Professional Documents
Culture Documents
https://ejournal.iai-tribakti.ac.id/index.php/intelektual
Volume XX (X), 20XX, XXX-XXX
DOI:
E-ISSN: 2685-4155; P-ISSN: 1979-2050
Abstract
Competition is the demands and challenges of the times. Having superior quality in
human resources is the moral responsibility of the Indonesian nation. Based on the
official static news, the improvement of the quality improvement index (HDI) 2021,
occurs in all dimensions, both the age of panjamg and healthy living, knowledge and
decent standard of living. This is in contrast to the increase in HDI 2020 which is
supported by improvements in the dimensions of longevity and healthy living and the
dimensions of knowledge, while the dimension of living standards is worth measuring
based on the average expenditure of rill per capita (adjusted) increased by 1.30
percent. In the education dimension, 7-year-olds have a long-term expectation of
schooling (can undergo formal education) for 13.08 years, or almost equivalent to the
length of time to finish education to diploma level I. This figure increased by 0.10
percent. The discussion in this study uses a literature research methodology (liblary
research). Data collection techniques are carried out by reviewing several books,
literature and other documents that are considered in accordance with the study. In
an effort to improve the IPM skin of Indonesian people that affect the social welfare of
the community, the Ministry of Education and Culture launched several educational
programs outlined in rjpm 2020-2024, namely: a) improving teaching and learning
skin; b) increased booking of access to educational services at all levels and
acceleration of the implementation of compulsory education for 12 years; c)
improving professionalism, quality, management, and placement of educators and
education personnel evenly; d) strengthening the quality assurance of education to
improve the equalization of service quality between educational units and between
regions; e) improving the quality assurance of education to improve the equalization
of service quality between educational units and between regions.
Abstrak
Persaingan adalah tuntutan dan tantangan zaman. Memiliki kualitas unggul pada
sumber daya manusia merupaka tanggung jawab moral bangsa Indonesia.
Berdasarkan berita resmi statistiik peningkatan indeks peningkatan mutu (IPM) 2021,
terjadi pada semua dimensi, baik umur panjamg dan hidup sehat, pengetahuan dan
standar hidup layak. Hal ini berbeda dengan peningkatan IPM 2020 yang hanya
didukung oleh peningkatan pada dimensi umur Panjang dan hidup sehat dan dimensi
pengetahuan, sedangkan dimensi standar hidup layak diukur berdarakan rata-rata
pengeluaran rill per kapita (yang disesuaikan) menigkat 1,30 persen. Pada dimensi
Pendidikan, penduduka berusia 7 tahun memiliki harapan lama sekolah (dapat
menjalani Pendidikan formal) selama 13,08 tahun, ataun hampir setara dengan
lamanya waktu untuk menamatkan pendidikan hingga tingkat diploma I. Angka ini
1
Penulis
Pendahuluan
Persaingan adalah tuntutan dan tantangan zaman. Memiliki kualitas unggul pada sumber
daya manusia merupaka tanggung jawab moral bangsa Indonesia. Berdasarkan berita resmi
statistiik peningkatan indeks peningkatan mutu (IPM) 2021, terjadi pada semua dimensi, baik
umur panjamg dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak. Hal ini berbeda dengan
peningkatan IPM 2020 yang hanya didukung oleh peningkatan pada dimensi umur Panjang dan
hidup sehat dan dimensi pengetahuan, sedangkan dimensi standar hidup layak diukur
berdarakan rata-rata pengeluaran rill per kapita (yang disesuaikan) menigkat 1,30 persen. Pada
dimensi Pendidikan, penduduka berusia 7 tahun memiliki harapan lama sekolah (dapat
menjalani Pendidikan formal) selama 13,08 tahun, ataun hampir setara dengan lamanya waktu
untuk menamatkan pendidikan hingga tingkat diploma I. Angka ini meningkat 0,10 persen
(Badan Pusat Statistik 2021a).
Di bidang pendidikan, pada tahun 2018, masih terdapat 4,4 juta anak usia 7-18 tahun
yang tidak atau belum mendapatkan layanan pendidikan (anak tidak sekolah/ATS). ATS
disebabkan pada masih rendahnya upaya lintas sektor dalam meminimalisasi hambatan sosial,
ekonomi, budaya, maupun geografis, serta pola layanan pendidikan yang belum optimal untuk
anak berkebutuhan khusus, anak jalanan dan anak terlantar, anak berhadapan dengan hukum,
anak dalam pernikahan atau ibu remaja, dan anak yang bekerja atau pekerja anak. Partisipasi
pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pendidikan tinggi (PT) juga
masih sangat rendah, yaitu masing-masing sebesar 36,06 persen, dan 30,19 persen (Susenas,
2018). Kesenjangan pendidikan antarkelompok ekonomi juga masih menjadi permasalahan dan
semakin lebar seiring dengan semakin tingginya jenjang pendidikan. Rasio APK 20 persen
penduduk termiskin dibandingkan 20 persen terkaya pada jenjang menengah dan tinggi pada
tahun 2018, masing- -masing sebesar 0,67 dan 0,16. Kesenjangan taraf pendidikan antarwilayah
juga masih tinggi.
Beberapa pola dan metode pendidikan dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir
keberlangsungan proses belajar para siswa, yakni diantaranya transformasi
penyelenggaraan belajar mengajar yang yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka
di ruang kelas menjadi pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan jaringan internet
(daring). Tentunya timbul tantangan dan hambatan tersendiri dengan adanya
transformasi digital yang sedikit ‘dipaksakan’ ini, seperti kendala akses internet di
beberapa daerah hingga perlunya keterlibatan aktif orang tua di rumah dalam memandu
kegiatan belajar siswa. Namun, dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan sudah
menjadi bagian dari hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab
Bersama.
Pentingnya pendidikan mendorong kemajuan proses pembangunan pendidikan
senantiasa dipantau dan dievaluasi setiap tahunnya. Beberapa indikator output yang
dapat menunjukkan kualitas pendidikan antara lain Angka Melek Huruf (AMH),
Tingkat Pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK),
dan Angka Partisipasi Murni (APM) sedangkan indikator input pendidikan salah
satunya yakni ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, yang mencakup guru,
ruang kelas, dan bangunan sekolah.
Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah
Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang merata
adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek huruf.
Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Angka Melek
Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang
dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas. Batas
maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas minimum 0 (standar
UNDP) (Kumalasari and Poerwono 2011). Kemampuan membaca dan menulis atau
yang diistilahkan dengan melek aksara atau melek huruf merupakan prasyarat bagi
masyarakat untuk dapat mengakses berbagai keterampilan dan pengetahuan. Lebih
lanjut, kemampuan ini juga merupakan bekal seseorang untuk dapat menemukan dan
mengembangkan potensi diri demi kualitas hidup yang lebih baik dan kontribusi sosial
ekonomi di masyarakat yang lebih maksimal. Oleh karena itu, pemberatasan buta aksara
merupakan amanah pembangunan pendidikan di Indonesia yang harus dituntaskan.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan berbagai strategi
yang inovatif seperti berbagai program keaksaraan dasar dan lanjutan yang mampu
menjawab kebutuhan belajar masyarakat.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
5
Penulis
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) didefiniskan sebagai rata-rata durasi (tahun) yang
digunakan oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Indikator lama sekolah
mampu merepresentasikan capaian-capaian pembangunan pendidikan pada jangka
panjang. Artinya, nilai rata-rata lama sekolah saat ini merupakan capaian dari berbagai
program untuk meningkatkan partisipasi sekolah di masa lampau. Selain itu, lama
sekolah juga menggambarkan capaian (stock) sumber daya manusia yang berkualitas
karena telah mengenyam pendidikan formal.
Nilai RLS merupakan salah satu indikator yang menjadi sasaran pembangunan dalam
RPJMN 2020-2024. Pada tahun 2024, ditargetkan RLS penduduk usia 15 tahun ke atas
mencapai 9,18 tahun yang ditetapkan dengan menggunakan baseline RLS tahun 2018
sebesar 8,58 tahun. Untuk mecapai target tersebut diperlukan peningkatan RLS sebesar
0,1 tahun setiap tahunnya yang berarti target RLS untuk tahun 2020 sebesar 8,78 tahun.
Pada tahun 2020, rata-rata lama sekolah yang ditempuh penduduk usia 15 tahun ke atas
tercatat sebesar 8,90 tahun atau setara kelas 3 SMP/ sederajat, meningkat 0,15 tahun
dibanding tahun 2019. Dengan capaian ini, maka dapat dikatakan bahwa RLS telah
melampaui target RPJMN di tahun 2020. Sementara lama sekolah untuk penduduk usia
25 tahun ke atas sedikit lebih rendah yakni sebesar 8,48 di tahun 2020 dan 8,34 di tahun
sebelumnya. Meskipun rata-rata lama sekolah laki-laki lebih baik daripada perempuan,
kesenjangan lama sekolah antar laki-laki dan perempuan menunjukkan tren menurun di
tahun 2020 (Badan Pusat Statistik 2021b)
Angka Pastisipasi Sekolah (APS) dan Angka Partisipasi Murni (APM)
Angka Partisipasi Sekolah (APS) merupakan indikator yang dapat mencerminkan
kemampuan penduduk, terutama penduduk usia sekolah, dalam mengakses pelayanan
pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah diamanahkan
oleh konstitusi untuk menyelenggarakan pendidikan dari tingkat dasar hingga jenjang
pendidikan menengah. Peran pemerintah tidak hanya berhenti pada penyelenggaraan
pendidikan tetapi juga memastikan agar pelayanan pendidikan dapat diakses secara
lebih luas oleh seluruh penduduk salah satunya dengan meningkatkan angka partisipasi
sekolah. Beberapa program yang diterapkan untuk meningkatkan APS diantaranya
Program Indonesia Pintar (PIP), pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS),
pembangunan sekolah dan ruang kelas baru, serta pemberian beasiswa.
Pada tabel 1 terlihat bahwa APS digunakan untuk menggambarkan kelompok umur 7-
18 tahun sesuai dengan agenda RPJMN 2020-2024 yakni Wajib Belajar 12 tahun untuk
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing. Pada
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
7
Penulis
tahun 2020, sebanyak 99,26 persen penduduk usia 7-12 tahun di Indonesia sedang
mengenyam bangku sekolah. Dengan kata lain, hampir semua anak usia 7-12 tahun
sedang mengenyam pendidikan formal. Sedangkan, pada kelompok usia 13-15 tahun
terdapat sebanyak 4,26 persen penduduk yang belum mengenyam pendidikan atau tidak
bersekolah lagi. Semakin bertambah usia, semakin besar peluang penduduk Indonesia
tidak bersekolah dimana masih sekitar 3 dari 10 penduduk usia 16-18 tahun yang tidak
bersekolah.
Selain Angka Partisipasi Sekolah (APS) indikator yang digunakan untuk melihat
keberhasilan program pembangunan pendidikan terkait dengan aspek kepastian
mendapatkan layanan pendidikan dan pemerataan layanan pada berbagai jenjang
pendidikan adalah Angka Partisipasi Murni (APM). Namun, APM merupakan indikator
yang lebih spesifik karena tidak hanya menggambarkan partisipasi penduduk tetapi juga
mengukur ketepatan usia penduduk dalam berpartisipasi dalam jenjang pendidikan
formal. APM merupakan persentase jumlah anak yang sedang bersekolah pada jenjang
pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok
usia sekolah yang bersangkutan.
Jika diperhatikan indikator APS dan APM memperlihatkan pola yang sama, dimana
persentasenya semakin menurun seiring bertambahnya usia kelompok penduduk. Jika
dilihat berdasarkan jenis kelamin, APS dan APM antara murid lakilaki dan perempuan
relatif setara di semua jenjang pendidikan. Selama tahun 2019- 2020, baik APS maupun
APM pada semua jenjang mengalami sedikit peningkatan. APM SD/sederajat mencatat
nilai yang paling besar yaitu sekitar 98 persen. Sementara untuk APM jenjang
SMP/sederajat hanya sekitar 80 persen dan 61 persen di tingkat SMA/SMK sederajat.
Putus Sekolah, Angka Mengulang, dan Angka Kelulusan
Angka putus sekolah didefinisikan sebagai persentase anak usia sekolah yang berhenti
sekolah atau tidak menamatkan jenjang pendidikan tertentu. Angka ini hanya
memperhitungkan anak-anak yang sudah masuk sekolah tapi keluar sekolah di tahun
ajaran tersebut dan belum termasuk anakanak yang memang tidak berada di sekolah.
Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),
anakanak yang tidak berada di sekolah jumlahnya jauh lebih banyak.
Pandemi covid-19 membawa dampak kenaikan angka putus sekolah yang terlihat jelas
pada tahun ajaran 2019/2020 pada semua jenjang pendidikan (Tabel 11). Menurut
komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terdapat lima penyebab anak
putus sekolah saat pandemi yakni menikah, bekerja, menunggak iuran sekolah,
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
8
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial
kecanduan game online, dan meninggal dunia. dimana f Faktor utama dari putus
sekolah selama pandemi yakni faktor ekonomi yang mana secara umum pendapatan
masyarakat mengalami penurunan akibat merosotnya kinerja perekonomian nasional.
Dengan berbagai program perlindungan sosial yang diluncurkan pemerintah untuk
mitigasi dampak pandemi, angka putus sekolah kembali turun di tahun ajaran
2020/2021.
Sejalan dengan angka putus sekolah, angka mengulang juga mengalami peningkatan
pada tahun ajaran 2019/2020 dan kembali turun di tahun ajaran 2020/2021, kecuali
angka mengulang pada jenjang pendidikan SD. Berbeda dengan angka putus sekolah
dan angka mengulang, angka kelulusan konsisten mengalami peningkatan sejak tahun
ajaran 2017/2018 dimana pada tahun ajaran 2020/2021 angka kelulusan mencapai lebuh
dari 99 persen di semua jenjang pendidikan.
Tabel 2. Perkembangan Angak Putus Sekolah, Mengulang, Angka Kelulusan,
Rasio Murid-Guru, Guru-Sekolah, dan Murid-Kelas Tingkat Pendidikan, Tahun
Ajaran 2017/2018-2020/2021
Tahun Ajaran
Indikator 2017/2018 2018/201 2019/2020 2020/2021
9
(1) (2) (3) (4) (5)
Angka Putus Sekolah
SD 0,13 0,13 0,24 0,18
SMP 0,50 0,28 0,39 0,11
SMA 0,67 0,33 0,55 0,28
SMK 1,57 0,52 0,65 0,27
Angka Mengulang
SD 1,44 1,34 1,10 0,42
SMP 0,28 0,35 0,41 0,20
SMA 0,20 0,26 0,35 0,21
SMK 0,29 0,39 0,49 0,31
Angka Kelulusan
SD 99,78 98,43 98,71 99,92
SMP 99,02 98,38 99,34 99,91
SMA 98,79 98,91 98,92 99,87
SMK 95,57 97,79 98,38 99,81
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
9
Penulis
Rasio Murid-Guru
SD 17 16 16 15
SMP 16 15 15 14
SM 16 15 16 15
Rasio Guru/Sekolah
SD 10 11 11 11
SMP 16 17 17 18
SM 22 23 23 24
Rasio Murid-Kelas
SD 23 22 22 22
SMP 29 28 29 29
SM 29 28 30 29
Sumber : (BPS 2021)
Rasio Murif-Guru, Rasio-Sekolah, dan Rasio Murid-Kelas
Proses pembangunan pendidikan identik dengan peningkatan sarana dan prasarana yang
memadai seperti jumlah sekolah, ruang kelas, dan guru. Hal ini dapat dipahami karena
berbagai fasilitas pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang
kelancaran dan keberhasilan proses mendidik putra putri bangsa. Selain itu,
kenyamanan proses belajar yang ditimbulkan oleh ketersediaan sarana yang baik
mampu menumbuhkan motivasi belajar yang kuat dari para peserta didik. Beberapa
indikator dapat dijadikan acuan untuk menilai kecukupan dari sarana dan prasarana
pendidikan yakni diantaranya rasio murid-guru, rasio guru-sekolah, dan rasio murid-
kelas.
Rasio murid-guru merupakan perbandingan antara jumlah murid dan guru sehingga
mencerminkan rata-rata jumlah murid yang menjadi tanggung jawab seorang guru.
Semakin besar nilai rasio murid-guru dapat menjadi salah satu tanda berkurangnya
efektifitas proses pembelajaran karena pengawasan dan perhatian guru terhadap murid
semakin berkurang. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 17 menyebutkan
bahwa pada jenjang SD, SMP, dan SMA idealnya satu guru bertanggung jawab
terhadap 20 murid dan 15 murid pada jenjang SMK.
Tabel 2 memperlihatkan bahwa ratarata jumlah murid yang diajar oleh seorang guru
selama periode tahun ajaran 2017/2018 -2020/2021 menunjukkan tren menurun dan
berada di bawah standar ideal yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah yakni sebesar
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
10
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial
15 murid per guru untuk jenjang SD dan SM dan 14 murid per guru untuk jenjang SMP.
Secara kuantitas, ketersediaan jumlah guru memang sudah sangat ideal di ketiga jenjang
pendidikan. Namun, terdapat tantangan lain di balik prestasi gemilang tersebut. Salah
satunya yakni permasalahan distribusi jumlah guru yang cenderung surplus di kota-kota
besar dan defisit di daerah-daerah tertentu.
Guru merupakan fasilitator utama pada proses belajar mengajar para siswa. Sehingga,
keberadaanya perlu menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan pendidikan baik
dari segi kuantitas maupun kualitas. Dari segi kualitas, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan telah menetapkan Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
untuk penentuan guru layak mengajar. Sementara dari segi kuantitas, jumlah guru per
sekolah dapat menjadi salah satu indikator untuk bahan evaluasi. Untuk jenjang SD,
rasio gurusekolah stabil sejak tahun ajaran 2018/2019 yakni sebanyak 11 guru per
sekolah. Tren yang berbeda ditunjukkan jenjang SMP dan SM dimana jumlah guru per
sekolah cenderung mengalami peningkatan di tahun ajaran 2020/2021 sebanyak 1 guru
menjadi 18 guru per sekolah untuk SMP dan 24 guru per sekolah untuk SM.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai apakah sarana dan prasarana
pendidikan yang ada telah memadai dan mengakomodir kebutuhan proses belajar
mengajar yakni rasio murid kelas. Jumlah siswa yang ditampung tentu berpengaruh
pada efektifitas proses belajar mengajar. Sejak tahun ajaran 2017/2018, rata-rata jumlah
siswa yang diakomodir dalam satu kelas di ketiga jenjang pendidikan tidak signifikan
mengalami perubahan. Setiap kelas ratarata menampung sebanyak 22 murid untuk
jenjang SD dan 29 murid untuk jenjang SMP/sederajat dan SMA/sederajat. Dengan
mengacu pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 yang menetapkan jumlah peserta
didik dalam satu kelas paling banyak sejumlah 28 siswa untuk SD, 32 siswa untuk
SMP, dan 36 siswa untuk SMA/SMK, secara nasional jumlah ruang kelas yang tersedia
telah mengakomodir jumlah siswa yang ada (Badan Pusat Statistik 2021b)
Usaha Pemerintah dalam Meningkatkan IPM dan Kesejahteraan Sosial melalui
Pendidikan
Sebagaimana yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2021, Kemendikbud menyusun beberapa usulan gunan memperbaiki
kualitas pendidikan Indonesia agar dapat meningkatkan IPM Indonesia dan daya saing
dengan negara lain. Yaitu sebagai berikut :
1. Meningkatkan pemerataan layanan Pendidikan berkulitas, melalui :
Pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu faktor yang sering menyebabkan
terjadinya hubungan industrial. Perselisihan ini disebabkan karena ketidak
sesuaian antara alasan pemberhentian kerja dengan ketidaksesuaian atau
terpenuhinya hak hak pekerja atas pemutuasan hubungan kerja tersebut.
d) Pengawasan dan perlindungan tenaga kerja
Ada tiga kebijakan yang mempengaruhi fleksibilitas pasar tenaga kerja di
Indonesia yaitu kebijakan berkaitan dengan perlindungan di tempat kerja,
kebijakan berkaitan dengan PHK dan kebijakan berkaitan dengan upah
minimum (Dzaelani,2004). Penerapan kebijakan tersebut akan sangat
mempengaruhi permintaan teanga kerja oeh perusahaan, sekaligus penyerapan
teanga kerja dan pengurangan pengangguran dalam perekonomian
1) Kebijakan perlindungan di tempat kerja (pekerja kontrak dan outsourcing).
Dengan penerapan kebijakan ini perusahaan dapat meningkatkan kinerja
perusahaan tetapi disisi lain penerapan sistim tenaga kerja kontrak dan
outsourcing seringkali menciptakan ketidak sesuai mengenai hak-hak kerja
yang jauh dari memadai, sehingga perlu dilakukan pengaturan yang baik.
Yang pada prakeknya sering ditemukan pekerja Outsourcing yang yang
dioutsourcingkan dan dikontrakkan lagi hingga tiga tingkatan kebawah dan
tentunya berdampak pada rendahnya upah yang diterima pekerja itu. Bahkan
lebih ekstrim lagi penerapan kerja outsourcing seringkali manyalahi aturan
yang telah ditetapkan pemerintah.
2) Kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini berkaitan dengan
pemberian pesangoon pekerja. Hal yang sangat lazim terjadi adalah
perusahan menerapkan aturan yang tidak sesuai dengan apa yang
sesungguhnya terjadi. sebagi contoh dalam mengurangi beban biaya PHK,
perusahaan seringkali menyatakan diri bangkrut dan menutup kegiatan usaha
dari pada harus membayar pesangon yang besar kepada para pekerja yang
diberhentikan (World Bank, 2010). Hal ini terjadi sebagai akibat dari
kekakuan dari kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia dalam hal perekrutan
dan pemberhentian tenaga kerja di Indonesia. Sehingga berdampak pada
kurangnya minat investor dan pengusaha untuk menciptakan usaha baru atau
menambah jumlah pekerja baru.
3) Kebijakan upah minimum. Permasalahan yang terjadi pada penerapan
kebijakan upah minimum juga menjadi masalah dalam menciptakan
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI :
18
Pendidikan Sebagai Upaya Untuk Peningkatan IPM dan Kesejahteraan Sosial
Aspek kelembagaan merupakan kunci utama yang perlu diperbaiki dalam upaya
menurunkan pengangguran. Menurut sugiyanto (2007) pentingknya aspek
kelembagaan dalam menyelesaikan persoalan pembangunan (institutionmatter),
termasuk dalam menciptakan dan memperluas kesempatan kerja. Aspek
kelembagaan mengatur hukum yang berlaku di masyarakat baik itu aturan
formal maupun aturan non formal. Aspek kelembagaan mempunyai peran
sentral dalam keberhasilan suatu negara karena seluruh kebijakan ekonomi,
regulasi dan aturan aturan selalu di dasarkan pada kelembagaan.
Menurut (Yustika 2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya kelembagaan dapat
dilihat dari 2 level yaitu pada tingkat makro yang berkaitan dengan lingkungan
kelembagaan (institusional environment) dan pada tingkat mikro berkaitan
dengan kesepakatan kelembagaan (institusional arragement). Menurut
wiliamson (dalam yustika,2006) mendeskripsikan bahwa sebagai seperangkat
struktur aturan politik, sosial dan legal yang memapankan kegiatan produksi,
pertukaran dan distribusi. Sementaran institisional errangement merupakan
kesepakatan antara unit ekonomi untuk mengelola dan mencari jalan agar
hubungan antar unit tersebut bisa berlangsung, baik melalui kerja sama maupun
kompetisi. Yang menjadi masalah bahwa selama ini masih belum benar benar
sesuai yang dirumuskan sehingga sering terjadi perselisihan dan masalah
lainnya.
Kesimpulan
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk
kemampuan masyarakat untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan
kemampuan agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan secara berkelanjutan.
Keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada kualitas kesehatan yang dimiliki. Usia
harapan hidup yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi
dalam pendidikan.Kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat
depresiasi dari modal pendidikan.
Pentingnya pendidikan mendorong kemajuan proses pembangunan pendidikan
senantiasa dipantau dan dievaluasi setiap tahunnya. Beberapa indikator output yang
dapat menunjukkan kualitas pendidikan antara lain Angka Melek Huruf (AMH),
Tingkat Pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Kasar (APK),
dan Angka Partisipasi Murni (APM) sedangkan indikator input pendidikan salah
satunya yakni ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, yang mencakup guru,
ruang kelas, dan bangunan sekolah.
Dalam upaya meningkatkan kulitas IPM masyarakat Indonesia yang
berpengaruh pada kesejahteraan sosial masyarakat, kemendikbud mencanangkan
beberapa program pendidikan yang dituangkan dalam RJPM 2020-2024 yaitu : a)
peningkatan kulitas pengajaran dan pembelajaran; b) peningkatan pemesanan akses
layanan pendidikan di semua jenjang dan percepatan pelaksanaan Wajib belajar 12
tahun; c) peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan, dan penempatan pendidik
dan tenaga kependidikan yang merata; d) penguatan penjaminan mutu pendidikan untuk
meningkatkan pemerataan kualitas layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilayah; e)
peningkatan penjaminan mutu pendidikan untuk meningkatkan pemerataan kualitas
layanan antarsatuan pendidikan dan antarwilayah.
Program-program yang dicanangkan pemerintah bila dijalankan dengan baik dan
dengan pengontrolan serta evaluasi yang berkelanjutan dapat meningkatkan kualitas
masyarakat Indonesia menuju masyarakat Indonesia yang berkualitas dan mempunyai
daya saing yang mumpuni. Sehingga dapat meningkatkan IPM dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
Referensi
Alisjahbana, Armida. 2008. “Educations and Skill Mismatch, World Bank Office
Jakarta.” Mimeo.
Astri, Meylina, Sri Indah Nikensari, and Harya Kuncara. 2013. “Pengaruh Pengeluaran
Pemerintah Daerah Pada Sektor Pendidikan Dan Kesehata Terhadap Indeks
Pembangunan Manusia Di Indonesia.” Jurnal Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis
(JPEB) 1 (1): 77–102.
Badan Pusat Statistik. 2021a. “Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia Tahun
2021 Mencapai 72,29, Meningkat 0,35 Poin (0,49 Persen) Dibandingkan Capaian
Tahun Sebelumnya (71,94).” 15 November. 2021.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/11/15/1846/indeks-pembangunan-
manusia--ipm--indonesia-tahun-2021-mencapai-72-29--meningkat-0-35-poin--0-
49-persen--dibandingkan-capaian-tahun-sebelumnya--71-94-.html#:~:text=GTPP
Covid-19-,Indeks Pembangunan Manusia.
———. 2021b. “Indikator Kesejahteraan Rakyat 2021.” 30 September 2021. 2021.
https://www.bps.go.id/publication/2021/11/30/d34268e041d8bec0b25ba344/
indikator-kesejahteraan-rakyat-2021.html.
Intelektual: Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman Vol. XX (X), 20XX
DOI:
21
Penulis