You are on page 1of 57

Kisah Malim Deman

Syahdan hiduplah seorang pemuda yatim piatu pada zaman dahulu kala.
Malim Deman namanya. Dia pemuda yang rajin giat bekerja dan baik budinya.
Setiap hari dia mengerjakan sawah dan ladang milik ibunya yang berada
dipinggir hutan. Dia bekerja membantu pamannya.

Di sekitar sawah milik ibu Malim Deman itu tinggal seorang janda tua. Mandeh
Rubiah namanya. Malim Deman sangat akrab dengan janda tua itu. Bahkan,
Mandeh Rubiah telah mengaggap Malim Deman sebagai anaknya sendiri.
Mandeh Rubiah kerap mengirimkan makanan kepada Malim Deman ketika
Malim Deman tengah menjaga tanaman padinya pada malam hari.

Pada suatu malam Malim Deman kembali menjaga tanaman padinya. Dia
hanya seorang diri ditengah sawah. Dia merasa sangat haus. Malim Deman
segera ke pondok Mandeh Rubiah untuk meminta air minum. Belum juga
Malim Deman tiba di pondok Madeh Rubiah, Malim Deman mendengar suara
beberapa perempuan di belakang pondok Mandeh Rubiah. Dengan berjalan
berjingkat-jingkat, Malim Deman segera menuju sumber suara yang sangat
mencurigakan tersebut.

Cerita Rakyat Singkat Hikayat Malim Deman


Terperanjatlah Malim Deman ketika melihat tujuh bidadari tengah mandi di
kolam yang terletak di belakang pondok Mandeh Rubiah. Malim Deman
sangat terpesona melihat kecantikan tujuh bidadari itu ketika wajah mereka
terkena sinar rembulan yang tengah purnama. Malim Deman juga melihat
tujuh selendang tergeletak di dekat kolam itu. Malim Deman menerka, tujuh
selendang itu digunakan para bidadari untuk terbang dari khayangan ke
kolam itu. Maka, dengan berjalan mengendap-endap dia mendekati tujuh
selendang itu dan mengambil salah satu selendang. Segera disembunyikan
selendang itu dan dia kembali mengintip tujuh bidadari yang tetap mandi
tersebut.

Menjelang waktu pagi datang, tujuh bidadari itu berniat kembali ke


khayangan. Salah satu bidadari, yakni bidadari bungsu, tidak dapat
menemukan selendangnya. Enam kakaknya telah berusaha turut membantu
mencari selendang itu, namun hingga menjelang fajar selendang milik
bidadari bungsu tetap tidak ditemukan. Karena matahari sebentar lagi terbit,
enam bidadari yang telah mendapatkan selendang dengan terpaksa
meninggalkan adik bungsu mereka. Keenamnya menggunakan selendang
mereka masing-masing untuk terbang kembali ke Khayangan.

Sepeninggalan kakak-kakaknya, si bungsu menangis. Dia ketakutan untuk


tinggal dibumi Malim Deman lantas mendekati dan menghibur si bidadari
bungsu. Malim Deman kemudian mengajak bidadari itu kerumah Mandeh
Rabiah. Dengan hati gembira Mandeh Rabiah menerima bidadari bernama
Putri Bungsu itu dan mengakuinya sebagai anak.

Malim Deman kembali ke rumahnya setelah mengantarkan bidadari bernama


Putri Bungsu ke rumah Mandeh Rabiah. Sesampainya di rumah, Malim
Deman menceritakan kejadian yang dialaminya kepada ibundanya.
Dijelaskannya pula adanya bidadari yang tinggal bersama Mandeh Rabiah.
Malim Deman lalu memberikan selendang bidadari itu kepada ibunya untuk
disimpan. Malim Deman meminta ibunya untuk menyembunyikan selendang
itu selamanya.

Sejak saat itu Malim Deman kian rajin berkunjung ke rumah Mandeh Rabiah
untuk menemui Putri Bungsu. Malim Deman dan Putri Bungsu tampaknya
saling jatuh cinta. Keduanya lantas menikah. Tidak beberapa lama mereka
dikarunia seorang anak laki-laki. Malim Deman memberi nama Sutan Duano
untuk nama anak lelakinya itu.

Putri Bungsu semula sangat berbahagia bersuamikan Malim Deman. Namun


sejak Sutan Duano lahir, perangai Malim Deman menjadi berubah. Malim
Deman malah lebih banyak menghabiskan waktunya di arena perjudian. Dia
sangat senang menyabung ayam dengan menggunakan taruhan. Begitu
senangnya dia dengan perjudian hingga seringkali dia tidak pulang berhari-
hari lamanya.

Putri Bungsu menjadi sangat bersedih melihat perangai buruk suaminya. Dia
kadang menangis sendiri meratapi nasibnya. Kerinduannya untuk pulang
kembali ke kahyangan kembali muncul. Semakin lama rasa itu semakin besar.
Hingga pada suatu saat dia menemukan selendang miliknya di rumah ibu
Malim Deman. Dia berpura-pura hendak menjemur selendang itu. Seketika
dia membawa selendang itu kerumahnya. Putri Bungsu kemudian menemui
Bujang Karim pegawai Malim Deman. “Tolong kau sampaikan kepada Malim
Deman, aku akan kembali ke Kahyangan dengan membawa Sutan Duano.”

Bujang Karim segera cepat mencari Malim Deman ke arena perjudian. setelah
bertemu diceritakannya pesan dari Putri bungsu kepada Malim Deman.
Malim Deman panik dengan terburu-buru dia segera kembali ke rumah untuk
menemui istri dan anaknya. Namun terlambat. Sesampainya dirumah, istri
dan anaknya sudah tidak ada. Istrinya telah membawa anak kesayangannya
kembali ke Kahyangan. Malim Deman hanya dapat menyesali kepergian anak
dan istrinya. Benar-benar dia sangat menyesal. Namun penyesalan hanya
penyesalan, apa yang telah terjadi tidak dapat diulang lagi. Akibat sikap
buruknya dia harus kehilangan keluarga yang dicintainya.

Pesan Moral dari Cerita Rakyat Singkat Hikayat Malim Deman adalah
berjudi hanyalah akan merugikan diri sendiri dan keluarga di kemudian
hari. Hendaknya kita menghidari perbuatan buruk tersebut agar tidak
mengalami kerugian di kemudian hari. Kita juga harus berhati-hati dalam
bertindak karena penyesalan dikemudian hari tidak ada gunanya.
Hikayat Sang Pohon Cantik

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang
sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum,
semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai
sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan
ramai yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan
senang hati mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang
diperoleh dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan
penuh harap agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan
ini, Sang Pohon Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna
perubahan bagi siapa saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti
membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu
sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik,
maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang
tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di
dalam hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan
memindahkan pohon cantik itu ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau
tujuan itu tidak tercapai, maka mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus
mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para
pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan
dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon
tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-
sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga
dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung
kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun
menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir
wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon
cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan
dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang
Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar
masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di
atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon
cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada
suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk
pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan
yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus
bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam
yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya
serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan
dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan
kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia
membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat
tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia
membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan
keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk.
Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku
tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti
tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat
semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan
batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku
mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku.
Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat
berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!”
Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa
angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa
urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa,
hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau,
dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata
dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak
merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah
segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa
ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas
akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya
untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk
telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga
kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha
meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak
pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan
itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang
dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan
kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus
bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak
menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap
berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga
tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya
yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak
disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang
lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut
terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki
cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa
menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-
berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita
yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja,
sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan.
Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang
kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang
liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan
digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah..
‘Perumpamaan orang beriman yang berkasih sayang, dan saling rahmat merahmati
dan di dalam kemesraan sesama mereka adalah seperti satu tubuh, apabila satu
anggota mengadu sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasainya.
Hikayat Abu Nawas – Kisah Enam Ekor
Lembu yang Pandai Bicara
Pada suatu hari, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke
Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan Abu Nawas. Sesampainya di
hadapan Sultan,Abu Nawas pun menyembah. Dan Sultan bertitah, “Hai, Abu Nawas,
aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot yang pandai bicara, bisakah
engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan aku
penggal lehermu.

“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”

Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah
kau Abu Nawas!”

Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk
berdiam diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah,
sehingga membuat tetangga heran. Ia baru keluar rumah persis setelah seminggu
kemudian, yaitu batas waktu yang diberikan Sultan kepadanya.

Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu ujarnya, “Hai orang-orang muda,
hari ini hari apa?”

Orang-orang yang menjawab benar akan dia lepaskan, tetapi orang-orang yang
menjawab salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab
dengan benar. Tak ayal, Abu Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja
kok anggak bisa menjawab. Kalau begitu, mari kita menghadap Sultan Harun Al-
Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”

Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin
tahu kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot.

Sampai di depan Sultan Harun Al-Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk
dengan khidmat. Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu Nawas, mana lembu berjenggot
yang pandai bicara itu?”

Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu,
“Inilah mereka, tuanku Syah Alam.”

“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”

“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-
beda. Maka berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari
apa. Apalagi jika tuanku menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah
mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini? “Inilah lembu berjenggot yang pandai
bicara itu, Tuanku.”

Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman.
Maka Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.
PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit

sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:

Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka

bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua

orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya

perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau

ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun

berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu

terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi

bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.

Katanya, “Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?”

Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang

itu, “Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba

tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya.” Setelah

didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu

baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya,

“Untunglah sekali ini!”

Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga

lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata

orang tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata

Bedawi itu, “Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini?

Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam.”
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka

turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata

Bedawi itu, “Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba

seberangkan.” Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah

maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka

pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam.

Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada

perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka

tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan

orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri

hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.

Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu.”

Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah,

setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala

kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan

itu dengan Bedawi itu.

Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun

berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya

berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, “Daripada hidup melihat hal yang

demikian ini, baiklah aku mati.”

Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena

dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu

diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada

dusun tempat Masyhudulhakk itu.


Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu

maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun

datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, “Istri siapa perempuan

ini?”

Maka kata Bedawi itu, “Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba

pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba.”

Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.”

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah.

Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah

Masyhudulhakk kepada perempuan itu, “Berkata benarlah engkau, siapa suamimu

antara dua orang laki-laki ini?”

Maka kata perempuan celaka itu, “Si Panjang inilah suami hamba.”

Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,

supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh

Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang itulah suami hamba.”

Maka kata Masyhudulhakk, “Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan

siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?”

Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk

perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk,

“Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?”

Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula

perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.”
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu

perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di

mana kampung tempat ia duduk?”

Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan

laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata

Masyhudulhakk, “Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-

benamya?”

Maka kata orang tua itu, “Daripada mula awalnya.” Kemudian maka dikatakannya,

siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya

Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah

Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh

Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya.

Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi

itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya

tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.


Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT

Judul : HIKAYAT MASHUDULHAKK (perkara si bungkuk dan si panjang)

Unsur intrinsik :

· Tema : Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta

· Tokoh :

ü Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.

ú …Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan

akalnya itu.

ú Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

ú …..Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,”Baik kepada seorang-seorang aku bertanya,

supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

ü Si Bungkuk : setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.

ú Maka kata orang tua itu, “Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.

ú Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga

lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang

tua itu, “Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini.

ú Maka kata orang tua itu kepada istrinya, “Pergilah diri dahulu.” Setelah itu maka

turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.

ü Si Panjang / Bedawi : licik, egois.

ú Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya

perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam

hatinya, “Untunglah sekali ini!

ú Maka kata Bedawi itu, “Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula

perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.

ü Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.


ú hamba jadikan istri hamba.” Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan

itu.Maka kata perempuan itu kepadanya, “Baiklah.

ú ….maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, “Si Panjang

itulah suami hamba.

· Setting :

ü tempat :

ú tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.

ú Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu

ü Suasana :

ú menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.

ú Mengecewakan: “Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku

mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.

ú Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka

gemparlah.

ü Waktu : tidak diketahui

· Alur : Alur maju

ü Eksposisi :

Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit maka

berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah

cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan.

Maka sampailah ia kepada suatu sungai.

ü Complication :

….serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan

berkata di dalam hatinya, “Untunglah sekali ini!

ü Rising action :

Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada
perempuan itu, “Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka

tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang

bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba.”

ü Turning point :

Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka

disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan

perempuan itu. Masyhudulhakk, “Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya

berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.

ü Ending :

Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan

kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga

perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan

perempuan celaka itu seratus kali.

· Poin of View :

ü orang ke-3 :

Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

· Amanat :

ü Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan

menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri

ü Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan

ü Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita

ü Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya

ü Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah

Unsur ekstrinsik :

· Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh

Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah
diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn

seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.

· Nilai moral :

Janganlah sekali-kali kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu

benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak

benaran.

· Nilai social budaya :

Sebuah kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan

bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era

sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan

perempuan celaka itu seratus kali.)

· Kepengarangan :

Hikayat mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan

diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d.

Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak

Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan

sambungannya dimuat pula, dengan alamat “Masyudhak”.. Dinantinya.

=======================================================

=======================================================

==================================
SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya

bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia

dikenal sebagai si Miskin.

Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari

rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera

Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara

beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan

berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu

dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan

mencari rezeki. Demikian seterusnya.

Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada

di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan

isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si

Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah

mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan

yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh

ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah

diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan

tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.

Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki

bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh

kasih sayang.

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal,
didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk

berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ

sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.

Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan

Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian,

lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan

Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah

Berantah.

Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya,

dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan

bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka

saja bagi orangtuanya.

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa.

Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya

putra-putrinya itu.

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah

terbakar.

Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah

pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke

kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian

dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera

mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota

itu dan bernama Mayang Mengurai.


Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di

pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah

gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai,

dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan

diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat

raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada

Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan

oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian,

ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah

perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung

Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya

berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan

bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat

bertemu kembali antara suami-isteri itu.

Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan

seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah

Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda

kapal yang jahat itu dibunuhnya.

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali.

Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala

perlengkapannya seperti dahulu kala.

Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh

Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai


Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera

Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.

Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin

1. Tema : Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang

mengalami banyak rintangan dan cobaan.

2. Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari

awal permasalahan sampai akhir permasalahan.

3. Setting/ Latar :

¯ -Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan,

Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.

¯ Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan

4. Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.

5. Amanat :

¯ Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.

¯ Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.

¯ Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah

hati.

¯ Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam

hatinya.

¯ Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

¯ Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

¯ Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia

hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.

Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin


1. Nilai Moral

Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.

2. Nilai Budaya

Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.

Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.

3. Nilai Sosial

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan

tanpa rasa pamrih. Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

4. Nilai Religius

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

5. Nilai Pendidikan

Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan

tanpa rasa pamrih.

Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.

=======================================================

=======================================================

==================================
HIKAYAT BUNGA KEMUNING
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-

cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan

kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri

sang raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak

sang raja diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal.

Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau

membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.

Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama

Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri

Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka

pun berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah

tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama,

si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya

ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian

dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.

“Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya

raja.

“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.

“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta

hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri

Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.


“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya

tertawa dan mencemoohkannya.

“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat

dan kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama

kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering

membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena

sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat

membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman

adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu

dan mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar

dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang

pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya.

Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras.

“Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.

“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan

sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam

saja dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang

sampai Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para

pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa

untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.

“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka

meninggalkan Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai
ayah mereka pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih

bermain di danau, sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras

istana. Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih.

Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain

kalung batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja

memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda

itu tak pernah ditemukannya.

“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan

bajuku yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.

“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,”

ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya

berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada

yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.

Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai

adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku

adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.

“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning.

Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya

dan menghasut mereka.

“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya

berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu.

Tak lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan

memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning

meninggal.
“Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai

mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut

mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja

mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya

pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan

temukanlah Puteri Kuning!” teriaknya.

Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu,

berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah

yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan

mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah

di negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih

memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran

melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat

berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!

Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia

Kemuning.!” kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan

namanya. Bahkan, bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan

rambut. Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit

kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih

memberikan kebaikan.

=======================================================

================
ABU NAWAS DAN LELAKI KIKIR
Syahdan,disuatu masa hidup seorang laki2 yang punya sifat kikir (pelit).ia

mempunyai sebuah rumah yang cukup besar.didalam rumah itu dia tinggal bersama

seorang istri dan 3 orang anaknya yang masih kecil2.laki2 ini merasa rumahnya

sudah sangat sempit dengan keberadaannya dan keluarganya.namun,untuk

memperluas rumahnya,sang lelaki merasa sayang untuk mengeluarkan uang.ia

putar otak bagaimana caranya agar ia bisa memperluas rumahnya tanpa

mengeluarkan banyak.akhirnya,ia mendatangi abunawas,seorang cerdik

dikampungnya.pergilah ia menuju rumah abu nawas.

si lelaki : “salam hai abunawas,semoga engkau selamat sejahtera.”

abu nawas : “salam juga untukmu hai orang asing,ada apa gerangan kamu

mendatangi kediamanku yang reot ini ?”

si lelaki lalu menceritakan masalah yang ia hadapi.abunawas mendengar dengan

seksama.setelah si lelaki selesai bercerita,abunawas tampak tepekur

sesaat,tersenyum,lalu ia berkata :

“hai fulan,jika kamu menghendaki kediaman yang lebih luas,belilah sepasang

ayam,jantan dan betina,lalu buatkan kandang didalam rumahmu.3 hari lagi kau lapor

padaku bagaimana keadaan rumahmu.”

si lelaki bingung,apa hubungannya ayam dengan luas rumah,tapi ia tak

membantah.sepulang dari rumah abunawas,ia membeli sepasang ayam,lalu

membuatkan kandang untuk ayamnya didalam rumah.

3 hari kemudian,ia kembali kekediaman abunawas,dengan wajah berkerut.

abunawas : “bagaimana fulan,sudah bertambah luaskah kediamanmu?”


si lelaki : “boro boro ya abu.apa kamu yakin idemu ini tidak salah?rumahku tambah

kacau dengan adanya kedua ekor ayam itu.mereka membuat keributan dan

kotorannya berbau tak sedap.”

abu nawas : “( sambil tersenyum ) kalau begitu tambahkan sepasang bebek dan

buatkan kandang didalam rumahmu.lalu kembali 3 hari lagi.”

silelaki terperanjat.kemarin ayam sekarang bebek,memangnya rumahnya

peternakan?.atau sicerdik abunawas ini sedang kumat jahilnya?namun seperti

pertama kali,ia tak berani membantah,karena ingat reputasi abunawas yang selalu

berhasil memecahkan berbagai masalah.pergilah ia ke pasar,dibelinya sepasang

bebek,lalu dibuatkannya kandang didalam rumahnya.

setelah 3 hari ia kembali menemuai abunawas.

abu nawas : “bagaimana fulan,kediamanmu sedah mulai terasa luas atau belum ?”

si lelaki : “aduh abu,ampun,jangan kau menegerjai aku.saat ini adalah saat paling

parah selama aku tinggal dirumah itu.rumahku sekarang sangat mirip pasar

unggas,sempit,padat,dan baunya bukan main.”

abunawas : “waah,bagus kalau begitu.tambahkan seekor kambing lagi.buatkan ia

kandang didalam rumahmu juga.lalu kembali kesini 3 hari lagi.”

si lelaki : “apa kau sudah gila abu ?kemarin ayam,bebek dan sekarang kambing.apa

tidak ada cara lain yang lebih normal?”

abunawas : “lakukan saja,jangan membantah.”

lelaki itu tertunduk lesu,bagaimanapun juga yang memberi ide adalah

abunawas,sicerdik pandai yang tersohor.maka dengan pasrah pergilah ia ke pasar

dan membeli seekor kambing,lalu ia membuatkan kandang didalam rumahnya.


3 hari kemudian dia kembali menemui abunawas

abunawas : “bagaimana fulan ? sudah membesarkah kediamanmu ?”

si lelaki : “rumahku sekarang benar2 sudah jadi neraka.istriku mengomel sepanjang

hari,anak2 menangis, semua hewan2 berkotek dan

mengembik,bau,panas,sumpek,betul2 parah ya abu.tolong aku abu,jangan suruh

aku beli sapi dan mengandangkannya dirumahku,aku tak sanggup ya abu.”

abu nawas : “baiklah,kalau begitu,pulanglah kamu,lalu juallah kambingmu

kepasar,besok kau kembali untuk menceritakan keadaan rumahmu.”

si lelaki pulang sambil bertanya2 dalam hatinya,kemarin disuruh beli,sekarang

disuruh jual,apa maunya si abunawas.namun,ia tetap menjual kambingnya

kepasar.keesokan harinya ia kembali kerumah abunawas.

abu nawas : “bagaimana kondisi rumahmu hari ini ?”

si lelaki :”yah,lumayan lah abu,paling tidak bau dari kambing dan suara embikannya

yang berisik sudah tak kudengar lagi.”

abu nawas : “kalau begitu juallah bebek2mu hari ini,besok kau kembali kemari”

si lelaki pulang kerumahnya dan menjual bebek2nya kepasar.esok harinya ia

kembali kerumah abunawas

abunawas : “jadi,bagaimana kondisi rumahmu hari ini?”

si lelaki : “syukurlah abu,dengan perginya bebek2 itu,rumahku jadi jauh lebih tenang

dan tidak terlalu sumpek dan bau lagi.anak2ku juga sudah mulai berhenti menangis.”

abunawas.bagus.”kini juallah ayam2mu kepasar dan kembali besok “


si lelaki pulang dan menjual ayam2nya kepasar.keesokan harinya ia kembali dengan

wajah yang berseri2 kerumah abunawas

abunawas : “kulihat wajahmu cerah hai fulan,bagaimana kondisi rumahmu saat ini?”

si lelaki :”alhamdulillah ya abu,sekarang rasanya rumahku sangat lega karena ayam

dan kandangnya sudah tidak ada.kini istriku sudah tidak marah2 lagi,anak2ku juga

sudah tidak rewel.”

abunawas : “(sambil tersenyum) nah nah,kau lihat kan,sekarang rumahmu sudah

menjadi luas padahal kau tidak menambah bangunan apapun atau memperluas

tanah banguanmu.sesungguhnya rumahmu itu cukup luas,hanya hatimu sempit

sehingga kau tak melihat betapa luasnya rumahmu.mulai sekarang kau harus lebih

banyak bersyukur karena masih banyak orang yang rumahnya lebih sempit

darimu.sekarang pulanglah kamu,dan atur rumah tanggamu,dan banyak2lah

bersyukur atas apa yang dirizkikan tuhan padamu,dan jangan banyak mengeluh.”

silelaki pun termenung sadar atas segala kekeliruannya,ia terpana akan

kecendikiaan sang tokoh dan mengucap terima kasih pada abunawas…


HIKAYAT ABU NAWAS CERITA
MENGECOH RAJA
Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas

yang dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin

menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.

Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan

titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman.

Baginda tahu Abu Nawas amat takut kepada beruang. Suatu hari Baginda

memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung

dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu

Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia tidak berani menolak perintah

Baginda.

Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah

menjadi mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa

hormat Abu Nawas mendekati Baginda.

“Tahukah mengapa engkau aku panggil?” tanya Bagla tanpa sedikit pun

senyum di wajahnya.

“Ampun Tuanku, hamba belum tahu.” kata Abu Nawas

“Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan Hutan masih jauh

dari sini. Kau kuberi kuda yang lambat Sedangkan aku dan pengawal-

pengawalku akan menunggang kuda yang cepat. Nanti pada waktu

santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun

kita harus menghindarinya dengan cara kita masing masing agar pakaian

kita tetap kering. Sekarang kita berpencar.” Baginda menjelaskan.


Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.Abu Nawas kini tahu

Baginda akan menjebaknya, la harus mancari akal. Dan ketika Abu Nawas

sedang berpikir, tiba

tiba hujan turun

Baginda dan rombongan secepat memacu kuda untuk mencapai tempat

perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan

para pengawalnya basah kuyup. Ketika santap siang tiba Baginda segera

menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para

pengawalnya kering,Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang

lambat Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas

tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa

mencapai tempat berlindung yang paling dekat.

Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin

ditunggangi Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya

mengendarai kuda-kuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan

rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah

hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung

basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan

kencang

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba tempat peristirahatan

lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu

Baginda Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba

dengan pakaian yang basah kuyup. Melihat Abu Nawas dengan pakaian

yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi

menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan.


“Terus terang begaimana caranya menghindari hujan , wahai Abu

Nawas.” tanya Baginda.

“Mudah Tuanku yang mulia.” kata Abu Nawas sambil tersenyum.

“Sedangkan’ aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai

tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kudamu yang lamban ini.” kata

Baginda.

“Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.Tetapi begitu hujan

turun hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera

melipatnya, lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan

berhenti.” Diam-diam Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.


HIKAYAT SRI RAMA
Pada suatu hari, Sri Rama dan Laksamana pergi mencari Sita Dewi. Mereka

berjalan menelusuri hutan rimba belantara namun tak juga mendapat kabar

keberadaan Sita Dewi.

Saat Sri Rama dan Laksamana berjalan di dalam hutan, mereka bertemu dengan

seekor burung jantan dan empat ekor burung betina. Lalu Sri Rama bertanya pada

burung jantan tentang keberadaan Sita Dewi yang diculik orang. Burung jantan

mengatakan bahwa Sri Rama tak bisa menjaga istrinya dengan baik, tak seperti dia

yang memiliki empat istri namun bisa menjaganya. Tersinggunglah Sri Rama

mendengar perkataan burung itu. Kemudian, Sri Rama memohon pada Dewata

Mulia Raya agar memgutuk burung itu menjadi buta hingga tak dapat melihat istri-

istrinya lagi. Seketika burung itu buta atas takdir Dewata Mulia Raya.

Malam tlah berganti siang. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seekor

bangau yang sedang minum di tepi danau. Bertanyalah Sri Rama pada bangau itu.

Bangau mengatakan bahwa ia melihat bayang-bayang seorang wanita dibawa oleh

Maharaja Rawana. Sri Rama merasa senang karena mendapat petunjuk dari cerita

bangau itu. Sebagai balas budi, Sri Rama memohon pada Dewata Mulia Raya untuk

membuat leher bangau menjadi lebih panjang sesuai dengan keinginan bangau.

Namun, Sri Rama khawatir jika leher bangau terlalu panjang maka dapat dijerat

orang.

Setelah Sri Rama memohon doa, ia kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama

kemudian datanglah seorang anak yang hendak mengail. Tetapi, anak itu melihat

bangau yang sedang minum kemudian menjerat lehernya untuk dijual ke pasar. Sri

Rama dan Laksamana bertemu dengan anak itu dan membebaskan bangau dengan

memberi anak itu sebuah cincin.


Ketika dalam perjalanan, Sri Rama merasa haus dan menyuruh Laksamana untuk

mencarikannya air. Sri Rama menyuruh Laksamana untuk mengikuti jatunya anak

panah agar dapat menemukan sumber air. Setelah berhasil mendapatkan air itu,

Laksamana membawanya pada Sri Rama. Saat Sri Rama meminum air itu, ternyata

air itu busuk. Sri Rama meminta Laksamana untuk mengantarnya ke tempat sumber

air dimana Laksamana memperolehnya. Sesampai di tempat itu, dilihatnya air itu

berlinang-linang. Sri Rama mengatakan bahwa dulu pernah ada binatang besar

yang mati di hulu sungai itu. Kemudian, Sri Rama dan Laksamana memutuskan

untuk mengikuti jalan ke hulu sungai itu.

Mereka bertemu dengan seekor burung besar bernama Jentayu yang tertambat

sayapnya dan yang sebelah rebah. Sri Rama bertanya padanya mengapa sampai

Jentayu seperti itu. Jentayu menceritakan semuanya pada Sri Rama tentang

pertarungannya melawan Maharaja Rawana. Setelah Jentayu selesai bercerita, ia

lalu memberikan cincin yang dilontarkan Sita Dewi saat Jentayu gugur ke bumi saat

berperang dengan Maharaja Rawana. Kemudian, cincin itu diambil oleh Sri Rama.

Bahagialah Sri Rama melihat cincin itu memang benar cincin istrinya, Sita Dewi.

Jentayu berpesan pada Sri Rama jika akan pergi menyeberang ke negeri Langka

Puri, Sri Rama tidak boleh singgah ke tepi laut karena di sana terdapat gunung

bernama Gendara Wanam. Di dalam bukit tersebut ada saudara Jentayu yang

bernama Dasampani sedang bertapa. Jentayu tak ingin saudaranya itu mengetahui

bahwa dirinya akan segera mati. Setelah Jentayu selesai berpesan, ia pun mati.

Sri Rama menyuruh Laksamana mencari tempat yang tidak terdapat manusia

dengan memberinya sebuah tongkat. Tetapi, Laksamana tidak berhasil menemukan

tempat itu. Lalu ia kembali pada Sri Rama. Laksamana mengatakan pada Sri Rama

bahwa ia tidak dapat menemukan tempat sesuai perintah Sri Rama. Kemudian, Sri
Rama menyuruh Laksamana untuk menghimpun semua kayu api dan

meletakkannya di tanagn Sri Rama. Lalu diletakkannya bangkai Jentayu di atas kayu

api itu dan di bakar oleh Laksamana. Beberapa lama kemudian, api itu padam.

Laksamana heran melihat kesaktian Sri Rama yang tangannya tidak terluka bakar

sedikitpun. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu.


Unsur-unsur intrinsik Hikayat Sri Rama:

Tema: Kesetiaan dan pengorbanan

bukti: Para patik Sri Rama berani berkorban nyawa demi membantu Sri Rama yang

sedang kesulitan mencari Sita Dewi. Mereka bakti akan perintah Sri Rama dengan

menunujukkan kesetiaan mereka pada Sri Rama.

Alur: Maju

bukti: Sri Rama mencari Sita Dewi yang dibawa lari oleh Maharaja Rawana. Dia berhasil

menemukan petunjuk tentang keberadaan Sita Dewi saat bertemu dengan Jentayu.

Namun, Jentayu mati setelah menceritakan tentang pertarungannya melawan Maharaja

rawana. Mayat Jentayu dibakar di atas tangan Sri Rama.

Penokohan: diceritakan secara dramatik (tidak langsung)

Tokoh:

Tokoh utama: Sri Rama

Tokoh tambahan: Laksamana, Sita Dewi, Maharaja Rawana, Jentayu, Dasampani,

burung jantan, dan bangau.

Setting/latar cerita

Latar waktu: siang hari

bukti: pada paragraf enam kalimat pertama pada hikayat

Latar tempat: di hutan rimba belantara

bukti: pada paragraf pertama kalimat kedua

Latar suasana: bahagia, mengaharukan

bukti: Sri Rama terharu melihat kesetiaan Jentayu atas pengabdiannya menolong Sita

Dewi.
Sudut pandang: menggunakan orang ketiga sebagai pelaku utama

Amanat: hargailah pengorbanan seseorang yang telah rela mati demi menbantu kita
Hikayat Seorang Kakek dan Seekor Ular (Balas Budi)
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal
takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu,
menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan
petang. Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.
Ia punya banyak hal yang menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang
senantiasa berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar
menghampirinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba
menghindar dari kejaran seorang laki-laki yang (kemudian datang menyusulnya)
membawa tongkat.
“Kek,” panggil ular itu benar-benar memelas, “kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang
mengejar saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya.
Tentunya, kamu baik sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya
dapat bersembunyi di dalamnya. Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon,
kabulkanlah permintaan saya ini.”
“Ulangi sumpahmu sekali lagi,” pinta si kakek. “Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan.
Setelah selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya.”
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali
lagi. Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira
dapat untuk ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia
menanyakan keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa
ia tak melihat ular yang ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak
berhasil menemukan apa yang dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: “Kini, kamu
aman. Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang.”
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: “Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat
dan mana orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna.
Padahal, kamu tak tahu apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara
makhluk hidup dan benda mati.”
“Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang
tahu bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu
dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan
jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.” Kontan ular itu
mengancam.
“La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah
aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh?
Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong
terbaik.” Sejurus kemudian kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang
tak pernah ia duga sebelumnya, perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, “Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku,
izinkan aku pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon
tempatku biasa berteduh. Aku ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku.”
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap,
“Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini
dan menyelamatkanku.”
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang
ular: “Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu.
Bunuhlah aku seperti yang kamu inginkan.”
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
“Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik
rekam jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu
dapat masuk ke dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk
mengeluarkannya kembali. Cobalah engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya
beberapa lembar lalu makan. Moga Allah sentiasa membantumu.”
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya
ular itu telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya
musuh yang mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar,
“Suara siapakah yang tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?”
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku
kebajikan dan berhati mulia. Suara itu berujar, “Saya tahu kamu dizalimi, maka atas
izin Zat Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang
menyelamatkanmu.”
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi
pertolongan dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya.”
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
“Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia
pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena
prilakunya yang jahat.”
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan
selamat tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa
sedihnya kami karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya
dalam menyelamatkan kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai
kulupakan. Aku mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-
senang dan mabuk-mabukan. Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu
mengadukanku kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan
menanyakan dari mana asal kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan
uang dalam jumlah yang cukup besar sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia
memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa,
suatu kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang
untuk mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun
lamanya saya mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak
sedetikpun saya lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan
bumi ini dan menjadikan langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari
penjara yang gelap ini dan memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun
memerintahkan agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian
yang telah ia derita dan kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan
khusyu kepada Allah, satu-satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul
Mukminin senantiasa bermarwah dan berbahagia, selama matahari masih terbit dan
selama burung masih berkicau.
Apresiasi unsur intrinsik

1. Tema : Balas Budi

2. Perwatakan tokoh :

a) Si Kakek : Baik hati, pandai, taat, terlalu mudah percaya pada siapapun, suka menolong
dan pasrah.

- Baik Hati : Dia rela menolong ular yang bahkan bisa membahayakan nyawanya sendiri.

- Pandai : Selain dikenal alim dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer.

- Taat : Ia dikenal takut kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu,
menjaga salat lima waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qur’an pagi dan petang.

- Terlalu mudah percaya pada siapapun : Dia terlalu percaya bahkan pada hal yang dia
endiripun tahu jika itu dapat membunuhnya.

- Suka menolong : bukankah aku telah menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang
hendak kamu bunuh?

- Pasrah : Terserah kepada Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik.

b) Ular : Licik, jahat, suka berbohong, dan tidak tahu balas budi.

- Licik : Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan.

- Jahat : Sekarang kuberi kamu dua pilihan, terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan
hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-duanya sama-sama membuatmu sekarat.

- Suka berbohong : Pada awalnya dia berjanji hanya akan bersembunyi, tetapi ternyata dia juga
mengancam untuk memakan hati atau jantung si kakek.

- Tidak tahu balas budi : Setelah diberi pertolongan oleh kakek, bukannya berterima kasih, ular
itu malah mau membunuh kakek.

c) Suara penolong : Baik hati, suka menolong.

- Baik hati : Dia ada disaat yang tepat. Saat kakaek akan dibunuh oleh ular itu.

- Suka menolong : Tuhan yang telah memberi pertolongan dengan mengirimkan seorang juru
penyelamat untuknya.

Unsur Ekstrinsik
1) Nilai Moral : Kita dapat belajar bahwa menolong orang itu memang baik, namun kita
juga harus memikirkan pula tentang akibat dari pertolongan kita itu.

2) Nilai Pendidikan : Kita dapat belajar bahwa perbuatan baik juga akan mendapatkan balasan yang
baik pula.

3) Nilai Religius : Allah akan selalu melindungi hamba-Nya yang taat kepada-Nya.

4) Nilai Sosial : Menolong sesama yang membutuhkan adalah hal yang baik, apalagi bila
memang sedang membutuhkan pertolongan.

5) Nilai Budaya : Budaya tolong-menolong antara kiat memang harus selalu diterapkan
dimanapun dan kapanpun.

6) Nilai Estetika : Hubungan antar umat manusia yang saling tolong-menolong dan
pertolongan Allah yang terkadang tak terduga.

UNSUR INSTRINSIK :

Tema : Perjalanan Hidup

Alur : Maju

Tahapan Alur:

Pengenalan :

Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari
keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si
Miskin.(Pada paragraph 1)

Muncul Konflik :

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan
menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.(Pada paragraph 7)

Ketegangan :

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.(Paragraf 9)

Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.(Paragraf
10)
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka
mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu
oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi
isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.(Paragraf 11)

Penokohan : a. Protagonis : Maharaja Indra Angkasa

b. Antagonis : Maharaja Indra Dewa

c. Tritagonis : Marakarmah

4. Perwatakan :

Maharaja Indera Angkasa (Si Miskin) : Sabar, adil, pemurah, mudah

terpengaruh.

Bukti :

Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyhurkan kerajaan Puspa
Sari….(Paragraf 7)

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.(Paragraf 9)

Tuan Putri Ratna Dewi : Baik, penyayang

Bukti :

Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah
(anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.

Maharaja Indera Dewa (raja Antah Berantah) : Iri hati, jahat, licik.

Bukti :

...menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.

(paragraph 7)

Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah
dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagiorangtuanya. (Paragraf 8)

d. Nila Kesuma : Patuh pada orangtua

Bukti :

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.(Paragraf 9)
Marakarmah : Patuh pada orangtua, bijaksana.

Bukti :

Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati
yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.(Paragraf 9)

Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti
dahulu kala.Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja
Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani). (Paragraf 15)

Cahaya Chairani : Baik hati

Bukti :

Waktu Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan
terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. (Paragraf 12)

Nenek Kebayan : Baik hati, penolong, penyayang.

Bukti :

Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah
perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai
Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela. (Paragraf 12)

Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
(Paragraf 13)

Nahkoda kapal : Jahat

Bukti :

Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut….
(Paragraf 12)

5. Setting/ Latar :

Setting Tempat :

- Negeri Antah Berantah,

..... dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri
Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. (Paragraf 2)

- Di hutan,

Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
(Paragraf 11)

Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki.(Paragraf 2)


- Di Pasar,

Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain.
(Paragraf 4)

- Negeri Puspa Sari,

Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu
berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya
diberi nama Puspa Sari.(Paragraf 6)

- Di lautan,

Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa
yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. (Paragraf 12)

- Di tepi pantai pulau raksasa,

Waktu Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan
terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. (Paragraf 12)

- Di kapal,

Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah
kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke
laut….(Paragraf 12)

- Negeri Palinggam Cahaya,

Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi r aja di
Palinggam Cahaya. (Paragraf 16)

b. Setting Suasana :

- Tegang, mencekam dan ketakutan,

Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. (Paragraf 2)

Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin
menghadap raja memohon mempelam.(Paragraf 4)

Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak,
kemudian dilemparkan ke laut.(Paragraf 11)

- Bahagia,

Setelah genap bulannya kandungan itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.(Paragraf 5)
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah
tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya.
Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si Miskin lalu
berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya
diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama
Nila Kesuma.(Paragraf 6)

- Menyedihkan,

Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu
malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. (Paragraf 2)

c. Setting Waktu : Malam, siang

Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.(paragraf 2)

6. Sudut Pandang Pengarang : Orang ketiga, karena pengarang hanya berperan sebagai

Gaya Bahasa : Melayu Klasik

. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. (Paragraf 3)

Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah
tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya.
(paragraf 6)

8. Amanat :

- Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.

- Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.

- Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.

- Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.

- Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.

NILAI-NILAI DALAM HIKAYAT SI MISKIN

Nilai Moral

- Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.

- Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.

- Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa
rasa pamrih.
- Jangan mudah iri kepada orang lain, karena hal tersebut dapat mendorong kita untuk berbuat hal
yang tidak baik.

Nilai Budaya

- Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.

- Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.

- Seorang anak hendaknya dapat membahagiakan orangtuanya.

Nilai Sosial

- Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa
rasa pamrih.

- Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

- Seorang pemimpin harus memiliki sikap adil dan pemurah kepada rakyatnya.
HIKAYAT BUNGA KEMUNING
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri
yang cantik-cantik. Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana.
Tetapi ia terlalu sibuk dengan kepemimpinannya, karena itu ia tidak
mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang raja sudah meninggal
dunia ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja
diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan
nakal. Mereka hanya suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar
dan juga tak mau membantu ayah mereka. Pertengkaran sering terjadi
diantara mereka.

Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri


Sulung bernama Puteri Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga,
Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu, Puteri Oranye, Puteri Merah
Merona, Puteri Kuning dan 2 puteri lainnya. Baju yang mereka pun
berwarna sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang
sudah tua dapat mengenali mereka dari jauh. Meskipun kecantikan
mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit berbeda, Ia tak
terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum
ramah kepada siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang
pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua


puteri-puterinya. "Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah
yang kalian inginkan?" tanya raja. "Aku ingin perhiasan yang mahal,"
kata Puteri Jambon. "Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau," kata
Puteri Jingga. 9 anak raja meminta hadiah yang mahal-mahal pada
ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri Kuning. Ia berpikir
sejenak, lalu memegang lengan ayahnya. "Ayah, aku hanya ingin ayah
kembali dengan selamat," katanya. Kakak-kakaknya tertawa dan
mencemoohkannya. "Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja
aku akan kembali dengan selamat dan kubawakan hadiah indah
buatmu," kata sang raja. Tak lama kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka
sering membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar
menuruti mereka. Karena sibuk menuruti permintaan para puteri yang
rewel itu, pelayan tak sempat membersihkan taman istana. Puteri
Kuning sangat sedih melihatnya karena taman adalah tempat
kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan
mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya,
rumput liar dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga
rapi. Semula inang pengasuh melarangnya, namun Puteri Kuning tetap
berkeras mengerjakannya.

Kakak-kakak Puteri Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa


keras-keras. "Lihat tampaknya kita punya pelayan baru,"kata seorang
diantaranya. "Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!" ujar seorang yang
lain sambil melemparkan sampah. Taman istana yang sudah rapi,
kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja dan menyapu sampah-
sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai Puteri
Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para
pelayan yang dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan


apa-apa untuk kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!" Kata Puteri
Kuning dengan marah. "Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau
saja!" ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan Puteri Kuning seorang diri.
Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka pulang. Ketika
sang raja tiba di istana, kesembilan puteri nya masih bermain di danau,
sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana.
Mengetahui hal itu, raja menjadi sangat sedih. "Anakku yang rajin dan
baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung batu
hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!" kata sang raja.

Raja memang sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai


negeri, namun benda itu tak pernah ditemukannya. "Sudahlah Ayah, tak
mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku yang
berwarna kuning," kata Puteri Kuning dengan lemah lembut. "Yang
penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,"
ucapnya lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-
kakaknya berdatangan. Mereka ribut mencari hadiah dan saling
memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri Kuning, apalagi
menanyakan hadiahnya. Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri
Kuning memakai kalung barunya. "Wahai adikku, bagus benar
kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku adalah
Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan iri.

Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu," sahut Puteri Kuning.


Mendengarnya, Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-
saudaranya dan menghasut mereka. "Kalung itu milikku, namun ia
mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya berbuat baik!"
kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak
lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya
dan memukul kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan
Puteri Kuning meninggal. "Astaga! Kita harus menguburnya!" seru Puteri
Jingga. Mereka beramai-ramai mengusung Puteri Kuning, lalu
menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut mengubur kalung batu
hijau, karena ia tak menginginkannya lagi.

Sewaktu raja mencari Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri
itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam seribu bahasa. Raja sangat marah.
"Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri Kuning!" teriaknya.
Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-
minggu, berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat
sedih. "Aku ini ayah yang buruk," katanya." Biarlah anak-anakku kukirim
ke tempat jauh untuk belajar dan mengasah budi pekerti!" Maka ia pun
mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di negeri yang jauh. Raja
sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih memikirkan
Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning.


Sang raja heran melihatnya. "Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan
jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya
putih kekuningan dan sangat wangi! Tanaman ini mengingatkanku pada
Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!" kata raja dengan
senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan,
bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut.
Batangnya dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan
kulit kayunya dibuat orang menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri
Kuning masih memberikan kebaikan.
Cerita singkatHikayat Bunga Kemunin Dahulu kala ada
seorang raja yang memiliki 10 orang puteri yang diberi nama Puteri Jambon, Puteri Jingga, Puteri
Nila, Puteri Hijau, Puteri Ungu, Puteri Kelabu, Puteri Biru, Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan
Puteri Kuning.Istri raja meninggal dunia setelah melahirkan Puteri Kuning. Ke-9 puteri sangat manja
dan nakal, berbeda dengan si bungsu Puteri Kuning yang ramah dan baik hati.

Suatu hari raja hendak pergi jauh. Ke-9 puterinya meminta oleh-oleh yang mewah, namun
Puteri Kuning hanya memint ayahnya kembali dengan selamat.

Ketika sang raja pulang, ia memberi Puteri Kuning sebuah kalung batu hijau. Puteri Hijau
merasa cemburu, ia bersama saudaranya yang lain memukul kepala Puteri Kuning hingga ia
meninggal. Tanpa sepengetahuan orang-orang istana, ke-9 puteri mengubur Puteri Kuning.

Mengetahui puteri bungsunya hilang, sang raja mencarinya, namun pencariannya tak
membuahkan hasil.

Suatu hari tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning.Karena tanaman tersebut
nampak seperti Puteri Kuning, maka sang raja menamainya PUNSUR INTRINSIK

Alur/plot : Alur Maju

Bukti : karna dalam cerita ini tidak menceritakan tentang masa lalu.

Tema : Kekeluargaan, Kerajaan dan Kasih sayang tulus seorang anak


kepada ayahnya.

Latar/setting :

1. Latar tempat :
Kerajaan (bukti: hikayat ini mengisahkan tentang kerajaan jaman dahulu.)
Taman (bukti : tanpa ragu, putri kuning mengambil sapu dan mulai membersihkan taman itu.)
Danau (bukti : ketika sang raja tiba di istana kesembilan putrinya masih bermain di danau.)
Teras istana (bukti : sementara putri kuning sedang merangkai bunga di teras istana.)

2. Latar waktu : Pada zaman dahulu kala

3. Latar suasana : Sedih (bukti: berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tak ada yang
berhasil menemukan Putri Kemuning. Raja sangat sedih. "Aku ini ayah yang buruk," katanya.)

Tokoh:

1. Protagonis : Raja dan Putri Kuning


2. Antagonis : Putri Jingga, Putri Nila, Putri Hijau, Putri Kelabu, Putri Oranye, Putri Merah
Merona, Putri Kuning dan 2 putri lainnya.

Karaker tokoh-tokoh

1. Raja :
Bijaksana (bukti: sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana)
Penyayang (bukti: sang raja sangat menyayangi anak-anaknya)

2. Putri kuning :
Baik hati (bukti: karna para inang sibuk untuk menuruti permintaan kakak-kakaknya, taman menjadi
tidak ada yang membersihkan. Tapi dengan senang hati putri kuning mau membantu membersihkan
taman.)
Penyabar (bukti: “Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan
sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Putri kuning diam saja dan menyapu
sampah sampah itu.)
Ramah (bukti: Sebaliknya ia selalu riang dan tersenyum ramah kepada siapa pun.)

3. Puteri Hijau : Jahat, mudah iri (bukti: Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung
barunya. "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku
adalah Puteri Hijau!" katanya dengan perasaan iri)

4. Kakak-kakak putri kuning : Nakal, manja, jahat. (bukti: sering membentak inang pengasuh dan
menyuruh pelayan agar menuruti mereka, merampas kalung putri kuning, menangkap dan memukul
kepala putri kuning sampai putri kuning meninggal dan menguburnya tanpa memberitahu ayahnya
(raja).

Sudut Pandang : Orang Pertama dan orang ketiga.

Amanat :
-Berlaku baiklah kepada sesama saudara kita
-Berfikirlah terlebih dahulu ketika kita akan bertindak

UNSUR EKSTRINSIK

Nilai Sosial

Mencoba untuk lebih baik


Nilai Agama

Berbuat baik walaupun dibalas kejahatan

(Bukti agama islam)

“Sesungguhnya rahmat Allah Swt amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(QS. Al-A’raf:
56)

“Dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (orang yang bepergian) dan
hamba sahayamu (pembantu).” (QS. An-Nisa [4]: 36).

“Balaslah perbuatan buruk mereka dengan yg lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka
sifatkan.” (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 96)

“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan pula.” (QS. Ar-Rahman [55]: 60).

“Mereka itu diberi pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka dan mereka menolak
kejahatan dengan kebaikan dan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka,
mereka nafkahkan.”(QS. Al-Qashash [28]:54)

“Siapa yang datang membawa kebaikan, baginya pahala yang lebih baik daripada kebaikannya itu;
dan siapa yang datang membawa kejahatan, tidaklah diberi balasan kepada orang-orang yang telah
mengerjakan kejahatan itu, melainkan seimbang dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.” (SQ. Al-
Qashash [28]:84)

Allah Ta’ala berfirman,

ِ َ‫ض ُز ْل ِزل‬
‫ت ِإ َذا‬ ُ ‫( ِز ْلزَ الَ َها ْاْل َ ْر‬1) ‫ت‬ ِ ‫ض َوأ َ ْخ َر َج‬ ُ ‫( أَثْقَالَ َها ْاْل َ ْر‬2) ‫سانُ َوقَا َل‬ ِ ْ ‫( لَ َها َما‬3) ‫ِّث َي ْو َمئِذ‬
َ ‫اْل ْن‬ َ ‫( أ َ ْخ َب‬4) ‫لَ َها أ َ ْو َحى َربكَ ِبأَن‬
ُ ‫ارهَا ت ُ َح ِد‬
(5) ‫صد ُُر َي ْو َمئِذ‬ْ ‫اس َي‬ ُ ‫( أ َ ْع َمالَ ُه ْم ِلي َُر ْوا أ َ ْشت َاتًا الن‬6

‫( يَ َرهُ َخي ًْرا ذَرة مِ ثْقَا َل يَ ْع َم ْل فَ َم ْن‬7) ‫( يَ َرهُ ش ًَّرا ذَرة مِ ثْقَا َل يَ ْع َم ْل َو َم ْن‬8)

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan
beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (menjadi
begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah
memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam
keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan
mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatansekecil apa pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 1-8)

‫( يَ َرهُ َخي ًْرا ذَرة مِ ثْقَا َل يَ ْع َم ْل فَ َم ْن‬7) ‫( يَ َرهُ ش ًَّرا ذَرة مِ ثْقَا َل يَ ْع َم ْل َو َم ْن‬8)

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya
pula.“
‫عمِ لَتْ َما نَ ْفس ُكل ت َِج ُد يَ ْو َم‬ َ ْ‫عمِ لَتْ َو َما ُمح‬
َ ‫ض ًرا َخيْر مِ ْن‬ ُ ‫بَعِيدًا أ َ َمدًا َوبَ ْينَهُ بَ ْينَ َها أَن لَ ْو ت ََود‬
َ ‫سوء مِ ْن‬

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga)
kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang
jauh.“ (QS. Ali Imran: 30).

Nilai Moral

Keburukan akan terbongkar dengan sendirinya walaupun ditutupi.

Nilai Budaya

Sopan dan santun kepada orang tua, Pada jaman dahulu tentang pemberian nama putri atau putra.

Gaya Bahasa :

Majas metafora : Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat berkilau bagai kalung batu hijau,
bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!

Majas ironi : "Wahai adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku”

Majas Paradoks : Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning sedikit
berbeda, Ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan tersenyum ramah kepada
siapapun. Ia lebih suka bebergian dengan inang pengasuh daripada dengan kakak-kakaknya

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra karya prosa lama yang isinya berupa cerita, kisah, dongeng
maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan
keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama

Macam-macam Hikayat berdasarkan isinya, diklasifikasikan menjadi 6 :


1. Cerita Rakyat
2. Epos India
3. Cerita dari Jawa
4. Cerita-cerita Islam
5. Sejarah dan Biografi
6. Cerita berbingkat

Macam-macam Hikayat berdasarkan asalnya, diklasifikasikan menjadi 4 :


1. Melayu Asli
Hikayat Hang Tuah (bercampur unsur islam)
Hikayat Si Miskin (bercampur unsur isl;am)
Hikayat Indera Bangsawan
Hikayat Malim Deman
2. Pengaruh Jawa
Hikayat Panji Semirang
Hikayat Cekel Weneng Pati
Hikayat Indera Jaya (dari cerita Anglingdarma)
3. Pengaruh Hindu (India)
Hikayat Sri Rama (dari cerita Ramayana)
Hikayat Perang Pandhawa (dari cerita Mahabarata)
Hikayat Sang Boma (dari cerita Mahabarata)
Hikayat Bayan Budiman
4. Pengaruh Arab-Persia
Hikayat Amir Hamzah (Pahlawan Islam)
Hikayat Bachtiar
Hikayat Seribu Satu Malam

Ciri-ciri Hikayat :
1. Anonim : Pengarangnya tidak dikenal
2. Istana Sentris : Menceritakan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan istana/ kerajaan
3. Bersifat Statis : Tetap, tidak banyak perubahan
4. Bersifat Komunal : Menjadi milik masyarakat
5. Menggunakan bahasa klise : Menggunakan bahasa yang diulang-ulang
6. Bersifat Tradisional : Meneruskan budaya/ tradisi/ kebiasaan yang dianggap baik
7. Bersifat Didaktis : Didaktis moral maupun didaktis religius (Mendidik)
8. Menceritakan Kisah Universal Manusia : Peperangan antara yang baik dengan yang buruk, dan
dimenangkan oleh yang baik
9. Magis : Pengarang membawa pembaca ke dunia khayal imajinasi yang serba indah

You might also like