You are on page 1of 20

JURNAL

TATA KELOLA AKUN INSTAGRAM PINTER POLITIK

(Studi mengenai Tata Kelola Akun Instagram @pinterpolitik sebagai Media


Distribusi Berita Politik)

Disusun Oleh
RESTU SEKAR ARUM
D1216052

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Program Studi Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019
TATA KELOLA AKUN INSTAGRAM AKUN PINTER POLITIK
(Studi mengenai Tata Kelola Akun Instagram @pinterpolitik sebagai Media
Distribusi Berita Politik)

Restu Sekar Arum


Ignatius Agung Satyawan

Program Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,


Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
The faster communication technology growing brings society to the era of
internet and digital. This era affects mass media in term of their news delivery, as
the mass media tends to be going online to adjust the most favorable, trending
medium happens at this time. Considered to be part of media company in online
era, Pinter Politik implemented its strategy by adopting popular social media,
which is Instagram, as the medium of their political news delivery to audiences.
This research is guided by qualitative method with case study approach,
while also guided by purposive sampling with snowball sampling type spesifically.
Data collection technique is applied by interview with five informants in total,
four are from Pinter Politik and one is supported by a social media strategy
expert considered as a background informant. This research is conducted by
using theory of media ecology by Marshall McLuhan, Laws of Media by Marshall
and Eric McLuhan, and basic management principle (POAC) by George R. Terry.
The validity of this research is tested by using the triangulation of sources.
The results show that Pinter Politic’s use of Instagram as the news
delivery medium can be concluded into four main tetrad. Enchancement is pointed
as Instagram enhances two-way communication between Pinter Politik and its
audiences. Retrieval is pointed by multimediality, which combined the main
elements belong to the old media. Reversal is pointed by a comment war and
Instagram reports, and Obsolescence is pointed as Pinter Politic is leaving the
old media culture, which are one-way communication and printed media system.
In accordance to the basic managemet principles, Pinter Politik’s work flow in
using Instagram divided into four main phases. Planning phase is pointed by
Instagram research and editorial meeting. Organizing phase happens to a
division of work, while actuating phase happens to the process of arranging and
news publishing to Instagram. The last phase, controlling, which will return to the
first phase again, is pointed by evaluating and handling the audience feedbacks.
Keywords: Instagram, Laws of Media, News Delivery Medium, Pinter Politik

1
2

Pendahuluan

Dalam perkembangannnya kini, media baru digambarkan layaknya sebuah


ruang tanpa sekat, dimana individu yang satu dengan yang lainnya dapat saling
terhubung di dalam suatu interaksi tanpa adanya batasan jarak dan waktu. Contoh
sederhananya, proses menulis dan mengirim surat tentunya membutuhkan waktu
yang cukup lama atas pertimbangan jarak dan akomodasi, sehingga teknologi sms
dan e-mail mulai dikembangkan demi efiesiensi waktu. Bila sebelumnya akses
informasi teraktual hanya sebatas visual pada media cetak (koran, tabloid,
majalah) dan audio-visual pada media elektronik (televisi, radio), media baru
hadir sebagai all in one package. Ia tidak hanya mengandalkan satu kekuatan,
melainkan wujud sempurna dari gabungan kekuatan audio, visual, kecepatan,
keterbukaan, dan fleksibilitas yang memanjakan.
Berbicara tentang perkembangan media baru tentunya tidak lepas dari
penggerak utama media baru itu sendiri, yaitu teknologi komputer dan internet. Di
masa kini, internet diklaim sebagai produk teknologi informasi dan komunikasi
yang sangat populer digunakan dan digemari oleh masyarakat kekinian.
Pesonanya sebagai ruang interaksi tanpa batas memungkinkan penggunanya
saling terhubung tanpa membutuhkan kontak fisik serta keterikatan jarak dan
waktu. Internet dalam kehidupan masa kini hadir untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi. Ia diklaim layaknya
suatu jaringan global untuk berkomunikasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya di
belahan dunia, serta berfungsi sebagai wahana penyedia informasi yang tidak
berbatas.
Salah satu media massa yang cukup berani memanfaatkan internet sebagai
wadah utama dalam menyebarkan informasi dan berita politik kepada masyarakat
adalah Pinter Politik. Berbeda dari portal-portal berita online yang umum
dijumpai dewasa ini, Pinter Politik merupakan satu-satunya portal berita online
yang secara fokus menuliskan, membagi, dan menyebarluaskan berita-berita
terhangat seputar politik, baik dalam ranah nasional maupun yang berkaitan
dengan isu-isu internasional. Sebagai salah satu media massa yang lahir di era
digital dan keterbukaan informasi (berdiri pada tahun 2016), Pinter Politik dengan
3

piawai membangun kesan unik dari segi penulisan, pengemasan, serta


penyampaian berita politik kepada masyarakat.
Seakan fokus bergerak hanya di platform online, Pinter Politik juga
merambah ranah media sosial sebagai salah satu medium distribusi pelaporan
berita politik kepada masyarakat Indonesia secara luas. Untuk mengiringi website
berita utama yang dapat diakses melalui www.pinterpolitik.com, Pinter Politik
hingga saat ini aktif menggunakan berbagai media sosial resmi seperti Facebook,
Youtube, Twitter, dan Instagram. Namun, penelitian ini hanya fokus mengkaji
pada satu media sosial yang paling aktif digunakan Pinter Politik dalam kegiatan
pelaporan berita politik, yaitu Instagram. Merujuk pada survei yang dilakukan
APJII terkait konten media sosial yang paling sering dikunjungi oleh pengguna di
tahun 2016, pengguna internet paling sering mengunjungi Facebook sebesar 71,6
juta pengguna atau 54% dan urutan kedua terbanyak ialah Instagram dengan 19,9
juta pegguna atau sekitar 15%, maka cukup cerdas bila Pinter Politik
memanfaatkan Instagram sebagai medium distribusi pelaporan berita politik
kepada masyarakat. Berdasarkan gambaran dan fakta tersebut, penelitian ini
berusaha menjelaskan mengenai penggunaan Instagram oleh Pinter Politik sebagai
medium distribusi berita politik, termasuk di antaranya mencakup alasan dibalik
pemilihan saluran berita yang dimaksud, bedah penggunaan Instagram
berdasarkan studi Ekologi Media dan Laws of Media dari Masshall dan Eric
McLuhan, juga gambaran proses kerja jurnalistik Pinter Politik dalam
menggunakan Instagram sebagai medium distribusi berita.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka
rumusan masalah utama yang ingin diteliti adalah: “Bagaimana tata kelola akun
Instagram Pinter Politik sebagai media distribusi berita politik?”

Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Komunikasi Massa


John Vivian dalam Teori Komunikasi Massa menjelaskan komunikasi
massa sebagai sebuah proses penggunaan sebuah medium massa untuk
4

mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi,
menghibur, atau membujuk (Vivian, 2015: 450). Komunikasi massa memiliki
bentuknya sendiri karena pesan harus dibuat seefektif mungkin untuk
ditujukan kepada banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-beda
Sejalan dengan definisi yang dikemukakan Vivian, Jay Black dan
Frederick C. Whitney dalam Nurudin (2009: 12) menjelaskan lebih lanjut
bahwa komunikasi massa adalah:
“Mass communication is a process whereby mass-produced
message are transmitted to large, anonymous, and
heterogeneous masses of receivers.”

Berdasarkan kedua definisi di atas, baik menurut Vivian maupun Black


dan Whitney, dapat diinterpretasikan bahwa komunikasi massa adalah sebuah
proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal kemudian
disebarkan kepada khalayak penerima pesan yang luas, anonim, dan
heterogen. Dalam penelitian ini, Pinter Politik adalah pihak yang
memproduksi pesan berupa berita politik yang didistribusikan menggunakan
Instagram sebagai salurannya, ditujukan kepada audiens penerima pesan yang
bersifat luas, anonim, dan heterogen.
2. Media Siber (Online)
Menurut Media baru sering juga disebut sebagai media digital, online
media, atau media daring. Rulli Nasrullah dalam Teori dan Riset Media Siber
(2014) menyebutnya sebagai media siber (cybermedia). Namun, istilah
tersebut tidak hanya merujuk pada internet, perangkat lunak ataupun keras
dalam pengoperasiannya, tetapi juga medium yang berada di dalamnya baik
secara online maupun offline.
David Holmes membedakan media lama dan media baru dengan
merujuk pada karakternya masing-masing. Media lama diwakili dengan
istilah broadcast, sedangkan media baru diwakili dengan istilah interactivity.
Hal tersebut merujuk pada perubahan teknologi media kini yang telah
menggeser peran khalayak yang awalnya hanya menjadi objek sasaran dari
pesan. Khalayak dan perubahan teknologi media serta pemaknaan terhadap
5

medium telah memperbarui peran khalayak untuk menjadi lebih interaktif


terhadap pesan tersebut (Nasrullah, 2014: 14).
3. Konsep Ekologi Media
Slogan utama pemikiran McLuhan dalam Ekologi Media ialah medium
is the message, atau medium adalah pesan, dimana slogan ini merujuk pada
kekuatan dan pengaruh medium terhadap masyarakat luas, bukan hanya isi
pesan yang dibawanya. Walaupun demikian, bukan berarti McLuhan
mengesampingkan pentingnya isi, hanya saja dalam pandangan dan studinya,
medium yang kuat mampu mengubah bagaimana cara manusia berpikir
mengenai apapun.
Dasar pemikiran McLuhan adalah cara berkomunikasi masyarakat yang
akan membuat perubahan dan membentuk keberadaan manusia itu sendiri.
Teknologi, disadari atau tidak, akan mempengaruhi bagaimana seseorang
berpikir, berperilaku dalam lingkungan masyarakat, hingga mempengaruhi
kemampuan manusia dalam berkembang dari satu fase teknologi ke fase
lainnya yang lebih maju. Beberapa peneliti menyimpulkan pemahaman
tersebut sebagai teori ekologi media, sebuah studi yang berfokus pada
lingkungan media, dengan gagasan bahwa teknologi dan hal-hal teknis, mode
informasi, serta kode komunikasi memiliki peran yang penting dalam
kehidupan manusia (Lance Strate dalam West dan Turner, 2008).
4. Teori Laws of Media
Menurut Peneliti menggunakan pemikiran McLuhan mengenai Laws of
Media sebagai acuan utama dalam membongkar bagaimana Instagram
dikelola oleh Pinter Politik sebagai medium distribusi berita politik kepada
masyarakat. Guna merinci hal tersebut, peneliti menggunakan empat hukum
yang dibingkai menjadi empat pertanyaan besar yang ada dalam Laws of
Media, yaitu:
a) What does it extend? (Memperpanjang hal apa?)
McLuhan berpendapat bahwa hukum pertama ini menganggap
artefak atau ‘organ’ baru yang dibuat oleh manusia merupakan
perpanjangan dari organ atau indera manusia. Namun, perpanjangan
6

tersebut juga dapat diartikan sebagai ‘organ’ yang memperkuat atau


menambah dari organ yang sudah ada.
b) What does it make obsolete? (Membuat usang hal apa?)
Sebuah keusangan merupakan konsekuensi dari perpanjangan
sesuatu. Ketika sebuah medium dapat memenuhi fungsi dan menggeser
medium lainnya, maka bagian yang tergantikan tersebut akan menjadi
usang.
c) What does it retrieve? (Memulihkan kembali hal apa?)
Bentuk baru dari sebuah struktur, lingkungan, atau tindakan tidak
hanya mengandung sesuatu yang benar-benar baru. Namun, bentuk baru
tersebut juga membangkitkan atau menghidupkan kembali bentuk lama
yang sudah ada sebelumnya.
d) What does it reverse into? (Dapat memutarbalikkan hal apa?)
Bentuk baru dari sebuah teknologi memiliki batasannya tersendiri.
Ketika hal tersebut melewati batas, maka yang terjadi adalah sebuah
keterbalikkan dari kegunaan aslinya atau membentuk fungsi kebalikan dari
tujuan awalnya.
5. Prinsip Dasar Manajemen POAC
Peneliti menggunakan prinsip dasar manajemen milik George Robert
Terry untuk membedah bagaimana Pinter Politik sebagai organisasi media
massa menjalankan fungsi dan mengelola akun Instagram sebagai bagian dari
promosi dan distribusi berita politik kepada audiensnya. Hasibuan (2008: 2)
menjelaskan bahwa manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri
dari tindakan-tindakan perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), penggerakkan (actuating), dan pengendalian (controlling) yang
dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran atau goals yang
ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumbe-sumber
lainnya. Walaupun berada dalam tahap akhir dari flow, tahap pengendalian
atau controlling pada penelitian ini sejatinya bukan merupakan tahap final
dalam proses pengelolaan, melainkan tahap yang harus dilewati untuk
kembali pada proses perencanaan, sebagaimana suatu proses yang berputar.
7

Metode Penelitian

Pada penelitian ini, Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif.


Menurut Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif atau
biasa disebut metode penelitian naturalistik adalah metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah, dimana peneliti adalah
sebagai instrumen kunci, sedangkan teknil pengumpulan data dilakukan dengan
metode wawancara, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif
lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Penelitian ini juga didukung data kualitatif yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan
untuk membuat kesimpulan yang lebih luas. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik “purposive sampling” untuk menentukan informan atau
narasumber selama penelitian. Teknik purposive sampling yang digunakan adalah
Snowball sampling, adalah teknik pengambilan sampel yang mengimplikasikan
jumlah sampel menjadi semakin membesar seiring berjalannya waktu pengamatan
(Pawito, 2007:92). Dengan menggunakan teknik ini, peneliti akan memilih
informan yang dianggap mengetahui masalah secara mendalam dan dapat
dipercaya untuk mengawali pengumpulan data. Selanjutnya, peneliti menanyakan
siapa lagi berikutnya informan yang layak diwawancarai, sehingga peneliti merasa
yakin bahwa data yang dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai. Lindlof
dalam Pawito (2007:92) menyarankan agar peneliti meminta pada informan yang
tergolong awal didatangi untuk menyebutkan beberapa nama yang disarankan
untuk diwawancarai. Dengan daftar nama ini, peneliti kemudian membandingkan
daftar satu dengan daftar lainnya sehingga dapat mengetahui informan yang layak
diwawancarai untuk data yang relevan.
Menurut Idrus (2009: 25) dalam penelitian kualitatif, informan yang dipilih
merupakan orang-orang kunci (key person) dan sumber data atas fenomena yang
diteliti, karena adanya asumsi bahwa informan adalah orang yang paling
mengetahui tentang dirinya dan tema penelitian, sehingga informan harus dipilih
berdasarkan kriteria tertentu dan tidak secara acak (random). Memilih informan
melalui teknik key person dapat dilakukan apabila peneliti sudah mengetahui
8

subjek yang dianggap memahami objek penelitian. Dalam penelitian ini, key
person merupakan tokoh formal, seperti kepala perusahaan, kepala bagian, kepala
unit, ataupun tokoh informal seperti tokoh masyarakat yang memahami tentang
objek penelitian tersebut (Bungin, 2007: 77). Mengacu pada pengertian di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua karyawan yang bekerja di kantor
berita Pinter Politik dapat dijadikan informan dalam penelitian ini. Peneliti hanya
akan memilih beberapa informan yang dianggap representatif dan memahami
objek serta masalah penelitian yang sedang dikaji. Informan yang representatif
dan sesuai dengan konteks penelitian adalah Pemimpin Redaksi Pinter Politik,
Penulis atau Reporter, Tim Marketing dan Sosial Media, Tim Visual Grafis, dan
satu informan latar yaitu pakar social media strategy.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah teknik analisis
data interaktif dari Miles dan Huberman, yang menurut Pawito (2007: 104)
didasarkan pada tiga komponen yaitu reduksi data (data reduction), penyajian
data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and
verifying conclusions). Mengenai validitas dan keabsahan data, dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi data atau sumber untuk menguji
keabsahan data. Menurut Moleong (2000: 178), triangulasi data atau sumber
merupakan teknik triangulasi yang menggunakan berbagai sumber data yang
berlainan untuk memperoleh data yang serupa. Triangulasi data atau sumber
artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi
yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dengan metode kualitatif.

Sajian dan Analisis Data

Sesuai dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi
kasus, peneliti mengkategorisasi dan mereduksi data yang telah didapatkan selama
proses penelitian berlangsung. Kategorisasi dan reduksi data peneliti sesuaikan
dengan identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Peneliti berharap
pemaparan yang disajikan dalam penelitian ini dapat menyajikan gambaran yang
komprehensif dan mendalam tentang bagaimana penggunaan media sosial
9

Instagram oleh Pinter Politik dalam mendistribusikan berita politik kepada


audiensnya.
Berdasarkan pernyataan dari empat informan yaitu pemimpin redaksi Wim
Tangkilisan, tim sosial media K. T. Tembangras, tim visual grafis Yudhis
Darwan, dan reporter Pinter Politik Resna Hastari, peneliti merangkum alasan
Pinter Politik dalam memilih dan menggunakan Instagram sebagai medium
distribusi berita ke dalam lima faktor. Pertama, kesesuaian medium distribusi
dengan latar belakang Pinter Politik sebagai media online. Kedua, keinginan
Pinter Politik untuk berinovasi dengan Instagram. Ketiga, kemudahan dan
interaktivitas Instagram sebagai medium distribusi. Keempat, penggunaan
Instagram menjadi bagian dari strategi untuk meningkatkan visitor website utama
Pinter Politik. Kelima, keesuaian antara target audiens Pinter Politik dengan
medium yang digunakan. Kelima alasan tersebut kemudian peneliti coba
hubungkan dengan pemikiran Marshal McLuhan mengenai ekologi media, yaitu:
“The study of media environments, the idea that technology and
techniques, modes of information and codes of communication play
a leading role in human affairs” (West dan Turner, 2007: 461).

Melalui gagasan tersebut, McLuhan menekankan pada pentingnya


memerhatikan teknologi komunikasi sebagai medium penyampaian informasi
kepada audiens, dimana hal tersebut juga menjadi perhatian utama Pinter Politik
yang direpresentasikan ke dalam lima faktor di atas, dengan memilih dan
memaksimalkan penggunaan Instagram sebagai medium distribusi beritanya.
Kombinasi antara teknik penyebaran berita secara online dengan konten berita
yang dikemas dengan cara-cara inovatif seperti infografis, motion picture,
Instagram Polling, dan Swipe Up tautan berita, lalu disebarkan melalui Instagram
yang populer dan kekinian, dipercaya dapat menjadi kekuatan utama Pinter Politik
mengedukasi target sasarannya, yaitu milenial, menjadi generasi yang kritis dalam
menyikapi berita politik.
Keseluruhan aspek tersebut adalah apa yang dikatakan Wim sebagai
ekosistem media, atau lingkungan media (media ecology) menurut McLuhan,
dimana keseluruhan aspek tersebut saling berhubungan dalam proses
10

penyampaian hingga penerimaan pesan melalui medium yang digunakan, yang


dalam kasus ini adalah media sosial Instagram. Dari kelima alasan tersebut juga,
peneliti kembali pada pemikiran McLuhan dalam studi ekologi media dimana
dirinya menekankan bahwa “the medium is the message”. Pemikiran tersebut
merupakan representasi dari penyataan Wim, Tembangras, Yudhis, dan Resna,
bahwa Pinter Politik bukan media online yang sekedar mengandalkan konten
beritanya saja, melainkan juga memerhatikan media sosial yang digunakan
sebagai medium distribusi berita kepada audiensnya. Informan latar peneliti,
pakar social media strategy Abang Edwin, pun menyatakan kesetujuannya
terhadap pendapat McLuhan tersebut. Baginya, kemunculan dan popularitas
media sosial adalah bukti dari kekuatan medium itu sendiri. Medium baru yang
digunakan oleh Pinter Politik, yaitu Instagram, tidak hanya bertindak sebagai
saluran pembawa pesan melaikan turut mempengaruhi bagaimana audiens
mengonsumsi pesan yang ada di dalamnya, bahkan mampu menjadi pesan itu
sendiri.
Sementara untuk membedah lebih dalam bagaimana Instagram digunakan
oleh Pinter Politik sebagai medium distribusi berita politik, peneliti mencoba
mencocokkan dengan teori Laws of Media milik Marshal dan Eric McLuhan yang
direpresentasikan ke dalam bentuk tetrad. Guna mencocokkan hal tersebut dengan
data yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti membingkai empat hukum dalam
Laws of Media ke ke dalam empat hokum besar, yaitu enhancement, retrieval,
reversal, dan obsolescence.
Termasuk dalam hukum enhancement dalam Laws of Media, penggunaan
Instagram oleh Pinter Politik sebagai medium distribusi berita kepada audiens
menunjukkan bahwa Instagram adalah penguatan dari teknologi sebelumnya yang
sudah ada, yaitu komunikasi dua arah antara media massa dengan audiens yang
terkoneksi melalui internet. Komunikasi dua arah yang dimaksud adalah ketika
Pinter Politik mengunggah infografis ke dalam feed Instagram lalu
memungkinkan audiens, baik itu followers dan non-followers untuk memberi
feedback di kolom komentar mengenai isu yang sedang diangkat. Selain itu,
komunikasi dua arah yang terjadi antara Pinter Politik dengan audiens
11

diimplementasi secara demokratis dengan mengandalkan fitur Instagram yang


bernama Instagram Polling. Diakui Tembangras bahwa penggunann fitur
Instagram Polling merupakan rekomendasi dari followers Instagram mereka, yang
kemudian digunakan oleh Pinter Politik sebagai untuk mencari bahan berita
sekaligus menunjukkan pada audiens bahwa Pinter Politik benar-benar
mendengarkan saran dan feedback yang diberikan audiens.
Hukum retrieval berlaku ketika sebuah medium mampu memulihkan atau
menghidupkan kembali teknologi sebelumnya ke dalam bentuk baru. Dalam
penggunaan Instagram oleh Pinter Politik, hal tersebut ditunjukkan dengan
menautkan tulisan (teks), audio, infografis, dan video dalam unggahan feed
maupun instastory yang merupakan sebuah bentuk dari multimedia. Penggunaan
berbagai jenis media dalam junalisme Pinter Politik selaras dengan salah satu
karakteristik jurnalisme online yang diungkapkan oleh Mark Deuze sebagai
multimediality, yaitu:
“The presentation of a news story package on a website using two or
more media formats, such as (but not limited) spoken and written
word, music, moving and still images, graphic animation, including
interactive hypertextual elements” (Deuze, 2004).
Dalam media baru, konsep multimedia tersebut merupakan gabungan dari
berbagai aspek yang biasanya hanya ditemukan di media cetak (tulisan dan
gambar), televisi (video), atau radio (suara atau audio). Instagram sebagai
medium, sangat memungkinkan penggunaan berbagai bentuk format dengan
mengkolaborasikan berbagai fungsi tersebut berkat fitur-fitur yang dimilikinya.
Contoh, Pinter Politik menggunakan fitur IGTV (Instagram TV) untuk
menempatkan video politik berkonsep ringan yang di didalamnya merupakan
kolaborasi antara gambar bergerak, audio presenter, voice dubbing, teks berita,
backsound, yang keseluruhannya membentuk sebuah forma video yang menarik.
Pada video IGTV yang diunggah Pinter Politik, terdapat fasilitas bawaan
Instagram yang memungkinkan interaksi seperti kolom komentar, save dan share
video, serta skip video.
Masih dalam poin yang sama, Pinter Politik juga menggunakan sistem
hyperlink yang memungkinkan audiens terhubung ke website utama Pinter Politik
12

dalam sekali klik. Link atau tautan tersebut ditunjukkan oleh penggunaan fitur
Swipe Up, dimana Pinter Politik menampilkan judul berita (teks) dan gambar
dalam instastory (video durasi mini) yang dilengkapi dengan ikon Swipe Up
dengan animasi berkedip. Hukum ketiga dalam Laws of Media yaitu
obsolescence, dimana peningkatan guna suatu medium secara bersamaan mampu
mengusangkan teknologi lama yang tidak lagi dikembangkan. Sebelum
berkembangnya jurnalisme online, budaya komunikasi massa terdahulu seperti
media cetak dan televisi hanya bersifat satu arah, dimana komunikator massa
dapat menyampaikan pesan melalui suatu medium namun khalayak yang
menerima tidak dapat memberikan respons atau feedback secara langsung
sehingga media massa dulu sulit menilai bagaimana respon khalayak mengenai
pesannya.
Pinter Politik yang lahir di era online, diakui Wim memang mantap
didirikan menjadi media online tanpa memulai dengan jalur media cetak
sebagaimana yang umum terjadi. Komunikasi satu arah menjadi benar-benar
ditinggalkan, karena Instagram sebagai medium sangat memungkinkan terjadinya
interaksi dua arah antara Pinter Politik dengan audiensnya. Selain itu, masih
dalam hukum obsolescence, Pinter Politik juga meninggalkan budaya printed
paper, seperti koran dan majalah yang berjaya sebelum jurnalisme online
berkembang seignifikan seperti saat ini. Distribusi berita dalam bentuk printed
paper nampak tidak begitu dikembangkan, mengingat terbatasnya ruang informasi
dan biaya cetaknya yang terbilang mahal. Dengan menggunakan Instagram, Pinter
Politik mampu menyampaikan informasi kepada audiens tanpa harus memikirkan
terbatasnya bidang ruang yang memuatnya, karena informasi yang dimuat secara
online bersifat tidak berbatas.
Hukum keempat dalam Laws of Media yaitu reversal, suatu keadaan bila
penggunaan sebuah medium didorong pada batas maksimal penggunaannya
sehingga mampu memutarbalikkan fungsi aslinya yang berbeda dari tujuan awal.
Penggunaan Instagram yang dimaksimalkan sebagai medium distribusi berita oleh
Pinter Politik tidak dapat membendung terjadinya perdebatan (comment war)
antarnetizen di kolom komentar. Perdebatan tersebut membuat Pinter Politik
13

mendapatkan report dari Instagram, sehingga mengharuskan Instagram untuk


melakukan take down (penghapusan) terhadap konten infografis Pinter Politik
yang mendapatkan report tersebut. Adanya comment war dan report tersebut
merupakan bentuk dari hukum reversal, yaitu keadaan dimana sebuah medium
justru mampu memutarbalikkan keadaan dari tujuan yang semula. Ketika sebuah
medium seharusnya menjalankan fungsinya, yaitu Instagram sebagai medium
distribusi berita namun justru menjadi arena perang komentar yang berujung pada
report dan take down konten yang diunggah.
Keseluruhan aspek penggunaan tersebut tentunya melalui serangkaian
proses kerja yang berputar. Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, peneliti
mencoba menjabarkan keseluruhan alur kerja Pinter Politik dalam menggunakan
Instagram berdasarkan prinsip dasar manajemen milik George R. Terry, yang
dijabarkan ke dalam bentuk diagram, yaitu:
a. Planning (Perencanaan)
Pertimbangan untuk menempatkan Instagram sebagai salah satu medium
distribusi berita adalah berdasaran riset dari Wim juga jajaran redaksi di
bawahnya seperti Yudhis, Resna, dan Tembangras mengenai teknologi
komunikasi apa yang interaktif sekaligus banyak digunakan oleh masyarakat
Indonesia, khususnya milenial. Berangkat dari riset tersebut, tim memutuskan
menggunakan Instagram tanpa melaluinya dengan rapat redaksi yang rutin
mereka laksanakan sebelum mulai bekerja. Sementara itu, tahapan awal dari
proses kerja mereka dimulai dengan rapat redaksi, yang umumnya dihadiri oleh
pemimpin redaksi Wim Tangkilisan, sekretaris redaksi, redaktur supervisor,
dengan tim redaksi di bawahnya. Rapat redaksi merupakan wahana awal bagi
Pinter Politik untuk membahas rencana penulisan berita pada hari itu, dengan
mengajukan ide tulisan dari masing-masing penulis untuk kemudian
didiskusikan dan diberi masukan bersama. Isu politik yang biasa diajukan
biasanya seputar isu politik viral dan sedang ramai diperbincangkan
masyarakat.
Selain itu, ide tulisan juga bisa dengan mempertimbangkan bagaimana
kecenderungan audiens dalam mengonsumsi berita, tentang bagaimana sebuah
14

tulisan yang tepat dan enak dibaca. Dalam rapat redaksi, penulis yang
mengajukan tema kemudian menjelaskan alasan dibalik pengajuan tema
tersebut, mengapa penting untuk diangkat oleh Pinter Politik. Contoh, ide
penulisan mengenai politik identitas yang banyak muncul menjelang pemilihan
presiden 2019 merupakan salah satu berita yang paling banyak mendapatkan
porsi, baik untuk berita indepth, infografis, instastory, melalui Instagram
Polling, dan IgTV.
b. Organizing (Pengorganisasian)
Wim Tangkilisan, yang bertindak sebagai CEO sekaligus pemimpin
redaksi Pinter Politik berperan sebagai pihak yang berwenang dalam mengatur
manajemen, termasuk pembagian kerja dari sumber daya yang bergerak di
bawahnya. Pembagian kerja sesuai porsinya masing-masing merupakan tahap
kedua dalam prinsip dasar manajemen menurut Terry yaitu organizing.
Organizing menurut Terry adalah menglompokkan dan menetukan berbagai
kegiatan penting dan memberikan kekuasaan untuk melaksanakan kegiatan-
kegiatan tersebut. Pada tahap ini, setiap pekerjaan ditetapkan secara matang
dan teliti, kemudian didelegasikan menjadi tugas masing-masing orang yang
berada dalam jajaran redaksi. Pinter Politik melakukan pembagain kerja ini
berdasarkan kapabilitas masing-masing orang dalam redaksi. Dalam penelitian
ini, tim yang menangani penulisan berita adalah tim penulis atau reporter, tim
yang merancang ide dan desain visual untuk infografis, video, dan multimedia
adala tim visual grafis, sedangkan tim yang melakukan teknis penggunaan
Instagram adalah tim sosial media dan marketing.
Pada tahap organizing ini, pekerjaan, pertanggungjawaban, dan luas
kewenangan ditentukan. Misalnya, ide atau tema penulisan tidak akan bisa
diangkat ke dalam Instagram tanpa melalui pesetujuan dari redaktur dan
pemimpin redaksi. Juga tim sosial media dan marketing, yang mendapatkan
kuasa sebagai administrator Instagram Pinter Politik, memiliki kuasa penuh
dalam menggunakan Instagram sebagai medium mereka dalam distribusi berita
kepada audiens, berikut eksplorasi fitur-fitur yang dimiliki Instagram untuk
menyasar target mereka, yaitu milenial. Tahap organizing ini juga menjadi
15

menjadi tahap yang menunjukkan bahwa tim redaksi dipersilahkan untuk


mengajukan saran dan rekomendasi yang berkaitan dengan penulisan dan
pngemasan berita. Dalam penelitian ini, contohnya adalah Instagram Coretan
Politik yang merupakan rekomendasi dari tim visual grafis, yang menyebutkan
bahwa konten-konten dalam kemasan komik sangat digilai oleh kalangan muda
sehingga kemasan berita politik menjadi semakin kreatif dan tidak monoton.
c. Actuating (Pelaksanaan)
Keterkaitan kerja tim satu dengan yang lainnya kemudian peneliti
jelaskan dalam tahap ketiga dalam prinsip manajemen menurut Terry, yaiu
actuating. Penggunaan Instagram oleh Pinter Politik telah menggeser budaya
komunikasi satu arah yang selama ini terjadi antara media massa dengan
audiensnya. Penggunaan Instagram oleh Pinter Politik pada tahap actuating
meliputi dua hal, yaitu proses penyususan pesan dan proses penyampaian
pesan. Penyusunan pesan merupakan proses dimana tim penulis mengeksekusi
tema tulisan sesuai dengan apa yang disampaikan dalam rapat redaksi pada
tahap perencanan. Dalam penelitin ini, konten yang diproduksi oleh Pinter
Politik melalui Instagram adalah infografis, videografis, video berita dalam
IgTV, Instagram Polling, dan Swipe Up story. Tim penulis akan mulai
menuliskan dengan mengandalkan kerangka pemikiran serta materi dan bahan
penulisan yang didapatkan melalui proses riset sebelumnya, kemudian
diserahkan kepada tim visual grafis untuk dieksekusi secara visual maupun
audio visual.
Setelah proses penyusunan pesan selesai, yang meliputi penulisan berita,
perancangan infografis, dan pembuatan video untuk IGTV, alur kerja tahap
actuating dilanjutkan dengan proses penyampaian pesan. Pada proses ini, tim
yang bekerja untuk mengatur, mendistribusikan, sekaligus mengeksplor fitur-
fitur Instagram sebagai medium distribusi adalah tim sosial media dan
marketing. Distribusi berita Pinter Politik yang utama mengandalkan hyperlink,
yang ditautkan dalam halaman muka (bio/profile) Instagram Pinter Politik dan
pada fitur Swipe Up story yang mampu mengarahkan audiens ke halaman
webiste Pinter Politik di Pinter Politik.com.
16

d. Controlling (Pengawasan)
Pada tahap actuating sebelumnya telah dijelaskan mengenai proses
penyusunan dan penyampaian berita oleh Pinter Politik menggunakan
Instagram, dimana beberapa fitur yang digunakan mampu mendatangkan
feedback yang tinggi dari audiens, sebagai bentuk respons akan konten berita
yang diunggah oleh Pinter Politik. Feedback audiens melalui Instagram
tersebut kemudian dibawa oleh Pinter Politik ke dalam tahap keempat dalam
prinsip dasar manejemn George R. Terry, yaitu controlling. Tahapan ini
mencakup kegiatan penetapan ukuran, monitor hasil dengan ukuran,
memperbaiki penyimpangan, dan menyesuaikan dengan cara peangawasan
sebelumnya. Tahap pengawasan ini kembali pada rapat redaksi yang
mempertemukan pemimpin redaksi, sekretaris redaksi, dan redaktur dengan
jajaran tim redaksi di bawahnya, untuk mengetahui perkembangan kerja
mereka sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dan evaluasi.
Salah satu bentuk evaluasi adalah dengan menghitung jumlah klik dan
visit pada website utama Pinter Politik yang ditautkan melalui hyperlink pada
halaman muka dan fitur Swipe Up seperti yang dipaparkan sebelumnya. Diakui
oleh Wim, bahwa jumlah klik dan visit pada website Pinter Politik traffic nya
belum sebanyak interaksi yang terjadi dengan audiens di Instagram. Dalam
artian, Instagram memang lebih populer dan lebih tinggi followers bila
dibandingkan dengan website utamanya sendiri. Namun, hal tersebut dinilai
Wim sebagai hal yang biasa, dan tidak mempengaruhi proses kerja dari Pinter
Politik sendiri mengingat perhatian utama Pinter Politik bukanlah pada satu
medium saja, melainkan seluruh medium yang digunakan sehingga mampu
mencapai hasil yang saling berkesinambungan.
Bahan masukan dan evaluasi Pinter Politik sering ditemui dari feedback
yang diberikan audiens pada kolom komentar, direct message, dan vote pada
Instagram Polling. Bentuk evaluasi lainnya yang dilakukan tim adalah dengan
memindai rekomendasi yang diberikan oleh audiens kepada Pinter Politik.
Seperti diakui Tembangras bahwa Instagram mampu meningkatkan interaksi
antara media dengan audiens, dan memang hal tersebut lah yang terjadi. Salah
17

satu rekomendasi dari audiens adalah penggunaan fitur Instagram Polling,


sebelum Pinter Politik rutin melakukan polling sekali dalam satu minggu.
Rekomendasi tersebut dibawa ke dalam rapat redaksi dan didiskusikan
bersama, sehingga sampai pada keputusan digunakannya Instagram Polling
untuk menimbun respons audiens mengenai suatu isu politik, sekaligus
menunjukkan bahwa Pinter Politik memang benar-benar mendengarkan dan
mempertimbangkan masukan atau rekomendasi yang diberikan audiens
mereka.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, pengelolaan Instagram sebagai medium


distribusi berita oleh Pinter Politik dapat dijelaskan ke dalam empat hukum, yaitu
enhacement, retrieval, obsolescence, dan reversal. Dalam hukum enhacement,
penggunaan Instagram memperkuat komunikasi dua arah antara Pinter Politik
dengan audiens. Ditunjukkan dengan comment, likes, direct message, dan vote
pada Instagram Polling. Dalam hukum retrieval, penggunaan Instagram sebagai
medium distribusi mampu menghidupkan kembali unsur-unsur media tradisional
seperti teks, gambar, suara, dan video ke dalam bentuk baru yang disebut dengan
multimedia. Hukum reversal ditunjukkan dengan adanya comment war dan report
sebagai konsekuensi dari penggunaan Instagram dalam batas maksimal.
Sementara hukum obsolescence dalam penggunaan Instagram ditunjukkan dengan
ditinggalkannya budaya komunikasi massa yang dianggap telah usang dan tidak
lagi dikembagkan, yaitu komunikasi satu arah dan printed media.
Alur kerja Pinter Politik dalam menggunakan Instagram merupakan
serangkaian proses yang terus berputar. Berdasarkan prinsip manajemen dasar
George R. Terry, alur tersebut terbagi ke dalam empat tahapan utama, yaitu
planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan),
dan controlling (pengawasan). Tahap planning diawali dengan rapat redaksi,
dimana reporter mengajukan ide tulisan untuk didiskusikan bersama dan
mendapat persetujuan eksekusi ide oleh pemimpin redaksi. Kemudian dilanjutkan
ke tahap organizing, atau tahap pembagian kerja berdasarkan fungsi dalam
18

redaksi. Tahapan ini menugaskan tim reporter sebagai penulis berita, tim visual
grafis sebagai eksekutor infografis, video, dan multimedia, sedangkan tim sosial
media dan marketing sebagai administrator Instagram. Tahapan selajutnya adalah
actuating, yang terbagi ke dalam dua pelaksaan besar yaitu penyusunan pesan dan
penyampaian pesan. Penyusunan pesan berupa penulisan berita, perancangan
infografis, dan pembuatan video IGTV. Sementara penyampaian pesan dilakukan
oleh administrator Instagram dengan penggunaan hyperlink pada halaman muka
Instagram dan Swipe Up story, serta melakukan Instagram Polling dalam satu
minggu sekali. Tahapan controlling dalam penggunaan Instagram oleh Pinter
Politik dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi feedback audiens dan penanganan.
Evaluasi feedback dilakukan dengan mempertimbangkanmmasukan ide tulisan,
rekomendasi eksplorasi fitur, dan koreksi data. Melanjutkan evaluasi tersebut
adalah penanganan, yang ditunjukkan dengan menerbitkan berita dari polling
terbanyak, melakukan instapolling secara rutin, dan merevisi data pada konten
yang dikoreksi oleh audiens.
19

Daftar Pustaka
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2017). Survei Penetrasi dan
Perilaku Pengguna Internet APJII 2017. https://www.apjii.or.id/survei. 1
Februari 2017. Diakses tanggal 8 Oktober 2018 pukul 20.12.
Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Deuze, M. (2004). What is Multimedia Jurnalism. International Journal of
Journalism Studies Volume 5 Number 2. Amsterdam: Routledge Taylor and
Francis Ltd.
Idrus, M. (2009). Metode penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: PT. Gelora Akasara
Pratama.
Hasibuan, M. S. P. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Moleong, L. J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
McLuhan, M. (2002). Understanding Media: The Extension of Man. United
Kingdom: Routledge.
Nasrullah, Rulli. (2014). Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia). Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Nurudin. (2009). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKis Pelangi
Aksara.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
West, Richard. Lynn H. Turner. (2007). Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta.
Salemba Humanika.
Vivian, J. (2015). Teori Komunikasi Massa Edisi Kedelapan. Jakarta:
Prenadamedia Group.

You might also like