You are on page 1of 10

Fokus Deskripsi

No Indikator Sub Indikator Data Ko


Penelitian Data
1 Peran 1. Kuliner 1) Keahlian Di hari Minggu siang itu KPI-J
kuliner sebagai sebagai juru aku berjanji memasak ikan
pindang serani untuk
dalam novel pengenalan memasak menghibur hati Risjaf yang
Pulang identitas makanan masih saja didera dukalara.
karya Leila tokoh Dimas Indonesia Ini resep makanan ibuku
S. Chudori Suryo yang biasa menghibur aku
dan Aji di kala kami sedih
karena rindu Bapak yang
sering berpergian.
Potongan ikan bandeng,
butir-butir bawang merah,
tomat hijau, dan daun jeruk
sudah kurapikan di satu sisi.
Kini aku sedang menggerus
beberapa potong kunyit,
cabe merah, dan bawang
putih itu dengan penuh
semangat. Kulitku
menguning. Gerumpulan
bumbu kuning kunyit dan
merah cabe bermuncratan.

Dia tahu, aku


memperlakukan bumbu-
bumbu dan bahan
masakanku seperti seorang
pelukis memperlakukan
warna warni catnya ke
kanvas. Aku
memperlakukan racikan
masakanku seperti seorang
penyair memperlakukan
kata-kata ke dalam tubuh
puisinya.

“Iya, coba bayangkan,” kata


Risjaf merepet tanpa henti,
“betapa asyiknya kalau
setiap hari kita bisa makan
mi goreng sedahsyat buatan
Dimas. Atau selang-seling
dengan nasi goreng yang
dia campur dengan terasi
dan minyak jelantah itu.
Astaga, terbit pula air
liurku. Oh, aku juga pernah
mencoba nasi kuning
buatan Dimas waktu ulang
tahun Lintang, dengan
tempe kering kriuk-kriuk.

Sedangkan Ayah mencintai


ritual. Dia sangat obsesif
dan posesif terhadap ulekan
batu yang, menurut
kisahnya, dikirim khusus
oleh bibiknya dari
Yogyakarta. Dengan ulekan
yang sungguh setia pada
Ayah itu, Ayah selalu
menjauhkan diri dari
blender. Semua bumbu-
bumbu digerus dan
dicampur dengan santan
sedikit demi sedikit. Dia
melakukan itu sambil
sesekali menggerutu karena
terpaksa menggunakan
santan dalam kaleng.
Bagaimanapun, harus
kuakui bumbu rendang
buatan Ayah memang jauh
lebih mengguncang
daripada buatan Om Nug
yang diramu dalam blender.
Setiap kali aku mencoba
rendang atau gulai buatan
Ayah, aku hampir pingsan
saking lezatnya. Tetapi itu
berarti Ayah akan terkubur
seharian di dapur karena dia
selalu bersikeras mengolah
bumbu dengan cara
tradisional.

2) Mempertaha Menjadi wartawan, bagiku KPI-P


nkan prinsip adalah jalan yang tak bisa
ditolak. Wartawan adalah
hidup profesi yang
melalui memperlakukan kekuatan
makanan kata sama seperti koki
menggunakan kekuatan
bumbu masakan.
Setelah Bapak berpulang,
isi surat-surat Ibu mewakili
pesan Bapak (membaca dan
berbahasa Indonesia), pesan
Pak No (salat dan doa), dan
pesannya sendiri: makan
yang baik, memasaklah
sendiri. Hingga di Peking
maupun di Paris, pesan
mereka yang kujalani
adalah membaca (tentu saja
sudah menjadi oksigenku),
memasak, dan makan.

Aku melotot, “Aku tidak


percaya paket! Aku tidak
percaya format. Aku tidak
percaya presentasi makanan
membuat penikmat akan
melupakan isi. Lidah sangat
menentukan. Isi dan rasa
adalah segalanya.”
2. Kuliner 1) Aroma Dimas mengganti isi stoples KPK
sebagai bumbu dapur itu setahun sekali jika ABD
aroma cengkih dan kunyit
penggerak mengingatka itu sudah mulai sirna.
ML
konflik n tokoh Terkadang dia mendapat
kepada kiriman dari ka- wan-kawan
kekasih masa di Belanda; terkadang dia
lalunya mendapat oleh-oleh dari
Jakarta. Terkadang dia
terpaksa membelinya
dengan harga mahal, di
Bellevue. Itu hanya terjadi
sesekali setelah melalui
pertengkaran demi
pertengkaran karena aku
sama sekali tak setuju
menggunakan uang untuk
sekadar menghirup
kenangan.
Di pojok hatinya, dia selalu
memiliki Surti dengan
segala kenangannya. Yang
kemudian dia abadikan di
dalam stoples itu.
Surti adalah lambang aroma
kunyit dan cengkih. Itu se-
mua menjadi satu di dalam
Indonesia. Malam itu, aku
me- ngatakan pada Dimas,
aku ingin berpisah darinya.

2) Perselisihan Mas Nug masuk dengan KPK


antar tokoh beberapa kantong belanjaan PPPB
pesananku. Pasti dia baru
karena saja berbelanja di Bellevile
perbedaan karena kemarin aku
pendapat menggerutu kekurangan
tentang bahan untuk membuat
bumbu dapur bumbu-bumbu dasar,
seperti kunyit, jahe, cabe
merah, bawang merah, dan
bawang putih segar bisa
diperoleh meski dengan
harga yang cukup mahal.

“Kecap harus cap Bango


ya, Mas?”
“Harus.”
“Oke. Mas Nug akan ke
Amsterdam, titip yang
banyak ya.
Di sana lebih murah,” Tjai
menoleh pada Mas Nug.
“Kalau begitu sekaligus
terasi cap jempol yang
banyak. Tempe yang
banyak. Rokok kretek. O,
ya bubuk kencur, kun- yit
yang. ”
“Ya, ya, kunyit yang segar.
Itu mahal! ” Mas Nug
meng- gerutu meski tetap
menulis juga semua
pesananku.
“Ya sudah kalau mau
pindang serani yang
rasanya aneh.”
2 Karakter 1. Upaya Dimas 1) Mendirikan Restoran Tanah Air di Rue UDS
cinta tanah Suryo restoran de Vaugirard adalah sebuah TA-
pulau kecil yang terpencil
air pada mencintai dengan di antara Paris yang penuh
MRT
tokoh Indonesia nama “Tanah gaya dan warna. Kecil
Dimas meski ia Air” disbanding Café de Flore di
Suryo dibuang dari saint-Germain-des-Prés
dalam novel Tanah Air yang sejak abad ke-19
menjadi tempat tokoh sastra
Pulang sastra dunia dan para
karya Leila intelektual berdiskusi,
S. Chudori makan sup, dan minum
kopi. Restoran Tanah Air
menyajikan makanan
Indonesia yang diolah
serius dengan aroma bumbu
dari Indonesia: bawang,
kunyit, cengkih, jahe, serai,
dan lengkuas.

“Dimas,” Tjai menatapku,


“aku rasa inilah takdir kita.
Kau adalah koki berbakat
yang tak tertandingkan.”
Belum pernah aku
mendengar Tjai berbicara
penuh semangat seperti itu.
Kedua matanya berkilat-
kilat. Mas Nug memegang
kedua bahuku dan berseru
setinggi langit: “Dimas!
Kita akan membuat restoran
Indonesia di Paris
“Dimas sudah jelas kepala
koki dan yang menentukan
menu apa saja. Kita semua
tahu apa saja yang diolah
tangan Dimas akan keluar
makanan yang luar biasa,
seperti halnya kata-kata apa
saja yang keluar dari
mulutnya akan menjadi
sebuah puisi…”
“Kita…,” aku menghela
nafas, “adalah empat pilar
dari Restoran Tanah Air.”
Kami mendentingkan tiga
gelas anggur dan satu gelas
wedang jahe. Tanah Air.
Nama itu langsung merebut
hatiku.

Empat Pilar Tanah Air


sudah memutuskan akan
meniru formula Belanda
rijstafel, karena makanan
yang berasal dari kelompok
etnis mana pun di
Indonesia-Padang,
Palembang, Lampung,
Solo, Yogya, Sunda, Jawa
Timur, Makassar, Bali bisa
dimasukkan ke dalam paket
sesuai keinginan,
kecocokan, dan rasa.

Ketika beberapa peneliti


Indonesia menghadiri
sebuah konferensi di
Sorbonne University,
sosiolog Armantono
Bayuaji yang kritis terhadap
pemerintah Orde Baru
mengusulkan mencicipi
hidangan Restoran Tanah
Air. Melihat betapa
penuhnya pengunjung
restoran kami, apalagi
dengan acara diskusi buku
dan pameran foto yang
dikurasi oleh Risjaf,
Armantono sungguh
terkesan. Hanya beberapa
pecan setelah kunjungan
mereka, keluarlah artikel
Armantono di media
terbesar di Indonesia, besar
selebar taplak meja, yang
isinya memuji-muji upaya
kami dan mengkritik sikap
pemerintah Indonesia yang
tak jelas. Kira-kira tekanan
Armantono adalah:
mengapa mereka yang di
Pulau Buru sudah pulang
meski masih ditempel
stigma sedang yang di luar
negeri belum dirangkul
untuk kembali ke Tanah
Air. Yang lebih gila,
Armantono menyebutkan
betapa Restoran Tanah Air
adalah duta kebudayaan di
Paris yang sesungguhnya.

2) Memasak “Mas, istirahat saja di UDS


dan kantor, nanti aku yang TA-
masak.”
menyajikan Sebetulnya aku lebih suka
MMM
makanan nasi kuning buatanku yang
Indonesia lengkap dengan tempe
kering, ayam goreng
kuning, urap, dan sambal
bajak. Aku tahu nasi
kuningku, selain rendang
padang, gulai pakis, dan
gula anam, adalah masakan
popular di Restoran Tanah
Air yang mencapai angka
pesanan tertinggi. Buatan
Mas Nug sering terlampau
eksperimental. Dia terlalu
sibuk memberi nama-nama
puitis sehingga melupakan
rasa.

Radjab secara khusus


menyebutkan makanan apa
yang mereka inginkan.
Menu seperti itu mudah
diperoleh di Kuala Lumpur,
namun “bumbu yang nak
racik, luar biasa”. Radjab
memesan meja untuk
delapan belas orang. Aku
sudah meracik bumbu sejak
pagi. Siang ini kami tinggal
mengolahnya dengan nasi,
menggoreng ayam, dan
mencampur sayur-sayuran
dengan bumbu kelapa untuk
urap.

2. Upaya Dimas 1) Mengutamak Aku tahu Vivienne tak suka UDS


Suryo an jika aku menggunakan SOI-
minyak jelantah untuk
mengukuhkan penggunaan menggoreng dengan alasan
MPR
dirinya rempah- kesehatan. Tapi sesekali
sebagai orang rempah atau aku menggunakannya
Indonesia bumbu asal sedikit untuk kucampur
Indonesia dengan bumbu. Inilah
rahasia bumbuku yang
sedap, tidak sehat tapi
sungguh menggiurkan.

“Kunyit adalah bumbu yang


diperebutkan semua pihak,”
kataku seperti
mengucapkan sebaris ayat
undang-undang, “ini adalah
penyedap segala masakan
dan penyembuh segala
penyakit. Kunyit adalah
mahkota segala bumbu.
Jangan sekali-kali kau
pertanyakan lagi gunanya.”

Perbedaan antara Mas Nug


dan aku adalah soal
pragmatism. Jika Mas Nug
bisa mengkhayalkan Agnes
Baumgartner sebagai
Rukmini, maka dia juga
bisa menganggap selai
kacang sebagai bahan dasar
untuk pembuatan bumbu
gado-gado dan bumbu sate.
Sementara aku akan
bersikeras dengan cinta
kuliner yang murni; bumbu
gado-gado dan bumbu sate
harus terdiri dari kacang
tanah yang digoreng dengan
sedikit kombinasi kacang
mete yang dibakar lalu
diulek bersama cabe merah,
cabe rawit, dan kucuran
jeruk limau.

2) Menyediaka Ayah tahu, dia ditolak oleh UDS


n cengkih pemerintah Indonesia, SOI-
tetapi dia tidak ditolak oleh
dan bubuk negerinya. dia tidak ditolak
MCK
kunyit di oleh tanah airnya. Itulah
rumah sebabnya dia meletakkan
sekilo cengkih ke dalam
stoples besar pertama dan
beberapa genggam bubuk
kunyit di stoples kedua di
ruang tamu hanya untuk
merasakan aroma
Indonesia.

Bukankah sudah kukatakan,


aku ingin pulang ke
rumahku di Karet? Jangan
pilih pemakaman mewah di
pere Lachaise di Paris,
jangan pula memilih
pemakaman Tanah Kusir
atau Jeruk Purut. Pilihlah
Tanah Karet. Itu tanah yang
Ayah kenal baunya,
teksturnya, yang nanti akan
mudah menjadi satu dengan
tubuhku.

Sebarkan saja cengkih dan


bunga melati di atas pusara
agar aromanya bisa
menembus ke tubuh Ayah
yang sudah sendiri dan
sunyi. Aku yakin, aku dapat
menangkap bebauan itu
melalu rongga tanah yang
bermurah hati memberi
jalan bagi bau-bau yang
begitu akrab denganku.

You might also like