You are on page 1of 17

Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

DELICTUM: JURNAL HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

https://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/delictum/index

Relevansi Penerapan Konsep Keadilan Restoratif


Dalam Penanganan Perkara Korupsi Dengan
Kerugian Keuangan Negara Yang Relatif Kecil
The Relevance of Applying Restorative Justice
Concept in Corruption Cases With Relatively
Small State Financial Losses
Nabila Ihza Nur Muttaqi1*

1
Magister Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
*
nabilaihzanm@gmail.com

Article Abstract
Keywords: This study aims to analyze the problem of corruption with relatively small financial
Relevansi; pemidanaan; and economic losses to the country, namely Rp. 50 million with a sentencing model
korupsi; kerugian negara; that normatively relies on physical punishment, with the presence of Prosecutor's
Regulation Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on
Relevancy; punishment; Restorative Justice, the concept emerges only the return of state financial losses by
corruption; state loss; the perpetrators of corruption by stopping the prosecution. As a normative legal
research, this research uses a statute approach and a conceptual approach.
Article History Therefore, in carrying out the study it is only limited to laws and regulations related
Received: Jan 11, 2022; to the object to be studied and legal literature. The collected legal materials were
Reviewed: Feb 11, 202; then arranged descriptively to be analyzed qualitatively. The results of the study
Accepted: Apr 11, 2022; concluded that in the presence of the Attorney General's Regulation Number 15
Published: Apr 31, 2022; of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice, it
was explained that the prosecutor could terminate the prosecution of corruption
cases if the perpetrators of corruption returned all financial losses and the country's
economy. Convicting perpetrators of corruption with a total loss of under Rp. 50
million can be carried out by returning all financial and economic losses to the state
arising from the actions of the perpetrators of corruption, so that this can make the
punishment of perpetrators of corruption effective and efficient because if it still
refers to physically punishing the state will actually lose more due to the costs of
handling cases that are greater.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

Copyright ©2021 by Author(s); This work is licensed under a Creative


Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License. All writings
published in this journal are personal views of the authors and do not represent
the views of this journal and the author's affiliated institutions.

PENDAHULUAN
Masalah korupsi ini tidak semata-mata masalah hukum dan kebijakan saja,
tetapi upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan
penegakkan hukum pidana telah cukup lama dilakukan di Indonesia, namun tetap saja
praktek korupsi ini sulit diberantas. Undang-undang yang mengatur mengenai tindak
pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Sebagaimana Diubah
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK), yang di dalamnya mengatur berbagai aspek perilaku
menyimpang, yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga patut
dipertanyakan apa yang perlu direformasi dan bagaimana reformasi tersebut harus
dilakukan supaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil sebagaimana
diharapkan. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW) kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi pada tahun 2021 mencapai Rp 62,93 triliun. Nilai kerugian
keuangan negara justru semakin naik dengan persentase 10,91% dibandingkan pada
tahun sebelumnya sebesar Rp 56,74 triliun.1 Pasal UU PTPK menyatakan bahwa
pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.2 Hal ini dimaknai bahwa
apabila pelaku tindak pidana korupsi dapat mengembalikan kerugian keuangan Negara
akan tetap memperoleh sanksi pidana penjara sebab pengembalian kerugian keuangan
Negara merupakan hukuman tambahan.
Penerapan sanksi pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia justru menimbulkan permasalahan lain. Hal ini dapat dilihat beberapa kasus
yang menjerat para pejabat tinggi negara seperti mantan Ketua DPR RI Setya Novanto,
mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan mantan politisi Partai
Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mana dalam menjalani kehidupan di Lapas
Sukamiskin tersebut justru hidup mewah. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
sanksi pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi bukanlah suatu cara yang dapat
membuat pelaku menjadi jera. Yang menjadi perhatian utama harusnya adalah
bagaimana cara memulihkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi
tersebut.
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu lembaga penegak hukum dan
keadilan berwenang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Ketika
melakukan penuntutan, jaksa harus memiliki alat bukti yang sah, demi keadilan dan

1 Dimas Bayu, Kerugian Negara Akibat Korupsi Capai Rp 62,93 Triliun Pada 2021,
https://dataindonesia.id/ragam/detail/kerugian-negara-akibat-korupsi-capai-rp6293-triliun-pada-
2021, diakses pada tanggal 23 Juni 2022 pukul 20.00 WIB.
2 Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, jaksa bertindak berdasarkan hukum sehingga wajib mengindahkan
norma-norma keagamaan dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan,
hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.3
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja 15/2020) memuat mengenai kewenangan Jaksa
untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sehingga hal ini
menjadi terobosan baru bagi penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi
tindak pidana. Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan pendekatan dalam
penyelesaian tindak pidana yang mana korban dan pelaku tindak pidana diharapkan
dapat mencapai perdamaian dengan mengedepankan win-win solution, dan
menitikberatkan agar kerugian korban tergantikan dan pihak korban memaafkan
pelaku tindak pidana. Dengan adanya peraturan tersebut maka diharapkan tindak
pidana terkhusus korupsi yang memiliki skala kerugian yang relatif kecil dapat selesai
dengan adanya penghentian penuntutan akibat adanya pengembalian kerugian
keuangan negara oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Adanya kontradiksi antara UU PTPK dan Perja 15/2020 menimbulkan
berbagai pendapat dikalangan baik akademik maupun praktisi hukum. Riset-riset
sebelumnya lebih mengarahkan pada bagaimana konsep keadilan restoratif (restorative
justice) itu diterapkan dalam perkara tindak pidana korupsi.4 Selain itu, dalam riset lain
menyatakan bahwa dengan berlakunya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020
Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, maka harus adanya
pemulihan kembali dalam hal ini kedua belah pihak sudah mencapai kesepakatan untuk
berdamai dan konsep ini dapat diterapkan dalam sistem penuntutan karena tujuan
pemidanaan bukan saja untuk menghukum seseorang tapi dapat tercapainya keadilan
bagi seluruh pihak.5 Menurut peneliti, pengkajian terkait dengan Perja 15/2020 tidak
hanya pada penerapan konsep restorative justice tetapi juga perlu adanya pengkajian
kontradiksi antara UU PTPK dengan Perja 15/2020 yang kemudian dimunculkan
konsep yang efektif dan efisien dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi
dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil yaitu Rp 50 juta.
Sehingga yang menjadi permasalahan adalah pertama, apakah memungkinkan
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Restoratif Justice diterapkan pada perkara tindak pidana korupsi dengan
kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 Juta? Kedua, apa implikasi Peraturan
Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Restoratif Justice terhadap penanganan tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan
negara di bawah Rp 50 Juta?

3 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hlm. 9.


4 Pratomo Beritno, “Penghentian Penuntutan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif”, Jurnal Ilmu Hukum
Tambun Bungai Vol. 6 No. 2, September 2021.
5 Reynaldi Sinyo Wakkary dkk, “Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam Sistem Penuntutan

berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020”, Jurnal Lex Crimen Vol. X No. 9, Agustus 2021.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

METODE
Jenis penelitian yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang akan dikaji
sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan
penelitian hukum normatif yang berarti bahwa penelitian hukum ini menggunakan
bahan-bahan hukum sebagai sumber utamanya. Metode pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Oleh karena itu, dalam
melakukan pengkajian hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan objek yang akan diteliti dan literatur-literatur hukum (studi kepustakaan).
Bahan hukum yang berhasil dikumpulkan kemudian disusun secara deskriptif untuk
dianalisis secara kualitatif. Metode ini dilakukan dengan cara menggambarkan dan juga
menguraikan topik penelitian berdasarkan data yang diperoleh kemudian ditafsirkan
oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang relevan. Dengan metode tersebut, maka
peneliti dapat mengambil kesimpulan yang sesuai dengan data dan tafsiran dari penulis
sendiri (Deskriptif-Kualitatif).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penerapan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice pada Perkara Tindak Pidana
Korupsi Dengan Kerugian Keuangan Negara di bawah Rp 50 Juta
Pasal 140 ayat (2) Kitab Undnag-Undnag Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menegaskan bahwa penuntut umum dalam hal ini jaksa memiliki kewenangan untuk
menentukan apakah suatu perkara akan dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Selain
itu, jaksa juga memiliki hak oportunitas yaitu kewenangan untuk menghentikan
penuntutan demi kepentingan hukum sehingga jelas dalam pasal tersebut jaksa selaku
penuntut umum memiliki kendali penuh atas perkara yang dilimpahkan dari penyidik
sebab jaksa memiliki kewajiban untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Hal ini relevan dengan dikeluarkannya Peraturan Kejaksaan Nomor 15
Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice yang
kemudian disebut Perja 15/2020 mengenai penghentian penuntutan berdasarkan
konsep keadilan restoratif.6
Perja 15/2020 menjelaskan bahwa keadilan restoratif (restorative justice)
merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak-pihak lainnya yang terkait untuk secara bersama-
sama mencari penyelesaian yang adil dengan bertumpu pada pemulihan kembali ke
keadaan semula dan bukan dengan metode pembalasan.7 Dengan kata lain, konsep
keadilan restoratif ini memiliki cara pandang yang berbeda dengan memandang sebuah
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang tidak mesti harus dijatuhi hukuman
pemidanaan terkhusus pidana fisik. Pengaturan tersebut menitikberatkan pada

6 Iwan Kurniawan dkk, “Implementasi Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif (Studi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat)”, Jurnal
Education and Development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan Vol. 10 No. 1, Januari 2022, Hlm. 612.
7 Pasal 1 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian

Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

perdamaian antara kedua belah pihak sehingga hukum acara disini hadir untuk dapat
mengakui keberadaan perjanjian damai sebagai perjanjian yang memiliki kekuatan
hukum. Dalam Pasal 2 Perja 15/2020 dijelaskan bahwa penghentian penuntutan
dengan keadilan restoratif harus berdasarkan asas keadilan, asas kepentingan umum,
asas proporsionalitas, asas pidana sebagai jalan terakhir (ultimum remedium), asas cepat,
sederhana, dan biaya ringan8 yang mana asas keadilan merupakan asas utama dalam
pelaksanaan penghentian penuntutan oleh jaksa selaku penuntut umum.
Penghentian penuntutan oleh jaksa demi kepentingan hukum bukanlah tanpa
dasar, penutupan perkara tersebut harus dilakukan dalam hal terdakwa meninggal
dunia, daluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem),
pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali, atau telah ada
penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).9 Dalam penghentian
penuntutan, berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) harus dilakukan dengan
memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi,
penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan
masyarakat, kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban umum dengan mempertimbangkan
subjek, objek, kategori dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya suatu
tindak pidana, tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak
pidana, cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula
dan adanya perdamaian antara korban dan pelaku.10
Penerapan keadilan restoratif (restorative justice) terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum merupakan suatu hal yang
tidaklah mudah untuk diterapkan begitu saja. Perja 15/2020 terkait dengan penerapan
konsep keadilan restoratif (restorative justice) kembali menuai polemik setelah adanya
wacana bahwa penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan
dan perekonomian negara di bawah Rp 50 Juta dapat diselesaikan dengan melakukan
pengembalian kerugian tersebut oleh pelaku tindak pidana korupsi. Yang menjadi
polemik adalah pernyataan tersebut jelas akan bertentangan dengan Pasal 4 UU PTPK
yang menyatakan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan dan perekonomian negara tidak
menghapuskan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi”.
Keberadaan Pasal 4 UU PTPK pada dasarnya dijiwai oleh konsep keadilan
retributif (retributive justice) yang menunjukkan bahwa pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia justru mengutamakan pemidanaan secara fisik yang mana sudah
tidak mengarah pada penyelamatan kerugian keuangan negara. Perumusan pasal-pasal
yang ada dalam UU PTPK tidak lagi relevan dan tidak sepadan dengan jumlah kerugian
keuangan negara yang dialami akibat adanya tindak pidana korupsi.11 Hukum
Internasional telah mengatur dan menegaskan bagi setiap negara untuk melakukan

8 Pasal 2 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan


Berdasarkan Restoratif Justice.
9 Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian

Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice.


10 Pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian

Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice.


11 Rida Isa Sitepu dkk, “Implementasi Restoratif Justice dalam Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana

Korupsi” Jurnal Rechteh: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol. 1 , 2019, Hlm. 2.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

penyelesaian perkara tindak pidana korupsi melalui restorative justice sebagai upaya
pengembalian kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana
korupsi. Hal tersebut diatur dalam United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) yang telah ditandatangani oleh 133 negara yang mana Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mendesak kepada setiap negara untuk dapat dengan segera merespon
adanya konvensi ini terkhusus dalam konteks pengembalian aset negara.12
Beberapa negara telah menerapkan konsep keadilan restoratif (restorative justice)
sehingga secara nyata terdapat pergeseran konsep keadilan. Belanda merupakan salah
satu negara yang paling berhasil dalam menerapkan konsep keadilan restoratif
(restorative justice) yang dibuktikan dengan adanya data yang menyatakan bahwa sejak
kurun waktu tahun 2013 hingga 2017, Belanda telah berhasil menutup 24 penjara akibat
minimnya angka kriminalitas yang terjadi di negara tersebut.13 Perkara-perkara yang
selesai dengan konsep keadilan restoratif (restorative justice) tidak hanya perkara-perkara
kecil melainkan juga perkara tindak pidana korupsi. Dengan adanya penerapan konsep
keadilan restoratif (restorative justice) pada perkara tindak pidana korupsi, pada tahun
2016 Belanda menduduki peringkat ke-8 dari 176 negara yang dilihat berdasarkan
Corruption Perseption Index (CIP) atau yang biasa dikenal dengan Indeks Persepsi
Korupsi. Dalam penanganan tindak pidana korupsi, Belanda mengenal satu
lembaga yakni lembaga transaksi yang mana lembaga tersebut tidak dikenal dalam
hukum pidana yang berlaku di Hindia Belanda atau Indonesia sekarang ini.14 Sehingga
keadilan restoratif (restorative justice) apabila diterapkan secara baik dan benar maka akan
menekan angka kejahatan terkhusus korupsi, pemulihan kerugian keuangan dan
perekonomian negara akan menjadi tujuan utamanya yang akan selaras kembali dengan
tujuan utama pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Tidak hanya Belanda, negara-negara lain yang sudah jauh lebih maju seperi
Amerika dan China juga telah mempertimbangkan penggunaan berbagai metode yang
efektif dan efisien terkhusus dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Salah
satu cara yang dilakukan oleh kedua negara tersebut yaitu dengan menjadikan
pemulihan akibat tindak pidana korupsi sebagai primum remedium, di sisi lain penjatuhan
sanksi pemidanaan secara fisik pelaku tindak pidana korupsi dijadikan sebagai ultimum
remidium.15 United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC) yang telah disepakati
oleh 133 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada dasarnya
menginginkan bahwa negara-negara harus lebih terfokus pada pengembalian kerugian
keuangan negara hasil tindak pidana korupsi dalam pembentukan hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal tersebut berarti bahwa hukum internasional
mengindikasikan fokus pemidanaan bukan lagi pada pelaku melainkan harus terfokus
pada akibat yang ditimbulkan atas perbuatan tersebut.16 Dalam UNCAC membuka

12 Budi Suharianto, “Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku Korupsi Demi Optimalisasi
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara”, Jurnal Kemenkumham Vol. 5 No. 3, Desember 2015, Hlm. 423.
13 Lihat “Kekurangan Penjahat, 24 Penjara di Belanda Tutup Sejak 2013”,

http://internasional.kompas.com/read/2017/06/01/09330651/kekurangan.penjahat.24.penjara.di.bel
anda.tutup.sejak.2013, diakses pada tanggal 02 Juli 2022 pukul 22.00 WIB.
14 Adami Chazawi, “Pelajaran Hukum Pidana 2”, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm.

182-183.
15 Ibid, Hlm. 423.
16 Rida Isa Sitepu dkk, Op.Cit., Hlm. 5.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

peluang bagi negara-negara untuk dapat bisa menerapkan konsep keadilan restoratif
(restorative justice) dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dalam hal
pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.
Pada pelaksanaannya, konsep keadilan restoratif (restorative justice) dalam Perja
15/2020 dapat dilihat bahwa peraturan tersebut menitikberatkan pada kesepakatan
perdamaian antara pelaku dan korban. Sehingga hal ini merupakan wujud nyata dan
konkrit dari paradigma pemidanaan bukan sebagai ajang pembalasan melainkan sebagai
upaya untuk pemulihan akibat adanya tindak pidana. Dengan hadirnya Perja 15/2020
ini secara tidak langsung, Indonesia turut mengakui adanya penyelesaian perkara tindak
pidana secara non-penal. Perja 15/2020 ini juga hadir sebagai upaya Indonesia turut
andil dalam upaya penerapan konsep keadilan restoratif (restorative justice) yang
dicanangkan oleh UNCAC dalam model baru pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di sisi lain, Perja 15/2020 juga mengatur adanya batasan penggunaan konsep
keadilan restoratif (restorative justice) sehingga konsep tersebut tidak hanya didasarkan
sebatas pada kesepakatan perdamaian sebab jika hanya sebatas kesepakatan
perdamaian maka proses yang berjalan justru akan terjebak sebatas menjalankan fungsi
secara prosedural saja sehingga tidak tercapainya kebenaran materiil dan juga
keadilan.17 Adanya peraturan ini juga dianggap sebagai substansi hukum (legal substance)
yang disusun guna mengeliminir paham positivistik yang terlalu kuat dengan lebih
mengedepankan penerapan hukum progresif melalui penerapan konsep keadilan
restoratif (restorative justice).
Adanya wacana bahwa penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan
kerugian keuangan dan perekonomian negara di bawah Rp 50 Juta dapat diselesaikan
dengan melakukan pengembalian kerugian tersebut oleh pelaku tindak pidana korupsi
ini dapat saja diterapkan melalui Perja 15/2020. Dengan adanya Perja 15/2020
membuat adanya kepastian hukum bahwa tindak pidana korupsi dapat diselesaikan
dengan mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara. Namun, tidak
semua perkara tindak pidana korupsi dapat diselesaikan begitu saja hanya dengan
pengembalian kerugian keuangan negara. Perja 15/2020 dapat diterapkan secara
kasuistis terkhusus bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan dan
perekonomian negara di bawah Rp 50 Juta. Hal tersebut bertujuan agar tujuan utama
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat tercapai secara maksimal. Selain itu, untuk
menimbang adanya prinsip cost and balances bahwa apabila tindak pidana korupsi dengan
skala yang relatif kecil itu dilakukan proses pemidanaan secara fisik justru akan
membuat lonjakan pengeluaran negara untuk penanganan perkara tersebut. Meskipun
memang pada prakteknya penerapan Perja 15/2020 ini menimbulkan polemik dan pro
kontra di tengah kalangan akademisi dan praktisi.

17 Mahendra, Adam Prima, “Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan Berdasarkan Keadilan Restoratif”,

Jurnal Jurist-Diction Vol. 4 No. 4, 2020, Hlm. 153.


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

Implikasi Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian


Penuntutan Berdasarkan Restoratif Justice terhadap Penanganan Tindak
Pidana Korupsi dengan Kerugian Keuangan Negara di bawah Rp 50 Juta
Pada dasarnya yang menjadi pokok permasalahan yang bersifat substansial
dalam penegakan hukum pidana di Indonesia adalah terkait dengan tindak pidana
(straafbaarfeit/criminal act/actus reus), kesalahan (schuld/guilt/mens rea), dan pemidanaan
(straf/punishment/poena). Herbert L. Packer menyebutkan bahwa ketiga aspek tersebut
sebagai “the three concept/basic problem”. Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa ketiga
permasalahan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang
melakukan perbuatan yang dilarang tersebut, dan pidana yang diancamkan terhadap
pelanggaran tersebut.18 Dari ketiga permasalahan pokok tersebut masih banyak kurang
mendapatkan perhatian yang mana hal tersebut merupakan hal penting dari hukum
pidana terkhusus terkait dengan “pemidanaan” padahal pemidanaan merupakan muara
akhir dari hukum pidana yang menjadi ajang penentu seseorang ketika melakukan
tindak pidana yang dapat merenggut kemerdekaan seseorang, harta benda, maupun
jiwanya.19 Dengan tidak adanya proporsionalitas dalam penjatuhan pemidanaan
tersebut maka penjatuhan pemidanaan menjadi tidak efektif dan efisien.
Pemidanaan dikatakan berhasil apabila dalam formulasi pembentukan undang-
undang dilakukan secara proporsional dan sebanding antara hukuman (pemidanaan)
dan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Lebih tegas lagi bahwa dalam pemidanaan
tidak akan proporsional apabila pidana yang dijatuhkan terlalu berat atau terlalu ringan.
Pemidanaan yang demikian tidak akan mampu mencapai tujuan yang dimaksudkan,
bahkan justru akan sebaliknya.20 Sebagaimana telah diuraikan konsep keadilan
restoratif (restorative justice) yang tertuang dalam Perja 15/2020 yang mana Jaksa selaku
penuntut umum dapat melakukan penghentian penuntutan atas dasar terwujudnya
keadilan restoratif (restorative justice). Hal ini merupakan wujud baru dalam hukum
pidana yang mana dalam menjatuhkan pemidanaan tidak selamanya bertumpu pada
paham positivistik melainkan juga perlu adanya pemahaman hukum progresif sehingga
keadilan itu hidup dalam bingkai kehidupan bermasyarakat.
Hukum progresif dimulai dengan adanya asumsi dasar bahwa hukum
merupakan institusi untuk mengantarkan manusia menuju kehidupan yang adil dan
sejahtera atau dnegan kata lain bahwa hukum progresif merupakan hukum yang ingin
melakukan pembebasan baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum,
sehingga mampu membuat hukum menjadi megalir mengikuti alur kehidupan
masyarakat.21 Hukum progresif yang bertumpu pada rules dan behaviour menempatkan
manusia untuk tidak terjebak oleh rules yang absolut sehingga ketika terjadi perubahan
dalam kehidupan masyarakat dan hukum tertulis mengalami ketertinggalan maka
penegak hukum tidak boleh berdiam membiarkan dirinya terjebak oleh hukum tertulis

18 Chairul Huda, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemidanaan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Kencana, Jakarta, 2006, Hlm. 7.
19 Lilik Mulyadi, “Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana

Korupsi Berbasis Keadilan”, Kencana, Jakarta, 2021, Hlm. 132.


20 Ibid.
21 Sudjito, “Hukum dalam Pelangi Kehidupan”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2012,

hlm. 133.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

(rules) yang tidak lagi relevan tetapi harus melihat realita sosial untuk membuat sebuah
keputusan hukum.22
Hukum Progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri,
melainkan melihatnya dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang
timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan
sosialnya, maka Hukum Progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence.23 Hal ini
selaras dengan apa yang ditolak oleh Roscoe Pound yang mengatakan bahwa hukum
merupakan studi peraturan-peraturan. Dengan demikian dalam berolah ilmu, hukum
progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang positivistik.24
Dalam UU PTPK pada prinsipnya telah mengakomodir terkait dengan pidana
uang pengganti.hal tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PTPK yang
menyatakan bahwa terhadap pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.25 Namun, yang
menjadi kelemahan adalah tidak adanya pengaturan secara tegas yang menentukan
kapan uang pengganti harus dibayarkan dan sanksi apa yang akan dikenakan apabila
pembayaran uang pengganti itu tidak dilakukan.
Konsep keadilan restoratif (restorative justice) belum sepenuhnya
terimplementasikan dalam UU PTPK sebab dalam UU PTPK mengatur bahwa
perkara yang akan diputus sudah terdapat pembatasan pembayaran selama satu bulan,
apabila uang pengganti tidak dibayarkan maka harta benda milik pelaku tindak pidana
korupsi dapat disita oleh jaksa selaku penuntut umum dan harta benda tersebut dapat
dilelang untuk menutupi uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan yang ada pada
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Apabila pelaku tindak pidana
korupsi tidak memiliki harta kekayaan yang tidak cukup untuk membayarkan uang
pengganti maka pelaku dipidana dengan pidana penjara. Dari ketentuan tersebut,
secara jelas bahwa pengembalian kerugian keuangan negara hanya sebagai pidana
tambahan bukan sebagai pidana pokok.26
UU PTPK dalam rumusan penjatuhan pemidanaan tidak mempertimbangkan
adanya prinsip keseimbangan. Apabila dilihat dari perbandingan unsur pasal yang
termuat dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK yaitu:

Tabel 1. Perbandingan Pasal 2 dan 3 UU PTPK


Pasal 2 Pasal 3
1. Setiap Orang; 1. Setiap Orang;
2. Secara melawan hukum 2. Dengan tujuan menguntungkan
melakukan perbuatan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;

22 Ibid.
23 Mulyana W. Kusumah dan Paul S.Baut, Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1998, Hlm. 21.
24 Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, Jurnal Hukum Progresif

Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005, Hlm. 7-8.
25 Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
26 Rida Isa Sitepu dkk, Op.Cit., Hlm. 6.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

memperkaya diri sendiri atau 3. Menyalahgunakan kewenangan,


orang lain atau suatu korporasi; kesempatan atau sarana yang ada
3. Dapat merugikan keuangan padanya karena jabatan atau
atau perekonomian negara. kedudukannya;
4. Dapat merugikan keuangan atau
perekonomian negara.
Ancaman Pidana
Pidana penjara seumur hidup Pidana penjara seumur hidup atau
atau pidana penjara paling singkat 4 pidana penjara paling singkat 1 (satu)
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua tahun dan paling lama 20 (duapuluh)
puluh) tahun dan denda paling sedikit tahun dan denda paling sedikit RP
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
rupiah) dan paling banyak Rp paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). miliar rupiah).

Dari kedua perbandingan pasal tersebut, maka tidak terdapat adanya prinsip
keseimbangan dalam penjatuhan sanksi pemidanaan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Hal tersebut dapat dilihat adanya penerapan pidana minimum khusus. Secara teoritis,
menurut Barda Nawawi Arief pidana meliputi 3 (tiga) hal yakni jenis pidana (strafsoort),
lamanya sanksi pidana (Strafmaat), dan aturan pelaksanaan pidana (Strafmodus). Pidana
minimum khusus dapat dikategorikan ke dalam lamanya sanksi pidana yang berkaitan
dengan sanksi pidana minimal dalam setiap tindak pidana yang dirumuskan dalam
suatu pasal.27 Dalam ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa apabila kerugian
keuangan dan perekonomian negara yang timbul dari tindak pidana korupsi kurang
dari Rp 50 Juta sedangkan terdapat ketentuan minimum khusus penjara dan denda
yang sudah ditetapkan yang mana jauh lebih besar sehingga rumusan yang ada tidak
mencerminkan adanya prinsip keseimbangan.
Sebagai contoh dalam putusan perkara tindak pidana korupsi Nomor
42/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK bahwa terdakwa Eni Lina Kusmiati, S.Pd. selaku
Kepala SDN 2 Sido Mukti Kecamatan Gedung Aji Baru, Kabupaten Tulang Bawang
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dan diancam dnegan pidana dalam Pasal 3 UU PTPK. Dirinya
diduga telah menggunakan sisa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar Rp
16.620.000,- (enam belas juta enam ratus dua puluh ribu rupiah) untuk kepentingan
terdakwa sendiri. Terhadap kerugian tersebut, terdakwa telah menitipkan uang
pengganti kerugian yang jumlahnya sebesar sisa dana BOS tersebut sehingga terdakwa
memang sudah mengembalikan uang tersebut sepenuhnya.28 Dalam putusan tersebut
dapat dilihat bahwa pengembalian kerugian keuangan negara sepenuhnya yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat menghapuskan pemidanaan
sesuai dengan pertimbangan hakim dalam putusan tersebut.

27 Reza Noor Ihsan dan Irfani, “Sanksi Pidana Minimum Khusus dalam Tindak Pidana Korupsi
ditinjau dari Sudut Pandang Keadilan”, Jurnal Al’Adl Volume IX Nomor 3, Desember 2017, Hlm. 465.
28 Lihat Direktori Putusan Mahkamah Agung Nomor 42/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK atas

nama Terdakwa Eni Lina Kusmiati, S.Pd.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

Selain itu, dalam putusan perkara tindak pidana korupsi Nomor


16/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK bahwa terdakwa Hasbullah, S.Pd. selaku sekretaris
Kampung Mataram Udik Kecamatan Bandar Mataram, Kabupaten Lampung Tengah
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 3 UU PTPK. Dirinya
diduga telah menyalahgunakan kewenangan selaku Penanggungjawab Operasional
Kegiatan (PJOK) Pengelolaan Alokasi Dana Kampung pada Kampung Mataram Udik
Tahun Anggaran 2011 sejumlah Rp 21.417.200,- (dua puluh satu juta empat ratus tujuh
belas dua ratus ribu rupiah).29 Dalam putusan tersebut, kerugian keuangan negara yang
ada tidak mencapai Rp 50 Juta sehingga seharusnya dalam penjatuhan putusan dapat
dipertimbangkan adanya pengembalian kerugian keuangan negara yang terlebih dahulu
untuk dapat didahulukan ketimbang adanya pemidanaan secara fisik.
Dalam penjatuhan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi terkhusus bagi
tindak pidana korupsi dengan total kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 Juta
dengan pengembalian kerugian keuangan tersebut kepada negara. Hal tersebut selaras
dengan upaya penanggulangan overcapacity di lembaga pemasyarakatan melalui Perja
15/2020 yang mana tindak pidana dapat dilakukan penghentian penuntutan atas dasar
keadilan restoratif (restorative justice) perlu dipertimbangkan agar pengembalian kerugian
keuangan negara menjadi pidana pokok. Hal. Dalam konsep keadilan restoratif
(restorative justice) tersebut harus dilakukan sebab apabila penggantian kerugian keuangan
negara tetap menajdi pidana tambahan maka masih ada peluang bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang justru cenderung memilih untuk menjalani hukuman pidana fisik
sebab tidak perlu bersusah payah untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan
hidup enak di lembaga pemasyarakatan. Selain itu, masih ad acelah juga bagi penegak
hukum untuk bisa menjatuhkan pidana subsider atau kurungan apabila tidka dpaat
mengembalikan kerugian keuangan negara.
Apabila dikaji berdasarkan ilmu ekonomi, bahwa tugas ilmu ekonomi adalah
menemukan makna penalaran bahwa manusia sebagai makhluk rasional selalu ingin
memperbaiki kehidupannya. Tujuan dan kepuasan mereka dalam meningkatkan
kehidupan mereka bisa disebut egois.30 Analisis ekonomi terhadap hukum (Economic
Analysis Of Law) merupakan ilmu interdisipliner yang berusaha melihat keberadaan
hukum, terutama sanksinya, dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip ekonomi. Ilmu
ekonomi adalah ilmu tentang pilihan rasional, dan tugas ilmu ekonomi dalam hukum
adalah menjelaskan arti dari anggapan bahwa orang adalah pemaksimal rasional
keinginan mereka dalam bentuk kepuasan diri.31
Menurut Posner, konsep analisis ekonomi normatif memiliki dua aspek, yaitu
analisis ekonomi positif dan analisis ekonomi normatif. Aspek positif dari analisis
ekonomi berfokus pada efisiensi sebagai hasil dari kebijakan sebagai bentuk investasi
publik melalui instansi pemerintah. Misalnya, dalam upaya mengurangi korupsi dengan

29 Lihat Direktori Putusan Mahkamah Agung Nomor 16/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK atas


nama Terdakwa Hasbullah, S.Pd.
30 Fajar Sugianto, “Economic Analysis of Law, Seri Pertama, Edisi Revisi”, Prenada Media Group,

Jakarta, 2014, hlm 47.


31 Richard Posner, “Economic Analysis of Law, Fifth Edition”, Aspen Law & Business, New York,
United Stated, 1998, hlm 3. Dikutip dari Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, 2016,
hlm 212.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

menuntut dengan hukuman penjara sangat mahal dan tidak efektif, para ekonom dapat
menunjukkan cara berbeda untuk mencegah korupsi dengan biaya lebih rendah melalui
cara berbeda. Aspek analisis ekonomi positif ini pada hakikatnya merupakan upaya
untuk menjelaskan hubungan antara ketentuan hukum dengan hasil yang sebenarnya.32
Aspek analisis ekonomi normatif menunjukkan bahwa apa yang idealnya baik
adalah baik, dan relevansi hukumnya tidak hanya bagi hakim untuk mementingkan
pada keputusan saat ini, tetapi juga untuk keputusan di masa yang akan datang.
Perlunya mengantisipasi dampak putusan pengadilan menetapkan suatu preseden
sehingga dapat mempengaruhi putusan pada kasus yang sama di masa yang akan
datang. Dalam hal ini hakim harus mampu memprediksi hasil putusannya atas
kepentingan umum agar tidak terjadi kerugian yang tidak perlu.33
Posner menjelaskan bahwa analisis ekonomi terhadap hukum dapat dijadikan
suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum sehingga hukum dijadikan
economic tools untuk mencapai kesejahteraan. Pendekatan dan penggunaan analisis ini
harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan tidak
menghilangkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi standar perekonomian
yang didasari oleh 3 prinsip dasar, yaitu nilai (value), kegunaan (utility), dan efisiensi
(efficiency) yang didasari oleh rasional manusia.34
Menurut Posner, suatu nilai (value) diartikan sebagai suatu yang memiliki arti
atau penting baik secara moneter ataupun non moneter sehingga sifat yang melekat
tersebut berupa kepentingan pribadi untuk mencapai kepuasan tertentu. Sedangkan
kegunaan (utility) digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh manusia untuk
memperoleh manfaat keuntungan yang diinginkan. Keputusan ini diambil dengan
mempertimbangkan dan membedakan dengan jelas antara untung rugi yang pasti
maupun yang tidak pasti, di mana ketidak-pastian itu menjadi resiko yang harus
dihadapi.35
Prinsip terakhir yaitu efisiensi (efficiency) yang mana hal ini dikaitkan dengan
pengertian penghematan yang bernilai ekonomis, sehingga dapat dikatakan efisien jika
tingkat yang dapat tercapai oleh produksi yang maksimal dengan pengorbanan yang
minimal. Apabila dikaitkan dengan hukum, suatu peraturan hukum dikatakan efisien
jika tidak ada biaya transaksi, seperti biaya untuk mendapatkan informasi tentang
peraturan tersebut. Selain itu jika efisiensi terhadap peraturan hukum dapat diukur
ketika biaya transaksi menjadi endogen terhadap sistem hukum, dalam arti peraturan
hukum dapat menekan hambatan-hambatan dalam private bargaining.36
Apabila dikaji berdasarkan prinsip economic analysis of law maka dalam penjatuhan
sanksi pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi akan menjadi efektif dan efisien
apabila pemulihan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi dijadikan hal
yang penting dan diutamakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini
dapat diartikan bahwa keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak terpaku
berdasarkan keberhasilan dalam memidanakan pelaku tindak pidana korupsi dengan

32 Romli Atmasasmita & Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum Pidana

Indonesia, Prenadamedia Grup, Jakarta, 2016, hlm 37.


33 Ibid., hlm. 39.
34 Fajar Sugianto, Economic Analysis of Law, Seri Pertama, Edisi Revisi, Op.Cit., hlm. 45.
35 Ibid., hlm. 57.
36 Ibid., hlm. 56.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

hukuman sanksi pidana fisik, melainkan juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan
penegak hukum dalam mengembalikan atau memulihkan kerugian keuangan negara
yang telah dikorupsi tersebut. Dengan terfokus pada pengembalian kerugian keuangan
negara maka akan menekan biaya penanganan perkara tindak pidana korupsi yang
memiliki kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 Juta sebab biaya yang akan
dikeluarkan untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi akan jauh lebih besar
daripada aset yang dikorupsi oleh pelaku.
Hal tersebut selaras dengan prinsip cost and benefit yang dikemukakan oleh
Soedarto bahwa untuk menghadapi masalah kriminalisasi harus diperhatikan berbagai
hal salah satunya adalah dalam penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit). Prinsip tersebut menjelaskan
bahwa apakah biaya untuk mengkriminalisasi pelaku tindak pidana akan seimbang
dengan hasil yang akan dicapai, artinya adalah pembuatan undang-undang,
pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku
kejahatan itu sendiri haruslah seimbang dengan tujuan yang hendak dicapai.37 Terdapat
satu prinsip yaitu prinsip rasionalitas yang mengandung makna bahwa manusia dalam
melakukan suatu aktivitas termasuk melakukan tindak pidana jelas harus berpikir secara
rasional dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan. Apabila
analisis ekonomi terhadap hukum dikaitkan dengan hukum pidana maka pelaku tindak
pidana merupakan makhluk yang rasional ekonomis yang akan mempertimbangkan
antara biaya yang haru dikeluarkan dari melakukan tindak pidana dengan keuntungan
yang akan didapatkan. Apabila keuntungan yang didapatkan jauh lebih besar
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya maka pelaku justru memilih untuk
melakukan suatu tindak pidana.38 Dalam penjatuhan pemidanaan harus
dipertimbangkan prinsip tersebut agar penegakan hukum dapat berjalan efektif dan
efisien.
Dalam penegakan hukum, menurut Teori Lawrence M. Friedman
menyatakan bahwa dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur yaitu struktur,
substansi, dan budaya (kultur) bahwa efektif atau tidaknya efektifnya penegakan hukum
bergantung pada tiga unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (legal structure),
substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture) yang ketiganya saling
berhubungan satu sama lain.39 Penjatuhan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana
korupsi dengan kerugian keuangan dan perekonomian negara di bawah Rp 50 Juta
dapat selesai dengan pengembalian kerugian keuangan hasil tindak pidana korupsi.
Apabila dikaji menggunakan teori penegakan hukum tersebut bahwa pertama, dari sisi
struktur hukum (legal structure) terdapat jaksa selaku penuntut umum yang memiliki
kewenangan untuk menghentikan perkara demi kepentingan hukum (hak oportunitas)
yang mana dalam hal ini jaksa dapat melakukan penghentian penuntutan dalam perkara

37 Salman Luthan, “Asas dan Kriteria Kriminalisasi”, Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16, Januari

2009, Hlm. 11.


38 Juli Wiarti, “Non-Conviction Based Asset Forfeiture sebagai Langkah Untuk Mengembalikan Kerugian

Negara (Perspektif Analisis Ekoomi Terhadap Hukum), UIR Law Review Volume 1 Nomor 1, April 2017,
Hlm. 106.
39 Chusnus, dkk, “Analysis of Justice and Legal Certain by Using Three Legal of System’s Role dalam
Membangun Infrastruktur Guna Mensejahterakan Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di Kalimantan)”, Fakultas
Hukum Brawijaya, 2018.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

tindak pidana korupsi yang relatif kecil dengan syarat pelaku tindak pidana korupsi
wajib mengembalikan seluruh keuntungan yang didapatkan dari hasil tindak pidana
korupsi agar kerugian keuangan negara dapat kembali.
Kedua, dari sisi substansi hukum (legal substance) bahwa hadirnya Peraturan
Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Restoratif Justice (Perja 15/2020) yang memuat mengenai kewenangan Jaksa untuk
menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sehingga hal ini menjadi
terobosan baru bagi penegakan hukum di Indonesia dalam menanggulangi tindak
pidana sehingga terdapat dasar hukum yang jelas untuk menciptakan efisiensi dan
efektifitas penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian
keuangan negara yang relatif kecil.
Ketiga, dari sisi budaya hukum bahwa pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi
dengan mekanisme pemidanaan secara fisik sudah tidak lagi relevan sebab pemidanaan
fisik tersebut tidak membuat jera para pelakunya, justru pelaku tindak pidana korupsi
lebih memilih untuk menjalani pemidanaan secara fisik yang tidak seberapa lamanya
terkhusus dengan kerugian keuangan negara yang relatif kecil. Hal tersebut dipilih agar
pelaku tidak perlu mengembalikan kerugian keuangan negara dan bisa menikmati
kehidupan seperti biasa di lembaga pemasyarakatan yang juga terjamin akan
fasilitasnya. Masyarakat juga justru lelah dengan metode pemidanaan yang memiliki
birokrasi menguntungkan penguasa sehingga harus ditekankan pada pengembalian
kerugian keuangan negara sebagai tujuan utama pemberantasan tindak pidana korupsi.
Suatu hal yang mendesak dan penting bagi para penegak hukum khususnya
Indonesia adalah dengan kembali pada tujuan utama pemberantasan tindak pidana
korupsi. Dengan penerapan Perja 15/2020 yang memuat mengenai kewenangan Jaksa
untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini maka penulis
berpendapat bahwa hal ini akan lebih efektif dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi dengan syarat bahwa pelaku tindak pidana korupsi harus mengembalikan
kerugian keuangan negara terlebih dahulu. Dengan memenuhi syarat tersebut, maka
sanksi piemidanaan secara fisik tidak lagi menjadi hukuman pokok melainkan dapat
dikesampingkan ketika syarat tersebut dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Selama ini Indonesia dalam menangani kasus korupsi terlebih yang memiliki kerugian
keuangan negara yang relatif kecil lebih cenderung mengutamakan pada penghukuman
fisik terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan
negara. Pemberantasan korupsi difokuskan kepada tiga isu pokok yaitu pencegahan,
pemberantasan, dan pengembalian aset hasil korupsi.
Selain itu, untuk meminimalisir penjatuhan pemidanaan secara fisik maka dapat
diterapkan juga sanksi kerja sosial maupun kerja paksa yang nantinya akan
menghasilkan uang yangd apat digunakan untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara. Apabila dilihat pada dasarnya pelaku tindak pidana korupsi merupakan orang-
orang cerdas yang memiliki keahlian dan ketrampilan yang baik. Pengembangan
konsep-konsep tersebut bertujuan mengembalikan marwah pemidanaan bahwa
pemidanaan secara fisik merupakan ultimum remidium sehingga dapat digunakan upaya-
upaya lain terlebih dahulu untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penjatuhan
pemidanaan.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

KESIMPULAN
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif yang kemudian disebut Perja 15/2020 mengenai
penghentian penuntutan berdasarkan konsep keadilan restoratif menimbulkan adanya
wacana bahwa penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan
dan perekonomian negara di bawah Rp 50 Juta dapat diselesaikan dengan melakukan
pengembalian kerugian tersebut oleh pelaku tindak pidana korupsi ini dapat diterapkan
melalui peraturan tersebut. Dengan adanya peraturan tersebut membuat adanya
kepastian hukum bahwa tindak pidana korupsi dapat diselesaikan dengan
mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara. Peraturan tersebut dapat
diterapkan secara kasuistis terkhusus bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan
kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 Juta. Hal tersebut bertujuan agar tujuan
utama pemberantasan tindak pidana korupsi dapat tercapai secara maksimal. Selain itu,
untuk menimbang adanya prinsip cost and balances bahwa apabila tindak pidana korupsi
dengan skala yang relatif kecil itu dilakukan proses pemidanaan secara fisik justru akan
membuat lonjakan pengeluaran negara untuk penanganan perkara tersebut. Konsep
efektif dan efisien yang dapat diterapkan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi
adalah dengan mempertimbangkan penerapan Perja 15/2020 yang memuat mengenai
kewenangan Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
dengan syarat bahwa pelaku tindak pidana korupsi harus mengembalikan kerugian
keuangan negara terlebih dahulu. Dengan memenuhi syarat tersebut, maka sanksi
pemidanaan secara fisik tidak lagi menjadi hukuman pokok melainkan dapat
dikesampingkan ketika syarat tersebut dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Selain itu, untuk meminimalisir penjatuhan pemidanaan secara fisik maka dapat
diterapkan juga sanksi kerja sosial maupun kerja paksa yang nantinya akan
menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara. Pengembangan konsep-konsep tersebut bertujuan mengembalikan marwah
pemidanaan bahwa pemidanaan secara fisik merupakan ultimum remidium sehingga
dapat digunakan upaya-upaya lain terlebih dahulu untuk mencapai efisiensi dan
efektivitas penjatuhan pemidanaan tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Chazawi, Adami. (2002). Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Huda, Chairul. (2006). Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’ Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemidanaan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Kencana.
Sugianto, Fajar. (2014). Economic Analysis of Law, Seri Pertama, Edisi Revisi.Jakarta:
Prenada Media Group.
Ishaq. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik. (2021). Membangun Model Ideal Pemidanaan Korporasi Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Berbasis Keadilan. Jakarta: Kencana.
Ali, Mahrus. (2016). Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta: UII Press.
Sudjito. (2012). Hukum dalam Pelangi Kehidupan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

Kusumah, Mulyana W. & Paul S. Baut. (1998). Hukum, Politik dan Perubahan Sosial.
Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Atmasasmita, Romli & Kodrat Wibowo. (2016). Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum
Pidana Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Grup.

Jurnal
Ali Habib. (2020). Penerapan Restorative Justice dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Negara. Jurnal Corruptio Volume 1 Issue
1.
Budi Suharianto. (2015). Restorative Justice dalam Pemidanaan Korporasi Pelaku
Korupsi Demi Optimalisasi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara. Jurnal
Kemenkumham Vol. 5 No. 3, hlm. 423.
Chusnus, dkk. (2018). Analysis of Justice and Legal Certain by Using Three Legal of
System’s Role dalam Membangun Infrastruktur Guna Mensejahterakan
Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di Kalimantan). Fakultas Hukum Brawijaya.
Iwan Kurniawan dkk. (2022). Implementasi Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun
2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif (Studi
Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat). Jurnal Education and Development Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan Vol. 10 No. 1, hlm. 612.
Juli Wiarti. (2017). Non-Conviction Based Asset Forfeiture sebagai Langkah Untuk
Mengembalikan Kerugian Negara (Perspektif Analisis Ekoomi Terhadap
Hukum). UIR Law Review Volume 1 Nomor 1, hlm. 106.
Mahendra, Adam Prima. (2020). Mediasi Penal Pada Tahap Penyidikan Berdasarkan
Keadilan Restoratif. Jurnal Jurist-Diction Vol. 4 No. 4, hlm. 153.
Maman Budiman. (2022). Imlementasi Prinsip Restorative Justice dalam Penghentian
Penuntutan Perkara Korupsi oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia Volume 7 Nomor 3.
Pardomuan Gultom. (2022). Analisis Sosiologi Hukum Terhadap Kemungkinan Dapat
Diterapkannya Restorative Justice dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia. Jurnal Hukum dan Kemasyarakatan Al-Hikmah Volume 3 Nomor 1.
Pratomo Beritno. (2021). Penghentian Penuntutan berdasarkan Peraturan Kejaksaan
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif. Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai Vol. 6 No.
2.
Rena Pratiwi dan Rida Ista Sitepu. (2021). Optimalisasi Restorative Justice dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Rechten: Riset Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Volume 3 Nomor 3.
Reynaldi Sinyo Wakkary dkk. (2021). Implementasi Prinsip Restorative Justice dalam
Sistem Penuntutan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020.
Jurnal Lex Crimen Vol. X No. 9.
Reza Noor Ihsan dan Irfani. (2017). Sanksi Pidana Minimum Khusus dalam Tindak
Pidana Korupsi ditinjau dari Sudut Pandang Keadilan. Jurnal Al’Adl Volume IX
Nomor 3, hlm. 465.
Rida Isa Sitepu dkk. (2019). Implementasi Restoratif Justice dalam Pemidanaan Pelaku
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Rechteh: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia Vol.
1, hlm. 2.

ISSN (Online) 2985-6906


Nabila Ihza Nur Muttaqi DJHPI November-2023

Salman Luthan. (2009). Asas dan Kriteria Kriminalisasi. Jurnal Hukum No. 1 Vol. 16.
Salsabila dan Slamet Tri Wahyudi. (2022). Peran Kejaksaan dalam Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Korupsi Menggunakan Pendekatan Restorative Justice. Jurnal
Masalah-Masalah Hukum Volume 51 Nomor 1.
Satjipto Rahardjo. (2005). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal
Hukum Progresif Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/,
hlm. 7-8.
Al-Fatih, S. (2017). Model Pengujian Peraturan Perundang-undangan Satu Atap
Melalui Mahkamah Konstitusi. Legality: Jurnal Ilmiah Hukum, 25(2), 247-260.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 42/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK
Putusan Mahkamah Agung Nomor 16/Pid.Sus/TPK/2013/PN.TK

Internet
Dimas Bayu, “Kerugian Negara Akibat Korupsi Capai Rp 62,93 Triliun Pada 2021”,
https://dataindonesia.id/ragam/detail/kerugian-negara-akibat-korupsi-capai-
rp6293-triliun-pada-2021, diakses pada tanggal 23 Juni 2022 pukul 20.00 WIB.
__________, “Kekurangan Penjahat, 24 Penjara di Belanda Tutup Sejak 2013”,
http://internasional.kompas.com/read/2017/06/01/09330651/kekurangan.
penjahat.24.penjara.di.belanda.tutup.sejak.2013, diakses pada tanggal 02 Juli
2022 pukul 22.00 WIB.

You might also like