You are on page 1of 8

Vol. 5 No.1 Desember 2012 (1-8) http://dx.doi.org/10.22202/jp.2012.v5i1.

Website: ejournal.stkip-pgri-sumbar.ac.id/index.php/pelangi

ANALISIS KETIMPANGAN GENDER DALAM PROSES PEMBANGUNAN

Zusmelia

INFO Abstract
ARTIKEL
Diterima: Despite the recognition of the position and rights of women have
undergone formal judicial progress. However, when viewed from the
Direview: award obtained, but for gender equality, the practical level is still not
encouraging. Women are still as subordinate males, both in the state
Disetujui: and the family / household. The main focus of this paper discusses
about gender inequality in relation to education, and the development
process in Indonesia. The low level of education is a matter of why
Keywords: women still can take their a part in public sectors such as economic,
Gender politic, health and so forth. This is due to: 1) the higher the level of
Inequality, education has limited the number of schools available, 2) the higher
Development, the educational level the greater the costs involved, 3) the cultural
Women sector, which assume that girls do not need high school, so it is quite
Participation simply to elementary or junior high school. That's why over the years
the government has always tried various forms of business / programs
that aim to improve the quality of women. Improving the quality of
education of women will affect the economic, social, cultural, health
and others who in turn will affect fertility. This assumption is
reinforced by the increasing role of the mother as the social capital in
the neighborhood. This condition will be realized with respect to
educational issues first. Low education would be impossible for a
woman to go into the public sector or to carry heavy duty. With the
increasing participation of women in education for the future, the
number of hours worked by an adequate income, women will be
achieved..

ISSN: 2085-1057 E-ISSN: 2460-3740


2 Zusmelia

PENDAHULUAN Disamping itu, proses


Sesungguhnya hak-hak perempuan pembangunan yang berlangsung di
di Indonesia telah diakui dalam UUD 1945 Indonesia selama ini, terutama pada masa
yang menyatakan bahwa “segenap warga Orde Baru, yang cenderung
negara memiliki persamaan kedudukan di mengutamakan pertumbuhan ekonomi
hadapan hukum” (pasal 27). Salah satu yang dianggap sebagai salah satu
bentuk pengaplikasian pengakuan tersebut cara/peluang mengejar ketertinggalan dan
pada tahun 1990, Indonesia telah memacu petumbuhan. Kebijakan yang
meratifikasi Konvensi PBB untuk ditempuh tersebut tentunya juga telah
menghilangkan diskriminasi terhadap membawa pengaruh terhadap perempuan
perempuan dan konvensi ILO No. 100 baik perempuan di perkotaan maupun di
mengenai tekad akan kesetaraan gaji untuk pedesaan, juga dari segi pendidikan,
pekerjaan yang sama. Pada tahun 1978, kesehatan, kesempatan kerja, dan lain
untuk pertama kalinya Garis-Garis Besar sebagainya.
Haluan Negara (GBHN) memasukkan satu Untuk melihat persoalan yang
bab yang khusus membahas peran sesungguhnya, tulisan ini ditujukan untuk
perempuan dalam pembangunan nasional membahas sekitar ketimpangan gender
dan menciptakan jabatan Menteri Muda dalam kaitannya dengan pendidikan, dan
untuk Urusan Perempuan yang kemudian proses pembangunan di Indonesia.
berubah menjadi departemen penuh tahun Kiranya dengan mengemukakan sub bab
1983 (Mishra, 2001). di bawah ini persoalan yang dimaksud
Sekalipun kemajuan secara yuridis dapat diungkapkan dengan jelas.
formal telah memperlihatkan kearah
perbaikan posisi dan hak-hak wanita, akan II. PEMBAHASAN
tetapi pandangan umum tentang feminitas- 2.1. Perempuan Dan Permasalahan
yang pada masa Orde Baru mendapat Gender
dukungan yang sangat serius Hasil perjuangan wanita Indonesia yang di
menggambarkan perempuan sebagai rintis oleh Ibu Kartini telah membuahkan
subordinat laki-laki, baik dalam bernegara hasilnya, yaitu semua wanita Indonesia –
maupun dalam keluarga/rumahtangga. tanpa dibedakan kelas sosialnya dalam
Kelihatan sekali adanya usaha masyarakat, secara hukum telah
memaksakan suatu pandangan yang memperoleh hak dan kesempatan yang
seragam mengenai peran sosial perempuan sama seperti laki-laki.
dari beragam hubungan gender di seluruh Dalam perjalanan sejarahnya
wilayah Indonesia Demikian juga juga wanita memang telah diperlakukan tidak
halnya dalam kebijakan, asumsi, ataupun adil dalam masyarakat ataupun dalam
pendokumentasian terlihat adanya sikap keluarga dibandingkan dengan pria.
ambigu. Seperti, dalam survei-survei Dimanapun adanya wanita, seluruh tenaga
resmi, cenderung diasumsikan bahwa dan waktunya telah dicurahkan untuk
kepala rumah tangga adalah laki-laki mempertahankan keluarganya, mendidik
sekalipun yang menjadi kepala rumah anak-anaknya, merawat anggota
tangga adalah seorang janda. Sungguhpun keluarganya bahkan untuk persoalan
demikian, terdapat beberapa perubahan kelangsungan ekonomi keluarganya
dalam retorika kebijakan resmi di awal wanita memiliki peranan yang sangat
tahun 1990-an, yang menggambarkan besar. Namun disatu sisi, dalam keseharian
komitmen terhadap kesetaraan gender masih dirasakan adanya ketimpangan
yang dinyatakan sebagai dalam berbagai hal, seperti dalam
“kemitrasejajaran” atau “kemitraan pengakuan dan penghargaan.
gender” (Robinson, 1999 dalam Mishra, Dalam repelita V 1989/1990-
2001). 1993/1994, program pembangunan wanita
diutamakan untuk mengatasi kemiskinan, hidup kaum wanita di berbagai bidang
meningkatkan kualitas kehidupan, dan seperti bidang pendidikan,
mengembangkan peran-serta masyarakat ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan dan
khususnya wanita kelompok rawan, yaitu politik, serta aspek lainnya. Akan tetapi
wanita yang berpendapatan rendah, wanita masih ditemukan adanya ketimpangan
yang tinggal di daerah terpencil, wanita peran dan hubungan sosial antara wanita
yang menjadi kepala keluaraga atau wanita dan pria terutama dalam akses, kontrol,
muda berusia 15-29 tahun (Wibisana partisipasi, dan manfaat pembangunan
dalam Ihromi 1995). bagi wanita itu sendiri (BPS, 2010).
Selanjutnya bila dlihat, wanita
secara kodrati dapat dikatakan memegang 2.2. Wanita dan Partisipasinya Dalam
fungsi sentral dalam keluarga, yakni Pembangunan Pendidikan
sebagai ibu rumah tangga, namun tidak Secara historis maupun yuridis,
berarti ia hanya sebagai „ibu biologis‟ „ruang-ruang pengakuan‟ yang telah
melainkan juga sebagai „ibu sosial‟ yang diberikan pada wanita atau yang berkaitan
mencakup ruang lingkup sosial/publik dengan gender dalam proses pembangunan
(Djajadiningrat, 1987 dalam Van di Indonesia selama ini patut untuk di
Bemmelen 1993). apresiasi positif. Artinya, sejumlah
Bahkan sumberdaya ekonomi kemajuan telah dicapai. Kondisi ini dapat
wanita tidak kalah jika dibandingkan dilihat dari rasio gender murid bersekolah
dengan pria. Dengan demikian keberadaan yang terus mengalami peningkatan dari
wanita dalam rumah tangga tidak hanya waktu ke waktu. Seperti yang terlihat pada
sekedar sebagai fungsi reproduktif saja, tabel 1 di bawah ini, bahwa dari tahun
namun mereka juga berperan aktif dalam 1970 hingga tahun 1990 terlihat bahwa
menunjang ekonomi rumah tangga. telah terjadi peningkatan partisipasi
Dilihat dari jumlah, penduduk perempuan di bidang pendidikan, mulai
tahun 1980 jumlah penduduk Indonesia dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga
adalah 147.490.298 jiwa. Sebanyak tingkat perguruan tinggi (PT). Namun
74.157.754 diantaranya adalah perempuan. dibandingkan dengan tingkat partisipasi
Untuk hasil sensus tahun 2000, penduduk anak laki-laki terlihat bahwa partisipasi
Indonesia berjumlah 201.241.999 jiwa, perempuan masih rendah.
dan sebanyak 100.307.037 diantaranya
adalah perempuan. Ini berarti hasil sensus
di atas, lebih dari 50% jumlah penduduk di
Indonesia adalah perempuan. Dapat
dikatakan perempuan sebagai sumberdaya
manusia memiliki potensi yang sangat
besar dalam proses pembangunan. Peran
wanita dalam proses pembangunan tidak
hanya sebagai objek tapi juga sebagai
subjek pembangunan. Tabel di atas juga memperlihatkan
Melihat pada keadaan di atas, bahwa semakin tinggi tingkat
pemerintah, diawali pada tahun 1978 pendidikan, semakin kecil tingkat
sampai sekarang, telah partisipasi anak perempuan dibanding
mengimplementasikan program anak laki-laki. Terlihat bahwa untuk
pembangunan yang ditujukan untuk umur 19-24, tingkat partisipasi anak
memberdayakan kaum perempuan. Dalam perempuan yang bersekolah (di perguruan
perkembangannya upaya tersebut dalam tinggi) hanya mencapai sekitar 50%, atau
bebagai bidang telah menghasilkan suatu separo dari partisipasi anak laki-laki.
peningkatan kondisi, derajad, dan kualitas Kecenderungan rendahnya angka
4 Zusmelia

partisipasi perempuan pada tingkat Selanjutnya dapat dilihat pada gambar


pendidikan yang lebih tinggi, ternyata berikut ini.
tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti
yang diungkapkan Franklin (2002), dalam
artikelnya yang berjudul “The Changing
Status of Women in Asia Societies”
sampai sekarang ini di sebahagian besar
negara-negara Asia, masih sedikit wanita
yang melanjutkan sekolah ke tingkat
secondary school atau ke tingkat
universitas. Juga masih sedikit wanita
yang bekerja di luar rumah (sektor publik).
Menurut Suleman dalam Ihromi
(1995), ada tiga alasan yang menjelaskan
sebab rendahnya partisipasi wanita dalam
pendidikan untuk tingkat pendidikan yang Selanjut, jika dilihat angka melek huruf
lebih tinggi adalah disebabkan : perempuan dibandingkan dengan laki-laki
1. Semakin tinggi tingkat pendidikan pada usia 10 tahun ke atas antara tahun
semakin terbatas jumlah sekolah 1993 sampai tahun 1999 yang secara garis
yang tersedia. Persoalan baru besar dapat dibagi atas dua periode, yakni
muncul, karena SD hampir sebelum krisis dan saat krisis, juga terlihat
terdapat disetiap desa di Indonesia. telah terjadi peurunan angka melek huruf.
Ketika sudah harus melanjutkan ke Tentunya muncul pertanyaan bagi kita,
tingkat SLTP, masalah jarak yang kenapa pada saat Indonesia mengalami
jauh menjadi kendala, karena krisis ekonomi, masih tidak
SLTP cenderung letaknya di mempengaruhi penurunan angka melek
ibukota kabupaten, akibatnya huruf tidak terjadinya peningkatan angka
orang tua kadangkala enggan melek huruf pengaman sosial (JPS) dari
memasukkan anaknya sekolah. pemerintah yang juga mencakup dukungan
2. Semakin tinggi tingkat pendidikan terhadap pendidikan. Sekalipun jika dilihat
semakin besar biaya yang dari sisi PDB, sebagai salah satu pengaruh
dibutuhkan. Artinya faktor krisis terhadap pengeluaran pemerintah di
ekonomi juga sangat berperan sektor pendidikan turun dari 1,4% menjadi
dalam menentukan kelansungan 0,7% dari PDB.
sekolah si anak. Selanjutnya, untuk rasio perempuan yang
3. Faktor budaya, yang menganggap bersekolah di sekolah dasar mencapai
bahwa anak perempuan tidak perlu 100% pada tahun 1980. Ini tentunya
sekolah tinggi-tinggi, jadi cukup berkaitan denganprogram wajib belajar
hanya sampai SD atau SMP saja. (Wajar) sembilan tahun oleh pemerintahan
Anak perempuan lebih baik Orde Baru dan untuk menunjang program
membantu pekerjaan ibunya atau wajib belajar ini pemerintah masa ini telah
sudah harus berkeluarga. mendirikan SD Inpres sampai ke daerah
Dilihat dari angka melek huruf tersebut telah terjadi peningkatan proporsi
perempuan juga terjadi penurunan yakni penduduk yang terdaftar di SD dari 87%
dari 69% pada tahun 1961 menjadi 17% menjadi lebih dari 100%, dan pada sekolah
pada tahun 1994 Sedangkan untuk tahun menengah dari 10% menjadi 40%.
1996 ke 1999, terjadi peningkatan, yakni Kemudian, antara tahun 1980-
dari 17% perempuan yang melek huruf 1996, rasio dari perempuan yang
menurun menjadi 14% di tahun 1996. bersekolah di sekolah menengah (SM) dan
Sedangkan laki-laki turun 8% jadi 6 %. perguruan tinggi (PT) meningkat masing-
masing dari 23% dan 35% menjadi 41% yang dikaatakan Hollingsworth and
dan 50%. Pada tahun 1996, siswa Corbin (2002) dalam artikelnya yang
perempuan menyumbang masing-masing berjudul “Tradision and Change in
48%, 45% dan 35% dari total siswa di Marriage and Familiy Life” mengatakan
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menegah bahwa pembangunan ekonomi, sosial, dan
(SM), dan Perguruan Tinggi (PT). Bahkan politik di Asia telah membawa perubahan
ketimpangan gender di bidang pendidikan yang amat besar terhaadap status wanita.
menurun di semua tingkat pendidikan. Dengan pembangunan ekonomi,
Untuk tahun 1976 ke tahun 1996, jumlah perubahan sosial dan politik telah
siswa perempuan per 100 siswa laki-laki memperbaiki kesetaraan dan hak individu
meningkat dari 85,9% menjadi 92,8 Untuk wanita. Disaat yang sama, tradisi budaya
Sekolah Dasar (SD), 65,1 menjadi 95,0 khususnya hubungan dengan kehidupan
untuk sekolah menengah (SM), dan untuk keluarga berpengaruh kuat terhadap status
perguruan tinggi (PT) dari 56,7 menjadi wanita di suatu wilayah.
88,2 (BAPENAS/UNICEF, 2000 dalam 2.3. Wanita, Pendidikan dan Angkatan
Mishra, 2001). Kerja
Faktor pengaruh agama, diduga Peningkatan peran serta wanita
merupakan faktor yang sangat dominan dalam kegiatan pendidikan untuk semua
sekali mempengaruhi tingginya partisipasi tingkatan telah terjadi secara menyeluruh.
di bidang pendidikan. Bila ditinjau dari Peningkatan tersebut tentunya akan
latar belakang sejarahnya, daerah-daerah berakibat terhadap keterlibatan wanita
seperti Aceh, Yokyakarta, Sulawesi dalam berbagai bidang pekerjaan (di
Selatan, Sumatera Barat, tingginya rasio sektor publik). Di Indonesia gejala ini
gender di kalangan murid bersekolah semangkin jelas kelihatan sejak tahun
disebakan daerah-daerah tersebut adalah 1980-an, dimana dilihat dari Tingkat
merupakan tempat berkembangnya dengan Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita
pesat pusat-pusat pendidikan dan da‟wah di Indonesia dari 32,6% tahun 1980
Islam secara modern di awal abad ke-20 di meningkat menjadi sebesar 38,8% pada
Indonesia. Untuk kasus Sumatera Barat, tahun 1990,kemudian untuk tahun 2000,
tingginya rasio gender untuk tingkat TPAK perempuan meningkat menjadi
pendidikan menengah ke atas, cenderung 40,14% (BPS, 1997 dan 2000).
disebabkan oleh faktor budaya yakni Data statistik menunjukkan bahwa
adanya tradisi “merantau” kaum laki-laki status pekerjaan laki-laki dan perempuan
di Minangkabau. Begitu pentingnya tradisi berbeda. Perempuan sebahagian besar
merantau di kalangan kaum muda laki-laki bekerja tidak dibayar (35,67%), untuk
di Minangkabau tercermin dari pantun daerah pedesaan jelas sekali bahwa
yang sudah menjadi falsafah hidup sebahagian besar perempuan bekerja
masyarakatnya. Gejala merantau ini jelas sebagai pekerjaan tak di bayar (47,51)
akan menyumbang nantinya terhadap begitu juga di perkotaan. Sebaliknya laki-
besarnya rasio jender tingkat pendidikan di laki sebagian besar bekerja sebagai pekerja
Propinsi Sumatera Barat. di bayar yakni 37,51%. Gejala ini jelas
Dari uraian diatas, terlihat mengindikasikan bahwa ketimpangan
pembangunan di bidang pendidikan telah gender masih besar dalam hal status
mempengaruhi partisipasi perempuan di pekerjaan utama. Ini tentunya tidak
bidang pendidikan, penurunan persentase terlepas dari pengaruh tingkat pendidikan
melek huruf, penundaan usia perkawinan yang ditamatkan oleh si wanita. Kenapa
dan akhirnya mempengaruhi persentase demikian? Jelas untuk wanita yang
wanita dalam angkatan kerja (persentase berpendidikan tinggi, jelas ia tidak akan
wanita berpartisipasi di sektor publik), mau menjadi pekerja tidak dibayar. Berarti
yang Begitu juga untuk kasus Asia, seperti perempuan yang terjaring kategori ini
6 Zusmelia

adalah perempuan yang berpendidikan untuk pedesaan penduduk perempuan


rendah. Disinilah awal terjadi ketimpangan yang bekerja penuh sebanyak 39,92% jauh
penghargaan terhadap pekerjaan antara rendahnya dari anggka yang dicapai laki-
laki-laki dan wanita. laki 58,67%. Tabel berikut ini akan
Bila dikaitkan dengan partisipasi memperlihatkan jumlah jam kerja dalam
perempuan di bidang pendidikan, dengan seminggu, menurut jenis kelamin dan tipe
pekerjaan sebagai buruh/karyawan, gejala daerah.
ini mengindikasikan bahwa 50,88%
diperkotaan, 19,93% di pedesaan dan
35,67% secara keseluruhan dapat
dikatakan mereka yang terlibat dalam
status pekerjaan utama ini adalah
berpendidikan Sekolah pada gilirannya
akan berpengaruh/mempengaruhi tingkat
fertilitas di Indonesia. Hal ini sejalan
dengan Siregar, bahwa semakin tinggi
peran perempuan di luar rumah (di sektor
publik), menunjukkan adanya
kecenderungan penurunan fertilitas
(Siregar,1999).
Menengah (SM) ke bawah. Karena
akses mereka untuk berusaha sendiri atau Tabel diatas memperlihatkan
dibantu buruh tetap jelas kecil sekali bahwa 59,05% penduduk perempuan
mengingat dilihat dari kemampuan mereka pedesaan terkategori setengah
melanjutkan sekolah kecil. Berarti secara pengangguran (dengan jumlah jam kerja
ekonomi mereka lemah, satu-satunya per minggu 1-34 jam). Terbukti dari
pilihan, dengan pendidikan SD, SLTP atau sebahagian besar status pekerjan utama
SLTA, adalah bekerja di pabrik-pabrik perempuan di pedesaan (47,51%) adalah
atau menjadi buruh tani di pedesaan. sebagai pekerja tak dibayar. Ini juga
Untuk melihat membuktikan membuktikan selain mereka terkategori
ketimpangan dalam status pekerjaan pada setengah pengangguran, jumlah jam
utama, ada baiknya kita lihat jumlah jam kerja per minggu yang kurang dari 35 jam,
kerja yang digunakan. Menurut kriteria tentunya dari segi pendapatan mereka
BPS (2000), orang dikatakan bekerja tidak seimbang. Sebaliknya untuk
penuh (fully employed) bila jam kerjanya perempuan yang dengan jumlah jam kerja
mencapai 35 jm atau lebih dalam dalam seminggu 35-44 jam atau lebih
seminggu (dengan mengikuti konsep adalah sebesar 22,49% secara keseluruhan,
bekerja minimal 1 jam berturut-turut). sedangkan di pedesaan sebesar 20,26%,
Sedangkan yang bekerja 1-34 jam dalam untuk perkotaan sebesar 26,33%, mereka
seminggu dikategorikan setengah inilah yang terkategori bekerja. Namun
pengangguran ( BPS, 2000). untuk mengklasifikasikannya ke dalam
Secara nasional persentase kklasifikasi pengangguran atau setengah
penduduk yang digolongkan bekerja pengangguran rasanya penulis belum
penuh adalah berkisar 60,70%. samapi ke arah sana, karena untuk sampai
Diperkotaan penduduk yang bekerja penuh kesana dibutuhkan jumlah pendapatan,
sebesar 77,05% sedangkan di pedesaan termanfaatkan dengan maaksimal atau
hanya 50,59%. Dilihat dari jenis kelamin, tidak tenaga/kerja mereka baru kita dapat
lebih dari 65% penduduk laki-laki bekerja menyimpulkan ke arah sana.
penuh dalam seminggu. Sedangkan Selanjutnya juka ditinjau dari segi
perempuan masih di bawah 50%. Namun lapangan pekerjaan utama, penduduk
perempuan yang terkategori bekerja Ternyata hal tersebut berakar pada
sebanyak 65,55% perempuan pedesaan persoalan partisipasi perempuan di bidang
bekerja di sektor pertanian, dan sebesar pendidikan. Pendidikan yang rendah
36,03 perempuan di perkotaan yang tentunya tidak memungkinkan bagi wanita
bekerja, mereka dengan lapangan usaha untuk berkiprah di sektor publik, ekonomi,
utama sektor perdagangan. Dilihat dari politik, kesehaatan dan sebagainya. Untuk
perbedaan gender, sektor perdagaangan itulah dari tahun ke tahun pemerintah
dan industri di perkotaan maupun di selalu mencoba berbagai bentuk
pedesaan didominasi oleh perempuan. usaha/program yang bertujuan untukl
Sedangkan untuk bidang konstruksi dan meningkatkan kualitas perempuan.
komunikasi didominasi oleh laki-laki. Pendidikan perempuan yang baik
Semakin jelas bahwa gejala ini akan berpengaruh kepada kehidupan
mengindikasikan dan sangat erat kaitannya ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan
dengan partisipasi wanita di bidang yang lainnya yang pada gilirannya akan
pendidikan (yang rendah dibanding laki- berpengaruh terhadap angka fertilitas.
laki), akibatnya perempuan lebih banyak Asumsi ini diperkuat dengan semakin
bekerja di sektor pertanian dan menjadi meningkatnya peran ibu sebagai ibu sosial
buruh. di lingkungannya. Nah, untuk terjun ke
Sedangkan laki-laki dengan dalam masyarakat tersebutlah faktor
pendidikan yang baik dapat lebih pendidikan harus mendapat perhatian
berpartisipasi di dunia kerja yang lebih terlebih dahulu. Tanpa pendidikan yang
baik. Dengan melihat gejala atau memadai akan mustahil bagi perempuan
kecenderungan partisipasi wanita di untuk terjun ke sektor publik atau untuk
bidang pendidikan semakin jelaslah bagi mengemban tugas berat tersebut. Dengan
kita bagaimana dampaknya terhadap meningkatnya partisipasi wanita di bidang
partisipasi wanita di luar rumah. Dapat pendidikan untuk kedepanya jumlah jam
dikatakan bahwa partisipasi di bidang kerja dengan pendapatan yang memadai,
pendidikan dengan angkatan kerja akan bisa diraih perempuan. Namun
memiliki hubungan yang sangat erat akankah itu menjadi kenyataan atau hanya
sekali. Kesetaaraan gender yang di sekedar sebuah harapan, perbaikan kondisi
inginkan wanita susah untuk di wujudkan perekonomian kita merupakan salah satu
jika si wanita partisipasinya di bidang jawabannya.
pendidikan rendah. DAFTAR PUSTAKA
III. PENUTUP Badan Pusat Statistik (BPS). 2000.
Berdasarkan uraian-uraian Indikator Kesejahteraan Rakyat
terdahulu dapat disimpulkan bahwa, Propinsi DKI Jakarta, BPS,
berbicara masalah wanita dan Jakarta.
pembangunan, secara yuridis, „ruang- Badan Pusat Statistik (BPS). 2000. Hasil
ruang pengakuan‟ telah diberikan pada Sensus Penduduk Tahun 2000,
wanita dari waktu ke waktu peningkatan BPS Jakarta
partisipasi wanita telah terjadi. Artinya Badan Pusat Statistik (BPS) . 2001.
sejumlah kemajuan telah dicapai. Kondisi Statistik Indonesia 2001, BPS
ini dapat dilihat dari rasio gender murid Jakarta.
bersekolah yang terus mengalami Badan Pusat Statistik (BPS). 2002.
peningkatan dari waktu ke waktu dan lain Indikator Sosial Wanita DKI
sebagainya. Akan tetapi jika dilihat dari Jakarta, BPS, Jakarta.
penghargaan yang diperoleh, pengakuaan Badan Pusat Statistik (BPS) 2002. Statistik
akaan kesetaraaan jender, ditingkat parksis Kesejahteraan Rakyat Propinsi
masih belum begitu mengembiraakan. DKI Jakarta, BPS, Jakarta
8 Zusmelia

Badan Pusat Statistik (BPS). 2002.


Indikator Kesejahteraan Rakyat,
BPS, Jakarta
BPS, BAPPENAS, UNDP. 2001. Menuju
Konsesus Baru; Demokrasi dan
Pembangunan Manusia Di
Indonesia, Laporan Pembangunan
Manusia Indonesia, BPS,
BAPPENAS, UNDP.
Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi DKI
Jakarta. 1997. Analisis Situasi
Wanita DKI Jakarta 1997.
Franklin, S. 2002. The Changing Status of
Woman in Asian Societies. Kuala
Lumpur, Malaysia. (format pdf)
Hollingsworth and Corbin. 2002.
Tradition and Change in Marriage
and Family Life (format pdf).
Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita Dalam
Pembangunan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Muhidin, S. 2002. The Population of
Indonesia Regional Demographi
Scenarios, Rozenberg Publisher,
Amsterdam (format pdf).
Siswono, Eko. 2000. Pergeseran Budaya
Perkawinan di Jawa Barat; Suatu
Tinjauan Usia Kawin Pertama
dalam Kasus Pekerja Perempuan
di Botabek, dalam Warta
Demografi, tahun 30, No. 2, 2000.
Wahyuni, S, E, (2003), Kesejahteraan
Lanjut Usia di Pedesaan :
Pemikiran Untuk Pelayanan
Lanjut Usia di Pedesaan Berbasis
Masyarakat, Makalah Seminar.

You might also like