You are on page 1of 7

SURAT DARI IBU

Pergi ke dunia luas, anakku sayang


pergi ke hidup bebas !
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang


pergi ke alam bebas !
Selama hari belum petang

dan warna senja belum kemerah-merahan


menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar


dan elang laut pulang kesarang
angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
dan nakhoda sudah tahu pedoman
boleh engkau datang padaku !

Kembali pulang, anakku sayang


kembali ke balik malam !
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari.”

Karya Asrul Sani


Monginsidi

Aku adalah dia yang dibesarkan dengan dongeng di dada bunda

Aku adalah dia yang takut gerak bayang di malam gelam

Aku adalah dia yang meniru bapak mengisap pipa dekat meja

Aku adalah dia yang mengangankan jadi seniman melukis keindahan

AKu adalah dia yang menangis terharu mendengar lagu merdeka

Aku adalah dia yang turut dengan barisan pemberontak ke garis pertempuran

Aku adalah dia yang memimpin pasukan gerilya membebaskan kota

AKu adalah dia yang disanjung kawan sebagai pahlawan bangsa

Aku adalah dia yang terperangkap siasat musuh karena pengkianatan

Aku adalah dia yang digiring sebagai hewan di muka regu eksekusi

Aku adalah dia yang berteriak 'merdeka' sbelum ditembak mati

Aku adalah dia, ingat, aku adalah dia

karya Subagio Sastrowardoyo


TENTANG SERSAN NURCHOLIS

Seorang sersan

Kakinya hilang

Sepuluh tahun yang lalu

Setiap siang

Terdengar siulnya

Di bengkel arloji

Sekali datang

Teman-temannya

Sudah orang resmi

Dengan senyum ditolaknya

Kartu-anggota

Bekas pejuang

Sersan Nurcholis

Kakinya hilang

Di zaman revolusi

Setiap siang

Terdengar siulnya

Di bengkel arloji

1958

Karya Taufik Ismail


NYANYIAN KEMERDEKAAN

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu
Tak mampu lagi menyebut namamu
Berabad-abad aku terlelap
Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung yang semula
Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya
Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang kupilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Orang asing itu berabad-abad
Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku
Dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup
Dari rahimmu, kemerdekaan
Jantungku hampir tumpas
Karena racunnya
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia!
(Matahari yang kita tunggu
Akankah bersinar juga
Di langit kita?).

Mei 1985/2008.

Karya Ahmadun Yosi Hervanda


SELAMAT PAGI INDONESIA

selamat pagi, Indonesia, seekor burung mungil mengangguk


dan menyanyi kecil buatmu.
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu,
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku padamu dalam
kerja yang sederhana;
bibirku tak biasa mengucapkan kata-kata yang sukar dan
tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal.
selalu kujumpai kau di bawah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan;
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu.
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku.
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam
padamu, kubayangkan sehelai bendera berkibar di sayapnya.
aku pun pergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
merubahkan kesangsian,
dan menyusun batu-demi batu ketabahan, benteng
kemerdekaanmu pada setiap matahari terbit, o anak jaman
yang megah,
biarkan aku memandang ke Timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan para lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura.
selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil;
terasa benar: aku tak lain milikmu

karya Sapardi Djoko Damono


Pahlawan Tak Dikenal

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang.

Dia tidak ingat bilamana dia datang


Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan untuk tidur sayang.

Wajah sunyi setengah tergundah


Menangkap sepi pedang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun


Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajah sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring


Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: “aku sangat muda”

1955

Karya : Toto Sudarto Bachtiar


SAJAK BAGI NEGARAKU

di tubuh semesta tercinta


buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota

di antara gebalau dan keramaian tak bertuan


pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan

pada yang bernama keheningan


semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama

Solo, 1983

Karya Kriapur

You might also like