You are on page 1of 6

A.

RINGKASAN MATERI
1. PENGERTIAN RESENSI
Menurut Sitepu (2013), dikaji secara etimologi dari bahasa Latin (recensere atau revidere)
dan bahasa Inggris (review), resensi mengandung makna dasar “memeriksa, mencermati,
meninjau atau melihat kembali” sesuatu. Dengan pengertian dasar yang demikian, objek
resensi tidak hanya terbatas pada buku tetapi dapat berupa film, drama, pameran, dan
berbagai bentuk/tampilan tulisan.
Meresensi buku adalah kegiatan membaca, memahami, menganalisis, mengevaluasi, dan
mengungkapkan keunggulan dan kelemahan sebuah buku sebagai informasi untuk orang lain
(Sitepu, 2013). Hasil proses meresensi buku itu disebut resensi buku.

2. TUJUAN RESENSI
Meresensi suatu buku mempunyai tujuan yaitu sebagai berikut :
1. Agar bisa memberikan sebuah pemahaman dan informasi secara komprehensif kepada suatu
masyarakat atau si pembaca tentang isi buku yang diresensinya.
2. Mengajak si pembaca agar mendiskusikan dan memikirkan lebih jauh tentang apa masalah
yang diangkat yang ada di dalam buku tersebut.
3. Agar memberikan suatu pertimbangan kepada si pembaca tentang pantas atau tidaknya buku
itu untuk dibaca atau diterbitkan.
4. Agar memberikan suatu jawaban mengenai sebuah pertanyaan-pertanyaan dari pembaca
ketika buku baru diterbitkan.
5. Memberikan sugesti kepada pembaca, apakah sebuah buku atau film patut dibaca atau
ditonton.
6. Melukiskan dan memaparkan pendapatnya melalui sebuah pertimbangan atau penilaian.
7. Memberikan kriteria-kriteria yang jelas dalam mengemukakan pendapatnya itu.

3. SYARAT PENYUSUNAN RESENSI


Ada beberapa syarat dalam menyusun resensi antara lain :
1. Ada data buku, meliputi nama pengarang, penerbit, tahun terbit dan tebal buku (identitas
buku), produser,sutradara.
2. Pendahuluannya berisi perbandingan dengan karya sebelumnya, biografi pengarang, atau hal
yang berhubungan dengan tema atau isi (abstrak)
3. Ada ulasan singkat terhadap buku tersebut (sinopsis)
4. Harus bermanfaat dan kepada siapa manfaat itu ditujukan (penutup)
4. FUNGSI RESENSI
Antara lain:
1. Fungsi informatif, yakni menginformasikan keberadaan buku atau film tertentu sehingga
pembaca merasa tertarik untuk mengetahuinya lebih lanjut.
2. Fungsi komersial, yakni mempromosikan produk baru untuk kepentingan komersial
(keuntungan materi).
3. Fungsi akademik, yakni interaksi antara penulis buku, penerjemah, editor, dan peresensi
dalam membentuk wacana keilmuan serta berbagai pengalaman dan sudut pandang tentang
topik tertentu yang dijadikan fokus resensi.

5. MANFAAT RESENSI
Manfaat resensi antara lain:
1. Bahan pertimbangan
Untuk memberikan sebuah gambaran kepada para si pembaca tentang sebuah karya
dan untuk mempengaruhi mereka atas karya tersebut.
2. Nilai ekonomi
Untuk mendapatkan uang atau imbalan dari buku-buku yang diresensikan secara
gratis dari si penerbit buku jika resensinya dimuat dikoran atau dimajalah.
3. Sarana promosi buku
Buku yang diresensikan yaitu buku baru yang belum pernah diresensi. Oleh sebab itu,
resensi merupakan suatu media untuk mempromosikan buku baru tersebut.
4. Pengembangan Kreativitas
Untuk mengembangkan sebuah kreativitas dalam menulis. Dalam membuat sebuah
resensi buku harus mempunyai sebuah unsur-unsur agar resensi tersebut jelas dan berkualitas.

6. JENIS-JENIS RESENSI
Berdasarkan isi sajian atau isi resensinya, resensi buku digolongkan menjadi :
1. Resensi informatif
Resensi informatif hanya berisi informasi tentang hal-hal penting dari suatu buku.
pada umumnya, isi resensi informatif hanya ringkasan dan paparan mengenai apa isi buku
atau hal-hal yang bersangkutan dengan suatu buku.
2. Resensi evaluatif
Resensi evaluatif lebih banyak menyajikan penilaian peresensi tentang isi buku atau
hal-hal yang berkaitan dengan buku. Informasi tentang isi buku hanya disajikan sekilas saja
bahkan kadang-kadang hanya dijadikan ilustrasi.
3. Resensi informatif –evaluatif
Resensi informatif-evaluatif merupakan perpaduan dua jenis resensi tersebut. Resensi
jenis ini disamping menyajikan semacam ringkasan buku atau hal-hal penting yang ada
dibuku juga menyajikan penilaian peresensi tentang isi buku. resensi jenis ketigalah yang
dikatakan paling ideal karena bisa memberikan laporan dan pertimbangan secara memadai.
7. UNSUR-UNSUR RESENSI/ STRUKTUR RESENSI
Terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi sehingga dapat dikatakan utuh, berikut ini unsur-
unsurnya:
1. Judul Buku
Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan,
tidak harus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah penulisan resensi selesai.
Yang perlu diingat, judul resensi harus selaras dengan keseluruhan isi resensi.
2. Data buku
Data buku biasanya disusun sebagai berikut:
a. Judul resensi (jika buku itu termasuk buku hasil terjemahan, judul aslinya juga
harus ditulis).
b. Pengarang (jika ada, tulis juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera
dalam buku).
c. Penerbit.
d. Tahun terbit beserta cetakannya (cetakan keberapa).
e. Tebal buku (berapa halaman).
f. Harga buku (jika diperlukan)
3. Pembukaan (lead)
Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
a. Memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi
apa yang diperoleh.
b. Membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri
maupun pengarang lain.
c. Memaparkan kekhasan atau sosok pengarang.
d. Memaparkan keunikan buku.
e. Merumuskan tema buku.
f. Mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku.
g. Mengungkapkan kesan terhadap buku.
h. Memperkenalkan penerbit.
i. Tubuh atau isi pertanyaan resensi buku
4. Tubuh atau isi resensi buku
Tubuh atau isi pertanyaan resensi buku biasanya memuat hal-hal di bawah ini :
a. Sinopsis atau isi buku secara benar dan kronologis.
b. Ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya.
c. Keunggulan buku.
d. Kelemahan buku.
e. Rumusan kerangka buku.
f. Tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit).
g. Kesalahan cetak (jika ada)
5. Penutup resensi
Bagian penutup, biasanya berisi saran atau pertanyaan bahwa buku itu penting untuk
siapa dan mengapa.
B. TUGAS!
1. Bacalah materi teks resensi di atas!
2. Tuliskan materi di atas pada buku catatan kalian masing-masing!
3. Bacalah teks resensi di bawah ini dengan saksama!

Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938)


Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan novel karya Hamka yang pertama kali
terbit pada tahun 1938 sebagai cerita bersambung dalam rubrik "Feuilleton" majalah Pedoman
Masyarakat. Kemudian, cerita bersambung itu dikumpulkan oleh Syarkawi dan diterbitkan di
Medan oleh Penerbit Centrale Courant pada tahun 1939. Selanjutnya, karya Hamka yang satu
ini hingga tahun 1963 telah mengalami cetak ulang tujuh kali oleh penerbit yang berbeda-beda.
Cetakan pertama (1939) dan kedua (1949) diterbitkan oleh Penerbit Centrale Courant. Cetakan
ketiga (tahun 1951), keempat (tahun 1958), dan kelima (tahun 1961) diterbitkan oleh penerbit
Balai Pustaka di Jakarta. Cetakan keenam (tahun 1961) dan ketujuh (tahun 1963) novel itu
diterbitkan di Bukittinggi oleh Penerbit NV Nusantara. Cetakan ke-26 (tahun 2002) oleh
Penerbit Bulan Bintang.
Tenggelamnya Kapal van der Wijck mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh
adat Minangkabau yang terkenal kukuh. Dalam novel itu diceritakan bahwa Zainuddin,
seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran Minang dan Makasar, tidak berhasil
mempersunting gadis idamannya, Hayati, karena ninik-mamaknya tidak setuju dan
menganggap Zainuddin sebagai manusia yang tidak jelas asal-usulnya. Zainuddin kemudian
menjadi pengarang. Dalam suatu kecelakaan gadis kecintaannya meninggal dalam kapal yang
ditumpanginya. Dari inti cerita itu dapat dikatakan bahwa novel Hamka ini mengetengahkan
masalah adat yang mengatur jodoh seseorang. Sementara itu, masalah agama tidaklah menjadi
masalah pokok, seperti yang sering disebut-sebut orang bahwa novel itu membawakan napas
keagamaan, sebagaimana dikatakan oleh Goenawan Mohamad (1966). Dalam novel itu
ternyata masalah agama lebih dominan sebagai latar karena masalah itu bukanlah sebagai
persoalan utama yang dihadapi para pelakunya. Dalam novel Hamka ini alur cerita terbangun
melalui peristiwa-peristiwa yang terungkap lewat surat-surat.
Ada 35 surat yang ditulis oleh tokoh-tokohnya. Tokoh dalam novel itu saling berkirim
surat untuk mengemukakan berbagai perasaan dan pengalamannya. Misalnya, Hayati berkirim
surat kepada Zainudin enam kali, Zainudin berkirim surat kepada Hayati sembilan kali, dan
Hayati kepada Chadijah lima kali. Menurut H.B. Jassin (1967) , surat-surat yang dimasukkan
Hamka dalam novelnya itu sebagian besar merupakan ulangan yang tidak membuka
pemandangan baru dan dapat dihilangkan dengan tidak mengurangi jalan cerita. Menurut
Jassin pula, komposisi surat-menyurat dalam novel Hamka itu merupakan pengaruh dari
Alexander Dumas, yang bukunya Margaretha Gauthier telah diterjemahkan oleh Hamka.
Pengaruh Alexander Dumas yang terwujud dalam surat-menyurat yang muncul dalam novel
Hamka itu sebenarnya tidak terlalu menimbulkan persoalan. Novel Tenggelamnya Kapal van
der Wijck baru bermasalah setelah dituduh sebagai karya jiplakan, dan Hamka, pengarangnya,
dicap sebagai doktor plagiator. Novel Hamka terbit pertama kali pada tahun 1938 dan pada
cetakan keenam--tahun 1961--novel itu baru dipermasalahkan. Jadi, setelah beredar selama 23
tahun novel tersebut baru dituduh sebagai barang jiplakan. Tuduhan plagiat terhadap novel
tersebut juga menjadi polemik yang hangat pada zamannya. Polemik tentang novel
Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang dituduh sebagai karya jiplakan itu berawal dari
tulisan Abdullah Said Patmadji atau lebih terkenal dengan sebutan Abdullah S.P., seorang
cerpenis dan penyair kelahiran Cirebon, yang dipublikasikan dalam lembaran kebudayaan
"Lentera" harian Bintang Timur, pada tanggal 12 dan 14 September 1962. Abdullah S.P.
menyatakan bahwa karya Hamka Tenggelamnya Kapal van Der Wijck >merupakan jiplakan
dari Magdalaine karangan Alphonse Care yang diterjemahkan oleh Said Mustafa al-Manfaluthi
ke dalam bahasa Arab.
Dalam tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. mengatakan bahwa gaya Hamka sangat
mirip dengan gaya pujangga Mesir Al-Manfaluthi: gaya bahasanya, jalan pikirannya,
perasaannya, dan filsafatnya. Ditambahkannya pula bahwa karya Hamka itu seperti pinang
dibelah dua dengan Magdalaine-nya Manfaluthi: temanya, isinya, dan napasnya; hanya tempat
kejadian dan tokoh-tokohnya yang disulap dengan menggunakan warna setempat. Dalam
tulisannya yang pertama, Abdullah S.P. baru menerka bahwa karya Hamka itu sama dengan
Magdalaine. Selanjutnya, dalam rangkaian tulisan yang kedua Abdullah S.P. mulai
membandingkan kutipan dari Tenggelamnya Kapal van der Wijck dengan kutipan dari
Magdalaine. Berdasarkan perbandingan itu, Abdullah S.P. mengatakan bahwa titik tolak
jiplakan dimulai dengan pendekatan pribadi antara dua pasang remaja, Zainuddin dan
Stevents. Tulisan Abdullah S.P. itu kemudian dikutip oleh Kantor Berita Antara yang
disebarluaskan dalam buletin hariannya pada tanggal 19 September 1962. Sejak itu tuduhan
jiplakan karya Hamka meluas dan menjadi polemik. Tanggapan datang dari berbagai kritikus,
sastrawan, penerjemah, dan pemerhati sastra.
Pramoedya Ananta Toer, pimpinan "Lentera" Bintang Timur mengungkapkan bahwa
sebagai pengagum Hamka, ia sangat kecewa dengan terbongkarnya kepalsuan Tenggelamnya
Kapal van der Wijck dan ia mengharapkan agar Hamka menempuh "jalan yang baik", yaitu
minta maaf kepada seluruh pembaca (12 Mei 1963). Sekretaris BMKN, Anas Ma'ruf (12 Mei
1963) menyatakan bahwa tulisan Abdullah S.P. dan keberanian Bintang Timur yang telah
menyingkap kebenaran dan fakta perlu mendapat pujian yang layak, tetapi tulisan itu kurang
meyakinkan karena hal pokok seperti gagasan, tema, dan plot dalam keseluruhan kurang
disinggung. Ia pun angkat topi kepada Berita Minggu yang giat mencari dan memuat visi-visi
lain sebagai pengimbang dan pemelihara berkembangnya benih demokrasi. Kritikus lain, yaitu
Usmar Ismail (12 Mei 1963), tokoh Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia
mengemukakan bahwa sastrawan dalam menciptakan karyanya melalui tiga masa, yaitu masa
terjemahan, masa pengaruh, dan masa keaslian. Yang ketiga pun hasil kristalisasi masa-masa
sebelumnya; hanya seorang yang jenius yang mampu menciptakan keaslian. Jadi, apa yang
terjadi pada Hamka adalah masa keaslian yang telah melalui kristalisasi masa-masa
sebelumnya.
Tanggapan lain datang dari Ali Audah (10 Oktober 1962) yang telah menerjemahkan
karya Manfaluthi ke dalam bahasa Indonesia. Ia menyatakan bahwa ada persamaan dan napas
Manfaluthi yang begitu besar pengaruhnya kepada Hamka, tetapi setelah dibandingkan, kedua
karya tersebut masih terlihat pengkhayalan kreatif dan gaya khas Hamka. Ali Audah yakin
bahwa Hamka tidak sekadar memindahkan ide pengarang tentang masyarakat dan kehidupan
serta romantismenya, tetapi ia berbicara tentang kekuasaan "ninik-mamak" di Minangkabau
seperempat abad yang lalu. Sementara itu, Zuber Usman, mantan Redaktur Balai Pustaka yang
mahir berbahasa Arab sudah mengetahui bahwa Hamka banyak dipengaruhi oleh Manfaluthi
sehingga karya Hamka bernapaskan karya Manfaluthi dan hal-hal seperti itu tak perlu
dihebohkan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur St. Iskandar bahwa apa yang dilakukan
oleh Hamka bukan pekerjaan menjiplak. Tuduhan menjiplak itu pun tidak tepat diberikan
kepadanya sebab Hamka memang seorang pengarang. Hal itu lebih baik dikatakan sebagai
pengaruh Manfaluthi terhadap Hamka (2 Oktober 1962). Hamka yang selama polemik
berlangsung tetap diam karena tidak mau melayani fakta yang dicampuradukkan dengan opini
akhirnya memberi komentar pada harian Berita Minggu (No. 31, 30 September 1962) bahwa ia
memang sangat terpengaruh oleh Manfaluthi. Namun, sebagai orang yang beragama, ia
percaya kepada keadilan Tuhan: seandainya bersalah, ia pastilah sudah jatuh. Hamka
menyebutkan bahwa tuduhan tersebut hanyalah ingin menjatuhkan namanya. Untuk
menyelesaikan suasana yang gelap yang menutupi dunia sastra Indonesia, semula Fakultas
Sastra UI akan membentuk suatu komisi yang bertugas menyelidiki apakah karya Hamka itu
merupakan karya jiplakan atau karya asli.
Namun, pembentukan komisi itu dianggap tidak praktis. Kemudian, timbul gagasan
praktis, yaitu ciptaan Manfaluthi diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disajikan
kepada pembaca. A.S. Alatas, dosen Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra UI kemudian
menerjemahkan karya Manfaluthi tersebut. Setelah penerjemahan itu, H.B. Jassin, kritikus
sastra Indonesia mengatakan bahwa meskipun terdapat persamaan tema, plot, dan pikiran,
Hamka jelas-jelas menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya. Persamaan yang
mungkin ada dengan karangan Manfaluthi dengan menyajikan beberapa pikiran dan patron
cerita dapatlah dikembalikan pada pengaruh belaka, Hamka tidaklah menjiplak (17 Februari
1963). Keterangan H.B. Jassin segera dibantah harian Bintang Timur, 24 Februari 1963,
dengan menurunkan berita yang berjudul "Berdasarkan Keterangan H.B. Jassin:
Tenggelamnya Kapal van der Wijck Memang Plagiat, yang Tidak Plagiat Cuma Caranya
Lakukan Plagiat". Sesungguhnya, tuduhan Hamka sebagai plagiat tidak terlepas dari upaya
Lekra untuk menyerang sastrawan-sastrawan yang tidak sehaluan politik. Sebagaimana
dikemukakan Taufiq Ismail dalam bukunya Benteng dan Tirani, Hamka merupakan sasaran
pertama Pramoedya (Pramoedya adalah pemimpin lembar kebudayaan "Lentera" harian
Bintang Timur). Hamka dituduh, dipermalukan, dan dihina habis-habisan dengan bahasa yang
kasar melalui lembar kebudayaan "Lentera" harian Bintang Timur dan tidak diberi kesempatan
untuk hak membela diri di harian itu. Puncak penghinaannya adalah bahwa Hamka dituduh
mengadakan rapat gelap yang merencanakan akan membunuh Menteri Agama dan Presiden
sehingga ia ditahan tanpa pernah diadili.

Setelah kalian membaca teks resensi di atas, lakukanlah analisis isi resensi
berdasarkan format tabel berikut.

4. Jawab pertanyaan di bawah ini!


a. Sebutkan unsur-unsur resensi!
b. Sebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam data buku dan tubuh atau isi resensi buku!
5. Jawaban dikumpulkan pada saat tatap muka di kelas!

You might also like