You are on page 1of 4

NAMA : TOMMI ASHAR

TUGAS 2 TAP
a) Bagaimanakah legalitas perjanjian antara Dawanto dan PT DKT tersebut apabila didasarkan
pada perbuatan melawan hukum?
Perjanjian merupakan instrumen penting dalam mendukung keberlangsungan usaha dalam
bermasyarakat. Baik individu maupun entitas bisnis, seperti dalam kasus Dawanto dan PT DKT,
sering kali memasuki berbagai jenis perjanjian untuk menyelesaikan berbagai transaksi bisnis.
Namun, pertanyaan tentang legalitas perjanjian terjadi ketika salah satu pihak melakukan
perbuatan yang melawan hukum.

Konteks dan Perundangan di Indonesia


Di Indonesia, legalitas perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), khususnya dalam Pasal 1320, yang menyebutkan empat syarat sahnya suatu
perjanjian: ada suatu hal yang menjadi pokok perjanjian (kesepakatan), kesanggupan untuk
membuat suatu perjanjian, adanya suatu sebab yang halal, dan mengenai suatu hal (obyek) yang
halal dan tegas.

Jika dilihat dari pertanyaan awal, perjanjian antara Dawanto dan PT DKT mungkin telah
melanggar salah satu syarat tersebut, yaitu ‘adanya suatu sebab yang halal’. Sebab adalah alasan
para pihak untuk membuat perjanjian. Sebabnya harus halal, artinya tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, moralitas dan kesusilaan, serta ketertiban umum.

Perbuatan Melawan Hukum


Perbuatan melawan hukum, berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, adalah suatu perbuatan yang
merugikan orang lain, dengan kewajiban bagi yang bersalah untuk mengganti kerugian tersebut.
Dalam konteks perjanjian, perbuatan melawan hukum bisa saja terjadi dalam bentuk manipulasi,
penipuan, bahkan tindakan ilegal lainnya yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau
merugikan pihak lain.

Implikasi pada Perjanjian Dawanto dan PT DKT


Jika benar terdapat perbuatan melawan hukum dalam perjanjian antara Dawanto dan PT DKT,
maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata.
Artinya, perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat ditegakkan.

Kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut harus diganti oleh pihak
yang melanggar hukum tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Kesimpulan
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa perjanjian yang berbasis pada perbuatan melawan
hukum tidak hanya tidak memiliki legalitas, tetapi juga merugikan bagi semua pihak yang
terlibat. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk memastikan bahwa setiap perjanjian
didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang sah dan etis.
b) Apakah kasus tersebut di atas dapat diselesaikan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS)? Jelaskan analisa Anda berdasarkan karaktersitik APS!

UU Arbitrase sendiri tidak memberikan pembatasan hanya perkara wanprestasi yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase. Namun, dalam hal terjadi Perbuatan Melawan
Hukum (“PMH”) yang dilakukan oleh salah satu pihak yang terikat dengan perjanjian tersebut,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UU
Arbitrase yang berbunyi:

Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas
menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul
dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Arbitrase tersebut, dengan adanya frasa yang
berbunyi yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut, dijadikan dasar bagi pihak
yang merasa dirugikan atas PMH untuk menyelesaikan permasalahan yang ada melalui arbitrase.

c) Jelaskan perbedaaan penyelesaian kasus di pengadilan biasa dengan Alternatif Penyelesaian


Sengketa (APS)
Penyelesaian sengketa melalui proses litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa melalui
pengadilan. Sedangkan penyelesaian melalui non-litigasi merupakan.

Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa yang merupakan sarana akhir (ultimum remidium)
di hadapan pengadilan setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain. Dengan demikian bisa
dikatakan, proses litigasi adalah penyelesaian sengketa di antara para pihak yang dilakukan di
muka pengadilan.

Penyelesaian sengketa dalam bentuk litigasi banyak terjadi di dunia bisnis, seperti dalam
perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan
sebagainya. Proses litigasi melibatkan aktivitas pengumpulan bukti hingga penyampaian
informasi mengenai sebuah perkara agar hakim bisa mendapatkan gambaran lengkap mengenai
permasalahan yang ada untuk membuat keputusan.

Nantinya, hasil akhir dari litigasi adalah kekuatan hukum yang mengikat pihak-pihak yang
terkait dalam perkara tersebut. Umumnya, pelaksanaan gugatan disebut litigasi. Gugatan adalah
suatu tindakan sipil yang dibawa di pengadilan hukum di mana penggugat, pihak yang
mengklaim telah mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, menuntut upaya
hukum atau adil. Terdakwa diperlukan untuk menanggapi keluhan penggugat.

Jika penggugat berhasil, penilaian akan diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai
perintah pengadilan mungkin dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau
memberlakukan perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan.
Cara ini berlaku bagi orang yang memiliki kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi
non-yudisial yang disebut sadar hukum.

Proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar persidangan atau sering disebut
dengan alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase berasal dari kata arbitrare (latin) yang berarti
kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara berdasarkan kebijaksanaan. Arbitrase
merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral, yaitu individu
atau arbitrase sementara (ad hoc). Menurut Abdul Kadir, arbitrase adalah penyerahan sukarela
suatu sengketa kepada seorang yang berkualitas untuk menyelesaikannya dengan suatu
perjanjian bahwa suatu keputusan arbiter akan final dan mengikat. Sedangkan menurut Undang-
Undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada
pasal 1, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Dari pengertian tersebut, dapat diartikan bahwa arbitrase adalah perjanjian perdata yang
dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka yang
diputuskan oleh pihak ketiga yang disebut arbiter yang ditunjuk secara bersama-sama oleh para
pihak yang bersengketa dan para pihak menyatakan akan menaati putusan yang diambil oleh
arbiter.
Bagaimana para pihak dapat menyelesaikan sengketanya pada lembaga arbitrase?
Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih didahului dengan kesepakatan
para pihak secara tertulis untuk melakukan penyelesaian menggunakan lembaga arbitrase. Para
pihak menyepakati dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh
arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata dengan menambahkan klausul pada perjanjian
pokok. Namun apabila para pihak belum memasukkannya pada kkalusul perjanjian pokok, para
pihak dapat melakukan kesepakatan apabila sengketa telah terjadi dengan menggunakan akta
kompromis yang ditandatangani kedua belah pihak dan disaksikan oleh Notaris.
Penyelesaian sengketa dengan menggunkan lembaga arbitrase akan menghasilkan
Putusan Arbitrase. Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase
untuk segera menjatuhkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak
selesainya pemeriksaan sengketa oleh arbiter. Jika didalam putusan yang dijatuhkan tersebut
terdapat kesalahan administratif, para pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan
dijatuhkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. Putusan
arbitrase merupakan putusan pada tingkat akhir (final) dan langsung mengikat para pihak.
Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan arbiter atau kuasanya
ke panitera pengadilan negeri. Setelah didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan waktu 30
hari untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.
Selain melalui proses arbitrasi, penyelesaian sengketa non litigasi dapat juga dilakukan
dengan cara alternatif penyelesaian sengketa atau alternative dispute resolution (ADR).
Alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan
berdasarkan kata sepakat (konsensus) yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa baik
tanpa ataupun dengan bantuan para pihak ketuga yang netral. Menurut Undang-Undang nomor
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1 angka 10,
alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Penyelesaian sengketa melalui ADR mempunyai keungulan-keunggulan dibandingkan
dengan penyelesaian sengketa melalui litigasi, diantaranya ialah adanya sifat kesukarelaan dalam
proses karena tidak adanya unsur pemaksaan, prosedur yang cepat, keputusannya bersifat non
judicial, prosedur rahasia, fleksibilitas dalam menentukan syarat-syarat penyelesaian masalah,
hemat waktu dan hemat biaya, tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan dan
pemeliharaan hubungan kerja.

You might also like