You are on page 1of 10

SELAMAT PAGI/ SIANG/ MALAM

YTH. TUTOR

MOHON IZIN MENJAWAB TUGAS 2 PADA SESI 5 INI

NAMA: FAUZAN ASYRAFI

NIM. : 048385029

PRODI: ILMU HUKUM

HUKUM TATA NEGARA


Soal No 1
Parlemen Indonesia dari Masa ke Masa
Tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Parlemen Indonesia. Peringatan tersebut
mengikuti keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat tersebut memutuskan, memberi kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) untuk ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara sebelum
terbentuk MPR dan DPR. Dengan maklumat tersebut, KNIP yang semula dibentuk untuk
membantu tugas presiden dan wakil presiden mulai mengemban tugas sebagai parlemen.
Parlemen, menurut KBBI, dipahami sebagai badan yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang
dipilih dan bertanggung jawab atas perundang-undangan dan pengendalian anggaran
keuangan negara. Selain itu, KBBI juga memahami parlemen sebagai padanan dari dewan
perwakilan rakyat.
Dalam sistem demokrasi modern, parlemen merupakan badan yang terdiri atas wakil-wakil
rakyat yang dipilih melalui pemilu untuk menyuarakan kepentingan rakyat serta bertugas,
antara lain untuk membuat undang-undang dan mengawasi pemerintah.
Di Indonesia, lembaga parlemen dapat dirunut sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia
Belanda dengan terbentuknya lembaga Volksraad tahun 1918. Kemudian pada masa awal
kemerdekaan, lembaga parlemen diwakili oleh KNIP. Periode KNIP berlangsung sejak 29
Agustus 1945 hingga 15 Februari 1950.
Setelah itu, lembaga parlemen masuk periode DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat
(RIS), yaitu 15 Februari 1950 – 16 Agustus 1950. Selanjutnya, selama periode 16 Agustus
1950 – 26 Maret 1956, parlemen Indonesia terdiri atas DPRS dan MPRS. Setelah pemilu
pertama tahun 1955, nama lembaga parlemen kembali menjadi DPR hingga Dekrit Presiden
1959.
Setelah Dekrit Presiden yang kembali menggunakan konstitusi UUD 1945, Presiden
menggunakan kewenangannya, membubarkan DPR dan kemudian memilih dan
mengangkat anggota parlemen baru dalam wadah DPR Gotong-Royong. Lembaga parlemen
itu menjalankan tugasnya hingga periode akhir rezim Orde Lama dan awal Orde Baru.
Sejak tahun 1971, anggota lembaga parlemen dipilih melalui proses pemilu. Lembaga
parlemen ini terdiri dari MPR dan DPR. MPR sendiri terdiri dari DPR, utusan golongan, dan
utusan daerah. Sementara, pada era Reformasi, parlemen Indonesia terdiri dari lembaga
MPR, DPR, dan DPD. Lembaga MPR sendiri terdiri atas DPR dan DPD.
https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/parlemen-indonesia-dari-masa-ke-masa
Pertanyaan:
1. Berikan analisis anda, setelah amandemen Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 sistem parlemen apa yang dianut di Indonesia?
Jawab:
Setelah reformasi dan dilakukan perubahan terhadap Konstitusi, bentuk negara
Indonesia adalah Negara Kesatuan. MPR telah bersepakat untuk tidak melakukan
perubahan terhadap bentuk negara dan tetap mempertahankan bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan sistem parlemen terjadi perdebatan
yang panjang, apakah Indonesia dapat dikatakan menganut sistem parlemen bikameral
atau trikameral. Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah-olah
mengarah pada pembentukan sistem parlemen dua kamar (bikameral), tetapi dilihat
dari susunan yang menyebutkan bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan
DPD, tidak tergambar konsep dua kamar. Bikameral tidak tercermin dalam MPR
karena ketika anggota DPR dan anggota DPD melebur menjadi anggota MPR, hanya
akan ada satu lembaga yaitu anggota MPR, tidak dibedakan lagi antara anggota DPR
dan anggota DPD. Dalam susunan parlemen bikameral, bukan anggota yang menjadi
unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Seperti Congres Amerika Serikat yang terdiri
dari Senate dan House of Representatives. Jika anggota yang menjadi unsur, MPR
adalah badan yang berdiri sendiri di luar DPR dan DPD. Masing-masing lembaga
negara tersebut (MPR, DPR, dan DPD) mempunyai kewenangan yang berbeda satu
sama lain. Dengan kewenangan yang berbeda tersebut dapat dikatakan bahwa
parlemen Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 memperkenalkan
sistem parlemen trikameral atau trikameralisme. Berdasarkan hasil penelitian di atas,
terlihat bahwa sistem parlemen yang diterapkan dalam suatu negara ternyata tidak
tergantung pada bentuk negara. Negara Indonesia sejak UUD Sementara 1950,
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, dan Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen, bentuk negaranya tidak mengalami perubahan, yaitu bentuk
negara kesatuan, akan tetapi sistem parlemennya berubah. Jadi, tidak selamanya
negara yang berbentuk kesatuan sistem parlemennya adalah unikameral.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa sistem parlemen yang
diterapkan di Indonesia berubah seiring dengan perubahan konstitusinya, tidak
berdasarkan pada bentuk negaranya. Pada periode 1945-1949 (berlakunya UUD 1945
yang pertama), bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, dan sistem parlemen yang
dianut adalah sistem parlemen unikameral. Periode 1949-1950 (berlakunya Konstitusi
RIS 1949), bentuk negara Indonesia adalah federal dengan sistem parlemen yang
dianut adalah sistem parlemen bikameral. Parlemen Indonesia terdiri dari DPR dan
Senat. Periode 1950-1959 (berlaku UUDS 1950), bentuk negara Indonesia adalah
kesatuan dengan sistem parlemen unikameral. Periode 1959-2004 (sebelum UUD
1945 di amandemen), bentuk negara Indonesia tetap kesatuan, dan sistem parlemen
yang dianut adalah sistem parlemen unikameral. Setelah reformasi, dan setelah UUD
1945 diamandemen (periode 2004-sekarang), bentuk negara Indonesia tetap kesatuan,
tetapi sistem parlemen yang dianut adalah bikameral. Berdasarkan uraian tersebut
terlihat bahwa tidak selamanya negara dengan bentuk kesatuan sistem parlemennya
adalah Unikameral, Sebagaimana Indonesia, meskipun bentuk Negaranya tetap
kesatuan, tetapi sistem Parlemen yang diterapkan dapat berbeda beda.
2. Jelaskan kedudukan MPR, DPR, dan DPD di parlemen dalam
mengubah/menyusun UUD dan undang-undang.
Jawab:
Kedudukan MPR dalam mengubah/ menyusun UUD dan UU setelah amandemen
UUD 1945, yaitu MPR memiliki wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD
1945. Berbeda dengan pra perubahan UUD 1945, MPR tidak memiliki kewenangan
yang rigid dalam hal mengubah UUD 1945, di mana MPR saat itu hanya memegang
kewenangan untuk menetapkan UUD 1945. Frasa “menetapkan” sendiri
menimbulkan kerancuan. Kemudian Tap MPR 1/MPR/1978 menetapkan bahwa:
"Majelis berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak
berkendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan
melaksanakannya secara murni dan konsekwen". Bunyi pasal tersebut menegaskan
bahwa MPR tidak berhak mengubah UUD 1945. Dengan tuntutan reformasi total
pada konstitusi negara, MPR tetap melakukan perubahan UUD 1945. Hal ini
disokong dengan adanya peraturan limitatif dalam Pasal 37 UUD 1945 mengenai
kuorum pada Sidang Paripurna MPR. Atas dasar tersebut, tercapailah pemenuhan atas
tuntutan masyarakat untuk melakukan perubahan atau amendemen UUD 1945.
Melalui perubahan tersebut, aturan kewenangan MPR dan proses amendemen UUD
1945 menjadi lebih rigid.
Salah satu fungsi DPR adalah fungsi Legislasi, dimana anggota DPR mempunyai
tugas dan wewenang untuk menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas),
menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU), menerimaa RUU yang
diajukan oleh DPD. Kemudian membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden atau
DPD, menetapkan RUU bersama presiden, dan menyetujui atau tidak menyetujui
peraturan pemerintah pengganti UU (yang diajukan presiden) untuk ditetapkan
menjadi UU.
Sementara kedudukan DPD dalam mengubah/ menyusun UUD dan UU jika mengacu
pada ketentuan Pasal 22D UUD 1945, mengajukan rancangan undang-undang kepada
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah. DPD ikut merancang undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, pertimbangan atas rancangan undang-undang
dan pemilihan anggota BPK. DPD juga menjadi pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang.
Soal No 2
Indonesia menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam pemerintahan presidensial,
Presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang kedudukannya
terpisah dari parlemen. Sebagai kepala pemerintahan, dia melaksanakan berbagai kebijakan
publik, setelah mendapat persetujuan DPR dan bertanggung jawab kepada DPR. Sebagai
kepala negara, dia berkewajiban menjaga kesatuan bangsa dan memberikan jaminan bagi
kelangsungan hidup bangsanya dalam suatu kesatuan teritorial negara. Dalam tugas ini dia
tak hanya bertanggung jawab kepada DPR, tetapi juga kepada seluruh bangsa dan rakyat.
Presiden tak hanya memiliki kewenangan di bidang eksekutif, namun juga legislatif.
Pertanyaan:
1. Berikan analisis anda, perubahan apa yang terjadi pasca amandemen Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 terhadap kekuasaan presiden dalam
membentuk undang-undang.
Jawab:
Setelah amandemen UUD 1945, terjadi pergeseran kekuasaan Presiden dalam
membentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah menjadi Presiden
berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 20).
Berikut pasal pasal yang berkaitan dengan kekuasaan presiden dalam membentuk
Undang-undang
Pasal 5
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. *)
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang
sebagaimana mestinya.
Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
dalam persidangan yang berikut.
2. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.Berikan analisis anda hubungan antara presiden dan parlemen pasca
amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Jawab:
Reformasi konstitusi, dapat kita ketahui dari amandemen UUD 1945 sebagaimana telah mengalami
perubahan keempat kali. Dalam hubungan MPR – DPR dan DPD, sesuai pasal 2 ayat (1) UUD 1945,
anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Lahirnya
lembaga Dewan Perwakilan Daerah berarti merombak secara struktural MPR yang semula terdiri dari
anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. Demikian pula dengan mekanisme cara
pengisian keanggotaan MPR, yang dahulu sebagian diangkat, dan sesuai amandemen yang telah
mendapatkan perubahan, maka seluruh anggota MPR dipilih melalui pemilihan umum.

Dalam hubungan MPR dan Presiden, wewenang MPR setelah amandemen adalah MPR tidak
berwenang lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, karena Presiden dan Wakil
Presiden sesuai pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat. Demikian pula dalam hal pemberhentian Presiden, MPR tidak hanya melanjutkan usul DPR
untuk menyelenggarakan sidang guna meminta pertanggung jawaban Presiden sehubungan adanya
pelanggaran hukum, tetapi harus lebih dahulu mendapat keputusan Mahkamah Konstitusi.

Perihal hubungan DPR dan Presiden, terlihat prinsip demokrasi berupa kontrol dan keseimbangan
antara DPR dan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 11, 13 dan 14 UUD 1945.

Pasal 11 UUD 1945 :

1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat


perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Pasal 13 UUD 1945 :

1. Presiden mengangkat duta dan konsul


2. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat
3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14 UUD 1945 :

1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


Mahkamah Agung.
2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Kontrol dan keseimbangan (check and balances) antar lembaga negara terbagi secara merata antara
DPR dan Presiden.

Soal No 3
Pernyataan 1
Kebebasan hakim merupakan salah satu prinsip penting sehingga diwajibkan kepada hakim
untuk menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Yaitu bebas
dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan. Kebebasan hakim dalam
pelaksanaan tugas peradilan tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan apapun, bahkan ketua
yang lebih tinggi, tidak berhak untuk ikut campur dalam soal peradilan yang dilaksanakan.
Pernyataan 2
Dikemukakan oleh Montesquieu bahwa jika kekuasaan yudisial tidak dipisahkan
dengan kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif maka kekuasaan atas kehidupan dan
kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi
pembuat hukum, dan jika hakim disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim bisa jadi
penindas. Dalam perkembangannya kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif, dan
yudisial tidak diperbolehkan hanya dilaksanakan secara penuh oleh masing-masing lembaga
tersebut karena harus ada kontrol konstitusional terhadap pelaksanaan kekuasaan tersebut.
Pertanyaan:
1. Berdasarkan pernyataan 1, teori manakah yang sesuai dengan
teori kekuasaan kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
Jawab:
Independensi konstitusional (constitusionele onafhankelijk-kheid), adalah
Independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politika dengan sistem
pembagian kekuasaan menurut Montesqueiu. Lembaga kekuasaan kehakiman harus
independen dalam arti kedudukan kelembagaan harus bebas dari pengaruh Politik
Independensi fungsional (zakleijke of functionele onafhankelijk-kheid), berkaitan
dengan pekerjaan yang dilakukan hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus
memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh
menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang-undang apabila undang-
undang tidak memberikan pengertian yang jelas, karena bagaimanapun hakim
mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undangundang pada kasus atau sengketa
yang sedang berjalan.
Independensi personal hakim (persoonlijke of rechtspositionele Onafhankelijk-kheid),
adalah kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa.
Independensi praktis yang nyata (constitusionele onafhankelijk-kheid), adalah
independensi hakim untuk tidak berpihak (imprsial). Hakim harus mengikuti
perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca atau disaksikan melalui
media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh berita-berita itu dan kemudian mengambil
begitu saja kata-kata dari media tanpa mempertimbangkannya. Hakim juga harus
mampu menyaring desakan-desakan dari masyarakat untuk mempertimbangkan dan
diuji secara kritis dengan ketentuan hukum yang ada. Hakim harus mengetahui
sampai seberapa jauh dapat menerapkan norma-norma sosial kedalam kehidupan
masyarakat. Pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan
peradilan memang sudah selayaknya, karena perbuatan mengadili merupakan
perbuatan yang luhur untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu perkara yang
semata-mata harus didasarkan pada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Harus
dijauhkan dari tekanan atau pengaruh dari pihak mana pun, baik oknum, golongan
masyarakat, apalagi suatu Kekuasaan Pemerintahan yang biasanya mempunyai
jaringan yang kuat dan luas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kekuasaan sering
bersumber pada wewenang formal (formal authority) yang memberikan wewenang
atau kekuasaan kepada seseorang atau salah satu pihak dalam satu bidang tertentu.
Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan itu bersumber pada hukum
yaitu ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang
Mengingat bahwa hukum memerlukan paksaan bagi penataan ketentuan-
ketentuannya, dapat dikatakan hukum memerlukan kekuatan bagi penegaknya. Tanpa
kekuasaan, hukum tidak lain hanya merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran
belaka. Kekuasaan adalah faktor penting dalam menegakkan hukum, tanpa adanya
kekuasaan yang bersifat memaksa, maka mustahil aturan akan dapat ditaati dan
berlaku. Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar kekuasaan negara yang
bersifat memaksa, serta diberikan kewenangan untuk itu oleh konstitusi.40 Kekuasaan
kehakiman yang independen dan akuntabel merupakan pilar penting dalam sebuah
negara hukum yang demokratis.
2. Berdasarkan pernyataan 2, teori manakah yang sesuai dengan teori kekuasaan
kehakiman. Sertakan penjelasan singkat.
Jawab:
Lembaga negara utama atau biasa juga disebut sebagai lembaga negara
primer/ pokok adalah lembaga negara yang mempunyai fungsi pokok/ utama,
pembentukannya pasti berdasarkan UUD 1945. Lalu, dalam perkembangan
muncul pertanyaan mengapa Komisi Yudisial tidak dimasukkan sebagai
lembaga negara primer/utama/pokok setara dengan MA dan MK. Hal ini
disebabkan, Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga penegak etika
kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics), sehingga
keberadaannya bersifat penunjang/pendukung terhadap cabang kekuasaan
kehakiman. Sedangkan fungsi dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
adalah utama/pokok terhadap cabang kekuasaan kehakiman yaitu sebagai lembaga
penegak hukum (the enforcer of the rule of law). Lembaga
baru/pendukung/penunjang adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai
pendukung/penunjang dari lembaga utama.
Pasca reformasi 1998, banyak lembaga-lembaga dan komisi-komisi Independen yang
dibentuk, jika dikelompokan adalah sebagai berikut:
1. Lembaga-lembaga negara dan komisi-komisi negara yang bersifat Independen
berdasarkan konstitusi, yaitu:
A. Komisi Yudisial (KY)
B. Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral
C. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
D. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
E. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
F. Kejaksaan Agung
G. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
H. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
2. Lembaga-lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undangundang, yaitu:
A. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
B. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
C. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
3. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi dilingkungan pemerintah (eksekutif) Lainnya,
seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi atau Badan yang bersifat Khusus didalam
lingkungan pemerintahan, seperti:
A. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
B. Komisi Pendidikan Indonesia
C. Dewan Pertahanan Nasional
D. Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas)
E. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
F. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
G. Badan Pertanahan Nasional (BPN)
H. Badan Kepegawaian Nasional (BKN)
I. Lembaga Administrasi Negara (LAN)
J. Lembaga Informasi Nasional (LIN)
4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi dilingkungan eksekutif (pemerintah) Lainnya,
seperti:
A. Menteri dan Kementrian Negara
B. Dewan Pertimbangan Presiden
C. Komisi Hukum Nasional (KHN)
D. Komisi Kepolisian
E. Komisi Kejaksaan
5. Lembaga korporasi dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum
1. yang dibentuk untuk kepentingan negaraatau kepentingan umum
lainnya,
2. seperti:
3. a. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA
4. b. Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
5. c. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI)
6. d. BHMN Perguruan Tinggi
7. e. BHMN Rumah Sakit
8. f. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia
9. g. Ikatan Notaris Indonesia
10. h. Persatuan Advokad Indonesia (Peradi)
11. Ada lembaga-lembaga yang disebut komisi-komisi negara atau
lembaga
12. negara pembantu (state auxiliary agencies) yang dibentuk berdasarkan
undangundang ataupun peraturan lainnya. Beberapa komisi yang telah
terbentuk antara
13. lain, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM), Komisi
14. Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
Komisi
15. Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional untuk Anak,
Komisi
16. Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Ombudsman
Nasional
17. (KON), Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian dan
Komisi
18. Kejaksaan, dan sebagainya.

3. Berikan analisis anda terhadap pentingnya independensi hakim sebagai


pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Jawab:
Untuk menemukan kerangka dasar atau landasan teoritis tentang lahirnya
independensi Hakim dalam melaksanakan fungsi yudisialnya di lingkungan-
lingkungan peradilan negara sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maka harus
dirujuk pada teori dan atau konsep-konsep pembagian dan pemisahan kekuasaan.
Teori tentang kekuasaan kehakiman, jika dirujuk dari latar belakang sejarahnya,
adalah merupakan derivasi atau turunan dari teori pembagian kekuasaan dan
pemisahan kekuasaan (Division or Separation of Power) sebagaimana diajarkan
oleh John Locke dan Montesquieu.John Locke dalam karyanya yang berjudul
“Two Treaties of Government”, mengajarkan agar kekuasaan di dalam suatu
negara didistribusi atau dibagi-bagi kedalam beberapa organ-organ badan kenegaraan
yang berbeda. Untuk memproteksi adanya penumpukan kekuasaan menurut
John Locke hanya pada organ-organ kenegaraan tertentu, maka diperlukan
pendistribusian kekuasaan kepada beberapa organ kenegaraan, agar terhindar dari
penyalahgunaan kekuasaan yang hanya jika terpusat pada satu organ saja.John Locke
membagi kekuasaan ke dalam beberapa pembagian sebagai berikut:1. Kekuasaan
Legislatif (Legislative Power)2. Kekuasaan Eksekutif (Executive Power)3.
Kekuasaan Federatif (FederativePower).Distribusi kekuasaan kepada tiga organ
badan kekuasaan kenegaraan tersebut, dimana kekuasaan yudikatif
(JudicativePower) dimasukkan ke dalam bagian organ kekuasaan eksekutif,
dengan alasan bahwa kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan melaksanakan
undang-undang mencakup pula di dalamnya kekuasaan mengadili sebagai
pelaksanaan undang-undang.Lebih lanjut, La Ode Husen, menilai bahwa
pemikiran John Locke tentang distribusi kekuasaan muncul sebagai reaksi
terhadap absolutisme raja, dimana pada abad 14-15 kekuasaan pemerintahan di
Eropa Barat terpusat hanya pada satu tangan yaitu raja. Baru memasuki abad ke 17
muncullah konsep dan gagasan untuk mengambil alih kekuasaan membentuk
perundang-undangan dari tangan raja, yang diserahkan kepada suatu badan
kenegaraan (Staatkundigorgaan) yang berdiri sendiri. Sebelumnya, akhir abad
pertengahan, yang mula-mula diambil dari tangan raja adalah kekuasaan
kehakiman, yang kemudian diikuti dengan penyerahan kepada badan peradilan.
Munculnya atau hadirnya kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cabang
kekuasaan eksekutif menurut teori John Locke, dilatarbelakangi oleh kekuasaan
raja yang absolut. Oleh karena itu, wajar bila semula kekuasaan kehakiman berada
sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif (Executive Power) yang berada di tangan
raja, dicabut dan diambil alih dan diserahkan kepada organ kenegaraan baru yaitu
badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.Dari aspek pendekatan
teoritis, maka kekuasaan raja yang mula-mula dicabut dari tangannya adalah
kekuasaan kehakiman yang fungsinya dijalankan oleh badan-badan peradilan.
Barulah kemudiannya, menyusul pencabutan kekuasaan di bidang
pembentukan peraturan perundang-undangan (legislatif ).Pencabutan kekuasaan
kehakiman dari tangan raja yang absolut, seirama kemudian dengan munculnya
pemikiran dari Baron de Montesquieu yang dituangkannya dalam buku yang
berjudul “L’spirit des Lois”, dimana Montesquieu menawarkan konsep yang
berbeda dengan konsep yang telah ditawarkan oleh John Locke.Menurut
Montesquieu, untuk tegaknya negara hukum demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara ke dalam tiga poros kekuasaan sebagai berikut :1. Kekuasaan
Legislatif (Legislation of Power)2. Kekuasaan Eksekutif (ExecutiveofPower)3.
Kekuasaan Yudikatif (JudicativeofPower).Kekuasaan legislatif, di dalamnya
tercakup kekuasaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Kekuasaan eksekutif, melingkupi kekuasaan di bidang pelaksanaan undang-
undang. Kekuasaan kehakiman (yudikatif ), mencakup kekuasaan di bidang
kehakiman dan peradilan dalam rangka menegakkan peraturan perundang-
undangan/penegakan hukum (Law Enforcement).Pemisahan tiga domain wilayah
kekuasaan kenegaraan tersebut, diistilahkannya dengan tiga poros kekuasaan,
yang masing-masing antar satu dengan lainnya terpisah, baik mengenai subjeknya
maupun mengenai fungsinya.Gagasan tentang tiga poros sentralisasi atau pusat
kekuasaan kenegaraan yang terpisah tersebut, kemudian oleh murid
Montesquieu yaitu Immanuel Kant disebutnya dengan nama Trias Politica,
sebagai rangkaian atau untaian kata dari : Tri, artinya tiga, as, artinya pusat/poros, dan
Politica, artinya kekuasaan.Jika dikaji lebih mendalam secara cermat dari teori
pembagian kekuasaan yang diajarkan oleh John Locke (DistributionofPower)
dengan teori pemisahan kekuasaan (SeparationofPower) yang diajarkan oleh
Montesquieu, kemudian dikembangkan oleh muridnya Immanuel Kant dengan
istilah TriasPolitica, maka pada teori TriasPolitica lah kekuasaan kehakiman dan
peradilan menemukan bentuknya atau yang menjadi tumpuannya.Artinya, kekuasaan
kehakiman yang fungsinya dijalankan oleh Hakim-Hakim dari berbagai lingkungan
badan-badan peradilan negara sebagai organ pelaksana di bidang kekuasaan
kehakiman yang independen, bebas dari segala infiltrasi, interfensi dan campur
tangan dari lingkungan kekuasaan lainnya, secara teori mendapatkan justifikasi
dan validitasnya dengan teori pemisahan kekuasaan Trias Politica dari Montesquieu
dan Immanuel Kant.Dalam perkembangannya, ternyata teori TriasPolitica, tidak
sepenuhnya dapat diterima dalam praktek ketatanegaraan. Teori ini sukar untuk
diterapkan secara utuh, oleh karena dalam perkembangan bernegara
adakalanya satu organ kekuasaan kenegaraan diserahi lebih dari pada hanya satu
fungsi kekuasaan, melainkan satu organ atau badan kekuasaan kenegaraan dapat
diserahi lebih dari satu fungsi kekuasaan, sebagaimana halnya kekuasaan eksekutif
juga diberi fungsi di bidang kekuasaan membentuk peraturan perundang-
undangan.Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan konsep
pemisahan kekuasaan negara, ternyata dalam praktik ketatanegaraannya dikenal
sistem saling kontrol dan saling mengadakan pertimbangan (Check and Balance
System) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut. Adanya hak Veto Presiden di
Amerika dari rancangan undang-undang yang diajukan oleh Kongres Amerika pada
hakikatnya sudah mengurangi pelaksanaan teori Trias Politica, oleh karena
wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (Kongres) sudah
dikurangi.5Ronald S. Lumbuun, dalam kaitan tersebut, mengatakan bahwa salah satu
ciri dan persyaratan utama dari suatu negara hukum, adalah terdapatnya asas
pemisahan kekuasaan (SeparationofPower) atau pembagian kekuasaan
(DistributionofPower) yang biasanya terdiri dari kekuasaan legislatif dalam
membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif untuk menjalankan
pemerintahan berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif
tersebut, dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan lembaga peradilan apabila
terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan undang-undang serta kekuasaan
administratif.6Mengapa kekuasaan kehakiman yang secara fungsional diemban
oleh hakim-hakim peradilan diperlukan kemandirian, independensi, terbebas dari
segala interfensi dan pengaruh kekuasaan lainnya?, oleh karena organ atau
badan kekuasaan kenegaraan ini mengembang misi sebagai Pengadilan Negara
yang hendak mewujudkan penegakan hukum dan keadilan bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa.Zubaedi mengatakan bahwa sekalipun suatu negara
tidak menjalankan doktrin Trias Politica, namun independensi hakim sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman tetap juga diakui. Negara-negara.7Dengan demikian,
akar fundamental teoritis tentang adanya independensi hakim dalam melaksanakan
fungsi kekuasaan kehakiman melalui peradilan negara, ditemukan dalam teori
Trias Politica.

You might also like