You are on page 1of 10

Agency is a capacity or ability to do things or to carry them out.

Dalam geografi manusia, teori agensi sering kali berfokus pada bagaimana individu atau
kelompok manusia mempengaruhi dan membentuk lingkungan mereka melalui tindakan
dan keputusan mereka. Ini dapat mencakup segala hal dari bagaimana individu memilih
untuk berinteraksi dengan lingkungan fisik mereka, hingga bagaimana keputusan kolektif
masyarakat dapat membentuk dan mengubah lanskap fisik dan social.

Belajar tentang ANT (Actor-network theory)

Reading for week 09-2

SET READING

Castree, N. (2003) ‘Environmental issues: relational ontologies and hybrid politics’ Progress
in Human Geography 27.2 203-211.

The author’s main argument: The author, Noel Castree, argues that we need a new political
theory of nature and environment that goes beyond the dualism of society and nature,
human and non-human. He reviews recent attempts in human geography and other fields to
develop relational ontologies and hybrid politics that can account for the agency and
effectivity of non-humans in a complex and chimeric world.
The author’s main sources: The author draws on the works of various postdualist theorists,
such as Bruno Latour, Donna Haraway, Sarah Whatmore, Matthew Gandy, and others, who
challenge the conventional assumptions and categories of modernity and propose new ways
of thinking and acting in a world of actor-networks, cyborgs, hybrids, and socio-natures.
The author’s main challenges: The author acknowledges the difficulties and limitations of
developing and operationalizing a non-dualist politics. He points out that most people still
think and act within the society-nature dualism, that geography remains a divided and
anthropocentric discipline, that non-dualist metaphors are hard to translate into substantive
political concepts, and that the recognition of the otherness and autonomy of non-humans
is problematic.
The author’s main contribution: The author contributes to the ongoing debates and
experiments in rethinking the nature of nature and the politics of environment. He calls for
geographers to move beyond suggestive metaphors and to flesh out what an amodern
politics of socio-natural hybridity is all about1. He hopes that such a politics can help us
address the major political perplexities that arise from the increasing hybridization of
humans and non-humans in the contemporary world.

Argumen utama penulis: Penulis, Noel Castree, berpendapat bahwa kita memerlukan teori
politik baru tentang alam dan lingkungan yang melampaui dualisme masyarakat dan alam,
manusia dan non-manusia. Dia meninjau upaya terbaru dalam geografi manusia dan bidang
lain untuk mengembangkan ontologi relasional dan politik hibrida yang dapat menjelaskan
keagenan dan efektivitas non-manusia di dunia yang kompleks dan tidak masuk akal.
Sumber utama penulis: Penulis mengacu pada karya berbagai ahli teori postdualis, seperti
Bruno Latour, Donna Haraway, Sarah Whatmore, Matthew Gandy, dan lain-lain, yang
menantang asumsi konvensional dan kategori modernitas serta mengusulkan cara berpikir
dan bertindak baru di dunia jaringan aktor, cyborg, hibrida, dan sifat sosial.
Tantangan utama penulis: Penulis mengakui kesulitan dan keterbatasan dalam
mengembangkan dan mengoperasionalkan politik non-dualis. Ia menunjukkan bahwa
sebagian besar orang masih berpikir dan bertindak dalam dualisme masyarakat-alam, bahwa
geografi masih merupakan disiplin ilmu yang terpecah dan antroposentris, bahwa metafora
non-dualis sulit diterjemahkan ke dalam konsep politik substantif, dan bahwa pengakuan
akan keberbedaan dan otonomi dari alam dan masyarakat. non-manusia itu bermasalah.
Kontribusi utama penulis: Penulis berkontribusi pada perdebatan dan eksperimen yang
sedang berlangsung dalam memikirkan kembali hakikat alam dan politik lingkungan. Ia
menyerukan kepada para ahli geografi untuk bergerak melampaui metafora sugestif dan
menyempurnakan apa yang dimaksud dengan politik hibriditas sosio-alam yang amodern1.
Ia berharap politik seperti ini dapat membantu kita mengatasi kebingungan politik besar
yang timbul akibat meningkatnya hibridisasi manusia dan non-manusia di dunia
kontemporer.
Hitchings, R. (2003) ‘People plants and performance: on actor network theory and the
material pleasures of the private garden’ Social and Cultural Geography 4.1 97-114

Actor network theory and gardening: The author uses actor network theory to explore how
people and plants interact in private gardens, and how this affects their conceptions of the
garden as a cultural or natural space. (emotional value, matching with surrounding
areas/things)
Geographical engagement with actor network thought: The author reviews how geographers
have used actor network ideas to study spatial and institutional aspects of society, and how
this has led to some criticisms of the approach.
People, plants and performance: The author presents his empirical findings from
interviewing eight gardeners in north London, and shows how they perform different
relationships with their plants, depending on their aesthetic and emotional preferences.
Reassessing actor network theory: The author argues that his study challenges some of the
presumed problems of actor network theory, such as its teleological and reductionist
tendencies, and suggests that it can be a productive way of attending to the shifting role of
materiality in place experiences.

Teori jaringan aktor dan berkebun: Penulis menggunakan teori jaringan aktor untuk
mengeksplorasi bagaimana manusia dan tanaman berinteraksi di taman pribadi, dan
bagaimana hal ini memengaruhi konsepsi mereka tentang taman sebagai ruang budaya atau
alam.
Keterlibatan geografis dengan pemikiran jaringan aktor: Penulis mengulas bagaimana ahli
geografi menggunakan ide jaringan aktor untuk mempelajari aspek spasial dan kelembagaan
masyarakat, dan bagaimana hal ini menimbulkan beberapa kritik terhadap pendekatan
tersebut.
Manusia, tanaman, dan kinerja: Penulis menyajikan temuan empirisnya dari wawancara
delapan tukang kebun di London utara, dan menunjukkan bagaimana mereka melakukan
hubungan yang berbeda dengan tanaman mereka, bergantung pada preferensi estetika dan
emosional mereka.
Menilai kembali teori jaringan aktor: Penulis berargumen bahwa studinya menantang
beberapa dugaan masalah teori jaringan aktor, seperti kecenderungan teleologis dan
reduksionis, dan menyarankan bahwa hal ini dapat menjadi cara yang produktif untuk
memperhatikan pergeseran peran materialitas dalam pengalaman di tempat.

Demeritt, D. (2005) ‘Hybrid Geographies, Relational Ontologies, and Situated Knowledges’


Antipode 37.4: 818-23

This part of the current page is a review symposium of Sarah Whatmore’s book Hybrid
Geographies. The reviewer, David Demeritt, discusses the main arguments and contributions
of the book, as well as some questions and challenges. Here are the key points:
Relational ontology: Whatmore proposes a new way of thinking about the world as
composed of hybrid networks of relations among heterogeneous actors, both human and
non-human. She challenges the binary oppositions and categories that have dominated
Enlightenment thought, such as nature and society, subject and object, mind and body.
Ethical-political project: Whatmore uses the notion of hybridity to raise ethical questions
about how to live together with a more diverse and fluid sense of morally significant others.
She explores how different ways of configuring wildlife, food, and waste affect the
spatialisation of ethics and the formation of ethical communities.
Topological perspective: Whatmore adopts a topological approach to examine the different
time-spaces of hybrid geographies. She shows how wildlife, food, and waste are not pre-
given entities, but relational and fluid achievements that emerge from the interactions of
various elements and practices.
Situated knowledge: Whatmore acknowledges the partiality and situatedness of her own
knowledge claims, and displays reflexivity and self-positioning throughout the book. She also
questions the distinction between fact and fiction, and the conventions of academic writing
and representation.

Bagian halaman ini adalah simposium ulasan buku Hybrid Geographies karya Sarah
Whatmore. Peninjau, David Demeritt, membahas argumen utama dan kontribusi buku ini,
serta beberapa pertanyaan dan tantangan. Berikut poin-poin pentingnya:

Ontologi relasional: Whatmore mengusulkan cara berpikir baru tentang dunia yang terdiri
dari jaringan hubungan hibrid di antara aktor-aktor heterogen, baik manusia maupun non-
manusia. Dia menantang oposisi biner dan kategori yang mendominasi pemikiran
Pencerahan, seperti alam dan masyarakat, subjek dan objek, pikiran dan tubuh.
Proyek etis-politik: Whatmore menggunakan gagasan hibriditas untuk mengajukan
pertanyaan etis tentang bagaimana hidup bersama dengan perasaan orang lain yang penting
secara moral lebih beragam dan cair. Dia mengeksplorasi bagaimana berbagai cara
mengkonfigurasi satwa liar, makanan, dan limbah mempengaruhi spasialisasi etika dan
pembentukan komunitas etis.
Perspektif topologi: Whatmore mengadopsi pendekatan topologi untuk memeriksa ruang-
waktu yang berbeda dalam geografi hibrid. Ia menunjukkan bagaimana satwa liar, pangan,
dan limbah bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan sebelumnya, namun merupakan
pencapaian yang bersifat relasional dan cair yang muncul dari interaksi berbagai elemen dan
praktik.
Pengetahuan yang terletak: Whatmore mengakui keberpihakan dan posisi klaim
pengetahuannya sendiri, dan menampilkan refleksivitas dan posisi diri di seluruh buku. Dia
juga mempertanyakan perbedaan antara fakta dan fiksi, serta konvensi penulisan dan
representasi akademis.
Note:
"Hibrida Geografi" atau "Hybrid Geographies" merujuk pada pendekatan geografi yang
menggabungkan elemen-elemen dari berbagai tradisi atau paradigma geografi. Konsep ini
menekankan integrasi dan penyatuan berbagai pendekatan dan perspektif dalam
memahami fenomena geografis.
Pendekatan ini mengakui kompleksitas dunia nyata yang sulit dijelaskan atau dipahami
melalui satu kerangka konseptual atau metode penelitian tunggal. Sebaliknya, hybrid
geographies mengusulkan bahwa fenomena geografis, seperti ruang, tempat, dan identitas,
dapat lebih baik dipahami melalui penggabungan dan sintesis berbagai pendekatan.
Contoh pendekatan yang bisa diintegrasikan dalam hybrid geographies melibatkan tradisi-
tradisi geografi seperti:
 Pendekatan Kritis (Critical Approaches): Melibatkan kajian terhadap kekuasaan,
ketidaksetaraan, dan konflik dalam ruang.
 Pendekatan Humanistik (Humanistic Approaches): Berfokus pada pengalaman
manusia, persepsi, dan hubungan sosial dengan lingkungan mereka.
 Pendekatan Fenomenologi (Phenomenological Approaches): Mengutamakan
pemahaman pengalaman dan makna subjektif ruang dan tempat.
 Pendekatan Struktural (Structural Approaches): Memerhatikan struktur sosial dan
ekonomi yang membentuk pola-pola spasial.
 Pendekatan Postkolonial (Postcolonial Approaches): Mempertimbangkan dampak
sejarah kolonialisme pada ruang dan identitas.
 Pendekatan Feminis (Feminist Approaches): Memerhatikan peran gender dalam
pembentukan ruang dan geografi.

Dengan menggabungkan elemen-elemen dari pendekatan ini, hybrid geographies berusaha


untuk menciptakan pemahaman yang lebih holistik dan kompleks terhadap fenomena
geografis. Pendekatan ini menekankan bahwa realitas geografis tidak terbatas pada satu cara
pandang tertentu dan membutuhkan pendekatan yang inklusif dan serba guna.

Murdoch, J (1998) ‘The spaces of actor-network theory’ Geoforum 29 357-374

The main argument of the paper: The author explores how actor-network theory (ANT) can
contribute to a new kind of geographical analysis that focuses on the spaces and topologies
that emerge from heterogeneous networks of relations. The author identifies two main
types of spaces in ANT: spaces of prescription and spaces of negotiation, and discusses their
implications for spatial analysis and ANT itself.
The concept of network spaces: The author draws on the work of Serres, Latour, Law and
others to show how networks are composed of diverse materials that fold and pleat space-
time into complex configurations. Networks are also actors that can prescribe or negotiate
the roles and behaviours of their elements. The author argues that space is not fixed or
absolute, but relational and emergent from network processes.
The spaces of prescription and negotiation: The author defines spaces of prescription as
those where network elements are aligned and stabilised by formalised and standardised
modes of ordering, such as classifications, rules and norms. Spaces of negotiation are those
where network elements are provisional and divergent, and where local practices and
resistances are more prominent. The author suggests that these spaces are not mutually
exclusive, but can co-exist and flow into each other within networks.
The analytical usefulness of the distinction: The author claims that the distinction between
spaces of prescription and negotiation can help to analyse the spatial complexities of ANT, as
well as to question some of its central tenets, such as heterogeneity and symmetry. The
author also argues that the distinction can address some of the criticisms of ANT, such as its
neglect of ambivalence, fluidity and marginality in network spaces.

Argumen utama makalah ini: Penulis mengeksplorasi bagaimana teori aktor-jaringan (ANT)
dapat berkontribusi pada analisis geografis jenis baru yang berfokus pada ruang dan topologi
yang muncul dari jaringan hubungan yang heterogen. Penulis mengidentifikasi dua jenis
ruang utama di ANT: ruang resep dan ruang negosiasi, serta membahas implikasinya
terhadap analisis spasial dan ANT itu sendiri.
Konsep ruang jaringan: Penulis mengacu pada karya Serres, Latour, Law, dan lainnya untuk
menunjukkan bagaimana jaringan terdiri dari beragam bahan yang melipat dan melipat
ruang-waktu menjadi konfigurasi yang kompleks. Jaringan juga merupakan aktor yang dapat
menentukan atau menegosiasikan peran dan perilaku elemen-elemennya. Penulis
berargumentasi bahwa ruang tidak bersifat tetap atau absolut, namun bersifat relasional dan
muncul dari proses jaringan.
Ruang resep dan negosiasi: Penulis mendefinisikan ruang resep sebagai ruang di mana
elemen jaringan diselaraskan dan distabilkan melalui cara tatanan yang diformalkan dan
distandarisasi, seperti klasifikasi, aturan, dan norma. Ruang negosiasi adalah ruang di mana
elemen-elemen jaringan bersifat sementara dan berbeda, serta di mana praktik dan
penolakan lokal lebih menonjol. Penulis berpendapat bahwa ruang-ruang ini tidak eksklusif
satu sama lain, namun dapat hidup berdampingan dan mengalir ke satu sama lain dalam
jaringan.
Kegunaan analitis dari pembedaan ini: Penulis mengklaim bahwa pembedaan antara ruang
resep dan negosiasi dapat membantu menganalisis kompleksitas spasial ANT, serta
mempertanyakan beberapa prinsip utamanya, seperti heterogenitas dan simetri. Penulis
juga berpendapat bahwa pembedaan ini dapat mengatasi beberapa kritik terhadap ANT,
seperti pengabaiannya terhadap ambivalensi, fluiditas, dan marginalitas dalam ruang
jaringan.
BACKGROUND READING:

Demeritt, D. (1994) ‘The Nature of Metaphors in Cultural Geography and Environmental


History’, Progress in Human Geography 18 (3): 163-85

*Latour, B. (1993) We Have Never Been Modern, Harvester Wheatsheaf, London

Latour, B. (1995) Reassembling the Social: an Introduction to Actor-Network Theory OUP,


Oxford

Latour, B. (2004) Politics of Nature: How to Bring the Sciences into Democracy, Harvard
University Press, Harvard

Murdoch, J. (1998) Towards a geography of heterogeneous associations Progress in Human


Geography 21, 321-337

Murdoch, J. and Clark, J. (1994) ‘Sustainable knowledge’ Geoforum 25.2 115-132

FURTHER READING
Some examples regarding the active role of technologies

Bingham N, (1996) 'Object-ions: from technological determinism towards geographies of


relations', Environment and Planning D: Society and Space, 14.6 635-657

Bijker, W. and Law, J. (1992) Shaping Technology, Building Society: Studies in Sociotechnical
Change., MIT Press, Cambridge, Mass.

Latour, B. (1996) Aramis or the Love of Technology, London: Harvard University Press

*Michael, M. (2000) Reconnecting Culture, Technology and Nature: From Society to


Heterogeneity. London: Routledge.

Michael, M. (2004) Roadkill: Between Humans, Nonhuman Animals, and Technologies.


Society and Animals 12.4 277-298

*Shove, E and Southerton, D. (2000) ‘Defrosting the freezer – from novelty to convenience –
a narrative of normalisation’ Journal of Material Culture 53 301-319

On the active role of other nonhuman creatures

Bingham, N. (2006) ‘Bees, butterflies, and bacteria: biotechnology and the politics of
nonhuman friendship’ Environment and Planning A 38 483-498
Davies, G. (2000) ‘Narrating the natural history unit: institutional orderings and spatial
strategies’ Geoforum 31.4. 539-551.

*Hinchliffe, S., and Whatmore, S. (2006) ‘Living Cities: Towards a Politics of Conviviality’
Science as Culture, vol.15, No.2, pp.123-138.

Hitchings, R. (2003) ‘People plants and performance: on actor network theory and the
material pleasures of the private garden’ Social and Cultural Geography 4.1 97-114

Whatmore, S. and Thorne, L. (1998) ‘Wild(er)ness: reconfiguring the geographies of wildlife’


Transactions of the Institute of British Geographers, 23 435-454

Whatmore, S. and Thorne, L. (2000) ‘Elephants on the move: spatial formations of wildlife
exchange’ Environment and Planning D 18 185-203.

You might also like