You are on page 1of 19

Jurnal Hukum & Pembangunan

Volume 52 Number 1 Article 14

3-31-2022

PENYELESAIAN SENGKETA BEDROG (PENIPUAN) DALAM


PERJANJIAN JUAL BELI KAYU: ONRECHTMATIGE DAAD ATAU
WEDERRECHTELIJK? (STUDI KASUS: PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR: 449K/PID/2001)
Sri Laksmi Anindita
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sri.laksmi.a@gmail.com

Eriska Fajrinita Sitanggang


Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp

Part of the Administrative Law Commons, Comparative and Foreign Law Commons, Constitutional
Law Commons, Criminal Law Commons, and the Natural Resources Law Commons

Recommended Citation
Anindita, Sri Laksmi and Sitanggang, Eriska Fajrinita (2022) "PENYELESAIAN SENGKETA BEDROG
(PENIPUAN) DALAM PERJANJIAN JUAL BELI KAYU: ONRECHTMATIGE DAAD ATAU WEDERRECHTELIJK?
(STUDI KASUS: PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 449K/PID/2001)," Jurnal Hukum &
Pembangunan: Vol. 52: No. 1, Article 14.
DOI: https://doi.org/10.21143/jhp.vol52.no1.3334
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol52/iss1/14

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 52 No. 1 (2022): 301 – 319
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PENYELESAIAN SENGKETA BEDROG (PENIPUAN) DALAM


PERJANJIAN JUAL BELI KAYU:
ONRECHTMATIGE DAAD ATAU WEDERRECHTELIJK?
(STUDI KASUS: PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR: 449K/PID/2001)

Sri Laksmi Anindita* dan Eriska Fajrinita Sitanggang*

*Fakultas Hukum Universitas Indonesia


Korespondensi : sri.laksmi.a@gmail.com
Naskah dikirim: 24 Januari 2022
Naskah diterima untuk diterbitkan: 10 Maret 2022

Abstract

Criminalization of civil disputes is a common case in indonesia. This case can occur because
an act or action may violate two laws at the same time, those are civil law and criminal law.
The intersection between a civil dispute and a criminal act does not only make the borderline
between civil and criminal cases thin. Settlement of disputes over acts that contain elements
of fraud arising from a contractual relationship through civil law mechanisms by filing a
lawsuit (onrechtmatige daad or default) or criminal law mechanisms (wederrechtelijk), is
often confusing. How to determine an act with an element of fraud is included in the domain
of criminal or civil law and how to resolve disputes that arise as a result of fraud in a timber
sale and purchase agreement (case study: supreme court decision number: 449k/pid/2001), is
the formulation of the problem, which will be discussed in this paper using normative legal
research methods. Settlement of disputes resolution through a criminal case for an act
containing fraud elements in a timber sale and purchase agreement (case study: supreme
court decision number: 449k/pid/2001) is incorrect. Settlement of disputes that arise in this
case must be resolved by filing a civil claim.

Keywords: fraud, bedrog, onrechtmatige daad, tort, wederrechtelijk, civil claim.

Abstrak

Kriminalisasi atas sengketa keperdataan adalah hal yang lazim ditemui di Indonesia.
Peristiwa ini dapat terjadi karena suatu perbuatan atau tindakan dapat melanggar dua hukum
sekaligus, yaitu hukum pidana maupun hukum perdata. Irisan antara suatu tindak pidana dan
sengketa keperdataan tidak hanya menjadikan tipisnya garis batas antara perkara pidana dan
perkara perdata. Penyelesaian sengketa yang mengandung unsur bedrog (penipuan) yang
timbul dari suatu hubungan perjanjian melalui gugatan perdata (onrechtmatige daad atau
wanprestasi) dan melalui hukum pidana (wederrechtelijk), seringkali membingungkan.
Bagaimana menentukan suatu perbuatan dengan unsur penipuan masuk dalam ranah hukum
pidana atau perdata dan bagaimana pula penyelesaian sengketa yang timbul akibat adanya
unsur penipuan dalam perjanjian jual-beli kayu (studi kasus: Putusan Mahkamah Agung
Nomor: 449K/Pid/2001), adalah rumusan masalah yang hendak dibahas dalam tulisan ini
dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pengajuan penyelesaian sengketa
melalui perkara pidana atas perbuatan yang mengandung unsur penipuan dalam perjanjian
jual beli kayu (studi kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 449K/Pid/2001), adalah tidak
Tersedia versi daring: http://scholarhub.ui.ac.id/jhp
DOI: https://doi.org/10.21143/jhp.vol52.no1.3334
302 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

tepat. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam kasus ini, harus dilakukan melalui pengajuan
gugatan keperdataan.

Kata Kunci: penipuan, bedrog, onrechtmatige daad, tort, wederrechtelijk, gugatan perdata.

I. PENDAHULUAN
Pergaulan hidup antar manusia adalah usaha dalam pemenuhan kebutuhan diri yang
diperoleh dari orang lain atau sebaliknya. Pemenuhan kebutuhan itu dapat menimbulkan
perselisihan di antara manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum hadir sebagai
pedoman untuk menjaga ketenteraman hidup dan harmonisasi hubungan antara manusia
dengan manusia, manusia dengan lingkungan, termasuk hubungan antara manusia dengan
negaranya. Tujuan hukum menghendaki keadilan dapat ditemukan dalam tulisan Aristoteles
yang berjudul rhetorica. Hukum mempunyai tugas suci dan luhur berupa memberikan kepada
tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima dalam bentuk peraturan.1
Suatu tindakan atau perbuatan dapat melanggar dua hukum sekaligus, yaitu hukum
pidana dan hukum perdata, sebagaimana dinyatakan oleh L.B. Curzon, bahwa: “The law of
tort is concerned with the determination of disputes which arise where one person alleges
wrong conduct against another. It should be noted that some torts, e.g. assault and battery
are tort and crime.”2 Pengelompokkan hukum menjadi hukum perdata dan hukum publik
dicetuskan oleh Ulpanus ahli hukum Romawi. Ia membagi sistem hukum Romawi dalam dua
kelompok, “publik um ius est, quoud ad statum rei romanae spectat, privatum qood ad
singolorum utitilatum; sunt enim quaedam publice utilia, quaedam privatum” (hukum publik
adalah hukum yang berhubungan dengan kesejahteraan negara Romawi, hukum perdata
adalah hukum yang mengatur orang secara khusus; karena ada hal yang merupakan
kepentingan umum, ada pula hal yang merupakan kepentingan perdata).3 Sistem hukum
Romawi telah melakukan pembagian hukum publik (criminal publica) berupa kejahatan yang
merugikan kepentingan masyarakat dengan ancaman hukuman pidana dan hukum privat
(delicta privata) mengenai diri atau kekayaan pribadi seseorang yang menimbulkan obligatio
ex delictu yang memberikan kepada yang dirugikan suatu tuntutan yang bersifat perdata.4
Pembedaan proses hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul, sangat ditentukan oleh kepentingan yang dilanggar. Apabila kepentingan yang
dilanggar adalah hak pribadi subjek hukum, dapat dilakukan upaya perlindungan hak dengan
jalan mengajukan gugatan perdata. Sedangkan, apabila yang dilanggar adalah kepentingan
umum atau ketertiban umum sebagaimana telah diatur dalam peraturan hukum pidana, maka
untuk penyelesaiannya harus menempuh jalur hukum pidana.
Hukum acara mengatur bagaimana cara memperjuangkan hak yang dilanggar.
Tuntutan hak dalam hal ini tiada lain bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari
pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.
Banyaknya perkara dari pihak “yang merasa menjadi korban penipuan” akibat tidak
terpenuhinya prestasi yang dijanjikan (wanprestasi) diajukan melalui jalur hukum pidana
(wederrechtelijk), padahal berdasarkan hukum perjanjian perkara seperti ini penyelesaiannya
harus melalui jalur hukum perdata. Wanprestasi merupakan dasar pengajuan gugatan perdata
atas tidak dipenuhinya prestasi yang telah diperjanjikan dan disepakati oleh dan di antara para

1
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 15 (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 64.
2
L.B. Curzon, Basic Law (Playmounth: Mac Donald and Evans, 1981), hlm. 113.
3
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, cet. ke-5, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 69.
4
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 1.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 303

pihak. Namun, apabila ternyata suatu perjanjian dibuat tanpa memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yakni unsur “kesepakatan”, maka wanprestasi tidak dapat menjadi dasar
pengajuan tuntutan melalui jalur hukum perdata. Perjanjian yang mengandung kesepakatan
yang timbul dari penipuan merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang masih
menimbulkan keraguan bagi para pencari keadilan dan bahkan aparat penegak hukum,
apakah diselesaikan melalui jalur hukum perdata atau pidana?
Tidak adanya kejelasan pengklasifikasian unsur penipuan dalam pemenuhan suatu
perjanjian ke dalam ranah hukum pidana atau perdata dan bagaimana pula penyelesaian
sengketa yang timbul akibat adanya unsur penipuan dalam perjanjian jual-beli kayu (studi
kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor: 449K/Pid/2001), merupakan alasan utama
dibuatnya tulisan ini yang berjudul: PENYELESAIAN SENGKETA BEDROG
(PENIPUAN) DALAM PERJANJIAN JUAL BELI KAYU: ONRECHTMATIGE DAAD
ATAU WEDERRECHTELIJK? (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor:
449K/Pid/2001).

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait topik tulisan ini, yakni antara lain:
1. Siti Anisah dan Trisno Raharjo dalam artikel yang berjudul: “Batasan Melawan
Hukum dalam Perdata dan Pidana pada Kasus Persekongkolan Tender”, menyatakan
dalam lapangan hukum pidana telah terjadi pergeseran pemahaman sifat melawan
hukum (wederrechtelijk), yakni tidak hanya berdasarkan murni undang-undang
hukum pidana (onwetmatige), namun menggunakan kriteria melawan hukum dalam
hukum perdata (onrechtmatige). Sekat-sekat melawan hukum dalam hukum pidana
dan hukum perdata runtuh ketika kasus persengkongkolan tender telah melanggar rasa
keadilan di masyarakat.5 Tulisan ini belum menjelaskan bagaimana menentukan suatu
penipuan dalam perjanjian adalah perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum
pidana (wederrechtelijk) atau merupakan perbuatan melawan hukum dalam hukum
perdata (onrechtmatige).
2. Indah Sari dalam artikel yang berjudul: “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam
Hukum Pidana dan Hukum Perdata”, menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan
melawan hukum dalam hukum pidana adalah perbuatan yang dilakukan di luar batas
kewenangan atau kekuasaan dan perbuatan yang melanggar asas-asas umum yang
berlaku di lapangan hukum, sedangkan unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum
dalam konteks perdata adalah adanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut melawan
hukum, adanya kesalahan dari pihak pelaku, adanya kerugian bagi korban, dan adanya
hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.6 Hal yang belum dianalisa dalam
tulisan ini adalah, bagaimana menentukan suatu penipuan dalam perjanjian masuk
dalam ranah hukum perdata atau pidana.
3. Sri Laksmi Anindita dalam artikel yang berjudul: “Tidak Dilaksanakannya Suatu
Perjanjian Mengakibatkan Wanprestasi atau Penipuan?”, membahas mengenai
perjanjian dan bagaimana bila ternyata ada salah satu pihak tidak melaksanakan
perjanjian yang telah disepakati. Apakah dengan tidak dipenuhinya suatu perjanjian
termasuk dalam ranah hukum pidana penipuan atau ranah hukum perdata wanprestasi.

5
Siti Anisah dan Trisno Raharjo, “Batasan Melawan Hukum Dalam Perdata Dan Pidana Pada Kasus
Persekongkolan Tender,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no. 1 (2018): 24–48, hlm. 31.
6
Indah Sari, “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata,” Jurnal Ilmiah
Hukum Dirgantara 11, no. 1 (2020): 53–70, hlm. 61.
304 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

Tulisan ini belum membahas secara mendalam tentang perbuatan melawan hukum
dalam ranah hukum perdata dan hukum pidana.7

II. Rumusan Masalah


Terdapat dua rumusan masalah dalam tulisan ini antara lain:
1. Bagaimana menentukan suatu perbuatan dengan unsur penipuan masuk dalam ranah
hukum pidana atau perdata?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul akibat adanya unsur penipuan dalam
perjanjian jual-beli kayu (studi kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor:
449K/Pid/2001)?

III. METODE PENELITIAN


Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.8 Sebagai ilmu normatif,
ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dalam membantu memecahkan persoalan-
persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat. Jadi, ilmu hukum sebagai kaidah atau
norma merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah,
dengan dogmatik hukum atau sistematik hukum sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami
dengan jelas hubungan hukum sebagai ilmu kaidah.9
Pengumpulan data dilakukan dengan menghimpun data-data sekunder. Data sekunder
yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang
bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan–catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan
putusan pengadilan.10

IV. PEMBAHASAN
4.1. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad) dalam Sistem Civil Law dan
Tort dalam Sistem Common Law
Pengajuan gugatan berdasarkan suatu perbuatan melawan hukum di Indonesia selalu
didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Bila kita cermati pasal tersebut lebih
dalam, maka Pasal 1365 KUHPerdata hanya mengatur norma hukum, tanpa menjelaskan
dan/atau menyebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk mengajukan gugatan
berdasarkan suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 1365 KUHPerdata memuat unsur-
unsur yang harus dipenuhi apabila seseorang hendak memintakan penggantian atas
kerugian yang dideritanya akibat kesalahan yang timbul dari suatu perbuatan melawan
hukum.

7
Sri Laksmi Anindita, “Tidak Dilaksanakannya Suatu Perjanjian Mengakibatkan Wanprestasi atau Penipuan?”,
dalam Percikan Pemikiran Makara Merah dari FHUI untuk Indonesia, diedit oleh Heru Susetyo, Mutiara
Hikmah, Tiurma M.P. Allagan, dan Qurata Ayuni, 129-187 (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2018), hlm. 185-186.
8
Metode pendekatan dalam penelitian hukum sangat bermanfaat untuk membahas dan memecahkan masalah
yang termuat dalam rumusan masalah penelitian ini, sehingga dapat menghasilkan penelitian yang akurat dan
sangat kuat tingkat kebenarannya. Lihat uraian pendekatan penelitian hukum ini dalam Johnny Ibrahim, Teori
dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2006), hlm. 299-322.
9
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 82.
10
Peter Mahmud Mardzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014), hlm 181.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 305

Pengertian perbuatan melawan hukum berdasarkan sejarahnya telah mengalami


perkembangan. Pada awalnya perbuatan melawan hukum diartikan dalam arti sempit
yaitu, perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-
undang.11 Dalam pengertian sempit dinyatakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad) sama dengan perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige daad).12 Lahirnya
Arrest Hoge Raad 6 Januari 1905 tentang perkara Singer Naaimachine menjadi awalan
dari timbulnya pengertian sempit. Perkara tersebut bermula dari gugatan yang diajukan
oleh toko Maatschappij Singer kepada toko Maatschappij Singer Mij yang berada di
seberang tokonya terkait digunakannya nama ‘Singer’ dengan huruf kecil dalam papan
nama tokonya, sehingga yang terlihat secara sepintas hanya kata’Singer’ saja. Dalam
Arrest tersebut dinyatakan bahwa perbuatan pedagang itu bukanlah merupakan tindakan
melawan hukum, karena tidak setiap tindakan dalam dunia usaha yang bertentangan
dengan tata krama dalam masyarakat dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Pengertian sempit juga ditemukan dalam putusan perkara Zutphense Juffrouw yang
diputus oleh Mahkamah Agung Belanda tanggal 10 Juni 1910. Perkara ini berawal dari
pecahnya pipa air dalam sebuah gedung di Zutphen saat masa iklim yang sangat dingin
karena tidak dimatikannya kran induk yang berada di tingkat atas. Penghuni di tingkat atas
Gedung tidak bersedia memenuhi permintaan untuk menutup kran induk tersebut,
sehingga terjadilah genangan air yang menyebabkan kerusakan parah pada barang yang
tersimpan di bagian bawah. Perusahaan asuransi yang telah membayar ganti kerugian atas
kerusakan barang yang tersimpan di bagian bawah mengajukan gugatan ke pengadilan
terhadap penghuni rumah di tingkat atas. Terhadap gugatan ini, Mahkamah Agung
Belanda memutuskan bahwa pihak penghuni rumah di tingkat atas tidak bersalah sebab
tidak terdapat suatu ketentuan undang-undang yang mewajibkan penghuni di tingkat atas
untuk mematikan kran induk guna kepentingan pihak ketiga.13
Interpretasi pengertian sempit terhadap perbuatan melawan hukum ditentang oleh
Molengraaff, yang berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya melanggar
undang-undang, tetapi juga melanggar kaidah-kaidah kesusilaan dan kepatutan.14
Mahkamah Agung Belanda berdasarkan dua perkara tersebut memiliki pandangan
terhadap perbuatan melawan hukum secara legistis yang mana arti hal tersebut didasarkan
pada tidak terdapat hukum di luar undang-undang.
Pemahaman tentang perbuatan melawan hukum secara legistis (dalam arti sempit)
dirasa tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga kemudian berkembanglah
pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas, yaitu perbuatan melawan hukum
adalah perbuatan yang mencakup pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang tidak
tertulis, tidak hanya sebatas perbuatan yang melawan undang-undang.15 Pandangan
perbuatan melawan hukum secara legistis mengalami perubahan dengan terbentuknya
pengertian luas yang bermula dengan dikeluarkannya putusan perkara Cohen v.
Lindenbaum. Cohen merupakan seorang pengusaha percetakan yang membujuk karyawan
percetakan Lindenbaum untuk memberikan salinan-salinan pesanan pembeli
langganannya. Cohen memanfaatkan informasi dari salinan pesanan tersebut untuk
menarik para langganan Lindenbaum agar menjadi pelanggan perusahaan percetakan

11
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II (Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 184.
12
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 21.
13
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hlm. 4.
14
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 11.
15
H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II, hlm. 184.
306 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

milik Cohen. Perbuatan Cohen tersebut menimbulkan kerugian bagi Lindenbaum,


sehingga ia mengajukan gugatan terhadap Cohen ke Pengadilan. Gugatan tersebut
dikabulkan oleh hakim. Namun, terhadap gugatan tersebut Pengadilan Tinggi memberikan
putusan yang sebaliknya dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan dasar
pertimbangannya bahwa sekalipun karyawan tersebut melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang namun tidak berlaku bagi Cohen karena undang-
undang tidak secara tegas menentukan pencurian informasi sebagai perbuatan melawan
hukum. Perkara tersebut oleh Mahkamah Agung Belanda diputuskan untuk membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi dengan dasar pertimbangan bahwa makna tentang perbuatan
melawan hukum dalam keputusan Pengadilan Tinggi berpandangan secara sempit
sehingga yang termasuk di dalamnya hanya perbuatan-perbuatan yang secara langsung
dilarang oleh undang-undang.16 Melalui putusan perkara Cohen v. Lindenbaum,
Mahkamah Agung Belanda memberikan pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih
luas, yakni tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis yang
bertentangan dengan hak subjektif orang lain dan kewajiban hukum pelaku, tetapi juga
perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis seperti kesusilaan, kepatutan,
ketelitian, dan kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh pelaku dalam pergaulan hidup
dalam masyarakat atau terhadap harta benda warga masyarakat.17
Sebagaimana telah kita pahami kata onrechtmatige daad adalah terminologi
hukum perdata yang digunakan dalam civil law sedangkan dalam common law tort adalah
kata yang lazim dipergunakan. Tort adalah materi hukum yang sangat luas dan paling sulit
dijelaskan secara lugas. Kerangka dasar yang dapat dirumuskan tentang tort adalah
tindakan atau kelalaian tergugat yang menyebabkan kerugian pada penggugat, dimana
kerugian itu disebabkan oleh kesalahan tergugat yang melahirkan pertanggungjawaban
hukum tergugat kepada Penggugat.18 Tanggung jawab tort timbul dari suatu peristiwa
yang nyata terjadi. Hampir tidak ada sumber hukum tertulis yang tegas mengatur
bagaimana perbuatan melawan hukum (tort law) pada common law. Pengertian law of tort
tumbuh dan berkembang bersumber dari keputusan-keputusan hakim yang wajib diikuti
oleh para hakim, sehingga membentuk suatu kaidah yang tidak secara khusus terkodifikasi
(judge make law).19
Tort dalam common law didominasi oleh gagasan kewajiban untuk menjaga.
Pengadilan Inggris pada awalnya telah mendasarkan tanggung jawab pada bentuk
kesalahan seperti trespass, konvensi dan gangguan.20 Selama abad ke-19, tort telah
mendominasi skenario tanggung jawab perdata di Inggris.21 Kata tort berasal dari kata
latin "tortus" yang berarti dipelintir, dan dari kata "tort" Prancis yang berarti luka atau
salah. Tort adalah sebuah tindakan perdata yang salah (berbeda dengan melanggar
perjanjian atau kontrak) yang menyebabkan luka atau kerugian pada pihak lainnya yang
menurut sistem hukum mengharuskannya memberikan pemulihan atas kerugian tersebut.22

16
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm 5.
17
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 35.
18
John Cooke, Law of Tort (London: Pitman Publishing, 1992), hlm. 4.
19
Michelle Adams, “Causation and Responsibility in Tort and Affirmative Action,” Texas Law Review 79,
Februari (2001), hlm. 19.
20
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, ditermejahkan oleh Narulita Yusron, (Bandung:
Bandung, 2010), hlm. 458.
21
Ibid., hlm. 435.
22
William P. Statsky, Essentials of Torts (United States of America: Delmar Cengage Learning, 2012), hlm. 1.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 307

Secara tradisional, tort law adalah hukum privat terkait dengan kesalahan-
kesalahan individu, artinya suatu kesalahan ditentukan dari kerugian korban dan
terhadapnya diberi ganti kerugian oleh si penyebab kerugian. Dalam arti luas, tort law
dapat dianggap memiliki dua fungsi, yaitu kompensasi dan hukuman. Kerugian adalah
fokus dari fungsi kompensasi, sedangkan fokus hukuman adalah kualitas perbuatan
merugikan yang dilakukan oleh pihak yang mengakibatkan kerugian. Pihak yang
mengakibatkan kerugian mengerti secara khusus, apakah perilaku demikian dapat
dikatakan sebagai perilaku buruk dan dicela dengan menyatakan bahwa hal tersebut
melawan hukum dan mengharuskannya mengganti kerugian yang diderita korban.23
William P. Statsky, dalam bukunya: Essentials of Torts, menyatakan ada empat tujuan
utama tort, yaitu: (1) Peace, to provide a peaceful means of adjusting the rights of parties.
(2) Detterence, to deter wrongful conduct. (3) Restoration, to restore injured parties to
their original position. (4) Justice, to identify those who should be held accountable for
the harm that resulted.24
Trespass, nuisance, dan defamation adalah bentuk tort yang dikenal di Inggris.
Bentuk tort yang paling tua adalah trespass. Pada awalnya trespass ditujukan untuk
membebankan kewajiban memberi ganti rugi secara paksa bagi orang yang mengganggu
kedamaian, penguasaan secara nyata sebidang tanah atau barang bergerak orang lain atau
gangguan atas tubuh seseorang, harus ada serangan (sengaja) langsung ke orang atau
benda yang bertentangan dengan kehendak penggugat.25
Nuisance adalah gangguan, awalnya hanya mengatur gangguan secara umum yang
dilakukan kepada masyarakat umum. Perkembangan lebih lanjut mengatur juga tentang
kerugian yang ditimbulkan kepada warga negara secara individu.26 Defamation merupakan
pernyataan yang merusak reputasi atau nama baik seseorang dengan tujuan untuk
merendahkan martabat orang itu dalam masyarakat atau menyebabkan anggota-anggota
masyarakat menjauhkan diri dari orang tersebut. Penggugat yang mengajukan gugatan atas
dasar defamation tidak perlu membuktikan kerugian yang ditimbulkan, cukup
menbuktikan bahwa pernyataan yang merusak reputasinya tersebut telah dipublikasikan
dan menyebabkan orang lain menjauhinya, atau pernyataan tersebut dianggap telah
merendahkan profesi, kantor, atau perdagangan Penggugat. Gugatan defamation tidak
dapat diajukan apabila pihak yang terhina meninggal dunia, walaupun hal ini mengganggu
keluarganya atau ahli warisnya.27
Sebelum abad ke-19, negligence (kelalaian) tidak diakui sebagai tort yang berdiri
sendiri.28 Pengakuan terhadap negligence didorong oleh berkembangnya teknologi mesin
di bidang industri dan transportasi yang mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan.
Ketidaksengajaan atau karena tidak hati-hati umumnya merupakan penyebab terjadinya
kecelakaan. Tiga unsur yang harus dibuktikan penggugat dalam gugatan negligence
menurut John Cooke adalah: “to succed in a negligence action the plaintiff must prove
three things; that the defendant owed him a duty of care; that the defendant was in breach

23
David G. Owen, “Detterrence and Desert in tort: A Comment,” California Law Review 73 (2001), hlm. 665.
24
William Statsky, Essentials of Torts, hlm. 5.
25
Konrad Zweigert dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, diterjemahkan dari the German oleh Tony
Weir, (Oxford: Clarendom Press, 1995), hlm. 605.
26
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hlm. 79.
27
Ibid, hlm. 81.
28
Konrad Zweigert dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, hlm. 608.
308 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

of that duty; and that the plaintiff suffered damage caused by the breach of duty, which
was not too remote.”29
Pada dasarnya tort sama dengan onrechtmatige daad, hanya tort memiliki cakupan
yang lebih luas dan pengaturannya didasarkan pada putusan pengadilan, sedangkan
onrechtmatige daad pengaturannya secara normatif didasarkan pada Pasal 1365
KUHPerdata. Di Amerika Serikat, tort law menjembatani perbedaan antara penegakan
hukum dari maksud para pihak dalam kontrak dan kehendak legislatif dalam rangka
distributive justice.30 Para ahli Anglo American secara luas membedakan berbagai jenis
kasus dari berbagai jenis tort yang didasarkan dan dikembangkan dari writ system.31
Setelah tahun 1875, penggugat di Inggris tidak perlu lagi mencantumkan jenis tort
dalam gugatannya, akan tetapi di Amerika hakim dan pengacara mempunyai kebiasaan
dan secara otomatis cenderung untuk mengkualifikasikan kasusnya berdasarkan
conversion, nuisance, defamation, negligence, deceit atau didasarkan pada kasus Ryland
vs Fletcher.32 Setiap tort tersebut adalah berdiri sendiri mempunyai unsur-unsur sendiri,
mempunyai alasan pembelaan yang tersendiri, dan setiap tort melindungi kepentingan
yang berbeda.
Tort law mensyaratkan adanya unsur kesalahan, kerugian yang timbul disebabkan
oleh kesalahan tergugat dan adanya kesalahan merupakan sesuatu yang harus
dipertanggungjawabkan secara hukum.33 H.L.A Hart juga menyatakan hal yang sama,
yaitu unsur kesalahan adalah dasar dari tort law: ” The vast majority of causes in tort law
require that the defendant be guilty of some fault in order to be held responsible for harm
or damage. Tort law is fault based system.”34 Negligence adalah dasar pengajuan tort yang
paling umum dan dominan,35 hingga akhirnya strict liability dapat diterima sebagai dasar
pertanggungjawaban perdata oleh hakim.
William Posser adalah salah satu akademisi yang paling berpengaruh dalam
perubahan tort di abad kedua puluh. Penamaan onrechtmatige daad dan tort sebenarnya
hanyalah masalah penyebutan saja. Rosa Agustina telah memberikan persamaan antara
tort dan perbuatan melawan hukum, bahwa:
a. unsur kerugian dalam perbuatan melawan hukum dan tort perlu dibuktikan, hal ini
penting untuk menentukan ganti kerugian yang akan diberikan akibat terjadinya suatu
perbuatan melawan hukum;
b. besarnya kerugian tidak ditentukan oleh para pihak sendiri, tetapi ditentukan oleh para
hakim atau pengadilan sesuai dengan keadaan para pihak;

29
John Cooke, Law of Tort, hlm. 21.
30
Marshall S. Shapo, “A Social Contract Tort,” Texas Law Review, Vol. 75 (1997), hlm. 1841.
31
Writ system diartikan sebagai the common law procedural system under which plaintiff commenced an action
by obtaining the appropriate type of original writ, Black ’s Law Dictionary, tenth edition, diedit oleh Bryan A
Garner, (United State of America: Thomson Reuters, 2004), hal. 1849.
32
Konrad Zweigert dan Hein Kotz, Introduction to Comparative Law, hlm. 605.
33
Richard W. Wright, “Causation in Tort Law,” California Law Review, Vol. 73 (1985), hlm. 1759-1760.
34
Patricia Smith, The Nature and Process of Law, An Introduction to Legal Philosophy (New York: Oxford
University Press, 1993), hlm. 439.
35
Cornelius Peck, “Negligence and Liability Without Fault in Tort Law,” Washington Law Review 46, no. 2
(1971), hlm. 225.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 309

c. tujuan ganti rugi yang diberikan pada dasarnya adalah sedapat mungkin
mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadinya perbuatan melawan
hukum.36
Tort yang semula berfungsi sebagai sistem yang menciptakan perdamaian,
berubah menjadi sistem yang menciptakan keadilan. Tujuan tort pada saat ini menurut
Posser tidak hanya menciptakan sebuah forum yang adil untuk menyelesaikan
permasalahan privat, akan tetapi untuk menciptakan keadilan.37
Bila bicara mengenai kaitan antara Onrechtmatige daad dengan wanprestasi dan
antara tort dengan breach of contract, maka harus diperjelas dahulu kedudukannya. Dasar
timbulnya perikatan di Indonesia telah diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata adalah
undang-undang dan kesepakatan. Pelanggaran perikatan yang bersumber dari Undang-
undang selalu didasarkan pada onrechtmatige daad sedangkan pelanggaran perikatan yang
timbul dari suatu kesepakatan gugatnnya diajukan berdasarkan wanprestasi. Pelaksanaan
gugatan yang didasarkan pada Onrechtmatige daad dan wanprestasi adalah dua hal yang
berbeda, sebagaimana dinyatakan A. Moegni dalam bukunya Perbuatan melawan hukum,
yaitu:
1. Dalam aksi karena onrechtmatige daad maka si penuntut harus membuktikan semua
unsur-unsur, penggugat harus membuktikan kesalahan terlihat dan kerugian yang
benar-benar ia derita.38 sedangkan dalam wanprestasi, maka penuntut cukup
menunjukkan adanya wanprestasi.
2. Tuntutan pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum) hanyalah dapat
dilakukan bilamana terjadi tuntutan karena onrechtmatige daad, sedangkan dalam
tuntutan karena wanprestasi tidak dapat dituntut pengembalian pada keadaan semula.
3. Apabila ada beberapa orang yang bertanggung gugat (aansprekelijk), maka dalam
onrechtmatige daad tuntutan ganti kerugian ditujukan untuk masing-masing debitur
secara keseluruhan sekalipun tidak berarti secara tanggung renteng, sedangkan dalam
wanprestasi tuntutan untuk keseluruhan hanya mungkin bila hal tersebut telah
dituliskan dalam perjanjian yang telah disetujui sebelumnya.39
Luasnya konsep hukum tort yang seringkali menghilangkan batas-batasnya
dengan breach of contract. Suhendro menuturkan bahwa pelaksanaan kewajiban tidak
hanya terkait dengan kewajiban kontraktual tetapi juga mencakup kewajiban yang timbul
dari undang-undang. Isu kinerja inilah yang menjadikan salah satu faktor terjadinya
tumpang tindih pemahaman tentang breach of contract dengan tort.40
Tort menurut pendapat Fleming adalah kerugian selain pelanggaran kontrak yang
melalui hukum akan diperbaiki dengan ganti rugi. Tort cenderung didefinisikan dengan
mengacu pada dua elemen kunci. Pertama, tort didefinisikan sebagai kesalahan perdata
(berlawanan dengan pidana), yang melalui hukum perbaikannya melalui pemberian ganti
rugi. Kedua, kesalahan terdiri dari pelanggaran kewajiban, seringkali dalam istilah negatif

36
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 123.
37
John Hasnas, “University of Idaho College of Law Federalism Symposium: VII, What’s Wrong With a
Little Tort Reform?,” Idaho Law Review 32 No. 557 (1996), hlm. 4-5.
38
AB Loebis, Ganti Kerugian Perbuatan Melanggar Hukum oleh Perorangan/Badan Hukum dan Pengusaha
(Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 4.
39
M. A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 34-35.
40
Suhendro, “Understanding of Breach and Tort Law on Academic Discourse and Judicial Practice,” IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science 175, no. 1 (2018), hlm. 2.
310 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

seperti tidak merugikan atau mengganggu penggugat, yang mana telah ditentukan oleh
peraturan tidak berdasarkan perjanjian yang disepakati.41
Rosa Agustina menjelaskan bahwa perbedaan antara breach of contract dengan
tort terletak pada letak kesalahan. Bahwa letak kesalahan dalam tort ada pada pelaku
melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain karena melanggar hak
dan kewajiban yang telah ditentuan oleh hukum yang berlaku namun bukan karena
kontrak atau trust. Oleh karena itu, letak kesalahan dalam breach of contract yang mana
timbul dari kontrak atau trust dan dimintakan ganti kerugian.42 Lebih lanjut, Agus Sarjono
memaparkan bahwa pembahasan tentang hukum gugatan sering bersinggungan dengan
konsep pelanggaran. Hal ini terjadi karena kedua konsep ini memperbolehkan hukuman
berupa “kompensasi”.43 Walaupun diantara keduanya terdapat perbedaan yang sangat
jelas. Pelanggaran tersebut erat kaitannya dengan masalah kinerja.
Breach of contract terjadi dalam keadaan antara kinerja dan kontra kinerja akan
terjadi pertukaran, tetapi dalam kondisi tertentu pertukaran kinerja tidak terjadi seperti
yang diinginkan, sehingga disebut pelanggaran. Seseorang menyamakan pelanggaran
dengan pelanggaran kontrak. Pelanggaran kontrak tersebut umumnya tidak mengacu pada
hak-hak subjektif atas kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang, namun
pelanggaran atas hak kontraktual.44 Breach of contract dalam konteks perjanjian hukum
diartikan bahwa debitur tidak memenuhi prestasinya atau memenuhi keinginannya
sehingga kreditur tidak mendapatkan apa yang telah dijanjikan dari debitur. Dalam sistem
common law, penyelesaian kerugian akibat breach of contract timbul kemudian sebagai
pemulihan atas pelanggaran pemenuhan kontrak, yang juga menggambarkan klaim yang
lebih umum bahwa sistem pemulihan dalam common law cenderung efisien secara
keseluruhan.45

4.2.Persinggungan Konsep Penipuan dalam Onrechtmatige Daad dan Wederrechtelijk


Perbuatan melawan hukum dapat terjadi dalam semua peristiwa hukum. Suatu perilaku
digambarkan sebagai melanggar hukum maka dalam perilaku tersebut dapat ditemukan
fakta bahwa perilaku itu sudah dianggap salah (karena dilarang menurut undang-
undang).46
Larangan atas suatu perbuatan dapat diatur dalam ranah hukum perdata, pidana, ataupun
tata usaha negara. Perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum perdata sering kali
disebut onrechtmatige daad, sedangkan wederrechtelijk adalah istilah yang digunakan bila
perbuatan tersebut melanggar hukum pidana.
Pengertian onrechtmatige daad baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kata wederrechtelijk memiliki arti melanggar
atau memperkosa kepentingan hukum; membahayakan kepentingan umum; dan yang

41
Andrew Dyson, James Goudkamp, dan Frederick Wilmot-Smith, Defences in Tort (Bloomsbury Publishing,
2015), hlm. 291.
42
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hlm. 12.
43
Agus Sardjono, “Batas-Batas antara Perbuatan Melawan Hukurn dan Wanprestasi dalam Kontrak
Komersial,” Jurnal Hukum Bisnis 29, no. 2 (2010).
44
Suhendro, “Understanding of Breach and Tort Law on Academic Discourse and Judicial Practice.”,
hlm. 2
45
Fred S. Mc Chesney, “Tortious interference with contract versus ‘efficient’ breach: Theory and
empirical evidence,” Journal of Legal Studies 28, no. 1 (1999): 131, https://doi.org/10.1086/468048, hlm. 135.
46
W. H. van Boom, Unification of Tort law: Fault (Kluwer Law International B.V., 2005), hlm. 35.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 311

paling utama adalah tidak mengganggu kepentingan masyarakat.47 Satochid Kartanegara


membedakan wederrechtelijk (melawan hukum) dalam hukum pidana menjadi:

1. Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan
hukuman oleh undang-undang; dan
2. Wederrechtelijk materiil, yaitu sesuatu perbuatan”mungkin” wederrechtelijk,
walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum
(algemen beginsel).48
Kata wederrechtelijk memiliki arti pelanggaran terhadap hukum pidana menjadi
terminologi yang digunakan dalam ranah hukum pidana. Di Indonesia, pengaturan yang
didalamnya menggunakan kata wederrechtelijk terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan di luar KUHP. Kata wederrechtelijk
menggambarkan sifat tindak suatu tindakan atau perbuatan dapat ditemui diantaranya pada
Pasal 167 ayat (1), 168, 333 ayat (1), 431, 472, dan 522 KUHP. Sedangkan, penggunaan
kata wederrechtelijk bertujuan guna menggambarkan sifat tidak sah dari suatu maksud
ataupun tujuan dapat ditemui diantaranya pada Pasal 328, 339, 378, 382, 466, dan 476
KUHP.49
Beberapa persamaan konsep onrechtmatige daad dengan wederrechtelijk diantaranya
adalah (1) Sama-sama bertindak bertentangan dengan larangan atau keharusan50 dan (2)
Sama-sama memuat sanksi yang diberikan kepada pelaku perbuatan melawan hukum.
Sedangkan, beberapa perbedaan konsep onrechtmatige daad dengan wederrechtelijk
diantaranya adalah (1) ruang lingkup onrechtmatige daad lebih luas daripada
wederrechtelijk, karena ketentuan wederrechtelijk (pelanggaran hukum pidana)
mempunyai asas nulla puna sine praevia lege poenali51 dan (2) terletak pada kenyataan
wederrechtelijk (pelanggaran hukum pidana) merupakan hukum yang secara langsung
mengatur mengenai ketertiban umum, sedangkan ketentuan dari perbuatan melawan
hukum perdata (onrechtmatige daad) terutama bertujuan melindungi kepentingan
individu.52
Penipuan (bedrog) adalah istilah yang sangat luas mengacu pada tindakan yang
disengaja dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, baik untuk diri
sendiri atau untuk pihak lain dengan menggunakan cara tidak etis, yang diyakini dan
dipercaya oleh pihak lainnya. Terjadinya penipuan sangat erat kaitannya dengan hubungan
kontraktual.

47
Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal.
57. Contohnya seseorang telanjang di jalan umum adalah pelanggaran hukum, namun bila ia adalah suku
primitif yang tidak mengenal pakaian dan baru datang ke kota, maka perbuatannya tersebut dalam
masyarakatnya bukanlah perbuatan melawan hukum
48
Aries, Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Money Laundering (Depok: Gramata Publishing, 2010),
hlm. 47.
49
Shinta Agustina, et.al, Unsur Melawan Hukum (Jakarta: LeIP, 2016), hlm. 18.
50
M. A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, hlm. 30.
51
Sri Laksmi Anindita, “Valuasi Kerugian Akibat Hilangnya Nyawa Manusia dalam Perkara Perdata” Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2019, hlm. 118.
52
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 42K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966: “Bahwa pada
umumnya suatu tindakan pidana itu dapat hilang sifatnya sebagai perbuatan yang ‘melawan hukum’, kecuali
berdasarkan sesuatu ketentuan undang-undang, juga berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum, misalnya bahwa di dalam hal ini faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum tetap dapat
dilayani dan bahwa terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan.”
312 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

Penipuan dalam hukum perdata maupun hukum pidana pada umumnya memiliki
beberapa unsur hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Misrepresentation of a material fact
2. Made with knowledge of its falsity
3. Made with intent to induce the victim to rely on the misrepresentation
4. The victim relies upon the misrepresentation
5. The victim suffers damages as a result53
Letak persinggungan konsep unsur penipuan dalam hukum perdata dan hukum pidana
dalam civil law dan common law adalah pada perbuatan pelaku yang melanggar peraturan
perundang-undangan dan/atau tidak melaksanakan prestasi yang telah disepakati.
Batasan perbedaan unsur penipuan dalam pengajuan gugatan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) dan tindak pidana penipuan (wederrechtelijk) adalah
pelanggaran peraturan perundang-undangan yang terjadi karena adanya dugaan unsur
penipuan. Perbedaan lain adalah pengajuan perkara penipuan dalam hukum pidana dan
hukum perdata terletak pada siapa yang mengajukan perkara tersebut di pengadilan, pihak
yang dirugikan atau pemerintah.
Penipuan merupakan salah satu bentuk dari perbuatan melawan hukum, baik dalam
arti sempit maupun luas. Dalam arti sempit, penipuan berarti pelanggaran terhadap
ketentuan tertulis (onwetmatige daad). Bentuk pelanggaran tersebut mengacu pada
pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berarti telah
terjadi pelanggaran hukum pidana (wederrechtelijk), yaitu tindak pidana penipuan.
Pemenuhan unsur niat pelaku dan perbuatan menipu terhadap korban adalah hal yang
wajib dibuktikan dalam hal perkara diperiksa melalui mekanisme hukum pidana.
Sedangkan, dalam arti luas, hal yang dilanggar tidak hanya mengenai ketentuan hukum
tertulis (kewajiban hukum pelaku), melainkan juga hak subjektif orang lain dan ketentuan
tidak tertulis (kesusilaan, kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian). Perbuatan penipuan
yang dilakukan dalam ranah hukum perdata merupakan pelanggaran atas kewajiban
hukum pelaku dan hak subjektif orang lain.
Tidak dipenuhinya prestasi yang diperjanjikan adalah suatu tindakan wanprestasi,
bukan penipuan. Namun, apabila persetujuan yang diberikan dalam suatu perjanjian
didasarkan pada adanya suatu penipuan dengan tujuan agar pihak lain menjalankan
prestasi yang diperjanjikan, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah dan tindakan
tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum perdata
(onrechtmatige daad). Di sisi lain, jika terdapat pihak yang melakukan tipu muslihat
sebelum adanya kesepakatan dan tindakan tersebut mengakibatkan kerugian bagi pihak
lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum pidana, maka tindakan tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum dalam ranah hukum pidana (wederrechtelijk).

4.3. Penyelesaian Sengketa yang Timbul Akibat Adanya Unsur Penipuan dalam
Perjanjian Jual-Beli Kayu (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor:
449K/Pid/2001)
Dalam tulisan ini akan dibahas apakah bedrog (Penipuan) yang terjadi dalam perkara ini
merupakan onrechtmatige daad atau wederrechtelijk? Berikut uraian singkat kasus
posisinya.

53
Association of Certified Fraud Examiners, “The Fraud Trial,”
https://www.acfe.com/uploadedFiles/Shared_Content/Products/Self-Study_CPE/Fraud-Trial-2011-Chapter-
Excerpt.pdf, diakses 23 Oktober 2021.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 313

a. Kasus posisi
Perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 449K/Pid/2001 berawal dari
peristiwa perjanjian jual-beli kayu antara NS dan YBJ. Terdakwa berinisial NS
adalah Presiden Direktur PT NCI perusahaan yang bergerak di bidang perkayuan
dan penggergajian kayu (sawmill), berpusat di Jakarta dengan cabang di beberapa
kota di Indonesia yang tidak dapat memenuhi apa yang telah disepakatinya,
walaupun telah dilakukan addendum perjanjian.
Adanya fakta NS tidak mampu mengembalikan uang muka dan tidak mampu
pula menyerahkan kayu yang telah diperjanjikan, ditambah lagi dengan diketahuinya
bahwa cabang Perusahaan kayu dan penggergajian kayu (sawmill) yang ditinjau
YBJ ternyata bukan milik NS, menyebabkan YBJ merasa ditipu dan dirugikan oleh
perbuatan NS. Pihak YBJ melaporkan perbuatan NS kepada pihak yang berwajib
dan selanjutnya perkara tersebut diajukan ke persidangan di pengadilan.
b. Analisis
1. Bagaimana menentukan suatu perbuatan dengan unsur penipuan masuk dalam ranah
hukum pidana atau perdata?
Letak persinggungan konsep unsur penipuan dalam hukum perdata dan hukum
pidana ada pada perbuatan pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan
dan/atau tidak melaksanakan prestasi yang telah disepakati. Batasan perbedaan unsur
penipuan dalam pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
dan tindak pidana penipuan (wederrechtelijk) adalah pelanggaran peraturan perundang-
undangan yang terjadi karena adanya dugaan unsur penipuan (bedrog).
Penipuan termasuk salah satu bentuk dari perbuatan melawan hukum baik dalam
arti sempit maupun luas, dalam pengertian sempit yang berarti pelanggaran terhadap
ketentuan tertulis (onwetmatige daad). Bentuk pelanggaran tersebut mengacu pada
pelanggaran terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berarti telah terjadi
pelanggaran hukum pidana (wederrechtelijk), yaitu tindak pidana penipuan. Pemenuhan
unsur niat pelaku dan perbuatan menipu terhadap korban adalah hal yang wajib
dibuktikan dalam hal perkara diperiksa melalui mekanisme hukum pidana. Sedangkan,
pada bentuk perbuatan melawan hukum dalam pengertian luas (onrechtmatige daad)
hal yang dilanggar tidak hanya mengenai ketentuan hukum tertulis (kewajiban hukum
pelaku), tetapi juga hak subjektif orang lain, dan ketentuan tidak tertulis (kesusilaan,
kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian). Perbuatan penipuan (bedrog) yang dilakukan
merupakan pelanggaran atas kewajiban hukum pelaku dan hak subjektif orang lain.
Persinggungan konsep penipuan juga terdapat dalam wanprestasi dan
wederrechtelijk. Hal yang membedakan dalam penipuan antara wanprestasi dengan
tindak pidana penipuan (wederrechtelijk) ada pada kapan perbuatan tipu muslihat
dilakukan oleh pelaku. Pada wanprestasi, penipuan dilakukan agar pihak lain mau
membuat perjanjian agar kemudian pihak lain tersebut melaksanakan prestasi sesuai
perjanjian. Sedangkan pada tindak pidana penipuan, pelaku melakukan tipu muslihat
sebelum perjanjian disepakati yang akan berakibat merugikan pihak lain pada
perjanjian.

2. Bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul akibat adanya unsur penipuan dalam
perjanjian jual-beli kayu (studi kasus: Putusan Mahkamah Agung Nomor:
449K/Pid/2001)?
314 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

Dalam putusan Nomor 449K/Pid/2001, Majelis Hakim menyampaikan bahwa


telah dipertimbangkan perkara tersebut berawal dari adanya hubungan kontrak antara
pihak Terdakwa NS sebagai direktur PT NCI dengan pihak YBJ. Hal tersebut
didasarkan pada adanya pertimbangan hukum judex facti (lihat putusan Pengadilan
Negeri halaman 27 dan seterusnya), didapati fakta bahwa antara Terdakwa NS selaku
Presiden Direktur PT NCI dengan YBJ yang diwakili telah dibuat perjanjian jual beli
kayu tertanggal 29 September 1999 dengan syarat-syarat sebagaimana yang tercantum
dalam perjanjian pengadaan kayu. Namun Terdakwa NS tidak dapat memenuhi
kewajibannya mengirimkan kayu kepada YBJ walaupun telah menerima uang muka
pembayaran, karena itu perbuatan Terdakwa tersebut merupakan ingkar janji
(wanprestasi) yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata sehingga perbuatan
Terdakwa tersebut tidak merupakan suatu tindak pidana dan Terdakwa harus diputus
lepas dari tuntutan hukum. Menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung fakta tersebut
adalah merupakan suatu Wanprestasi yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata,
sehingga perbuatan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana.
Adanya fakta yang diyakini oleh Majelis Hakim bahwa perkara tersebut berada
dalam ruang lingkup hukum perdata yaitu perbuatan wanprestasi. Memberikan posisi
bahwa pihak korban yaitu YBJ dapat menuntut haknya melalui gugatan keperdataan.
Dalam perkara ini, diketahui bahwa YBJ telah meminta pembatalan perjanjian
pengadaan kayu yang telah dibuat kepada NS. Pembatalan perjanjian yang diajukan
oleh YBJ juga disertai dengan permintaan untuk diberikan uang ganti rugi atas
gagalnya prestasi NS.
Mengenai pembatalan perjanjian undang-undang telah menentukan tentang
klausula pembatalan perjanjian pada Pasal 1265, Pasal 1266, dan Pasal 1267
KUHPerdata. Isi Pasal 1266 KUHPerdata memberikan ketentuan bahwa syarat batal
dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan dan apabila salah satu pihak
wanprestasi maka persetujuan tidak batal demi hukum tetapi harus dimintakan
pembatalan kepada Pengadilan. Pihak yang tidak menerima pemenuhan prestasi dapat
memaksa pihak wanprestasi untuk memenuhi prestasinya sesuai isi perjanjian atau
dapat menuntut pembatalan perjanjian ke pengadilan dengan membebankan
penggantian biaya, kerugian, dan bunga. Terkait dengan kepentingan pihak ketiga yang
terbit akibat dari perjanjian yang dibatalkan tersebut tetap harus ditanggung oleh para
pihak yang terikat dalam perjanjian. Hal tersebut berbeda dengan pembatalan perjanjian
yang diajukan ke pengadilan dan diputus oleh hakim yang menimbulkan akibat
mengembalikan kedudukan semula para pihak seolah-olah perjanjian tidak pernah
terjadi.54
Apabila perjanjian pengadaan kayu antara NS dengan YBJ telah diminta
pembatalan oleh YBJ. Namun permintaan batal tersebut tidak disepakati dan tidak
diterima oleh NS, maka YBJ dapat menuntut ganti rugi melalui gugatan perbuatan
melawan hukum.
Terhadap pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal
1365 KUHPerdata. Muatan Pasal 1365 KUHPerdata dapat mencakup segala perbuatan
melawan hukum selama dapat dibuktikan adanya kesalahan dan kausalitas dengan
kerugian. Dalam perkara NS ini, telah terjadi perbuatan melawan hukum dalam arti
luas. NS telah melanggar ketentuan tertulis yang bertentangan dengan hak subjektif

54
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan pada umumnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2003), hlm. 138.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 315

orang lain. Perbuatan NS yang memiliki unsur kesalahan (schuld) dalam perkara ini
adalah telah menggunakan uang muka perjanjian untuk kepentingan pribadinya bukan
untuk membeli keperluan perjanjian bahan kayu-kayu. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan langsung atau kausalitas antara kerugian yang
diderita oleh YBJ dengan perbuatan salah NS tersebut.
Mengenai pengajuan gugatan perdata terhadap perkara NS, YBJ memiliki
kesempatan untuk mengajukan gugatan wanprestasi sepanjang pembatalan perjanjian
yang diajukan tersebut disepakati oleh para pihak. Terhadap pengajuan gugatan
wanprestasi didasarkan pada Pasal 1243 KUHPerdata. Adanya kenyataan bahwa
debitur telah lalai dalam melakukan prestasi walaupun telah diperingati, serta uraian
jumlah kerugian nyata yang dapat diduga atau diperkirakan saat perikatan itu diadakan
adalah hal yang harus dicantumkan dalam gugatan. Uraian kerugian yang dapat
diajukan didasarkan pada Pasal 1239 dan Pasal 1243 KUHPerdata yaitu biaya, rugi, dan
bunga. Kata "biaya" berarti uang yang dikeluarkan oleh YBJ karena rugi akibat
terjadinya wanprestasi. Kata "rugi" berarti nilai kekayaan YBJ yang berkurang akibat
dari wanprestasi. Kata "bunga" berarti nilai keuntungan yang seharusnya didapatkan
oleh YBJ apabila wanprestasi tidak terjadi. Ganti rugi yang diajukan dalam gugatan
wanprestasi dapat diminta sebagai pengganti prestasi pokok debitur ataupun dituntut
bersama-sama sebagai tambahan dari prestasi pokok.
Dalam perkara ini hakim memandang tidak dipenuhinya prestasi yang
diperjanjikan adalah suatu tindakan wanprestasi bukan penipuan. Sehingga penggantian
kerugian akibat tidak dipenuhinya suatu prestasi yang diperjanjikan dapat ditempuh
melalui gugatan perdata berdasarkan wanprestasi.

V. PENUTUP
Penipuan termasuk salah satu bentuk dari perbuatan melawan hukum baik dalam arti
sempit maupun luas, dalam pengertian sempit yang berarti pelanggaran terhadap ketentuan
tertulis (onwetmatige daad). Bentuk pelanggaran tersebut mengacu pada pelanggaran
terhadap KUHP yang berarti telah terjadi pelanggaran hukum pidana (wederrechtelijk), yaitu
tindak pidana penipuan. Penipuan seringkali terjadi dalam bentuk perikatan yang timbul
berdasarkan kesepakatan (perjanjian).
Persinggungan konsep penipuan juga terdapat dalam hal tidak dipenuhinya suatu
perjanjian (wanprestasi) dan/atau wederrechtelijk. Pada peristiwa wanprestasi perlu
dipastikan bahwa perjanjian pokok para pihak adalah sah. Keabsahan perjanjian para pihak
dapat dilihat dari ada atau tidaknya unsur penipuan dalam perjanjian. Hal yang membedakan
dalam penipuan antara wanprestasi dengan tindak pidana penipuan (wederrechtelijk) ada
pada kapan perbuatan tipu muslihat dilakukan oleh pelaku. Pada wanprestasi, penipuan
dilakukan agar pihak lain mau membuat perjanjian agar kemudian pihak lain tersebut
melaksanakan prestasi sesuai perjanjian. Sedangkan pada tindak pidana penipuan, pelaku
melakukan tipu muslihat sebelum perjanjian disepakati yang akan berakibat merugikan pihak
lain pada perjanjian.
Persetujuan yang diberikan berdasarkan adanya suatu penipuan (bedrog) menjadikan
perjanjian yang dibuat tidak sah, dan dapat dimintakan pembatalan. Tidak terpenuhinya
syarat sahnya perjanjian merupakan salah satu bentuk onrechtmatige daad. Bila tidak
dipenuhinya suatu perjanjian karena kelalaian dan hal ini telah diberi peringatan namun tidak
diindahkan maka, tindakan tersebut tidaklah masuk dalam kriteria onrechtmatige daad
melainkan wanprestasi.
316 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

Perkara NS jika diterapkan konsep gugatan keperdataan dapat diajukan atas dasar
gugatan wanprestasi atau gugatan ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum, sebab
timbulnya peristiwa hukum ini adalah murni tindakan hukum keperdataan yaitu, kesepakatan
hubungan jual-beli. Apabila hendak dimintakan penggantian kerugian akibat tidak
dipenuhinya prestasi yang telah disepakati maka dapat diajukan gugatan wanprestasi, dengan
syarat perjanjian yang menjadi dasar gugatan merupakan perjanjian yang sah sesuai Pasal
1320 KUHPerdata. Bila perjanjian pokok antara NS dan YBJ memiliki unsur penipuan,
maka penggantian kerugian yang timbul tidak dapat dimintakan dengan mengajukan gugatan
dengan dasar wanprestasi, terhadap perjanjian pokok tersebut dapat dimintakan pembatalan
perjanjian. Pembatalan perjanjian pokok para pihak akibat adanya penipuan (bedrog)
menjadikan dasar adanya perbuatan melawan hukum. Pengajuan gugatan ganti kerugian
terhadap kerugian yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum mensyaratkan adanya
kausalitas perbuatan pelaku dengan kerugian yang dirasakan penggugat.
Agar dapat dicapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum bagi mereka yang
terlibat dalam suatu kasus perkara pidana dan perdata, maka diharapkan Majelis hakim, pihak
kepolisian, Jaksa Penuntut Umum, dan para advokat dalam menangani suatu perkara harus
memperhatikan dengan lebih cermat dan teliti seluruh peristiwa hukum yang terjadi. Apakah
hubungan hukum tersebut bersumber dari suatu perjanjian atau tidak, sehingga perbuatan
hukum tersebut dapat diklasifikasikan masuk dalam ranah hukum perdata atau pidana. Di
samping itu, Adanya kemudahan mendapatkan hasil penelitian, jurnal, dan artikel yang
memberikan penjelasan mengenai pemisahan keberlakuan hukum pidana dan hukum perdata
dalam suatu perbuatan hukum yang memuat kedua hukum tersebut.
Penyelesaian Sengketa, Sri & Eriska 317

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Adams, Michelle. “Causation and Responsibility in Tort and Affirmative Action.” Texas Law
Review 79, no. Februari (2001).
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Agustina, Shinta; et.al. Unsur Melawan Hukum. Jakarta: LeIP, 2016.
Anindita, Sri Laksmi “Tidak Dilaksanakannya Suatu Perjanjian Mengakibatkan Wanprestasi
atau Penipuan?”, dalam Percikan Pemikiran Makara Merah dari FHUI Untuk
Indonesia, diedit oleh Heru Susetyo, Mutiara Hikmah, Tiurma M.P. Allagan, dan
Qurata Ayuni, 129-187. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2018.
Boom, W. H. van. Unification of Tort law: Fault. Kluwer Law International B.V., 2005.
Cooke, John. Law of Tort. London: Pitman Publishing, 1992.
Cruz, Peter de. Perbandingan Sistem Hukum Common Law. Bandung: Bandung, 2010.
Curzon, L.B. Basic Law. Playmounth: Mac Donald and Evans, 1981.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982.
Dyson, Andrew, James Goudkamp, dan Frederick Wilmot-Smith. Defences in Tort.
Bloomsbury Publishing, 2015.
Garner, Bryan A. Black ’s Law Dictionary, tenth edition. United State of America: Thomson
Reuters, 2004.
Loebis, AB. Ganti Kerugian Perbuatan Melanggar Hukum oleh Perorangan/Badan Hukum
dan Pengusaha. Jakarta: Gramedia, 1982.
Mardzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014.
Marpaung, Leden. Unsur-Unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik). Jakarta: Sinar
Grafika, 1991.
Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja. Perikatan pada umumnya. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003.
Setiawan, Rachmat. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Alumni,
1982.
Smith, Patricia. The Nature and Process of Law, An Introduction to Legal Philosophy. New
York: Oxford University Press, 1993.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Soeroso, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Statsky, William P. Essentials of Torts. United States of America: Delmar Cengage Learning,
2012.
318 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-52 No.1 Januari-Maret 2022

Vollmar, H.F.A. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid II. Jakarta: CV. Rajawali, 1984.
Zweigert, Konrad, dan Hein Kotz. Introduction to Comparative Law. Oxford: Clarendom
Press, 1995.

Artikel Ilmiah
Anindita, Sri Laksmi. "Valuasi Kerugian Akibat Hilangnya Nyawa Manusia dalam Perkara
Perdata." Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2019.
Anisah, Siti, dan Trisno Raharjo. “Batasan Melawan Hukum Dalam Perdata Dan Pidana Pada
Kasus Persekongkolan Tender.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 25, no. 1 (2018): 24–48.
Aries. Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Money Laundering. Depok: Gramata
Publishing, 2010.
Hasnas, John. “University of Idaho College of Law Federalism Symposium: VII, What’s
Wrong With a Little Tort Reform?” Idaho Law Review 32 (1996).
Mc Chesney, Fred S. “Tortious interference with contract versus ‘efficient’ breach: Theory
and empirical evidence.” Journal of Legal Studies 28, no. 1 (1999): 131.
Owen, David G. “Detterrence and Desert in tort: A Comment.” California Law Review 73
(2001).
Peck, Cornelius. “Negligence and Liability Without Fault in Tort Law.” Washington Law
Review 46, no. 2 (1971).
Sardjono, Agus. “Batas-Batas antara Perbuatan Melawan Hukurn dan Wanprestasi dalam
Kontrak Komersial.” Jurnal Hukum Bisnis 29, no. 2 (2010).
Sari, Indah. “Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam Hukum Pidana dan Hukum Perdata.”
Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara 11, no. 1 (2020): 53–70.
Shapo, Marshall S. “A Social Contract Tort.” Texas Law Review 75 (1997).
Suhendro. “Understanding of Breach and Tort Law on Academic Discourse and Judicial
Practice.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 175, no. 1 (2018).
Wright, Richard W. “Causation in Tort Law.” California Law Review 73 (1985).

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76
Tahun 1981. TLN No. 3209.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh
Moeljatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

Internet
Association of Certified Fraud Examiners. “The Fraud Trial.” Last modified 2011.
https://www.acfe.com/uploadedFiles/Shared_Content/Products/Self-Study_CPE/Fraud-
Trial-2011-Chapter-Excerpt.pdf.

You might also like