You are on page 1of 22

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman

https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual
Volume XX (X), 20XX, XXX-XXX
DOI:
E-ISSN: 2685-4155; P-ISSN: 1979-2050

Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

Hani Sanjaya,1* Siti Mardiyah Ulfah,2


1
Institut Madani Nusantara, 2 Institut Madani Nusantara
1
sanjaya.hani12@gmail.com , 2sitimardiyahulfah15@gmail.com

Received: Revised: Approved:


*) Corresponding Author
Copyright ©2021 Authors

Abstract
Competition is the demands and challenges of the times. Having superior quality in
human resources is the moral responsibility of the Indonesian nation. Based on the
official static news, the improvement of the quality improvement index (HDI) 2021,
occurs in all dimensions, both the age of panjamg and healthy living, knowledge and
decent standard of living. This is in contrast to the increase in HDI 2020 which is
supported by improvements in the dimensions of longevity and healthy living and the
dimensions of knowledge, while the dimension of living standards is worth measuring
based on the average expenditure of rill per capita (adjusted) increased by 1.30
percent. In the education dimension, 7-year-olds have a long-term expectation of
schooling (can undergo formal education) for 13.08 years, or almost equivalent to the
length of time to finish education to diploma level I. This figure increased by 0.10
percent. The discussion in this study uses a literature research methodology (liblary
research). Data collection techniques are carried out by reviewing several books,
literature and other documents that are considered in accordance with the study. In
an effort to improve the IPM skin of Indonesian people that affect the social welfare of
the community, the Ministry of Education and Culture launched several educational
programs outlined in rjpm 2020-2024, namely: a) improving teaching and learning
skin; b) increased booking of access to educational services at all levels and
acceleration of the implementation of compulsory education for 12 years; c)
improving professionalism, quality, management, and placement of educators and
education personnel evenly; d) strengthening the quality assurance of education to
improve the equalization of service quality between educational units and between
regions; e) improving the quality assurance of education to improve the equalization
of service quality between educational units and between regions.

Keywords: Education, IPM, Social welfare

Abstrak

Persaingan adalah tuntutan dan tantangan zaman. Memiliki kualitas unggul pada
sumber daya manusia merupaka tanggung jawab moral bangsa Indonesia.
Berdasarkan berita resmi statistiik peningkatan indeks peningkatan mutu (IPM) 2021,
terjadi pada semua dimensi, baik umur panjamg dan hidup sehat, pengetahuan dan
standar hidup layak. Hal ini berbeda dengan peningkatan IPM 2020 yang hanya
didukung oleh peningkatan pada dimensi umur Panjang dan hidup sehat dan dimensi
pengetahuan, sedangkan dimensi standar hidup layak diukur berdarakan rata-rata
pengeluaran rill per kapita (yang disesuaikan) menigkat 1,30 persen. Pada dimensi
Pendidikan, penduduka berusia 7 tahun memiliki harapan lama sekolah (dapat
menjalani Pendidikan formal) selama 13,08 tahun, ataun hampir setara dengan
lamanya waktu untuk menamatkan pendidikan hingga tingkat diploma I. Angka ini
1
Penulis

meningkat 0,10 persen. Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metodologi


penelitian kepustakaan (liblary research). Teknik pengumpulan data yang dilakikan
dengan cara mengkaji beberapa buku, literatur serta dikumen lain yang dianggap
sesuai dengan kajian. Dalam upaya meningkatkan kulitas IPM masyarakat Indonesia
yang berpengaruh pada kesejahteraan sosial masyarakat, kemendikbud mencanangkan
beberapa program pendidikan yang dituangkan dalam RJPM 2020-2024 yaitu : a)
peningkatan kulitas pengajaran dan pembelajaran; b) peningkatan pemesanan akses
layanan pendidikan di semua jenjang dan percepatan pelaksanaan Wajib belajar 12
tahun; c) peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan penempatan
pendidik dan tenaga kependidikan yang merata; d) penguatan penjaminan mutu
pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kualitas layanan antarsatuan pendidikan
dan antarwilayah; e) peningkatan penjaminan mutu pendidikan untuk meningkatkan
pemerataan kualitas layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilayah.

Kata Kunci: Pendidikan, IPM, Kesejahteraan sosial

Pendahuluan
Persaingan adalah tuntutan dan tantangan zaman. Memiliki kualitas unggul pada sumber
daya manusia merupaka tanggung jawab moral bangsa Indonesia. Berdasarkan berita resmi
statistiik peningkatan indeks peningkatan mutu (IPM) 2021, terjadi pada semua dimensi, baik
umur panjamg dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak. Hal ini berbeda dengan
peningkatan IPM 2020 yang hanya didukung oleh peningkatan pada dimensi umur Panjang dan
hidup sehat dan dimensi pengetahuan, sedangkan dimensi standar hidup layak diukur
berdarakan rata-rata pengeluaran rill per kapita (yang disesuaikan) menigkat 1,30 persen. Pada
dimensi Pendidikan, penduduka berusia 7 tahun memiliki harapan lama sekolah (dapat
menjalani Pendidikan formal) selama 13,08 tahun, ataun hampir setara dengan lamanya waktu
untuk menamatkan pendidikan hingga tingkat diploma I. Angka ini meningkat 0,10 persen
(Badan Pusat Statistik 2021a).
Di bidang pendidikan, pada tahun 2018, masih terdapat 4,4 juta anak usia 7-18 tahun
yang tidak atau belum mendapatkan layanan pendidikan (anak tidak sekolah/ATS). ATS
disebabkan pada masih rendahnya upaya lintas sektor dalam meminimalisasi hambatan sosial,
ekonomi, budaya, maupun geografis, serta pola layanan pendidikan yang belum optimal untuk
anak berkebutuhan khusus, anak jalanan dan anak terlantar, anak berhadapan dengan hukum,
anak dalam pernikahan atau ibu remaja, dan anak yang bekerja atau pekerja anak. Partisipasi
pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pendidikan tinggi (PT) juga
masih sangat rendah, yaitu masing-masing sebesar 36,06 persen, dan 30,19 persen (Susenas,
2018). Kesenjangan pendidikan antarkelompok ekonomi juga masih menjadi permasalahan dan
semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Rasio APK 20 persen
penduduk termiskin dibandingkan 20 persen terkaya pada jenjang menengah dan tinggi pada
tahun 2018, masing- -masing sebesar 0,67 dan 0,16. Kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah
juga masih tinggi.

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI :
2
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

Kesenjangan mutu antarsatuan pendidikan tinggi menjadi persoalan krusial di


Indonesia. Jumlah perguruan tinggi yang begitu besar, yakni 4.650 lembaga, menyebabkan
upaya tata kelola di pendidikan tinggi belum berjalan optimal. Persoalan kualitas juga terkait
erat dengan belum terwujudnya diferensiasi misi perguruan tinggi dalam mengemban tridharma
perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Selama ini,
perguruan tinggi belum fokus dalam mengemban tiga fungsi tersebut, yakni apakah sebagai
research university yang menekankan pada aspek knowledge production melalui riset multi dan
lintas disipliner; sebagai teaching university yang fokus pada pembelajaran dan pengabdian
masyarakat, atau sebagai vocational university yang menekankan pada kemitraan dengan
industri dan penyiapan lulusan berkeahlian dan berketerampilan.(Indonesia 2020)
Metode Penelitian
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kepustakaan
(liblary research). Penelitian berbasis literatur yaitu bentuk penelitian yang menggunakan
literatur sebagai objek kajian. Ada beberapa ciri yang perlu diperhatikan dalam metode
penelitian studi pustaka yaitu : Pertama, penulis dihadapkan langsung dengan teks/data angka.
Kedua, bahan pustaka diartikan sebagai sumber kedua artinya penulis memperoleh informasi
dari pihak kedua bukan orsinil dari pihak pertama di lapangan. Ketiga, data/informasi yang
diperoleh bersifat “siap pakai”. Keempat, bahan pustaka yang diperoleh tidak dibatasi ruang dan
waktu (Zed 2004). Teknik pengumpulan data yang dilakikan dengan cara mengkaji beberapa
buku, literatur serta dikumen lain yang dianggap sesuai dengan kajian di atas.
Hasil dan Pembahasan (Times New Roman 12 pt, tebal, spasi 1.5 cm)
Hakikat Pembangunan Manusia
Paradigma pembangunan adalah suatu proses menyeluruh yang menyentuh seluruh
aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan lainnya. Pembangunan
merupakan cara pandang terhadap suatu persoalan pembangunan, dalam arti
pembangunan baik sebagai proses maupun sebagai metode untuk mencapai
peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat. Paradigma
pembangunan di Indonesia mengalami perkembangan dari beberapa tahap sebagai
berikut: pertama, paradigma pertumbuhan (growth paradigm); kedua, pergeseran dari
paradigma pertumbuhan menjadi paradigm kesejahteraan (Welfare paradigm); dan
ketiga, paradigma pembangunan yang berpusat ada manusia (people centered
development paradigm)(Astri, Nikensari, and Kuncara 2013)
Pendapat Owens (1987) yang dikutip oleh (Nanang 1999) hal terpenting adalah
pembangunan manusia, bukan pembangunan benda (the development of people
rather than the development of things), karena nilai balik riil pembangunan manusia

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI:
3
Penulis

memberikan sumbangan lebih besar pada pembangunan dibandingkan pada


pembangunan benda (fisik).
IPM (Indeks Pembangunan Manusia) disusun dari komponen pembangunan manusia
yang dianggap menjadi dasar yaitu:
1. Ketahanan Hidup/Usia Hidup (Longevity), diukur dengan harapan hidup pada
saat lahir
2. Pendidikan yang dihitung berdasarkan tingkat rata-rata melek huruf dikalangan
penduduk dewasa (bobotnya dua pertiga) dan angka rata-rata lama sekolah
(bobotnya sepertiga)
3. Kualitas standar hidup yang diukur berdasarkan pendapatan perkapita rill yang
disesuaikan dengan parirtas daya beli dari mata uang domestic dimasing-masing
negara.
Pembangunan Pendidikan Sebagai Motor Pergerakan IPM dan Kesejahteraan
Sosial
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk kemampuan
masyarakat untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kemampuan
agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan secara berkelanjutan. Keberhasilan
pendidikan sangat tergantung pada kualitas kesehatan yang dimiliki. Usia harapan hidup
yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam
pendidikan.Kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat depresiasi
dari modal pendidikan. Dengan demikian pendidikan dan kesehatan merupakan
komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital. Peningkatan mutu pendidikan
dan kesehatan merupakan kunci untuk menikmati tingkat kesejahteraan yang lebih baik.
(Todaro and Smith 2004)
Pendidikan merupakan modal pembangunan bagi negara karena pendidikan merupakan
sarana bagi setiap individu untuk mengenali dan mengembangkan potensi akal, potensi
spritual, potensi jasmani, dan potensi sosial agar mampu secara maksimal berkontribusi
di dalam proses pembangunan. Pendidikan menjadi aspek kunci untuk mendirikan
bangsa yang maju, kuat, dan berkarakter. Mengingat pentingnya proses pendidikan,
Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar negara ‘mencerdaskan kehidupan
bangsa’. Selain itu, pendidikan juga menjadi prioritas negara-negara di dunia dan
menjadi salah satu dari tujuh belas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Meskipun pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 membatasi mobilitas dan
interaksi sosial penduduk, pemerintah menjamin proses pendidikan tetap berlangsung.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
4
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

Beberapa pola dan metode pendidikan dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir
keberlangsungan proses belajar para siswa, yakni diantaranya transformasi
penyelenggaraan belajar mengajar yang yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka
di ruang kelas menjadi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet
(daring). Tentunya timbul tantangan dan hambatan tersendiri dengan adanya
transformasi digital yang sedikit ‘dipaksakan’ ini, seperti kendala akses internet di
beberapa daerah hingga perlunya keterlibatan aktif orang tua di rumah dalam memandu
kegiatan belajar siswa. Namun, dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan sudah
menjadi bagian dari hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab
Bersama.
Pentingnya pendidikan mendorong kemajuan proses pembangunan pendidikan
senantiasa dipantau dan dievaluasi setiap tahunnya. Beberapa indikator output yang
dapat menunjukkan kualitas pendidikan antara lain Angka Melek Huruf (AMH),
Tingkat Pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK),
dan Angka Partisipasi Murni (APM) sedangkan indikator input pendidikan salah
satunya yakni ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, yang mencakup guru,
ruang kelas, dan bangunan sekolah.
Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang merata
adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek huruf.
Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Angka Melek
Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang
dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Batas
maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (standar
UNDP) (Kumalasari and Poerwono 2011). Kemampuan membaca dan menulis atau
yang diistilahkan dengan melek aksara atau melek huruf merupakan prasyarat bagi
masyarakat untuk dapat mengakses berbagai keterampilan dan pengetahuan. Lebih
lanjut, kemampuan ini juga merupakan bekal seseorang untuk dapat menemukan dan
mengembangkan potensi diri demi kualitas hidup yang lebih baik dan kontribusi sosial
ekonomi di masyarakat yang lebih maksimal. Oleh karena itu, pemberatasan buta aksara
merupakan amanah pembangunan pendidikan di Indonesia yang harus dituntaskan.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan berbagai strategi
yang inovatif seperti berbagai program keaksaraan dasar dan lanjutan yang mampu
menjawab kebutuhan belajar masyarakat.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
5
Penulis

Selanjutnya, evaluasi terhadap berbagai program peningkatan kemampuan baca tulis


masyarakat yang diterapkan oleh pemerintah menjadi penting dan indikator utama yang
lazim digunakan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Tabel 1 memperlihatkan bahwa
nilai AMH Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada
tahun 2020, AMH penduduk usia 15 tahun ke atas mencapai 96,00 persen atau naik
sebesar 0,1 persen dari tahun 2019.
Tabel 1. Beberapa Indikator Pendidikan (Persen), 2019 dan 2020
Laki-laki Perempuan Laki-laki+Perempuan
Indikator
2019 2020 2019 2020 2019 2020
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Penduduk Usia 15+ Tahun
Angka Melek Huruf (AMH) 97,48 97,45 94,33 94,55 95,90 96,00
Rata-rata Lama Sekolah 9,08 9,19 8,42 8,60 8,75 8,90
Raya-rata Lama Sekolah1 8,81 8,90 7,89 8,07 8,34 8,48
Angka Partisipasi Sekolah (APS)
- 7-12 tahun 99,12 99,15 99,35 99,36 99,24 99,26
- 13-15 tahun 94,79 94,86 96.26 96.67 95,51 95,74
- 16-18 tahun 71,37 72,10 73,41 73,36 72,36 72,72
Angka Partisipasi Murni (APM)
- SD 97,63 97,70 97,65 97,68 97,64 97,69
- SMP 78,87 79,96 79,96 80,29 79,40 80,12
- SMA 59,40 60,49 62,38 62,05 60,84 61,25
Catatan : 1Penduduk usia 25+tahun
Sumber : (BPS 2021)
Meskipun capaian AMH secara nasional terbilang sudah relatif tinggi, upaya
peningkatan melek huruf perlu terus diupayakan terutama untuk menghapus disparitas
AMH antar berbagai kelompok seperti jenis kelamin, kelompok usia maupun antar
wilayah di Indonesia. Sebagai contoh adanya ketimpangan nilai AMH berdasarkan jenis
kelamin dimana nilai AMH laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan AMH
perempuan dengan selisih sebesar 3,15 persen di tahun 2019 dan 2,9 persen di tahun
2020. Selain itu, dikarenakan adanya disparitas melek huruf antar wilayah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memfokuskan penuntasan buta aksara beberapa tahun
terakhir pada daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) demi terciptanya capaian
literasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
6
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefiniskan sebagai rata-rata durasi (tahun) yang
digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Indikator lama sekolah
mampu merepresentasikan capaian-capaian pembangunan pendidikan pada jangka
panjang. Artinya, nilai rata-rata lama sekolah saat ini merupakan capaian dari berbagai
program untuk meningkatkan partisipasi sekolah di masa lampau. Selain itu, lama
sekolah juga menggambarkan capaian (stock) sumber daya manusia yang berkualitas
karena telah mengenyam pendidikan formal.
Nilai RLS merupakan salah satu indikator yang menjadi sasaran pembangunan dalam
RPJMN 2020-2024. Pada tahun 2024, ditargetkan RLS penduduk usia 15 tahun ke atas
mencapai 9,18 tahun yang ditetapkan dengan menggunakan baseline RLS tahun 2018
sebesar 8,58 tahun. Untuk mecapai target tersebut diperlukan peningkatan RLS sebesar
0,1 tahun setiap tahunnya yang berarti target RLS untuk tahun 2020 sebesar 8,78 tahun.
Pada tahun 2020, rata-rata lama sekolah yang ditempuh penduduk usia 15 tahun ke atas
tercatat sebesar 8,90 tahun atau setara kelas 3 SMP/ sederajat, meningkat 0,15 tahun
dibanding tahun 2019. Dengan capaian ini, maka dapat dikatakan bahwa RLS telah
melampaui target RPJMN di tahun 2020. Sementara lama sekolah untuk penduduk usia
25 tahun ke atas sedikit lebih rendah yakni sebesar 8,48 di tahun 2020 dan 8,34 di tahun
sebelumnya. Meskipun rata-rata lama sekolah laki-laki lebih baik daripada perempuan,
kesenjangan lama sekolah antar laki-laki dan perempuan menunjukkan tren menurun di
tahun 2020 (Badan Pusat Statistik 2021b)
Angka Pastisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan indikator yang dapat mencerminkan
kemampuan penduduk, terutama penduduk usia sekolah, dalam mengakses pelayanan
pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah diamanahkan
oleh konstitusi untuk menyelenggarakan pendidikan dari tingkat dasar hingga jenjang
pendidikan menengah. Peran pemerintah tidak hanya berhenti pada penyelenggaraan
pendidikan tetapi juga memastikan agar pelayanan pendidikan dapat diakses secara
lebih luas oleh seluruh penduduk salah satunya dengan meningkatkan angka partisipasi
sekolah. Beberapa program yang diterapkan untuk meningkatkan APS diantaranya
Program Indonesia Pintar (PIP), pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
pembangunan sekolah dan ruang kelas baru, serta pemberian beasiswa.
Pada tabel 1 terlihat bahwa APS digunakan untuk menggambarkan kelompok umur 7-
18 tahun sesuai dengan agenda RPJMN 2020-2024 yakni Wajib Belajar 12 tahun untuk
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Pada
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
7
Penulis

tahun 2020, sebanyak 99,26 persen penduduk usia 7-12 tahun di Indonesia sedang
mengenyam bangku sekolah. Dengan kata lain, hampir semua anak usia 7-12 tahun
sedang mengenyam pendidikan formal. Sedangkan, pada kelompok usia 13-15 tahun
terdapat sebanyak 4,26 persen penduduk yang belum mengenyam pendidikan atau tidak
bersekolah lagi. Semakin bertambah usia, semakin besar peluang penduduk Indonesia
tidak bersekolah dimana masih sekitar 3 dari 10 penduduk usia 16-18 tahun yang tidak
bersekolah.
Selain Angka Partisipasi Sekolah (APS) indikator yang digunakan untuk melihat
keberhasilan program pembangunan pendidikan terkait dengan aspek kepastian
mendapatkan layanan pendidikan dan pemerataan layanan pada berbagai jenjang
pendidikan adalah Angka Partisipasi Murni (APM). Namun, APM merupakan indikator
yang lebih spesifik karena tidak hanya menggambarkan partisipasi penduduk tetapi juga
mengukur ketepatan usia penduduk dalam berpartisipasi dalam jenjang pendidikan
formal. APM merupakan persentase jumlah anak yang sedang bersekolah pada jenjang
pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok
usia sekolah yang bersangkutan.
Jika diperhatikan indikator APS dan APM memperlihatkan pola yang sama, dimana
persentasenya semakin menurun seiring bertambahnya usia kelompok penduduk. Jika
dilihat berdasarkan jenis kelamin, APS dan APM antara murid lakilaki dan perempuan
relatif setara di semua jenjang pendidikan. Selama tahun 2019- 2020, baik APS maupun
APM pada semua jenjang mengalami sedikit peningkatan. APM SD/sederajat mencatat
nilai yang paling besar yaitu sekitar 98 persen. Sementara untuk APM jenjang
SMP/sederajat hanya sekitar 80 persen dan 61 persen di tingkat SMA/SMK sederajat.
Putus Sekolah, Angka Mengulang, dan Angka Kelulusan
Angka putus sekolah didefinisikan sebagai persentase anak usia sekolah yang berhenti
sekolah atau tidak menamatkan jenjang pendidikan tertentu. Angka ini hanya
memperhitungkan anak-anak yang sudah masuk sekolah tapi keluar sekolah di tahun
ajaran tersebut dan belum termasuk anakanak yang memang tidak berada di sekolah.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),
anakanak yang tidak berada di sekolah jumlahnya jauh lebih banyak.
Pandemi covid-19 membawa dampak kenaikan angka putus sekolah yang terlihat jelas
pada tahun ajaran 2019/2020 pada semua jenjang pendidikan (Tabel 11). Menurut
komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat lima penyebab anak
putus sekolah saat pandemi yakni menikah, bekerja, menunggak iuran sekolah,
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
8
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

kecanduan game online, dan meninggal dunia. dimana f Faktor utama dari putus
sekolah selama pandemi yakni faktor ekonomi yang mana secara umum pendapatan
masyarakat mengalami penurunan akibat merosotnya kinerja perekonomian nasional.
Dengan berbagai program perlindungan sosial yang diluncurkan pemerintah untuk
mitigasi dampak pandemi, angka putus sekolah kembali turun di tahun ajaran
2020/2021.
Sejalan dengan angka putus sekolah, angka mengulang juga mengalami peningkatan
pada tahun ajaran 2019/2020 dan kembali turun di tahun ajaran 2020/2021, kecuali
angka mengulang pada jenjang pendidikan SD. Berbeda dengan angka putus sekolah
dan angka mengulang, angka kelulusan konsisten mengalami peningkatan sejak tahun
ajaran 2017/2018 dimana pada tahun ajaran 2020/2021 angka kelulusan mencapai lebuh
dari 99 persen di semua jenjang pendidikan.
Tabel 2. Perkembangan Angak Putus Sekolah, Mengulang, Angka Kelulusan,
Rasio Murid-Guru, Guru-Sekolah, dan Murid-Kelas Tingkat Pendidikan, Tahun
Ajaran 2017/2018-2020/2021
Tahun Ajaran
Indikator 2017/2018 2018/201 2019/2020 2020/2021
9
(1) (2) (3) (4) (5)
Angka Putus Sekolah
SD 0,13 0,13 0,24 0,18
SMP 0,50 0,28 0,39 0,11
SMA 0,67 0,33 0,55 0,28
SMK 1,57 0,52 0,65 0,27
Angka Mengulang
SD 1,44 1,34 1,10 0,42
SMP 0,28 0,35 0,41 0,20
SMA 0,20 0,26 0,35 0,21
SMK 0,29 0,39 0,49 0,31
Angka Kelulusan
SD 99,78 98,43 98,71 99,92
SMP 99,02 98,38 99,34 99,91
SMA 98,79 98,91 98,92 99,87
SMK 95,57 97,79 98,38 99,81
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
9
Penulis

Rasio Murid-Guru
SD 17 16 16 15
SMP 16 15 15 14
SM 16 15 16 15
Rasio Guru/Sekolah
SD 10 11 11 11
SMP 16 17 17 18
SM 22 23 23 24
Rasio Murid-Kelas
SD 23 22 22 22
SMP 29 28 29 29
SM 29 28 30 29
Sumber : (BPS 2021)
Rasio Murif-Guru, Rasio-Sekolah, dan Rasio Murid-Kelas
Proses pembangunan pendidikan identik dengan peningkatan sarana dan prasarana yang
memadai seperti jumlah sekolah, ruang kelas, dan guru. Hal ini dapat dipahami karena
berbagai fasilitas pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang
kelancaran dan keberhasilan proses mendidik putra putri bangsa. Selain itu,
kenyamanan proses belajar yang ditimbulkan oleh ketersediaan sarana yang baik
mampu menumbuhkan motivasi belajar yang kuat dari para peserta didik. Beberapa
indikator dapat dijadikan acuan untuk menilai kecukupan dari sarana dan prasarana
pendidikan yakni diantaranya rasio murid-guru, rasio guru-sekolah, dan rasio murid-
kelas.
Rasio murid-guru merupakan perbandingan antara jumlah murid dan guru sehingga
mencerminkan rata-rata jumlah murid yang menjadi tanggung jawab seorang guru.
Semakin besar nilai rasio murid-guru dapat menjadi salah satu tanda berkurangnya
efektifitas proses pembelajaran karena pengawasan dan perhatian guru terhadap murid
semakin berkurang. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 17 menyebutkan
bahwa pada jenjang SD, SMP, dan SMA idealnya satu guru bertanggung jawab
terhadap 20 murid dan 15 murid pada jenjang SMK.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa ratarata jumlah murid yang diajar oleh seorang guru
selama periode tahun ajaran 2017/2018 -2020/2021 menunjukkan tren menurun dan
berada di bawah standar ideal yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah yakni sebesar
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
10
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

15 murid per guru untuk jenjang SD dan SM dan 14 murid per guru untuk jenjang SMP.
Secara kuantitas, ketersediaan jumlah guru memang sudah sangat ideal di ketiga jenjang
pendidikan. Namun, terdapat tantangan lain di balik prestasi gemilang tersebut. Salah
satunya yakni permasalahan distribusi jumlah guru yang cenderung surplus di kota-kota
besar dan defisit di daerah-daerah tertentu.
Guru merupakan fasilitator utama pada proses belajar mengajar para siswa. Sehingga,
keberadaanya perlu menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan pendidikan baik
dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari segi kualitas, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
untuk penentuan guru layak mengajar. Sementara dari segi kuantitas, jumlah guru per
sekolah dapat menjadi salah satu indikator untuk bahan evaluasi. Untuk jenjang SD,
rasio gurusekolah stabil sejak tahun ajaran 2018/2019 yakni sebanyak 11 guru per
sekolah. Tren yang berbeda ditunjukkan jenjang SMP dan SM dimana jumlah guru per
sekolah cenderung mengalami peningkatan di tahun ajaran 2020/2021 sebanyak 1 guru
menjadi 18 guru per sekolah untuk SMP dan 24 guru per sekolah untuk SM.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai apakah sarana dan prasarana
pendidikan yang ada telah memadai dan mengakomodir kebutuhan proses belajar
mengajar yakni rasio murid kelas. Jumlah siswa yang ditampung tentu berpengaruh
pada efektifitas proses belajar mengajar. Sejak tahun ajaran 2017/2018, rata-rata jumlah
siswa yang diakomodir dalam satu kelas di ketiga jenjang pendidikan tidak signifikan
mengalami perubahan. Setiap kelas ratarata menampung sebanyak 22 murid untuk
jenjang SD dan 29 murid untuk jenjang SMP/sederajat dan SMA/sederajat. Dengan
mengacu pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 yang menetapkan jumlah peserta
didik dalam satu kelas paling banyak sejumlah 28 siswa untuk SD, 32 siswa untuk
SMP, dan 36 siswa untuk SMA/SMK, secara nasional jumlah ruang kelas yang tersedia
telah mengakomodir jumlah siswa yang ada (Badan Pusat Statistik 2021b)
Usaha Pemerintah dalam Meningkatkan IPM dan Kesejahteraan Sosial melalui
Pendidikan
Sebagaimana yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2021, Kemendikbud menyusun beberapa usulan gunan memperbaiki
kualitas pendidikan Indonesia agar dapat meningkatkan IPM Indonesia dan daya saing
dengan negara lain. Yaitu sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemerataan layanan Pendidikan berkulitas, melalui :

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI:
11
Penulis

a. Peningkatan kualitas pengajaran dan Pembelajaran, mencakup : a)


penerapan kurikulum dengan memberikan penguatan pengajaran berfokus
pada kemampuan matematika, literasi dan sains di semua jenjang; b)
penguatan pendidiakan literasi kelas awal dan literasi baru (literasi digital,
data, dan sosial) dengan strategi pengajaran efektif dam tepat; c) peningkatan
kompetensi dan profesionalisme pendidik; d) penguatan kualitas penilaian
hasil belajar siswa, terutama melalui penguatan peran pendidik dalam
penilaian pembelajaran di kelas, serta peningkatan pemanfaatan hasil
penilaian sebagai bagian dalam perbaikan proses pembelajaran; e)
peningkatan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran, teruatama dalam
mensinergikan model pembelajaran jarak jauh (distance learming), dan
sistem pembelajaran onlin; f) integrasi softskill (keterampilan non-teknis)
dalam pembelajaran; g) peningkatan kualitas layanan pendidikan kesetaraan
dan pendidikan keaksaraan.
b. Peningkatan pemerataan akses pendidikan di semua jenjang dan
percepatan pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun, mencakup: a)
pemberian bantuan pendidikan memadai bagi anak keluarga kurang mampu,
dari daerah afirmasi, dan anak berprestasi, termasuk bantuan bagi lulusan
pendidikan menengah yang melanjutkan ke Pendidikan Tinggi dari keluarga
tidak mampu melalui program KIP kuliah; b) pemerataan layanan
pendidikan antarwilayah , dengan memberikan keberpihakan kepada daerah
yang kemampuan fisikal dan kinerja pendidikan rendah, dan penerapan
model layanan yang tepat untuk daerah 3T, seperti pendidikan terintegrasi
(sekolah satu atap?SATAP). sekolah terbuka , pendidikan jarak jauh, dan
pendidikan berpola asrama; c) pemerataan memperoleh pendidikan tinggi
berkualitas melalui perluasan daya tampung terutama untuk bidang-bidang
yang menunjang kemajuan ekonomi dan penguasaan sains dan teknologi; d)
penanganan ATS untuk kembali bersekolah , dengan pendataan tepat,
penjangkauan dan pendampingan efektif, revitalisasi gerakan kembali
bersekolah, dan model pembelajaran tepat untuk berkebutuhan khusus, anak
yang bekerja, berhadapan dengan hukum, terlantar, jalanan, dan di daerah
bencana; e) peningkatan pemahaman dan peran keluarga dan masyarakat
mengenai pentingnya pendidikan; dan f) peningkatan layanan 1 tahun pra-
sekolah.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
12
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

c. Peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan penempatana


pendidik dan tenaga kependidikan yang merata. Meliputi: a) peningkatan
kualitas pendidikan calon guru melalui revitliasasi Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) dan penguatan Pendidikan Profesi Guru
(PPG); b) pemenuhan kulaifikasi akademik minimal untuk guru (S1/DIV)
dan dosen/peneliti (S2/S3); c) peningkatan pengelolaan, pemenuhan, dan
pendistribusian pendidik dan tenaga kependidikan berdasarkan pemetaan
kemprehensif mengenai kebutuhan dan ketersediaan; d) peningkatan kualitas
sistem penilaian kinerja sebagai acuan untuk pembinaan, pemberian
penghargaan, serta peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan; dan e) peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga
kependidikan berbasis kinerja.
d. Penguatan penjaminan mutu pendidikan untuk meningkatkan
pemerataan layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilyah, meliputi:
a) peningkatan kualitas peta mutu-pendidikan sebagai acuan untuk upaya
peningkatan mutu layanan pendidikan; b) penguatan kapasitas dan akselerasi
akreditasi satuan pendidikan dan program studi; c) penguatan Standar
Nasional Pendidikan; dan d) penguatan budaya mutu dengan peningkatan
kemampuan kepala sekolah dan pengawas, penerapan manajemen berbasis
sekolah (MBS), serta pengembangan unit penjamin mutu di tingkat daerah
dan satuan pendidikan.
e. Peningkatan tata kelola pembangunan pendidikan, strategi pembiyaan,
dan peningkatan efektivitas pemanfaatan Anggaran Pendidikan,
Mencakup: a) peningkatan validitas data pokok pendidikan dengan
meningkatkan peran daerah dalam pelaksanaan validasi dan verifikasi di
tingkat satuan pendidikan; b) peningkatan kualitas perencanaan dalam
mendorong pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) bidang
pendidikan; c) peningkatan sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan pendidikan antartingkatan pemerintahan dalam menjaga
kesinambungan pendidikan antarjenjang; d) peningkatan efektifitas
pemanfaatan Anggaran Pendidikan untuk peningkatan akses, kualitas,
relevansi, dan daya saing pendidikan, dan pemenuhan ketentuan Anggaran
Pendidikan di daerah; e) peningkatan efektivitas pemanfaatan bantuan
operasional satuan pendidikan untuk peningkatan kualitas layanan; f)
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
13
Penulis

pengendalian ijin pendirian satuan pendidikan baru yang tidak sesuai


kebutuhan dan tidak memenuhi standar mutu; g) penguatan tata kelola
pendidikan tinggi melalui upaya penyederhanaan jumlah dan penggabungan
perguruan tinggi; h) peningkatan koordinasi lintas sektor dan antar tingkatan
pemerintahan dalam penguatan pengembangan anak usia dini holistik
integratif (PAUD HI); dan i) peningkatan komitmen dan kapasitas daerah
dalam pendidikan gizi untuk anak sekolah
Permasalahan tenaga kerja terdidik dan tidak terdidik
Kondisi tenaga kerja dan pengangguran di Indonesia
Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia tentunya jumlah angkatan
kerja juga mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari BPS RI pada tahun 2014
jumlah tenaga kerja di Indonesia sebanyak 125,3 juta orang. Merupakan Sumberdaya
yang sangat potensial dalam menghadapi pasar global mendatang.
Menurut World Bank (2013), menyebutkan bahwa kinerja ketenagakerjaan Indonesia
merupakan salah satu yang terkuat di Asia Timur Pasifik. Hal ini karna didukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lingkungan ekonomi yang mendukung, dan
sektor jasa yang berkembang pesat. Berdasar data dari Kementerian Tenaga Kerja
bahwa sektor informal masih mendominasi sebagai penyumbang lapangan kerja
terbesar. Dimana tenaga kerja yang bekerja di seketor informal masih lebih besar
dibandingkan dengan yang bekerja disektor formal. Selain itu, struktur tenaga kerja
Indonesia dalam perekonomian sebagian besar berada pada sektor jasa, pertanian dan
manufaktur.
Dilihat dari permintaan tenaga kerja di Indonesia, pasar tenaga kerja Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup baik, hal ini terbukti dengan meningkatnya
jumlah lapangan pekerjaan dan penurunan angka pengangguran terbuka dalam waktu
yang bersamaan dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Walaupun pada
kenyataannya permintaan tenaga kerja selalu berfluktuasi setiap periode dan tahunnya,
sebagai akibat dari berbagai macam faktor musiman, perputaran pasar tenaga kerja dan
iklim perekonomian dunia. Selanjutnya kita melihat tenaga kerja di Indonesia dari sisi
penawarannya. Kondisi tenaga kerja kita masih rendah daya saingnya, baik dilihat dari
tingkat pendidikan, keterampilan, keahlian dengan bidang yang ditekuni, dan lain lain.

Permasalahan tenaga kerja dan pengagguran di Indonesia


Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
14
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

a) Daya saing tenaga kerja


pat disimpulkan bahwa daya saing tenaga kerja Indonesia relatif masih rendah
dibandingkan dengan daya saing negara tetangga. Rendahnya daya saing di
sebabkan rendahnya mutu SDM sebagai akibat dari rendahnya tingkat
pendidikan dan rendahnya kompetensi kerja dan kecocokan skill dengan
kecocokan pekerjaan.
b) Pasar kerja tenaga kerja
Masih rendahnya peningkatan pasar kerja di bandingkan peningkatan jumlah
tenaga kerja,meski pertambahan lapangan kerja selama 5 tahun terahir cukup
banyak dibandingkan pertambahan angkatan kerja. Kondisi menyebabkan
kelebihan tenaga kerja (labour surplus economy). Disamping itu kondisi pasar
kerja juga pada pasar yang kurang berkualitas sehingga produktivitas dari tenaga
kerja juga masih rendah
c) Hubungan industrial
Masih belum terjalinnya hubungan Industrial antara pemerintah, pekerja dan
perusahaan dengan baik. Mengakibatkan rendahnya daya saing tenaga kerja dan
sakah satu penyebab pengangguran sistim hubungan yang terbentuk
antarapelaku dalam proses produksi barang dan dan jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja buruh dan pemerintah. Permasalahannya hubungan industrial
saat ini masih belum harmonis. Seperti : peraturan perusahaan (PP), perjanjian
kerja bersama (PKB), lembaga kerja sama (LKS) bipartit, lembaga kerja sama
(LKS) tripartit, peran SP/SB dan asosiasi pengusaha.
d) Pengawasan dan perlindungan tenaga kerja
Pelaksanaan pengawasan dan perlindungan ketenagakerjaan juga masih sangat
rendah di Indonesia. Ini terbukti dengan masih banyaknya pelanggaran dalam
hubungan kerja, jam kerja, kerja lembur dan upah antara teanga kerja dan
perusahaan.
e) Link and Match
Ketidak sesuaian antara perusahaan dan tenaga kerja dalam mendapatkan
pekerja dan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian juga merupakan
permasalahan dalam menciptakan pengangguran di Indonesia. Link and Match
merupakan konsep keterkaitan dan kesepadanan antara skill yang dimiliki oleh
tenaga kerja dengan kebutuhan kerja yang dibutuhkan. Link and Match masih

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI:
15
Penulis

menjadi masalah utama yang harus diselesaikan dalam mengurangi


pengangguran di Indonesia.
Evaluasi Program dan Kebijakan Tenaga Kerja dan Pengangguran di Indonesia
a) Daya saing tenaga kerja
Bila ditelaah lebih mendalamdapat disimpulkan bahwa akar dari semua masalah
dalam ketenagakerjaan nasional adalah daya saing. Berdsarkan data
(Susenas,2012) tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia tahun 2014 sebanyak
9,87% yang lulus dari perguruan tinggi dan 91,2 % yang hanya berpendidikan
SLTA ke bawah. Bagi kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis
industri yang potensial dikembangkan dilndonesia adalah jenis industri
manufaktur padat karya (garmen, tekstil, sepatu, elektronik). Sebab dalam situasi
pasokan tenaga kerja yang melimpah (over supply), pendidikan yang minim, dan
upah murah, hanya jenis industri manufaktur ringan saja yang cocok di
bisniskan. Sekalipun para investor ini tetap harus mengeluarkan biaya pelatihan
kerja, tetapi biayanya tidak sebesar jenis industri padat modal.
Selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis
investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis
industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi.
Pemindahan lokasi industri ke negara yang menawarkan upah buruh yang lebih
kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah. Mereka diberikan
gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan mereka
melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasi
semua konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu; kebebasan
berserikat dan berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja,
batas minimum usia kerja anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah
dengan kebijakan demokratisasi baru di bidang politik, telah membuat investor
tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru selalu diikuti dengan
diperkenalkannya Undang-undang baru yang melindungi dan menambah
kesejahteraan buruh. Bila ini yang terjadi maka konsekuensinya akan ada
peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun overhead cost). Bagi
perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini, mereka
akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
16
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya


peraturan, mereka akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas
bisnis yang lebih buruk. Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan
jutaan buruh telah kehilangan pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau
relokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis indusri seperti ini sudah lama
hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem perlindungan hukum dan
kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara lain.
b) Pasar tenaga kerja di Indonesia
Dalam upaya menciptakan pasar tenaga kerja kemudahan berbisnis merupakan
kunci utama. Penerapan kebijakan kebijakan yang tidak memeberikan
kemudahan bagi swasta dan dunia usah untuk memulai dan melaksanakan
aktivitas bisnis di Indonesia, termasuk prosedur perizinan yang panjang, biaya
yang mahan dan waktu pengurusan yang lama. Merupakan faktor penghambat
utama dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang berkualitas. Tingginya
hambatan dalam melakukan bisnis di Indonesia dapat dilihat dari laporan tingkat
kemudahan berusaha (the easy of doing bussines) yang dikeluarkan oleh World
Bank dan IFC, dimana hingga tahun 2014 Indonesia menduduki urutan ke 120
doing bussines dari 189 negara yang di survey. Hal ini membuktikan bahwa
betapa sulitnya berusaha atau bisnis di Indonesia.
Selain itu biaya yang harus dikeluarkan oleh pengusaha yang baru relatif masih
sangat tinggi serta danya aturan deposit (cadangan) modal inimum yang harus
disetorkan oleh usaha baru. Sehingga peringkat kemudahan untuk memulai
usaha (starting bussines) di Indonesia berada di urutan 175 dari 189 negara di
dunia. Tentunya permasalahan semacam ini sangat menghambat dalam upaya
pengurangan pengangguran di Indonesia.
c) Hubungan Industrial
Hubungan industrial juga turut menyumbang terciptanya pengangguran di
negara ini. Karena menurut Guntur (2010) hubungan industrial dapat
menciptakan hubungan yang harmonis antara pengusaha, pekerja dan
pemerintah. Dalam UU ketenagakerjaan No 13 tahun 2003 dijelaskan bahwa
hubungan industrial merupakan hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam proses produksi barang dan jasa yang terdiri dari unsur pengusaha pekerja
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasial dan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
17
Penulis

Pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu faktor yang sering menyebabkan
terjadinya hubungan industrial. Perselisihan ini disebabkan karena ketidak
sesuaian antara alasan pemberhentian kerja dengan ketidaksesuaian atau
terpenuhinya hak hak pekerja atas pemutuasan hubungan kerja tersebut.
d) Pengawasan dan perlindungan tenaga kerja
Ada tiga kebijakan yang mempengaruhi fleksibilitas pasar tenaga kerja di
Indonesia yaitu kebijakan berkaitan dengan perlindungan di tempat kerja,
kebijakan berkaitan dengan PHK dan kebijakan berkaitan dengan upah
minimum (Dzaelani,2004). Penerapan kebijakan tersebut akan sangat
mempengaruhi permintaan teanga kerja oeh perusahaan, sekaligus penyerapan
teanga kerja dan pengurangan pengangguran dalam perekonomian
1) Kebijakan perlindungan di tempat kerja (pekerja kontrak dan outsourcing).
Dengan penerapan kebijakan ini perusahaan dapat meningkatkan kinerja
perusahaan tetapi disisi lain penerapan sistim tenaga kerja kontrak dan
outsourcing seringkali menciptakan ketidak sesuai mengenai hak-hak kerja
yang jauh dari memadai, sehingga perlu dilakukan pengaturan yang baik.
Yang pada prakeknya sering ditemukan pekerja Outsourcing yang yang
dioutsourcingkan dan dikontrakkan lagi hingga tiga tingkatan kebawah dan
tentunya berdampak pada rendahnya upah yang diterima pekerja itu. Bahkan
lebih ekstrim lagi penerapan kerja outsourcing seringkali manyalahi aturan
yang telah ditetapkan pemerintah.
2) Kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berkaitan dengan
pemberian pesangoon pekerja. Hal yang sangat lazim terjadi adalah
perusahan menerapkan aturan yang tidak sesuai dengan apa yang
sesungguhnya terjadi. sebagi contoh dalam mengurangi beban biaya PHK,
perusahaan seringkali menyatakan diri bangkrut dan menutup kegiatan usaha
dari pada harus membayar pesangon yang besar kepada para pekerja yang
diberhentikan (World Bank, 2010). Hal ini terjadi sebagai akibat dari
kekakuan dari kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia dalam hal perekrutan
dan pemberhentian tenaga kerja di Indonesia. Sehingga berdampak pada
kurangnya minat investor dan pengusaha untuk menciptakan usaha baru atau
menambah jumlah pekerja baru.
3) Kebijakan upah minimum. Permasalahan yang terjadi pada penerapan
kebijakan upah minimum juga menjadi masalah dalam menciptakan
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
18
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

pengangguran di Indonesia. Disatu sisi peningkatan upah minimum dapat


meningkatkan kesejahteraan para pekerja tetapi disisi lain membebankan
para pengusaha dan menurunkan daya saing terutama pada industri yang
padat karya.Studi World Bank (2014) mencatat bahwa selama periode 2001-
2012 upah riil hanya naiki 21,3 persen sementara kenaikan upah nominal
mencapai 175,8 persen pada periode yang sama. Hal ini diakibatkan oleh
tingginya inflasi yang terjadi di Indonesia sehingga memaksa para pekerja
meminta penyesuaian pendapatan yang diterima untuk tetap
mempertahankan tingkat kesejahteraannya.
e) Link and Match
Link and Match merupakan konsep keterkaitan dan kesepadanan antara skill
yang dimiliki oleh tenaga kerja dengan kebutuhan kerja yang dibutuhkan. Link
and Match masih menjadi masalah utama yang harus diselesaikan dalam
mengurangi pengangguran di Indonesia. Ketidak sesuaian menunjukkan bahwa
adanya kesulitan antara perusahaan dan tenaga kerja dalam mendapatkan pekerja
dan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan antara perusahaan dan tenaga kerja yang ada. sesuai dengan hasil
studi (Alisjahbana 2008) bahwa ketidak sesuaian bagi pekerja yang
berpendidikan tinggi di Indonesia masih tetap tinggi, terutama laki laki.
Dibandingkan lulusan universitas, dan ketidak sesuaian lebih banyak dialami
oleh lulusan bergelar diploma kejuruan.
Tingginya link and match antara lain disebabkan oleh lembaga penyelenggara
pendidikan yang kurang memperhatikan kebutuhan pasar dan masih berorientasi
pada lulusan berkualitas. Sehingga lulusan yang dihasilkan tidak terserap oleh
pasar, dampaknya terjadilah pengangguran (Purna dkk,2010). Selain itu juga
berdasarkan studi KPPOD (2013) menunjukkan bahwa banyak program
pelatihan kerja yang diselenggarakan pemerintah daerah belum berjalan optimal
dan tidak relevan dengan kebutuhan dunia usaha. Dimana program yang semula
diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan UMKM kenyataannya masih
dimanfaatkan untuk usaha berskala besar ditambah sebagian pemda juga belum
memiliki Balai Latihan Kerja (BLK), program peningkatan produktivitas yang
jelas dan pengalokasian khusus untuk diklat persiapan memasuki pasar kerja
bagi masyarakat.
f) Aspek Kelembagaan
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
19
Penulis

Aspek kelembagaan merupakan kunci utama yang perlu diperbaiki dalam upaya
menurunkan pengangguran. Menurut sugiyanto (2007) pentingknya aspek
kelembagaan dalam menyelesaikan persoalan pembangunan (institutionmatter),
termasuk dalam menciptakan dan memperluas kesempatan kerja. Aspek
kelembagaan mengatur hukum yang berlaku di masyarakat baik itu aturan
formal maupun aturan non formal. Aspek kelembagaan mempunyai peran
sentral dalam keberhasilan suatu negara karena seluruh kebijakan ekonomi,
regulasi dan aturan aturan selalu di dasarkan pada kelembagaan.
Menurut (Yustika 2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya kelembagaan dapat
dilihat dari 2 level yaitu pada tingkat makro yang berkaitan dengan lingkungan
kelembagaan (institusional environment) dan pada tingkat mikro berkaitan
dengan kesepakatan kelembagaan (institusional arragement). Menurut
wiliamson (dalam yustika,2006) mendeskripsikan bahwa sebagai seperangkat
struktur aturan politik, sosial dan legal yang memapankan kegiatan produksi,
pertukaran dan distribusi. Sementaran institisional errangement merupakan
kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar
hubungan antar unit tersebut bisa berlangsung, baik melalui kerja sama maupun
kompetisi. Yang menjadi masalah bahwa selama ini masih belum benar benar
sesuai yang dirumuskan sehingga sering terjadi perselisihan dan masalah
lainnya.
Kesimpulan
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk
kemampuan masyarakat untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan
kemampuan agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan secara berkelanjutan.
Keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada kualitas kesehatan yang dimiliki. Usia
harapan hidup yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi
dalam pendidikan.Kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat
depresiasi dari modal pendidikan.
Pentingnya pendidikan mendorong kemajuan proses pembangunan pendidikan
senantiasa dipantau dan dievaluasi setiap tahunnya. Beberapa indikator output yang
dapat menunjukkan kualitas pendidikan antara lain Angka Melek Huruf (AMH),
Tingkat Pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK),
dan Angka Partisipasi Murni (APM) sedangkan indikator input pendidikan salah

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI :
20
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial

satunya yakni ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, yang mencakup guru,
ruang kelas, dan bangunan sekolah.
Dalam upaya meningkatkan kulitas IPM masyarakat Indonesia yang
berpengaruh pada kesejahteraan sosial masyarakat, kemendikbud mencanangkan
beberapa program pendidikan yang dituangkan dalam RJPM 2020-2024 yaitu : a)
peningkatan kulitas pengajaran dan pembelajaran; b) peningkatan pemesanan akses
layanan pendidikan di semua jenjang dan percepatan pelaksanaan Wajib belajar 12
tahun; c) peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan penempatan pendidik
dan tenaga kependidikan yang merata; d) penguatan penjaminan mutu pendidikan untuk
meningkatkan pemerataan kualitas layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilayah; e)
peningkatan penjaminan mutu pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kualitas
layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilayah.
Program-program yang dicanangkan pemerintah bila dijalankan dengan baik dan
dengan pengontrolan serta evaluasi yang berkelanjutan dapat meningkatkan kualitas
masyarakat Indonesia menuju masyarakat Indonesia yang berkualitas dan mempunyai
daya saing yang mumpuni. Sehingga dapat meningkatkan IPM dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
Referensi
Alisjahbana, Armida. 2008. “Educations and Skill Mismatch, World Bank Office
Jakarta.” Mimeo.
Astri, Meylina, Sri Indah Nikensari, and Harya Kuncara. 2013. “Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Daerah Pada Sektor Pendidikan Dan Kesehata Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia Di Indonesia.” Jurnal Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis
(JPEB) 1 (1): 77–102.
Badan Pusat Statistik. 2021a. “Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun
2021 Mencapai 72,29, Meningkat 0,35 Poin (0,49 Persen) Dibandingkan Capaian
Tahun Sebelumnya (71,94).” 15 November. 2021.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/11/15/1846/indeks-pembangunan-
manusia--ipm--indonesia-tahun-2021-mencapai-72-29--meningkat-0-35-poin--0-
49-persen--dibandingkan-capaian-tahun-sebelumnya--71-94-.html#:~:text=GTPP
Covid-19-,Indeks Pembangunan Manusia.
———. 2021b. “Indikator Kesejahteraan Rakyat 2021.” 30 September 2021. 2021.
https://www.bps.go.id/publication/2021/11/30/d34268e041d8bec0b25ba344/
indikator-kesejahteraan-rakyat-2021.html.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
21
Penulis

BPS. 2021. “Statistik Pendidikan 2021.”


https://www.bps.go.id/publication/2021/11/26/d077e67ada9a93c99131bcde/
statistik-pendidikan-2021.html.
Indonesia, Republik. 2020. “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-
2024.” Jakarta.
Kumalasari, Merna, and Dwisetia Poerwono. 2011. “Analisis Pertumbuhan Ekonomi,
Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata Rata Lama Sekolah,
Pengeluaran Perkapita Dan Jumlah Penduduk Terhadap Tingkat Kemiskinan Di
Jawa Tengah.” Universitas Diponegoro.
Nanang, Martinus. 1999. “Reformasi Paradigma Pembangunan.” Jurnal Sosial-Politika.
Samarinda: Fakultas Ilmu Sosial.
Todaro, P Michael, and C Stephen Smith. 2004. “Pembangunan Ekonomi Di Dunia
Ketiga 1 Edisi Kedelapan Erlangga.” Jakarta.
Yustika, Ahmad Erani. 2006. “Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, Dan Strategi.”
Malang: Bayumedia Publishing.
Zed, Mestika. 2004. Metode Peneletian Kepustakaan. Yayasan Obor Indonesia.

Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX


DOI :
22

You might also like