You are on page 1of 2

Sejarah Gunung Nemangkawi "Cartenz" versi Suku Amungme

Gunung Nemangkawi atau yang sering disebut oleh para pendaki sebagai Cartenz Pyramid ialah
sebuah puncak yang menjadi bagian dari Barisan Sudirman yang terdapat di Provinsi Papua
Puncaknya mempunyai ketinggian 4.884 mdpl dan di sekitarnya terdapat beberapa padang salju atau
gletser,satu-satunya gletser tropika yang ada di Indonesia
Puncak ini merupakan gunung yang tertinggi di Indonesia kawasan Oceania. Cartenz Pyramid adalah
salah satu dari tujuh puncak dunia
Suku Amungme meyakini bahwa mereka keluar dari lubang tanah. Pada mulanya mereka tinggal di
suatu negeri, negeri yang indah, kaya, penuh ketenangan dan kedamaian. Karena negeri itu telah
dipenuhi penduduk dan mau tidak mau meninggalkan negeri tersebut untuk mencari negeri lain yang
baru
Untuk mencari negeri yang baru, mereka keluar dan berkumpul di suatu tempat diluar tanah untuk
membagi manusia menurut suku dan bangsa. Tempat ini dinamakan sebagai ”Kurima” artinya tempat
orang berkumpul. Nama Kurima terdapat di Kabupaten Wamena Propinsi Papua
Setelah semua berkumpul di Kurima, selanjutnya manusia dibagi lagi untuk menyebar ke seluruh
dunia. Amungme juga dikenal suatu tempat yang namanya ”Me Alanggama” artinya tempat
pembagian manusia menurut suku bangsa untuk menyebar ke seluruh dunia. Dalam penciptaan versi
Amungme ”Ungkangam-Me” yang menciptakan manusia dan segala isinya, Ungkangam-Me artinya
Sang Pencipta
Beginilah cerita panjang penciptaan versi Suku Amungme
Sebagian penduduk negeri itu sudah melakukan perjalanan, dua orang bersaudara yang mana
kakaknya bisu dan tuli adiknya ganteng yang keluar paling belakang. Sampai ditengah jalan, adiknya
yang ganteng mengetahui bahwa busur panahnya terlupa di tempat yang ditinggalkan, sehingga
kembali mengambil busur panah tersebut dan setelah kembali, ditengah jalan kakaknya menutup
jalan, adiknya tidak bisa melewatinya, disuruh pindah tidak mendengar karena bisu dan tuli. Karena
keburu ketinggalan, adiknya terpaksa membunuh kakak yang bisu. Karena membunuh kakaknya
menggunakan panah yang terbuat dari bilik bambu, yang disebut ”Wem / Wemogomal / kilik
ogomal” yang artinya panah tebal dari bambu, maka tambun kakaknya, antara tulang pinggul dan tali
perut keluar bertebaran dan tambun tersebut diambil adiknya dan taruh dikepala.
Begitu keluar dari lubang tanah dan tiba diluar, tempat tersebut tadinya bagaikan surga, indah dan
hijau, sungai berliku-liku mengalir dengan tenang, pinggir sungai meninggalkan pasir kerikil yang
bersih, putih dan memancarkan cahaya sementara beberapa jarak dari sungai ke darat terdapat pohon-
pohon cemara sejenis Chassoarina, memberikan kesuburan pada tanaman disekitar, tidak ada
gunung, tidak ada bukit, tidak ada jurang-jurang yang curam. Ketika adik itu menginjakan kaki
ditempat itu, dengan selogan....atau yel-yel....kop-kop....keindahan yang bagaikan surga tiba-tiba
berubah menjadi sebuah daratan yang bergunung-gunung, jurang-jurang yang curam dan sungai yang
indah dan memberikan keindahan di negeri itu berubah menjadi perusak negeri dan mengubah wajah
negeri itu menjadi kacau balau
Laki-laki itu, melakukan perjalanan hingga tiba di negeri menurut dia layak untuk didiami olehnya.
Dalam konon ceritanya laki-laki yang membunuh kakak itu menjadi Gunung Nemangkawi dan
Tambun kakak yang dibawa itu menjadi salju abadi. Nama kakak beradik itu diabadikan menjadi
nama moyang Suku Amungme. Nama tersebut menjadi hak kesulungan dalam tradisi masyarakat
Amungme. Nama laki-laki yang digambarkan dalam cerita di atas di zaman modern dengan bahasa
Indonesia disebut Firman
Sepanjang sejarah masyarakat Amungme di atas Gunung Nemangkawi adalah tempat keramat dan
setiap orang yang meninggal arwahnya bersemayam di Gunung Nemangkawi. Nemangkawi benar-
benar menjadi tempat yang suci dan agung. Setiap doa-doa diucapkan merupakan gambaran
keagungan masyarakat Amungme terhadap puncak yang diselimuti salju abadi. Sampai saat ini
banyak masyarakat Amungme memandang bahwa tempat itu suci dan agung
Setiap mereka memberikan kurban pemujaan yang dilakukan di Peyukate (nama asli) RidgeCamp
(nama sekarang/istilah PTFI), adalah tempat penyembahan dan persembahan memberikan kurban
persembelian, berupa babi hitam dan putih. Tempat yang keramat itu kini berubah menjadi gedung-
gedung bertingkat, dan tempat logistik operasional penambangan PTFI
Cerita yang turun temurun diyakini Suku Amungme tidak meninggalkan benda berupa bukti sejarah
dan secara ilmiah kelihatan tidak logis namun itulah yang diyakini masyarakat Amungme. Begitu
pula dengan salju abadi yang sebenarnya secara ilmu pengetahuan tidak mungkin terdapat salju di
wilayah yang melewati garis khatulistiwa, namun kenyataannya itulah yang terjadi dan dikagumi
oleh penduduk diseantero bumi, itu sebabnya diperhitungkan dalam salah satu keajaiban dunia
Dalam ceritanya bahwa gunung yang diagungkan masyarakat Amungme adalah manusia dan
disanalah tempat berakhir arwah setiap orang yang meninggal. Isi dari segala kandungan mineral
dalam gunung tersebut adalah otak hingga organ-organ tubuh orang yang meninggal tersebut
Pembunuhan kakak yang bisu dan tuli merupakan awal mulanya manusia berbuat dosa, masih dalam
versi Suku Amungme.
Dalam bahasa Amungme disebut dengan ”Koak Nagam, karawin”. Koak artinya dosa, nagam artinya
jaringan, dan karawin artinya memulai atau mengawali. Koak Nagam Karawin, artinya mengawali
dengan perbuatan dosa atau manusia memulai dengan jaringan dosa
Dalam sejarah penciptaan, mereka juga mengenal nama moyang orang hitam, putih, dan sawomatang
(Asia, Eropa, dan Ras Negro/hitam).
Suku Amungme tahu benar dan dalam struktur sejarahnya setiap suku bangsa diciptakan oleh
Ungkangam-Me (Sang Pencipta) lengkap dengan negerinya, gunungnya, sungainya, tuan tanahnya,
dusunnya, nama moyangnya, adat istiadat sampai dengan tata kehidupan masyarakat.
Tidak ada seorang pun berhak untuk melanggar hak hakiki yang Tuhan berikan. Sejarah ini turun
temurun dipertahankan melalui sebuah pengajaran yang terus menerus sepanjang orang tua adat
masih hidup. Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat dimasyarakat Suku Amungme
menghargai orang yang menjadi pemilik tanah adat, sungai, dusun, dan tahu adat-istiadat tempat
tersebut masih sangat tinggi.
Di masyarakat Suku Amungme satu kelompok masyarakat mau berburu ke dusun kelompok
masyarakat yang lain, harus minta izin dahulu kepada pemiliknya. Jangankan untuk berburu, hanya
melewati/meninggalkan bekas kaki saja harus minta izin. Belum dengan tempat-tempat keramat
seperti di Gunung Nemangkawi ”Cartenz”.
Hak kelompok masyarakat harus dihargai karena menurut cerita penciptaan Tuhan menciptakan
manusia lengkap dengan hak atas tanah, dusun, dan segala sesuatu yang dikandung didalamnya. Hak
yang Tuhan berikan sejak manusia itu ada, diciptakan tidak boleh dilanggar oleh siapapun. Sehingga
menurut logika manusia bahwa kalau melewati dusun satu kelompok masyarakat, itu hal biasa tetapi
bagi Suku Amungme itu bisa menjadi persoalan besar, karena berangkat dari hak yang Tuhan berikan
sejak manusia diciptakan. Sehingga marga-marga tertentu dalam struktur masyarakat Amungme juga
tidak dapat berimigrasi ke wilayah lain
Penciptaan versi Amungme keunikan yang dimiliki adalah setiap tempat mengandung makna dan
berdasarkan kejadian pada masa lalu. Misalnya nama ”Kurima” karena tempat itu, tempat berkumpul
orang maka dinamai dengan ”Kurima” dan Me Alanggama karena tempat tersebut membagi manusia
menurut suku dan bangsa maka dinamai Me Alanggama, dan seterusnya. Begitu juga dengan nama
Nemangkawi. Memiliki nama yang unik dan memiliki makna tersendiri untuk masyarakat Amungme
Sumber artikel : SENJAKALA WIKIA

You might also like