You are on page 1of 5

PUISI FLS2N SMA

Catetan Tahun 1946 kalian sudah terkepung


Chairil Anwar takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
Ada tanganku, sekali akan menyerahlah pada kedalaman
jemu terkulai, airmata kami
Mainan cahya di air hilang
bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan Lagu Tanah Airku
berhenti membelai. Piek Ardijanto Soeprijadi
Kupahat batu nisan sendiri
dan kupagut. sudahkah kaudengar lagu
Kita—anjing diburu—hanya berjuta nada
melihat sebagian dari lagu tanah airku menggema
sandiwara sekarang seluruh dunia
Tidak tahu Romeo & Juliet dengarkanlah merdu
berpeluk di kubur atau di suaranya
ranjang dengarkanlah indah iramanya
Lahir seorang besar dan tukang sepatu berlagu
tenggelam beratus ribu mengiring palu mematuk
Keduanya harus dicatet, paku
keduanya dapat tempat. tukang batu berdendang
Dan kita nanti tiada sawan senyampang semen
lagi diburu memeluk bata
Jika bedil sudah disimpan, tukang kayu menyanyi
cuma kenangan berdebu; meningkah gergaji makan
Kita memburu arti atau papan
diserahkan kepada anak penebang pohon senandung
lahir sempat. di sela gema kapak di hutan
Karena itu jangan mengerdip, nakhoda berlagu menyanjung
tatap dan penamu ombak menelan haluan
asah, ahli mesin berdendang
Tulis karena kertas gersang, menyibak gemuruh pabrik
tenggorokan kering petani nembang atas bajak
sedikit mau basah! berjemur di lumpur
betapa merdunya lagu tanah
airku
meletus nyanyi di pagi hari
Tanah Air Mata menegang di rembang siang
Sutardji Calzoum Bachri melenyap di senja senyap
bila malam mengembang ibu
tanah airmata tanah tumpah nembang
dukaku tidurlah berlepas lelah anakku
mata air airmata kami sayang
airmata tanah air kami lampu bumi bawa mimpi
di sinilah kami berdiri damai dunia
menyanyikan airmata kami esok masih ada kerja untuk
di balik gembur subur nusa bangsa
tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah Tentang Seorang Yang
gedung gedungmu Terbunuh di Sekitar
kami coba sembunyikan
derita kami Hari Pemilihan Umum
kami coba simpan nestapa Goenawan Mohamad
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana “Tuhan, berikanlah suara-Mu,
bumi memang tak sebatas kepadaku.”
pandang Seperti jadi senyap salak anjing
dan udara luas menunggu ketika ronda menemukan
namun kalian takkan bisa mayatnya di tepi pematang.
menyingkir Telungkup. Seperti mencari
ke mana pun melangkah harum
kalian pijak airmata kami dan hangat pagi. Tapi bau asing
ke mana pun terbang itu dan dingin pipinya jadi
kalian kan hinggap di airmata aneh, di bawah bulan. Dan
kami kemudian merekapun
ke mana pun berlayar berdatangan
kalian arungi airmata kami -senter, suluh dan kunangkunang-

1
tapi tak seorang surya esok hari, matahari
pun sawah dan sungai kami
mengenalnya. Ia bukan orang di langit yang bebas terbuka,
sini, hansip itu berkata. langit burung-burung
“Berikanlah suara-Mu” merpati.
Di bawah petromaks kelurahan 1963
mereka menemukan liang
luka yang lebih. Bayang-bayang
bergoyang sibuk dan beranda
meninggalkan bisik. Orang ini
tak berkartu. Ia tak bernama. Do’a Para Pelaut
Ia tak berpartai. Ia tak bertanda
gambar. Ia tak ada yang Yang Tabah
menangisi, karena kita tak bisa Supardi Djoko Damono
menangis. Apa gerangan
agamanya? kami telah berjanji kepada
“Juru peta yang Agung, di Sejarah
manakah tanah airku?” untuk pantang menyerah.
Lusa kemudian mereka bukankah telah kami lalui pulau
membacanya di koran kota, di demi pulau, selaksa pulau,
halaman pertama. Ada seorang dengan perahu yang semakin
yang menangis entah mengeras
mengapa. oleh air laut.
Ada seorang yang tak menangis selalu bajakan otot-otot lengan
entah mengapa. Ada seorang kami, ya Tuhan,
anak yang letih dan membikin yang tetap mengayuh entah sejak
topi dari koran pagi itu, yang kapan;
diterbangkan angin kemudian. barangkali akan segera memutih
Lihatlah. Di udara berpasang rambut kami ini,
layang-layang, semua satu demi satu merasa letih, dan
bertopang pada cuaca. Lalu tersungkur mati,
burungburung tapi selaksa anak-anak kami akan
sore hinggap di kawatkawat, memegang dayung
sementara bangaubangau serta kemudi
menuju ujung senja, melintasi menggantikan kami
lapangan yang gundul dan kamilah yang telah mengayuh
warna perahu-perahu sriwijaya serta
yang panjang, seperti asap majapahit
yang sirna. mengayuh perahu-perahu
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, makassar dan bugis,
kepadaku.” sebab kami telah bersekutu
1971 dengan Sejarah
untuk menundukkan lautan.
laut yang diam adalah sahabat
Nyanyian Tanah Air kami,
Saini KM dan laut yang memberontak
dalam prahara dan topan
Gunung- gunung perkasa, adalah alas an yang paling baik
lembah – lembah yang untuk menguji kesetiaan dan
akan tinggal menganga bakti kami
dalam hatiku. Tanah airku, padaMu.
saya mengembara dalam barangkali beberapa orang
bus , putus otot-otot lengannya,
dalam kereta api yang yang lain pecah tulangtulangnya,
menyanyi. Tak habis – tapi anak-anak
habisnya hasrat kami yang setia
menyanjung dan memuja segera mengubur mereka di
engkau dalam laguku. laut, dan melanjutkan
Bumi yang dalam derita, perjalanan yang belum selesai
sukmamu tinggal ini.
terpendam biarkan kami bersumpah
bawah puing-puing, bawah kepada Sejarah, ya Tuhan,
darah kering di luka, untuk membuat bekas-bekas
pada denyut daging muda. yang tak terbatas
Damaikan kiranya anakanakmu di lautan.
yang dendam dan 1966
sakit hati,
ya Ibu yang parah dalam
duka-kasihku ! Ibukota Senja
Kutatap setiap mata di Toto Sudarto Bachtiar
stasiun , pada jendelajendela
terbuka. Penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari
Kucari fajar semangat yang Antara kuli-kuli berdaki dan
pijar bernyala-nyala perempuan telanjang mandi
2
Di sungai kesayangan, o, kotakekasih ah, seseorang menjemputku
Klakson oto dan lonceng trem saingmenyaingi mengganti kau
Udara menekan berat di atas jalan menating minyak penuh bagiku
panjang berkelok tapi aku hanya cinta kau
Gedung-gedung dan kepala telah kita dengar bicara orangorang
mengabur dalam senja besar
Mengurai dan layung-layung kita baca buku-buku mereka
membara di langit barat daya kita jelajahi daerah demi daerah
O, kota kekasih suku demi suku, kehidupan
Tekankan aku pada pusat hatimu demi kehidupan mereka
Di tengah-tengah kesibukanmu dan penderitaanmu kita pergunakan pikiran dan
Aku seperti mimpi, bulan putih di perasaan kita
lautan awan belia dan kita akhirnya tahu
Sumber-sumber yang murni alangkah indah Irian itu
terpendam alangkah indah Sumatra
Senantiasa diselaputi bumi keabuan alangkah indah Kalimantan,
Dan tangan serta kata menahan Sumbawa
napas lepas bebas alangkah indah tanah air kita
Menunggu waktu mengangkut maut hari ini kunaiki jenjang
Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana perkawinan
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang mereka bahagia di sisiku
bercanda kesedihan kembang-kembang bertaburan
Menunggu waktu keteduhan doa-doa berpanjatan :
terlanggar di pintu dini hari - panjanglah umur kalian
Serta di keabadian mimpi-mimpi banyak rahmat dan banyak
manusia anak –
Klakson dan lonceng bunyi bergiliran tapi aku hanya harapkan anak
Dalam penghidupan sehari-hari, dari padamu
kehidupan sehari-hari kepala kutundukkan
Antara kuli-kuli yang kembali ia bimbing aku keluar gereja
Dan perempuan mendaki tepi sungai senyumnya hanya bahagia
kesayangan senyum tertutup daerah
Serta anak-anak yang berenang tertutup, “ yang besar dan megah “
tertawa tak berdosa tapi aku hanya megahkankau, fakri
Di bawah bayangan samar daerah kita adalah semua
istana kejang daerah tanah air kita
Layung-layung senja dan kita cinta semua
melambung hilang kita satu semua
Dalam hitam malam menjulur tergesa kita nyanyikan rangkaian
Sumber-sumber murni mutiara dari timur
menetap terpendam pulau kita semua mutiaranya, ah fakri
Senantiasa diselaputi bumi keabuan kami bersanding di pelaminan kini
Serta senjata dan tangan air mataku menetes
menahan napas lepas bebas selamat tinggal pada semua
O. kota kekasih setelah senja kemerdekaan, salamku
Kota kediamanku, kota selamat tinggal pada
Kerinduanku 1951 pengertian dan perjoangan
yang diremukan
selamat tinggal padamu, fakri
selamat berjuang bagi
persatuan dan kemulian kita semua
Surat selamat bagi semua.
M. Poppy Hutagalung

telah kudengar dari mereka, Rakyat


fakri Hartojo Andangdjaja
akan sebuah daerah yang kukuh
sebuah persekutuan hidup yang Rakyat ialah kita
kukuh jutaan tangan yang mengayun
adat yang kuat indah dalam kerja
kesetian yang cerlang abadi di bumi di tanah tercinta
kudengar kekeluargaan yang jutaan tangan mengayun bersama
akrab membuka hutan lalang jadi
pertalian di mana hanya mati ladang-ladang berbunga
yang memisah mengepulkan asap dari
daerah tertutup, di mana di cerobong pabrik-pabrik di kota
luarnya adalah api neraka menaikkan layar menebar jala
yang membakar dan meraba kelam di tambang
menghancurkan sepanjang logam dan batubara
waktu Rakyat ialah tangan yang bekerja
bila kupijakkan kaki kepadanya Rakyat ialah kita
maka malam ini kutulis padamu otak yang menapak sepanjang
kau tidak dari daerah itu jemaring angka-angka
3
yang selalu berkata dua adalah dua seleret dari
yang bergerak di simpangsiur garis niaga Perlawatanku di langit tak
Rakyat ialah otak yang menulis berberita.
angka-angka Masihkah langit mendung di
Rakyat ialah kita bumi seperti waktu
beragam suara di langit tanah Kutinggalkan kemarin dulu?
tercinta Apa yang kucita-cita? Tak ada
suara bangsi di rumah lagi cita-cita
berjenjang bertangga Sebab semua telah terbang
suara kecapi di pegunungan jelita bersama kereta
suara bonang mengambang di pendapa ruang ke jagat tak berhuni.
suara kecak di muka pura Tetapi
suara tifa di hutan kebun pala ada barangkali. Berilah aku
Rakyat ialah suara beraneka satu kata puisi
Rakyat ialah kita daripada seribu rumus ilmu
puisi kaya makna di wajah semesta yang penuh janji
yang menyebabkan aku
di darat hari yang berkeringat terlontar kini jauh dari bumi
gunung batu berwarna coklat yang kukasih. Angkasa ini
di laut bisu. Angkasa ini sepi
angin yang menyapu kabut Tetapi aku telah sampai pada
awan menyimpan topan tepi
Rakyat ialah puisi di wajah Darimana aku tak mungkin
semesta lagi kembali.
Rakyat ialah kita Ciumku kepada istriku,
darah di tubuh bangsa kepada anak dan ibuku
debar sepanjang masa Dan salam kepada mereka
1961 yang kepadaku mengenang.
Jagat begitu dalam, jagat
Manusia Pertama begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Di Angkasa Luar Subagio Sastrowardoyo Dari bumi yang kukasih. Hati
makin sepi
Beritakan kepada dunia Makin gemuruh.
Bahwa aku telah sampai pada tepi Bunda,
Darimana aku tak mungkin Jangan membiarkan aku
kembali. sendiri.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak terpisah malam
dan siang. Gugur
Hanya lautan yang hampa Rendra
dilingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam Ia merangkak
dan langit makin jauh di atas bumi yang dicintainya.
mengawang. Tiada kuasa lagi menegak.
Jagat begitu tenang. Tidak Telah ia lepaskan dengan
Lapar gemilang
Hanya rindu kepada istri, pelor terakhir dari bedilnya
kepada anak, kepada ibuku ke dada musuh yang merebut
di rumah. kotanya.
Makin jauh, makin kasih Ia merangkak
hati kepada mereka yang berpisah. di atas bumi yang dicintainya.
Apa yang kukenang? Masa Ia sudah tua
kanak waktu tidur dekat ibu luka-luka di badannya.
Dengan membawa dongeng Bagai harimau tua
dalam mimpi tentang kota susah payah maut
Dan raksasa, peri dan menjeratnya.
bidadari. Aku teringat Matanya bagai saga
Kepada buku cerita yang menatap musuh pergi dari
terlipat dalam lemari. kotanya.
Aku teringat kepada bunga Sesudah pertempuran yang
mawar dari Elisa gemilang itu
Yang terselip dalam surat lima pemuda mengangkatnya
yang membisikkan cintanya di antaranya anaknya.
kepadaku Ia menolak
Yang mesra. Dia kini tentu dan tetap merangkak
berada di jendela menuju kota kesayangannya.
Dengan Alex dan Leo—itu Ia merangkak
anak-anak berandal yang di atas bumi yang dicintainya.
kucinta— Belum lagi selusin tindak
Memandangi langit dengan maut pun menghadangnya.
sia. Hendak menangkap Ketika anaknya memegang
Sekelumit dari pesawatku, tangannya

4
ia berkata: penipuan.
“Yang berasal dari tanah Namamu tergores disetiap
kembali rebah pada tanah. rangka tulang bangunan
Dan aku pun berasal dari dan keuntungan,
tanah: Kendatipun tidak
tanah Ambarawa yang dicanangkan malahan
kucinta. dilupakan.
Kita bukanlah anak jadah Kaulah sebenarnya yang
kerna punya bumi kecintaan. lahirkan kemerdekaan,
Bumi yang menyusui kita tanpa idamkan taman dan
dengan mataairnya. tugu kemerdekaan,
Bumi kita adalah tempat Kaulah sebenarnya yang
pautan yang sah. bangkitkan pembebasan,
Bumi kita adalah kehormatan. tanpa kucup kenikmatan dan
Bumi kita adalah jiwa dari kemegahan pembebasan.
jiwa. Butir padi, garam dan
Ia adalah bumi nenek perlindungan,
moyang. Ladang, daratan, air dan
Ia adalah bumi waris yang kekuatan,
sekarang. adalah kepunyaan dan
Ia adalah bumi waris yang kelahiranmu.
akan datang.” Warisanmu adalah sungai,
Hari pun berangkat malam tanaman,
Bumi berpeluh dan terbakar warisanmu adalah tiap
Kerna api menyala di kota tegukan dan santapan.
Ambarawa.Orang tua itu kembali Kau adalah kapten barisan
berkata: “Lihatlah, hari telah fajar! yang selalu ada di depan,
Wahai bumi yang indah, Untuk kemerdekaan dan
kita akan berpelukan kemanusiaan
buat selama-lamanya! Kau adalah pertahanan
Nanti sekali waktu seorang cucuku utama yang selalu pantang
akan menancapkan bajak menyerah,
di bumi tempatku berkubur untuk pembebasan dan
kemudian akan ditanamnya benih keagungan.
dan tumbuh dengan subur Pahlawan kemerdekaan,
Maka ia pun akan berkata: kaulah satu-satunya
“Alangkah gemburnya tanah pahlawan kemerdekaan
di sini!” dan tiada yang lain yang lebih
Hari pun lengkap malam patut pakaikan mahkota
ketika ia menutup matanya. kemerdekaan.
Pejuang perdamaian, kaulah
Nyanyian Yang satu-satunya pejuang
perdamaian
Dilupakan dan tiada yang lain yang lebih
Ramadhan KH patut kenakan bintang
perdamaian.
Tuhan yang menciptakan seni Waktu pistol pertama
dan bumi meletus untuk
air dan udara dan api, kemerdekaan,
menciptakan semua kita yang adalah pistol jantungmu yang
ada, ditembakkan.
selalu hormat dan cinta Waktu bendera pertama
padamu, berkibar untuk
langit dan dedaunan pembebasan,
gemelepar, adalah bendera semangatmu
bulan dan bintang hidup dan yang diacungkan.
berhikmat selalu Waktu kurban pertama
bagimu dan bagimu dan diminta untuk keagungan,
bagimu. adalah nyawamu yang
Sebanyak daunan lampu pertama dikurbankan.
digantung di dahan Kau adalah alas dan puncak
pohonan semua pujian dan pujaan;
untuk meriahkan istana Sejak fajar sampai fajar jadi
yang asing dan tetap asing sasaran penipuan dan
bagimu, pencekikan.
meja bangkit dan kemewahan 1960.
dibuka
berbatasan dengan lingkaran
dunia yang pahit, duniamu.
Bulan dan bintang yang setia
dan tetap setia padamu,
Meredupkan lampu-lampu
yang banyak dusta dan

You might also like