You are on page 1of 5

Sistem Bercocok Tanam Nyabuk Gunung Pada Masyarakat

Jawa Tengah

Illona Kristiani Alvena


Mahasiswa Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, Indonesia
E-mail: illona.alvena@gmail.com

Abstract. Central Java has a variety of cultures and customs that are very unique and interesting
to learn, one of which is a farming system for people who live around the mountains with uneven
and sloping land. The writing of this article aims to describe a farming system in Central Java
society called 'Nyabuk Gunung', namely how to grow crops by making rice terraces formed
according to contour lines. The research method used in this research is to use a qualitative
descriptive method with data collection techniques of literature studies, field observations and
farmer interviews. Literature study is a method used to collect data or sources related to the topics
raised in a study. The results of this study indicate that the Nyabuk Gunung farming system was
created by the surrounding community in addition to utilizing existing land, also to prevent erosion
and landslides on their land. Plants planted by the community in the form of suitable plantation
crops are located in the highlands, such as tea, coffee and other vegetable crops. The Nyabuk
Gunung farming system can be a solution for agriculture in the Central Java region which has
mountainous topography as land conversion and prevents natural disasters such as landslides.

Keywords: Nyabuk gunung, terracing, farming system, central java, culture

1. Pendahuluan
Perilaku petani dalam mengelola lahan pertanian tentunya berbeda antara petani satu dengan petani
lainnya. Perbedaan tersebut menyesuaikan dengan kondisi lingkungan topografi tempat petani tinggal.
Manusia mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan habitatnya. Menurut Green dalam Levis (2013)
dalam teori penaksiran perilaku menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat serta faktor pendidikan, pekerjaan, luas dan status
kepemilikan tanah, pendapatan, budaya, strata sosial dan informasi.
Bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut Aulia dan Dharmawan (2010)
dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini
mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi kearifan lokal tersebut
antara lain untuk: (1) konservasi dan pelestarian sumber daya alam; (2) mengembangkan sumberdaya
manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; serta (4) petunjuk tentang petuah,
kepercayaan, sastra, dan pantangan. Selain itu, ditambahkan oleh Sartini (2004) yang mengemukakan
fungsi dan makna kearifan lokal diantaranya: (1) berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber
daya alam; (2) berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia; (3) berfungsi untuk
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra,
dan pantangan; (5) bermakna sosial; (6) bermakna etika dan moral, serta (7) bermakna politik. Di Jawa
Tengah sendiri terdapat suatu kearifan lokal yang berkaitan dengan suatu sistem pertanian yang disebut
Nyabuk Gunung yang sebebranya pada dasarnya sama dengan sistem terasering (Maridi, 2015).
Terasering dibuat oleh petani untuk mengurangi panjang lereng dan menahan atau memperkecil
aliran permukaan agar air dapat meresap ke dalam tanah. Dengan demikian maka erosi dapat tercegah
(Arsyad, 2010). Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana pandangan masyarakat
di daerah Jawa yang menggunakan terasering dalam adat daerah dengan sebutan ‘Nyabuk Gunung'.
Selain dibuat dengan tujuan tersebut, lereng yang berundak-undak ini menghasilkan panorama yang
menakjubkan yang tidak kalah dengan keindahan terasering yang ada Bali.
Permasalahan tersebut menarik untuk diteliti karena dengan penataan tersering yang baik
tersebut perlu diketahui, bagaimana manfaat yang didapat dengan menerapkan terasering? Dengan
penataan terasering tersebut apakah petani telah menerapkan perilaku pengelolaan yang tidak baik,
cukup baik, atau sudah baik? Bagaimana keyakinan masyarakat Jawa pada khususnya soal Nyabuk
Gunung sebagai suatu budaya di daerah Jawa?
Apabila petani menunjukkan perilaku pengelolaan lahan yang sudah baik artinya hasil yang
dihasilkan dapat optimal. Lahan yang digunakan pun dapat dapat terus termanfaatkan. Sedangkan
perilaku petani yang tidak baik menunjukkan bahwa petani tidak mendapatkan hasil yang baik dan
optimal serta dapat menimbulkan masalah lingkungan.

Gambar 1. Sistem Nyabuk Gunung di Sidoharjo

2. Metode
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif
kualitatif yaitu menggunakan data berupa kata-kata dan menghasilkan deskripsi berupa kata-kata. Pada
dasarnya penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami kejadian yang
dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan tindakan, secara holistic dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2014). Peneliti ingin menggambarkan atau
melukiskan bagaimana pandangan petani di wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah dalam
menggunakan sistem Nyabuk Gunung sebagai suatu sistem pertanian yang sebenarnya sudah dikenal
masyarakat luas sebagai terasering.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa literatur tentang terasering
dan Nyabuk Gunung, serta 2 orang responden. Responden yang diwawancara adalah petani di daerah
Karangpandan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dari beberapa buku, jurnal,
dan wawancara kepada para petani di daerah Karangpandan yang menerapkan sistem terasering. Studi
literatur adalah cara mengumpulkan data dengan referensi dari beberapa sumber yang merupakan riset
atau penelitian dari orang lain.

3. Hasil dan Pembahasan


Dalam situasi kondisi lingkungan Indonesia menghasilkan keanekaragaman ekosistem beserta sumber
daya alam, melahirkan manusia Indonesia yang berkaitan erat dengan kondisi alam dalam melakukan
berbagai aktivitas untuk menunjung kelangsungan hidupnya. Manusia Indonesia memandang sumber
alam sebagai guru pemberi petunjuk gaya hidup masyarakat, yang terlahir dalam bentuk kebiasaan
Adat Istiadat alami yang dituangkan menjadi adat kehidupan yang berorientasi pada sifat alam yang
berkembang sesuai keberadaannya (sunnahtullah) dan menjadi pelajaran yang berharga dari seorang
guru dalam kehidupan bermasyarakat.Banyak kearifan lokal yang sampai saat ini terus menjadi
panutan masyarakat antara lain di Jawa seperti pranoto mongso, nyabuk gunung yang menyarankan
daerah pertanian ditanami tanaman untuk mencegah erosi dan membuat sengkedan mengikuti garis
contour (Hadi, 2009). (Salim, 2016)
Lahan pertanian memang merupakan sumberdaya utama bagi masyarakat petani, akan tetapi
eksploitasinya memerlukan ‘kearifan ekologi’ tertentu. Berdasarkan pada pengalaman empiriknya,
maka kearifan ekologi dari masyarakat tersebut akan tumbuh dan berkembang. Pada masyarakat
petani di Jawa Tengah misalnya, dikenal dengan sistim pertanian “nyabuk gunung’, ataupun pada
masyarakat petani di Jawa Barat dengan ‘ngais pasir’.Khusus untuk lahan sawah, salah satu fungsinya
adalah kemampuannya untuk mempreservasi air (air yang sudah digunakan pada sawah dapat didaur
ulang secara alami). Perkiraan jumlah air yang dipreservasi didasarkan pada neraca air yang ada pada
sistem sawah. Lahan sawah menerima air dalam bentuk hujan serta irigasi, selanjutnya air yang keluar
berbentuk aliran permukaan (run off), evaporasi dan transpirasi, serta perkolasi. Air aliran permukaan
dan aliran bawah permukaan (sub-surface flow) sebagiannya akan mencapai sungai serta bendungan
dan dapat digunakan kembali untuk irigasi. Demikian pula air perkolasi mengisi kembali air tanah dan
air tanah ini dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Alih fungsi lahan sawah
menyebabkan berkurangnya salah satu fungsi lingkungan yaitu fungsi preservasi air tanah (Chofyan,
2010).
Teknologi lahir karena semakin tinggi dan beragamnya aktivitas manusia sehingga adanya
teknologi akan mempermudah aktivitas manusia tersebut. Terasering merupakan salah satu bentuk
teknologi yang ada disektor pertanian. Terasering atau sengkedan merupakan metode konservasi
dengan membuat teras-teras yang dilakukan untuk mengurangi panjang lereng, menahan air sehingga
mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, serta memperbesar peluang penyerapan air oleh
tanah. Jenis terasering antara lain teras datar (level terrace), teras kredit (ridge terrace), Teras guludan
(contour terrace), dan teras bangku/tangga (bench terrace).Tipe teras yang banyak dikembangkan pada
lahan pertanian di Indonesia adalah teras bangku atau teras tangga dan teras gulud. Teras guludan
dibuat pada tanah yang mempunyai kemiringan 10 - 50 % dan bertujuan untuk mencegah hilangnya
lapisan tanah. Dengan adanya terasering diharapkan petani yang berada di lereng pegunungan tetap
dapat menjalankan pertaniannya tanpa takut longsor dan erosi karena model pertanian dengan
terasering dapat mengurangi laju erosi dan longsor. Arsyad (2006) menyatakan bahwa terasering pada
lahan yang miring berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga mengurangi
kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah. Idjudin, A.
Abas (2011) menyatakan bahwa untuk menahan laju erosi pada lahan miring, perlu adanya teknis
konservasi lahan terasiring dan sebagai penguat teras/kontur sebaiknya ditanami tanaman penguat
berupa rumput makanan ternak.Tanaman pada larikan teras berfungsi untuk menahan butir-butir tanah
akibat erosi dari sebelah atas larikan (Mawardi, 2011). Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya
kearifan lokal nyabuk gunung adalah sama dengan terasering. Namun sistem dengan nama nyabuk
gunung dianggap lebih tradisional di masyarakat Jawa karena telah ada sejak dahulu, jauh sebelum
masyarakat diperkenalkan dengan sistem terasering (Nasrudin, Joel, Latifiana, & Wisudianti, 2013).
Berdasarkan wawancara kepada para petani pada hari Sabtu, tanggal 14 Desember 2019 di
kecamatan Karangpandan, mereka justru sudah tidak lagi mengenal sistem pertanian yang dinamakan
dengan nyabuk gunung. Tradisi nyabuk gunung sudah terlalu lama dan memudar seiring dengan
perkembangan zaman karena Karangpandan merupakan kecamatan yang dekat dengan perkotaan
sehingga cepat mengalami perubahan untuk beradaptasi dengan kebudayaan kota. Para petani sudah
menamakan sistem tersebut sesuai dengan masyarakat umum yaitu terasering. Menurut para petani,
istilah nyabuk gunung kemungkinan masih digunakan bagi para petani yang berada di desa dengan
tradisi dan adat yang masih kuat. Desa-desa tersebut biasanya merupakan desa yang berada di
pegunungan dan jauh dari kota yang modern. Lahan terasering yang saat ini mereka kerjakan sudah
ada sejak zaman dahulu, jadi saat mereka membeli atau mendapatkan lahan tersebut, keadaan lahan itu
sudah dibuat menjadi terasering atau berundak-undak. Hal tersebut menunujukkan bahwa terasering
sudah dilakukan oleh para petani di Karangpandan sejak dahulu dan bersifat turun-temurun. Para
petani terdahulu sudah dapat menerapkan konservasi lahan untuk beradaptasi pada lahan mereka yang
tidak rata dan terjal supaya tetap dapat menghasilkan produk pertanian. Di Karangpamdan, mayoritas
tanaman yang dibudidayakan adalah tanaman pangan, yaitu padi.

Gambar 2. Sistem Terasering di Karangpandan


4. Simpulan
Indonesia memiliki berbagai kearifan lokal yang menjadi ciri khas tiap-tiap daerahnya. Salah satunya
adalah sistem pertanian di Jawa Tengah yang disebut dengan nyabuk gunung. Nyabuk gunung ada
disebabkan adaptasi masyarakat terhadap topografi lahan di Jawa Tengah yang kebanyakan tidak rata
karena memiliki banyak pegunungan. Nyanuk gunung adalah cara bercocok tanam dengan membuat
lahan berundak-undak sesuai dengan kontir gunung. Pada masa sekarang, istilah nyabuk gunung sudah
jarang dipakai dan lebih umum dengan sebutan rerasering. Masyarakat sudah terlengaruh dengan
oerkembangan zaman dimana orang di luar Jawa menggunakan sistem yang sama dengan sebutan
terasering, sehingga lama kelamaan masyarakat Jawa Tengah mengadaptasi nama tersebut. Contohnya
adalah petani di daerah Karangpandan yang sehari-harinya menggunakan istilah terasering daripada
nyabuk gunung. Bagi masyarakat tersebut, nyabuk gunung atau terasering tidak ada hubungannya
dengan adat atau kepercayaan setempat, hanya sebuah sistem bercocok tanam yang dibuat karena
keadaan lahan mereka.

5. Daftar Pustaka
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di Kampung
Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 (3): 345-355.
Bulu, Y. G., & Utami, K. (2016). Persepsi dan Motivasi Petani Mengenai Teknologi Konservasi Lahan
Pertanian Berlereng di Kecamatan Labangka Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat.
Chofyan, I. (2010). Laporan akhir penelitian disertasi doktor.
Maridi. (2015). Mengangkat Budaya dan Kearifan Lokal dalam Sistem Konservasi Tanah dan Air Using
Culture and Local Wisdom in Soil and Water Conservation. Seminar Nasional XII Pendidikan
Biologi UNS, (1), 20–39.
Mawardi, 2011. Peranan Teras Kridit Sebagai Pengendali Laju Erosi Pada Lahan Bervegetasi
Kacang Tanah. Fakultas Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang. Semarang.
Moleong, L. J. (2014). Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset. ISBN 979-514-051-5.
Nasrudin, Z., Joel, J., Latifiana, A., & Wisudianti, B. A. (2013). 済 無 No Title No Title. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Salim, M. (2016). Adat Sebagai Budaya Kearifan Lokal Untuk Memperkuat Eksistensi Adat Ke Depan.
Al Daulah : Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 5(2), 244–255.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. 37(2): 111-
120.

You might also like