You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Campak adalah penyakit yang menyerang manusia dan sangat

menular yang ditandai oleh beberapa gejala akut yaitu demam tinggi,

konjungtivitis, coryza, batuk dan ruam makulo papular. Dapat mengakibatkan

penyakit serius dengan komplikasi berat, termasuk pneumonia, ensefalitis dan

kematian (Tramuto et al., 2018). Campak adalah penyakit infeksi sistemik

yang dimulai infeksi pada bagian epitel saluran pernafasan di nasopharing,

virus campak dikeluarkan dari nasopharing mulai dari masa prodromal

sampai 3 - 4 hari setelah rash (Arianto, dkk, 2018).

Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus morbilivirus

dari famili Paramyxoviridae (Halim, 2016). Penderita campak sebagian

besar akan sembuh, sering terjadi komplikasi pada anak usia < 5 tahun dan

penderita dewasa usia > 20 tahun (Indonesia, 2012). Penderita campak

dengan gizi buruk dan defisiensi vitamin A serta immune deficiency (HIV),

komplikasi campak dapat menjadi lebih berat atau fatal (Liwu, Rampengan,

& Tatura, 2016). Komplikasi yang sering terjadi yaitu : diare, broncho

pneumonia, malnutrisi, otitis media, kebutaan, encephalitis, ulkus mucosa

mulut (Astuti & Hartini, 2017).

Pengendalian campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982. Program

imunisasi telah diperluas dan menerapkan jadwal standar untuk imunisasi

rutin pada usia 9 bulan. Tahap reduksi ditargetkan untuk mengurangi

1
2

kematian akibat campak hingga 90% pada 2010. Setelah tercapai reduksi

maka tahap selanjutnya untuk mencapai eliminasi yang disepakati akan

dicapai pada tahun 2020 (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018)

Menurut WHO untuk wilayah Asia Tenggara menyebutkan bahwa

pada tahun 1990 terjadi 218.029 kasus campak dan kemudian menurun

menjadi 114.531 kasus pada tahun 1997 (Arianto, 2018). Sedangkan di

Indonesia cenderung meningkat pada tahun 2016, yaitu sebanyak 12.681

kasus, dengan Incidence Rate (IR) sebesar 5 per 100.000 penduduk dan

terdapat 1 kasus meninggal yang berasal dari Provinsi Jawa Barat

(Okaviasari, 2018). Berdasarkan data dari profil kesehatan Aceh tahun 2019

jumlah suspek campak adalah sebanyak 2,986 kasus, sedangkan untuk

wilayah Lhokseumawe sebanyak 170 kasus, dan yang mendapakan imunisasi

campak di provisi aceh sebayak 60, 325 kasus dan Lhoseumawe sebanyak

2,441 kasus. Berdasarkan data dari Puskesmas Muara Satu tahun 2022 dari

bulan Januari sampai Mei jumlah penderita campak sebanyak 57 kasus,

Puskesmas Muara Dua tahun 2022 dari bulan Januari sampai Juni jumlah

penderita campak sebanyak 56, dan Puskesmas Blang Mangat tahun 2022

dari bulan Januari sampai Juni jumlah penderita campak sebanyak 30.

Berbagai faktor host yang diduga berpengaruh terhadap kejadian

campak pada balita adalah faktor anak (status imunisasi, umur saat imunisasi,

status gizi, riwayat kontak, riwayat penyakit campak, pemberian Vit A),

faktor ibu (tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu, pendapatan).

Berbagai faktor environment yang diduga berpengaruh terhadap kejadian


3

campak yaitu keadaan rumah, jumlah balita dalam rumah, persepsi dan pola

asuh anak (Arianto, dkk, 2018)

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Setyaningrum

(2013) di Teras Boyolali dengan menggunakan pendekatan observasional

cross sectional, menunjukkan bahwa faktor risiko kejadian penyakit campak

antara lain status gizi (OR=2,3), status imunisasi campak (OR=3,5),

ventilasi , persepsi masyarakat , hunian rumah (OR=0,106). Demikian pula

penelitian yang telah dilakukan oleh Yanti (2015) di Kabupaten Bantul

dengan metode case control, menunjukkan bahwa ada hubungan antara

pemberian vitamin A dengan kejadian campak (OR=4,643), umur pemberian

imunisasi campak (OR=5,311), dan ASI eksklusif (OR=4,46). Penelitian yang

telah dilakukan Bahiyah (2015) di Kabupaten Bantul dengan menggunakan

metode case control, menunjukkan bahwa ada hubungan antara BBLR (bayi

berat lahir rendah) dengan kejadian campak (OR=0,470), dan ASI eksklusif

(OR=0,083).

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Maniarsih dkk (2012) di

Natar Kabupaten Lampung dengan menggunakan metode case control,

menyimpulkan bahwa risiko kejadian campak adalah status imunisasi campak

(OR=4,030), status gizi (OR=5,5), dan ventilasi (OR=4,571). Faktor yang

tidak berhubungan kejadian campak antara lain ASI Eksklusif, status sosial

ekonomi, dan kepadatan hunian. Penelitian yang dilakukan oleh Budi (2012),

di kota Banjarmasin menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis

kelamin (p 0,056) , status gizi (p 0,185), vitamin A (p 0,254) dengan penyakit


4

campak, sedangkan yang berhubugan adalah status imunisasi (p 0,017 OR

1,97) dengan penyakit campak

Berdsarkan hasil survei awal yang dilakukan di Puskesmas wilayah

Lhokseumawe yaitu Muara Satu, Muara Dua dan Blang Mangat pada tanggal

25 Juni tahun 2022, berdasakan hasil wawancara dengan 10 responden, 2

responden mengatakan anaknya belum pernah imunisasi campak sehingga

anaknya menderita campak dengan kategori berat, 2 responden mengatakan

anaknya tertular campak dari anak tetangga yang menderita campak lebih

dulu, 2 responden anaknya sering sakit dan tidak mau makan padahal

anaknya mendapat imunisasi lengkap, 2 responden mengatakan ibunya

kurang informasi mengenai apa itu campak dan bagaimana penanganan

campak, 2 responden mengatatakan bahwa anaknya memiliki riwayat BBLR

akan tetapi anaknya sudah diberikan imunisasi lengkap namun masih saja

tertular penyakit campak dengan kategori berat.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik meneliti tentang

Faktor Kejadian Campak Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas

Lhokseumawe tahun 2022

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

“bagaimanakah Faktor Resiko Kejadian Campak Pada Balita Di Wilayah

Kerja Puskesmas Lhokseumawe tahun 2022”?


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Faktor Resiko Kejadian Campak Pada Balita Di

Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe tahun 2022

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi faktor status imunisasi campak pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe

2. Untuk mengidentifikasi faktor status gizi pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Lhokseumawe

3. Untuk mengidentifikasi faktor riwayat BBLR campak pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe

4. Untuk mengidentifikasi kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Lhokseumawe

5. Untuk mengidentifikasi hubungan status imunisasi campak dengan

kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Lhokseumawe

6. Untuk mengidentifikasi hubungan status gizi dengan kejadian campak

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe

7. Untuk mengidentifikasi hubungan riwayat BBLR campak dengan

kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Lhokseumawe
6

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi pengetahuan serta

wawasan lebih dalam lagi bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca

umumnya tentang hubungan fakor resiko kejadian campak pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe.

2. Bagi Responden

Dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menambahkan ilmu

pengetahuan dan wawasanya terkait dengan fakor resiko kejadian campak

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan informasi ilmu tambahan yang akan memperdalam wawasan

keilmuan sehingga dapat dijadikan bahan penelitian mendatang serta

sebagai sumber informasi bagi institusi pendidikan

4. Bagi Penelitian Lanjutan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar serta

acuan atau informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai fakor resiko

kejadian campak pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lhokseumawe

You might also like