You are on page 1of 19

Kehujjahan Hadits

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu: Tatang Sulaeman, S. Pd. I, M. Pd.

Oleh:

Arini Zahra Salsabila (2103004020)


Mita Komala Sari (2103004021)
Syifa Nurul Hidayah (2103004025)

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSLAM (IAID)
CIAMIS- JAWA BARAT
2023
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT karena dengan Rahmat
dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
"Kehujjahan Hadits” ini dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur mata kuliah
Ulumul Hadits. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami
menyampaikan terima kasih kepada Bapak Tatang Sulaeman, S. Pd. I, M. Pd.
pengampu mata kuliah Ulumul Hadits.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan pembaca. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu kami
ucapkan permintaan maaf. Sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah
selanjutnya.

Ciamis, 30 Maret
2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................1

C. Tujuan.......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2

A. Kualitas Hadits.........................................................................................................2

B. Pengamalan Hadits..................................................................................................6

C. Metode Takhrij Hadits Untuk Studi Kehujjahan Hadits....................................10

BAB III PENUTUP........................................................................................................15

A. Kesimpulan.............................................................................................................15

B. Saran.......................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits atau Sunnah adalah sumber ajaran Islam yang kedua setelah
Al-Qur’an. Dimana keduanya merupakan pedoman dan pengontrol segala
tingkah laku dan perbuatan manusia. Untuk Al-Qur’an semua periwayatan
ayat-ayatnya mempunyai kedudukan sebagai sesuatu yang mutlak
kebenaran beritanya, sedangkan hadits Nabi tingkat keabsahannya masih
perlu dikaji ulang, apakah betul-betul dari Nabi atau hanya karangan orang
atau golongan tertentu saja.
Pada akhirnya hal inilah yang jugga memunculkan suatu golongan
masyarakat yang malah menanggap hadits tidak bisa dijadikan sumber
hukum Islam. Mereka menganggap hanya Al-Qur’an sebagi wahyu Allah
Swt lah yang pantas menjadi sumber hukum Islam.
Adanya tingkat perbedaan keabsahan tersebut karena memang tingkat
integritas dan kredibilitas penerima atau periwayat dari hadits-hadits
tersebut juga berbeda. Ada yang rendah, sedang dan tinggi. Itulah salah
satu faktor penyebab, mengapa kemudian muncul nama hadits shahih,
hadits hasan dan dha’if. Tentunya dari jenis-jenis tingkatan hadits tersebut
berimplikasi pada tingkat kehujjahan hadits tersebut sebagai sumber
hukum setelah Al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Menyebutkan dan Menjelaskan hadits yang di tinjau dari segi
kualitasnya!
2. Bagaimana cara pengamalan hadits?
3. Menyebutkan dan menjelaskan metode takhrij dalam studi kehujjahan
hadits!

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui macam-macam hadist yang d tinjau dari segi
kualitasnya
2. Untuk mengetahui cara pengamalan hadis
3. Untuk mengetahui metode takhrij dalam studi kehujjahan hadits
A.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kualitas Hadits
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hadits mutawattir memberikan
pengertian yang yaqin bi alqath, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda,
berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) nya dihadapan para sahabat,
berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan mustahil mereka bersama-sama
sepakat untuk berbuat dusta kepada Rasulullah SAW. Karena kebenaran sumber-
sumbernya telah meyakinkan, maka hadits mutawatir ini harus diterima dan
diamalkan tanpa perlu lagi mengadakan penelitian dan penyelidikan, baik
terhadap sanad maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad, yang hanya
memberikan pengertian (prasangka yang kuat akan kebenarannya) mengharuskan
kepada kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap sanad maupun
matannya, sehingga status hadis ahad tersebut menjadi jelas, apakah akan diterima
sebagai hujjah atau ditolak.

Dari persoalan inilah, para Ulama ahli hadis membagi hadis, ditinjau dari
segi kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

1. Hadis Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq


(yang dibenarkan atau diterima), sedangkan menurut istilah adalah :

‫ت فِ ْي ِه َج ِم ْي ُع ُشرُوْ ِط ْالقَبُوْ ِل‬


ْ ‫َما ت ََوافَ َر‬

Artinya : “Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya”.

Syarat –syarat penerimaan suatu hadis menjadi maqbul adalah :

 Berkaitan dengan sanadnya (bersambung)


 Diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit
 Berkaitan dengan matannya
 Matannya tidak syadz dan tidak ber-ilat.
2. Hadis Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau tidak diterima, sedangkan
menurut istilah ialah:

َ ‫فَ ْق ُد تِ ْل‬
ِ ‫ك ال ُّشرُوْ ِط اَوْ بَ ْع‬
‫ضهَا‬

2
Artinya : “Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis
maqbul.”

Hadis maqbul terbagi menjadi 2 :

1) Hadis Sahih

َّ ‫ض ` ُّد‬
Sahih menurut bahasa berarti ‫الس `قِي ِْم‬ ِ (lawan sakit). Pengertian hadis
shahih secara definitif eksplisit belum dinyatakan oleh ulama ahli hadis dari
kalangan Al-Mutaqaddimin sampai abad 3 H. Mereka pada umumnya hanya
memberikan penjelasan mengenai kriteria penerimaan hadis yang dapat dijadikan
pegangan. Diantara pernyataan – pernyataan mereka adalah “ Tidak diterima
periwayatan suatu hadis, kecuali berasal dari orang-orang yang tsiqat, tidak
diterima periwayatan yang bersumber dari orang-orang yang tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis, dusta, mengikuti hawa nafsu, orang-orang yang
ditolak kesaksiannya.

Bukhari dan muslim sebagai ahli hadits dan hadits-haditsnya diakui sebagai
hadis yang sahih ternyata belum membuat definisi hadis shahih secara tegas.
Namun, setelah para ulama mengadakan penelitian mengenai cara-cara yang
ditempuholeh keduanya untuk menetapkan suatu hadis yang biasa dijadikan
hujjah, diperoleh suatu gambaran mengenai kriteria hadits sahih menurut
keduanya. Kriteria-kriteria tersebut adalah :

 Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi
pertama sampai perawi terakhir.
 Para perawinya harus terdiri atas orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti
adil dan dhabit.
 Haditsnya terhindar dari illat (cacat) dan syadz (janggal).
 Para perawi yang terdekat harus sezaman.

Pengertian hadis sahih ini baru jelas setelah ulama Al-Mutaakhirin


mendefinisikannya secara konkret, seperti :

‫ص ُل اِ ْسنَا ُدهُ بِنَ ْق ِد ِل ْال َع ْد ِل الضَّابِ ِط َع ِن ْال َع ْد ِل الضَّابِ ِط اِلَى‬


ِ َّ‫ْث ْال ُم ْسنَ ُد الَّ ِذيْ يَت‬
ُ ‫ص ِح ْي ُح فَهُ َو ْال َح ِدي‬
َّ ‫ْث ال‬ُ ‫اَ َّما ْال َح ِدي‬
ً‫ُم ْنتَهَاهُ َوالَ يَ ُكوْ نُ َشا ًذا َوالَ ُم َعلَّال‬

Artinya : “Adapun hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambung (sampai
kepada Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit sampai akhir
sanad, tidak ada kejanggalan dan berillat.”

3
Dari beberapa definisi tentang hadits shahih yang disepakati oleh para
ulama ahli hadis dapat dinyatakan bahwa syarat-syarat hadis shahih ialah :

1. Sanad nya bersambung


2. Para perawi nya bersifat adil
3. Para perawinya bersifat dhabit
4. Matan-nya tidak syadz
5. Matan-nya tidak ber’ilat
Para ulama ahli hadis membagi hadis shahih menjadi 2 bagian, yaitu :
 Shahih lidzati
 Shahih Ligoirih
Perbedaan antara kedua bagian ini terletak pada segi hafalan atau ingatan
perawinya. Pada hadis Sahih ligoirih, ingatan perawinya kurang sempurna.
Yang dimaksud dengan shahih lidzati, ialah hadits yang tidak memenuhi secara
sempurna persyaratan shahih khususnya yang berkaitan dengan ingatan atau
hafalan perawi. Sehingga dengan demikian, bisa dikatakan, bahwa sebenarnya
hadis shahih bagian ini asalnya bukan hadis shahih melainkan hadis hasan
lidzatih.
Karena adanya syahid atau mutabi’ yang menguatkannya. Maka hadis
lidzatih ini berubah kedudukannya menjadi shahih ligoirih, yakni hadis yang
keshahihannya dibantu oleh adanya matan atau sanad yang lainnya. Dengan
demikian, hadits shahih ligoirih dapat didefinisikan sebagai berikut :
“ Hadits yang tidak memenuhi sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, yaitu
hadis yang asalnya bukan hadis shahih akan tetapi naik derajatnya menjadi hadis
shahih karena ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada
didalamnya.”
Diantaranya contoh hadis shahih ligoirih adalah hadis riwayat Turmudzi melalui
jalur Muhammad bin Amr dari Abi salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
Saw bersabda :
‫صالَ ٍة‬ ِ ‫ق َعلَى اً َّمتِ ْي اَل َ َمرْ تُهُ ْم بِال ِّس َو‬
َ ‫اك ِع ْن َد َك ِّل‬ َّ ‫لَوْ الَ اَ ْن اَ ُش‬
Artinya : “Seandainya tidak memberatkan umatku, nicaya akan kuperintahkan
bersiwak setiap kali hendak melaksanakan shalat.”
Para ulama Ahli hadits dan sebagian Ulama Ahli ushul serta ahli fiqih
sepakat menjadikan hadis shahih sebagi hujjah yang wajib diamalkan.
2) Hadis Hasan

Menurut bahasa, hasan merupakan ‫( َم``ا ت َْش `تَ ِه ْي ِه النَّ ْفسُ َوتَ ِم ْي ` ُل اِلَ ْي ` ِه‬sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu), sedangkan hasan menurut istilah, para

4
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaaan pendapat ini
terjadi disebabkan diantara mereka ada yang menggolongkan hadits hasan sebagai
hadits yang menduduki posisi di antara hadits sahih dan hadis dhaif, tetapi ada
juga yang memasukannya sebagai bagian dari hadits dhaif yang dapat dijadikan
hujjah. Menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan
menjadi hadits yang berdiri sendiri adalah turmudzi. Sebagian ulama cenderung
mendefinisikannya dengan mencakup salah satu dari dua kategori tersebut. Akan
tetapi, patokan umum definisi hadits hasan adalah

‫ص ُل ال َّسنَ ِد َغ ْي ُر ُم َعلَّ ٍل َوالَ َشا ٍذ‬


ِ َّ‫ض ْب ِط ُمت‬
َّ ‫َما نَقَلَهُ َع ْد ٌل قَلِ ْي ُل ال‬

Artinya : “Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat (cacad), dan tidak
syadz (janggal).”

Definisi hadits hasan yang dipilih diatas sangat ringkas namun detail,
karena definisi tersebut merupakan pembeda antara hadits shahih dan Hadits
Dhaif

Contoh hadits hasan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, ia
berkata, “Yahya bin Sa’id meriwayatkan hadits kepada kami dan Bahz bin Hakim,
ia mengatakan, “ Meriwayatkan hadits kepadaku, Bapakku dari kakekku, aku
bertanya :

“Ya Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti ? “Rasulullah menjawab,


kepada ibumu. Aku bertanya, lalu kepada siapa? Rasulullah menjawab, lalu
kepada ibumu, aku bertanya, lalu kepada siapa? Rasulullah menjawab, ibumu,
kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya.”

Sanad hadits itu bersambung, tidak ada kejanggalan dan tidak ada cacat
padanya, karena baik dalam rangkaian sanad-nya maupun dalam matan-nya
tidak terdapat perbedaan di antara riwayat-riwayatnya. Imam Ahmad dan
gurunya, Yahya bin Sa’id alQathtan, adalah dua orang imam yang agung. Bahz
bin Hakim adalah orang yang jujur dan dapat menjaga diri, sehingga dinilai
tsiqat oleh Ali bin al-Madani, Yahya bin Ma’in, al-Nasa’i dan lainnya. Akan
tetapi, sebagian ulama mempermasalahkan sebagian riwayatnya dan oleh
karena itu Syu’bah bin al-Hajjaj memperbincangkannya.

Namun fakta itu tidak mencabut sifat ke-dhabit-annya. Ini hanya mengesankan
bahwa ia rendah tingkat ke-dhabit-annya.

Secara rinci syarat-syarat hadits hasan mencakup :

5
 Sanadnya bersambung
 Perawinya adil
 Perawinya dhabit
 Tetapi kualitas dhabitannta di bawah perawi hadits shahih
 Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
 Tidak mengandung illat
Termasuk kedalam hadis mardud adalah :
1) Hadits Dhaif

Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari kata kuat.
Maka sebutan hadis dhaif dari segi bahasa berarti hadis yang lemah atau hadis
yang tidak kuat.

Secara istilah, diantara para ulama terdapat perbedaaan rumusan dalam


mendefinisikannya hadits dhaif ini. Akan tetapi, pada dasarnya, isi dan
maksudnya adalah sama. Beberapa definisi, diantaranya dapat dilihat dibawah
ini.

Definisi yang paling baik untuk hadits dhaif adalah sebagai berikut:

‫ث ْال َم ْقبُوْ ِل‬


ِ ‫َما فَقِ َد شَرْ طًا ِم ْن ُشرُوْ ِط ْال َح ِد ْي‬

Artinya: “Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul
(yang dapat diterima)”

Hadits yang di dalamnya tidak terdapat ciri keshahihan dan kehasanannya,


hanya saja di dalamnya terdapat periwayat pendusta atau tertuduh dusta, banyak
membuat kekeliruan, pelupa, suka maksiat dan fasik, banyak angan-angan,
menyalahi periwayatan yang terpercaya, periwayatnya tidak dikenal, penganut
bid’ah, serta tidak baik hafalannya. Di kalangan ulama masih memperselisihkan
jumlah hadits dhaif. Di antara ulama ada yang mengklasifikasikan menjadi 381
bentuk. Namun Ibn Shalah berpendapat jumlahnya tidak lebih dari 42 bentuk.
Pembagian hadits dhaif menurut ulama menjadi berbagai macam tergantung di
mana letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa dalam lima hal, sebagaimana
telah disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadits shahih.

B. Pengamalan Hadits
Hadits mutawatir memberikan faedah “yakin bi`lQath`i” (sepositif-
positifnya), bahwa Nabi Muhammad Saw benar-benar bersabda, berbuat, atau
maenyatakan ikrar (persetujuannya) dihadapan para sohabat, berdasarkan sumber-
sumbar yang banyak sekali, yang mustahil mereka sama-sama mengadakan

6
kesepakatan untuk berdusta. Oleh karena sumber-sumbernya sudah meyakinkan
akan keberadaannya, maka tidak perlu diperiksa dan diselidiki dengan mendalam
identitas para rawi itu. Berlainan dengan hadits ahad, yang memberikan fadah
“dhanny’ (prasangka yanag kuat akan kebenarannya, meng haruskan kepada kita
untuk mengadakan penyelidikan mengenai segi-segi lain, agar hadits ahad
tersebut dapat diterima sebagai hujjah atau ditolak, bila ternyata terdapat cacat-
cacat yang menyebabkan penolakan. Dari segi ini, hadits ahad terbagi menjadi 3
bagian, yaitu:
 Hadits shahih
 Hadits hasan
 Hadits Dla`if

Hadits Maqbul, yakni hadits:

1)Sahih li Dzatihi
2)Sahih li Ghairihi
3)Sahih Li Dzatii
4)Hasan Li Ghairihi,
Kesemuanya dapat diterima menjadi hujjah dan pada dasarnya dapat
diamalkan dan digunakan. Hadits maqbul yang dapat diamalkan disebut hadita
maqbul ma`mul bih. Dalam pada itu, ada hadits maqbul yang tidapat diamalkan,
bukan kerena kurang dalam kemaqbulannya. Namun karena bebrapa sebab yang
lain. Hadits demikin disebut Hadits Maqbul ghairu ma rout bib.
Dilihat dari segi pengamalannya hadits maqbul terbagi pada:
a. Hadits maqbul ma`mul bih, yakni:
1) Hadits Muhkan, ialah hadits yang dapat diamalkan secara pasti, sebab tidak
ada syubhat sedikit pun, tidak ada pertentangan dengan denagn hadits lain
yang mempengaruhi atau melawan, artinya, jelas dan tegas lafadz dan
maknanya,
2) Hadits Mukhtalif, yakni hadits maqbul yang tanakud (berlawanan) yang
dapat dikompromikan (jam`u). Hadits-hadis yang saling berlawanan kalau
bisa dikompromikan diamalkan kedua-duanya,
3) Hadita Rajih, yakni hadits yang terkuat diantara dua buah hadits maqbul
yang berlawanan,
4) Hadita Nasikh, yakni hadits yang datang lebih akhir yang menghapus
ketentuan hukum yang datnag lebih dahulu dari 2 buah hadits maqbul yang
tanaqud.
b. Hadits Maqbul Ghair Ma`mul bil:

7
1) Hadits Mutasyabih, ialah hadits yang sukar difahami, maksudnya karena
tidak diketahui ta`wilnya. Hadits muyasyabih harus diimankan adanya tapi
tidak boleh diamalkan,
2) Hadits Marjuh, yakni hadits maqbul yang ditenggang oleh hadits
maqbulyang lebih kuat,
3) Hadits Mansukh, yakni hadits maqbul yang telah dihapuskan oleh hadits
maqbul yang datang kemudian,
4) Hadits Mutawwaqaf Fih, yakni dua hadits maqbul atau lebih yang saling
berlawanan yang tidak dapat dikompromikan, dinasakh, atau ditarjih.
Kedua hadits tersebut hendakanya dibekukan untuk sementara.
Cara mengatasi Hadits Maqbul yang berlawanan
Apabila ada dua hadits itu maqbul nilainya, namun saling berlawanan
lahirnya (mukhtalif) maka cara mengatasinya adalah :
a. Menjama`kan (mengkompromikan) keduanya sampai hilang
perlawanannya, kedua-duanya diamalkan.
b. Dicari Rajih Marjuhnya (tarjih), hadits yang rajih diamalkan dan yang
marjuh ditinggalakan.

Ada tiga cara:

1) Dari segi sanad (i`tibar al-sanad)


a. Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit.
b. Rawi shabat besar lebih kuat (rajih) daripda rawi sahabat kecil.
c. Rawi yang tsikat lebih kuat (rajih) dari pada rawi yang kurang tsikat.
2) Dari segi matan (i`tiban al-matan)
a. Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang
mempunyai arti majazi.
b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajihkan
hadits yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
c. Matan hadits qauli merajih yang fi`li.
3) Dari segi hasil penunjukan (madlul), madlul yang mutsbit (positif)
merajihkan yang nafi (ngatif).
Dicari nasikh-mansukh, yang nasikh diamalkan yang mansukh
ditinggalakan.
Cara menasakh termasuk adalah sebagai berikut :
1) Penjelasan Syar`i sendiri (melalui pernyataan Nabi Saw).
2) Penjelasan dari sahabat, mereka menyesuaikan wurud-nya hadits.
3) Diketahui masa wurudnya hadits :

8
a. Terdapat kata-kata ibtida` atau awal.
b. Terdapat kata-kata qabliyah.
c. Terdapat kata-kata ba`diyah
d. Terdapat kata-kata yang menunjukan waktu; se-bulan sebelum,
sebulan sesuadah, setahun sebelum, setahun sesudah dan lain-lain.

Ditawaqupkan bila tidak bisa dijam` ditarjih, dan dinasakh. Haditsnya tidak
diamalkan.

Nilai Hadits Dha`If

Pada dasarnya nilai hadits dhaif adalah mardud, tertolak dan tidak dapat
dijadikan hujah. Hadits maudhu sama sekali tidak bisa dijadikan hujah. Bahkan
meriwayatkan hadits maudhu tanpa menyebutkan kemaudhuannya dilarang. Bila
hadits Dhaif mem-punyai syahid atau muttabi, nilainya naik menjadi hasan Li
Ghairihi. Namun apabila bukan termasuk kategori hadits Maudhu, matruk, dan
Munkar. Pendapat para ulama tentang meriwayatkan (untuk hujah) terdapat
hadits dhaif gharib (tidak ada syahid dan mut-tabi) dan tidak maudhu, sebagai
berikut :

1) Melarang secara mutlak meriwayatkan dan atau mempergunakan untuk


berhujah dengan hadits Dhaif, baik secara menetapkan hukum maupun
tentang keutamaan amal. (pendapat Abu Bakar ibn al-Arabi)
2) Membolehkan periwayatan dan penggunaan hadits Dhaif untuk memberi
dorongan, menerangkan keutamaan amal dan cerita, bukan untuk hukum
Syariat dan Akidah. (pendapat Ahmad ibn Hambal, Abd al-Rahman ibn
Mahdi, al-Mubarrak)
3) Ibn Hajar al-Asqalani memperbolehkan berhujah dengan hadits Dhaif
untuk fadhail al-amal, dengan syarat :
a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan 9bukan maudhu, matruk, munkar)
b. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits Dhaif tersebut dibawah suatu
dasar yang dibenarkan oleh hadits shahid dan hasan.
c. Dalam mengamalkannya tidak mengi`tikadkan bahwa hadits tersebut
benar-benar bersumber dari Nabi, tujuan mengamalkannyahanya
semata-mata untuk ihtiyath, kehati-hatian saja.
d. Al-Nawawi berpendapat bahwa bila hendaknya jangan memakai shigat
jazm (qala, fa`ala, dan amara kasullah kadza wa kadza), tapi
hendaknya dengan sighat tamrid (ruwiya`an, hukiya`an, kasulillah
annahu qala, annahu dzakara). Sebab sighat jazm ini memberikan

9
pengertian bahwa Rasul benar-benar bersabda, berbuat atau
memerintahkan seperti apa yang diriwayatkan.

Apabila kita membaca dalam kitab hadits terdapat suatu hadits yang
termasuk kategori Dhaif Muallq, kita jangan buru-buru menghukumi sebagai
hadits Dhaif Muallaq, sebab kemungkinan mudawwin telah menulis hadits
tersebut dalam sanad yang muttasil di tempat lain, maksudnya hanya untuk
meringkas atua menghindari penggunaan sanad.

Kehujjahan Hadits Mursal

Tentang kehujahan hadits mursal dikalangan ulama ada beberapa pendapat :

1) Malik, Ahmad dan Abu Hnifah menerima hadits Mursal sebagai hujah,
beralasan oleh karena tabi`in dipandang sebagai rawi yang adil dan dianggap
tidak mungkin mengadakan penipuan tentang pengguguran rawi sahabat.
2) Al-Syafi`i dan ulama jumhur memandang bahwa hadits mursal sebagi hadits
Dhaif, tidak dapat dibuat hujah, sebab rawi yang digugurkan tersebut belum
jeas identitesnya. Al-Syafi`i mengecualikan:
a. Hadits mursal dari ibn Musayyab, sebab pada umumnya ia tidak
meriwayatkan hadits selain dari Abu Hurairah
b. Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad dhaif maupun shahih.
c. Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain.
d. Al-Syaukani menekankan bahwa hadits mursal tidak dapat dibuat hujah
secara mutlak, karena adanya keraguan dann tidak diketahui dengan jelas
tentang keadaan rawinya, syarat untuk mengamalkan hadits harus
diketahui keadilannya.
Pengamalan Hadits
1) Dari Segi Sanad (I`Tibar Al-Sanad)
a. Rawi yang banyak lebih kuat (rajih) daripada yang sedikit
b. Rawi sahabat besar lebih kuat dari pada sahabat kecil
2) Dari segi matan ( i`tibat al-matan)
Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai
arti majazi
3) Dari segi hasil penunjukan (madlul), madlul yang mutsbit (positip)
merajihkan yang nafi (negatif)

C. Metode Takhrij Hadits Untuk Studi Kehujjahan Hadits


Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al-Qur`an.
Umtuk mencari ayat al-Qur`an cukup dengan sebuah kamus seperti al-Mu`jam al-

10
Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-karim dan sebuah mushaf al-Qur`an. Sedangkan
hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukan waktu yang lebih lama
untuk menelusurinya sambar sumber asalnya.
Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat
membantu seseorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrij. Tetapi, hanya
sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah
merupakan alat bantu, seperti al-Jami`al-Shagir, al-Mufaharas li Alfadz al-Hadits
al-Nabawi, dan lain-lainnya.
Mengenai cara-cara mentakhrij hadits, ada lima cara atau langkah yang
dapat digunakan bisa digunakan, yaitu:
1. Takhrij melalui periwayat pertama (al-rawi al-a’la)
Takhrij dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu
mengetahui secara pasti perawi pertamanya, baik dari kalangan sahabat ataupun
tabi’in. Langkah pertama dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama
dari hadits yang akan di takhrij. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi
yang diinginkan dari kitab-kitab al- Athraf atau musnad. Jika identitas perawi
pertama telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan diantara hadits-
hadots yang tertera dibawah nama perawi tersebut. Bila sudah di temukan, maka
akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrij berdasarkan metode ini adalah
al-Athraf dan musnad. Al-Athhraf adalah kitan yang menghimpun hadis dari kitab
induknya, dimana yang dituliis hanyalah bagian atau penggalan dari setiap hadis
yang telah diriwayatkan oleh sahabat atau tabi’in.
Musnad adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama para
sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyusunan nama-nama para sahabat dalam
kitab ini tidak sama, ada yang disusun berdasarkan alphabet dan ada juga yang
disusun berdasarkan waktu masuk islam atau keutamaan Sahabat.
Keunggulan metode ini adalah bahwa peneliti hadis bisa cepat sampai pada
sahabat yang meriwayatkan hadis. Kekurangannya adalah bahwa peneliti hadis
akan memerlukan waktu lama untuk sampai pada hadis yang dicari jika sahabat
yang dimaksud banyak meriwayatkan hadis.
2. Takhrij melalui lafadz pertama Matan Hadis
Penggunaan metode berdasarkan atas lafadz pertama matan hadis. Melalui
metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits
berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui lafadz pertama
yang terletak dalam hadis tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-
kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf pertama,

11
huruf kedua dan seterusnya. Contoh , hadis yang berbunyi "‫" ِمن``ا فليس غش``انا من‬
langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah "‫ "من‬maka pentakhrij harus
menerimanya pada bab ‫ م‬. Langkah kedua, mencari ‫ ن‬setelah huruf ‫ م‬tersebut.
Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu huruf ‫ غ‬, dan
demikian seterusnya.
Keunggulannya menggunakan metode ini adalah antara lain :
 Meskipun peneliti hadis tidak hafal semua hadis, dengan lafadz pertama saja
dia bisa cepat sampai pada hadis yang dicari.
 Kemungkinan besar dia akan menemukan hadis lain yang tidak menjadi
obyek pencarian, akan tetapi dibutuhkan.
Kekurangan metode ini adalah dia tidak akan menemukan hadis yang dia cari jika
lafadz yang dianggap awal hadis tersebut ternyata bukan awal hadits atau jika
terjadi penggantian lafadz yang diucapkan Rasul.
3. Takhrij melalui penggalan kata-kata yang banyak diungkap dalam lisan
Mentakhrij hadis dengan metode ini dapat menggunakan kitab Al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadz al-Hadis an-Nabawy karya A.J Wensick yang
diterjemahkan oleh Muhammad Fuad ‘Abd Al-Baqi. Dua hal penting yang perlu
dijelaskan adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya
kode ‫ حم‬untuk Ahmad, kode ‫ ت‬untuk turmudzi, kode ‫ جه‬untuk Ibn Majjah, kode ‫مى‬
untuk Darimi: dan penjelasan tentang nama kitab atau bab dan halaman kitab yang
dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/ kode terdapat dua
bentuk nomor kecil menurut jilid dan nomor besar menunjukan halaman dari kitab
yang dimaksud.
Kelebihan metode ini diantaranya :
 Mempercepat pencarian hadis
 Membatasi hadis-hadisnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan
nama kitab, juz, bab, dan halaman.
 Memungkinkan mencari hadis melalui kata kunci apa saja yang terdapat
dalam matan hadis
Adapun kekurangan metode ini adalah antara lain:
 Peneliti hadis harus memiliki kemampuan berbahasa Arab beserta
perangkat-perangkatnya, karena metode ini menuntut untuk
mengembalikan kata kunci kepada kata dasar,
 Terkadang suatu hadis tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci,
sehingga pentakhrij harus menemukannya dengan menggunakan kata-kata
yang lain.
4. Takhrij berdasarkan topik hadits

12
Seorang pentakhrij boleh saja tidak terikat dengan dengan bunyi atau lafadz
matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi harus berupa memahami melalui topiknya.
Upaya penelusurannya memrlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan
penjelasan riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan. Diantara kitab yang
dapat membantu kegiatan takhrij dengan metode ini adalah Miftah Kunuz al-
Sunnah, al-Jawami al-Shahih, al-Mustadrak `ala- Shahihin, Jam`u al-Fawaid
min Jam`i al-Ushul wa Majma` al-Zawaid
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh kitab
kitab diatas jumlahnya banyak sekali. Seperti al- Muatha`, Musnad Ahmad, Sunan
al-Darimi, Musnad Zaid ibn Ali, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi, dan
Thabaqah ibn Sa`ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
a. Metode ini bisa mendidik ketajaman pemahaman peneliti hadits {pen-
takhrij} terhadap hadits.
b. Metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain
yang senada dengan hadits yang dicari.
Adapun kelemahannya:
a. Tekadang kandungan suatu hadits sulit disimpulkan oleh pentakhrij
sehingga hadits tersebut tidak bisa ditentukan temannya. Akibatnya,
pentakhrij tidak mungkin menggunakan metode ini, apabila kalau topik
yang dikandung hadits itu lebih dari satu.
b. Terkadang pemahaman pentakhrij tidak sesuai dengan pemahaman
penyusun kitabmeletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga
oleh pentakhrij.
5. Takhrij berdasarjkan status hadits
Dengan kitab-kitab tertentu, para ulama berusaha menyusun hadits
berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan sebagainya.
Kelebihan metode ini adalah memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits
yang diperlibatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan simpel.
Kekurangannya adalah terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits berdasarkan
statusnya.
Diantara kitab yang disusun menurut metode ini adalah al-Azhar al-
Mutanatsirah Fi al-Akhbar al-Mutawatiroh yang ditulis oleh Suyuti, yang
memuat hadits-hadits mutawatir, al-Ittihafath al-Saniah Fi al-Ahadits al-Qudsiah
yang ditulis oleh al- Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid al-
Hasanah yang ditulis oleh Sakhawi yang memuat hadits-hadits yang populer, al-
Marasil yang ditulis oleh imam Abu Daud yang memuat hadits-hadist mursal;

13
Tanzih al-Syari`ah al-Marfu`ah `an al-Akhbar al-Syania`h al-Maudlu`ah yang
ditulis oleh Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudhu.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dipaparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa sanad memiliki peran penting dalam menentukan
kualitas dan kuantitas suatu hadits. Apabila suatu hadits memiliki sanad
(sandaran) yang tidak kuat, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai dalil-dalil dalam hukum islam. Oleh karena itu, konsep sanad
dalam kajian ilmu hadits dipandang sebagai salah satu upaya untuk
mengkaji kembali bagaimana menelusuri jalur-jalur periwayatan hadits
atau asal usul hadits untuk menilai hadits, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas, serta keontetikan hadits berdasarkan kaidah-kaidah yang telah
dibangun para ulama” dalam kajian ilmu hadits.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, pemakalah menyadari bahwa
pemakalah tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, karena tidak
sempurnanya ilmu yang pemakalah miliki. Untuk itu pemakalah mohon
kritikan dan saran dari pembaca terutama bapak dosen yang bersangkutan,
demi kelengkapan makalah penulis pada masa yang akan datang. Atas
kritikan dan saran pemakalah ucapkan banyak-banyak terima kasih.

15
DAFTAR PUSTAKA
At-Thahan, M. (2018). In Dasar-dasar ilmu hadits. Jakarta: Ummul Qura.

At-Thahan, M. (tt). In Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, . Riyadh Maktabah


al-Ma'arif li an-Nasyr wa at-Tauri.

Dozan, W., Turmudzi, M., & Sugitanata, A. (2020, December). Konsep Sanad
Dalam Perspektif Ilmu Hadis. XIII(2), 227.

Erdi , A. (2014). In Memahami Ilmu Hadits (p. 21). Bandung: Tafaku (Kelompok
Humainura).

Mudasir. (1999). In Ilmu Hadis (p. 141). Bandung: Pustaka Setia.

16

You might also like