You are on page 1of 5

Name : Ayu Setya Kristina

Nim :211622019153359
Views on Transgender Women in Indonesia and My Personal Opinion
Pandangan tentang transpuan di Indonesia dan pendapat saya pribadi

In Wikipedia, the definition of transgender is a person who has a gender identity or


gender expression that differs from the sex assigned to them at birth. For example,
someone who is biologically female may feel more comfortable in presenting and
behaving as male, or vice versa. Transgender individuals are sometimes also referred to
as transsexual if they seek medical assistance to transition from one sex to another,
which often involves undergoing gender-affirming surgeries.
Dalam Wikipedia, pengertian transgender adalah orang yang memiliki identitas gender
atau ekspresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjuk sejak lahir, misalnya
orang yang secara biologis perempuan lebih nyaman berpenampilan dan berperilaku
seperti laki-laki atau sebaliknya. Kadang transgender juga disebut dengan transseksual
jika ia menghendaki bantuan medis untuk transisi dari seks ke seks yang lain, dengan kata
lain ia melakukan operasi kelamin.

Penerimaan di Keluarga ( Acceptance within the Family)


Transgender women in Indonesia face challenges and rejection in living their lives
authentically, especially within their families. The lack of understanding and acceptance
from parents, as well as the stigma attached within society, make it difficult for them.
Many transgender women experience bullying and stigma from an early age due to
differences in gender expression and behavior. This hinders their ability to self-
actualize. Many transgender women run away from home in search of a safe place and
support from others. They also often face difficulties in finding employment due to
stigma and gender appearance norms. To be accepted by their families, a transgender
woman often has to prove herself financially or in other ways. Only when they succeed
does the family acknowledge and value them equally to cisgender and heterosexual
siblings.
Transpuan di Indonesia menghadapi tantangan dan penolakan dalam menjalani hidup
sebagai diri mereka yang seutuhnya, terutama dalam keluarga. Kurangnya pemahaman
dan penerimaan dari orangtua serta stigma yang melekat dalam masyarakat menyulitkan
mereka. Banyak transpuan yang mengalami perisakan dan stigma sejak kecil karena
perbedaan ekspresi dan perilaku gender. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk
mengaktualisasikan diri. Banyak transpuan yang melarikan diri dari rumah mencari
tempat yang aman dan mendapatkan dukungan dari sesama. Mereka juga sering
menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan karena stigma dan norma penampilan
gender. Untuk diterima oleh keluarga, seorang perempuan transgender seringkali harus
membuktikan diri secara finansial atau lainnya. Ketika mereka sukses, baru keluarga
mengakui dan menghargai mereka dengan setara seperti saudara cis-gender dan
heteroseksual.

Dunia Karier dan Kegiatan Keseharian (Career and Daily Activities)


The job sector for transgender individuals is limited due to hindered education and the
presence of transgender phobia stigma in society. Many transgender individuals flee
their homes and struggle to find stable employment. Many choose to become
entrepreneurs in the beauty industry, such as makeup artists or salon owners. In the
private sector, employment opportunities are generally limited to salons or
entertainment roles, such as drag queens. Only a few work in the public sector. They
are vulnerable to workplace discrimination due to their gender expression and identity.
Some transgender individuals also join non-governmental organizations (LSM) focused
on advocating for sexual health and assisting sex workers.
Sektor pekerjaan bagi transpuan terbatas karena pendidikan terhambat dan adanya
stigma transfobia di masyarakat. Banyak transpuan yang melarikan diri dari rumah dan
sulit menemukan pekerjaan stabil. Banyak yang memilih berwirausaha di bidang
kecantikan, seperti ahli rias atau membuka salon. Di sektor swasta, pekerjaan umumnya
terbatas pada salon atau sebagai penghibur seperti drag queen. Sedikit yang bekerja di
sektor pemerintah. Mereka rentan mengalami diskriminasi di tempat kerja karena
ekspresi dan identitas gendernya. Beberapa transpuan juga bergabung dalam LSM yang
berfokus pada advokasi kesehatan seksual dan membantu pekerja seks.

Diskriminasi, Kekerasan dan Kriminalisasi (Discrimination, Violence, and


Criminalization)
Transgender individuals are vulnerable to violence, discrimination, and criminalization.
They face difficulties in finding housing as they are often rejected by landlords. Some
transgender individuals working in the night industry also become frequent targets of
violence. They are reluctant to report to authorities due to the injustice and
discrimination they often experience. The media tends to focus on and highlight a
person's gender identity or sexual orientation rather than their behavior and actions,
exaggerating cases rather than presenting the reality. This reductionist representation
leads media consumers to have negative and shallow views of gender and sexual
minority groups and contributes to the perpetuation of transphobia. Ideally, the media
should serve as a means of education and information about transgender individuals
and for transgender individuals.
Transpuan rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi. Mereka kesulitan
mencari tempat tinggal karena ditolak oleh pemilik indekos. Beberapa transpuan yang
bekerja sebagai pekerja malam juga sering menjadi target kekerasan. Mereka enggan
melapor ke aparat karena ketidakadilan dan diskriminasi yang sering mereka alami.
Media cenderung menyudutkan dan menyoroti identitas gender atau orientasi seksual
seseorang daripada perilaku dan tindakannya serta melebih-lebihkan kasus daripada
kenyataannya. Representasi reduktif ini membuat konsumen media memiliki pandangan
negatif dan dangkal terhadap minoritas gender dan seksualitas dan turut berperan dalam
melanggengkan transfobia. Seharusnya, media dapat berperan sebagai sarana edukasi
dan informasi bagi dan mengenai transpuan.

Perlindungan dalam Hukum: Adakah?(


Legal Protection: Does It Exist?)
Inequality in access to and treatment under the law towards transgender women
contradicts the principle of equality recognized in various international and national
legal instruments. The Universal Declaration of Human Rights and the 1945 Constitution
declare that all individuals have the right to equal treatment and legal protection
without discrimination. The Human Rights Law No. 39 of 1999 also emphasizes the need
for guaranteeing rights and protection for society, particularly vulnerable populations.
These provisions should be upheld and implemented in the development of
international and national human rights laws.
Transgender women should also have access to legal services without discrimination, as
stated in Article 17 of the Human Rights Law and Article 18 of the Human Rights Law
regarding the right to access justice in legal processes. It can also be argued that as a
gender minority, transgender women are victims of gender-based violence that should
be eliminated, as stated in Article 1 of the United Nations Declaration on the Elimination
of Violence against Women (1993).
Protection for transgender women is difficult to achieve without a specific legal
framework. Acts of violence and discrimination against transgender women are not
recognized as legal violations due to the absence of clear legal provisions. Transgender
women as a societal group are not acknowledged within the legal realm, limiting legal
advocacy efforts to a few issues such as HIV/AIDS, domestic violence, and
criminalization. Definitive legal instruments are necessary to advocate for the
protection and rights of transgender women.
Ketidaksetaraan akses dan perlakuan dalam hukum terhadap transpuan bertentangan
dengan nilai kesetaraan yang diakui dalam berbagai instrumen hukum internasional dan
nasional. Deklarasi Universal HAM dan UUD 1945 menyatakan bahwa semua orang
memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan perlindungan hukum tanpa diskriminasi.
UU HAM no. 39 tahun 1999 juga menekankan perlunya jaminan hak dan perlindungan
bagi masyarakat, terutama masyarakat rentan. Ketentuan-ketentuan ini harus dijunjung
tinggi dan diterapkan dalam pengembangan hukum HAM internasional dan nasional.
Transpuan juga sudah seharusnya memiliki akses terhadap pelayanan hukum tanpa
diskriminasi, sesuai yang dinyatakan pada pasal 17 UU HAM dan pasal 18 UU HAM
mengenai hak memperoleh keadilan dalam proses hukum. Dapat diargumentasikan pula
bahwa sebagai minoritas gender, transpuan merupakan korban dari kekerasan berbasis
gender yang seharusnya dihapuskan sesuai yang dinyatakan pada ayat 1 Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan PBB (1993).
Perlindungan terhadap transpuan sulit tercapai tanpa adanya kerangka hukum yang
spesifik. Tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap transpuan tidak dianggap
sebagai pelanggaran hukum karena ketiadaan payung hukum yang jelas. Transpuan
sebagai kelompok masyarakat tidak diakui dalam ranah hukum, sehingga upaya advokasi
hukum terbatas pada beberapa isu seperti ODHA, KDRT, dan kriminalisasi. Diperlukan
instrumen hukum yang definitif untuk memperjuangkan perlindungan dan hak-hak
transpuan.

Pendapat saya tentang transpuan


According to my understanding, in terms of the majority religion in Indonesia, Islam,
the term transgender is closer to the concept of "al-mukhannath" (a male who exhibits
feminine behavior) and "mutarajjilat" (a female who exhibits masculine behavior)
within the study of Islamic law. In classical fiqh (Islamic jurisprudence), it is mentioned
that the status of a mukhannath and mutarajjilat cannot be changed. This is stated in
the book "Hasyiyatus Syarwani". Therefore, even if someone undergoes transgender or
transsexual experiences, their status remains unchanged. In other words, a male is still
considered male and a female is still considered female. In Islam, transgender is
considered forbidden (haram) and subject to condemnation.
But in my view, based on human rights principles regarding transgender women, it is
grounded in the principles of equality, non-discrimination, and the protection of human
rights for all individuals, regardless of their gender identity. Human rights perspectives
acknowledge that everyone has the right to life, liberty, security, and protection from
violence or discriminatory treatment.
Menurut saya dari segi agama mayoritas di Indonesia yaitu islam istilah transgender di
dalam kajian hukum syariat lebih dekat dengan istilah al-mukhannits (lelaki yang
berperilaku seperti perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang berperilaku seperti
laki-laki). Di dalam fiqih klasik disebutkan bahwa seorang mukhannits dan mutarajjil
statusnya tetap tidak bisa berubah. Disampaikan di dalam kitab Hasyiyatus Syarwani.
Dengan demikian, walaupun seseorang telah mengalami transgender atau transseksual,
maka tetap tidak bisa mengubah statusnya, dengan artian yang laki-laki tetap laki-laki dan
yang perempuan tetap perempuan. Dan Transgender hukumnya haram dan mendapat
laknat.
Tapi pandangan saya menurut HAM tentang transpuan mendasarkan pada prinsip-prinsip
kesetaraan, non-diskriminasi, dan perlindungan hak asasi manusia untuk semua individu,
tanpa memandang identitas gender mereka. Pandangan HAM mengakui bahwa setiap
orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, keamanan, dan perlindungan dari kekerasan
atau perlakuan diskriminatif.

You might also like