You are on page 1of 15

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

NAMA ANGGOTA
KELOMPOK IV

Muhammad Naufal Afif Rahmat_B021201086


Muhammad Sigit Samudra Sahrun_B021201088
Nurul Auliah_B021201089
Shania Arindah Putri Arief_B021201092
Arniza_B021201094
Afdita Sri Utami_B021201098
Jespina An_T202210011
Marselina Maris_T202210154
Sutiowati Wulandari_T202210167
Muhammad Ranim_T202210186
Muhammad Fikri_T202210247

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
PEMBAHASAN

A. Biografi L. J Van Apeldoorn


APELDORN, Lambertus Johannes van (1886-1979) Apeldoorn, Lambertus
Johannes van, sejarawan hukum (IJlst 13-12-1886- Den Haag 15-8-1979). Putra
Lambertus Johannes van Apeldoorn, menteri Reformasi Belanda, dan Anna Johanna
Jacoba de Hoog. Menikah pada 26-11-1918 dengan Grietje Wilhelmina Keij (1893-
1983). Dari pernikahan ini lahir 1 putra dan 1 putri. gambar Apeldoorn, Lambertus
Johannes van Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dalam keluarga seorang
pendeta yang direformasi, Bert van Apeldoorn dibesarkan di berbagai rumah pastoran
di pedesaan Frisia. Ayahnya dianggap ortodoks dan terpelajar, tetapi orang yang sangat
kritis, yang tidak berbasa-basi dan tidak dapat memahami bahwa ada pengkhotbah yang
membaca novel: dia sendiri berpegang pada karya-karya teologis dan filosofis. Putra
bungsu itu rupanya tidak asing dengan kritikannya yang terkadang menggigit. Setelah
sekolah dasar, Van Apeldoorn menghadiri gimnasium di Sneek, satu jam berjalan kaki
dari kampung halamannya di Hommerts.
Ia kemudian belajar hukum di Universitas Utrecht dari 20 September 1906. Setelah
gelar masternya pada 7 November 1910, ia menetap di Leeuwarden, di mana sejak
1913 ia bekerja sebagai guru perencanaan politik dan ekonomi di Christian HBS dan
pada saat yang sama ia menjadi direktur perusahaan makanan kota. Pada tahun 1915
praktek sebagai pengacara ditambahkan. Pada tahun 1919 Van Apeldoorn menjadi
komisaris utama di kantor pendaftaran provinsi, di mana ia mengundurkan diri setelah
satu tahun untuk mengabdikan dirinya sepenuhnya pada profesi hukum. Selain itu, Van
Apeldoorn memegang banyak posisi sosial di ibukota Frisia. Dia adalah wakil hakim
pengadilan sub-distrik, salah satu pendiri dan anggota dewan Volksuniversiteit,
sekretaris cabang lokal Volksbond melawan penyalahgunaan alkohol, anggota dewan
ruang baca umum provinsi dan diakon Gereja Reformasi Belanda.1

B. Sejarah Pemikiran L.J Van Apeldoorn


Implikasi dari kekuasaan erat pengaruhnya dari politik yang dijalankan oleh organ-
organ pemerintahan dan sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara. Menurut
Fadly Andrianto dalam jurnalnya mengemukakan gagasan legalitas yang mengklaim
dapat memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum khususnya dalam hukum
pidana secara historis adalah gagasan yang lahir berkat gagasan legisme L.J. van
Apeldoorn, seorang yuris dari Belanda. Menurut van Apeldorn pengaruh Montesquieu
dan lainnya di masa abad ke-19 lahirlah gerakan hukum ―legisme‖, yaitu gerakan
legisme hukum yang mengasumsikan bahwa setiap kegiatan penerapan hukum, itu
semata-mata hanyalah suatu penerapan isi dari undang-undang terhadap perkara-
perkara konkret. Penerapan ini dilaksanakan secara rasional dan logis. Itu disebabkan
undang-undang dianggap sebagai suatu sistem yang logis, yang bisa diberlakukan
terhadap setiap perkara. Sehingga kepastian hukum yang diberikan oleh legalitas tidak
boleh dipandang terputus dengan legisme. Keduanya sama-sama menjadi peletak atau
fondasi dasar dari kepastian hukum yang tertuang dalam hukum (undang-undang)
(Fadly Andrianto, 2020). Hubungan Kausalitas antara Hukum dan Politik Berdasarkan
asumsi, konsep-konsep, dan indikator indikator tertentu membuktikan bahwa karena

1
Apeldoorrn, Lambertus Johannes Van (1886,1979)’, in biografisch wordenboek van nederland.

2
hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika
konfigurasi politik yang melahirkannya berubah.2
Menurut L. J. van Apeldoorn bahwa ―untuk dapat melakukan perbuatan hukum
diperlukan syarat-syarat tertentu yaitu subyek hukum yang mempunyai kemampuan
untuk memegang hak‖. Menurut L. J. van Apeldoorn ―kemampuan untuk memegang
hak yang dimaksudnya harus dibedakan secara kapasitasnya dalam perbuatan hukum
sebagaimana orang-orang dibawah umur dan orang-orang berada di bawah
pengampuan disebut subyek hukum dikarenakan orang-orang tersebut memiliki hak.
Namun, dari sudut pandang hukum, orang-orang tersebut dinyatakan tidak cakap dalam
perbuatan hukum.3
Istilah "negara" juga mengandung perbagai arti yang menurut Prof. Mr. Dr. L.J.
Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht
(Pengantar Ilmu Hukum Belanda) bahwa:
a. Istilah negara dipakai dalam arti "penguasa", untuk menyatakan orang atau
orang-orang yang melakukan kekuasaan tertinggi atas persekutuan rakyat yang
bertempat tinggal dalam sesuatu daerah.
b. Istilah negara kita dapati juga dalam arti "persekutuan rakyat", yakni untuk
menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah, di bawah
kekuasaan yang tertinggi, menurut kaidah-kaidah hukum yang sama.
c. Negara mengandung arti "sesuatu wilayah tertentu", dalam hal ini istilah negara
dipakai untuk menyatakan sesuatu daerah di dalamnya diam sesuatu bangsa di
bawah kekuasaan tertinggi.
d. Negara terdapat juga dalam arti "kas negara atau fiscus"; jadi untuk menyatakan
harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum, misalnya dalam
istilah "domein negara", pendapatan negara dan lain-lain.4
Terjadinya Negara, terdapat dua (2) teori yang membahas yaitu:
a. Terjadinya negara secara primer (Primairies Wording) adalah teori yang
membahas terjadinya negara yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah
ada sebelumnya. Perkembangan negara secara primer melalui beberapa fase,
yaitu:
1. Fase Genootschap (kelompok). Pada fase ini, pengelompokan dari orang-
orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan bersama, dan
didasarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama dan kepemimpinan di sini dipilih secara primus
interpares atau yang terkemuka di antara yang sama, sehingga yang penting
pada masa ini adalah unsur bangsa.
2. Fase Reich (kerajaan). Pada fase ini orang-orang yang menggabungkan diri
telah sadar akan hak milik atas tanah hingga muncullah tuan yang berkuasa
atas tanah dan orang-orang yang menyewa tanah. Yang terjadi kemudian
adalah timbulnya sistem feodalisme, dan yang penting adalah unsur
wilayah.
3. Fase Staat (Negara). Pada fase ini masyarakat telah sadar dari tidak
bernegara menjadi bernegara dan mereka telah sadar bahwa mereka berada

3
Jaya Febri, Goh Wilton, ,Analisi Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan Buatan Atau
Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pada Hukum Positif Indonesia, Supermasi
Hukuman, Vol 17 No.2, 2021, Hlm. 6
4
Drs. C.S.T. Kansil, S.H.,Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.12

3
pada suatu kelompok. Jadi yang penting pada masa ini adalah bahwa unsur
negara adalah bangsa. Wilayah dan pemerintah yang berdaulat sudah
dipenuhi.
4. Fase Democratische Natie dan Fase Diktator. Fase ini merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pada fase staat, dimana democratische natie
terbentuk atas dasar kesadaran demokrasi nasional, kesadaran kedaulatan di
tangan rakyat. Fase diktator muncul karena perkembangan lebih lanjut dari
democratische natie atau tidak saja berkembang tetapi perkembangannya
telah diselewengkan.
b. Terjadinya negara secara sekunder (Secondaire Staat Wording) adalah teori
yang membahas tentang terjadinya negara dihubungkan dengan negara-negara
yang telah ada sebelumnya. Yang terpenting dari teori sekunder adalah adanya
suatu pengakuan (Erkening). Mengenai masalah Pengakuan ini ada tiga (3)
teori, yaitu:
1. Pengakuan secara de facto (sementara). Pengakuan yang bersifat sementara
ketika muncul atau terbentuknya suatu negara baru, karena kenyataannya
negara baru tersebut memang ada namun yang perlu diperjelas adalah
apakah prosedurnya berdasarkan atas hukum. Pengakuan ini bisa meningkat
bila negara baru tersebut dapat menunjukkan eksistensi dan berlakunya
hukum dalam pembentukannya.
2. Pengakuan secara De Jure (Yuridis). Pengakuan ini adalah seluasluasnya
dan bersifat tetap terhadap muncul, timbul atau terbentuknya negara, karena
alasan terbentuknya negara baru tersebut jelas berdasarkan hukum.
3. Pengakuan atas Pemerintahan De Facto. Pengakuan ini dimunculkan untuk
kasus Indonesia oleh Van Haller, ketika Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Pada waktu itu yang dilakukan oleh pihak Belanda adalah
melakukan pengakuan hanya pada pemerintahannya saja, sedangkan pada
wilayah dan rakyatnya tidak. Hal tersebut tentunya tidak cukup memenuhi
unsur-unsur suatu negara.5

C. Inti Pemikiran
Negara Kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk: (1) Negara kesatuan dengan
sistem sentralisasi. (2) Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dalam negara
kesatuan dengan sistem sentralisasi segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan
diurus oleh pemerintah pusat dan daerah-daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa
yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam negara kesatuan
dengan sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah)
yang dinamakan dengan daerah otonom.
L.J.Van Apeldoorn, mengatakan: " ... suatu negara disebut negara kesatuan apabila
kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi
menerima kekuasaan dari pemerintah pusat. Provinsi-provinsi itu tidak mempunyai hak
mandiri".6

5
Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 2008, hlm 44
6
Prof.Dr.Ni’matulHuda, S.H.,M.Hum.,Ilmu Negara,PT. RajaGrafindo Persada, Depok,
2019, hlm.234

4
 KRITISISME TERHADAP LEGALITAS, LEGISME, DAN KEPASTIAN
HUKUM.
Pengaruh Montesquieu dan lainnya itu berlangsung panjang, hingga mencapai
puncaknya di masa abad ke-19. Pada masa itu, menurut van Apeldoorn, lahirlah
sebuah gerakan hukum legisme. Gerakan ini menurut van Apeldoorn, adalah
gerakan legisme hukum yang mengasumsikan bahwa setiap kegiatan penerapan
hukum, itu semata-mata hanyalah suatu penerapan isi dari undang-undang terhadap
perkara-perkara konkret. Penerapan ini dilaksanakan secara rasional dan logis.
Itu disebabkan undang-undang dianggap sebagai suatu sistem yang logis, yang
bisa diberlakukan terhadap setiap perkara." Apa yang disampaikan oleh van
Apeldoorn dan van Bem melen di atas telah menjelaskan secara ringkas perihal
sumber awal gagasan legalitas, dan bagaimana suatu gerakan hukum; legisme,
menjadi ibu kandung dari gagasan legalitas untuk diterapkan dalam penyelesaian
setiap perkara-perkara yang konkret.
Di sini tampak bahwa klaim kepastian hukum yang di berikan oleh legalitas
tidak boleh dipandang terputus dengan legisme. Keduanya sama-sama menjadi
peletak atau fonda si dasar dari kepastian hukum yang tertuang dalam hukum
(undang-undang), khususnya dalam wilayah hukum pidana. Keduanya pun menjadi
pegangan para hakim untuk memu tuskan suatu perkara, agar kepastian hukum itu
dapat tercapai.
Jika itu semua terpenuhi, penegakan hukum diniscayakan juga tercapai ideal.
Pendapat van Apeldoorn tentang proses pembentukan hukum dan negara menjadi
in dikasi nyata mengenal hal tersebut. Proses tersebut di mata nya adalah semata-
mata kewenangan istimewa pembentuk undang-undang. Tak ada tempat bagi
kebiasaan yang hidup dalam keseharian masyarakat untuk menjadi dasar pemben
tukan hukum. Walau van Apeldoorn merujuk pada pemi kiran Rousseau, namun
baginya, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat menjadi sumber hukum yang
tidak diakui seca ra formal. Ini yang disebut van Apeldoorn sebagai undang
undang secara diam-diam."
Pernyataan van Apeldoorn tentang pengakuan tidak formal terhadap kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat, itu berarti sama dengan menempatkan apa yang
hidup di dalam masyarakat, menurut perspektif kaum yuris, sebagai pengakuan
yang secara yuridis tidak memiliki kekuatan apa-apa dibanding hukum (undang-
undang). Dengan demikian, kita tidak bisa mengartikan apa yang dikatakan oleh
van Apeldoorn bahwa kebiasaan masyarakat itu dapat menjadi landasan kepastian
hukum yang terutama dibanding hukum (undang undang) itu sendiri. 7
Secara historis, gagasan legalitas yang mengklaim dapat memberikan kepastian
hukum dalam penegakan hukum, khususnya dalam ranah hukum pidana, jika
ditelusuri seca ra filosofis dan historis, itu adalah sebuah gagasan yang lahir berkat
gagasan legisme, setidaknya seperti yang dikatakan oleh L. J. van Apeldoorn. Van
Apeldoorn, seorang yuris Be landa yang amat memengaruhi dasar-dasar
pendidikan hu kum di Hindia Belanda, berupaya menerangkan bagaimana asas
legalitas itu lahir. Mula-mula, van Apeldoorn mengung kapkan peran pemikiran
J.J. Rousseau (1712-1778) tentang proses pembentukan hukum. Proses itu adalah
semata-mata kewenangan istimewa pembentuk undang-undang. Tak ada tempat
bagi kebiasaan yang hidup dalam keseharian masya rakat untuk menjadi dasar
7
E. Fernando M. Manullang, Legisme,legalitas dan kepastian hukum, Prenadamedia
Group, Jakarta, 2019, hlm 14

5
pembentukan hukum. Rousseau, menurut van Apeldoorn, pada pokoknya
mengatakan bahwa undang-undang adalah pernyataan kehendak yang orisinal dari
rakyat, dan itu menjadi sumber satu-satunya bagi pem bentukan hukum.
Akibatnya, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat menjadi sumber hukum yang
tidak diakui secara formal, atau dalam istilah van Apeldoorn, ia disebut sebagai
"undang-undang secara diam-diam".
Apa yang ditawarkan oleh Rousseau, menurut van Apeldoorn, memuncak
sebagai bangkitnya eksistensi negara melalui gagasan tentang kedaulatan negara
kena negara menjadi bentuk nyata dari pernya taan kehendak rakyat yang
ditawarkan oleh Rousseau.
Di sini, van Apeldoorn belum menerangkan secara tun tas, apa dan bagaimana
hubungan gagasan kontrak sosial de ngan legalitas itu sendiri. Hubungan antara
kontrak sosial dan asas legalitas itu menjadi terang ketika J.M. van Bemmelen.
seorang ahli hukum pidana asal Belanda juga, menjelaskan perihal itu. Menurut
van Bemmelen, selain peran Rousseau tadi, ada pula peranan Charles de Secondat
Baron de Mon tesqueieu (1689-1755) yang diakui secara terang benderang dalam
riwayat asal mula dari pemikiran asas legalitas.‖ 8

 FILOSOFI POLITIK MENURUT L.J. VAN APELDOORN (TEORI


LEVIATHAN)
Hobbes umumnya dibaca sebagai menguraikan teori Erastian tentang hubungan
gereja-negara. Mengambil namanya dari teolog Protestan Swiss Thomas Erastus
(1524–83), Erastianisme adalah pandangan bahwa negara memegang otoritas
tertinggi atas agama dan gerejawi juga. sebagai urusan sipil.3 Hobbes tentu saja
mendukung kontrol awam atas pendeta. Tetapi seperti yang dibuktikan oleh
kutipan pengantar, ia juga membela klaim yang lebih kuat: sebuah gereja, jika
dipahami dengan benar, identik dengan negara yang dipimpin oleh seorang
penguasa Kristen. '[A] persemakmuran [civitas] dan sebuah gereja [ecclesia] dari
orang-orang Kristen yang sama adalah hal yang persis sama dengan dua nama'.
Oleh karena itu, ada banyak gereja karena ada persemakmuran yang diperintah
oleh seorang penguasa Kristen, dan tidak satu pun dari ini. persemakmuran
memiliki struktur kelembagaan yang berbeda dari gereja nasionalnya
(kebalikannya juga berlaku).
Bagaimana kita memahami tesis identitas gereja-negara? Dan apa argumen
Hobbes untuk itu? Erastianisme tidak dengan sendirinya memerlukan atau
memerlukan identifikasi gereja dan negara. Doktrin ini sesuai dengan pendapat
yang lebih moderat bahwa gereja adalah badan terpisah yang berada di bawah
negara, serta dengan identifikasi Erastus sendiri tentang 'gereja' dalam arti pedang
dengan magistrasi sipil. Argumen-argumen Hobbes yang terkenal tentang otoritas
absolut penguasa atas urusan sipil dan agama—seperti yang diperlukan untuk
perdamaian dan stabilitas politik dan sebagaimana dijamin oleh Kitab Suci—
karena itu tidak cukup untuk menetapkan bahwa 'Gereja Kristen dan
persemakmuran Kristen adalah hal yang sama'. Diperlukan argumen tambahan.
Apa itu?
Hobbes mengajukan dua argumen berbeda untuk tesis identitas gereja-negara.
Keduanya memahami 'gereja' sebagai jemaat orang Kristen. Dan keduanya
didasarkan pada gagasan personasi: sebuah gereja, jika dipahami dengan benar,
8
Ibid., hlm 9

6
terdiri dari banyak orang Kristen yang bersatu menjadi satu pribadi (bagian 1.1).
Akan tetapi, kedua argumen tersebut berbeda sehubungan dengan bagaimana
persona ini dicapai.
Pada model personasi Summon & Bind De Cive, yang dianalisis di bagian 1.2,
mempersonifikasikan gerombolan orang Kristen yang berbeda ke dalam gereja
memerlukan beberapa otoritas 'yang dengannya individu diwajibkan untuk
menghadiri pertemuan baik secara langsung atau melalui orang lain'. Tanpa
kewajiban ini, tidak ada kata-kata dan tindakan yang dapat dikaitkan dengan orang-
orang yang berkumpul qua kerumunan; orang banyak akan terdiri dari banyak
orang, bukan satu. Hanya penguasa, Hobbes berpendapat, memiliki otoritas yang
diperlukan untuk menyatukan banyak orang Kristen ke dalam gereja yang
dipersonifikasikan. Karena negara-negara bagian tidak memiliki yurisdiksi lintas
batas, maka 'persemakmuran Kristen adalah Gereja Kristen. . . dan ko-ekstensif
dengan itu'. Pada Summon & Bind, penguasa adalah kepala gereja. Tapi dia tidak
selalu mewakili gereja (sebuah ide yang belum sepenuhnya dikembangkan Hobbes
pada saat itu). Yang dilakukan penguasa hanyalah menyediakan kondisi agar
personifikasi gereja menjadi mungkin. Summon & Bind karena itu tidak
menyiratkan atau mengharuskan penguasa berbicara atas nama gereja. Model ini
kompatibel dengan kontrol negara belaka atas dewan gerejawi dan sinode yang
kata-kata dan tindakannya dikaitkan dengan gereja.
Pada model representasi Leviathan, sebaliknya, gereja adalah orang sipil yang
diciptakan melalui representasi oleh penguasa (bagian 1.3). Yang berdaulat
memikul pribadi gereja sama seperti dia menyandang persemakmuran. Lebih
tepatnya, karena gereja adalah persemakmuran, penguasa sebenarnya hanya
memiliki satu orang: rakyat. Meskipun secara teoretis pelit, kita tidak bisa
langsung menerapkan representasi pada persona gereja. Berbeda dengan
persemakmuran, gereja tidak dibentuk melalui perjanjian asli di mana individu
saling setuju untuk memberi wewenang dan selanjutnya mematuhi perwakilan
bersama. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa penguasa sipil, dan bukan
orang lain, mewakili gereja? Bagian 1.4 berpendapat bahwa aktor selain penguasa
dapat mewakili gereja tanpa bertentangan dengan absolutisme politik atau
Erastianisme. Leviathan memiliki sumber daya konseptual dan teoretis untuk
menggambarkan gereja sebagai sistem bawahan yang teratur: asosiasi warga yang
disatukan menjadi satu orang sipil oleh perwakilan internal, tunduk pada otoritas
negara yang lebih tinggi.
Tapi itu adalah jalan yang tidak diambil. Di Leviathan, penguasa Kristen
mewakili gereja. Ini agak mengejutkan. Mahakarya Hobbes sering dibaca sebagai
menguraikan teori negara sekuler modern. Tetapi seperti yang diungkapkan bagian
1.5, penjelasan tentang hubungan gereja-negara yang dikembangkan di paruh
kedua buku ini sama sekali tidak sekuler. Persemakmuran Kristen Leviathan
menggabungkan beberapa fitur teokratis yang mencolok yang tidak ada dalam
karya-karya sebelumnya. Penguasa adalah 'Pendeta Tertinggi', sebuah jabatan
yang seolah-olah dipegangnya oleh hak ilahi. Selain itu, Leviathan memberikan
kepada penguasa-penguasa Kristen kekuatan spiritual dan sakral secara ex officio,
termasuk kuasa pentahbisan dan pembaptisan. Seperti yang diamati dengan tepat
oleh Ronald Beiner: 'Objek Hobbes bukanlah untuk menceraikan teologi dan
politik, melainkan, seperti yang ia katakan, untuk menggantikan "sebuah Imamat
Para Raja" dengan "sebuah Kerajaan Para Imam"'. Bab ini menyatakan bahwa

7
model Representasi Leviathan dari persona gereja menjelaskan pergeseran ini:
perwakilan berdaulat gereja harus memiliki kekuatan sakral penuh karena imam
bawahan bertindak atas namanya dan dengan haknya. 9
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang
mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama, kaum
Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang
berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa konstitusi
suatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang sebenarnya hanya
merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan yang nyata;
orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian dan dalam
keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Ketiga, Gumplowics
mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh yang kuat, ia
merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut aliran positivisme
berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang
lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak
orang yang terkuat.

 Aspek Epistemologi: Rule of Law Sebagai Cara Membatasi Kekuasaan.


Adapun tugas ―penguasa‖ menurut van Apeldoorn, dibagi dalam empat bidang
perundang-undangan, peradilan, polisi, dan pemerintahan. Tugas penguasa di
bidangperundang-undangan adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil,
yakni menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang peradilan,
menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di bidang kepolisian, tugas
penguasa adalah pengawasan dari penguasa atas paksaan yang dilakukannya,
supaya orang-orang mentaati hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang
pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup semua tindakan penguasa yang
tidak termasuk perundang-undangan, peradilan, dan polisi. Istilah ―tugas
penguasa‖ dalam hal ini mencakup seluruh tugas ―negara‖ yang dijalankan oleh
lembaga legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), maka hukum
ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahannya (supremasi hukum). Dalam hal ini dianut suatu ―ajaran
kedaulatan hukum‖ yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum
dijadikan guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara, pemerintahan,
pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan yang berdasarkan hukum
merupakan pemerintahan yang menjunjung supremasi hukum dan tidak
berdasarkan kepada kemauan manusianya. 10

 Aspek Aksiologi: Pandangan Kaum Idealis dan Empiris tentang Hubungan


Hukum dan Kekuasaan.
Apeldoorn mencatat, paling tidak, ada empat pengikut paham empirik yang
mengatakan bahwa hukum identik dengan kekuasaan itu sendiri. Pertama, kaum
Sophist di Yunani mengatakan bahwa keadilan itu tidak lain dari apa yang

9
Laurens van apeldoorn , Robin Douglass “Hobbes on Politics and Religion‖, Oxford
University Press, 2018.
10
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta,
2001, h. 301.

8
berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Kedua, Lasalle mengatakan bahwa konstitusi
suatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang sebenarnya hanya
merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan yang nyata;
orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian dan dalam
keadaan yang luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Ketiga, Gumplowics
mengatakan bahwa hukum itu berdasar penaklukan yang lemah oleh yang kuat, ia
merupakan susunan definisi yang dibentuk pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaannya. Keempat, bahkan sebagian dari pengikut aliran positivisme
berpendapat bahwa kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang
lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum itu merupakan hak
orang yang terkuat L.J. van Apeldoorn mengkalimatkan, tidak mungkin
memberikan definisi tentang hukum yang sungguh-sungguh dapat memadai sesuai
dengan kenyataannya 11.
Implikasi dari kekuasaan erat pengaruhnya dari politik yang dijalankan oleh
organ-organ pemerintahan dan sistem hukum yang berlaku dalam suatu negara.
Menurut Fadly Andrianto dalam jurnalnya mengemukakan gagasan legalitas yang
mengklaim dapat memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum
khususnya dalam hukum pidana secara historis adalah gagasan yang lahir berkat
gagasan legisme L.J. van Apeldoorn, seorang yuris dari Belanda. Menurut van
Apeldorn pengaruh Montesquieu dan lainnya di masa abad ke-19 lahirlah gerakan
hukum ―legisme‖, yaitu gerakan isme hukum yang mengasumsikan bahwa setiap
kegiatan penerapan hukum, itu semata-mata hanyalah suatu penerapan isi dari
undang-undang terhadap perkara-perkara konkret. Penerapan ini dilaksanakan
secara rasional dan logis. Itu disebabkan undang-undang dianggap sebagai suatu
sistem yang logis, yang bisa diberlakukan terhadap setiap perkara. Sehingga
kepastian hukum yang diberikan oleh legalitas tidak boleh dipandang terputus
dengan legisme. Keduanya sama-sama menjadi peletak atau fondasi dasar dari
kepastian hukum yang tertuang dalam hukum (undang-undang) (Fadly Andrianto,
2020). Hubungan Kausalitas antara Hukum dan Politik Berdasarkan asumsi,
konsep-konsep, dan indikator indikator tertentu membuktikan bahwa karena
hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika
konfigurasi politik yang melahirkannya berubah.12
Pengaruh Montesquieu dan lainnya itu berlangsung panjang, hingga mencapai
puncaknya di masa abad ke-19. Pada masa itu, menurut van Apeldoorn, lahirlah
sebuah gerakan hukum legisme. Gerakan ini menurut van Apeldoorn, ada lah
gerakan isme hukum yang mengasumsikan bahwa setiap kegiatan penerapan
hukum, itu semata-mata hanyalah suatu penerapan isi dari undang-undang terhadap
perkara-perkara konkret. Penerapan ini dilaksanakan secara rasional dan logis. Itu
disebabkan undang-undang dianggap sebagai suatu sistem yang logis, yang bisa
diberlakukan terhadap setiap perkara." Apa yang disampaikan oleh van Apeldoorn
dan van Bem melen di atas telah menjelaskan secara ringkas perihal sumber awal
gagasan legalitas, dan bagaimana suatu gerakan hukum; legisme, menjadi ibu
kandung dari gagasan legalitas untuk diterapkan dalam penyelesaian setiap
perkara-perkara yang konkret.

11
29 L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., h. 57-58
12
Srilaksmi ni ketut Tri, 2022, Politik Hukum Terhadap Sistem Hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia Dalam Menjamin Kepastian Hukum , _Ilmu Hukum_, (Vol 5) No. 1
Tahun 2022, Hlm. 83

9
Di sini tampak bahwa klaim kepastian hukum yang di berikan oleh legalitas
tidak boleh dipandang terputus dengan legisme. Keduanya sama-sama menjadi
peletak atau fonda si dasar dari kepastian hukum yang tertuang dalam hukum
(undang-undang), khususnya dalam wilayah hukum pidana. Keduanya pun menjadi
pegangan para hakim untuk memu tuskan suatu perkara, agar kepastian hukum itu
dapat terca pai. Jika itu semua terpenuhi, penegakan hukum diniscayakan juga
tercapai ideal.
Pendapat van Apeldoorn tentang proses pembentukan hukum dan negara
menjadi in dikasi nyata mengenal hal tersebut. Proses tersebut di mata nya adalah
semata-mata kewenangan istimewa pembentuk undang-undang. Tak ada tempat
bagi kebiasaan yang hidup dalam keseharian masyarakat untuk menjadi dasar
pemben tukan hukum. Walau van Apeldoorn merujuk pada pemi kiran Rousseau,
namun baginya, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat menjadi sumber hukum
yang tidak diakui seca ra formal. Ini yang disebut van Apeldoorn sebagai undang
undang secara diam-diam."
Pernyataan van Apeldoorn tentang pengakuan tidak formal terhadap kebiasaan-
kebiasaan dalam masyarakat, itu berarti sama dengan menempatkan apa yang
hidup di dalam masyarakat, menurut perspektif kaum yuris, sebagai peng akuan
yang secara yuridis tidak memiliki kekuatan apa-apa dibanding hukum (undang-
undang). Dengan demikian, kita tidak bisa mengartikan apa yang dikatakan oleh
van Apeldo orn bahwa kebiasaan masyarakat itu dapat menjadi landasan kepastian
hukum yang terutama dibanding hukum (undang undang) itu sendiri. Di samping
itu, L.J. Van Apeldoorn pernah menjelaskan bahwa hukum itu banyak seginya dan
demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam suatu
rumus secara memuaskan.

 Perbandingan Hukum Menurut Prof. Dr. Mr. L. J. van Apeldoorn Dari Buku:
Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Recht.
Hukum berbeda menurut tempat dan waktu akan tetapi tak ada hukum sesuatu
waktu, sesuatu bangsa atau sesuatu Negara yang berdiri sendiri. Sejarah hukum
nasional mencoba mengetengahkan hubungan historis dalam hukum sesuatu
bangsa tertentu. Perbandingan hukum menyatakan , bahwa disamping banyak
perbedaan banyak juga terdapat persamaan antara hukum perbagai bangsa.
(Apeldoorn, pp. 422-426) Ilmu pengetahuan perbandingan hukum, tentunya tak
puas dengan pencatatan belaka dari perbedaan dan persamaan, melainkan juga
mencari keterangan, karena keterangan itu, hanyadapat di cari dalam sejarah, maka
perbandingan hukum secara ilmiah tak dapat tidak dengan sendirinya harus
menjadi sejarah hukum perbandingan. (Apeldoorn, p. 422) Ilmu pengetahuan
perbandingan hukum, yang mengambil teladan kepada ilmu pengetahuan bahasa
perbandingan, mengajarkan kita bahwa parallel-parallel antara hukum dan
pertumbuhan hukum dari aneka bangsa, kebanyakan dapat di terangkan dari
adanya keturunan bersama dari bangsa-bangsa tersebut. Pada lain pihak ternyata
bahwa hukum dari bangsa-bangsa yang berdasarkan keturunannya mempunyai
pertalian darah yang erat, dalam pertumbuhan selanjutnya walaupun asalnya sama,
acapkali sangat berlainan. (Apeldoorn, p. 422) Adalah tugas dari perbandingan
hukum , untuk menyelidiki, faktor-faktor apakah yang menentukan perbedaan-
perbedaan itu, misalnya sampai berapa jauh tanah dan iklim, hal ihwal sejarah yang
khusus dari sesuatu bangsa (perang, revolusi, penindasan ), pengaruh

10
beberapaoknum, keadaan ekonomi, pandangan–pandangan agama dan sebagainya,
memegang peranan dalam hal tersebut. (Apeldoorn, p. 422) Dugaan, seolah-olah
parallel antara hukum dari pelbagai bangsa selalu dapat diterangkan dari keturunan
bersama, adalah salah. Sebaliknya nyata, bahwa keadaan ketetanggaan dan
lebihlebih persekutuan budaya dalam hal itu memegang peran yang lebih penting.
Persamaan antara hukum dari pelbagai bangsa, untuk sebagian besar dapat
diterangkan dari pertukaran 13
Kebudayaan, dari pergoperan kebudayaaan. Pengoperan itu dapat meliputi
seluruh sistim hukum, misalnya receptie hukum Romawi, walaupun tentunya juga
hal-hal tersebut tidak merupakan pengoperan dari segala lembaga hukum Romawi ,
lebih-lebih tidak demikian tentang pengoperan mengenai hukum negara dan
hukum pidana, akan tetapi juga tidak dalam segala lapangan hukum
Perdata.Pengoperan itu dapat juga terbatas hinga sebagian dari pada perundang
undangan asing. (Apeldoorn, p. 423) Demikian dalam hubungan yang lain telah
kita sebutkan pengoperan kodifikasi hukum perdata Swiis oleh Turki. Dalam tahun
1898 dan 1899, Jepang menetapkan kitab UndangUndang Hukum perdata dan
kitab undang-undang hukun dagang, yang terutama berdasarkan kitab undang-
undang Jerman, sedangkan dari tahun 1890-1926, kitab undang-undang hukum
acara Perdata yang berlaku di Jepang, hampir seluruhnya terjemahan dari
zivilprozesz ordnungJerman. Kecuali perundang-undangan Justinianus, tak ada
kitab undang-undang yang mempunyai pengaruh yang lebih besar di dunia
daripada code civil Perancis.
Segera sesudah penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh Napoleon, daerah
berlakunya Kitab undang-undang itu meluas jauh di luar batas-batas Perancis.
(Apeldoorn, p. 423) berbagai negara, sebagai negeri Belanda (hingga 1838),
Belgia, Luxemburg, Polandia, dsb, juga sesudah kekuasaan Perancis berakhir, tetap
mempertahankannya, sejumlah besar negara negara di dalam dan di luar Eropah
(antara lain Amerika Selatan) sedikit banyak menyertainya dalam kodifikasi
hukum mereka. Akan tetapi di luar hal-hal yang sangat menyolok mata tentang
penerimaan dari bagian-bagian yang penting dari sistim-sistim hukum luar negeri
masih ada juga penerimaan yang kurang menyolok mata (akan tetapi walaupun
demikian tak kurang pentingnya), penyelundupan yang terus menerus dari
pandagan-pandagan luar negeri, peraturan- peraturan hukum, lembaga-lembaga
hukum yang dialami oleh perundang-undangan, pengadilan , literatur yuridis,
pendeknya hukum positif dari tiap-tiap bangsa. (Apeldoorn, pp. 422-426) Dalam
pada itu sejarah hukum perbandingan juga menunjukan bahwa dalam lembaga-
lembaga hukum dan pertumbuhan hukum pada bangsa bangsa yang primtif
acapkali terlihat persamaanyang besar dengan tiada adanya keturunan bersama atau
pengoperan. (Apeldoorn, pp. 422-426) Misalnya kita hanya mengingat:
(Apeldoorn, p. 423).
 Pada perkawinan beli saja (perkawinan, dalam mana seorang laki-laki
membeli pengantinnya dari keluarga perempuan),yang terdapat pada
bangsa-bangsa yang primitif di seluruh dunia, - Pada pertumbuhan milik
dalam mana hak milik perseorangan atas barang-barang yang bergerak
menurut sejarah biasanya mendahului hak milik atas barang-barang yang
tak bergerak,
13
Perbandingan Hukum oleh Sebastiana da Costa Pereira, Lic.Dir di Program Magister
Ilmu Hukum Paska Sarjana, Universidade da Paz, Dili, Timor-Leste

11
 Pada pertumbuhan hak gadai,(gadai di bawah tangan, gadai milik, gadai)
 Pada balasan dendam sebagai reaksi yang tertua terhadap penghinaan
hukum .
 Pada perkelahian atas perintah pengadilan
 Sumpah sebagai alat alat bukti yang dipergunakan dalam proses Apa yang
telah kita lihat tentang nilai sejarah hukum untuk ilmu pengetahuan hukum
dan praktek hukum, yakni hahwa ia perlu untuk dapat memahami gejala
gejala hukum , bahwa ia meluaskan pandangan kita dan membebaskan kita
dari prasangka, berlaku juga untuk sejarah hukum perbandigan. Ia
menyelidiki pertumbuhan hukum dalam hubugan yang lebih luas dari pada
sejarah hukum nasional, yang hanya memuat bagian yang terbatas menurut
negara atau bangsa, dan yang dari bahan-bahan terbatas yang dapat
digunakannya tak selalu dapat menetapkan hubungan yang causal.
(Apeldoorn, p. 424)
Dengan mempergunakan hasil –hasil dari sejarah hukum berbagai negara dan
bangsa, dengan membandingkan hasil-hasil itu satu sama lain dengan menunjukan
pertumbuhan hukum yang milik sendiri, dan yang milik pelbagai bangsa, dan
sebanyak mungkin membentangkan faktor -faktor yang mengakibatkan
pertumbuhan tersebut, biasanya ia dapat menemukan hubungan yang casual dari
gejala-gejala hukum, hubungan mana tetap tersembunyi untuk penyelidik sejarah
hukum yang hanya menyelidii satu negara atau satu bangsa saja dan ia dapat
mengisi luangan-luangan dalam pencatatan pertumbuhan hukum nasional.Apa
yang oleh sejarah hukum perbandigan di pinjam dari perkembangan hukum
nasional, berupa keteranganketerangan (gegevens), dibayarnya kembali dengan
bunga . (Apeldoorn, p. 424) Ini sama sekali tidak berarti bahwa perbnanding
hukum hanya harus dipejari untuk manfaat sejarah hukum nasional saja. Ilmu
perbandingan hukum mempunyai tujuan an sich, Hukum adalah gejala dunia dan
karena itu ilmu pengetahuan harus bercita-cita menyelami gejala- gejala tersebut, ia
harus menjadikan hukum dari seluruh dunia pada masa ini dan pada masa yang
lampau sebagai obyek penyelidikannya. (Apeldoorn, p. 424) Rupanya tak perlu
lagi kita menunjukan dengan tegas, bahwa perbandingan hukum yang untuk
pelajaran hukum yang bersifat ilmu pengetahuan adalah conditio sine qua non juga
untuk praktek mempunyai arti yang sangat penting. Ia adalah alat pertolongan
yang diperlukan untuk mengadakan kritik atas dan untuk mengadakan perubahan
pada hukum kita sendiri dan memberikan pengetahuan tentang berbagai-bagai
peraturan dan pikiran hukum kepada pembentuk undang-undang dan hakim , untuk
mana, mereka dari inisiatifnya sendiri mungkin tak pernah memikirkannya.
Dengan demikian, perbandingan hukum dapat mendukung kesatuan hukum 2 dari
pelbagai negara, juga walaupun itu tidak dicita-citakan, dimana itu ada
dicitacitakan, maka perbandingan hukum tentunya merupakan syarat yang tak
dapat ditiadakan untuk melaksanakannya. (Apeldoorn, p. 425).
Kini pentingnya perbandingan hukum untuk ilmu pengetahuan dan praktik
sudah umum diakui. Itu ternyata dari banyaknya perhimpunan dan lembaga yang
mencurahkan pikirannya pada pelajaran secara sistematis tentang perbandingan
hukum, hampir disemua negara Eropa dan juga di Amerika. Lembaga-lembaga
itupun mengeluarkan karangan-karangan, buku-buku tahunan dan majalah-majalah
untuk menggiatkan usaha itu. (Apeldoorn, p. 425) 14
14
H.C Gutteridge, Comparative Law, Cambridge 1946 , hal 145-184

12
 Modernisasi Negara Dalam Konteks Supremasi Hukum
Konteks Supremasi mempunyai arti kekuasaan tertinggi (teratas).dan Hukum
artinnya peraturan. Jadi, Supremasi Hukum mempunyai pengertian sebagai suatu
peraturan yang tertinggi.Mengenai perumusan dari Supremasi Hukum ini
sebenarnya belum ada yang memberikan pengertian secara tegas,hal ini disebabkan
karena cakupan yang demikian luasnya dari hukum itu.Van Apeldoorn mengatakan
bahwa, hukum banyak seginya dan demikian luasnya,sehingga orang tidak
mungkin menyatukan dalam satu rumusan secara memuaskan. Apeldoorn juga
memberi gambaran, dalam soal hukum,seseorang) Jika ia mendengar perkataan
hukum seketika itu juga teringat akn gedung pengadilan ,pengacara, juru sita,
polisi. Mr.Soemintardjo dkk memberi definisi Hukum adalah aturan-aturan
hidup,yang bersifat memaksa, pelanggaran mana mengakibatkan sanksi yang tegas
dan nyata.
Dari beberapa kutipan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum
adalah serangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia
dalam pergaulan hidup dalam masyarakat yang dibuat oleh lembaga resmi yang
berwenang dan berlakunya bersifat memaksa untuk ditaati serta memberikan
sanksi tegas dan nyata terhadap pelanggarnya.terdapat kalimat mengatur tingkah
laku manusia berarti mengatur setiap perhubungan hukum yang dilakukan oleh
setiap orang tidak boleh ,tidak harus didasarkan atas aturan hukum yang berlaku.
Eksistensi hukum pada hakikatnya untuk mengatur perhubungan hukum dalam
pergaulan masyarakat,baik antara orang seorang,orang yang satu dengan orang
lain, antara orang dengan Negara dan mengatur hubungan antara lembaga-lembaga
Negara yang ada pada UU Negara termasuk dalam pelaksanaan pemerintahannya
secara keseluruhan,khususnya dalam hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh
seluruh aparat penegak hukum dalam rangka kekuasaan yang dijalankan agar
dalam setiap tindakannya dapat mencerminkan hakikat dari pada hukum itu.
Sehingga dengan demikian perbuatan semena-mena yang menjauhkan cita-cita
hukum dapat dihindarkan,maka untuk hal sedemikian cita-cita bernegara dan
berbangsa yang dalam hubungan ini dapat dihindarkan,maka untuk hal sedemikian
cita-cita bernegara dan berbangsa yang dalam hubungan ini dapat mewujudkan
keadilan sosial.
Menurut L. J. van Apeldoorn bahwa ―untuk dapat melakukan perbuatan hukum
diperlukan syarat-syarat tertentu yaitu subyek hukum yang mempunyai
kemampuan untuk memegang hak‖. Menurut L. J. van Apeldoorn ―kemampuan
untuk memegang hak yang dimaksudnya harus dibedakan secara kapasitasnya
dalam perbuatan hukum sebagaimana orang-orang dibawah umur dan orang-orang
berada di bawah pengampuan disebut subyek hukum dikarenakan orang-orang
tersebut memiliki hak. Namun, dari sudut pandang hukum,orang-orang tersebut
dinyatakan tidak cakap dalam perbuatan hukum15.
L.J. Van Apeldoorn pernah mengatakan bahwa tidak mungkin memberikan
definisi tentang hukum, yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan.16

15
Jaya Febri, Goh Wilton, 2021,Analisi Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan
Buatan Atau Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pada Hukum Positif
Indonesia, Supermasi Hukuman, Vol 17 No.2, Hlm. 6
16
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm.
13.

13
Selanjutnya L.J. Van Apeldoorn menjelaskan bahwa hukum itu banyak seginya
dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam suatu
rumus secara memuaskan. Penulis-penulis Ilmu Pengetahuan Hukum di Indonesia
juga sependapat dengan L.J. Van Apeldoorn, seperti Sudirman Kartohadiprodjo
mengatakan, ―... jikalau kita menanyakan apakah yang dinamakan hukum, kita
akan menjumpai tidak adanya persesuaian pendapat. Berbagai perumusan yang
dikemukakan‖.17
Teori Etis menurut L.J. Van Apeldoorn berat sebelah karena, melebih-lebihkan
kadar keadilan hukum, sebab ia tidak cukup memperhatikan keadaan
sebenarnya.17 Hukum menetapkan peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk
orang-orang dalam pergaulan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam perumusan
pasal dalam undangundang yang berbunyi, ―barang siapa ...‖. Ini berarti hukum itu
bersifat menyamaratakan, dengan demikian setiap orang dianggap sama. Suatu tata
hukum tanpa peraturan umum yang mengikat setiap orang tidak mungkin ada.
Tidak adanya peraturan umum, berarti tidak ada ketentuan yang sungguh-sungguh
mengenai apa yang disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan inilah yang sering
menimbulkan perselisihan antara warga masyarakat, dalam hal ini menyebabkan
keadaan yang tidak tertib. Oleh karena itu, hukum harus menentukan peraturan
umum, harus menyamaratakan, sedangkan keadilan melarang menyamaratakan.
Jadi, untuk memenuhi keadilan peristiwanya harus dilihat secara kasuistis. Dalam
hal ini teori etis itu berat sebelah.18
Beliau mengatakan bahwa hukum itu sangat sulit didefenisikan. Mencari
pengertian tentang hukum sama dengan kita mencari pengertian sebuah gunung.
Bedanya hukum tidak dapat dilihat dalam bentuk rupa atau wujudnya sedangkan
gunung dapat kita lihat. Sehingga batasan gunung dilihat dari sudut pandang kita
adalah sebuah kenaikan muka bumi, agak curam dan pada segala penjuru lebih
tinggi daripada sekitaranya, sedangkan hukum tidak bisa dilihat dari sudut pandang
kita, karena hukum itu sendiri tidak dapat dilihat. Dalam kenyataan di masyarakat
akan dijumpai dua golongan yang mempunyai pandangan terhadap hukum yakni:
pertama, Ontwikkelde Leek yakni pandangan yang mengatakan bahwa hukum
adalah Undang-Undang. Bagi golongan ini hukum itu tidak lain adalah deretan
pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang. Pandangan ini disebut juga
dengan pandangan Legisme, karena terlalu mengagung- agungkan Undang-
Undang. Kedua adalah Golongan The Man In the Street yang menyatakan bahwa
hukum itu adalah gedung pengadilan, hakim, pengacara, jaksa, jurusita dan lain
sebagainya. Akan tetapi Van Apeldoorn sendiri mengatakan bahwa hukum itu
adalah masyarakat itu sendiri ditinjau dari segi pergaulan hidup. Batasan ini dibuat
hanyalah sekedar pegangan sementara bagi orang yang ingin mempelajari
hukum.19

17
Sudirman Kartohadiprodjo, dalam C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 33.
18
L.J. van Apeldoorn, op. cit., hlm. 24.
19
Yapiter Marpi, S.Kom., SH., MH., Ilmu Hukum Suatu Pengantar, PT. Zona Media
Mandiri, Tasikmalaya, 2020, hlm 33

14
DAFTAR PUSTAKA

Apeldoorrn, Lambertus Johannes Van. 1886,1979. in biografisch wordenboek van


Nederland
Kansil, C.S.T., 2009. Ilmu Negara. Jakarta. Sinar Grafika.
E. Fernando M. Manullang, 2019, Legisme, legalitas dan kepastian hukum,
Prenadamedia Group, Jakarta,
H.C Gutteridge, Comparative Law, Cambridge 1946
Harsanto Nursadi, 2008, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta,
Jaya Febri, Goh Wilton, 2021, Analisi Yuridis Terhadap Kedudukan Kecerdasan
Buatan Atau Artificial Intelligence Sebagai Subjek Hukum Pada Hukum Positif
Indonesia, Supermasi Hukuman, Vol 17 No.2
L.J. van Apeldoorn, 1985, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.
L.J. van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Laurens van apeldoorn , Robin Douglass, 2018, “Hobbes on Politics and Religion‖,
Oxford University Press,
Perbandingan Hukum oleh Sebastiana da Costa Pereira, Lic.Dir di Program Magister
Ilmu Hukum Paska Sarjana, Universidade da Paz, Dili, Timor-Leste.
Ni’matulHuda, 2019, Ilmu Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Depok.
Srilaksmi ni ketut Tri, 2022, Politik Hukum Terhadap Sistem Hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia Dalam Menjamin Kepastian Hukum , Ilmu Hukum, (Vol 5)
No. 1 Tahun 2022,
Sudirman Kartohadiprodjo, dalam Kansil C.S.T., 1982, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka.
Yapiter Marpi, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, PT. Zona Media Mandiri, Tasikmalaya,
2020, hlm 33

15

You might also like