1. The document discusses Dimas Suryo's passion for Indonesian cuisine and his efforts to preserve Indonesian culinary traditions and flavors.
2. It describes Dimas' meticulous preparation of traditional Indonesian dishes and spices, as well as his obsession with using traditional grinding methods.
3. The document also mentions conflicts that arise between Dimas and others due to their differing views on cuisine, such as using traditional ingredients versus packaged options.
Original Description:
Pengumpulan Data berdasarkan pendekatan gastronomi sastra Novel Pulang
1. The document discusses Dimas Suryo's passion for Indonesian cuisine and his efforts to preserve Indonesian culinary traditions and flavors.
2. It describes Dimas' meticulous preparation of traditional Indonesian dishes and spices, as well as his obsession with using traditional grinding methods.
3. The document also mentions conflicts that arise between Dimas and others due to their differing views on cuisine, such as using traditional ingredients versus packaged options.
1. The document discusses Dimas Suryo's passion for Indonesian cuisine and his efforts to preserve Indonesian culinary traditions and flavors.
2. It describes Dimas' meticulous preparation of traditional Indonesian dishes and spices, as well as his obsession with using traditional grinding methods.
3. The document also mentions conflicts that arise between Dimas and others due to their differing views on cuisine, such as using traditional ingredients versus packaged options.
Penelitian Data 1 Peran 1. Kuliner 1) Keahlian Di hari Minggu siang itu KPI-J kuliner sebagai sebagai juru aku berjanji memasak ikan pindang serani untuk dalam novel pengenalan memasak menghibur hati Risjaf yang Pulang identitas makanan masih saja didera dukalara. karya Leila tokoh Dimas Indonesia Ini resep makanan ibuku S. Chudori Suryo yang biasa menghibur aku dan Aji di kala kami sedih karena rindu Bapak yang sering berpergian. Potongan ikan bandeng, butir-butir bawang merah, tomat hijau, dan daun jeruk sudah kurapikan di satu sisi. Kini aku sedang menggerus beberapa potong kunyit, cabe merah, dan bawang putih itu dengan penuh semangat. Kulitku menguning. Gerumpulan bumbu kuning kunyit dan merah cabe bermuncratan.
Dia tahu, aku
memperlakukan bumbu- bumbu dan bahan masakanku seperti seorang pelukis memperlakukan warna warni catnya ke kanvas. Aku memperlakukan racikan masakanku seperti seorang penyair memperlakukan kata-kata ke dalam tubuh puisinya.
“Iya, coba bayangkan,” kata
Risjaf merepet tanpa henti, “betapa asyiknya kalau setiap hari kita bisa makan mi goreng sedahsyat buatan Dimas. Atau selang-seling dengan nasi goreng yang dia campur dengan terasi dan minyak jelantah itu. Astaga, terbit pula air liurku. Oh, aku juga pernah mencoba nasi kuning buatan Dimas waktu ulang tahun Lintang, dengan tempe kering kriuk-kriuk.
Sedangkan Ayah mencintai
ritual. Dia sangat obsesif dan posesif terhadap ulekan batu yang, menurut kisahnya, dikirim khusus oleh bibiknya dari Yogyakarta. Dengan ulekan yang sungguh setia pada Ayah itu, Ayah selalu menjauhkan diri dari blender. Semua bumbu- bumbu digerus dan dicampur dengan santan sedikit demi sedikit. Dia melakukan itu sambil sesekali menggerutu karena terpaksa menggunakan santan dalam kaleng. Bagaimanapun, harus kuakui bumbu rendang buatan Ayah memang jauh lebih mengguncang daripada buatan Om Nug yang diramu dalam blender. Setiap kali aku mencoba rendang atau gulai buatan Ayah, aku hampir pingsan saking lezatnya. Tetapi itu berarti Ayah akan terkubur seharian di dapur karena dia selalu bersikeras mengolah bumbu dengan cara tradisional.
2) Mempertaha Menjadi wartawan, bagiku KPI-P
nkan prinsip adalah jalan yang tak bisa ditolak. Wartawan adalah hidup profesi yang melalui memperlakukan kekuatan makanan kata sama seperti koki menggunakan kekuatan bumbu masakan. Setelah Bapak berpulang, isi surat-surat Ibu mewakili pesan Bapak (membaca dan berbahasa Indonesia), pesan Pak No (salat dan doa), dan pesannya sendiri: makan yang baik, memasaklah sendiri. Hingga di Peking maupun di Paris, pesan mereka yang kujalani adalah membaca (tentu saja sudah menjadi oksigenku), memasak, dan makan.
Aku melotot, “Aku tidak
percaya paket! Aku tidak percaya format. Aku tidak percaya presentasi makanan membuat penikmat akan melupakan isi. Lidah sangat menentukan. Isi dan rasa adalah segalanya.” 2. Kuliner 1) Aroma Dimas mengganti isi stoples KPK sebagai bumbu dapur itu setahun sekali jika ABD aroma cengkih dan kunyit penggerak mengingatka itu sudah mulai sirna. ML konflik n tokoh Terkadang dia mendapat kepada kiriman dari ka- wan-kawan kekasih masa di Belanda; terkadang dia lalunya mendapat oleh-oleh dari Jakarta. Terkadang dia terpaksa membelinya dengan harga mahal, di Bellevue. Itu hanya terjadi sesekali setelah melalui pertengkaran demi pertengkaran karena aku sama sekali tak setuju menggunakan uang untuk sekadar menghirup kenangan. Di pojok hatinya, dia selalu memiliki Surti dengan segala kenangannya. Yang kemudian dia abadikan di dalam stoples itu. Surti adalah lambang aroma kunyit dan cengkih. Itu se- mua menjadi satu di dalam Indonesia. Malam itu, aku me- ngatakan pada Dimas, aku ingin berpisah darinya.
2) Perselisihan Mas Nug masuk dengan KPK
antar tokoh beberapa kantong belanjaan PPPB pesananku. Pasti dia baru karena saja berbelanja di Bellevile perbedaan karena kemarin aku pendapat menggerutu kekurangan tentang bahan untuk membuat bumbu dapur bumbu-bumbu dasar, seperti kunyit, jahe, cabe merah, bawang merah, dan bawang putih segar bisa diperoleh meski dengan harga yang cukup mahal.
“Kecap harus cap Bango
ya, Mas?” “Harus.” “Oke. Mas Nug akan ke Amsterdam, titip yang banyak ya. Di sana lebih murah,” Tjai menoleh pada Mas Nug. “Kalau begitu sekaligus terasi cap jempol yang banyak. Tempe yang banyak. Rokok kretek. O, ya bubuk kencur, kun- yit yang. ” “Ya, ya, kunyit yang segar. Itu mahal! ” Mas Nug meng- gerutu meski tetap menulis juga semua pesananku. “Ya sudah kalau mau pindang serani yang rasanya aneh.” 2 Karakter 1. Upaya Dimas 1) Mendirikan Restoran Tanah Air di Rue UDS cinta tanah Suryo restoran de Vaugirard adalah sebuah TA- pulau kecil yang terpencil air pada mencintai dengan di antara Paris yang penuh MRT tokoh Indonesia nama “Tanah gaya dan warna. Kecil Dimas meski ia Air” disbanding Café de Flore di Suryo dibuang dari saint-Germain-des-Prés dalam novel Tanah Air yang sejak abad ke-19 menjadi tempat tokoh sastra Pulang sastra dunia dan para karya Leila intelektual berdiskusi, S. Chudori makan sup, dan minum kopi. Restoran Tanah Air menyajikan makanan Indonesia yang diolah serius dengan aroma bumbu dari Indonesia: bawang, kunyit, cengkih, jahe, serai, dan lengkuas.
“Dimas,” Tjai menatapku,
“aku rasa inilah takdir kita. Kau adalah koki berbakat yang tak tertandingkan.” Belum pernah aku mendengar Tjai berbicara penuh semangat seperti itu. Kedua matanya berkilat- kilat. Mas Nug memegang kedua bahuku dan berseru setinggi langit: “Dimas! Kita akan membuat restoran Indonesia di Paris “Dimas sudah jelas kepala koki dan yang menentukan menu apa saja. Kita semua tahu apa saja yang diolah tangan Dimas akan keluar makanan yang luar biasa, seperti halnya kata-kata apa saja yang keluar dari mulutnya akan menjadi sebuah puisi…” “Kita…,” aku menghela nafas, “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” Kami mendentingkan tiga gelas anggur dan satu gelas wedang jahe. Tanah Air. Nama itu langsung merebut hatiku.
Empat Pilar Tanah Air
sudah memutuskan akan meniru formula Belanda rijstafel, karena makanan yang berasal dari kelompok etnis mana pun di Indonesia-Padang, Palembang, Lampung, Solo, Yogya, Sunda, Jawa Timur, Makassar, Bali bisa dimasukkan ke dalam paket sesuai keinginan, kecocokan, dan rasa.
Ketika beberapa peneliti
Indonesia menghadiri sebuah konferensi di Sorbonne University, sosiolog Armantono Bayuaji yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru mengusulkan mencicipi hidangan Restoran Tanah Air. Melihat betapa penuhnya pengunjung restoran kami, apalagi dengan acara diskusi buku dan pameran foto yang dikurasi oleh Risjaf, Armantono sungguh terkesan. Hanya beberapa pecan setelah kunjungan mereka, keluarlah artikel Armantono di media terbesar di Indonesia, besar selebar taplak meja, yang isinya memuji-muji upaya kami dan mengkritik sikap pemerintah Indonesia yang tak jelas. Kira-kira tekanan Armantono adalah: mengapa mereka yang di Pulau Buru sudah pulang meski masih ditempel stigma sedang yang di luar negeri belum dirangkul untuk kembali ke Tanah Air. Yang lebih gila, Armantono menyebutkan betapa Restoran Tanah Air adalah duta kebudayaan di Paris yang sesungguhnya.
2) Memasak “Mas, istirahat saja di UDS
dan kantor, nanti aku yang TA- masak.” menyajikan Sebetulnya aku lebih suka MMM makanan nasi kuning buatanku yang Indonesia lengkap dengan tempe kering, ayam goreng kuning, urap, dan sambal bajak. Aku tahu nasi kuningku, selain rendang padang, gulai pakis, dan gula anam, adalah masakan popular di Restoran Tanah Air yang mencapai angka pesanan tertinggi. Buatan Mas Nug sering terlampau eksperimental. Dia terlalu sibuk memberi nama-nama puitis sehingga melupakan rasa.
Radjab secara khusus
menyebutkan makanan apa yang mereka inginkan. Menu seperti itu mudah diperoleh di Kuala Lumpur, namun “bumbu yang nak racik, luar biasa”. Radjab memesan meja untuk delapan belas orang. Aku sudah meracik bumbu sejak pagi. Siang ini kami tinggal mengolahnya dengan nasi, menggoreng ayam, dan mencampur sayur-sayuran dengan bumbu kelapa untuk urap.
2. Upaya Dimas 1) Mengutamak Aku tahu Vivienne tak suka UDS
Suryo an jika aku menggunakan SOI- minyak jelantah untuk mengukuhkan penggunaan menggoreng dengan alasan MPR dirinya rempah- kesehatan. Tapi sesekali sebagai orang rempah atau aku menggunakannya Indonesia bumbu asal sedikit untuk kucampur Indonesia dengan bumbu. Inilah rahasia bumbuku yang sedap, tidak sehat tapi sungguh menggiurkan.
“Kunyit adalah bumbu yang
diperebutkan semua pihak,” kataku seperti mengucapkan sebaris ayat undang-undang, “ini adalah penyedap segala masakan dan penyembuh segala penyakit. Kunyit adalah mahkota segala bumbu. Jangan sekali-kali kau pertanyakan lagi gunanya.”
Perbedaan antara Mas Nug
dan aku adalah soal pragmatism. Jika Mas Nug bisa mengkhayalkan Agnes Baumgartner sebagai Rukmini, maka dia juga bisa menganggap selai kacang sebagai bahan dasar untuk pembuatan bumbu gado-gado dan bumbu sate. Sementara aku akan bersikeras dengan cinta kuliner yang murni; bumbu gado-gado dan bumbu sate harus terdiri dari kacang tanah yang digoreng dengan sedikit kombinasi kacang mete yang dibakar lalu diulek bersama cabe merah, cabe rawit, dan kucuran jeruk limau.
2) Menyediaka Ayah tahu, dia ditolak oleh UDS
n cengkih pemerintah Indonesia, SOI- tetapi dia tidak ditolak oleh dan bubuk negerinya. dia tidak ditolak MCK kunyit di oleh tanah airnya. Itulah rumah sebabnya dia meletakkan sekilo cengkih ke dalam stoples besar pertama dan beberapa genggam bubuk kunyit di stoples kedua di ruang tamu hanya untuk merasakan aroma Indonesia.
Bukankah sudah kukatakan,
aku ingin pulang ke rumahku di Karet? Jangan pilih pemakaman mewah di pere Lachaise di Paris, jangan pula memilih pemakaman Tanah Kusir atau Jeruk Purut. Pilihlah Tanah Karet. Itu tanah yang Ayah kenal baunya, teksturnya, yang nanti akan mudah menjadi satu dengan tubuhku.
Sebarkan saja cengkih dan
bunga melati di atas pusara agar aromanya bisa menembus ke tubuh Ayah yang sudah sendiri dan sunyi. Aku yakin, aku dapat menangkap bebauan itu melalu rongga tanah yang bermurah hati memberi jalan bagi bau-bau yang begitu akrab denganku.