You are on page 1of 5

Suara Malam 

 (Februari 1943) 
oleh Chairil Anwar

Dunia badai dan topan


Manusia mengingatkan "Kebakaran di hutan"[1]

Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?

Mati.

Barangkali ini diam kaku saja


Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada.


Dan sekali akan menghadap cahaya.
...................................
Ya Allah! Badanku terbakar — segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.
Siap-Sedia  (1944) 
oleh Chairil Anwar
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,


Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,


Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,


Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna di angkasa,
Kami pembawa ke Bahgia nyata.

Kawan, kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesedaran
Mencucuk menerang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
Duka Ibu Pertiwi
Karya viefa

Kita miskin di negeri kaya raya 

Jutaan warga lapar di negara pancasila 

Makna merdeka hanya milik penguasa

Pejabat korup punya rumah sampai tiga

Sementara buruh terusir dari gubuk sewa

Kehilangan pekerjaan hidup terlunta

Para pemimpin sibuk menyusun kata

Pidato di layar kaca mahal harganya

Semua ribut bantuan setiap bencana tiba

Solusi terjebak dalam diskusi dimeja kerja

Warga miskin bahu membahu berbuat nyata

Pejabat dan pengusaha asik bercengkrama

Bencana wabah menyerang dada dan perut kita

Semua teringat falsafah dan keberkahan desa

Petani ditengah sawah kembali menjadi garda

Banyak rakyat perutnya lapar tak bisa ditunda

Meski sering petani digusur tanahnya 

Dihilangkan nyawa oleh aparat negara

Tapi petani tetap sedia menjadi garda

Sebab istana sibuk melayani pengusaha


Berikut ini puisi Ibu karya D Zawawi Imron.

Ibu

Kalau aku merantau


lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering,
daunan pun gugur bersama reranting
Hanya mata air air matamu ibu,
yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau


Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan
memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

Ibu adalah gua pertapaanku


Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi


Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera


Sempit lautan teduh tempatku mandi,
Mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar,
menebar pukat dan melempar sauh

Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku


Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal


Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.

You might also like