You are on page 1of 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337483271

Self-Efficacy: A Brief Literature Review

Article in JURNAL MANAJEMEN MOTIVASI · November 2019


DOI: 10.29406/jmm.v15i2.1409

CITATIONS READS

15 3,192

1 author:

Lianto Lianto
Universitas Widya Dharma Pontianak
5 PUBLICATIONS 21 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Lianto Lianto on 06 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61
Jurnal Manajemen
otivasi motivan
t
gem
JournalOfM

E-ISSN : 2407- 5310


P-ISSN : 2085- 1596

Fak tor Per ti m ba ng an Masy araka t Me m ili h Da f tar E fek Syar iah
Fe n ni S up r ia di , D ed i Ha ri ya nt o

Ide n ti fikas i M an aje m en Ase t da n Kin erja K eua ng an Terh ada p Ni lai Pa sar
Pa da Per usa haa n P rop ert i Ya ng Ter da f tar di B ursa E fek I nd ones ia
Sa nt y M ay da B at ub ara

Pe ng aruh P DR B , P en did ika n dan P eng an ggur an Terh ad ap Ke mi skin an


di K ab upa te n S a mb as
Ura y Di an No vit a, Nu r Ist i qa m a h

Ma na je me n Kin erj a, Ke adi la n dan K iner ja Kary aw an Pad a P T. S unpr i ma


Nusa nt ara Pe m bia yaa n ( Co lu mb ia Fin anc e) P on ti anak
Ud i n Ri na l d i, Tri Di a na , An d i ni Tr ia na D e wi

Pe ng aruh B aura n P e mas ara n Ter ha dap K epu tus an Ko nsu m en Me m bel i M ob il
Hon da Pad a Ho nd a Daya M ot or di Ko ta Po nt ia nak
S u m iy ati , J aka ri a

Pe ng aruh S tress K erja Ter had ap Ki nerj a P eg awa i Pen jag a da n Teknis i S ara na
Ba n tu Nav ig asi Pel ayar an Pa da Ka nt or Dis trik N avi gasi K elas I II Po nt ian ak
Dev i Yas m i n , A lfi a n Y u da Pr ase ti yo

Pe ng aruh Pr o mosi Ter had ap Ke pu tus an Ma hasis wa Me m il ih Pro gra m St ud i


Bu di daya P erika na n P oli te knik N eg eri Po nt ian ak
Sa m s u dd i n , E n da n g S eti ya n in g si h

Pe ng aruh Re turn On Asse t, Re turn On Eq ui ty da n E arn ing P er S hare Terha da p

www.openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/jm_motivasi
Ret urn Sa ha m Pe m be nt uk I ndeks K o mpa s 100
De di H ar iy ant o , A bd ur ra h m an
9 7 7 2 4 D7 5 3 1 D D5

EK ON OM I && BI S NI S
E
J
IN
D
U
T
S
M
A
G
O
R
P
Volume 13, No: 1 (2017); Juni
Un i ve rs i ta s M uh amm ad iy a h Pon tia na k

Self-Efficacy: A brief literature review

Lianto a,*
a
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Widya Dharma Pontianak, Indonesia

ARTICLE INFO ABSTRACT

Keywords: Today there is a huge need for a scientific literature review, especially for
self-efficacy,
employee
researchers preparing research proposals. Most scientific journals only offer
engagement, social research results that are proof of certain theories. Only few articles contain
cognitive theory,
performance literature review on actual issue. This essay aims to present a concise literature
review of self-efficacy. The discussion focuses on exploring the basic theories,
definitions, dimensions, sources, roles, and antecedents and consequences of self-
efficacy.This paper is expected to contribute especially to researchers preparing
research proposals on this issue.

1. Pendahuluan

Riset-riset tentang self-efficacy telah menyumbangkan kerangka konseptual yang dimanfaatkan oleh berbagai disiplin ilmu.
Dalam ranah ilmu Perilaku Organisasi, Propst dan Koesler (1998) membuktikan bahwa self-efficacy berpengaruh terhadap
kepemimpinan. Riset Bandura dan Cervone (1983) dan Lunenberg (2011) menemukan bahwa self-efficacy memicu motivasi
dan kinerja. Mensah dan Lebbaeus (2013) meneliti self-efficacy dan menemukan perannya untuk meningkatkan kualitas kerja.
Dalam hubungan dengan employee engagement, Luthans dan Peterson (2002) membuktikan bahwa self-efficacy berpengaruh
signifikan terhadap engagement. Sejalan dengan Luthans dan Peterson di atas, Xanthopoulou et al. (2008) menyatakan bahwa
self-efficacy terbukti menjadi prediktor untuk kinerja melalui mediator employee engagement. Demikian pula riset Rich et al.
(2010) memperlihatkan hubungan yang positif signifikan antara evaluasi-diri inti (i.e.: self-esteem, self-efficacy, lokus kendali,
dan stabilitas emosional) dan engagement. Di samping itu, penelitian Salanova et al. (2011), yang berjudul: “Yes, I Can, I Feel
Good, and I Just Do It!” On Gain Cycles and Spirals of Efficacy Beliefs, Affect, and Engagement”, menemukan bahwa self-
efficacy dapat menciptakan lingkaran positif di mana orang yang memiliki keyakinan diri tinggi menjadi lebih engaged dalam
tugasnya sehingga mampu meningkatkan kinerja. Setelah kinerjanya tercipta, prestasi itu selanjutnya akan semakin
meningkatkan keyakinan dirinya. Hasil serupa ditunjukkan oleh penelitian Ouweneel, Schaufeli, dan Le Blanc (2013) yang
menemukan bahwa perubahan dalam tingkat self-efficacy siswa memengaruhi perubahan tingkat engagement dan kinerja
mereka. Demikian pula Dagher, Chapa, dan Junaid (2015) membuktikan bahwa employee engagement secara signifikan
dipengaruhi oleh self-efficacy.
Dalam area pendidikan, self-efficacy diaplikasikan untuk antara lain mengembangkan teknik pengajaran (Montcalm, 1999)
dan pencapaian hasil akademik (Zimmerman, Bandura, dan Martinez-Pons, 1992). Dalam bidang kesehatan, self-efficacy juga
diterapkan untuk pengobatan pasien kecanduan alkohol (Rollnick dan Heather, 1982), pemulihan pasca-traumatik (Benight dan
Bandura, 2004), pengembangan pendidikan anak-anak (Bandura, Barbaranelli, Caprara, dan Pastorelli, 2001), pengendalian
infeksi HIV (Bandura, 1990), dan perawatan rehabilitasi jantung (Jeng dan Braun, 1994). Riset-riset di atas telah membuktikan
bahwa self-efficacy berdampak positif pada sukses individual maupun organisasional. Pentingnya konsep ini dalam
mengefektifkan berbagai aktivitas hidup mendorong penulisan kajian literatur ini. Tujuan dari kajian ringkas ini adalah untuk
menyediakan uraian tentang asal-usul konsep, definisi, dimensi, dan berbagai variabel yang memengaruhi maupun dipengaruhi
self-efficacy.

*Corresponding author.
E-mail addresses: lianto71@yahoo.com

https://doi.org/10.29406/jmm.v15i2.1409
2407-5310/JMM 2019

55
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61

2. Teori Dasar Self-Efficacy

Konsep self-efficacy dikenal juga sebagai bagian dari teori kognitif sosial. Teori ini merujuk pada keyakinan individu akan
kemampuannya dalam mengerjakan tugas yang dipercayakan kepadanya (Bandura, 2012). Semakin tinggi self-efficacy, semakin
tinggi pula keyakinan diri tentang kemampuannya untuk mencapai keberhasilan. Dalam situasi sulit, orang dengan self-efficacy
rendah akan mudah mengurangi upayanya atau menyerah. Sebaliknya orang dengan self-efficacy tinggi akan berupaya lebih
keras untuk mengatasi tantangan yang dihadapinya (Stajkovic dan Luthans, 1998). Self-efficacy dapat menciptakan lingkaran
positif di mana orang yang memiliki keyakinan diri tinggi menjadi lebih engaged dalam tugasnya sehingga mampu
meningkatkan kinerja, dan pada gilirannya, kinerja yang tercapai semakin meningkatkan kepercayaan dirinya.
Ketika berhadapan dengan suatu kondisi, dalam diri individu dapat muncul rasa dan keyakinan bahwa dirinya mampu/tidak
mampu mengatasi kondisi tersebut. Keyakinan akan kemampuan diri inilah yang dikaitkan dengan istilah self-efficacy. Konsep
yang dicetuskan oleh Albert Bandura ini menekankan peranan pembelajaran, pengalaman sosial, dan determinasi timbal-balik
bagi pengembangan kepribadian. Menurut Luthans dan Peterson (2001), self-efficacy merupakan prediktor yang lebih baik
untuk kinerja daripada berbagai sikap di tempat kerja tradisional (misalnya: kepuasan dan komitmen), tipe kepribadian, tingkat
pendidikan, pelatihan, penetapan sasaran, dan umpan balik. Self-efficacy berpengaruh pada kemampuan belajar, motivasi, dan
kinerja individu, karena individu akan berusaha untuk belajar dan melakukan hanya tugas yang mereka yakini dapat berhasil
dilakukan (Lunenburg, 2011).
Self-efficacy dikembangkan oleh Albert Bandura sebagai bagian dari teori yang lebih luas, yakni teori kognitif sosial. Teori
kognitif sosial diturunkan dari teori pembelajaran sosial. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa jika manusia terdorong
mempelajari perilaku tertentu, mereka akan belajar melalui pengamatan dan peniruan tindakan-tindakan tertentu. Asumsinya
adalah bahwa manusia akan beradaptasi dengan faktor-faktor yang disukai dari lingkungannya, seraya mencoba mengubah
faktor-faktor yang tidak disukai (Bandura, 1997).
Bandura memperluas cakupan proposisi teori pembelajaran ini. Menurut Bandura (2008), pembelajaran tidak sesederhana
postulat yang diajukan teori pembelajaran sosial. Perilaku manusia bersifat kompleks dan mempunyai determinan yang
multidimensional. Manusia dapat melatih pengaruh atas apa yang mereka lakukan dan melakukan tindakan-tindakan mereka
dengan niat kuat. Dengan istilah human agency, Bandura mengajukan wacana tentang kebebasan dan determinasi. Manusia
tidak hanya bereaksi terhadap masukan eksternal seperti robot. Perilaku manusia dihasilkan oleh struktur kausal yang saling
tergantung dan resiprokal antara faktor-faktor behavioral, personal (kognitif), dan lingkungan (Bandura, 1997; 2008). Proposisi
Bandura dikenal sebagai teori kognitif sosial.
Teori kognitif sosial, selain berguna untuk meramalkan perilaku, juga merupakan suatu teori tentang pembelajaran dan
perubahan (Bandura, 2012). Menurut teori ini, perubahan dalam perilaku defensif dihasilkan oleh cara-cara perlakuan yang
berbeda dari mekanisme kognitif. Prosedur psikologis, apa pun bentuknya, bekerja untuk menciptakan dan memperkuat
ekspektasi efektivitas individu (Bandura dan Adams, 1977).
Hakikat dari teori kognitif sosial adalah bahwa individu tidak merespon pengaruh lingkungan dengan sederhana, melainkan
akan terlebih dahulu mencari atau menafsirkan informasi terkait. Individu berperan menjadi kontributor bagi motivasi, perilaku,
dan pengembangan dirinya sendiri dalam suatu jaringan pengaruh interaksi secara resiprok (Bandura, 1999). Dengan demikian,
individu dapat mengelola diri, proaktif, mengatur diri, dan melakukan refleksi diri. Mereka adalah kontributor bagi lingkungan
hidupnya sendiri (Bandura, 2005).
Teori kognitif sosial diajukan Bandura sebagai reaksi ketidakpuasannya atas prinsip-prinsip psikologi behaviorisme dan
psikoanalisis. Behaviorisme dan psikoanalisis terlalu menekankan determinisme lingkungan sebagai satu-satunya penentu
perilaku individu. Melalui teorinya, Bandura mengajukan pandangan humanistik dan eksistensialis yang menekankan peran
kapasitas manusia dalam penilaian kesadaran dan arah tindakan. Individu adalah kontributor utama yang menentukan mau
menjadi apa seturut pilihan hidupnya (Bandura, 1977).
Perilaku dan motivasi individu merupakan hasil dari interaksi serangkaian faktor yang dikategorikan dalam faktor-faktor
behavioral, faktor-faktor personal, dan faktor-faktor lingkungan. Bandura merangkum ketiga rangkaian faktor tersebut dalam
model Triadic Reciprocal Determinism dalam Gambar 1 berikut ini.

56
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61

Faktor
Personal

Faktor Faktor
Behavioral Lingkungan

Gambar 1. Model Triadic Reciprocal Determinism Bandura


Sumber: Bandura (1977)

Menurut Wood dan Bandura (1989), output perilaku dalam organisasi, misalnya kinerja karyawan (faktor behavioral),
dipengaruhi oleh bagaimana karyawan sendiri terafeksi (faktor kognitif/personal) oleh strategi-strategi organisasi (faktor
lingkungan).

3. Definisi Self-Efficacy
Dalam berbagai literatur terdapat definisi yang beragam atas self-efficacy. Bandura (1997) mendefinisikannya sebagai
keyakinan seseorang akan kemampuannya yang akan memengaruhinya dalam bereaksi terhadap situasi dan kondisi tertentu.
Schultz (1994) memandangnya sebagai perasaan terhadap kecukupan, efisiensi, dan kemampuan dalam mengatasi berbagai
masalah kehidupan. Self-efficacy merujuk pada keyakinan individu mengenai kemampuannya dalam melaksanakan suatu tugas
secara berhasil (Ivancevich, Konopaske, dan Matteson, 2007; McShane dan Von Glinow, 2005). Secara bebas, istilah ini dapat
diterjemahkan sebagai kepercayaan akan kemampuan diri. Individu yang mempunyai kepercayaan diri tinggi mengenai
kemampuannya akan lebih optimis dan berupaya keras melibatkan diri dengan organisasi daripada individu yang mempunyai
kepercayaan diri rendah. Lebih jauh, individu yang memiliki self-efficacy tinggi bahkan dapat mengabaikan umpan balik
negatif. Sementara individu dengan self-efficacy rendah cenderung mengurangi upaya ketika mendapat umpan balik negatif
(Bandura dan Cervone, 1986). Dengan kata lain, bagi orang yang memiliki self-efficacy tinggi, kegagalan kecil dapat dianggap
sebagai sukses yang tertunda. Apa yang menurut orang lain impossible akan menjadi I’m possible. Self-efficacy memengaruhi
pilihan tindakan individu, besarnya upaya yang dikeluarkan, dan seberapa lama mereka bertahan menghadapi kesulitan.
Semakin tinggi self-efficacy, semakin besar upaya yang akan dikerahkan. Dampak dari tinggi rendahnya self-efficacy individu
dirangkum dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Dampak Perilaku Self-Efficacy

Self-efficacy Tinggi Self-efficacy Rendah


Memandang masalah yang menantang sebagai Menghindari tugas-tugas menantang
tugas yang harus dikuasai
Terlibat intensif dalam tugas dan tanggung jawab Merasa situasi dan tugas yang berat di luar
kapabilitas dirinya
Menumbuhkan komitmen yang kuat dalam Fokus pada kegagalan dan hasil negatif
pekerjaan
Cepat bangkit dari keterpurukan dan kekecewaan Cepat kehilangan kepercayaan diri ketika
mengalami kegagalan
Diolah dari http://www.clevelandconsultinggroup.com

4. Dimensi-dimensi Self-efficacy
Penilaian self-efficacy individu dalam organisasi umumnya diukur melalui tiga skala (dimensi) dasar, yakni: besarnya
(magnitude), kekuatannya (strength), dan generalitasnya (generality). Self-efficacy individu satu dengan yang lain dapat berbeda
dalam dimensi besarnya, yakni tingkat kesulitan tugas yang diyakini dapat ditangani. Self-efficacy juga berbeda dalam hal
kekuatannya. Kekuatan di sini merujuk pada sejauh mana kekuatan (kuat atau lemah) keyakinan yang dimiliki. Yang terakhir,
self-efficacy juga berbeda dalam hal generalitasnya. Dimensi ini merujuk pada seberapa luas situasi yang dapat dicakup oleh
keyakinan akan kemampuan diri individu (Bandura, 1977; Ivancevich et al., 2007). Dimensi-dimensi di atas diukur dengan
57
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61
instrumen yang dimodifikasi dari Schwarzer dan Jerusalem (1995) yang berisi sepuluh item pernyataan untuk menggali self-
efficacy karyawan seperti dipaparkan berikut ini.

Tabel 2. The General Self-Efficacy Scale

1 Pemecahan soal-soal yang sulit selalu berhasil bagi saya, kalau saya berusaha
2 Jika seseorang menghambat tujuan saya, saya akan mencari cara dan jalan untuk
meneruskannya
3 Saya tidak mempunyai kesulitan untuk melaksanakan niat dan tujuan saya
4 Dalam situasi yang tidak terduga saya selalu tahu bagaimana saya harus bertingkah laku
5 Kalau saya akan berkonfrontasi dengan sesuatu yang baru, saya tahu bagaimana saya dapat
menanggu-langinya
6 Untuk setiap problem saya mempunyai pemecahan
7 Saya dapat menghadapi kesulitan dengan tenang, karena saya selalu dapat mengandalkan
kemampuan saya
8 Kalau saya menghadapi kesulitan, biasanya saya mempunyai banyak ide untuk
mengatasinya
9 Juga dalam kejadian yang tidak terduga saya kira, bahwa saya akan dapat menanganinya
dengan baik
10 Apapun yang terjadi, saya akan siap menanganinya
1 = Tidak Setuju; 2 = Agak Setuju; 3 = Hampir Setuju; 4 = Sangat Setuju
Born, Schwarzer & Jerusalem, 1995

Item-item dalam instrumen tersebut termasuk dalam kategori model refleksif karena alasan-alasan berikut ini (Jarvis et al.,
2003):
1. Indikator-indikator adalah manifestasi dari konstruk
2. Perubahan dalam indikator tidak menyebabkan perubahan dalam konstruk
3. Indikator-indikator dapat dipertukarkan
4. Indikator-indikator mempunyai konten atau tema yang sama
5. Menghilangkan satu indikator tidak akan mengubah makna konstruk

5. Sumber Self-efficacy
Dalam analisis teori pembelajaran sosial, self-efficacy ini dihasilkan atau ditingkatkan oleh empat pemicu, yakni:
pengalaman pemenuhan kinerja (mastery experiences), pengamatan keberhasilan orang lain (social modeling), persuasi
(bujukan) verbal (social persuasion), dan umpan balik psikologis (psychological response) (Bandura, 1977; Robbins dan
Judge, 2013). Keempat sumber ini menjelaskan bagaimana self-efficacy muncul atau diciptakan. Gambar 2 berikut ini
memaparkan keempat sumber itu.

Pemenuhan Kinerja

Keberhasilan Orang
Lain
Self-Efficacy

Persuasi Verbal

Umpan Balik Psikologis

Gambar 2. Sumber Pemicu Self-Efficacy


Sumber: Bandura, 1977

Pengalaman keberhasilan dalam organisasi merupakan pemicu paling berpengaruh terhadap self-efficacy karena didasarkan
pada pengalaman pribadi. Keberhasilan kecil dalam pekerjaan di masa lalu membuat karyawan lebih percaya diri dan
mendorong individu untuk berupaya mengukir keberhasilan lain. Mereka diyakinkan bahwa mereka dapat pula melakukannya
pada waktu yang akan datang. Kebalikannya juga terjadi. Jika individu pernah mengalami kegagalan dalam organisasi, rasa
percaya diri akan merosot. Namun jika kegagalan dapat diatasi dengan peyakinan, maka rasa percaya diri dapat ditumbuhkan
58
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61
kembali. Tingkat kesulitan dalam menjalankan tugas dilihat sebagai tantangan yang dapat digapai. Keberhasilan menciptakan
keyakinan yang kuat dalam self-efficacy individu. Sebaliknya, kegagalan akan menurunkan tingkat keyakinannya, teristimewa
kegagalannya terjadi sebelum self-efficacy dikuatkan.
Sumber kedua adalah pengamatan atas pengalaman keberhasilan orang lain. Individu akan membandingkan dirinya dengan
orang-orang yang setara dengannya. Jika orang lain yang dianggap setara dapat dengan mudah menjalankan tugas organisasi,
maka individu juga yakin akan kemampuan dirinya. Kepercayaan diri muncul atau meningkat tatkala melihat orang lain
berhasil melakukan sesuatu. Kebalikannya juga dapat terjadi. Ketika individu melihat orang lain yang dianggap setara
mengalami kegagalan, self-efficacy dapat merosot. Kepercayaan diri seseorang dapat meningkat atau menurun dengan cara
melihat pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain yang dianggap mempunyai kemampuan yang serupa.
Sumber ketiga berasal dari persuasi verbal (lisan). Self-efficacy individu juga dapat muncul atau meningkat jika ada orang
berpengaruh yang meyakinkan bahwa dirinya mampu memenuhi tugasnya dalam organisasi. Ketika seorang manajer atau
supervisor meyakinkan karyawannya bahwa mereka memiliki kemampuan, rasa percaya diri karyawan dapat meningkat.
Teristimewa jika manajer yang bersangkutan adalah orang yang memiliki kredibilitas tinggi dalam benak karyawan. Persuasi
verbal dari seorang manajer senior yang telah memiliki kredibilitas tinggi tentu berbeda dari persuasi yang diberikan seorang
manajer baru. Persuasi verbal positif, misalnya: “Saya yakin sekali, kalian mampu mengatasinya” umumnya akan
meningkatkan pengerahan energi dan upaya dari karyawan. Sebaliknya, persuasi verbal negatif, misalnya: “Ini tugas yang
berat, saya harap kalian dapat mengatasinya” akan menimbulkan kesangsian akan kemampuan karyawan. Mereka bahkan
merasa bahwa jika gagal pun, tidak menjadi masalah karena manajer sendiri mengakui bahwa tugas itu memang berat.
Sumber terakhir adalah umpan balik psikologis dalam bentuk emosi yang muncul dari berbagai kejadian. Orang mengalami
sensasi emosional tertentu dari tubuh dan persepsi mereka atas emosi yang muncul akan berpengaruh pada keyakinan self-
efficacy. Contoh umpan balik psikologis yang akan membangkitkan sensasi emosional antara lain: pengalaman berbicara di
depan orang banyak, menyampaikan presentasi materi di hadapan orang-orang penting, wawancara kerja, dan mengikuti ujian.
Aktivitas-aktivitas itu dapat membangkitkan kecemasan, ketakutan, keringat dingin, gugup, panik, dan lain-lain. Kendati
sumber keempat ini adalah faktor pemicu terkecil, namun orang yang mampu mengatasi berbagai pemicu sensasi emosional
umumnya memiliki self-efficacy yang tinggi. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa sumber pertama, yakni pengalaman
pemenuhan kinerja, menghasilkan self-efficacy yang paling tinggi (besar), kuat, dan luas (general).

6. Peranan Self-efficacy

Secara psikologis, persepsi tentang kemampuan diri akan memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan. Menurut Bandura
(1997), self-efficacy yang terbentuk cenderung akan menetap dan tidak mudah berubah. Kekuatan self-efficacy akan menjadi
penentu perilaku. Berikut ini diuraikan beberapa peranan dari terciptanya self-efficacy.
a. Menentukan pemilihan perilaku: individu akan cenderung memilih melakukan tugas di mana ia merasa memiliki
kemampuan yang lebih tinggi untuk menjalankannya, alih-alih tugas lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa self-efficacy
menjadi pemicu munculnya suatu perilaku.
b. Menentukan besarnya upaya dan daya juang terhadap hambatan. Menurut Bandura, self-efficacy menentukan kekuatan
dan daya tahan individu dalam mengatasi hambatan dan situasi yang tidak menyenangkan. Self-efficacy yang tinggi akan
menurunkan kecemasan tentang kemampuan menyelesaikan tugas sehingga individu akan lebih tabah ketika mengalami
hambatan dalam menjalankan tugasnya. Upayanya pun akan lebih banyak dikerahkan karena keyakinan bahwa usahanya
tidak akan sia-sia.
c. Menentukan cara pikir dan reaksi emosional. Individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung menganggap dirinya
tidak akan mampu menghadapi tantangan pekerjaannya. Dalam menjalankan tugasnya, mereka cenderung membesar-
besarkan masalah yang akan timbul jauh lebih berat daripada kenyataannya. Mereka lebih sering merasa pesimis, mudah
putus asa, dan tertekan. Sebaliknya, orang dengan self-efficacy yang tinggi akan menganggap tugas-tugas beratnya
sebagai tantangan yang menarik untuk diatasi. Pikiran dan perasaannya lebih terbuka untuk menemukan solusi bagi
permasalahan yang dihadapi.
d. Prediksi perilaku yang akan muncul. Orang dengan self-efficacy yang tinggi cenderung lebih berminat melibatkan diri
dalam aktivitas organisasi. Interaksinya dengan lingkungan kerja lebih intensif. Dalam kerja sama tim, mereka lebih
kreatif menemukan berbagai solusi dan ikhlas bekerja keras karena keyakinan yang tinggi tentang kemampuannya.
Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang rendah cenderung lebih tertutup dan kurang terlibat dalam kerja sama tim
karena persepsi mereka tentang masalah dan kesulitan lebih besar ketimbang peluang untuk merubah keadaan).

7. Anteseden dan Konsekuen Self-efficacy

Luthans (2011) menyatakan bahwa dari sekian banyak konstruk Positive Organizational Behavior (POB), self-efficacy
(secara umum) merupakan konstruk pertama yang paling banyak diteliti dan dikembangkan secara teoritis. Luthans memilah
self-efficacy dalam bentuk spesifik dan umum (general). Namun diyakini juga bahwa karyawan yang memiliki tingkat tertentu
self-efficacy yang tergeneralisir akan memiliki kepercayaan diri bahwa tugas apa pun yang mereka tangani akan dapat
diselesaikan dengan baik. Riset Luthans dan Peterson (2002) membuktikan bahwa self-efficacy berpengaruh signifikan
terhadap engagement. Di samping itu, Xanthopoulou et al. (2008) menemukan bahwa self-efficacy terbukti menjadi prediktor
59
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61
untuk kinerja melalui mediator employee engagement. Demikian pula riset Rich et al. (2010) memperlihatkan hubungan yang
positif signifikan antara evaluasi-diri inti (i.e.: self-esteem, self-efficacy, lokus kendali, dan stabilitas emosional) dengan
engagement. Di samping itu, penelitian Salanova, Llorens, dan Schaufeli (2011) menemukan bahwa self-efficacy dapat
menciptakan lingkaran positif di mana orang yang memiliki keyakinan diri tinggi menjadi lebih engage dalam tugasnya
sehingga mampu meningkatkan kinerja. Setelah kinerjanya tercipta, prestasi itu selanjutnya akan semakin meningkatkan
keyakinan dirinya. Dalam konteks Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory/SET), Saks (2006) mengajukan proposisi
bahwa karyawan yang memiliki persepsi yang lebih tinggi tentang keadilan prosedural akan memberikan dirinya agar lebih
engaged. Dalam riset yang bertujuan meneliti peran mediasi exchange ideology, Lianto, Eliyana, dan Fauzan (2018)
menemukan dan membuktikan bahwa self-efficacy berpengaruh positif dan signifikan pada pengembangan employee
engagement.
Dalam mengembangkan anteseden bagi self-efficacy, riset Tierney dan Farmer (2002) menemukan bahwa masa kerja,
perilaku pengawasan, dan kompleksitas pekerjaan dapat membangun self-efficacy yang kreatif. Dalam dunia pendidikan, self-
efficacy guru terutama dipicu oleh pengalaman keberhasilan (Tschannen-Moran dan Hoy, 2007). Pengalaman keberhasilan
merupakan sumber pertama self-efficacy seperti telah dipaparkan sebelumnya. Mathisen (2011) menemukan bahwa self-
efficacy yang kreatif juga dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh kombinasi yang baik dari otonomi pekerjaan dan
Leader-Member Exchange (LMX) yang berkualitas tinggi.

8. Penutup: Implikasi Manajerial

Self-efficacy menciptakan lingkaran kausal yang positif antara keterlibatan karyawan dalam pekerjaan, kinerja, dan
keyakinan diri itu sendiri. Orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan lebih terlibat dalam pelaksanaan tugasnya. Hal
itu tentu saja akan meningkatkan kinerjanya. Kemudian dalam proses berikutnya, kinerja yang dihasilkan akan semakin
meningkatkan self-efficacy-nya. Perubahan dan perbedaan tingkat self-efficacy dalam tiap individu tentu saja akan
memengaruhi tingkat kinerja organisasi secara keseluruhan. Individu dengan tingkat self-efficacy yang lebih tinggi akan
merespon umpan balik negatif dengan upaya dan motivasi yang lebih tinggi. Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang
rendah cenderung patah semangat dan mengurangi upayanya setelah mendapat umpan balik negatif. Gejala ini perlu disadari
para manajer dalam mengelola karyawan dengan tingkat self-efficacy yang bervariasi. Penerapan teori penetapan tujuan dan
self-efficacy secara simultan dipercaya dapat membantu para manajer dalam mengelola karyawan. Penetapan tujuan yang sulit
di satu sisi dapat menantang karyawan mengerahkan upaya terbaiknya. Di lain sisi, penetapan tujuan yang sulit juga
menciptakan persepsi bahwa karyawan dipercaya oleh manajer untuk menangani perkara sulit. Hal itu juga berarti bahwa bagi
manajer, karyawan yang bersangkutan memiliki kemampuan yang tinggi. Secara psikologis, cara kerja self-efficacy mirip
dengan efek Pygmalion. Orang yang meyakini atau diyakinkan bahwa ia mampu melaksanakan suatu tugas, ternyata ia
memang mampu melaksanakannya. Dalam manajemen sumber daya manusia, konsep self-efficacy juga diterapkan dalam
berbagai program pelatihan. Pelatihan memberikan ruang dan waktu bagi peserta untuk mempraktikkan dan membangun
keahlian. Sudah menjadi aksioma bahwa segala sesuatu menjadi mudah jika orang tahu mengerjakannya. Pengetahuan dan
keterampilan teknis yang diperoleh dari pelatihan menciptakan pengalaman dan keyakinan diri dalam melaksanakan pekerjaan.
Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan self-efficacy itu sendiri. Individu dengan peningkatan self-efficacy akan mengambil
manfaat dari program pelatihan dan akan menerapkan keahlian yang diperoleh dari pelatihan pada pekerjaan.

Daftar Pustaka

1) Bandura, A. & Adams, N. E. 1977. Analysis of self-efficacy theory of behavioral change. Cognitive Therapy and
Research, 1(4), 287-310.
2) Bandura, A. & Cervone, D. 1983. Self-evaluative and self-efficacy mechanisms governing the motivational effects of goal
systems. Journal of Personality and Social Psychology, 45(5), 1017-1028.
3) Bandura, A. 1977. Self-efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84, 191-215.
4) Bandura, A. 1990. Perceived self-efficacy in the exercise of control over AIDS infection. Evaluation and Program
Planning, 13, 9-17.
5) Bandura, A. 1992. Exercise of personal agency through the self-efficacy mechanisms. In R. Schwarzer (Ed.), Self-efficacy:
Thought control of action. Washington, DC: Hemisphere.
6) Bandura, A. 1994. Self-efficacy. In V. S. Ramachaudran (Ed.), Encyclopedia of human behavior,4. New York: Academic
Press, pp. 71-81.
7) Bandura, A. 1995. Self-Efficacy in Changing Societies. Cambridge University Press.
8) Bandura, A. 1997. Self efficacy: The exercise of control. New York: Freeman.
9) Bandura, A. 2008. Toward an agentic theory of the self, dalam Marsh, H., Craven, R.G., & McInerney, D.M. (Eds.).
Advances in Self Research, Self-Processes, Learning, and Enabling Human Potential (pp. 15-49). Charlotte, NC:
Information Age Publishing.
10) Bandura, A. 2012. On the functional properties of perceived self-efficacy revisited. Journal of Management, 38(1), 9-44.
11) Bandura, A., Barbaranelli, C., Caprara, G. V., & Pastorelli, C. 2001. Self-efficacy beliefs as shapers of children’s
aspirations and career trajectories. Child Development, 72(1), 187-206.

60
Li a n t o Jurnal Manajemen Motivasi 15 (2019) 55-61
12) Benight, C. C. & Bandura, A. 2004. Social cognitive theory of posttraumatic recovery: the role of perceived self-efficacy.
Behaviour Research and Therapy, 42, 1129-1148.
13) Dagher, G. K., Chapa, O., & Junaid, N. 2015. The historical evolution of employee engagement and self-efficacy
constructs: an empirical examination in a non-western country. Journal of Management History, 21(2), 232-256.
14) Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. T. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi, Edisi Ketujuh. Jakarta:
Erlangga.
15) Jarvis, C. B., MacKenzie, S. B., & Podsakoff, P. M. 2003. A critical review of construct indicators and measurement model
misspecification in marketing and consumer research. Journal of consumer research, 30(2), 199-218.
16) Jeng, C. & Braun, L. T. 1994. Bandura’s self-efficacy theory: A guide for cardiac rehabilitation nursing practice. Journal of
Holistic Nursing, 12(4), 425-436.
17) Lianto, L., Eliyana, A., & Fauzan, R. 2018. Enhancing the Employee Engagement: The Mediating Role of Exchange
Ideology. Jurnal Pengurusan (UKM Journal of Management), 53(2), 61 – 71
18) Lunenburg, F. C. 2011. Self-efficacy in the workplace: Implications for motivation and performance. International Journal
of Management, Business, and Administration, 14(1), 1-6.
19) Luthans, F. & Peterson, S. J. 2002. Employee engagement and manager self-efficacy: Implications for managerial
effectiveness and development. Journal of Management Development, 21(5), 376-387.
20) Luthans, F. 2011. Organizational Behavior: An Evidence-Based Approach. New York: McGraw-Hill.
21) Mathisen, G. E. 2011. Organizational antecedents of creative self‐efficacy. Creativity and Innovation Management, 20(3),
185-195.
22) McShane, S. L., & Von Glinow, M. A. 2005. Organizational Behavior: Emerging Realities for the Workplace Revolution.
New York: Mc Graw-Hill.
23) Mensah, A. O. & Lebbaeus, A. 2013. The influence of employees' self-efficacy on their quality of work life: The case of
Cape Coast, Ghana. International Journal of Business and Social Science, 4(2), 195-205.
24) Montcalm, D. M. 1999. Applying Bandura’s theory of self-efficacy to the teaching of research. Journal of Teaching in
Social Work, 19, 93-107.
25) Ouweneel, E., Schaufeli, W. B., & Le Blanc, P. M. 2013. Believe, and You Will Achieve: Changes over Time in Self‐
Efficacy, Engagement, and Performance. Applied Psychology: Health and Well‐Being, 5(2), 225-247.
26) Propst, D. B. & Koesler, R. A. 1998. Bandura goes outdoors: Role of self-efficacy in the outdoor leadership development
process. Leisure Sciences: An Interdisciplinary Journal, 20(4), 319-344.
27) Rich, B. L., Lepine, J. A., & Crawford, E. R. 2010. Job engagement: Antecedents and effects on job performance. Academy
of Management Journal, 53(3), 617-635.
28) Robbins, S. P. & Judge, T. A. 2013. Organizational Behavior, 15th. New Jersey: Prentice Hall.
29) Rollnick, S. & Heather, N. 1982. The application of Bandura’s self-efficacy theory to abstinence-oriented alcoholism
treatment. Addictive Behaviors, 7, 243-250.
30) Salanova, M., Llorens, S., & Schaufeli, W.B. 2011. “Yes, I Can, I Feel Good, and I Just Do It!” On Gain Cycles and
Spirals of Efficacy Beliefs, Affect, and Engagement. Applied Psychology: An International Review, 60(2), 255-285.
31) Schwarzer, R., & Jerusalem, M. 1995. Optimistic self-beliefs as a resource factor in coping with stress. In Extreme stress
and communities: Impact and intervention (pp. 159-177). Springer Netherlands.
32) Stajkovic, A. D. & Luthans, F. 1998. Self-efficacy and work-related performance: A meta-analysis. Psychological Bulletin,
124(2), 240-261.
33) Tierney, P., & Farmer, S. M. 2002. Creative self-efficacy: Its potential antecedents and relationship to creative
performance. Academy of Management journal, 45(6), 1137-1148.
34) Tschannen-Moran, M., & Hoy, A. W. 2007. The differential antecedents of self-efficacy beliefs of novice and experienced
teachers. Teaching and teacher Education, 23(6), 944-956.
35) Wood, R. & Bandura, A. 1989. Social Cognitive Theory of Organizational Management. Academy of Management Review,
14(3), 361-384.
36) Xanthopoulou, D., Baker, A. B., Heuven, E., Demerouti, E., & Schaufeli, W. B. 2008. Working in the Sky: A Diary Study
on Work Engagement Among Flight Attendants. Journal of Occupational Health Psychology, 13(4), 345-356.
37) Zimmerman, B. J., Bandura, A., & Martinez-Pons, M. 1992. Self-Motivation for Academic Attainment: The Role of Self-
Efficacy Beliefs and Personal Goal Setting. American Educational Research Journal, 29(3), 663-676.

http://www.clevelandconsultinggroup.com/articles/self-efficacy.php

61

View publication stats

You might also like