You are on page 1of 20

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK

TANAMAN WORTEL (Daucus Carota L.) DI


KECAMATAN SIRAMPOG KABUPATEN BREBES
JAWA TENGAH
(The Evaluation of Land Suitability for Carrot (Daucus
Carota L.) in Sirampog District, Brebes Regency, Central
Java)
Sefa Falahudin
Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia

sefafalahudin19@gmail.com
ABSTRACT

This research is entitled “The Evaluation of Suitability for Carrot (Daucus Carota L.) in
Sirampog District, Brebes Regency, Central Java” which aimed to determine the characteristic of
land and evaluated the level of land suitaability for carrot plantations in Batursari, Dawuhan,
Igerklanceng and Wanareja Village, Sirampog District, Brebes Regency. This research was carried
out by survey method, and the data obtained will analyzed using matching method for evaluating
the level of land suitability and weight factor method for matching the land characteristic in
Batursari, Dawuhan, Igerklanceng, and Wanareja Village for carrot plantation.
The result showed that land suitability in Batursari, Dawuhan, Igarklanceng, and
Wanareja Village, Sirampog District, Brebes Regency have suitable temperaturs as marginal level
to the proper level, humidity, proper rainfall, land texture, sandy loam, the dusty loam, exact
adequate depth, appropriate rough material as marginal level to proper level, CEC exchange is
relatively low with relatively very high base saturation, soil pH is fairly acidic, C-Organic is
relatively moderate, N-total is rather moderate, P2O5 is very low, K2O is relatively very low, no
surface rocks and flooding, flat land to very steep slopes, very mild to severe erosion hazard. The
actual land suitability in Sirampog District has characteristics and land quality in the areas of
Batursari (1,000,1200 masl), Dawuhan (1,000-1,400), Igerklanceng (1,200-1,800 masl) and
Wanareja (800-1,000 masl) have a suitability class N. the areas of Batursari (1,200-1,600 masl),
Dawuhan (1,400-1,800 masl) and Wanareja (1,000-1,600 masl) have a S3 suitability class. 1,400),
Igerklanceng (1,200-1,400 and 1,600-1,800 mdpl) and Wanareja (800-1,000 mdpl) could not
experience a grade increase, because in these areas it is not recommended for carrot cultivation to
be carried out. The Batursari (1,000-1,400 masl) and Igerklanceng (1,400-1,600) areas have a
potential land suitability class of S3. In the Dawuhan area (1,400-1,800 masl), Wanareja (1,000-
1,600) has a potential land suitability class of S2.

Keywords: Land Suitability Evaluation, Carrot, Sirampog Distric

1
INTISARI
Penelitian ini berjudul “Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Wortel (Daucus
Carota L.) di Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes Jawa Tengah” yang bertujuan untuk
menetapkan karakteristik lahan dan mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman
wortel di Desa Batursari, Dawuhan, Igerklanceng dan Wanareja Kecamatan Sirampog Kabupaten
Brebes. Penelitian ini dilakukan dengan metode survey dan hasil data yang didapatkan dianalisis
menggunakan metode matching untuk mengevaluasi tingkat kesesuaian lahan serta menggunakan
metode weight factor matching untuk mencocokan karakteristik lahan di Desa Batursari, Dawuhan,
Igerklanceng dan Wanareja untuk tanaman wortel.
Hasil analisis menunjukan bahwa kesesuaian lahan di Desa Batursari, Dawuhan,
Igerklanceng dan Wanareja Kecamatan Sirampog Kabupaten Brebes memiliki temeperatur yang
sesuai marginal hingga sesuai, kelembaban dan curah hujan yang sesuai, tesktur tanah lempung,
lempung berpasir dan lembung berdebu, kedalaman efektif yang sesuai, bahan kasar sesuai marginal
hingga sesuai, pertukaran KTK relatif rendah dengan kejenuhan basa relatif sangat tinggi, pH tanah
relatif masam, C-Organik relatif sedang, N-total relatif sedang, P2O5 sangat rendah, K2O relatif
sangat rendah, tidak terdapat batuan permukaan dan banjir, lereng datar hingga sangat curam, bahaya
erosi sangat ringan hingga berat. Kesesuaian lahan actual aktual di Kecamatan Sirampog memiliki
karakteristik dan kualitas lahan pada wilayah Batursari (1.000.1.200 mdpl), Dawuhan (1.000-1.400),
Igerklanceng (1.200-1.800 mdpl) dan Wanareja (800-1.000 mdpl) memiliki kelas kesesuian N. Pada
wilayah Batursari (1.200-1.600 mdpl), Dawuhan (1.400-1.800 mdpl) dan Wanareja (1.000-1.600
mdpl) memiliki kelas kesesuian S3.. Setelah dilakukan perbaikan atau penambahan input pada
wilayah Batursari (1.400-1.600 mdpl), Dawuhan (1.000-1.400), Igerklanceng (1.200-1.400 dan
1.600-1.800 mdpl) dan Wanareja (800-1.000 mdpl) tidak dapat mengalami kenaikan kelas,
dikarenakan pada wilayah tersebut tidak direkomendasikan untuk dilakukan budidaya wortel. Pada
wilayah Batursari (1.000-1.400 mdpl) dan Igerklanceng (1.400-1.600) dari memiliki kelas
kesesuaian lahan potensial S3. Pada wilayah Dawuhan (1.400-1.800 mdpl), Wanareja (1.000-1.600)
memiliki kelas kesesuian lahan potensial S2.

Kata Kunci: Evaluasi Kesesuaian Lahan, Tanaman Wortel, Kecamatan Sirampog

I. PENDAHULUAN
Tanaman wortel merupakan salah satu sayuran yang digemari masyarakat dan
berpotensial untuk dikembangkan (Sundari, 2011). Permintaan terhadap wortel
diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk,
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap gizi dan berkembang daerah tujuan wisata.
Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir jumlah konsumsi wortel di Indonesia cenderung
terus mengalami kenaikan yaitu, 345,52 ribu ton pada tahun 2017, 345,47 ribu ton pada
tahun 2018, 349,45 ribu ton pada tahun 2019, 352,23 ribu ton pada tahun 2020 dan 365,92
ribu ton pada tahun 2021 (BPS-Statistics Indonesia, 2022).
Impor wortel di Indonesia juga cenderung mengalami kenaikan dalam kurun waktu
5 tahun terakhir (2017-2021). Dimana pada tahun 2017 angka impor wortel 34,68 ton,
kemudian pada tahun berikut mengalami penurunan yaitu 2018 angka impor wortel345,47
ribu ton. Namun di tiga tahun berikutnya angka impor di Indonesia naik sangat drastis,
yaitu pada tahun 2019 angka impor wortel 349,45 ribu ton, 2020 angka impor wortel 203,19
ribu ton dan 2021 angka impor wortel 255,58 ribu ton. Hal tersebut menandakan bahwa
produksi wortel di Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi wortel.

2
Dataran tinggi Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igirklanceng, dan
Dawuhan) Kabupaten Brebes merupakan salah satu sentra wortel di Kabupaten Brebes
dengan areal luas tanam 1.092 ha dengan ketinggian lebih dari 800 mdpl. Wilayah tersebut
sangat berpotensi dalam pengembangan budidaya wortel, namun terdapat masalah seperti
halnya produktivitas dan kualitas wortel yang rendah, yang nantinya berdampak pada
jumlah hasil produksi dan harga wortel.
Data BPS Kabupaten Brebes (2022) menyatakan produktivitas wortel di Kabupaten
Brebes dalam 5 tahun terakhir mengalami penurunan. Tahun 2017 produktivitas wortel
pada angka 15,15 ton/ha, dua tahun berikutnya produktivitas wortel terus mengalami
penurunan. Pada tahun 2018 nilai produktivitas wortel 15,02 ton/ha, tahun 2019 nilai
produktivitas wortel 15,00 ton/ha. Kemudian dua tahun berikutnya (2020-2021)
produktivitas wortel masih sama dengan nilai produktivitas 15,00 ton/ha. Penurunan
produktivitas wortel berbanding lurus dengan penurunan hasil produksi wortel di
Kabupaten Brebes, dimana dalam 5 (lima) tahun terakhir cenderung mengalami penurunan.
Tahun 2017 jumlah produksi wotel di Kabupaten Brebes pada angka 192,6 ton, tiga tahun
berikutnya produksi wortel terus mengalami penurunan dengan angka 181,5 ton di tahun
2018, 172,4 ton di tahun 2019 dan 136,8 ton di tahun 2020. Kemudian di tahun 2022
produksi wortel mengalami kenaikan yaitu 148,9 ton. Berdasarkan data tersebut dapat
diketahui bahwa produktivitas wortel di Kabupaten Brebes belum optimal. Menurut data
Kementerian Pertanian (2020) rata-rata produktivitaS tanaman wortel dalam kurun waktu
lima tahun terakhir (2017-2021) di Indonesia adalah 16,96 ton/ha. Selain penurunan
produktifitas dan produksi tanaman wortel, masalah yang dihadapi di Kecamatan Sirampog
sebagai sentra penghasil wortel adalah kualitas wortel yang dihasilkan didominasi
malformasi bentuk pada wortel seperti wortel bercabang (forking) bengkok dan kerdil yang
mengakibatkan penurunan kualitas.
Berdasarkan permasalahan dan prospek yang dijelaskan di atas, maka diperlukan
adanya kajian dalam bentuk studi analisis karakterisasi kesesuaian lahan dalam upaya
meningkatkan produktivitas budidaya tanaman wortel di Kecamatan Sirampog, Kabupaten
Brebes untuk mengetahui daya dukung lahan yang ada, sehingga penggunaan faktor
produksi dapat dipraktekan secara efisien dan dapat dijadikan informasi untuk budidaya
wortel yang lebih baik.
II. TATA CARA PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2022 – Juli 2022. Penelitian
dilaksanakan di lapangan untuk mengetahui karakteristik lahan dan di laboratorium untuk
mengetahui kualitas lahan. Pengamatan lapangan akan dilakukan di empat desa di
Kecamatan Sirampog yaitu Desa Wanareja (luas lahan pertanian 457,6 ha), Desa
Igirklanceng (luas lahan pertanian 302,3 ha), Desa Dawuhan (luas lahan pertanian 652 ha)
dan Desa Batursari (luas lahan pertanian 284,5 ha).
B. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan menggunakan metode survey. Setelah data didapatkan
kemudian data tersebut dianalisis menggunakan metode deskriptif, metode matching dan
metode pengharkatan (scoring). Metode deskriptif berprinsip pada analisis secara visual
(pengukuran) yang dilakukan secara langsung di lapangan dengan cara menintepretasikan
lahan. Penggunaan metode matching ini berdasarkan pada pencocokan antara kriteria
kesesuaian lahan dengan data kualitas lahan. Metode matching yang digunakan adalah

3
weight factor matching. Weight factor matching yaitu jenis teknik matching dalam
mendapatkan kelas kemampuan lahan berdasarkan faktor pembatas yang paling berat,
setelah data terkumpul dilakukan analisis secara deskriptif (Adiyanta, 2019).
C. Penentuan Titik Sempel
Penentuan titik sampel dilakukan pada kondisi aktual lokasi lahan pertanaman
wortel dengan metode stratified sampling (StS) berdasarkan ketinggian tempat setiap desa.
Penentuan lokasi dilakukan atas dasar ketinggian dari wilayah pada peta dengan software
ArcGis. Terdapat empat desa (Desa Wanareja, Desa Igirklanceng, Desa Dawuhan dan Desa
Batursari) dengan ketinggian 800-1.600 yang menjadi lokasi penelitian. Sehingga sampel
tanah berjumlah 42 sempel (Gambar 1.).

Gambar 1. Peta penentuan titik sempel di Kecamatan Sirampog


D. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.
No Jenis Data Lingkup Bentuk Data Sumber

1 Rata – rata Suhu Hard dan Soft BMKG (Badan Meteorologi,


tahunan (oC) Copy Klimatologgi dan Geofisika)
Temperatur
Stasiun Klimatologi Semarang

2 Curah hujan (mm) Hard dan Soft Dinas Pertanian dan


Copy Perkebunan Kab. Brebes
Ketersediaan Air Kelembaban (%) BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologgi dan Geofisika)
Stasiun Klimatologi Tegal
3 Ketersediaan Drainase Hard dan Soft Survei Lapangan
Oksigen Copy
4. Media perakaran Tekstur Hard dan Soft Analisis Laboratorium
Bahan Kasar (%) Copy Survei Lapangan
Kedalaman Tanah Survei Lapangan
5 Retensi Hara KTK Tanah Hard dan Soft Analisis Laboratorium
Kejenuhan Basa Copy Analisis Laboratorium

4
pH Analisis Laboratorium
C-Organik Analisis Laboratorium
6 Bahaya Erosi Lereng (%) Hard dan Soft Survei Lapangan
Bahaya Erosi Copy Survei Lapangan
7 Bahaya Banjir Genangan Hard dan Soft Survei Lapangan
Copy
8 Penyiapan Lahan Batuan di Permukaan Hard dan Soft Survei Lapangan
(%) Copy
Singkapan Batuan (%) Survei Lapangan

9 Hara Tersedia Kadar N total (%) Hard dan Soft Analisis Laboratorium
P2O5 (mg/100g) Copy Analisis Laboratorium
K2O (mg/100g) Analisis Laboratorium

E. Luaran Penelitian
Luaran data yang akan dihasilkan dari penelitian ini berupa laporan penelitian dan
naskah akademik (skripsi) yang nantinya akan dipublikasikan melalui jurnal ilmiah.
III. KARAKTERISTIK WILAYAH
Garis lintang dan bujur Wilayah Kabupaten Brebes Jawa Tengah terletak di antara
60 44’ – 70 21’ Lintang Selatan dan antara 1080 41’ – 1090 11’ Bujur Timur. Empat desa di
Kecamatan Sirampog yaitu Desa Wanareja (luas lahan pertanian 457,6 ha), Desa
Igirklanceng (luas lahan pertanian 302,3 ha), Desa Dawuhan (luas lahan pertanian 652 ha)
dan Desa Batursari (luas lahan pertanian 284,5 ha) memiliki ketinggian yang bervariasi,
yaitu berkisar antara 800 - 2.600 mdpl. Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Desa
Igirklanceng, Desa Dawuhan dan Desa Batursari) sendiri jika dilihat dari jenis tanahnya
ada 2 jenis tanah yang dominan di daerah ini, yaitu tanah Ochric Andosols dan tanah Humic
Andosols.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Ksesuaian Lahan
1. Tempertur (tc)
Syarat tumbuh yang baik untuk tanaman wortel pada suhu 15-20 °C, jika suhu
siang hari diatas 25 °C maka umbi wortel akan kecil dan berkayu (Firmansyah et al., 2018).
Suhu yang terlalu tinggi akan mempengaruhi hasil fotosintesis yang menyebabkan
pembentukan ubi terhambat, penurunan fotosintesis sejalan dengan kenaikan temperatur
suhu yang tinggi akan menyebabkan menurunnya berat kering (Harwati, 2008).
Berdasarkan data tabel 1. dapat diketahui pada interval ketinggian 1600-1800 mdpl di
Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) memiliki
rata-rata temperatur udara 18 oC. Kondisi temperatur tersebut jika disesuaikan dengan kelas
kesesuaian lahan untuk tanaman wortel termasuk kedalam kelas S1 yaitu sangat sesuai
sesuai karena temperatur tersebut diantara 16-18 ˚C, yang berarti temperatur bukan faktor
pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara
nyata. Pada interval ketinggian 1400-1600 mdpl memiliki rata-rata temperatur udara 19,4
o
C. Kondisi temperatur tersebut jika disesuaikan dengan kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman wortel termasuk kedalam kelas S2 yaitu cukup sesuai sesuai karena temperatur
tersebut diantara 18-20 ˚C, yang berarti temperatur udara pada wilayah tersebut merupakan
faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya,

5
membutuhkan tambahan masukan (input). Sedangkan pada interval ketinggian 800-1200
mdpl memiliki rata-rata temperatur 20-23 oC, yang berarti temperatur pada ketinggian
tersebut memiliki nilai kesesuaian lahan tanaman wortel S3 (sesuai marginal). Hal tersebut
menunjukan temperatur menjadi faktor pembatas untuk dilakukan budidaya tanaman
wortel di wilayah tersebut, yang mana berpengaruh pada produktivitas tanaman wortel,
maka dari itu diperlukan input/perbaikan yang tinggi.
Tabel 1. Rata-rata temperatur (oC) udara di Kecamatan Sirampog berdasarkan
perhitungan Braak
Ketinggian (mdpl) Temperatur (oC) Kelas kesesuaian
800-1.000 23 S3
1.000-1.200 21,8 S3
1.200-1.400 20,6 S3
1.400-1.600 19,4 S2
1.600-1.800 18 S1
2. Ketersediaan Air (wa)
a. Curah Hujan (mm)
Rata-rata jumlah hujan bulanan di Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja,
Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) berdasarkan data BMKG Tegal 2017-2021 adalah
277,18 mm/bulan. Kondisi curah hujan (mm) tersebut jika disesuaikan dengan kelas
kesesuaian lahan untuk tanaman wortel termasuk kedalam kelas S1, yaitu sangat sesuai.
Curah hujan bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara
berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap
produktivitas lahan secara nyata.
b. Kelembaban (%)
Rata-rata suhu bulanan di Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari,
Igerklanceng dan Dawuhan) berdasarkan data BMKG Tegal 2017-2021 adalah 77,1%.
Kondisi kelembaban (%) tersebut jika disesuaikan dengan kelas kesesuaian lahan untuk
tanaman wortel termasuk kedalam kelas S1, yaitu sangat sesuai. Kelembaban bukan faktor
pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor
pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara
nyata.
3. Ketersediaan Oksigen (oa)
Tanaman wortel dapat tumbuh dan perkembang dengan baik apabila drainase tanah
sesuai, maka dari itu perlu adanya drainase yang sesuai dengan kriteria tanaman wortel.
Tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik membutuhkan lingkungan dengan kondisi
infiltrasi 0,5-2,0 cm/jam (baik) (Ritung et al., 2011). Berdasarkan tabel 2. dapat diketahui
infiltrasi di Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan)
untuk interval ketinggian 800-1200 mdpl memiliki kelas kesesuaian drainase S2 atau cukup
sesuai, yang berarti bahan kasar pada wilayah tersebut merupakan faktor pembatas, dan
faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, membutuhkan tambahan
masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Sedangkan
di interval ketinggian 1400-1600 mdpl, memiliki kelas kesesuaian drainase S1 atau sangat
sesuai, yang berarti pada wilayah tersebut bahan kasar bukan faktor pembatas yang berarti
atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor
dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah
tersebut.

6
Tabel 2. Kelas kesesuaian laju infiltrasi (cm/jam) tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
Ketinggian Laju Infiltrasi Kriteria
(mdpl) (cm/jam) Kelas kesesuaian
800-1.000 2,08 Sedang S2
1.000-1.200 2,65 Sedang S2
1.200-1.400 2,21 Sedang S2
1.400-1.600 1,58 Agak lambat S1
1.600-1.800 1,53 Agak lambat S1
4. Media Perakaran (rc)
a. Tekstur
Tekstur tanah meng-interpretasikan kasar halusnya tanah berlandaskan pada
perbandingan liat, pasir dan debu pada tanah. Berdasarkan tabel 3, tekstur tanah di
Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) pada
wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian tekstur tanah untuk tanaman wortel S1 (sangat
sesuai) karena pada daerah tersebut memiliki tekstur lempung, lempung berpasir dan
lempung berdebu. Pada wilayah tersebut tekstur tanah bukan faktor pembatas yang berarti
atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor
dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah
tersebut.
Tabel 3. Kelas tesktur di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-1.800
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S1 S1 S1 x
Dawuhan x S1 S1 S1 S1
Igerklanceng x x S1 S1 S1
Wanareja S1 S1 S1 S1 x
Keterangan:
S1: Agak kasar (lempung berpasir) dan sedang (lempung berdebu dan lempung)
x : Tidak dilakukan pengamatan
b. Bahan Kasar
Tanah terdiri dari butiran dengan berbagai ukuran. Tanah yang memiliki ukuran
>2 mm disebut bahan kasar. Bahan kasar biasanya berada pada lapisan 20 cm atau dibagian
atas tanah (Zhongjie et al., 2008). Berdasarkan pada data tabel 4, dapat diketahui di Desa
Dawuhan (1.000-1.400 mdpl) dan Desa Wanareja (800-1.200 mdpl) memiliki kelas
kesesuaian bahan kasar S1 atau sangat sesuai karena memiliki persentase bahan kasar < 15
%, yang berarti pada wilayah tersebut bahan kasar bukan faktor pembatas yang berarti atau
nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan
tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah tersebut.
Untuk Desa Batursari (1.000-1.200 mdpl), Desa Dawuhan (1.400 mdpl-1.800 mdpl), Desa
Igerklanceng (1.200-1.600 mdpl) dan Desa Wanareja (1.200-1.600 mdpl) memiliki kelas
kesesuaian bahan kasar S2 atau cukup sesuai karena memiliki persentase bahan kasar 15-
35%, yang berarti bahan kasar pada wilayah tersebut merupakan faktor pembatas, dan
faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, membutuhkan tambahan
masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Sedangkan
di Desa Batursari (1.200-1.600 mdpl) dan Desa Igerklanceng (1.600-1.800 mdpl) memiliki
kelas kesesuaian bahan kasar S3 atau sesuai marginal karena memiliki persentase bahan

7
kasar >35%, yang berarti pada wilayah tersebut bahan kasar merupakan faktor pembatas
yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya,
membutuhkan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2.
Tabel 4. Kelas kesesuaian bahan kasar di Kecamatan Sirampog
800- 1.000- 1.200- 1.400-
1.600-
Desa/Ketinggian 1.000 1.200 1.400 1.600
1.800 mdpl
mdpl mdpl mdpl mdpl
Batursari x S2 S3 S3 x
Dawuhan x S1 S1 S2 S2
Igerklanceng x x S2 S2 S3
Wanareja S1 S1 S2 S2 x
Keterangan:
S1: <15%
S2: 15-35%
S3: 35-55%
x : Tidak dilakukan pengamatan
c. Kedalaman Tanah
Kedalam tanah di Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng
dan Dawuhan) > 50 cm, yang berarti pada wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian
kedalaman tanah tanaman wortel S1 (sangat sesuai) (Tabel 5). Pada daerah tersebut
kedalaman tanah bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan
secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh
terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah tersebut.
Tabel 5. Kelas kesesuaian kedalaman tanah di Kecamatan Sirampog
Desa/Ketinggian 1.000- 1.200- 1.400- 1.600-
800-1.000
(mdpl) 1.200 1.400 1.600 1.800
Batursari x S1 S1 S1 x
Dawuhan x S1 S1 S1 S1
Igerklanceng x x S1 S1 S1
Wanareja S1 S1 S1 S1 x
Keterangan:
S1: >50 cm
x : Tidak dilakukan pengamatan
5. Retensi Hara (nr)
a. KTK Tanah
Menurut (Sukarman & Dariah, 2014), kandungan KTK pada tanah andosol di
Indonesia memiliki nilai rata-rata 23,8 cmol(+) kg-1. Berdasarkan data pada tabel 6, KTK
di Desa Igerklanceng (1.200-1.800 mdpl) pada wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian
KTK tanaman wortel S1 (sangat sesuai) karena memiliki nilai KTK >16 (cmol(+)kg-1).
Pada wilayah tersebut KTK bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap
penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan
berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah tersebut. Sedangkan
di Desa Batursari, Dawuham, Igerklanceng (1.400-1.600 mdpl) dan Wanareja pada wilayah
tersebut memiliki kelas kesesuaian KTK S2 atau cukup sesuai karena memiliki nilai KTK
5-16 (cmol(+)kg-1), yang berarti KTK pada daerah tersebut merupakan faktor pembatas,
dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, membutuhkan
tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri.

8
Tabel 6. Kelas kesesuaian KTK tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
800- 1.000- 1.200- 1.400-
1.600-1.800
Desa/Ketinggian 1.000 1.200 1.400 1.600
mdpl
mdpl mdpl mdpl mdpl
Batursari x S2 S2 S2 x
Dawuhan x S2 S2 S2 S2
Igerklanceng x x S1 S2 S1
Wanareja S2 S2 S2 S2 x
Sumber: Data primer diolah
Keterangan:
S1: >16 (cmol(+)kg-1)
S2: 5-16 (cmol(+)kg-1)
x : Tidak dilakukan pengamatan
b. Kejenuhan Basa
Kejenuhan basa merupakan persentase dari total KTK yang ditempati oleh kation-
kation basa, yaitu Ca, Mg, Na dan K. Kation basa umumnya merupakan unsur hara yang
diperlukan tanaman, yang termasuk dalam kation basa adalah Ca++, Mg++ dan Na+,
sedangkan yang termasuk kation masam adalah H+ dan Al3+ (Sembring et al., 2015).
Berdasarkan data pada tabel 7, kejenuhan basa di Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja,
Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) pada wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian
kejenuhan basa tanaman wortel S1 (sangat sesuai) karena memiliki nilai rata-rata
kejenuhan basa > 35%. Pada wilayah tersebut kejenuhan basa bukan faktor pembatas yang
berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat
minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada wilayah
tersebut.
Tabel 7. Kelas kesesuaian lahan kejenuhan basa tanaman wortel
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-1.800
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S1 S1 S1 x
Dawuhan x S1 S1 S1 S1
Igerklanceng x x S1 S1 S1
Wanareja S1 S1 S1 S1 x
Keterangan:
S1: >35%
x : Tidak dilakukan pengamatan
c. pH Tanah
Kemasaman (pH) tanah menggambarkan tingkat ketersediaan unsur hara makro
maupun mikro dalam tanah bagi pertumbuhan tanaman (Bakri et al., 2016). Nilai pH
semakin masam apabila kandungan H+ semakin tinggi, sebaliknya pH semakin basa apabila
H+ semakin rendah. Berdasarkan data pada tabel 8, pH tanah di Kecamatan Sirampog
memiliki nilai kesesuaian lahan tanaman wortel S3 (sesuai marginal) karena memiliki pH
< 5,7. Hal tersebut menunjukan pH tanah menjadi faktor pembatas untuk dilakukan
budidaya tanaman wortel di wilayah tersebut, yang mana berpengaruh pada produktivitas
tanaman wortel, maka dari itu diperlukan input/perbaikan yang tinggi.

9
Tabel 8. Kelas kesesuaian pH tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-1.800
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S3 S3 S3 x
Dawuhan x S3 S3 S3 S3
Igerklanceng x x S3 S3 S3
Wanareja S3 S3 S3 S3 x
Keterangan:
S3: pH H2O < 5,7
x : Tidak dilakukan pengamatan
d. C-Organik
Menurut Sukarman & Dariah (2014), kandungan C-organik pada tanah andosol
sangat bervasriasi dari 1,24%-22,46%. Rendahnya kandungan C-organik pada tanah
andosol, akibat penggunaan untuk tanaman hortikultura. Tanah andosol dengan tipe
penggunaan lahan kebun campuran mempunyai C-organik tertinggi yaitu 4,61%.
Berdasarkan data pada tabel 9, kandungan C-organik di Desa Batursari (1.000-1.600 mdpl),
Desa Dawuhan, Desa Igerklanceng dan Desa Wanareja (800-1.600 mdpl) pada wilayah
tersebut memiliki kelas kesesuaian c-organik tanaman wortel S1 (sangat sesuai) karena
memiliki nilai C-organik >2%. Pada wilayah tersebut C-organik bukan faktor pembatas
yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas
bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata pada
wilayah tersebut. Sedangkan di Desa Batursari (1.200-1.400 mdpl) dan Wanareja (1.200-
1.400 mdpl) pada wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian C-organik S2 atau cukup
sesuai karena memiliki nilai C-organik 0,8-2,0, yang berarti C-organik pada wilayah
tersebut merupakan faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap
produktivitasnya, membutuhkan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya
dapat diatasi oleh petani sendiri.
Tabel 9. Kelas kesesuaian C-organik Tanaman Wortel di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl 1.800 mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S1 S2 S1 x
Dawuhan x S1 S1 S1 S1
Igerklanceng x x S1 S1 S1
Wanareja S1 S1 S2 S1 x
Keterangan:
S1: >2%
S2: 0,8-2%
x : Tidak dilakukan pengamatan
6. Hara Tersedia (na)
a. N-Total
Menurut Sukarman & Dariah (2014), kandungan N-total pada tanah andosol
dengan tipe penggunaan lahan kebun campuran tertinggi yaitu 0,31%.Berdasarkan data
pada tabel 10, kandungan N-total di Kecamatan sirampog (Desa Wanareja, Batursari,
Igerklanceng dan Dawuhan) pada wilayah tersebut memiliki kelas kesesuaian N-total
tanaman wortel S1 (sangat sesuai) karena memiliki nilai N-total 0,21-0,5% (sedang). Pada
wilayah tersebut N-total bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap

10
penggunaan secara berkelanjutan dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan
secara nyata pada wilayah tersebut.
Tabel 10. Kelas kesesuaian N-total tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
800- 1.000- 1.200- 1.400-
1.600-
Desa/Ketinggian 1.000 1.200 1.400 1.600
1.800 mdpl
mdpl mdpl mdpl mdpl
Batursari x S1 S1 S1 x
Dawuhan x S1 S1 S1 S1
Igerklanceng x x S1 S1 S1
Wanareja S1 S1 S1 S1 x
Keterangan:
S1: Sedang
x : Tidak dilakukan pengamatan
b. P2O5
Menurut Sukarman & Dariah (2014), pada tanah andosol unsur fosfat sebagian
besar terikat oleh mineral liat, sehingga kandungan P-tersedia pada tanah andosol yaitu
15,2 mg/100g. Berdasarkan data pada tabel 11, kandungan unsur P2O5 di Kecamatan
Sirampog memiliki nilai kesesuaian lahan tanaman wortel S3 (sesuai marginal) karena
memiliki rata-rata kandungan P2O5 yang sangat rendah (<10 mg/100g). Hal tersebut
menunjukan unsur P2O5 menjadi faktor pembatas untuk dilakukan budidaya tanaman
wortel di wilayah tersebut, yang mana berpengaruh pada produktivitas tanaman wortel,
maka dari itu diperlukan input/perbaikan yang tinggi.
Tabel 11. Kelas kesesuaian P2O5 tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl 1.800 mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S3 S3 S3 x
Dawuhan x S3 S3 S3 S3
Igerklanceng x x S3 S3 S3
Wanareja S3 S3 S3 S3 x
Keterangan:
S3: Rendah-sangat rendah
x : Tidak dilakukan pengamatan
c. K Tersedia
Menurut Sukarman & Dariah (2014), kalium dalam tanah terdapat dalam jumlah
yang sangat bervariasi, yaitu antara 0,3-2,5%. Pada tanah yang banyak mengandung liat
mempunyai kadar dapat dipertukarkan yang tinggi yaitu sekitar 4% dari total K yang
terdapat dalam tanah (Rahma et al., 2019). Berdasarkan data pada tabel 12, kelas
kesesuaian kandungan unsur hara K-tersedia di Desa Dawuhan (1.400-1.600 mdpl) untuk
tanaman wortel yaitu S2 atau cukup sesuai karena memiliki nilai kandungan K-tersedia
rendah (10-20 mg/100g), yang berarti K-tersedia pada wilayah tersebut merupakan faktor
pembatas yang berpengaruh terhadap produktivitas dan membutuhkan tambahan masukan
(input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Sedangkan kandungan
unsur K-tersedia di Desa Batursari, Desa Dawuhan (1.000-1.800 mdpl), Desa Igerklanceng
dan Desa Wanareja memiliki nilai K-tersedia kesesuaian lahan tanaman wortel S3 (sesuai
marginal) karena memiliki rata-rata kandungan K-tersedia sangat rendah (<10mg/100g).
Hal tersebut menunjukan unsur K-tersedia menjadi faktor pembatas untuk dilakukan

11
budidaya tanaman wortel di wilayah tersebut, yang mana berpengaruh pada produktivitas
tanaman wortel, maka dari itu diperlukan input/perbaikan yang tinggi.
Tabel 12. Kelas kesesuaian K-tersedia tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-1.800
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S3 S3 S3 x
Dawuhan x S3 S3 S2 S3
Igerklanceng x x S3 S3 S3
Wanareja S3 S3 S3 S3 x
Keterangan:
S3: Sangat rendah
x : Tidak dilakukan pengamatan
7. Bahaya Erosi (eh)
a. Lereng
Semakin lereng atau curam suatu lahan, maka semakin besar maka derajat erosi.
Semakin panjang lereng, jumlah aliran air permukaan semakin berkurang, tetapi volume
tanah yang dihancurkan semakin besar yang berarti derajat erosi semakin besar juga
(Rahmayanti, 2015). Hasil pengamatan pengukuran kemiringan lereng di lapangan
menggunakan alat klinometer. Berdasarkan data tabel 13 diketahui bahwa kemiringan
lereng di Desa Batursari (1000-1200 mdpl), Dawuhan (1400-1600 mdpl) dan Wanareja
(1000-1200 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan tanaman wortel S1 (sangat sesuai)
karena memiliki kemiringan lereng <3%. Pada wilayah tersebut kemiringan lereng menjadi
faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau
faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan
secara nyata pada wilayah tersebut. Pada wilayah Desa Batursari (1200-1400 mdpl) dan
Wanareja (1200-1600 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan tanaman wortel S2 (cukup
sesuai) karena memiliki kemiringan lereng 3-8%, yang berarti kemiringan lereng pada
wilayah tersebut merupakan faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh
terhadap produktivitasnya, membutuhkan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut
biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Sedangkan pada wilayah Desa Batursari (1400-
1600 mdpl), Dawuhan (1000-1800 mdpl) Igerklanceng dan Wanareja (800-1000 mdpl)
memiliki kelas kesesuaian lahan tanaman wortel N (sangat tidak sesuai) karena memiliki
kemiringan lereng > 15%. Hal tersebut menunjukan bahwa lereng menjadi menjadi faktor
pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi untuk dilakukan budidaya tanaman wortel
di wilayah tersebut.
Tabel 13. Kelas kemiringan lereng di Kecamatan Sirampog
1.000- 1.200- 1.400-
800-1.000 1.600-
Desa/Ketinggian 1.200 1.400 1.600
mdpl 1.800 mdpl
mdpl mdpl mdpl
Batursari x S1 S2 N x
Dawuhan x N N S1 N
Igerklanceng x x N N N
Wanareja N S1 S2 S2 x
Keterangan:
S1: <3%
S2: 3-8%
N : >15%

12
x : Tidak dilakukan pengamatan
b. Bahaya Erosi
Menurut Sukarman & Dariah (2014), erosi pada lahan sayuran di tanah andosol
tanpa adanya teknik konservasi yaitu 80-218 ton/ha/tahun pada kemiringan 15-30%. Erosi
yang dapat ditoleransi setara dengan 30 ton/ha/tahun (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2011).
Berdasarkan tabel 14, Desa Batursari (1.400-1.600mdpl), Dawuhan (1.600-1.800 mdpl),
Igerklanceng (1.400-1800 mdpl) dan Wanareja (800-1.000 mdpl) memiliki kelas
kesesuaian bahaya eosi untu tanaman wortel S3 (sesuai marginal) karena memiliki nilai
bahaya erosi ringan (16-60 ton/ha/tahun) sampai sedang (60-180 ton/ha/tahun). Hal
tersebut menunjukan bahaya erosi menjadi faktor pembatas untuk dilakukan budidaya
tanaman wortel di wilayah tersebut, yang mana berpengaruh pada produktivitas tanaman
wortel, maka dari itu diperlukan input/perbaikan yang tinggi. Sedangkan di Desa Dawuhan
(1.000-1.200 mdpl) dan Desa Igerklanceng (1.200-1.400 mdpl) memiliki kelas kesesuaian
bahaya erosi untuk tanaman wortel yaitu kelas N (sangat tidak sesuai) dengan nilai bahaya
erosi berat (180-400 ton/ha/tahun). Hal tersebut menunjukan bahaya erosi menjadi faktor
pembatas yang sangat berat atau sulit diatasi untuk dilakukan budidaya tanaman wortel di
wilayah tersebut.
Tabel 14. Kelas laju erosi tanah (ton/ha/tahun) tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
800- 1.000- 1.200- 1.400- 1.600-
Desa/Ketinggian 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800
mdpl mdpl mdpl mdpl mdpl
Batursari x S2 S2 S3 x
Dawuhan x N S3 S2 S3
Igerklanceng x x N S3 S3
Wanareja S3 S2 S2 S2 x
Keterangan:
S2: Sangat ringan
S3: Ringan-sedang
N : Berat-sangat berat
x : Tidak dilakukan pengamatan
8. Bahaya Banjir
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan petani setempat, tingkat kesesuian
bahaya banjir di daerah Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan
Dawuhan) dapat diabaikan, dikarenakan banjir berlangsung tidak lebih dari 1 (satu) hari.
Kelas kesesuaian bahaya banjir untuk tanaman wortel di daerah Kecamatan Sirampog
(Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) termasuk kelas S1 atau sangat
sesuai. Yang berarti bahaya banjir bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap
penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan
berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
9. Penyiapan Lahan (lp)
a. Batuan Dipermukaan
Tanaman wortel sangat sesuai pada kondisi lahan yang mempunyai persentase
batuan permukaan <5%. Batuan permukaan di daerah daerah Kecamatan Sirampog (Desa
Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan Dawuhan) 0% atau tidak terdapat batuan
dipermukaan. Kelas kesesuain batuan permukaan untuk tanaman wortel sendiri termausk
kelas S1 (sangat sesuai), yang berarti batuan permukaan bukan faktor pembatas yang

13
berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat
minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
b. Singkapan Batuan
Singkapan batuan yang sesuai untuk budidaya tanaman wortel <5%. Singkapan
batuan di daerah daerah Kecamatan Sirampog (Desa Wanareja, Batursari, Igerklanceng dan
Dawuhan) memiliki kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai) atau persentase singkapan bartuan
<5%. Hal tersebut berarti singkapan batuan bukan faktor pembatas yang berarti atau nyata
terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak
akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
B. EVALUASI LAHAN TANAMAN WORTEL DI KECAMATAN
SIRAMPOG KABUPATEN BREBES
1. Kesesuaian Lahan Aktual Untuk Tanaman Wortel di Kecamatan Sirampog
Berdasarkan gambar 2, Pada wilayah Desa Dawuhan (1.400-1.600 mdpl) memiliki
tingkat sub-kelas yaitu S3-nr/na dengan tingkat unit S3nr-3, na-2. Hal tersebut berarti, pada
lahan yang terwakili oleh sempel tersebut termasuk dalam kelas S3 (sesuai marginal) pada
sub-kelas retensi hara dan hara tersedia dengan tingkat unit pH H2O dan P2O5. Pada wilayah
Desa Dawuhan (1.600-1.800 mdpl) memiliki tingkat sub-kelas yaitu S3-nr/na/eh dengan
tingkat unit S3nr-3, na-2-3, eh-1-2. Hal tersebut berarti, pada lahan yang terwakili oleh
sempel tersebut termasuk dalam kelas S3 (sesuai marginal) pada sub-kelas retensi hara,
hara tersedia dan bahaya erosi dengan tingkat unit pH H2O, P2O5, K2O, kemiringan lereng
dan laju erosi. Pada wilayah Desa Wanareja (1.000-1.200 mdpl) memiliki tingkat sub-kelas
yaitu S3-tc/nr/na dengan tingkat unit S3tc-1, nr-3, na-2-3. Hal tersebut berarti, pada lahan
yang terwakili oleh sempel tersebut termasuk dalam kelas S3 (sesuai marginal) pada sub-
kelas temperature, retensi hara dan hara tersedia dengan tingkat unit temperature, pH H2O,
P2O5 dan K2O. Pada wilayah Desa Wanareja (1.200-1.400 mdpl) memiliki tingkat sub-
kelas yaitu S3-tc/nr/na/eh dengan tingkat unit S3tc-1, nr-3, na-2-3, eh-1-2. Hal tersebut
berarti, pada lahan yang terwakili oleh sempel tersebut termasuk dalam kelas S3 (sesuai
marginal) pada sub-kelas temperature, retensi hara, hara tersedia dan bahaya erosi dengan
tingkat unit temperature, pH H2O, P2O5, K2O, kemiringan lereng dan laju erosi. Pada
wilayah Desa Wanareja (1.400-1.600 mdpl) memiliki tingkat sub-kelas yaitu S3-nr/na/eh
dengan tingkat unit S3nr-3, na-2-3, eh-1-2. Hal tersebut berarti, pada lahan yang terwakili
oleh sempel tersebut termasuk dalam kelas S3 (sesuai marginal) pada sub-kelas retensi
hara, hara tersedia dan bahaya erosi dengan tingkat unit temperature, pH H2O, P2O5, K2O,
kemiringan lereng dan laju erosi.

14
Gambar 2. Peta kesesuaian lahan potensial tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
Kabupaten Brebes
a. Ketersediaan unsur hara (Sub-kelas S3na, tingkat unit S3na-2, n2-3)
Menurut Maynard & Hocmuth (2007) pemberian pupuk pada waktu 7-10 hari
sebelum tanam dapat berupa pupuk kandang dengan dosis 15000 kg/ha/musim tanam, urea
dengan dosis 249 kg/ha/musim tanam, SP-36 dengan dosis 361, KCl dengan dosis 142.
Menurut Susila (2006), pada lahan tersebut sebelumnya harus sudah dicangkul sedalam 40
cm atau lebih, kemudian biarkan tanah tersebut terkena matahari secara langsung. Pada 4
MST (minggu setelah tanam) diberikan pupuk urea dengan dosis 124 kg/ha/musim tanam
dan pupuk KCl dengan dosis 66 kg/ha/musim tanam. Pada umur 6 MST diberikan pupuk
urea dengan dosis 124 kg/ha/musim dan pupuk KCl dengan dosis 66 kg/ha/musim.
b. Retensi hara (Sub-kelas S3nr, tingkat S3nr-3)
Berdasarkan hasil analisis laboratorium kandungan Ca di Kecamatan Sirampog
memiliki rata-rata kandungan Ca 20,98 me/100g termasuk kriteria sangat tinggi. Maka
dalam upaya untuk meningkatkan pH memerlukan suatu input kandungan Ca rendah,
bahan yang memiliki kandunga Ca rendah dan dapat meningkatkan pH pada tanah adalah
gipsum dan bahan organik. Hal tersebut dikarenakan ion-ion basa K, Ca, Mg, atau Na
terdapat sifat antagonistik dalam hal serapan oleh tanaman. Bila salah satu unsur lebih
banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Gipsum yang paling umum
ditemukan adalah jenis hidrat kalsium sulfat dengan rumus kimia CaSO4.2H2O yang
mengandung SO3 sebanyak 42% (Mukmin et al., 2016). Mekanisme pengapuran ketika
gipsum ditambahkan ke tanah menyebabkan ion OH- dibebaskan ke tanah melalui serapan
SO4-2. Adsorpsi spesifik terjadi ketika gugus OH20,5+ dan OH- pada permukaan okida Al
atau Fe digantikan oleh gugus -OH dan -COOH hasil perombakan bahan organik melalui
reaksi pertukaran ligan (ligand exchange) yang menyebabkan stabilisasi bahan organik
pada permukaan oksida Al atau Fe (Basuki & Sari, 2019). Menurut Badan Litbang
Pertanian (2018), pemberian gipsum dapat dilakukan 7-10 hari sebelum tanam, dengan
dosis 2-4 t/ha (2-4 ons/m2).

15
c. Bahaya erosi (Sub-kelas N-eh, tingkat unit Neh-1, eh-2)
Untuk menangani kelas bahaya erosi yang tidak sesuai dapat dilakukan dengan
cara koservasi lahan baik secara vegetatif maupun mekanis (Dianasari et al., 2018).
Perbaikan secara mekanis pada area dengan lereng 15-30% dapat diterapkan sistem
pembuatan bedengan searah kontur, menurut penelitian Haryati et al., (2013) tanaman
sayuran yang ditanam searah kontur (Lampiran 15.12) dapat mengurangi erosi dan tidak
berkorelasi dengan tingginya serangan penyakit pada sayuran, selama drainase dijaga
dengan baik. Pembuatan bedeng berdasarkan kontur merupakan teknik pengolahan pada
lahan miring yang dilakukan dengan mengikuti garis kontur atau memotong lereng
(Lampiran 18). Keuntungan utama pengolahan menurut kontur adalah terbentuknya
penghambat aliran permukaan yang meningkatkan penyerapan air oleh tanah dan
menghindari pengangkutan tanah sehingga dapat mengendalikan erosi (Wijayanto et al.,
2021).
Sedangkan perbaikan secara vegetatif pada wilayah tersebut dapat menggunakan
sistem alley cropping (sistem pertanaman lorong) (Lampiran 19), menurut Haerani (2017)
sistem alley cropping merupakan sistem pertanian yang mampu mengendalikan erosi,
pengurangan kehilangan hara tanah akibat pencucian yang mudah diadopsi oleh petani
sehingga dapat mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan. Alley cropping merupakan
teknologi yang mengintegerasikan pohon dalam pengaturan zona spasial dengan tanaman
yang dibudidayakan. Dalam menggunakan sistem alley cropping akan terjadi interaksi
yang menguntungkan. Berdasarkan penelitian (Triwanto & Mutaqqin, 2018), penggunaan
pohon pinus sebagai tanaman alley cropping berperan dalam menurunkan kehilangan air
melalui evaporasi dari permukaan tanah dan dapat mendaur unsur N yang efisien melalui
seresah daun yang ditimbulkan. Selain itu tanaman keras seperti pohon pinus jika ditanam
pada tingkat bahaya erosi sedang, berat dan sangat berat dapat mereduksi laju erosi sebesar
38,19% dari besarnya laju erosi yang ada di lahan (Taufiq et al., 2016).
Erosi tanah akan mengurangi kesuburan tanah, hal tersebut dikarenakan hilangnya
lapisan topsoil yang disebabkan oleh terkikisnya lapisan tersebut. Menurut Suganda et al.
(1997) jumlah hara yang terangkut melalui erosi pada musim tanam sayuran dengan
bedengan searah lereng yaitu 241 kg N, 80 kg P2O5 dan 18 kg K2O. Maka dari itu supaya
tersedia kembali unsur hara pada lapisan tersebut maka perlu adanya penambahan bahan
organik berupa pupuk kendang dengan dosis 15.000 kg/ha/musim tanam. Pupuk kandang
mempunyai fungsi yang penting dalam meningkatkan jasad renik, meningkatkan daya
resap air dan daya simpan air serta dapat meningkatkan kesuburan tanah (Yulianto et al.,
2021). Pupuk kandang yang digunakan dapat berupa pupuk kandang ayam. Karena pupuk
kandang ayam dapat meningkatkan proses perombakan bahan organik.
d. Temperature (Sub-kelas S3-tc, tingkat unit S3tc-1)
Pada faktor pembatas temperatur untuk tanaman wortel sendiri tidak dapat dilakukan usaha
perbaikan, namun menurut Pratama et al., (2021), adaptasi diperlukan guna mengurangi
dampak ketidak sesuaian iklim pada sektor pertanian tanaman hortikultura. Adaptasi yang
dapat dilakukan, di antaranya yaitu penyesuaian waktu tanam dan penggunaan varietas
yang tahan terhadap cekaman iklim. Berdasarkan peneltian Pratama et al., (2021),
penggunaan varietas Awie Lilin yang telah terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas
Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) tahun 2017 mampu tumbuh optimal dengan

16
temperatur rata-rata mencapai 23,0 ºC dan menghasilkan produktivitas tertinggi 24,68
ton/ha.
Untuk penyesesuaian waktu tanam wortel menurut penelitian Susila (2006), waktu
untuk melakukan budidaya wortel yang sesuai yaitu pada akhir musim hujan. Hal tersebut
dikarenakan pada awal pertumbuhan, tanaman membutuhkan air yang cukup banyak.
Petani juga diharapkan melakukan budidaya wortel ketika temperatur rata-rata bulanan
tidak melebihi nilai maksimal. Nilai temperatur maksimal untuk tanaman wortel sendiri 23
ºC. Dengan mempertimbangkan waktu tanam diharapkan tanaman wortel dapat memiliki
produktivitas yang tinggi.
2. Kesesuaian Lahan Potensial Untuk Tanaman Wortel di Kecamatan Sirampog
Tingkat pengelolaan kesesuaian lahan aktual menjadi kesesuaian lahan potensial
yaitu dengan tingkat pengelolaan sedang. Tingkat pengelolaan sedang merupakan tingkat
pengelolaan yang dapat dilaksanakan pada tingkat petani menengah yang membutuhkan
modal yang menengah dan teknik pertanian sedang. Perbaikan kesesuaian lahan untuk
tanaman wortel pada pembatas retensi hara berupa pH H2O dilakukan perbaiakan dengan
melakukan pengapuran menggunakan dolomit. Pada faktor pembatas hara tersedia yang
berupa P2O5 dan K2O perbaikan yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian pupuk
organik dan anorganik yang mengandung kedua unsur tersebut. Pada faktor pembatas
media perakaran yang berupa persentase bahan kasar dilakukan perbaikan dengan
pengolahan yang sesuai. Pada faktor pembatas bahaya erosi yang berupa kemiringan lereng
dan bahaya erosi dilakukan perbaikan dengan usaha konservasi lahan.
Pada faktor pembatas presentase bahan kasar juga tidak dapat dilakukan usaha
perbaikan. Menurut Badan Litbang Pertanian (2018), pengolahan tanah sempurna atau
gembur dilakukan manual menggunakan cangkul. Pengolahan tanah sempurna mutlak
diperlukan karena perakaran wortel relatif lemah dan cenderung bercabang atau terhambat
pemanjangannya jika tanah padat. Lahan diolah dengan kedalaman sekitar 30 cm, dibuat
bedengan dengan lebar 1 m dan tinggi 20 cm serta panjang menyesuaikan ukuran lahan.
Pengolahan tanah tersebut bertujuan agar pertumbuhan akar tanaman wortel tidak
terhambat.
Berdasarkan gambar 3, dengan adanya usaha perbaikan pada faktor pembatas yang
ada, maka kelas kesesuaian lahan potensial untuk tanaman wortel pada wilayah Desa
Batursari (1.000-1.200 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit S3tc-
1, nr-3, na-2-3 eh-1-2. Pada wilayah Desa Batursari (1.200-1.400 mdpl) memiliki kelas
kesesuaian lahan potensial dengan unit S3rc-2. Pada wilayah Desa Batursari (1.600-1.800
mdpl), Desa Dawuhan (1.400-1.600 mdpl) dan Desa Igerklanceng (1.200-1.400 dan 1.600-
1.800 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit Neh-1-2. Pada wilayah
Desa Dawuhan (1.400-1.600 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit
S2tc-1, rc-2, nr-1-3, na-3, eh-2. Pada wilayah Desa Dawuhan (1.600-1.800 mdpl) memiliki
kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit S2rc-2, nr-1-3, eh-1-2. Pada wilayah Desa
Wanareja (800-1.000 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit Neh-1.
Pada wilayah Desa Wanareja (1.000-1.200 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan
potensial dengan unit S2tc-1, oa-1, nr-1-3, na-2-3, eh-2. Pada wilayah Desa Wanareja
(1.200-1.400 mdpl) S2tc-1, oa-1, rc-2 nr-1-3-4, na-2-3, eh-1-2. Pada wilayah Desa
Wanareja (1.400-1.600 mdpl) memiliki kelas kesesuaian lahan potensial dengan unit S2tc-
1, rc-2, nr-1-3, eh-1-2. Artinya lahan di Kecamatan Sirampog dengan adanya usaha
perbaikan lebih lanjut maka dapat meningkatkan kelas kesesuaian untuk tanaman wortel.

17
Gambar 3. Peta kesesuaian lahan potensial tanaman wortel di Kecamatan Sirampog
Kabupaten Brebes

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan tanaman wortel di Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes memiliki karakteristik dan kualitas lahan dengan
temperatur 16,9-23 oC (sesuai marginal-sesuai), curah hujan dan kelembaban yang
sesuai, memiliki drainase yang baik yaitu sedang-agak lambat, memiliki tekstur yang
sesuai (agak kasar-sedang), presentase bahan kasar yang sesuai-sesuai marginal,
kedalaman tanah yang sesuai (>50 cm), memiliki KTK dan kejenuhan basa rendah-
tinggi, pH tanah agak masam-masam (<5), memiliki kandungan C-organik dan N-total
sedang, memiliki K-tersedia dan P-tersedia yang rendah, memiliki tingkat bahaya erosi
sangat ringan-sangat berat, bukan merupakan daerah banjir dan memiliki batuan
dipermukaan dan singkapan batuan yang sesuai (<5%).
2. Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan tanaman wortel di Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes memiliki kesesuian lahan aktual pada wilayah Batursari
(1.000-1.200 dan 1.400-1.600 mdpl), Dawuhan (1.000-1.400 mdpl), Igerklanceng, dan
Wanareja (800-1.000 mdpl) memiliki kelas kesesuian N (tidak sesuai). Pada wilayah
Batursari (1.200-1.400 mdpl), Wanareja (1.000-1.600 mdpl) dan Dawuhan (1.400-
1.800 mdpl) memiliki kelas kesesuaian S3 (sesuai marginal). Setelah dilakukan
perbaikan atau penambahan input pada wilayah Batursari (1.400-1.600 mdpl),
Dawuhan (1.000-1.400), Igerklanceng (1.200-1.400 dan 1.600-1.800 mdpl) dan
Wanareja (800-1.000 mdpl) tidak dapat mengalami kenaikan kelas, dikarenakan pada
wilayah tersebut tidak direkomendasikan untuk dilakukan budidaya wortel. Pada
wilayah Batursari (1.000-1.400 mdpl) dan Igerklanceng (1.400-1.600) menjadi
memiliki kelas kesesuaian lahan potensial S3. Pada wilayah Dawuhan (1.400-1.800
mdpl), Wanareja (1.000-1.600) menjadi memiliki kelas kesesuian lahan potensial S2.

18
B. Saran
1. Melakukan analisis kandungan AI, supaya dapat mengetahui apakah kandungan Al
berkorelasi positif atau negatif terhadap kandungan P2O5, K2O, kejenuhan basa dan
Kapasitas Tukar Kation (KTK), serta berpengaruh secara nyata atau tidak terhadap
kemasaman pH tanah.
2. Penambahan jumlah titik sempel di setiap strata, supaya mendapatkan lebih banyak
sempel yang mewakili kondisi lahan pada setiap strata.

DAFTAR PUSTAKA
Adiyanta, F. C. S. (2019). Hukum dan Studi Penelitian Empiris: Penggunaan Metode
Survey sebagai Instrumen Penelitian Hukum Empiris. Adminitrative Law &
Governance Journal, 2(4), 697–709. https://doi.org/https://doi.org
/10.14710/alj.v2i4.697-709
Badan Litbang Pertanian. (2018). Budidaya Wortel di Kalimantan Tengah. Badan Litbang
Pertanian.
Bakri, I., Thaha, Abdul. R., & Isrun. (2016). Status Beberapa Sifat Kimia Tanah Pada
Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Poboya Kecamatan Palun Selatan. E-J.
Agrotekbis, 4(5), 512–520.
Basuki, & Sari, K. (2019). Efektifitas Dolomit Dalam Mempertahankan pH Tanah
Inceptisol Perkebunan Tebu Blimbingan Djatiroto. Buletin, Tanaman Tembakau,
Serat & Minyak Industri, 11(2), 58–64.
https://doi.org/10.201082/btsm.v11n2.2019.58-64
BPS-Statistics Indonesia. (2020). Statistik Hortikultura 2020. BPS-Statistics Indonesia.
Dianasari, Q., Andawayanti, U., & Cahya, Evi. N. (2018). Pengendalian Erosi dan Sedimen
Dengan Arahan Konservasi Lahan di DAS Genting Kabupaten Ponorogo. Teknik
Pengairan, 9(2), 95–104.
Firmansyah, M. A., Rahayu, W., & Liana, T. (2018). Paket Pemupukan Wortel Pada Tanah
Lempung Liat Berpasir Dataran Rendah di Palangka Raya-Kalimantan Tengah.
Berita Biologi, 17(2), 91–223. https://doi.org/10.14203/beritabiologi.v17i2.2838.
Haerani, N. (2017). Alley Cropping Meningkatkan Resiliensi Produksi Pertanian Pada
Lahan Kering (A Review). Agrovital, 2(2), 72–79.
Hardjowigeno, S., & Widiatmaka. (2011). Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan
Tataguna Lahan (2nd ed.). Gadjah Mada University Press.
Harwati, Ch. T. (2008). Pengaruh Suhu dan Panjang Penyinaran Terhadap Umbi Kentang
(Solanum tuberosum, ssp.). Jurnal Inovasi Pertanian, 7(1), 11–18.
Haryati, U., D. Erfandi, dan Y. Sulaeman. (2013). Teknik konservasi, hubungannya dengan
sifat fisik tanah serta serangan hama penyakit pada tanaman kentang di dataran tinggi
Kerinci. Hlm. 305-318. Dalam Sulaeman et al. (Eds.) Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian. Bogor, 29 Mei 2013.
Kementerian Pertanian. (2020). Data Lima Tahun Terakhir. Kementerian Pertanian.
https://www.pertanian.go.id/home/ ?show=page&act=view&id=61
Maynard, Donald. N., & Hocmuth, George. J. (2007). HANDBOOK FOR VEGETABLE
GROWERS (5th ed.). John Wiley & Sons, Inc.
Mukmin, Widjajanto, D., & Hasanah, U. (2016). Pengaruh Pemberian Gipsum Terhadap
Perubahan Beberapa Sifat Fisik dan Kimia Entisols Lembah Palu. Agrotekbis, 4(3),
252–257.

19
Pratama, Fandi. P., Uker, D., & Barchia, M. F. (2021). Analisis Perubahan Iklim dan
Adaptasi Sektor Pertanian Tanaman Hortikultura Dataran Sedang dan Tinggi Bukit
Kaba. Penelitian Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 10(2), 363–370.
Rahma, S., Rahsyid, B., & Jayadi, M. (2019). Peningkatan Unsur Hara Kalium Dalam
Tanah Melalui Aplikasi POC Batang Pisang dan Sabut Kelapa. Ecosolum, 8(2), 74–
85.
Rahmayanti, F. D. (2015). Pengaruh Kelas Kemiringan dan Posisi Lereng Terhadap
Kandungan Fe Tanah Sebagai Indikator Kualitas Lingkungan dan Kesuburan Tanah
Pada Alfisol di Desa Gunungsari Kabupaten Tasikmalaya. Program Studi
Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Borobudur, 17–27.
Ritung, S., Nugroho, K., Mulyani, A., & Suryani, E. (2011). Evaluasi Lahan Untuk
Komoditas Pertanian (Revisi). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian.
Sembring, Ika. S., Wawan, & Khoiri, M. A. (2015). Sifat Kimia Tanah Dystrudepts dan
Pertumbuhan Akar Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Yang
Diaplikasikan Mulsa Organik Mucana Bracteata. JOM Faperta, 2(2), 1–9.
Suganda, H., M. S. Djunaedi, D. Santoso, dan S. Sukmana. 1997. Pengaruh cara
pengendalian erosi terhadap aliran permukaan, tanah tererosi, dan produksi sayuran
pada Andosol. Jurnal Tanah dan Iklim, 15:38-50.
Sukarman, & Dariah, A. (2014). TANAH ANDOSOL DI INDONESIA: Karakteristik,
Potensi, Kendala, dan Pengelolaan untu Pertanian (M. Anda, Hikmatullah, & Y.
Sulaeman, Eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sundari, M. T. (2011). Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Tani Wortel di Kabupaten
Karang Anyar. SEPA, 7(2), 119–126.
Susila, Anas. D. (2006). PANDUAN BUDIDAYA TANAMAN SAYURAN. Institut Pertanian
Bogor.
Sutrisno, N., & Heryani, N. (2013). Teknologi konservasi Tanah dan Air Untuk Mencegah
Degredasi Lahan Pertanian Berlereng. J. Litbang Pert, 32(3), 122–130.
Taufiq, M., Andawayanti, U., & Purwati, E. (2016). Upaya Konservasi Lahan Berdasarkan
Indikator Erosi dan Sedimen di DAS Jragung. Teknik Pengairan, 7(2), 289–294.
Triwanto, J., & Mutaqqin, T. (2018). Kajian Agroforestri di Bawah Tegakan Pinus Untuk
Meningkatkan Produktivitas Lahan dan Kesejahteraan Pertani Studi Kasus: di Desa
Pujonkidul Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Sylva, 7(2), 40–48.
Wijayanto, H. W., Anantayu, S., & Wibowo, A. (2021). Perilaku dalam Pengelolaan Lahan
Pertanian di Kawasan Konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Kabupaten
Karanganyar. AgriHumanis: Journal of Agriculture and Human Resource
Development Studies, 2(1), 25–34. https://doi.org/10.46575/agrihumanis.v2i1.96
Yulianto, S., Bolly, Yovita. Y., & Jeksen, J. (2021). Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang
Ayam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) di
Kabupaten Sikka. Inovasi Penelitian, 1(10), 2165–2170.
https://doi.org/https://doi.org/10.47492/jip.v1i10.393
Zhongjie, S., Yanhui, W., Pengtao, Y., Lihong, X., Wei Xiong, & Hao, G. (2008). Effect
of rock fragments on the percolation and evaporation of forest soil in Liupan
Montains, China. Acta Ecologica Sinica, 28(12), 6090-6–98.

20

You might also like