Professional Documents
Culture Documents
khilmatinmaulidah766@gmail.com
ABSTRACT
The Criminal Code (KUHP) follows to the principle of formal legality so that it seems rigid and the law that lives
in Indonesian society is as if it is not recognized as a source of law. This study aims to determine the policy
formulation of the principle of forgiveness of judges in criminal law that is in force today, and analyze the policy
of the principle of the forgiveness of judges in criminal law in the future. The research method used in this
article is a normative juridical approach to the law and conceptual approach. The results of the research show
that the Criminal Code does not currently regulate the problem of the judge's forgiveness, so that the criminal
case that was tried must be given a criminal verdict even though the defendant's actions were very mild and
not against the law materially. This requires an effort to reform the criminal law, which is to revive the law that
lives in a society that seems to have been killed by colonial law by formulating the principle of apology for
judges such as in the Netherlands which has regulated Article 9a of the Indonesian Penal Code.
ABSTRAK
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menganut asas legalitas formil sehingga terkesan kaku dan
hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia seolah-olah tidak diakui sebagai sumber hukum. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan formulasi asas permaafan hakim dalam hukum pidana yang berlaku
saat ini, dan menganalisis kebijakan asas permaafan hakim dalam hukum pidana di masa yang akan datang.
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-
undang dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KUHP saat ini tidak mengatur masalah
permaafan hakim sehingga perkara pidana yang disidangkan harus dijatuhi putusan pidana meskipun
perbuatan terdakwa sangat ringan dan tidak bersifat melawan hukum secara materiil. Hal ini yang memerlukan
usaha pembaharuan hukum pidana yaitu menghidupkan kembali hukum yang hidup di masyarakat yang
seolah-seolah dimatikan oleh hukum kolonial dengan merumuskan asas permaafan hakim seperti di negara
Belanda yang sudah mengatur dalam Pasal 9a KUHP Belanda.
*
Corresponding Author
281
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
282
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
perbuatannya memenuhi rumusan delik harus sampai disidangkan di pengadilan. Karena kasus
dikenai dengan pidana (Gunarto, 2009). tersebut merupakan kasus sederhana atau kasus
Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi ringan (Wibawa, 2017).
pada perbuatan manusia saja (daad strafrecht) KUHP tidak secara eksplisit mengatur
sebab dengan demikian hukum pidana menjadi tidak mengenai pengertian tindak pidana ringan, oleh
manusiawi dan mengutamakan pembalasan. karena itu dapat ditemukan di dalam Peraturan
Sebaliknya hukum pidana juga tidak benar apabila Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA)
hanya memperhatikan si pelaku saja No.2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan
(daderstrafrecht), sebab dengan demikian penerapan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
hukum pidana akan berkesan memanjakan penjahat KUHP diatur bahwa perbuatan pencurian yang
dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, merugikan seseorang di bawah Rp. 2.500.000,00
yaitu kepentingan masyarakat, kepentingan negara, dikualifikasikan sebagai tindak pidana ringan. Di
dan kepentingan korban tindak pidana dalam peraturan tersebut pidana yang dapat
(Soponyono,2012). dikenakan adalah pidana denda, pembayaran ganti
Sebagai contoh yaitu kasus Nenek Minah yang kerja di pelayanan umum, dan sebagainya. Namun
dituduh mencuri 3 biji kakao yang kemudian dihukum demikian, PERMA No.2 Tahun 2012 tersebut hanya
pidana percobaan 1 bulan 15 hari, kasus pencurian mengatur mengenai penyesuaian batasan nilai
kapuk randu oleh Manisih dan anggota keluarganya kerugian dan ganti rugi tindak pidana ringan, salah
dipidana penjara selama 24 hari, kasus Basar dan satu contohnya adalah pencurian ringan. Tidak serta
Cholil yang dituduh mencuri buah semangka. Semua merta dapat menghapuskan sanksi pidana atau
perbuatan dalam kasus tersebut dikualifikasikan mengubah jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan
sebagai tindak pidana pencurian semata-mata hanya atasnya, karena mengenai sanksi pidana itu sendiri
dilihat bahwa perbuatan tersebut memenuhi rumusan sudah ditentukan dalam Pasal 10 Kitab Undang-
pasal 362 KUHP. Fenomena ini membuktikan bahwa Undang Hukum Pidana (KUHP) (Pratiwi, 2015).
hukum pidana di Indonesia sangatlah kaku sehingga Bertolak dari PERMA No. 2 Tahun 2012 maka
mengenyampingkan kebenaran materiil atau fakta kasus-kasus seperti Nenek Minah, Kasus Basar dan
yang sesungguhnya dibalik perbuatan yang Cholil, tidak seharusnya sampai ke “meja hijau”
didakwakan. karena nilai kerugiannya sangat kecil/ringan, bahkan
Sebagaimana diungkapkan oleh Hakim yang menurut pengakuan “pelaku” bahwa perbuatan yang
memutus perkara Mbah Minah, yaitu Hakim dilakukannya merupakan perbuatan yang
Bambang. Beliau menyatakan bahwa kasus seperti diperbolehkan oleh penduduk setempat, dapat
yang melibatkan Mbah Minah tidak semestinya dikatakan sebagai hukum kebiasaan masyarakat
283
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
setempat. Jika masyarakat setempat mengatakan terkesan mengahraruskan seorang terdakwa diajtuhi
demikian maka seharusnya kasus tersebut bukanlah pidana.
delik atau tindak pidana dan tidak sepatutnya Bertolak dari uraian latar belakang dalam
dipidana. penulisan ini terkait dengan kebijakan formulasi asas
Hal ini menjadi ironi karena dalam beberapa permaafan hakim dalam upaya pembaharuan hukum
kasus-kasus mereka tetap dinyatakan bersalah dan pidana nasional menjadi masalah pada pembahasan
dijatuhi pidana oleh hakim. Indonesia sebagai negara ini dikarenakan belum adanya pasal yang mengatur
yang mempunyai Pancasila justru pada praktiknya secara eksplisit mengenai kewenangan hakim untuk
tidak secara penuh mengamalkan sila-sila yang memaafkan perbuatan yang dilakukan oleh
tercantum dalam Pancasila, seolah-olah seseorang terdakwa. Sehingga KUHP yang berlaku saat ini
yang terbukti memenuhi rumusan undang-undang terkesan ‘kaku’ dan pada akhirnya mencederai rasa
secara langsung dapat dinyatakan bersalah dan keadilan masyarakat. Hal ini merupakan
harus dipidana, terkesan tidak adanya aturan yang masalah mendasar dari KUHP yang berlaku saat ini.
menegasikan sifat melawan hukumnya perbuatan Kerangka teori yang digunakan yaitu mengacu
(secara formal), dan seolah-olah tidak mencerminkan pada teori yang dikemukakan oleh Prof.Barda
asas demokrasi, asas kemasyarakatan, asas Nawawi bahwa pidana dapat dijatuhkan jika memuat
kemanusiaan, asas keadilan sosial juga asas syarat adanya tindak pidana dan kesalahan / PJP
ketuhanan. (Pertanggungjawaban Pidana). Dalam formula /
Lebih ironi lagi ketika melihat KUHP WvS model / pola / konvensional tersebut, tidak terlihat
Belanda yang merupakan KUHP yang berlaku di variable “tujuan”, karena tidak dirumuskan secara
Indonesia saat ini, justru mencantumkan pasal eksplisit dalam KUHP, sehingga terkesan “tujuan”
sisipan yaitu Pasal 9a yang mencerminkan asas berada di luar sistem. Dengan model demikian,
kemanusiaan dengan mengatur tentang asas seolah-olah dasar pembenaran atau justifikasi
permaafan hakim (Rechterlijk Pardon). Asas tersebut adanya pidana hanya terletak pada TP (syarat
memungkinkan hakim untuk memaafkan perbuatan objektif) dan Kesalahan (syarat subjektif). Jadi
terdakwa dan tidak menjatuhi pidana kepadanya. seolah-olah pidana dipandang sebagai konsekuensi
Asas ini menunjukkan sifat fleksibel yang terdapat absolut yang harus ada, apabila kedua syarat itu
dalam KUHP Belanda. Sebagai sebuah sistem, hal terbukti. Jelas terkesan sebagai “model kepastian”
ini menjadi salah satu faktor yang menimbulkan yang kaku. Dirasakan janggal (menurut model ini),
lembaga pemasyarakatan menjadi over capacity. apabila kedua syarat itu terbukti tetapi si pelaku
Sebab aturan yang menjadi pedoman bagi hakim “dimaafkan” dan tidak dipidana. Dengan demikian ide
“permaafan/pengampunan hakim” (Rechterlijk
284
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
285
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Construction of Penal Mediation Model in Handling pendekatan yang bersifat yuridis normatif, yaitu
Family Negclect Cases in the Future”, didalamnya dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang
membahas tentang konsep permaafan hakim tetapi berupa bahan-bahan hukum terutama bahan hukum
lebih fokus kepada konsep mediasi penal. Penelitian primer dan bahan hukum sekunder. Adanya
berikutnya berfokus pada nilai permaafan hakim pendekatan perbandingan hukum diperlukan untuk
dikaitkan dengan hukum islam (Wahyuningsih, & memberikan gambaran dan masukan bagi kebijakan
Hafidz, 2017). hukum pidana yang sebaiknya dirumuskan di masa
Berdasarkan penelitian sebelumnya terdapat yang akan datang.
perbedaan yang menunjukan kebaruan dalam Spesifikasi dalam penelitian ini adalah
penelitian ini yaitu penulis tidak hanya membahas penelitian deskriptif analitis. Jenis dan teknik
dalam konteks kebijakan hukum pidana yang berlaku pengumpulan data dalam penelitian hukum diperoleh
saat ini tetapi juga dengan menggunakan kajian melalui studi kepustakaan. Metode analisis data yang
perbandingan dengan negara lain yaitu digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
membandingkan kebijakan hukum pidana di kualitatif.
Indonesia dengan Belanda. Tujuan dari penulisan ini
yaitu untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan C. HASIL DAN PEMBAHASAN
formulasi asas permaafan hakim dalam hukum 1. Kebijakan Formulasi Asas Permaafan Hakim
pidana yang berlaku saat ini, dan untuk mengetahui Dalam Hukum Pidana yang Berlaku saat ini
serta menganalisis kebijakan formulasi asas Pembaharuan hukum pidana pada tataran
perrmaafan hakim yang sebaiknya dirumuskan di regulasi telah diupayakan oleh lembaga pembentuk
masa yang akan datang dengan membandingkan undang-undang sejak tahun 1963, dengan
aturan pidana di Indonesia dengan Belanda. disusunnya Rancangan Kitab Undang-Undang
Berdasarkan uraian latar belakang Hukum Pidana (selanjutnya disebut RUU KUHP).
permasalahan di atas maka judul yang diangkat Namun sampai saat ini, pemerintah belum juga
adalah sebagai berikut: KEBIJAKAN FORMULASI berhasil membuat kodifikasi peraturan induk hukum
ASAS PERMAAFAN HAKIM DALAM UPAYA pidana yang didasarkan nilai-nilai yang ada di dalam
PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL. Pancasila serta Pembukaan UUD 1945. Konsekuensi
dari belum disahkannya RUU KUHP adalah Negara
B. METODE PENELITIAN Indonesia tetap menggunakan Kitab Undang-Undang
Penelitian tentang kebijakan formulasi asas Hukum Pidana (KUHP) peninggalan pemerintah
permaafan hakim dalam upaya pembaharuan hukum Hindia-Belanda yang tentunya telah tertinggal oleh
pidana nasional ini menggunakan metode
286
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
kemajuan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. pada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
(Yosuki, & Tawang, 2018). Pidana (KUHP)/Wetboek van Strafrecht (WvS)
Penyusunan konsep KUHP baru bertujuan berasal dari warisan jajahan Belanda yang
menggantikan KUHP/WvS karena ide/konsep dasar penyusunannya lebih berorientasi kepada pelaku
permikiran, nilai filosofi dalam penyusunannya sudah tindak pidana. Nilai filosofis yang menjadi latar
tidak sesuai lagi dengan ide/konsep dasar pemikiran belakang disusunnya KUHP/WvS adalah
dan nilai filosofi disusunnya konsep. Ide/konsep individualism dan liberalism yang dilandasi oleh aliran
dasar pemikiran dan nilai filosofi disusunnya konsep klasik/neo klasik yang lebih berorientasi pada
adalah Pancasila yang jalinan nilai dalam setiap perbuatan dan pelaku tindak pidana, padahal dalam
sialnya mencerminkan “ide keseimbangan” (Maerani, tujuan nasional (national goals) yang merupakan
2015). Ide dasar keseimbangan ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi landasan dan
pilihan hukum yang bisa disebut memiliki konsep sekaligus tujuan pencapaian politik hukum di
prismatik (nilai keseimbangan yang baik). Mengingat Indonesia, ada dua tujuan yang ingin dicapai oleh
ide dasar keseimbangan mengidentifikasi pilihan hukum pidana yaitu “perlindungan masyarakat” dan
kombinatif atas nilai-nilai yang ada di tengah “kesejahteraan masyarakat”. Kedua tujuan tersebut
masyarakat Indonesia (Faisal, 2014). sebagai batu landasan (acornerstone) dari hukum
KUHP yang berlaku saat ini pada dasarnya pidana dan pembaruan hukum pidana (Arief, 2009).
tidak mengatur mengenai asas permaafan hakim Kekakuan dari KUHP dengan tidak mengatur
atau rechterlijk pardon karena KUHP yang asas permaafan hakim menimbulkan kesan bahwa
merupakan produk dari Belanda memiliki latar hukum pidana bertujuan untuk memberikan
belakang nilai individualism dan liberalism sehingga pembalasan, seolah-olah seseorang yang bersalah
kebutuhan dan kepentingan masing-masing individu menurut undang-undang tidak bisa dimaafkan. Jika
bukan menjadi prioritas melainkan mengutamakan dikaitkan dengan nilai-nilai dalam Pancasila sesuai
kepentingan bersama. Seseorang mendapatkan dengan sila ke-1, sebagai contoh dalam kasus-kasus
keadilan atau tidak bukanlah menjadi persoalan, yang nilai kerugiannya kecil untuk tidak melanjutkan
yang dilihat hanyalah seseorang telah melakukan perkaranya melalui proses hukum atau memberi
suatu perbuatan yang memenuhi rumusan delik maaf terhadap sesama adalah sesuai tuntunan
dalam undang-undang maka seseorang tersbebut agama islam dan sebuah keutamaan, dengan
dinyatakan bersalah dan harus dipidana. berpedoman pada surat At-Taghabun ayat 14 : “dan
Sebagaimana diungkapkan oleh Barda jika kalian memaafkan dan tidak memarahi serta
Nawawi Arief bahwa kebijakan formulasi dalam mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah
perumusan sistem pemidanaan materiil di Indonesia
287
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” Penelitian ini akan memfokuskan pada
(Fatoni,2015). substansi hukum di mana pembaharuan hukum
Mengenai tujuan pemidanaan pun sebetulnya pidana yang dilakukan adalah memunculkan asas
belum diatur secara tegas di dalam KUHP yang permaafan hakim (Rechterlijk Pardon) ke dalam RUU
berlaku saat ini. Apabila ingin mengetahui tujuan KUHP. Menurut Barda Nawawi Arief, dalam tataran
pemidanaan dalam KUHP, salah satunya dengan sistem kebijakan hukum pidana, tahap merumuskan
mempelajari historitas dari KUHP tersebut, terutama atau memformulasikan suatu perundang-undangan
di negeri Belanda (Anugrah, 2019). hukum pidana adalah tahap yang paling strategis
Mengingat tujuan pemidanaan maka dalam karena tahap formulasi adalah penegakan hukum
kondisi tertentu hakim tetap diberi kewenangan untuk secara abstrak . kesalahan pada tahap formulasi
memberi maaf dan tidak menjatuhkan pidana atau akan berakibat fatal pada tahap penegakan hukum
tindakan apapun, walaupun “tindak pidana” dan selanjutnya yaitu penegakan hukum secara nyata (in
“kesalahan” telah terbukti. Dengan demikian, dapat concreto) (Tapiansari, & Susanto, 2017).
dikatakan bahwa secara konseptual telah ada Dalam kebijakan formulasi/kebijakan legislatif
pergeseran yang sebelumnya bersifat kaku/absolut inilah diharapkan nilai-nilai sentral masyarakat yang
berubah menjadi model keseimbangan yang fleksibel hidup dan tumbuh di dalam masyarakat dapat
(Gunarto,2012). terakomodasi sehingga hukum yang akan datang
Tujuan pemidanaan tidak dirumuskan secara atau hukum yang dicita-citakan itu dapat berlaku
eksplisit dalam KUHP, sehingga terkesan tujuan efektif di masyarakat (Kusuma, 2016).
berada diluar sistem. Dengan model demikian, Pembaharuan Hukum Pidana pada hakikatnya
seolah-olah dasar pembenaran adanya pidana hanya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
terletak pada tindak pidana dan kesalahan, oleh reorientasi dan reformasi hukum pidana yang
karena itu seolah-olah pemidanaan dianggap melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan
sebagai konsekuensi absolut yang harus ada, kebijakan penegakan hukum di Indonesia (Arief,
apabila kedua syarat ini terbukti. Kerangka berpikir 2014).
seperti ini memberikan suatu legitimasi bahwa KUHP KUHP yang berlaku saat ini memang tidak
saat ini bersifat kaku (Yosuki, & Tawang, 2018). mengatur masalah asas permaafan hakim, sehingga
perlu dirumuskan dalam KUHP di masa yang akan
2. Kebijakan Formulasi Asas Permaafan Hakim datang. Sebab asas permaafan hakim akan
Dalam Hukum Pidana yang Sebaiknya mencerminkan asas kemanusiaan pada falsafah
Dirumuskan di Masa yang Akan Datang bangsa yaitu Pancasila, dan akan mengubah
paradigma KUHP yang kaku menjadi fleksibel serta
288
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
sebagai suatu sistem yang integral, maka sistem pemidanaan, di mana dengan adanya
pembaharuan hukum pidana materiil ini akan konsepsi Rechterlijk Pardon (Permaafan Hakim),
bermuara pada hukum pelaksanaan pidana yaitu maka hakim dalam menjustifikasi pemidanaan
dengan adanya asas permaafan hakim akan terhadap seseorang, hakim harus
menjadi solusi untuk mengatasi persoalan over mempertimbangkan tindak pidana, kesalahan serta
capacity pada lembaga pemasyarakatan yang tujuan dan pedoman pemidanaan. Apabila hakim
selama ini menjadi masalah di Indonesia. memandang bahwa orang tersebut tidak harus
Asas permaafan hakim atau Rechterlijk dijatuhkan pidana, maka hakim memberi maaf
Pardon saat ini berada pada tahapan formulasi RUU kepada pelaku tindak pidana (Yosuki, & Tawang,
KUHP, yaitu diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56
2018).
RUU KUHP. Konsep permaafan hakim sebetulnya
Sebagai bentuk pengampunan, maka dengan
telah lama dilakukan dan tersebar di berbagai
adanya permaafan seseorang yang bersalah tidak
wilayah Indonesia. Konsep ini muncul dalam
perlu dijatuhi hukuman atau meraskaan hukuman.
berbagai bentuk pelaksanaan di dalam masyarakat
Ketentuan seperti ini pada dasarnya hampir mirip
Indonesia, dimana dapat disimpulkan bahwa
dalam ketentuan pidana bersyarat (voorwaardelijke
permaafan yang ada dalam masyarakat adat tidak
veroordeling) yang diatur dalam Pasal 14a-14f KUHP
serta merta menghapus pidana, tetap ada sanski
(Mukhtarzain, 2015).
yang diberikan namun sanksi tersebut tidak hanya
Dalam melakukan usaha pembaharuan hukum
untuk kepentingan korban dan pelaku namun juga
pidana diperlukan kajian perbandingan hukum pidana
untuk mengembalikan keseimbangan yang telah
dengan negara lain. Dalam penelitian ini akan
rusak akibat adanya tindak pidana (Farikhah, 2016).
membandingkan dengan KUHP Belanda. Rumusan
Perkembangan RKUHP sampai saat ini yaitu
yang tercantum dalam Pasal 9a KUHP Belanda
RKUHP Juni 2019 belum kunjung disahkan.
mengatur tentang asas permaafan hakim atau
Padahal di dalamnya dirumuskan konsep tentang
Rechterlijk Pardon, berikut ini bunyi Pasal 9a KUHP
permaafan yang tercantum dalam Pasal 55 dan
Belanda :
Pasal 56. Dalam Pasal 56 Ayat (2) RUU KUHP
“the judge may determine in the
dikatakan bahwa ringannya perbuatan, keadaan
judgement that no punishment or measure shall be
pribadi, keadaan saat terjadi tindak pidana atau imposed, where he deems this advisable, by reason
of the lack of gravity of the offense, the character of
yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
the offender, or the circumtances attendant upon the
pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan commission of the offense or there after”.
pidana atau mengenakan tindakan dengan
Dari rumusan pasal di atas terlihat jelas bahwa
mempertimbangkan segi keadilan dan
hakim dapat tidak menjatuhkan putusan pidana
kemanusiaan. Hal ini berkaitan erat dengan
maupun tindakan dengan memperhatikan berat
289
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
ringannya perbuatan, karakter pelaku, keadaan yang keadaan pelaku tindak pidana dan keadaan sebelum
terjadi saat perbuatan dilakukan maupun setelahnya. atau setelah tindak pidana itu dilakukan (Yosuki, &
Perbuatan yang sangat ringan/tidak signifikan Tawang, 2018).
tidak dijatuhi pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Bahkan di Belanda ada kecenderungan
I Ketut Sudira dalam artikelnya “One modern menurunnya penggunaan atau penerapan pidana
influence in criminal law is a principle known as penjara, terlihat pada praktek pengadilannya terdapat
subsosialitas (Subsocialitet) meaning if a conduct is a suatu ketidaksukaan yang semakin besar terhadap
delict but socially has a little significance, it is not pidana perampasan kemerdekaan dan pidana denda
necessary to involve punishment or further legal (Kholiq, Arief, & Soponyono,2015).
action. As we can see from the Article 9 of the Dutch Bertolak dari penjelasan di atas tentang
Criminal Code” (Sudira,2014). aturan Rechterlijk Pardon pada KUHP Belanda
Rumuan Pasal 9a tersebut di atas merupakan terlihat hampir sama dengan rumusan Pasal 56
pedoman pemidanaan bagi hakim dalam RKUHP, perbedaannya terletak pada adanya
menjatuhkan putusan agar supaya putusan pertimbangan dari segi keadilan dan kemanusiaan
berorientasi pada nilai kemanusiaan dan keadilan dalam RKUHP.
yaitu denganmempertimbangkan berat ringannya Menjadi suatu ironi karena KUHP yang
perbuatan, kepribadian pelaku, keadaan-keadaan berlaku di Indonesia saat ini justru tidak mengatur
pada saat perbuatan dilakukan maupun sesudahnya. asas permaafan hakim, baru diformulasikan dalam
Di Belanda saat ini, 60% (enam puluh persen) konsep KUHP yang sampai saat ini juga belum
perkara pidana tidak lagi diselesaikan oleh disahkan. Sehingga pada kasus-kasus yang tidak
Pengadilan, melainkan oleh Jaksa Penuntut Umum di signifikan atau terlalu sepele seperti kasus Nenek
luar pengadilan, di Belanda dikenal dengan istilah Minah tetap dijatuhi putusan pidana oleh hakim.
afdoening buiten process (penyelesaian perkara di Apabila RKUHP segera disahkan dan tetap
luar pengadilan). Perkara yang ringan diselesaikan di mencantumkan asas permaafan hakim, maka
luar pengadilan, perkara ringan yang dimaksud kasus-kasus seperti kasus nenek Minah dapat
adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana diberikan permaafan oleh hakim dan tidak hanya
penjara di bawah 6 (enam) tahun ke bawah dengan menegakkan asas kepastian, tetapi juga
cara ganti kerugian oleh pelaku tindak pidana kemanusiaan dan keadilan.
kepada korban. Bentuk lain, apabila perkara ringan
tetap diselesaikan di pengadilan, maka hakim dapat
memutus dengan Rechterlijk pardon (permaafan
hakim) dengan memperhatikan ringannya perbuatan,
290
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
291
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Barlian, Aristo Evandy A., & Arief, Barda Nawawi. Kholiq, Abdul,. Arief, Barda Nawawi,. & Soponyono,
(2017). Formulasi Ide Permaafan Eko. (2015). Pidana Penjara Terbatas:Sebuah
Hakim (Rechterlijk Pardon) Dalam Gagasan dan Reorientasi Terhadap Kebijakan
Pembaharuan Sistem Pemidanaan Di Formulasi Jenis Sanksi Hukum Pidana Di
Indonesia. Jurnal Law Reform, Vol.13, (No.1), Indonesia. Jurnal Law Reform, Vol.11, (No.1),
pp. 28-44. pp. 100-112.
Tapiansari, Gialdah., & Susanto, Anthon F. (2017). Kusuma, Jauhari D. (2016). Tujuan Dan Pedoman
Pola Penegakan Hukum Pidana Berdasarkan Pemidanaan Dalam Pembaharuan Sistem
Nilai-Nilai Kemanusiaan Dalam Perspektif Pemidanaan di Indonesia. Jurnal
Asas Manfaat. Jurnal Litigasi, Vol.1, (No.18), Muhakkamah, Vol.1, (No.2), pp. 94-109.
pp. 41-86. Maerani, Ira A. (2015). Implementasi Ide
Faisal. (2014). Membangun Politik Hukum Asas Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum
Legalitas Dalam Sistem Hukum Pidana Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Keadilan.
Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.2, (No.2), pp.
Vol.21, (No.1), pp. 81- 95. 329-338.
Fatoni, S. (2015). Pembaharuan Hukum Pidana Mukhtarzain, Abdullah A. (2018). Permaafan Dalam
Melalui Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Pemidanaan Menurut Hukum Islam Dan
Berorientasikan Pendekatan Religius. Jurnal Hukum Nasional. Jurnal Idea Hukum, Vol.4,
Hukum Islam IAIN Tulungagung, Vol.3, (No.1), (No.1), pp. 936-959.
pp.43-66. Saputro, Adery A. (2016). Konsepsi Rechterlijk
Farikhah, M. (2016). Konsep Judicial Pardon Pardon Atau Permaafan Hakim dalam
(Permaafan Hakim) dalam Masyarakat Adat di Rancangan KUHP. Jurnal Mimbar Hukum,
Indonesia. Jurnal Media Hukum, Vol.25, Vol.28, (No.1), pp. 61-76.
(No.1), pp.81-92. Sudira, I Ketut. (2014). The Construction of Penal
Gunarto, Marcus P. (2009). Sikap Memidana yang Mediation Model in Handling Family Negclect
Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan, Jurnal Cases in the Future. International Journal of
Mimbar Hukum, Vol.21, (No.1), pp.93-108. Education and Research, Vol.2, (No.8),
pp.429-438.
Gunarto, Marcus P. (2012). Asas Keseimbangan
dalam Konsep Rancangan Undang-Undang Soponyono, E. (2012). Kebijakan Perumusan Sistem
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jurnal Pemidanaan yang Berorientasi Pada Korban.
Mimbar Hukum, Vol.24, (No.1), pp.1-186. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41,
(No.1), pp. 29-41.
292
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
293