahasa Jawa ngoko
keraton, tingkat kedudukan, kederajatan, dan digunakan untuk menyatakan keakraban.
kepangkatan sangat memengaruhi dalam
memilih bentuk tingkat tutur. Abdi dalem Nada Bicara
yang mempunyai tingkat sosial dan
kepangkatan lebih tinggi kadang digunakan Nada bicara memengaruhi bentuk pemilihan
bahasa Jawa ragam ngoko. ragam tutur yang digunakan. Perasaan senang,
mengejek, bergurau, sedih, atau marah akan
Kehadiran Orang Ketiga memengaruhi bentuk bahasa yang dipilih.
Berikut adalah pembahasan nada bicara yang
Kehadiran orang ketiga dapat memengaruhi ditemukan dalam abdi dalem keraton.
bentuk ujaran yang akan dituturkan. Contoh
salah satu datanya adalah sebagai berikut.
Data 9 Santai
Abdi dalem: Kulo nuwun Kangjeng. ’Permisi Dalam keraton, kesantaian dalam berbahasa
Kangjeng’ hampir selalu mewarnai setiap ujaran yang
Abdi dalem: Napa, ajeng napa penjenengan ’Apa, menjadi data penelitian. Kesantaian tersebut
ada apa kamu?’ dapat ditandai adanya bentuk takbaku seperti
Abdi dalem : Nyuwun arta sekar ’minta uang pada data di bawah ini.
bunga’
Abdi dalem : Pinten? ’berapa?’
Data 10
Abdi dalem : Mas Luki, kantor mriko kok dha
Abdi dalem: Satus seket ’seratus lima puluh’
saenaki dhewe, ditinggal karo
Abdi dalem : kok satus seket tho karo belah tho
Gustine ’Mas Luki, kantor sana
’seratus lima puluh’
seenaknya sendiri, ditinggal sama
Abdi dalem : O, neng kene ’O, di sini’
Gustinya’
Abdi dalem: Sing tanggal sekawan sing napa
Abdi dalem : Nggih, ngoten niko njeng.
tho?‘yang tanggal empat yang
‘Ya, begitu itu njeng’
mana?’
Abdi dalem: Pinten dinten Gusti-Gusti tindak
Abdi dalem : Tanggal sekawan Pramuka.
Prancis? ‘Berapa hari
’tanggal empat Pramuka’
Gusti-Gusti pergi ke Prancis?’
Abdi dalem : Setunggal minggu, njeng.
Dari dialog di atas diketahui bahwa kehadiran ’satu minggu, njeng’
orang ketiga dapat menentukan bentuk ragam
bahasa Jawa yang digunakan. Dalam dialog Dalam dialog di atas, nada santai dapat
tersebut digunakan bahasa Jawa ragam krama ditunjukkan melalui kata-kata takbaku kok
dan ngoko. Bentuk krama digunakan oleh dan dha. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat
penutur dan mitra tutur meskipun tingkat Mas Luki, kantor mriko kok dha saenaki
kepangkatan lebih tinggi dan usia lebih tua dhewe, ditinggal karo Gustine! ‘Mas Luki,
daripada penutur. Namun, ada pihak ketiga kantor sana seenaknya sendiri, ditinggal sama
yang terlibat dalam pembicaraan tersebut Gustinya!’ Nada santai dilakukan untuk
sehingga digunakan bentuk ngoko seperti menambah hubungan akrab antarabdi dalem.
pada kalimat O, neng kene!’O, di sini!’. Hal
ini terjadi karena penutur sudah akrab dengan Bergurau
kedua abdi dalem tersebut sehingga tidak ada

176
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

Nada bergurau juga dilakukan oleh abdi tatacara mahargya setunggal


dalem untuk menambah hubungan akrab antar sura tahun Je 1942 kados adat.
anggota keraton. Contoh cuplikan dialog yang ‘Kangjeng Citro, besok
disampaikan dengan nada bergurau sebagai diperintahkan menyiapkan
berikut. tatacara jalannya menyambut satu
Sura tahun Je 1942 seperti biasa.’
Data 11 Abdi dalem : Nggih mangke dipunbantu, kanca-
Abdi dalem: Jenengan boten mabur tho Mas?
kanca ingkang padhatan
‘kamu tidak terbang Mas?’
nyengkuyung dipuntimbali ‘ya
Abdi dalem: Mabur tekan mriki ‘terbang
siap laksanakan, nanti dibantu
sampai sini’
rekan-rekan yang biasa
Abdi dalem: Mabur nderek Gusti teng Prancis
membantu dipanggil’
’terbang ikut Gusti ke Prancis’
Abdi dalem : Nggih ’ Ya’
Abdi dalem: Mboten ’tidak’
Suatu ujaran tidak selalu disampaikan dalam
Nada menggoda dilakukan untuk menambah
bentuk gurauan, tergantung tujuan yang
akrab hubungan para abdi dalem. Selain itu,
dikehendaki oleh penutur. Nada serius pada
contoh cuplikan data lain yang
umumnya ditemukan pada tuturan yang
menggambarkan nada menggoda adalah
mengandung bentuk-bentuk baku, nada serius
sebagai berikut.
banyak ditemukan pada waktu memerintah.
Data 12
Dialog di atas menunjukkan bahwa mitra tutur
Abdi dalem : Pinten? ’berapa?’
Abdi dalem: Satus seket ’seratus lima puluh’ mempunyai usia yang lebih tua dan
Abdi dalem: Kok satus seket tho karo belah tho kedudukan yang lebih tinggi daripada penutur
’seratus lima puluh’ sehingga penutur harus menghormati mitra
Abdi dalem: Inggih, lha karo belah niku sami ’ya, tutur yang dimanifestasikannya dalam bentuk-
seratus lima puluh ribu sama’ bentuk baku dalam bahasa Jawa.

Dialog di atas adalah dialog antarabdi dalem Marah


di Sasanawilapa pada situasi resmi. Dalam Pada umumnya kalau orang marah
dialog tersebut terdapat nada menggoda yang menggunakan ngoko, tetapi di keraton ketika
ditunjukan pada kalimat kok satus seket tho sedang marah bahasa Jawa ragam krama yang
karo belah tho. Kata satus seket ‘seratus lima digunakan. Contoh datanya sebagai berikut.
puluh’ mempunyai arti sama dengan karo Data 14
belah ’seratus lima puluh’. Nada menggoda Abdi dalem: Kala emben niko wonten wisatawan
tersebut dilakukan oleh abdi dalem untuk badhe minggah Sasana Sewaka
menambah hubungan akrab antara abdi dalem ‘dulu ada wisatawan akan naik ke
golongan rendah dan abdi dalem golongan Sasana Sewaka.’
tinggi. Abdi dalem: Pun njenengan elekke ’kamu
ingatkan’
Abdi dalem: Kula mboten saget basa inggris ’saya
Serius tidak dapat bahasa Inggris’
Nada serius sering ditemukan dalam Abdi dalem: Nggih pun mboten napa-napa
percakapan antara bawahan dan atasannya. Di ngangge basa Indonesia mawon
bawah ini merupakan contoh dialog yang ’ya sudah tidak apa-apa pakai
menggunakan nada serius. bahasa Indonesia saja’
Data 13
Abdi dalem: Kangjeng Citro mbenjang Dari dialog di atas, nada marah ditunjukkan
kadhawuhan mranata lampahing dalam bentuk krama, yaitu pun njenengan

177
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

elekke ‘kamu ingatkan’ adalah ungkapan yang Abdi dalem : nggih ‘Ya’
berisi peringatan.
Pokok Pembicaraan Norma Kebahasaan

Pokok pembicaraan dapat menentukan bentuk Norma kebahasaan merupakan norma atau
kebahasaan yang dipilih oleh penutur atau aturan yang harus ditaati dalam interaksi
mitra tutur. Di bawah ini merupakan tujuan pembicaraan baik norma interaksi maupun
pembicaraan oleh abdi dalem di lingkungan interpretasi. Norma berkaitan dengan aturan
keraton. yang harus dipatuhi para pengguna bahasa
Jawa di lingkungan keraton. Norma yang
Memberi Informasi tentang Sesuatu digunakan dalam suatu tuturan akan
Data 15 berpengaruh terhadap bentuk bahasa yang
Abdi dalem: Mbenjang Sabtu niko wonten acara digunakan.
Tedhak Siti putranipun Gusti Komunikasi dalam keraton yang
Timur! ‘besok Sabtu ini ada acara menggunakan bahasa Jawa akan memberikan
Tedhak Siti putranya Gusti Timur!’ kesan hormat antara penutur dan mitra tutur.
Abdi dalem: Jam pinten? ‘jam berapa?’ Dari empat belas komponen tutur yang
Abdi dalem : Jam setengah sekawan ‘jam disebutkan di atas hanya ditemukan lima
setengah empat’
faktor yang mempngaruhi penggunaan ragam
Memerintah bahasa Jawa oleh abdi dalem di lingkungan
Selain memberikan informasi, tujuan keraton.
penggunaan bahasa Jawa juga digunakan
untuk memerintah. Biasanya kata yang Fungsi Sosial Bahasa Jawa dalam Keraton
digunakan untuk memerintah antara lain kata
dhawuh, kadhawuhan, dan dhawuh dalem. Penggunaan bahasa Jawa ditentukan oleh
Contoh data sebagai berikut. faktor di luar kebahasaan dalam bentuk
Data 16 tuturan yang terjadi dalam komunikasi
Abdi dalem: Kaparing matur, mbenjang kebahasaan yang dilatarbelakangi oleh
kadhawuhan sowan keraton badhe konteks sosial di lingkungan keraton. Konteks
Grebeg Mulud ‘pengumuman, besok sosial yang dimaksud adalah konteks
diperintahkan datang ke keraton akan situasional yang memengaruhi antara penutur
Grebeg Mulud dan mitra tutur. Dari hasil penelitian
Abdi dalem: Nggih ‘Ya’ ditemukan beberapa temuan, yaitu wujud dan
faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
Meminta Bantuan bahasa Jawa selain itu dengan analisis yang
Pada waktu meminta bantuan atau sesuatu hal, menggunakan faktor situasional tersebut juga
ada yang mengemukakan secara langsung. dihasilkan temuan yang berupa fungsi sosial
Contoh data tuturan yang menunjukkan bahasa Jawa. Dari berbagai macam analisis
meminta bantuan sebagai berikut. dan beberapa sumber menyatakan bahwa
Data 17 penggunaan bahasa Jawa dalam masyarakat
Abdi dalem: Mas penjenengan damelke serat karaton mempunyai fungsi sosial sebagai
undangan kagem nyambut tamu berikut.
saking Malaysia mbenjang Sabtu
meniko nggih ‘Mas, kamu Alat Komunikasi Resmi dalam Keraton
buatkan surat undangan untuk
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari
menyambut tamu dari Malaysia
besuk Sabtu ya’ masyarakat keraton menggunakan bahasa

178
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

Jawa mulai dari ngoko, madya, krama, dan putri dalem. Interaksi verbal yang terjadi
krama inggil tergantung pada situasi dan antara putri dalem dan abdi dalem
kondisi pada waktu mengucapkannya, siapa menggunakan ragam bahasa Jawa (BJ). Putri
yang di ajak bicara, kapan, bagaimana, dalem menggunakan tingkat tutur bentuk
maksud dan tujuan pembicaraan. ngoko kepada abdi dalem, sebaliknya abdi
Kebanyakan masyarakat keraton dalam dalem menggunakan tingkat tutur bentuk
berkomunikasi menggunakan ragam krama krama dengan leksikon krama inggil. Hal ini
karena memberi kesan saling menghormati terjadi karena putri dalem mempunyai
antara satu dan yang lain. Seperti yang telah kekuasaan dan kedudukan sosial yang lebih
disebutkan pada bagian analisis sebelumnya tinggi.
bahwa dalam upacara adat keraton juga
menggunakan bahasa Jawa, tetapi bahasa Pengungkap Rasa Hormat
kedaton. Bahasa ini hanya digunakan dalam Penggunaan bahasa mencerminkan sikap
situasi resmi. Bahasa kedaton digunakan pada sopan-santun dan rasa hormat terhadap
saat upacara grebeg, yaitu Besar, Mulud, seseorang. Masyarakat keraton masih terikat
Pasa, dan Wiyosan Jumengandalem. dengan aturan dan norma baik dalam sikap,
pakaian, dan komunikasi. Dalam
Menciptakan Jarak Sosial antara Atasan dan berkomunikasi di keraton menggunakan
Bawahan bahasa Jawa akan memberikan rasa hormat
Masyarakat Keraton Surakarta Hadiningrat bagi penutur dan mitra tutur. Hal ini tampak
terdiri atas berbagai tingkatan kedudukan pada penggunaan bentuk-bentuk orang
yang berbeda-beda sehingga dalam pertama, kedua dan ketiga, misalnya kula,
penggunaan bahasanya juga berbeda-beda. sampeyan, panjenengan, panjenengandalem,
Penggunaan bahasa Jawa dalam keraton sira, manira, pakenira dan jengandika
sampai saat ini masih digunakan untuk menunjukkan adanya saling pengertian dan
komunikasi dalam aktivitas sehari-hari. rasa hormat kepada orang lain.
Misalnya, abdi dalem berbicara kepada putri
dalem. Abdi dalem menggunakan krama Memperkuat Kedudukan Raja
dengan leksikon krama inggil, sedangkan Bahasa Jawa khususnya bahasa kedaton
putri dalem menggunakan ngoko. Berikut ini dalam keraton berfungsi untuk memperkuat
adalah contoh dialog antara abdi dalem dan kedudukan raja. Penggunaan bahasa kedaton
putri dalem di keraton. hanya terbatas pada pengageng, ulama, dan
Data 18 abdi dalem yang bertugas sebaga utusan raja.
Abdi dalem : Wonten menapa Gusti nimbali Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
dalem? ‘ada apa Gusti memanggil bahasa kedaton hanya digunakan oleh raja
saya?’ kepada bawahannya. Hal ini membuktikan
Putri dalem : Kowe tak kongkon njikuk unjukan, bahwa bahasa dapat dijadikan sebagai alat
caoske Gusti ‘ kamu tak suruh untuk melegitimasi kekuasaannya sehingga
mengambilkan minuman,
kedudukan seorang raja menjadi lebih kuat.
diberikan Gusti’
Abdi dalem : Inggih, sendhika dhawuh Gusti,
dalem pendhetaken unjukan, Wujud Kesopanan Bawahan kepada Atasan
dalem caosaken Gusti ‘ Ya, siap Masyarakat keraton terdiri atas beberapa
perintah Gusti, saya ambilkan tingkatan sosial yang mempunyai hubungan
minuman, saya berikan Gusti’ dalam berinteraksi. Sikap hormat kepada
seseorang ditunjukkan dengan sopan-santun
Peristiwa tutur di atas terjadi di keputren pada dalam penggunaan bahasa. Bentuk ragam
situasi tidak resmi antara abdi dalem dengan
179
SUAR BÉTANG, Vol. 14, No. 2, Desember 2019, halaman 167--181 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975

krama digunakan untuk menunjukkan sikap dalem dan abdi dalem di lingkup keraton.
hormat bawahan kepada atasan. Sesuai Dalam kehidupan masyarakat keraton
dengan etika adat Jawa, dalam berkomunikasi terdapat sejumlah aturan yang sangat rumit
harus mengetahui unggah-ungguh bahasa sehingga statusnya sebagai priyayi masih
sehingga mengesankan sikap sopan-santun sangat dihormati. Bahasa Jawa merupakan
dan hormat. salah satu produk dari budaya Jawa yang
Sampai sekarang kekuasaan raja masih mempunyai ciri alus masih dilestarikan dalam
ditunjukkan melalui bahasa, bagi seorang raja keraton. Penggunaan bahasa Jawa dalam
Jawa sifat ke-agungbinatharaan-an Keraton Surakarta Hadiningrat mengalami
ditunjukkan melalui bahasa, seni pergeseran karena disebabkan modernitas dari
pertunjukkan, atau apa pun oleh raja yang berbagai campuran di luar keraton. Namun
dapat digunakan sebagai alat untuk demikian, pergeseran ini tidak menyentuh
melegitimasi kekuasaannya. Dengan kata lain, nilai dan norma kesopanan dalam masyarakat
keberadaan bahasa Jawa dalam keraton keraton. Dalam hal ini, penggunaan bahasa
merupakan salah satu unsur penopang Jawa sebagai alat komunikasi antar
kewibawaan seorang raja. Hal ini dapat masyarakat keraton masih tetap dilestarikan
dibuktikan dengan teori yang dikemukakan sebagai warisan dari leluhurnya.
oleh Moedjanto dengan hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa kekuasaan raja tidak PENUTUP
terbatas sehingga para abdi dalem dan kawula
dalem memandang raja memiliki segala Berdasarkan pembahasan dapat ditarik tiga
sesuatu baik harta benda maupun manusia. kesimpulan mengenai penggunaan bahasa
Oleh karena itu, terhadap keinginan raja Jawa dalam masyarakat Keraton Surakarta
rakyat hanya dapat menjawab nderek ngersa Hadiningrat adalah sebagai berikut.
dalem ‘terserah kehendak raja’. Hal ini Wujud interaksi verbal penggunaan
menunjukkan bahwa konsep kekuasaan di bahasa Jawa pada abdi dalem dipengaruhi
dalam keraton diciptakan untuk memperkuat oleh hubungan vertikal dan horizontal antara
kekuasaan raja. Namun demikian, kekuasaan penutur dan mitra tutur sesuai dengan status
raja pada masa sekarang dengan zaman sosial dalam keraton, yaitu tingkat
dahulu sangatlah berbeda. Secara politis raja kepangkatan, kederajatan, tingkat kedudukan,
tidak memiliki kekuasaan, namun hanya dan umur.
sebagai pemangku adat yang mempunyai Faktor–faktor yang memengaruhi
kekuasaan tertinggi dalam mengambil penggunaan bahasa Jawa dalam masyarakat
keputusan di dalam keraton. karaton adalah anggapan penutur terhadap
Pada umumnya, masyarakat Jawa kedudukan sosial dan relasinya dengan orang
mengidolakan budaya alus yang ditunjukkan yang diajak berbicara, kehadiran orang ketiga,
dalam kehidupan masyarakat keraton. nada dan suasana berbicara, pokok
Kehidupan masyarakat keraton selalu pembicaraan, dan norma.
dihubungkan dengan bangsawan, sentana

180
Susylowati: Komunikasi Antarabdi Dalem ....

DAFTAR PUSTAKA

Dwirahardjo, M. (2001). Bahasa Jawa Raja Jawa. Yogyakarta: Kanisius.


Krama. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Poedjosoedarmo, S. dkk. (1979). Tingkat
Cakra. Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat
Geertz, C. (1960). The Relogion of Java. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Illinois: Free Press. Rahardi, R. K. (2001). Sosiolinguistik: Kode
Hymes, D. H. (1974). Foundations in dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Sociolinguistics: An Ethnograpic Pelajar.
Approach. Philadepphia: University of Sudaryanto. (1990). Menguak Fungsi Hakiki
Pennsylvania Press. Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Univ. Press.
Jawa dan Pengembangan pada Raja-

Catatan
1
Bangsal Smarakata : tempat yang digunakan untuk memberikan penghargaan kepada abdi dalem.
Sidhikara/Kasentanan : tempat yang digunakan untuk mengurusi sentana dalem dan putra-putri dalem.
Sasanawilapa : kantor yang digunakan untuk mengurusi semua urusan keraton.
Sasana Sewaka : tempat untuk jumenengan raja/ (kenaikan takhta).
Sasana Hondrowina : tempat perjamuan makan para kerabat keraton atau pejabat negara.
Keputren : tempat tinggal permaisuri/garwa ampil, putri, kerabat raja, dan abdi dalem putri.
Kartipradja : kantor pemerintahan keraton yang mengurusi abdi dalem baik abdi dalem garap
atau anon-anon.
Masjid Agung : tempat yang digunakan pada waktu acara Grebeg Besar, Syawal, dan Mulud.
2
Tedhak siti : upacara menginjak tanah/bumi pertama kali dan biasanya dilakukan saat anak
berusia tujuh bulan.
Mahesa Lawung : pemberian sesaji berupa kepala kerbau jantan yang belum pernah digunakan untuk
bekerja.

181

You might also like