You are on page 1of 10

NILAI SOSIAL TRADISI IJAMBE DALAM AGAMA HINDU

KAHARINGAN DI ETNIK DAYAK MAANYAN

Siti Nurhaliza, Suswandari1


Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Email: nrhlzaica13@gmail.com, suswandari66@gmail.com

Abstract
Talking about various ethnicities in Indonesia will certainly be endless, considering that in
Indonesia itself there are hundreds or even thousands of ethnicities scattered throughout, including
Kalimantan. One of the largest islands in Indonesia is home to the Dayak ethnic community.
Dayak ethnicity itself consists not only of one ethnicity but also has many small sub-ethnic groups
that number in the hundreds. With the number of these sub-ethnicities, it is not surprising that some
dayak ethnic communities still exist by carrying out ancestral traditions that have become local
wisdom there, one of them is the Ijambe tradition carried out by the Maanyan Dayak ethnic
community who are Hindu Kaharingan. This Ijambe tradition besides having the value of local
wisdom also has social value, it is proven that by holding this tradition, the relationship between
the people of the Maanyan Dayak ethnic group is getting closer because this ceremony involves many
parties to carry it out. Using the method of literature studies, researchers want to discuss what social
values are contained in the traditional ceremony of Ijambe's death carried out by the ethnic Dayak
Maanyan community who are Hindu Kaharingan.

Keywords: Maanyan Dayak Ethnic, Social Value, Ijambe Ceremony

Abstrak
Berbicara tentang berbagai etnik di Indonesia tentulah tak akan ada habisnya,
mengingat bahwa di Indonesia sendiri ada ratusan bahkan ribuan etnik yang tersebar
diseluruh penjuru, termasuk wilayah Kalimantan. Salah satu pulau terbesar di Indonesia
ini merupakan rumah bagi masyarakat etnik Dayak. Etnik Dayak sendiri tak hanya terdiri
dari satu etnik tetapi juga memiliki banyak sub etnik kecil yang jumlahnya ada ratusan.
Dengan banyaknya sub etnik ini, tidak heran jika sebagian masyarakat etnik Dayak masih
ada yang hidup dengan menjalankan tradisi leluhur yang sudah menjadi kearifan lokal
disana salah satunya adalah tradisi Ijambe yang dilakukan oleh masyarakat etnik Dayak
Maanyan yang beragama Hindu Kaharingan. Tradisi Ijambe ini selain memiliki nilai
kearifan lokal juga memiliki nilai sosial, terbukti bahwa dengan mengadakan tradisi ini,

1
Prof. Dr. Suswandari, M. Pd. Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA)
Jakarta. Mengajar di Prodi Pendidikan Sejarah, PGSD dan Magister Pendidikan IPS. Saat ini menjadi Ketua
Lembaga Penelitian dan Pengembangan UHAMKA.
hubungan antar masyarakat di etnik Dayak Maanyan jadi semakin erat karena upacara
ini melibatkan banyak sekali pihak untuk melaksanakannya. Dengan menggunakan
metode studi literatur, peneliti ingin membahas tentang apa nilai sosial yang terkandung
pada upacara adat kematian Ijambe yang dilakukan oleh masyarakat etnik Dayak
Maanyan yang beragama Hindu Kaharingan.
Kata Kunci: Etnik Dayak Maanyan, Nilai Sosial, Upacara Ijambe

Pendahuluan
Indonesia memiliki keragaman suku yang luar biasa, dari Sabang sampai
Merauke, masyarakat Indonesia hidup dalam berbagai perbedaan, baik itu perbedaan
bentuk fisik, perbedaan etnik, perbedaan agama, dan masih banyak lagi. Dengan banyak
perbedaan itu Indonesia masih bisa menjadi Indonesia yang saat ini, hal ini tentu saja
karena masyarakat bisa saling toleransi dan menghargai antar sesama, sehingga
perbedaan itu tidak menjadi masalah dalam kehidupan sosial mereka. Memang
terkadang masih ada konflik yang terjadi karena masalah perbedaan etnis, tetapi
permasalahan itu tidak menjadikan Indonesia terbelah.
Suku Dayak merupakan satu dari sekian banyaknya etnik yang ada di Indonesia.
Suku ini menempati wilayah Kalimantan. Etnik Dayak sendiri masih terbagi lagi menjadi
banyak bagian, sesuai dengan wilayah tinggalnya. Menurut J.U Lontaan (1974), Etnik
Dayak terbagi menjadi 6 etnik besar dan 405 sub etnik kecil yang menyebar di seluruh
wilayah Kalimantan, terutama pedalamannya. 2 Kita semua tahu bahwa etnik etnik yang
mayoritas penduduknya masih hidup di pedalaman pasti hampir seluruh aspek
kehidupannya dipengaruhi oleh tradisi leluhur yang tradisional dan kuno, termasuk
dalam beragama dan menjalankan upacaranya. Salah satu contohnya adalah dalam Etnik
Dayak Maanyan di daerah Kalimantan Tengah, sebagian masyarakatnya masih menganut
agama agama tradisional yang dipengaruhi oleh tradisi leluhur yang terus mereka
lestarikan, seperti upacara kematian khas Etnik Dayak Maanyan yaitu Ijambe, mereka
percaya bahwa orang yang telah meninggal arwahnya akan pergi menuju
Sangiyang/Surga sehingga jika upacara Ijambe tidak dilaksanakan, maka arwah tidak
akan bisa pergi ke tempat tersebut, dengan kata lain, akan menjadi arwah gentayangan.
Upacara Ijambe ini merupakan upacara kematian dari salah satu agama tradisional

2 Hamid Darmadi, “Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo”, Jurnal Sosial Horizon, Vol. 3 No. 2,
(2016), 323.
disana yaitu Hindu Kaharingan, walaupun ini disebut sebagai upacara agama, tetapi
pelaksanaannya sendiri dipenuhi dengan tradisi kha etnik Dayak Maanyan sendiri seperti
mantra yang mereka gunakan untuk memulai ritual, mereka menggunakan hiyang wadian
atau sastra klasik Dayak yang dibacakan dengan Bahasa pangunraun atau bahasa khas
Dayak. Tradisi tradisi seperti ini pada akhirnya menjadi sebuah kearifan lokal yang ada
di etnik Dayak Maanyan. Kearifan lokal sendiri merupakan bagian dari budaya suatu
masyarakat yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat itu sendiri, biasanya kearifan lokal
diwariskan dengan cara turun temurun antargenerasi yang dapat berupa cerita rakyat,
peribahasa, lagu, dan permainan rakyat. Hiyang wadian yang merupakan sastra klasik juga
bisa dimasukkan kedalam kearifan lokal Dayak Maanyan.
Ternyata selain untuk melengkapi tradisi adat, Upacara Ijambe ini juga memiliki
nilai sosial didalamnya. Seperti yang kita ketahui bahwa masyarakat yang tinggal di
pelosok dan masih berpegang teguh pada ajaran adat memiliki rasa kekeluargaan yang
erat dan dekat sehingga jika ada satu keluarga yang hendak mengadakan Upacara Ijambe,
maka para tetangga dan warga akan ikut membantu, sehingga kehidupan dalam
bermasyarakat di komunitas Etnik Dayak Maanyan berjalan dengan harmonis, inilah
nilai sosial yang ada dalam tradisi adat tersebut. Di abad Society 5.0 ini, tradisi dan
kearifan budaya lokal yang masih ada dan berlaku di masyarakat juga bisa menjadi
penyeimbang masyarakat 5.0 untuk tetap hidup rukun dan damai dengan sesama.3
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin menjabarkan mengenai agama tradisional
yang masih dianut oleh masyarakat pedalaman etnik Dayak Maanyan dan juga nilai sosial
yang terkandung dalam tradisi Ijambe yang merupakan upacara kematian untuk
mengantar arwah ke surga. Berdasarkan penelusuran peneliti, sudah ada beberapa
penelitian serupa yang membahas tentang etnik Dayak Maanyan dan agama
tradisionalnya, contohnya artikel yang ditulis oleh Dwiani Septiana yang berjudul
“Hiyangan Wadian dalam Upacara Ijambe pada Masyarakat Dayak Maanyan” yang dimuat
dalam Jurnal Mabasan Vol. 10 No. 2 Tahun 2016.
Penelitian ini diawali dengan mengupas aspek kebahasaan yang digunakan
masyarakat Dayak Maanyan dalam menjalani upacara kematian Ijambe, disini dituliskan
juga bahwa bahasa dan budaya yang digunakan merupakan cerminan kehidupan yang

3Suswandari, “Ekstrapolasi Paradigma Pendidikan dan Kearifan Kebudayaan Lokal dalam Menyambut Society 5.0”,
Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 3, 2019, 42
ada di tempat tersebut, yaitu tempat tinggal masyarakat Dayak Maanyan. Disini juga
dituliskan bagaimana pentingnya upacara Ijambe untuk mengantar arwah orang yang
telah meninggal ke Surga, khususnya pada pembacaan mantra ritual nya yaitu hiyangan
wadian dan apa arti syair dari mantra tersebut.4
Penelitian selanjutnya yaitu penelitian yang ditulis oleh Josef Dudi dengan judul
“Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Agama Lokal Kaharingan pada
Etnis Dayak” yang dimuat dalam MEDIOSAN: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi
Negara Vol. 2 No. 2 Tahun 2019. Penelitian ini menjelaskan tentang apa saja faktor yang
bisa mendukung dan menghambat perkembangan agama Hindu Kaharingan pada Etnis
Dayak di wilayah Kalimantan Tengah ditengah tengah perkembangan agama agama
lainnya yang sudah diresmikan oleh negara seperti Islam, Kristen, dan Katholik, apakah
pluralitas bisa dihadirkan ditengah masyarakat yang kini agama nya sudah beragam. 5
Peneliti menggunakan metode penelitian studi literatur atau studi kepustakaan,
yaitu sebuah metode pengumpulan data pustaka, membaca & mencatat, serta mengolah
bahan penelitian. Sumber yang dipakai pun tidak bisa sembarangan, karena itu penulis
menggunakan beberapa sumber literatur yang terpercaya seperti jurnal jurnal yang sudah
terakreditasi juga beberapa e-book. Menurut Creswell, John. W. (2014: 40) kajian literatur
adalah ringkasan tertulis mengenai artikel dari jurnal, buku, dan dokumen lain yang
mendeskripsikan teori serta informasi baik masa lalu maupun saat ini dan
mengorganisasikan pustaka kedalam topik dan dokumen yang dibutuhkan. 6 Selain
menggunakan studi literatur, penulis juga menggunakan metode kualitatif deskriptif
yaitu metode mengumpulkan data lalu menyusun keseluruhan hipotesis dan hasilnya
dalam bentuk deskripsi/narasi penjelasan secara runtut dan jelas.
Agama Hindu Kaharingan
Agama merupakan sebuah kepercayaan yang dianut oleh seseorang selama
hidupnya, menurut Durkheim agama merupakan suatu system kepercayaan dan praktik
yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal hal yang kudus, kepercayaan
kepercayaan dan praktik praktik yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang

4 Dwiani Septiana, “Hiyangan Wadian dalam Upacara Ijambe pada Masyarakat Dayak Maanyan”, Jurnal
Mabasan, Vol. 10 No. 2. (2016)
5 Josef Dudi. “Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Agama Lokal Kaharongan pada Etnis Dayak”.

Jurnal Mediasosian: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Administrasi, Vol. 2 No. 2, (2019)
6 Bakhrudin All Habsy, “Seni Memehami Penelitian Kualitatif Dalam Bimbingan Dan Konseling: Studi Literatur”,

Jurnal Konseling Andi Matappa. Vol.1 No. 2. Agustus 2017. 92


tunggal.7 Agama merupakan hal yang berkaitan dengan erat dengan kehidupan manusia
sehingga agama juga mencerminkan perkembangan pada masyarakat. Di Indonesia
sendiri, sudah ada 6 agama yang diakui oleh negara, terdiri dari Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, Buddha, dan juga Kong-huchu, tetapi masih banyak juga masyarakat yang
menganut agama tradisional yang berasal dari nenek moyang, termasuk etnik Dayak.
Sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat etnik Dayak secara umum
termasuk etnik Dayak Maanyan ada bermacam macam yaitu Islam, Kristen, Katholik,
dan juga ada satu agama pribumi yaitu Kaharingan atau Hindu Kaharingan. Agama
Kaharingan merupakan kepercayaan tradisional yang masih dianut oleh Sebagian
masyarakat etnik Dayak Maanyan, secara etimologi, ‘kaharingan’ memiliki arti tumbuh
dan hidup, yang bermaksud bahwa agama Kaharingan merupakan sebuah kepercayaan
yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh seluruh masyarakat
Dayak. Istilah Kaharingan sendiri mulai digunakan setelah Perang Dunia II, yang dimulai
ketika masyarakat memiliki kesadaran untuk kmbali pada kebudayaan mereka sendiri.
Hindu Kaharingan sendiri telah ada sejak zaman nenek moyang yang awalnya
disebut sebagai Agama Helu. Di wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah,
Hindu Kaharingan ini dijadikan sebuah tradisi dan ritual adat yang dilakukan turun
temurun sehingga menjadi sebuah kearifan lokal yang menghasilkan keharmonisan
dalam masyarakat disana. Sama seperti etnik Dayak yang memiliki banyak sub etnik dan
segala macamnya, agama Hindu juga ada banyak jenisnya selain Hindu Kaharingan,
seperti Hindu Hualulu, Hindu Naulu, Hindu Tolotang, dan lain sebagainya. Agama
agama ini termasuk Hindu tradisional karena tradisinya berbeda dari Hindu yang asli
pada umumnya, agama agama tradisional ini banyak melakukan ritual yang bersifat
sangat tradisional dan kesukuan, sehingga agama agama ini disebut sebagai agama
tradisional.8
Tradisi Ijambe
Karena masih dipengaruhi oleh tradisi leluhur, maka upacara kematianpun akan
mereka lakukan dengan menggunakan upacara adat kuno yang bernama Ijambe (dibaca
Ijamme). Ijambe merupakan upacara adat kematian di etnik Dayak Maanyan yang
ditandai dengan membakar tulang orang yang sudah meninggal. Upacara pembakaran

7Dudi. Op.Cit. Faktor Pendukung dan Penghambat Perkembangan Agama Lokal Kaharongan pada Etnis Dayak. 16
8Wakhid Sugiyarto, “Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah”, Jurnal
Harmoni, Vol. 15 No. 3, (2016), 103
tulang ini dilakukan karena masyarakat etnik Dayak Maanyan percaya bahwa jika upacara
ini tidak dilakukan maka arwah orang yang sudah meninggal ini tidak akan bisa
mencapai alam sarugaan atau surga. 9
Pelaksanaan Upacara Ijambe ini memakan waktu sekitar 10 hari karena rangkaian
acaranya yang lumayan panjang, dan di setiap harinya dilakukan kegiatan yang berbeda
beda dengan melinatkan seluruh warga desa. Tetapi karena menguras biaya yang sangat
besar, Upacara Ijambe saat ini dilakukan dengan lebih sederhana dan biasanya dilakukan
di balai pusat desa, sehingga masyarakat bisa tetap melakukan Upacara Ijambe walaupun
tidak memiliki biaya yang banyak. Di hari pertama, para pengurus yang biasa disebut
dengan wadian bertugas untuk membangunkan dan mengantar roh dengan hiyangan
(nyanyian mantra) di malam hari dan dilakukan sampai pagi hari. Hari kedua disebut
nuah pikajang yang berarti membongkar bangunan yang terbuat dari kajang (), kegiatan
di hari kedua hanya membongkar saja sehingga bisa disebut dengan hari istirahat.
Hari ketiga disebut niit uei atau meraut rotan, dimana para pria ditugaskan untuk
mencari rotan untuk diraut, setelah itu mereka juga akan membunuh ayam untuk
digunakan darahnya sebagai pembersih tempat untuk mendirikan pembakaran yang
dinamakan papuyan. Selanjutnya di hari keempat yang dinamakan narajak atau
mendirikan tiang, di hari keempat ini, para pria akan memburu babi dan darahnya
dipakai untuk membersihkan tempat pembakaran. Disini mereka juga akan bekerja di
papuyan untuk menyiapkan tempat. Hari kelima yang kita sebut dengan mua rare atau
membuahi anyaman hanya melanjutkan kegiatan di hari sebelumnya yaitu menganyam
bambu untuk dinding papuyan, karena tempat pembakaran nya dibuat cukup besar maka
tidak cukup sehari untuk menganyamnya.
Hari keenam disebut nahu yang berarti menjadikan terbakar, kegiatan yang
dilakukan di hari keenam ini adalah membakar bilah bilah bambu untuk persiapan
pembakaran menggunakan rotan yang sudah para pemuda siapkan di hari ketiga
sebelumnya. Hari ketujuh dinamakan nyurat, kegiatan yang dilakukan adalah melukis
papan untuk menutup tempat pembakaran, kegiatan melukis ini dilakukan oleh
masyarakat dari berbagai kampung terdekat sehingga suasana akan sangat ramai.
Selanjutnya hari kedelapan dinamakan nansaran atau membuat beranda, yaitu

9 Septiana. Op. Cit. Hiyangan Wadian dalam Upacara Ijambe pada Masyarakat Dayak Maanyan. 89-90
pembuatan beranda untuk meletakkan peti berisi tulang di depan tungku pembakaran,
dilanjut ke hari kesembilan yaitu nampatei atau membunuh kerbau untuk persembahan.
Di hari terakhir atau kesepuluh yang dinamakan mapui barulah upacara pembakaran
tulang dilakukan, setelah semua pembangunan beranda pembakaran, dan pembunuhan
hewan hewan sesembahan dilaksanakan, upacara pembakaran tulang ini juga diiringi
dengan hiyangan wadian atau nyanyian nyanyian mantra.
Jalannya Upacara Ijambe memang lumayan panjang, karena serangkaian
kegiatannya dilakukan tidak dalam satu hari yang sama. Tetapi kebanyakan Upacara
Ijambe yang dilakukan saat ini jauh lebih singkat dari yang biasanya, hal ini dikarenakan
untuk mengadakan upacara sebesar itu, dibutuhkan biaya yang sangat besar, tidak semua
masyarakat Dayak Maanyan mampu untuk mengeluarkan biaya sebesar itu untuk
upacara kematian, sehingga kebanyakan untuk saat ini, Upacara Ijambe dilakukan dalam
satu hari dan lokasinya di balai desa supaya masyarakat desa bisa ikut berpartisipasi.
Nilai Sosial Tradisi Ijambe
Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh
masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa saja yang benar dan apa saja
yang penting. 10 Nilai sosial digunakan untuk mengedalikan beragam kemauan
masyarakat dalam suatu kelompok yang selalu berubah setiap waktu, nantinya nilai nilai
ini akan dianut oleh masyarakat menggunakan norma sosial sehingga bisa mencapai nilai
sosial tertentu. Salah satu ciri dari nilai sosial adalah ditransformasikan melalui suatu
proses belajar dalam sosialisasi, enkulturasi, dan difusi. Enkulturasi adalah suatu proses
dimana individu belajar dan menyesuaikan pikiran dan sikapnya dengan adat istiadat,
system norma, dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Nilai sosial sendiri juga
memiliki ciri yaitu bisa memberikan dampak pada tindakan manusia, dan juga bisa
memengaruhi keppribadian seseorang sebagai anggota suatu kelompok masyarakat.
Tradisi Ijambe di Etnik Dayak Maanyan tentu memiliki nilai sosialnya tersendiri,
serangkaian kegiatan yang dilakukan selama prosesi Upacara Ijambe yang membutuhkan
banyak sekali tenaga dan partisipasi masyarakat, hal ini membuat masyarakat bergotong
royong untuk membantu pemilik hajat untuk menyiapkan segala sesuatu yang
dibutuhkan. Dari hal ini nilai sosial yang didapat adalah mengutamakan kepentingan

10Yusida Gloriani, “Kajian Nilai-nilai Sosial dan Budaya Pada Kakawihan Kaulinan Barudak Lembur serta
Implementasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Multikultural”, Jurnal LOKABASA, Vol.
4 No. 2, (2013), 200
bersama diatas kepentingan pribadi dan menjadi lebih peka terhadap keadaan sosial
disekitar. Selain itu, jika seluruh masyarakat ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan
Upacara Ijambe juga berarti interaksi sosial dalam masyarakat Dayak Maanyan berjalan
dengan baik.
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis dan memiliki timbal
balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok
dengan kelompok.11 Sebagai makhluk sosial, tentu manusia tidak bisa hidup sendiri,
mereka membutuhkan orang lain dalam setiap kegiatannya, sehingga interaksi pun
dilakukan. Dalam Upacara Ijambe, seluruh masyarakat masuk menjadi partisipan dalam
setiap prosesnya sehingga interaksi sosial dalam komunitas ini berjalan dengan baik,
hubungan antar masyarakatnya menjadi harmonis dan erat karena mereka bahu
membahu saling membantu dalam pelaksanaannya, sehingga kehidupan bermasyarakat
disana jadi baik dan harmonis.
Kesimpulan
Agama Hindu Kaharingan merupakan kepercayaan tradisional yang masih
dianut oleh Sebagian masyarakat etnik Dayak Maanyan dan termasuk dalam agama
tradisional yang tidak diakui negara tetapi masih dipercaya oleh masyarakat pedalaman.
Dalam agama tradisional ini juga masih banyak dilakukan ritual ritual tradisional, salah
satunya adalah Upacara Ijambe. Upacara Ijambe merupakan upacara keagamaan Hindu
Kaharingan yang kegiatannya adalah membakar tulang anggota keluarga yang sudah
meninggal, mereka percaya jika mereka tidak melakukan ritual tersebut, maka arwah
keluarga mereka tidak bisa pergi ke surga.
Prosesi Upacara Ijambe ini memakan waktu yang cukup lama, 10 hari dan di
setiap harinya dilakukan berbagai kegiatan yang berbeda, acara puncaknya dilakukan di
hari terakhir yanitu saat tulang tulang milik anggota keluarga yang sudah meninggal akan
dibakar. Selain memakan waktu, upacara ini juga membutuhkan banyak sekali tenaga,
sehingga jika ada yang mengadakan Upacara Ijambe, maka masyarakat disana akan ikut
berpartisipasi untuk membantu. Serangkaian kegiatan yang dilakukan selama prosesi
Upacara Ijambe yang membutuhkan banyak sekali tenaga dan partisipasi masyarakat, hal
ini membuat masyarakat bergotong royong untuk membantu pemilik hajat untuk

11Asrul Muslim, “Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1 No. 3, (2013),
485
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, sehingga interaksi sosial dalam komunitas
ini berjalan dengan baik, hubungan antar masyarakatnya menjadi harmonis dan erat.
Daftar Pustaka
Darmadi, H. (2016). Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo. Sosial Horizon,
3(2), 322–340.
Dewi, M. D. (2018). Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut Para
Penulis Indonesia (1990-2013).
Dudi, J. (2019). Faktor Pendukung Dan Penghambat Perkembangan Agama Lokal
Kaharingan Pada Etnis Dayak. Jurnal Mediasosian : Jurnal Ilmu Sosial Dan Administrasi
Negara, 2(2), 15–24. https://doi.org/10.30737/mediasosian.v2i2.211
GLORIANI, Y. (2013). Kajian Nilai-Nilai Sosial Dan Budaya Pada Kakawihan Kaulinan
Barudak Lembur Serta Implementasinya Dalam Pembelajaran Bahasa Dan Sastra
Indonesia Berbasis Multikultural. Lokabasa, 4(2).
https://doi.org/10.17509/jlb.v4i2.3147
Habsy, B. A. (2017). Seni Memehami Penelitian Kuliatatif Dalam Bimbingan Dan
Konseling : Studi Literatur. JURKAM: Jurnal Konseling Andi Matappa, 1(2), 90–100.
https://doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.56
Hadi, K. (2018). Legitimasi Kekuasaan Dan Hubungan Penguasa-Rakyat Dalam
Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’Anyan. Jurnal Kawistara, 8(1), 46.
https://doi.org/10.22146/kawistara.28082
Muslim, A. (2013). Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis. Jurnal Diskursus Islam,
1(3), 484–494. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/6642/5402
Septiana, D. (2016). PADA MASYARAKAT DAYAK MAANYAN ( HIYANGAN
WADIAN IN DAYAK MAANYAN IJAMBE CEREMONY ). Mabasan, 10(2), 85–
98.
Sugiyarto, W. (2016). Eksistensi Agama Hindu Kaharingan di Kota Palangka Raya
Kalimantan Tengah. Harmoni, 15(3), 102–116.
Suswandari. (2019). Ekstrapolasi Paradigma Penddik Dan Kearifan Kebudayaan Dalam
Menyambut Society 5.0. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Dan Pembelajaran, 3,
35–45.
Bukti Submit ke Jurnal

You might also like