You are on page 1of 12

95,5

Laporan Praktikum
Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan

PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN SECARA IN VITRO

Dosen: Dr. Saraswati, S. Pi., M. Si.


Asisten: Andi Nabila Putri Khairunisah, Firsi Nurmalisa

Stendy Nur Taufiq (F2401201066), Queena Fatima Azzahra (F2401201095),


Muhammad Rumi Maulana (F2401201099), Hareta Shofi Athiyya
(F2401201113), Maizanov Rahmatika Surur (F24190034), Fajar Adlina Utami P.
(F24190103)

Golongan/Kelompok: P3/8
6 Februari 2023
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

Consumption of foods that are inadequate in protein content, especially


essential amino acids that humans cannot synthesize, can affect human’s growth.
The nutritional value of food protein can not only be seen in terms of quantity, but
also in terms of quality. Protein quality can be determined by protein digestibility.
The protein digestibility of food describes the efficiency of protein hydrolysis into
amino acids by digestive enzymes in the body. The measurement of protein
digestibility in the experiment was carried out in vitro using digestive enzymes so
that conditions are similar to those of the human digestive tract. This study was
intended to explain the principles and practice of in vitro protein digestibility
analysis by enzymatic technique on a sample of food. The determination of protein
digestibility in vitro was based on the pH value and the absorbance value, using a
decrease in protein pH analysis after the hydrolysis reaction. Absorbance was
measured by measuring the amount of free amino acids resulting from protein
hydrolysis. The results of pH measurements on soybean flour, tempeh flour, soy
protein isolates (SPI), and casein showed that the highest pH reduction occurred
in casein samples, followed by tempeh flour, SPI, and soybean flour. The analysis
of the correlation between protein digestibility and absorbance of 3 types of
samples showed that the highest protein digestibility was tempeh flour at 0,080,
followed by SPI and soybean flour at 0,061.

Keywords: absorbance value, digestive enzymes, in vitro, pH value, protein


digestibility
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan
peptida, molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak
dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Ekafitri dan Isworo 2014). Berbeda dengan
makronutrien lainnya seperti karbohidrat dan lemak, protein lebih berperan
penting dalam pembentukan biomolekul daripada sumber energi. Protein juga
berperan dalam menentukan ukuran dan struktur sel, komponen utama dari sistem
komunikasi antarsel, serta sebagai katalis berbagai reaksi biokimia yang terjadi
dalam sel (Fatchiyah et al. 2011). Konsumsi makanan yang tidak memadai
kandungan proteinnya, terutama asam amino esensialnya, dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan, sebab asam amino esensial memiliki kerangka karbon
yang tidak dapat disintesis oleh manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan
sembilan jenis asam amino esensial yang harus diperoleh dari makanan, baik
nabati maupun hewani (Church et al. 2020). Sel tubuh manusia hanya dapat
menyerap suatu zat dalam bentuk yang sederhana. Sementara itu, protein yang
terkandung dalam bahan pangan akan mengalami pencernaan setelah dikonsumsi
menjadi unit-unit penyusunannya, seperti asam-asam amino atau peptida. Proses
pencernaan protein tersebut membutuhkan bantuan enzim protease yang
mengandung beberapa prekursor, antara lain prokarboksipeptida, kimotripsinogen,
tripsinogen, proelastase, dan kolagenase. Masing-masing prekursor protease ini
akan menghidrolisis polipeptida menjadi jenis asam amino yang berbeda-beda.
Tripsin dan kimotripsin memecah molekul protein menjadi polipeptida kecil,
sedangkan proelastase dikonversi menjadi elastase yang mencerna serat elastin
pada daging (Vahdatpour et al. 2016).
Nilai gizi protein bahan pangan tidak hanya dapat dilihat dari segi
kuantitas saja, tetapi juga dari segi kualitasnya. Kualitas protein dapat ditentukan
dengan daya cerna protein. Daya cerna protein suatu bahan pangan
menggambarkan efisiensi hidrolisis protein menjadi asam amino oleh
enzim-enzim pencernaan dalam tubuh (Caire-Juvera 2013). Pengukuran daya
cerna protein suatu pangan sangat penting untuk mengetahui seberapa banyak
protein pada pangan tersebut yang dapat dicerna/dihidrolisis menjadi asam-asam
amino. Jika daya cerna protein tinggi, protein dapat dihidrolisis dengan baik
menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan
digunakan oleh tubuh tinggi, sedangkan daya cerna protein rendah berarti protein
sulit untuk dihidrolisis menjadi asam amino sehingga jumlah asam amino yang
dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar akan
dibuang oleh tubuh bersama feses. Daya cerna protein dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksogen dan endogen.
Faktor eksogen misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat,
lemak, dan protease inhibitor. Faktor endogen terkait dengan karakterisasi struktur
protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh
panas dan perlakuan reduksi. Konformasi protein dapat berhubungan dengan
proses pengolahan produk (Hanifah 2017).
Berbagai proses pengolahan ataupun pencernaan menyebabkan beberapa
protein tidak semua dapat terserap, dan terserapnya protein ke dalam tubuh dapat
dilihat melalui daya cernanya (Rahmatika 2020). Penentuan daya cerna protein
dapat dilakukan secara in vivo ataupun in vitro. Metode in vivo sering kali
dianggap mahal dan terlalu lama. Metode in vitro lebih praktis dan dengan cara
menggunakan enzim-enzim pencernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan
yang sesungguhnya terjadi dalam pencernaan tubuh manusia (Saputra 2014).
Praktikum bertujuan menjelaskan prinsip dan mempraktikkan analisis daya cerna
protein secara in vitro dengan teknik enzimatis terhadap suatu contoh bahan
pangan.
II METODE

2.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada praktikum adalah berbagai alat gelas,
mikropipet, corong, kertas saring, botol semprot, sudip, inkubator penangas air,
neraca analitik, vorteks, pH meter, label, pulpen, pengukur waktu (stopwatch),
tabung sentrifugasi, sentrifus, timbangan penyeimbang sentrifugal, kuvet, dan
spektrofotometer UV-Vis. Bahan yang digunakan pada praktikum adalah tepung
kedelai mentah, tepung tempe, isolat protein kedelai, kasein, akuades pH 8, NaOH
1 N, TCA 0.1 M, reagen Bradford, campuran enzim (1,6 mg tripsin + 3,1 mg
kimotripsin + 4 mg pankreatin per ml akuades atau buffer fosfat pH 8.0), dan
etanol 70%.

2.2 Metode
Larutan sampel dibuat dengan 4 bahan yang digunakan, yaitu tepung
kedelai mentah, tepung tempe, isolat protein kedelai, dan kasein bubuk. Sampel
ditambahkan ke dalam 60 ml akuades pH 8.0, sebanyak 1,5 g untuk sampel kasein
dan isolat protein kedelai, lalu untuk sampel tepung kedelai mentah dan tepung
tempe sebanyak 3 g. Agar pH 8.0 tercapai, ditambahkan NaOH 1 N dan TCA 0.1 -0,5
M dan catat perubahan pH-nya (pH awal dan pH akhir). Larutan yang telah
mencapai pH 8.0, kemudian dihomogenkan menggunakan vortex. Selanjutnya,
larutan yang sudah homogen dibagi menjadi ke dalam 2 tabung (duplo). Sampel
diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang akan
ditambahkan dengan 1 mL enzim pada tabung pertama dan 1 mL aquades pH
sebagai blanko pada tabung kedua. Larutan yang telah ditambahkan enzim dan
aquades dihomogenkan menggunakan vortex selama 10 detik. Larutan diinkubasi
ke dalam inkubator penangas air pada suhu 37℃ selama 10 menit (tepat).
Homogenkan kembali larutan yang telah diinkubasi selama 10 menit
menggunakan vortex. Ditambahkan 2 mL larutan sampel ke dalam 4 mL TCA
pada tabung sentrifugasi. Sebelum disentrifugasi, tabung berisi sampel dan blanko
harus seimbang pada bagian kanan dan kiri sentrifugal. Sentrifugasi dilakukan
dengan kecepatan 300 rpm selama 10 menit. Setelah sentriguasi selesai,
supernatan diambil dengan disaring menggunakan kertas saring hingga
didapatkan 0.1 mL analat (jika ada). Untuk sampel yang tidak memiliki
supernatan, maka langsung diambil sebanyak 0.1 mL. Analat yang telah diperoleh
ditambahkan dengan 5 mL reagen bradford dan didiamkan selama 5 menit.
Langkah terakhir yaitu panjang gelombang analat diukur dengan bantuan alat
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelomban 525 nm. Dicatat nilai absorbansi
yang muncul. Diagram alir prosedur pengukuran daya cerna protein dapat dilihat -0,5
pada Gambar 1.
-0,5

Gambar 1 Diagram alir analisis daya cerna protein


III HASIL

Tabel 1 Data hasil pH sebelum dan sesudah inkubasi


pH akhir Rerata pH akhir ΔpH Rerata ΔpH
pH
Sampel U
awal
Enzim Kontrol Enzim Kontrol Enzim Kontrol Enzim Kontrol

Tepung 1 8,00 7,00 7,03 1,00 0,97


7,21 7,26 0,79 0,74
-0,5 kedelai 2 8,00 7,42 7,49 0,58 0,51

Tepung 1 8,02 7,08 7,36 0,94 0,66


7,10 7,22 0,93 0,81
tempe 2 8,03 7,11 7,07 0,92 0,96

1 8,03 6,94 7,37 1,09 0,66


ISP 7,16 7,66 0,87 0,37
2 8,03 7,38 7,94 0,65 0,09

1 8,07 6,75 6,85 1,32 1,22


Kasein 6,97 7,14 1,11 0,94
2 8,07 7,18 7,42 0,89 0,65

Contoh perhitungan pH sampel tepung kedelai:


- Rerata pH akhir enzim
7,00+7,42
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 7, 21

- Rerata pH akhir kontrol


7,03+7,49
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 7, 26

- ΔpH enzim (ulangan 1)


∆𝑝𝐻 = 𝑝𝐻 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑝𝐻 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
∆𝑝𝐻 = 8, 00 − 7, 00 = 1, 00

- ΔpH kontrol (ulangan 1)


∆𝑝𝐻 = 𝑝𝐻 𝑎𝑤𝑎𝑙 − 𝑝𝐻 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
∆𝑝𝐻 = 8, 00 − 7, 03 = 0, 97

- Rerata ΔpH enzim


1,00+0,58
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 0, 79

- Rerata ΔpH kontrol


0,97+0,51
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 0, 74
Tabel 2 Data hasil absorbansi sampel
Rerata
Absorbansi
absorbansi Rerata
Sampel U ΔAbsorbansi
ΔAbsorbansi
Enzim Kontrol Enzim Kontrol
-0,5
Tepung 1 1,087 1,012 0,075
1,095 1,015 0,080
tempe
2 1,103 1,018 0,085

Tepung 1 1,006 0,960 0,046


1,008 0,947 0,061
kedelai 2 1,010 0,934 0,076

1 1,051 0,990 0,061


ISP 1,055 0,994 0,061
2 1,059 0,997 0,062

Contoh perhitungan absorbansi sampel tepung tempe:


- Rerata absorbansi enzim
1,087+1,103
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 1, 095

- Rerata absorbansi kontrol


1,012+1,018
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 1, 015

- ΔAbsorbansi tepung tempe (ulangan 1)


∆𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 = 𝐴 𝑒𝑛𝑧𝑖𝑚 − 𝐴 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙
∆𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 = 1, 087 − 1, 012 = 0, 075

- Rerata ΔAbsorbansi
0,075+0,085
𝑅𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 = 2
= 0, 080
IV PEMBAHASAN

Prinsip pengukuran daya cerna protein secara in vitro adalah dengan


menggunakan campuran enzim atau multienzim yang terdiri atas enzim tripsin,
kimotripsin, dan pankreatin untuk mencerna protein dalam sampel. Penambahan
campuran enzim ke dalam sampel akan menyebabkan penurunan pH sampel. Hal
ini terjadi karena adanya pembebasan asam amino dari protein oleh enzim-enzim
proteolitik (Hsu et al. 1977). Setelah proses pencernaan, TCA (trichloroacetic
acid) ditambahkan untuk mengendapkan protein yang tidak tercerna serta
menginaktivasi enzim (Bandyopadhyay et al. 2021). Supernatan yang
mengandung asam amino kemudian direaksikan dengan reagen Bradford.
Pewarna Coomassie Brilliant Blue yang ada pada reagen akan mengikat asam
amino dan membentuk warna biru sehingga jumlah asam amino dapat dihitung
dengan mengukur nilai absorbansi larutan. Semakin tinggi nilai absorbansi,
semakin banyak asam amino yang terbebaskan, dan semakin tinggi pula daya
cerna protein dari sampel. Daya cerna protein sampel kemudian dibandingkan
secara relatif dengan daya cerna kasein sebagai kontrol.
Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah inkubasi
pada empat sampel yang digunakan. Nilai rerata pH dihitung berdasarkan selisih
pH sesudah dan sebelum inkubasi. Masing-masing sampel dilakukan perhitungan
sebanyak dua kali ulangan dengan setiap sampel diberi perlakuan pemberian
enzim dan tanpa pemberian enzim atau kontrol. Sampel tepung kedelai memiliki
nilai rerata ΔpH sebesar 0,79; sampel tepung tempe memiliki nilai rerata ΔpH
sebesar 0,9; sampel isolat soy protein (ISP) memiliki nilai rerata ΔpH sebesar
0,87; dan sampel kasein memiliki nilai rerata ΔpH sebesar 1,11. Berdasarkan hasil
tersebut, urutan penurunan pH dari yang terbesar ke yang terkecil dialami oleh
kasein, tepung tempe, ISP, dan tepung kedelai. Berdasarkan literatur Saputra
(2014), semakin tinggi penurunan pH, maka semakin tinggi daya cerna
proteinnya.
Tabel 2 menunjukkan hasil absorbansi sampel. Sampel yang digunakan
dalam pengukuran absorbansi hanya tiga, yaitu tepung tempe, tepung kedelai, dan
ISP. Sampel tepung tempe memiliki nilai peningkatan absorbansi sebesar 0,080;
sedangkan sampel tepung kedelai dan ISP memiliki nilai peningkatan absorbansi
yang sama, yaitu sebesar 0,061. Suasana asam akibat asam amino bebas akan
mendukung kompleks pewarna CBB dengan protein tertentu untuk menahan
protonasi sehingga warna biru muncul dan meningkatkan absorbansi (Rodger dan
Sanders 1999). Menurut penjelasan oleh Utami et al. (2016), data tersebut
menunjukkan bahwa tepung tempe menghasilkan kompleks protein dengan
pewarna CBB terbanyak sehingga dapat diartikan bahwa tepung tempe memiliki
daya cerna protein tertinggi, diikuti oleh ISP dan tepung kedelai.
Pengolahan tempe dapat meningkatkan bioavailabilitas protein kedelai
karena dalam proses fermentasi tempe tumbuh kapang Rhizopus sp.. Kapang
tersebut menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis protein menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana, yaitu asam amino yang mudah untuk
dicerna tubuh (Rahayu et al. 2015). Pengolahan kedelai menjadi tempe juga dapat
menyebabkan zat-zat penghambat yang dikandungnya, yaitu inhibitor protease
danasam fitat menjadi berkurang karena digantikan oleh protease dan fitase
(Nurcahyani et al. 2011). Tahap pembuatan isolat protein kedelai salah satunya
menggunakan pH tinggi untuk melarutkan protein berpotensi menurunkan daya
cerna protein ISP. Penggunaan pH tinggi kemungkinan dapat mengubah struktur
atau isomerisasi protein yang menyebabkan protein tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim pencernaan.
Pada pembuatan isolat protein kedelai, terdapat beberapa proses seperti
melarutkan tepung, perendaman, penambahan basa, sentrifugasi, penambahan
asam, pencucian, dan pengeringan. Perlu diketahui bahwa potensi daya cerna
-2
berkaitan erat dengan pH suatu campuran protein. pH pada protein memberikan
efek kelarutan melalui kondisi isoelektrik. Menurut Triyono (2010), semakin jauh
pH ekstraksi yang dilakukan pada ekstraksi pembuatan isolat, kelarutan protein
akan semakin baik. Oleh karena itu, pH ekstraksi menjadi titik kritis untuk daya
cerna protein.
Pada hasil praktikum ini, didapatkan tingkat penurunan pH pada pengujian
daya cerna sesuai dengan pustaka, yaitu terjadinya penurunan pH akibat hidrolisis
protein sehingga terlepasnya ion H+ yang menyebabkan pH larutan menurun.
Perbandingan antara pH hidrolisis menggunakan enzim dengan pH hidrolisis
dengan menggunakan air sudah sesuai. Hidrolisis menggunakan enzim akan
mengalami hidrolisis lebih cepat dibandingkan dengan air sehingga pH hidrolisis
dengan menggunakan enzim akan lebih rendah dibandingkan dengan pH
hidrolisis menggunakan air. Selain itu, absorbansi yang didapatkan pada hidrolisis
menggunakan enzim telah sejalan dengan pustaka, yaitu mempunyai absorbansi
lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan air (kontrol).
V SIMPULAN

Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel dengan penurunan pH terbesar


adalah kasein, diikuti oleh tepung tempe, ISP, dan tepung kedelai, dengan proses
hidrolisis menggunakan enzim lebih cepat dibandingkan dengan air. Analisis daya
cerna protein dari menunjukkan bahwa daya cerna terbesar dimiliki oleh tepung
tempe, diikuti oleh ISP dan tepung kedelai. Semakin tinggi penurunan pH,
semakin tinggi daya cerna proteinnya karena suasana asam yang mendukung
untuk hidrolisis protein. Tepung tempe memiliki daya cerna protein terbesar
karena proses fermentasi dengan Rhizopus sp. yang menghasilkan enzim protease
untuk hidrolisis protein sehingga meningkatkan bioavailabilitas protein kedelai
serta menurunkan kandungan zat penghambat. Sementara itu, proses pelarutan
protein dengan pH tinggi pada ISP menjadi potensi penyebab sampel tersebut
memiliki daya cerna protein yang lebih rendah.
DAFTAR PUSTAKA

Bandyopadhyay S, Kuriyan R, Kurpad AV. 2021. In vitro protein digestibility of


selected plant and animal foods by multi-enzyme assay. The Indian
Journal of Nutrition and Dietetics. 58(4): 444–453.
doi:10.21048/IJND.2021.58.4.28944.
Caire-Juvera G, Vazquez-Ortiz FA, Ganjaliva-Haro MI. 2013. Amino acid
composition, score, and in-vitro protein digestibility of food commonly
consumed in Norhwest Mexico. Nutr Hosp. 28(2): 365–371.
Church DD, Hirsch KR, Park S, Kim IY, Gwin JA, Pasiakos SM, Wolfe RR,
Ferrando AA. 2020. Essential amino acids and protein synthesis: Insights
into maximizing the muscle and whole-body response to feeding.
Nutrients. 12(12): 1–14. doi: https://doi.org/10.3390/nu12123717.
Ekafitri R, Isworo R. 2014. Pemanfaatan kacang-kacangan sebagai bahan baku
sumber protein untuk pangan darurat. PANGAN. 23(2): 134–145. doi:
https://doi.org/10.33964/jp.v23i2.57. ISSN 0852-0607.
Fatchiyah, Arumingtyas EL, Widyarti S, Rahayu S. 2011. Biologi Molekular:
Prinsip Dasar Analisa. Jakarta: Erlangga. ISBN 978-979-099-477-5.
Hanifah. 2017. Daya cerna protein serta kandungan mineral (kalsium dan fosfor)
pada snack bar substitusi tepung pisang (Musa paradisiaca) dengan
tepung pury ulat sutera (Bombyx mori) dan tepung lele (Clarias
gariepinus) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hsu HW, Vavak, DL, Satterlee LD, Miller GA. 1977. A multienzyme technique
for estimating protein digestibility. Journal of Food Science. 42(5):
1269–1273. doi:10.1111/j.1365-2621.1977.tb14476.x.
Nurcahyani RB, Pardede IT, Masdar H. 2011. Perbandingan efek pemberian
emulsi kedelai dan emulsi tempe terhadap hitung limfosit total pada tikus
putih yang telah diberi prednison. Jurnal Ilmu Kedokteran. 5(1): 56–62.
Rahayu WP, Prambayun R, Santoso U, Nuraida L, Ardiansyah. 2015. Tinjauan
Ilmiah Teknologi Pengolahan Tempe Kedelai. Jakarta(ID): PATPI.
Rahmatika M. 2020. Pengembangan dan nilai gizi susu tempe kedelai hitam
(Glycine soja sieb) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rodger A, Sanders K. 1999. Biomacromolecular applications of UV-visible
absorption spectroscopy. Di dalam: Lindon JC, editor. Encyclopedia of
Spectroscopy and Spectrometry. Cambridge (MA): Academic Press. hlm
166-173.
Saputra D. 2014. Penentuan daya cerna protein in vitro ikan bawal (Colossoma
macropomum) pada umur panen berbeda. ComTech. 5(2): 1127–1133.
Triyono A. 2010. Mempelajari pengaruh penambahan beberapa asam pada proses
isolasi protein terhadap tepung protein isolat kacang hijau (Phaseolus
radiatus L.). Prosiding Seminar Rekayasa Kimia dan Proses; 2010 Agu
4–5; Semarang, Indonesia. ISSN 1411-4216.
Utami P, Lestari S, Lestari SD. 2016. Pengaruh metode pemasakan terhadap
komposisi kimia dan asam amino ikan seluang (Rasbora argyrotaenia).
Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. 5(1): 73–84.
Vahdatpour S, Pourrasmi-Mamaghan A, Soleymani-Goloujeh M, Maheri-Sis N,
Mahmoodppour H, Vahdatpour T. 2016. The systematic review of proteins
digestion and new strategies for delivery of small peptides. Electronic
Journal of Biology. 12(3): 265–275. ISSN 1860-3122.

You might also like