You are on page 1of 13

VIABILITAS RAGAM HIAS SULUR-GELUNG

Agung Wicaksono dan Akhmad Nizam

ABSTRACT

Motive of ukel, lung or plant tendrils (forming like question mark) spiraling inside and
outside is named sulur gelung ornament. These ornaments are often found in Hinduism and
Budhist temples even in the mosque with particular style. Sulur gelung ornament has to be
fondness for people when we look at the craft as visual art. Many artefacs of heritage often
visualized form of lung or ukel. In javanese fashion ukel as trendil of hair fastened by ukel konde.
Ukel konde is used for make up on the face also for forming of puppet’s hair and isen-isen, even
for forming of punokawan’s hair (Semar, Gareng, Petruk, and Bagong). Form like ukel is also
found in the architecture of mosque especially on the mihrab or altar, we can also be found in
the architecture of javanese traditional house. The temples of Hinduism and Budhist in Java
have ornament of sulur gelung, for example Candi Gondosuli, Candi Gedongsongo, Candi
Kalasan, candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Lumbung, and many of temples in East Java.
Is this ornament comes from India through the Hinduism or Hinduism-Budhist diffusion
to Java? Or possibly this is an original local archetype of java or is this the result of aculturation
of Hinduism-Budhist, Java, and Islam ? This reaserch will review the sulur gelung ornament
provenience which is commonly using as fix pattern and the spirit or viability of javanese style.
The sulur gelung ornament has evoluted since Hinduism-Budhist until Islamic diffusion as
reception religion in the culture.

Key wors : aculturation, ornament, sulur-gelung

PENDAHULUAN India sudah jelas diketahui. Kemudian


Masyarakat Jawa sejak awal datang pengaruh Islam yang menafikan
sejarahnya berulang kali dan terus menerus kepercayaan ratusan tahun sebelumnya.
berhadapan dengan berbagai kebudayaan Warisan seni yang melimpah ini
asing. Akibat kontak kebudayaan tersebut, justru merupakan antitesis dalam
kebudayaan asing telah mempengaruhi pandangan Islam. Bagaimana sikap dan
kebudayaan Jawa “asli”. Tingkat pengaruh tanggapan masyarakat Jawa terhadap
ini mendapat perlakuan yang berbeda- kehadiran pengaruh luar, lebih tepatnya
beda, di satu segi terlihat menonjol sedang bagaimana kreativitas seniman Jawa dalam
di segi lain hampir tidak terasakan. Bahwa mengolah tema khususnya ragam hias
kesenian Jawa mendapat pengaruh Hinduis sulur-gelung dan bagaimana visualisasinya

*) Agung Wicaksono dan Akhmad Nizam, (agung_w@yahoo.com), Staf Pengajar Program studi Kriya Seni, Jurusan
Kriya, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
157
158 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

merupakan persoalan yang menarik, jika bersifat Hindu, Budha, dan Hindu-Budha.
mendapati kenyataan bahwa ragam hias Proses percampuran antara keduanya
Hinduis ini dihadirkan kembali dalam masa adalah proses yang dialogis dua arah, yang
Islam yang berseberangan dalam keimanan. menempatkan kebudayaan lokal sebagai
Ragam hias ini tidak hanya diwujudkan atau kebudayaan yang tidak pasif. Selama kurun
boleh dikatakan memiliki “daya hidup”, waktu tersebut kebudayaan Jawa sebagai
memiliki viabilitas atau spirit, kemungkinan akibat akulturasi antara kebudayaan
untuk hidup (Sugono, 2008: 1608). prasejarah dengan kebudayaan India
Viabilitas erat kaitannya dengan semangat, akhirnya menjadi kebudayaan Jawa lokal
jiwa, gairah hidup, daya hidup, yaitu (Haryono, 2009: 1-3).
kemampuan melakukan sesuatu, atau Tanda-tanda kebudayaan jawa
kemampuan bertindak, ikhtiyar, upaya lokal ini muncul setelah terjadi pergeseran
untuk bertahan hidup, suatu vitalitas (Alwi, kekuasaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur,
2005: 241). Upaya untuk bertahan ini meskipun bibit-bibit kelokalan Jawa secara
tentunya terkait dengan ide dan nilai-nilai samar sudah hadir di candi Jawa Tengah.
yang menyertainya juga pesona ragam hias Menurut SP. Gustami, bangunan candi di
sulur-gelung itu sendiri. Jawa Timur memperlihatkan kemampuan
Setipis apapun masa Islam (awal) daya kreatif kriyawan dan seniman lokal
memberi warna dan berbeda dengan gaya mempertontonkan karya seni yang orisinal
seni sebelumnya. Pada kurun waktu dalam tampilan gaya berdasarkan cita-rasa
tersebut terjadi perkembangan- estetik masyarakat asli Jawa Timur.
perkembangan baru, terjadi pergumulan Kehadiran mitos kuno dan makhluk
dan tawar-menawar antara bentuk-bentuk menakutkan dengan kekuatan magi dalam
ekspresi religius yang semula seting supranatural muncul dalam dinding
representasional dalam seni Hindu candi sebagai tanda bertemunya mata
difatwakan ke bentuk seni non repre- rantai (mainstream) yang menghubungkan
sentasional dalam seni Islam. Berbagai ribuan tahun masa pra-Hindu. Bahkan, sejak
pengaruh luar ini saling mempengaruhi, permulaan abad ke-16, ketika “bulan sabit”
saling menginspirasi, bahkan ada kesan dan “bintang kejora” dari Islam mulai tampil
resistensi dibalik narasi teks budaya. sebagai kekuatan baru di seluruh Indonesia,
Sebelum kedatangan pengaruh pelukisan arca dan relief semakin redup,
kebudayaan Islam di Pulau Jawa, diganti pelukisan bentuk stilitatif dan
kebudayaan Jawa sudah mendapat deformatif yang ornamentif (Gustami,
pengaruh kebudayaan India selama hampir 2007: 112-113).
1000 tahun dimulai dari Kerajaan Islam menggantikan pengaruh
Tarumanagara di Jawa Barat (abad V Majapahit ketika kerajaan ini mengalami
Masehi) sampai Kerajaan Majapahit di Jawa kemunduran. Dengan kedatangan Islam,
Timur (abad XV Masehi). Selama 1000 kebudayaan lama tidak dilupakan dan
tahun telah terjadi proses asimilasi, hilang begitu saja, tetapi justru terjadi
akulturasi, antara budaya lokal yang dalam percampuran atau akulturasi antara
hal ini adalah kebudayaan India yang keduanya. Menurut Timbul Haryono, hal ini
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 159

terjadi karena dua hal. Pertama, ketika tumbuh-tumbuhan (Holt, 2000: 32-34).
masa prasejarah, nenek moyang bangsa Tidak diragukan lagi bahwa seni rupa khu-
Indonesia telah pandai memilih dan susnya ragam hias, telah berkembang
memilah unsur-unsur kebudayaan asing sangat menakjubkan pada masa itu.
untuk disesuaikan dengan kebudayaan Penyebaran dan perkembangan
lokal. Kondisi seperti itu kemudian tetap Islam di Jawa membawa perubahan dalam
terjadi lagi ketika kedatangan pengaruh berbagai aspek kehidupan. Pendirian
kebudayaan Islam. Kedua, bahwa bangunan candi dan petirtaan tidak
persebaran kebudayaan Islam ke Pulau dilakukan lagi, sebagai gantinya muncul
Jawa adalah dengan jalan damai dengan bangunan masjid, surau dan makam.
pendekatan budaya (Haryono, 2009: 3). Sementara itu sistem kasta dihapus, arca
Sukar merefleksikan dengan media dewa-dewa dan bentuk-bentuk ornamen
yang lebih baik untuk memahami sejarah zoomorphic yang sudah menjadi
kebudayaan Indonesia selain melihat secara kelangenan tidak lagi diperkenankan.
langsung peninggalan purbakala dalam
bentuk kota-kota tua, kuil atau candi, Percabangan Tiada Akhir Ragam Hias
masjid serta makam kuno. Arsitektur Sulur-Gelung
pertama yang ditemukan di Nusantara Ragam hias atau ornamen sering
adalah bangunan sederhana, berupa diungkapkan oleh para ahli berasal dari kata
artefak prasejarah kuburan batu, punden ornare (bhs. Latin), yang berarti menghiasi
berundak dan menhir. Barulah sekitar masa (Mulia, 1950: 1017). Di dalam bahasa
klasik awal (abad VI-IX M.), ditemui Indonesia ornamen diartikan sebagai
arsitektur bangunan yang megah hiasan; lukisan; perhiasan (Sugono, 2008:
diantaranya Candi Barabudur dan Candi 1023). Begitu juga pengertian dekorasi
Lara Jonggrang. Dalam kurun masa tersebut dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
dibangun pula ratusan candi-candi yang hiasan (Sugono, 2008: 334). Dari batasan
lebih kecil, hal ini menunjukkan bahwa tersebut kehadiran ornamen menjadi
pengaruh Hindu-Budha sudah mengakar seperti sengaja dibuat hanya untuk
kuat di masyarakat. Untuk memenuhi unsur kepentingan dekorasi. Pada dasarnya,
estetika, maka ragam hiasnya pun ornamen, ragam hias, motif atau dekorasi
ditampilkan. Relief kinara-kinari, ragam hias memang dapat diartikan sebagai hiasan.
gajah, kura-kura, relief kala makara, dan Hiasan adalah sesuatu yang hanya
pohon kayangan dipahatkan dengan ditambahkan saja di atas permukaan benda,
mengagumkan. Ragam hias flora utamanya bidang, atau hanya untuk mengisi ruang
teratai dan ornamen geometris serta relief- kosong dengan bentuk-bentuk tertentu.
relief naratif dan dekoratif memperindah Tetapi ragam hias yang dimaksud disini
dinding dan tubuh bangunan suci tersebut. adalah seni ornamen yang perwujudannya
Beberapa adegan yang terekam pada relief telah menjadi kombinasi antara bentuk,
tersebut menggambarkan juga replika fungsi dan isinya (makna) seperti yang
arsitektur, perhiasan, pakaian, instrumen dijelaskan oleh SP. Gustami, wujud
musik, gambaran manusia, binatang dan ornamen memiliki fungsi menghiasi sesuatu
160 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

objek, sehingga apabila dilekatkan atau diubah menjadi titik tolaknya, kemudian
diterapkan pada benda lain akan melahirkan bentuk “baru” yang berkarakter
menambah nilai benda yang dikenainya. Di lebih sederhana (abstraksi) dan tidak
samping itu di dalam seni ornamen sering realistik. Hal ini berbeda dengan deformasi
ditemukan pula nilai-nilai simbolik atau yang sudah tidak lagi menghiraukan bentuk
maksud-maksud tertentu yang ada dasar tersebut. Ada istilah yang lebih dekat
hubungannya dengan pandangan hidup pengertiannya dengan deformasi, yaitu
(filsafat hidup) dari masyarakat distorsi. Distorsi lebih mengarah pada
penciptanya, sehingga suatu benda yang penyimpangan bentuk dan kenyataan.
dikenai seni ornamen itu akan mempunyai Bentuk wayang kulit purwa merupakan
arti yang lebih bermakna, disertai harapan- distorsi (bukan deformasi) pemutarbalikan
harapan yang tertentu pula (Gustami, 2008: bentuk asalnya, manusia, yang wajahnya
4). digambar tampak samping, bahunya
Ragam hias merupakan gubahan tampak depan, dan perutnya kembali
bentuk-bentuk yang memiliki makna sakral tampak samping. Sementara itu bagian
maupun profan, dibuat dengan cara `rician` (rincian) diperhalus dan diperindah
dipahat, digambar, diukir maupun dicetak. disesuaikan dengan patokan-patokan yang
Kehadirannya didorong oleh tuntutan ada dalam stilisasi; rambutnya digelung,
estetik dan spiritual yang difungsikan untuk juntaian dodot kainnya dibuat dengan
kepentingan dekorasi. Bentuk ragam hias draperi yang sangat teratur, yang
berupa gambaran tentang manusia, kesemuanya merupakan hasil stilisasi demi
binatang, tumbuhan serta bentuk-bentuk pencapaian bentuk yang artistik (Soedarso,
abstrak yang diciptakan secara khusus 2006: 83). Dalam hal ini juga ditemui istilah
melalui tahap penyederhanaan (abstraksi), yang beda-beda tipis, antara `distorsi` dan
penggayaan (stilisasi) sampai `stilisasi` betul-betul amat dekat
penyimpangan (distorsi). perbedaannya.
Stilisasi adalah pengubahan Pada dinding candi biasanya
bentuk-bentuk di alam untuk disesuaikan terdapat ragam hias tumbuh-tumbuhan,
dengan suatu bentuk artistik atau gaya berupa lung-lungan yang bergerak
tertentu. Sehubungan dengan `gaya`, ada mengikal ke kanan dan ke kiri. Pangkal
kalanya stilisasi disebut juga `penggayaan`. tumbuhnya dapat bermacam-macam, ada
Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yang tumbuh dari vas berbentuk oval, vas
`stylization` kata kerjanya dalam bahasa yang berbentuk seperti bonggol, ada pula
Belanda disebut `stileren` atau `styleren`. dari dalam vas indah berukir. Sulur tumbuh-
Pada saat bahasa Belanda menjadi rujukan tumbuhan yang melingkar bergelung-
utama istilah-istilah di Indonesia hal yang gelung tersebut dinamakan sulur-gelung.
sama itu disebut `stilasi` dan kata kerjanya Sulur-gelung yang keluar dari dalam guci
adalah `menyetilir`, sekali lagi ini atau vas dinamakan ragam hias
menggunakan konstruksi bahasa Belanda purnaghata.
(Soedarso, 2006: 82). Stilisasi masih Purna berarti lengkap, utuh, pulih,
berurusan dengan bentuk dasar yang sembuh, selesai (Utomo, 2009: 390).
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 161

Sementara itu ghata berarti buli-buli, berasal dari pengaruh motif hias Cina. Motif
buyung, kendi. Keterangan selanjutnya ini terdiri atas bentuk bunga teratai mekar
dikatakan bahwa ghata dihubungkan dan kuncup, dengan tangkai panjang
dengan air yang berarti pemandian, kolam berjuntai. Ragam hias ini sebagai simbol
(Zoetmulder, 2004: 280). Perwujudan Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa,
ragam hias purnaghata merupakan hasil yang menguasai tiga alam, yaitu bhur,
stilisasi tumbuhan teratai yang menyembul bwah, swah, karena bunga teratai hidup di
keluar dari dalam guci, jambangan atau vas. tiga tempat, akarnya di lumpur, batangnya
Menurut Kempers, ragam hias sulur-gelung di air, dan bunganya di udara (Sukanadi,
yang tumbuh dari jambangan yang dari 2010: 72-73).
dalamnya memuntahkan bunga-bunga, Vas atau guci yang berbeda-beda
sulur-sulur dengan daun yang tumbuh lebat bentuknya ini kemudian memunculkan
di kanan kirinya disebut sebagai lambang nama Purnakalasa untuk membedakan
kemujuran dan kebahagiaan (Kempers, dengan bentuk guci purnaghata atau secara
1954: 21). umum dapat dikatakan Guci Padma, karena
Ragam hias purnaghata secara yang keluar dari dalam guci adalah sulur-
tematik berasal dari Hindu, tetapi ragam suluran bunga teratai. Menurut Herayati,
hias ini dipahatkan juga di candi Budha sulur yang dilukiskan keluar dari guci bentuk
dengan berbagai variasi bentuk terutama bulat disebut motif purnakalasa. Motif ini
pada pangkal tumbuhnya yang berupa guci. ada yang dikombinasi dengan
Terdapat guci atau vas yang mulutnya lebar penggambaran binatang kijang atau
seperti tempayan, ada guci yang pada menjangan seperti yang terdapat di dinding
bagian atasnya lebih besar melekuk dan luar kaki Candi Pendem. Motif lainnya yang
bawahnya lebih ramping beralaskan seperti serupa adalah motif Purnaghata berupa
pilar, ada guci yang bentuknya bulat lonjong sulur-sulur yang keluar dari guci, hanya
seperti bonggol, terdapat juga guci yang bedanya guci ini tidak bulat seperti
berbentuk bulat beralaskan seperti tikar. purnakalasa tetapi lebih ramping ke bawah
Satu hal yang terlihat mencolok adalah (Herayati, 2000: 54). Jadi terdapat tiga
bunga teratai. Menurut Sedyawati, ragam istilah untuk menamakan ragam hias ini
hias teratai memang umum dijumpai di yaitu, purnakumbha, purnakalasa dan
dinding candi, baik yang merah (padma), purnaghata.
biru (utpala), dan putih (kumuda). Warna Kata kumbha berasal dari bahasa
itu tidak dinyatakan, dan untuk sansekreta yang berarti pot, kendi, bejana,
membedakannya hanya dilihat dari cara pasu (Zoetmulder, 2004: 534). Keterangan
menggambarkannya. Teratai merah lain menjelaskan bahwa kumbha berarti
digambarkan sedang mekar, teratai biru buyung, tempayan (Utomo, 2009: 197).
digambarkan sedang kuncup, sedang Kata kalasa berarti tikar, tempat, periuk
teratai putih digambarkan setengah mekar (Utomo, 2009: 148). Zoetmulder
(Sedyawati, 1993: 84). Mengenai teratai menjelaskan bahwa kalasa berasal dari
Sukanadi menjelaskan, di Bali dikenal ragam bahasa sansekreta yang berarti tempayan,
hias patra Cina. Dari namanya patra Cina kendi, guci juga berarti tikar. Kata kinalasan
162 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

berarti melengkapi dengan tikar


(Zoetmulder, 2004: 443). Seperti yang
sudah dipaparkan di depan bahwa, kata
ghata berarti buli-buli, buyung, kendi, dan
dihubungkan dengan air yaitu pemandian,
kolam (Zoetmulder, 2004: 280). Terdapat Gambar 1.
penjelasan yang menarik dari Y. Agustirto
yang mengartikan bahwa ghata berasal dari Sulur-gelung di kompleks Candi
bahasa sansekreta yang berarti Lara Jonggrang yang terdapat di batur kaki
bersemangat, rajin juga berarti kendi, candi Angsa. Sulur-gelung yang dilukiskan
periuk, tempayan, stoples (Suroyudo, 1998: keluar dari guci bentuk bulat disebut ragam
29). hias purnakalasa. Zoetmulder menjelaskan
Kenyataannya sulur-gelung tidak bahwa kalasa berasal dari bahasa
hanya tumbuh dari dalam guci. Terdapat sansekreta yang berarti tempayan, kendi,
sulur-gelung yang tumbuh dari bonggol, guci juga berarti tikar. Kata kinalasan
uniknya bonggol yang semestinya adalah berarti melengkapi dengan tikar. Guci
akarnya itu ternyata bentuknya mirip purnakalasa diletakkan di atas padmasana
dengan guci yang bulat. Kadang-kadang (tempat berdiri atau duduk para dewa)
bentuknya menjadi tidak jelas antara guci dibawahnya terdapat lapik.
dan bonggol. Ada juga sulur-gelung yang
tumbuh dari şangkha (siput) bersayap di
Candi Sambisari, dan di Candi Banyunibo
şangkha yang seharusnya adalah atribut
dewa itu ternyata hanya difungsikan
sebagai pot tempat tumbuhnya sulur-
Gambar 2.
gelung. Bagaimana juga halnya dengan
sulur-gelung yang tumbuh dari ketiak orang,
Ragam hias purnaghata candi Śiwa,
tentu saja dari ketiak orang yang gendut
guci ini tidak bulat seperti purnakalasa
perutnya (gambaran ini dapat dilihat di
tetapi lebih ramping ke bawah. Sulur-sulur
Candi Lumbung dekat Muntilan). Di candi
yang bergelung tersebut adalah sulur
Borobudur yang menjadi pangkal
teratai atau padma, lambang kemujuran
tumbuhnya sulur-gelung bukanlah bonggol
dan kebahagiaan. Ghata berarti buli-buli,
biasa melainkan ikan, ular yang melingkar,
buyung, kendi, dan dihubungkan dengan
kura-kura, orang atau bidadari, dua ekor
air. Kata ghata berarti juga bersemangat,
kera, ketam, burung, babi, sapi, jambangan,
rajin, kendi atau tempayan. Guci yang
kerang dan rusa. Kiranya penjelasan prosais
bermacam-macam ini apapun bentuknya
seperti di atas memang tidak mermuaskan.
fungsinya adalah sama, yaitu sebagai
tempat menyimpan air. Air apakah yang
disimpan dalam guci tersebut, tentu saja air
suci. Masyarakat Jawa mengenal tĩrtha
kamandalu yang berarti kendi tempat
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 163

menyimpan air suci (air penghidupan). berpendapat bahwa dari bentuk gucinya
Artinya mirip dengan amŗtagatha atau guci saja, sebenarnya sudah menggambarkan
amŗta. Apakah amŗtagatha dapat vulva, tentu saja interpretasi aurat ini perlu
dihubungkan dengan purnaghata yang tafsiran lebih lanjut.
berfungsi sebagai guci bagi pangkal
tumbuhnya sulur-gelung? Air dapat Kecerdikan Seniman Jawa-Islam
disimpan di dalam guci, sedangkan Bagaimana kebudayaan Jawa ketika
tumbuhan memang dapat juga tumbuh dari bertemu dengan Islam, dapat diamati dari
dalam guci atau vas. Guci tersebut selain jenis artefak yang kuat ciri Islamnya, yaitu
sebagai tempat tumbuhnya teratai, juga masjid dan makam. Masjid secara etimologi
dapat berfungsi untuk menyimpan air suci, berasal dari kata pokok dalam bahasa Arab,
lagi-lagi teratai memang dapat tumbuh dari sajada (tempat sujud). Kata ini mendapat
air. Dapat dibayangkan jika air yang dipakai awalan ma, sehingga menjadi kata masjid.
sebagai pangkal tumbuhnya adalah Dalam lidah orang Indonesia lafal ini
amŗtagatha, sehingga wajar kiranya jika diucapkan menjadi “mesjid”. Kata masjid
ragam hias ini memiliki tempat yang tidak selalu menunjukkan sebuah tempat
istimewa bagi seniman Jawa. atau gedung khusus ibadah umat Islam.
Sulur yang tumbuh dari dalam guci Masjid di dalam konteks sekarang berarti
dipahat dengan teliti, alur batang sulurnya bangunan tempat menjalankan ibadah
dapat dirunut dengan jelas mulai dari ketika shalat, meskipun sebenarnya di dalam
keluar dari guci, lalu sebatang sulur ini ajaran Islam menjalankan shalat tidak
tumbuh buku-buku, dari buku-buku inilah terikat pada suatu bangunan tertentu.
keluar cabang sulur yang baru, tumbuh Bangunan masjid Islam awal
menjadi empat batang sulur. Sulur yang Indonesia, memiliki corak arsitektur yang
tumbuh dari buku-buku tersebut kemudian berbeda dengan bentuk masjid Negara lain.
bergelung sempurna menjadi satu gelung Menurut G.F. Pijper tipe masjid Indonesia
sulur yang tumbuh lengkap dengan daun berasal dari Jawa, sehingga orang dapat
dan bunga. Sementara itu dari batang sulur menyebut masjid tipe Jawa (1992: 24).
lain yang tumbuh dari buku-buku pertama Menurut Sofyan, berbagai kenyataan
dapat tumbuh lagi buku-buku yang kedua. menunjukkan bahwa produk budaya orang
Dari buku-buku yang kedua ini dapat Jawa yang beragama Islam mengarah
tumbuh terus buku-buku yang lain tidak kepada polarisasi Islam kejawaan atau Jawa
terbatas berapa percabangannya. yang keislaman (Sofyan, 2002: 119). Sebagai
Percabangan yang terus-menerus tiada suatu cara pendekatan dalam proses
batas ini menggambarkan tumbuhnya akulturasi, kedua jalan ini ditempuh dan
kehidupan baru dari hanya satu cabang menjadi strategi dakwah yang efektif ketika
sulur, kemudian bergelung-gelung tiada dua kebudayaan saling bertemu. Di dalam
batas menciptakan kehidupan-kehidupan proses ini terjadi pencampuran unsur-unsur
baru yang lainnya, tiada henti. Sehingga kedua kebudayaan. Pertama-tama unsur-
wajar jika ragam hias ini dihubungkan unsurnya dapat dikenali dengan mudah,
dengan kesuburan. Bahkan ada yang tetapi lama-kelamaan terjadi pembauran,
164 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

saling meminjam dan saling menginspirasi


dan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak
dijumpai dalam kebudayaan induknya.
Tampaknya tradisi menyelaraskan
antara Islam dan budaya Jawa ini telah
berlangsung sejak awal perkembangan
Islam di Jawa. Proses kebudayaan seperti
diuraikan di atas rupanya terjadi berulang Gambar 3
kali di Indonesia, khususnya Jawa ketika
pembawa agama Islam hadir di pulau ini. Mimbar Masjid Agung Cirebon,
Apalagi proses akulturasi ini berhadapan diberi nama Sang Renggakosa (Atmodjo,
dengan watak orang Jawa yang cenderung 1999: 102). Bentuknya seperti kursi
bersifat moderat serta mengutamakan berukuran 122 x 66 x 230 cm. memiliki tiga
keselarasan (Sofyan, 2002: 120). Tidak anak tangga dan tangan kursi menyatu
dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi dengan tiang mimbar. Ragam hiasnya
konflik dan ketegangan-ketegangan. adalah sulur-suluran bunga teratai, motif
Pemakaian ragam hias teratai, kala mata rantai, meander dan bingkai cermin.
satu, singa dan mungkin pohon hayat dalam Masjid Agung Cirebon didirikan
bentuk lanskap gunung menunjukkan pada tahun 1498 M oleh Walisanga atas
betapa dominannya simbol-simbol pra- prakarsa Sunan Gunung Jati.
Islam dalam seni Islam. Menghadirkan Pembangunannya dipimpin langsung oleh
kembali simbol-simbol lama tersebut Sunan Kalijaga yang memboyong seorang
menurut beberapa ahli digunakan sebagai arsitek bernama Raden Sepat ( seorang
wahana tutur yang efektif disamping arsitek Majapahit) dengan membawa 200
memang berfungsi sebagai hiasan. orang pembantunya dari Demak (Atmodjo,
Kemahiran seni pahat ini diwarisi dari tradisi 1999: 104). Masjid ini dikenal juga dengan
seni pahat candi yang memiliki khazanah nama Sang Cipta Rasa karena terlahir dari
perbendaharaan ragam hias yang rasa dan kepercayaan.
melimpah. Kontinuitas adaptasi simbol- Artefak yang paling menarik dari
simbol dari kekayaan bentuk ragam hias segi ragam hias, selain mihrab adalah
masa sebelumnya dimodifikasi untuk mimbar lama yang sekarang sudah tidak
mewujudkan gagasan ekspresi religius digunakan lagi. Tidak terlalu sulit kiranya
(Islam). untuk mengaitkan bentuk kala-makara
yang dipahatkan pada mahkota mimbar
depan dan belakang. Pada mahkota mimbar
depan, bagi mata yang terlatih dapat
langsung mengaitkan bentuk kala yang ada
di atas adalah penggabungan kepala kala
dengan unsur cahaya, sinar atau halo.
Dengan demikian kaki mimbar yang
seharusnya dan “memang” berbentuk
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 165

makara. Tetapi makara yang terdapat pada hadir secara `tidak sengaja` yang
kaki mimbar dibuat dengan jalinan sulur- `disengaja`. Fragmen ragam hias ini terlalu
gelung. Sulur-gelung ini dibuat dengan menarik untuk dilewatkan. Meskipun dapat
menggubah jalinan sulur teratai yang diidentifikasi bahwa mahkota mimbarnya
berbentuk singa. Stilisasi makara dengan adalah kala mata satu, lengan yang
bentuk seperti ini dapat dijumpai juga pada bersayap adalah makara, dan sulur-
mimbar masjid Sendang Duwur yang lebih gelungnya tumbuh dari guci purnaghata,
abstrak. Meskipun mimbar masjid Sendang tetapi apakah hanya ini yang dimaksudkan?
Duwur tidak sama identik dengan mimbar Yaitu hanya merangkai saja warisan Hinduis
Masjid Agung Cirebon, tetapi dapat yang disamarkan dalam jalinan stilisasi?
dikatakan mirip. Seniman Jawa ini tentu saja tidak sedangkal
Jika mahkota mimbar bagian depan itu konsep berkeseniannya, mengingat
kurang jelas menggambarkan kala-makara, mereka bekerja langsung dibawah
maka pada mahkota mimbar belakang pengawasan seorang wali `Sunan Kalijaga`
diulang lagi agak jelas dan unik, karena atas pesanan sang pandhita ratu, Sunan
mampu menggambarkan dan meramu Gunung Jati sendiri.
ragam hias purnaghata-kala-makara. Seniman Jawa ini menghadirkan
Bentuk seperti ini (tanpa guci purnaghata) konsep hubungan vertikal “khablum-
sudah sering diperagaan di candi Kalasan, minallah” hubungan antara Tuhan dan
Sewu dan Lara Jonggrang yang diulang- hambanya. Kala adalah simbol dunia atas,
ulang dalam panel hiasnya sebanyak matahari, sinar dan cahaya, sedangkan
ratusan kali, tentu saja dengan bentuk kala makara adalah simbol dunia bawah, bumi,
yang tidak bermata satu. Keistimewaan air, ular dan teratai. Lotus adalah simbol
komposisi ragam hias ini adalah salah satu kehidupan, hutan dan gunung, sedangkan
contoh kecerdikan seniman Jawa dalam kepala kala adalah makhluk raja hutan. Kala
menghadirkan guci purnaghata tanpa mata satu seperti halnya praba atau halo
mengurangi keindahan dari sulur-gelung sudah sering diperagakan dalam tradisi
yang keluar dari guci, lalu membentuk Hindu untuk menggambarkan tokoh dewa
kepala kala bermata satu. Dari kala ini lalu yang suci. Dalam hal ini sinar atau halo
mengembang ke kanan-kiri membentuk tersebut menghiasi kepala kala, meskipun
makara yang mengarah ke luar seolah-olah gigi dan taringnya tidak digambarkan. Pola
membentang (seperti sayap) karena arah kala mata satu ini dapat ditemukan dengan
hadap makaranya tidak ke dalam. jelas tergambar di Gapura Bajang Ratu Desa
Sementara itu bentuk gucinya Temon Trowulan Jawa Timur. Sebagai umat
dapat hadir secara imajiner, yang terbentuk Hindu yang `saleh` mereka tidak
dari pertemuan dua buah `bingkai cermin` mendustakan kebenaran keyakinan mereka
yang sengaja letaknya berhadap-hadapan yang dulu, juga tidak dengan serta merta
secara simetris horizontal. Dua buah bingkai menerima Islam tanpa pengetahuan.
cermin ini secara sengaja memberi ruang Sepenggal mimbar kuno ini tidak
hadirnya guci yang tepat berada ditengah- hanya memberikan kesan gaya seni Hindu
tengahnya. Dengan demikian guci dapat klasik, tetapi juga menunjukkan gagasan
166 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

seniman Jawa mewujudkan konsep langit tidak cukup hanya dimasukkan dalam
dan bumi menurut rasa Hindu. Dengan kata wilayah akulturasi, tetapi sudah menjadi
lain bentuk mimbar dan ornamentasinya sinkretis. Heddy mengemukakan, bahwa
tidak diperkenalkan oleh Muslim asing, akulturasi agama Islam di Jawa sebaiknya
tetapi oleh orang Indonesia sendiri yang dilihat dari perspektif budaya, artinya dari
faham dan mengerti benar tradisi seni dan perspektif sistem ide atau pengetahuan.
konsep Hindu-Jawa. Tidak mungkin orang Akulturasi dilihat sebagai suatu proses yang
Arab itu datang sendiri dan mengukir berjalan pada tingkat kognitif, bukan pada
tembok masjid dan makam. Orang Arab tingkat perilaku ataupun hasil perilaku. Baik
datang berdagang dan mengambil wanita perilaku maupun hasilnya pada dasarnya
lokal untuk diperistri, sebagai salah satu juga merupakan hasil dari proses pemikiran
bentuk strategi dagang dan menyebarkan atau pengetahuan. Proses akulturasi dan
Islam. Sampai disini akan memancing hasilnya dapat dipahami dengan baik jika
sebuah pertanyaan yang mustahil untuk proses akulturasi diletakkan pada tingkat
dijawab. Apakah sikap beragama seperti ini pemikiran, dan hasil dari proses akulturasi
dibenarkan dalam Islam? pada tingkat ini adalah suatu sinkretisme.
Penyebaran Islam di Jawa Dengan kata lain, proses akulturasi pada
menggunakan dua pendekatan, pertama tingkat pemikiran, ideologis, tidak lain
disebut Islamisasi kultur Jawa. Metode adalah sebuah proses sinkretisasi (Putra,
pendekatan ini menekankan agar budaya 1995: 1).
Jawa diupayakan tampak Islam, baik secara
formal maupun substansial. Pendekatan PENUTUP
kedua dinamakan Jawanisasi Islam, sebagai Dari sudut bahan dan teknik,
upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam memang ada perbedaan gaya atau karakter
melalui cara penyusupan ke dalam budaya dari masa klasik awal di Jawa Tengah
Jawa. Persoalan yang muncul dan sering dengan masa klasik akhir di Jawa Timur,
menjadi bahan perbincangan adalah makna juga memang diakui ada karakter khusus
yang terkandung dari pencampuran kedua masa Islam. Meskipun ada perbedaan-
budaya tersebut. Sebagian pengamat perbedaan bentuk yang menjadi ruh
menilai bahwa pencampuran itu hanya penciptaan ragam hias, tetapi belum
sebatas kulitnya saja, sedangkan nilai ditemukan suatu penemuan teknik baru
esensialnya adalah tetap budaya Jawa. yang mempunyai daya kejut luar biasa.
Pengamat yang lain justru melihat Dapat dikatakan dari era pra-Islam sampai
sebaliknya, bahwa nilai Islam telah menjadi Islam teknik pembentukannya sama saja,
ruh dari penampakan budaya Jawa, yaitu dengan pahat dan ukir. Sedangkan
meskipun tidak berlabel Islam. Akulturasi dari sisi bahan capaian artistiknya masih
atau bahkan sinkretisasi Islam dengan semartabat. Jika di era pra-Islam ragam hias
kebudayaan Jawa telah melahirkan konsep lebih banyak diterapkan pada batu dan
kepercayaan serta upacara-upacara ritual. bata, ketika memasuki era Islam, ragam hias
Heddy Shri Ahimsa Putra justru lebih banyak diterapkan pada media kayu.
mengatakan bahwa tingkat pencampuran Capaian artistik dari media kayu ini masih
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 167

sekufu dengan media batu. Bahkan ada ragam hias sulur-gelung. Meneruskan
kesan media kayu yang seharusnya lebih tradisisi sebelumnya, yaitu seperti
elastis tersebut diperlakukan sama dengan memotong sulur-gelung menjadi sulur-
media batu, terutama terlihat dari ragam lengkung dan juga karena adanya
hias panel dan relief. Begitu juga karakter keengganan untuk melukiskan berhala
bentuk, irama dan komposisinya sebagian (manusia dan binatang) maka simbol-
besar sama, yaitu meneruskan tradisi simbol Hinduis tersebut sedapat mungkin
“Jawa” masa lalu. dihindari dalam citra visual. Maka
Era Jawa Timur, seperti yang sudah beruntung bahwa sulur-gelung adalah
dikatakan oleh para ahli, ada tumbuh-tumbuhan menjalar yang
kecenderungan untuk melepaskan diri dari menggambarkannya tidak dilarang. Tetapi
pengaruh masa lalu yaitu dari India. Proses sulur-gelung adalah ragam hias yang
“melupakan” inilah yang menarik, karena memiliki akar mitologi mitos kosmogoni
justru dilakukan dengan menggabungkan penciptaan semesta dalam Hindu. Secara
Hindu dan Budha menjadi Hindu-Budha bentuk fisik memang tidak diharamkan
dengan Jawa. Sulur-gelung yang rumit dan dalam pandangan Islam tetapi secara
indah pada masa klasik awal Jawa Tengah `maknawi` (batin) ragam hias sulur-gelung
ketika memasuki Jawa Timur direduksi mengandung paham syrik (menyekutukan
sedemikian rupa sehingga hanya tangkainya Tuhan), suatu dosa yang amat ditakuti
saja yang dihadirkan. Tangkai sulur gelung dalam Islam. Menghadapi bahaya laten ini
yang dipotong ini bisa jadi karena alasan maka seniman Jawa (muslim) yang hidup
teknik, yaitu bahan batu bata kurang masif jiwa dan perasaannya mereduksi tampilan
jika dibandingkan dengan media batu. sulur-gelung tersebut menjadi hanya
Sehingga batang kecil sulur yang bergelung- sebentuk tumbuhan merambat, tumbuhan
gelung itu direduksi dengan hanya menjalar atau diserupakan menjadi pohon
mengambil pola lengkungan saja tidak yang tumbuh saja. Bagaimanapun juga
bergelung-gelung. Karena bahan bata tradisi Hinduis sudah mbalung sumsum
mudah gempil (retak) maka pahatan dua selama seribu tahun. Dalam hal ini terjadi
buah lajur tangkai yang seharusnya terpisah proses `reduksi` dan `intensifikasi`. Secara
dijadikan satu saja, atau ditumpuk. Tentu global bentuknya direduksi, tetapi disisi
saja alasan bahan bata ini tidak sakhih, yang lain mendapat penekanan yang
karena toh masih dijumpai ragam hias melimpah utamanya pada detil-detilnya.
sulur-gelung yang menjadi sulur-lengkung Pada dasarnya mereka melakukan abstraksi
pada media batu seperti yang ditemukan di (mencari esensinya saja), stilisasi (merubah
candi Menak Jinggo. Mungkin alasan yang dan menggayakan) sampai yang paling
lebih diterima adalah adanya keinginan ekstrim yaitu distorsi (penyimpangan
untuk melupakan masa lalu yaitu pengaruh bentuk dan kenyataan).
India yang sudah mengakar selama seribu Hidup dan berkembangnya ragam
tahun. hias sulur-gelung dalam masa Islam
Memasuki Islam, dapat dilihat menunjukkan bahwa ketika bersentuhan
kecerdikan seniman Jawa ketika mengolah dengan Islam, seniman Jawa senantiasa
168 ] CORAK Jurnal Seni Kriya Vol. 5 No.2, Nopember 2016-April 2017

menunjukkan kecerdikannya. Sampai saat telah tertanam berabad sebelumnya.


ini karya seni rupa yang mereka tinggalkan Dibidang seni capaian artistiknya
selalu memancing interpretasi yang multi mengagumkan. Kenyataan ini memaksa
tafsir. Tampaknya gerak laku seniman Jawa Islam untuk bisa “menyesuaikan” diri
berusaha menghindari konflik nilai, dengan dengan tradisi dan kepercayaan Jawa yang
tidak mengambil posisi yang berhadap- sudah ada.
hadapan dengan Islam standar (baku-kaku)
tetapi mencoba ditafsirkan menurut
perspektif Jawa. Dengan kata lain, Islam DAFTAR PUSTAKA
berusaha dipribumikan. Resistensi tampil
dalam nada yang subtil, dalam gaya stilisasi, Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa
tersamar dan elegan, sama sekali tidak Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta:
mengesankan “heroisme”. Departemen Pendidikan Nasional,
Balai Pustaka, 2005.
Ragam hias sulur-gelung yang
mengandung makna kosmogoni Hinduis Atmodjo, Junus Satrio. Masjid Kuno
ditangan seniman Jawa ragam hias ini Indonesia, Jakarta: Proyek
menjadi bermakna ganda, sakral jika dilihat Pembinaan Peninggalan Sejarah
substansinya sekaligus profan, karena Dan Kepurbakalaan Pusat, 1999.
bentuknya sudah mengalami
penyimpangan. Dapat diinterpretasi Gustami, SP. Butir-Butir Mutiara Estetika
Timur, Ide Dasar Penciptaan Seni
sekaligus multi interpretasi. Eksistensi
Kriya Indonesia, Yogyakarta:
ragam hias ini menjadi tidak tepat jika Prasista, 2007.
dikatakan sebagai “hasil dari” sinkretisasi
atau akulturasi. Tetapi lebih sebagai ___________ . Nukilan Seni Ornamen
gambaran pencarian manusia (seniman Indonesia, Yogyakarta: Jurusan
Jawa) untuk mengenal dan mendekati Kriya Fakultas Seni Rupa Institut
Tuhannya melalui simbol dan metafora. Seni Indonesia Yogyakarta dan
Arindo Nusa Media, 2008.
Atau bisa jadi, dan ini sulit dibuktikan bahwa
praktek keagamaan Islam awal di Jawa bisa Haryono, Timbul. Seni dalam Dimensi
jadi memiliki akar yurisprudensi Islam Bentuk, Ruang, dan Waktu, Jakarta:
asalnya, memang seharusnya Islam seperti Wedatama Widya Sastra, 2009.
inilah yang dikehendaki. Memang klaim
kebenaran sulit untuk dibuktikan, apalagi di Herayati. Nuansa Ragam Hias Pada Wadah
dan Peralatan Rumah Tangga se-
era sekarang ini dimana `kebenaran` bisa
Jawa, Katalog Pameran Bersama
direkonstruksi oleh berbagai kelompok Museum Negeri Propinsi se-Jawa,
prosais yang jauh dari pengalaman rasa Jakarta: Direktorat Permuseuman
nikmat indah menikmati pesona karya seni. Dirjen Kebudayaan Depdikbud,
Kedatangan Islam di Jawa bukanlah 1999/2000.
di daerah pagan, melainkan ke dalam
masyarakat pluralis yang penuh tradisi Holt, Claire. Melacak Jejak Perkembangan
Seni di Indonesia, Terj. R.M.
Hindu-Budha dan kepercayaan lain yang
Arif Suharson, Seni Hias Wuwung Mayong Jepara Jawa Tengah Kajian Bentuk, Makna, Dan Fungsi … [ 169

Soedarsono, Bandung: Masyarakat Amin, Islam & Kebudayaan Jawa,


Seni Pertunjukan Indonesia, 2000. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Sugono, Dendy. Kamus Bahasa Indonesia,
Kempers, A.J. Bernet. Tjandi Kalasan Dan Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Sari, disalin oleh R. Soekmono, Pendidikan Nasional, 2008.
Djakarta: Dinas Purbakala Republik
Indonesia Penerbitan Dan Balai Sukanadi, I Made. Seni Hias Pura Dalem
Buku Indonesia, 1954. Jagaraga, Yogyakarta: Arindo Nusa
Media bekerja sama dengan
Mulia, T.S.G. dan K.A.H. Hidding. Jurusan Kriya Fakultas Seni rupa,
Ensiklopedia Indonesia, Bandung: 2010.
NV. Penerbitan W. Van Houve,
Gravenhage, 1950. Suroyudo, Y. Agustirto. Kamus Sanskerta
Indonesia Untaian Catursahasra
Pijper, G.F. Empat Penelitian Tentang Kosakata, Jakarta: CV. Sagung Seto,
Agama Islam di Indonesia 1930- 1998.
1950, Terj. Tudjumah, Jakarta: UI
Press, 1992. Utomo, Sutrisno Sastro. Kamus Lengkap
Jawa-Indonesia, Penerbit Kanisius,
Putra, Heddy Shri Ahimsa. “Islam Jawa dan 2009.
Jawa Islam, Sinkretisasi Agama di
Jawa,” dalam Seminar Sehari Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. Kamus
Tentang Kharisma Warisan Budaya Jawa Kuna Indonesia, Jakarta: PT
Islam di Indonesia, “Islam dan Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Kebudayaan Jawa: Akulturasi,
Perubahan dan Perkembangan”,
Yogyakarta: Balai Kajian sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta,
Bekerjasama dengan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Kantor
Wilayah Propinsi DIY, 1995.

Sedyawati, Edi. Sejarah Kebudayaan Jawa,


Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional, Jakarta:
Manggala Bhakti, 1993.

Soedarso, Sp. Trilogi Seni, Penciptaan,


Eksistensi, Dan Kegunaan Seni,
Yogyakarta: Badan Penerbit
Instituit Seni Indonesia Yogyakarta,
2006.

Sofyan, H. Ridin. “Interelasi Nilai Jawa dan


Islam dalam Aspek Kepercayaan
dan Ritual,” dalam H.M. Darori

You might also like