You are on page 1of 16

ADLIYA: Jurnal Hukum dan Kemanusiaan – ISSN: xxxx-xxxx (p), xxxx-xxxx (e)

Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS AHLI WARIS


ANAK DI LUAR PERKAWINAN HUBUNGANNYA DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

Gun Gun Gunawan


UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
* Correspondence: gun.gsb22@gmail.com

Received: date; Accepted: date; Published: date

Abstract
This research was motivated by the impact of the implementation of
Palsall 43 (alyalt 1) UU. No. 1 Talhun 1974 concerning Marriage. The
regulation recognizes the legal status of marriage outside of a registered
marriage which is regulated in the provisions of Article 43 of the Law. No. 1
December 1974, so far this is not sufficient in providing legal protection and
tends to be discriminatory. So the Malhkalmalh Constitution (MK) Decision
No. 46/PUU-VIII/2010 regarding the Examination of Palsall 43 paragraph
(1) of the Marriage Law was issued. The Constitutional Court ruled that a
child born outside of marriage has a legal relationship with a biological
partner, and a child born outside of marriage has a legal relationship with the
mother's family. In addition, the consequences of not having legal
relationships within legal relationships and having sexual relationships
outside of marriage are recorded as not being legal due to biological reasons.
The aim of this research is to find out the legal status of alhli walris
balgi alnalk who were born outside of marriage in Constitutional Court
Decision No.46/PUU-VIII/2010, the judge's legal considerations regarding
Constitutional Court Decision No.46/PUU-VIII/2010, and the legal staltus of
alhli walris balgi alnalk who born outside of marriage according to Islamic
law.
This research uses a descriptive analysis method with a Normative
Juridical Approach. This research was obtained from secondary data in the
form of documents, notes, literature books, articles and journals, materials
and other sources related to the inheritance status of children outside of
marriage recorded to describe existing problems. The framework for thinking
in this research begins with Article 43 paragraph 1 of the Marriage Law and
Constitutional Court Decision No. 46/PUU-VII/2010 which regulates the civil
relations of children outside of registered marriage with their biological
father.
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Based on the research results, namely: first, in the Constitutional


Court Decision No.46/PUU-VIII/2010, children outside of marriage were
recorded as resulting in the child receiving inheritance rights from his
biological father if it can be proven by science that the child is related by blood
to his biological father. Second, the judge's legal consideration regarding the
Constitutional Court Decision No.46/PUU-VIII/2010 in adjudicating article
43 paragraph 1 of the Marriage Law is that the judge considers that not
registering a marriage in the state's administrative records does not
necessarily make the marriage an invalid marriage. . Third, regarding
inheritance rights according to Islamic law, it is stipulated that an illegitimate
child can obtain a mandatory will from his biological father. This is in
accordance with the fatwa issued by the Indonesian Ulema Council after the
Constitutional Court decision No.46/PUU-VIII/2010 was issued.

Keywords : Heirs, Extramarital Affairs, Constitutional Court Decisions,


Islamic Law

Abstrak
Penelitian ini dilatar belakangi adanya akibalt peneralpaln palsall 43
(alyalt 1) UU. No. 1 Talhun 1974 tentalng Perkalwinaln. Pengalturaln
mengenali kedudukaln alnalk diluar perkawinan tercatat yalng dialtur dallalm
ketentualn Palsall 43 UU. No. 1 Talhun 1974 selalmal ini tidalk cukup
memaldali dallalm memberikaln perlindungaln hukum daln cenderung
diskriminaltifl. Sehingga keluar Putusan Malhkalmalh Konstitusi (MK) No
46/PUU-VIII/2010 tentalng Pengujialn Palsall 43 alyalt (1) UU Perkalwinaln.
Mahkamah Konstitusi menyaltalkaln, alnalk yalng lalhir di lualr perkalwinaln
mempunyali hubungaln hukum dengaln alyalh biologis, talk lalgi halnyal
kepaldal ibu daln kelualrgal ibu. Selalin itu, konsekuensi dalri tidalk aldalnyal
hubungaln alntalral alyalh daln alnalk secalral hukum jugal beralkibalt alnalk
di lualr perkawinan tercatat tidalk mendalpalt walrisaln dalri alyalh
biologisnyal.
Tujuan Penelitian ini untuk mengetalhui staltus alhli walris balgi
alnalk yalng lalhir dilualr perkalwinan dallalm Putusaln MK No.46/ PUU-
VIII/2010, pertimbangan hukum hakim terhadap Putusan MK No.46/PUU-
VIII/2010, dan staltus alhli walris balgi alnalk yalng lalhir di lualr
perkalwinaln menurut hukum Islalm.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan
Pendekatan Yuridis Normatif. Penelitian ini diperoleh dari data sekunder

2
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

berupa dokumen, catatan, buku kepustakaan, artikel dan jurnal, materi dan
sumber lain yang berkaitan dengan status kewarisan anak diluar perkawinan
tercatat untuk mendeskripsikan masalah yang ada. Kerangka berpikir dalam
penelitian ini berawal dari Pasal 43 ayat 1 Undangundang Perkawinan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010 yang mengatur tentang
hubungan keperdataan anak diluar perkawinan tercatat dengan ayah
biologisnya.
Berdasarkan Hasil penelitian yaitu: pertama, Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 anak diluar perkawinan tercatat
mengakibatkan anak mendapatkan hak waris dari ayah biologisnya jika dapat
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan bahwa anak tersebut memiliki hubungan
darah dengan ayah biologisnya. Kedua, pertimbangan hukum hakim terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dalam mengadili pasal
43 ayat 1 Undang-undang perkawinan adalah hakim mempertimbangkan
bahwa tidak dicatatkannya suatu perkawinan dalam catatan adinistratif negara
tidak lantas menjadikan perkawinan tersebut sebagai perkawinan yang tidak
sah. Ketiga, mengenai hak waris menurut Hukum Islam memberikan
ketentuan bahwa seorang anak luar kawin dapat memperoleh wasiat wajibah
dari ayah biologisnya. Hal tersebut sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan
Majelis Ulama Indonesia setelah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010.

Kata Kunci : Ahli Waris, Luar Perkawinan, Putusan MK, Hukum Islam

Pendahuluan
Manusia adalah mahkluk sosial yang saling membutuhkan antar
sesamanya, salah satu bentuk dari keadaan saling membutuhkan tersebut
adalah dengan harus adanya dua jenis manusia yakni laki-laki dan perempuan
untuk mempertahankan perputaran roda kehidupan. Untuk Memperoleh
keturunan, seseorang harus bisa menjalin hubungannya dengan lawan
jenisnya, hubungan tersebut harus diikat dengan ikatan yang suci (perkwinan)
demi menjamin hak dan juga kewajiban antara laki-laki dan perempuan yang
ingin membangun sebuah keluarga. Tujuan dari perkawinan ini telah jelas
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan
bahwa "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita

3
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".1
Secara syariat, nikah yang tidak dicatatkan dipandang sah selama
terpenuhi rukun daln syaratnya. Nikah siri pada hakikatnya sama dengan
pernikahan pada umumnya. Halnya, pernikahan tersebut tidak tercatat di
Kantor Urusan Agama (KUAl), Maljelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
fatwanya bulan Mei 2006 secara tegas menyatakan nikah tersebut sah secara
hukum agama Demikian pula anak dari pernikahan tersebut, Jika pernikahan
tersebut sah dalam syariat, anak dari pernikahan tersebut harusnya juga sah
permasalahannya keabsahan tersebut belum diakui secaral undang- undang
Seorang anak yang sah menurut undang -undang adalah anak hasil dari
perkawinan yang sah tercatat dalam dokumen negara.
Tanpa adanya pencatatan perkawinan kedua orang tuanya yang
melakukan pernikahan sirri tentu ini akan berimplikasi anak tidak
mendapatkan “hak waris” hal ini sangat merugikan hak anak. Dalam kasus
perkawinan tidak tercatat, anak tidaklah layak menyandang status bersalah,
baik secara hukum negara maupun norma agama, karena kelahirannya di luar
kehendaknya sendiri. Hal demikian, akibat penerapan pasal 43 (ayat 1) UU.
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan mengenai kedudukan anak
luar nikah yang diatur dalam ketentuan Pasal 43 UU. No. 1 Tahun 1974 selama
ini tidak cukup memadai dalam memberikan perlindungan hukum dan
cenderung diskriminatif, status anak di luar nikah atau anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah hanya memiliki hubungan keperdataan dengan
ibunya dan keluarga ibunya tanpa adanya tanggung jawab dari ayah
biologisnya. Sehingga pada kenyataannya seorang anak harus ikut
menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan kedua orang tuanya.2
Permalsallalhaln ini baru menjadi terang ketika dikoreksi Mahkamah
Konstitusi (MK) melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-

1 Andi Robiansah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi


(MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Anak” (Skirpsi, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta) 2019

2
Syafran Sofyan, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010: Tentang
Status Anak Luar Kawin”

4
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. MK


menyatakan, anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan hukum
dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Selain itu,
konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum
juga berakibat anak di luar nikah tidak mendapat warisan dari ayah
biologisnya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 43 ayat 1 dengan review
pasal tersebut menjadi. "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/altau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluargal ayahnyal."
Dari uraian permasalahan tersebut penulis tertarik untuk
membahasnyal lebih dalam bagaimana status ahli waris anak dalam
perkawinan tidak tercatat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 46/PUUVIII/2010 dan Menurut Hukum Islam dallalm
bentuk skripsi yalng berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Status Ahli
Waris Anak Di Luar Perkawinan Hubungannya dengan Putusaln Malhkalmalh
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”.

Metodologi
Metode Penelitialn yalng digunalkaln dallalm penelitialn ini yalitu
Deskriptif Analisis yaitu suatu penelitian yang memaparkan, menggambarkan,
mengklasifikasi secara objektif dari data – data yang dikaji kemudian
menganalisisnya maka data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah secara
kualitatif karena penelitian ini memberikan gambaran tentang situasi dan
kejadian secara faktual dan sistematis.3 Memberikan Penjelasan mengenai
ststus ahli waris anak diluar perkawinan tidak tercatat yang terdapat pada
hukum Islam, Hukum Positif, dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian
hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma yang
di maksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan, perjanjian serta doktrin (ajaran).4 Metode ini dianggap

3 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi ; Metodologi Penelitian, Cet.VI (Jakarta : PT.
Bumi Aksara, 2005), h. 44
4
Johny Ibrahim, Teori dan metode Penelitian Hukum Normatif (Malang, Bayu media

5
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

lebih tepat digunakan untuk mengkaji dan menganalisis ketentuan ketentuan


perundang-undangan dan hukum Islam mengenai status ahli waris anak di luar
perkawinan tercatat.

Hasil dan Pembahasan


A. Pengertian Anak di Luar Perkawinan
Dalam Hukum Positif, keturunan yang tidak sah adalah keturunan yang
tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah, anak nya disebut anak
luar kawin. Riduan Syahrani dalam bukunya “Seluk Beluk dan Asasasas
Hukum Perdata” menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah adalah bukan anak yang sah , sehingga membawa
konsekuensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.5.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 100: “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 (1): “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya. ”Burgerlijk wetboek (BW) Pasal251: “sahnya
anak yang dilahirkan sebelum hari ke 180 dari perkawinan, dapat diingkari
oleh suami”. Pasal 255 BW: “anak yang dilahirkan 300 hari setelah bubarnya
perkawinan adalah tidak sah”.
Dari definisi anak sah di atas dapat disimpulkan bahwa anak diluar nikah
adalah:
1) Anak yang dilahirkan bukan sebagai akibat dari perkawinan yang sah,
2) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah yaitu anak hasil
perzinaan.
3) Anak yang masa kehamilannya kurang dari enam bulan, yaitu jarak
antara kelahiran anak dengan perkawinan orang tuanya kurang dari
enam bulan.

Publishing) 2007 hlm 76


5 H Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, EdisiRevisi;
(Jakarta:Alumni,2013), h.32

6
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Doktrin mengelompokkan anak tidak sah dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu


anak luar kawin, anak zina, dan anak sumbang, sesuai dengan penyebutan
yang diberikan oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 272 jo 283
KUHPerdata (tentang anak zina dan sumbang). Anak luar kawin yang berhak
mewaris adalah sesuai dengan pengaturannya dalam Pasal 280 KUHPerdata.
Hal ini pun juga telah digolongkan, bahwa anak yang termasuk di luar
nikah menurut Chatib Rasyid adalah sebagai berikut:
1. Anak yang dilahirkan dari perempuan yang tidak dalam hubungan
pernikahan yang sah dengan laki-laki yang sudah menghamilinya.
2. Anak yang dilahirkan dari perempuan yang telah menjadi korban tindak
pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang laki-laki maupun lebih.
3. Anak yang dilahirkan dari perempuan yang dili’an (diingkari) suaminya.
4. Anak yang dilahirkan dari perempuan, di mana kehamilannya tersebut
karena sudah salah orang. Disangkanya suaminya tapi ternyata bukan.
5. Anak yang dilahirkan dari perempuan, di mana kehamilannya tersebut
karena suatu pernikahan yang tidak diperbolehkan dalam Islam atau
hukumnya haram. Misalnya saja nikah dengan saudara kandung atau
saudara yang sepersusuan.6

Pembagian seperti tersebut dilakukan, karena undang-undang sendiri,


berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada, memang memberikan akibat
hukum lain-lain (sendirisendiri) atas status anak-anak seperti tersebut di atas.
Sekalipun anak zina dan anak sumbang sebenarnya juga merupakan anak luar
kawin dalam arti bukan anak sah, tetapi kalau dibandingkan dengan Pasal 280
dengan Pasal 283 KUHPerdata, dapat diketahui anak luar kawin menurut
Pasal 280 dengan anak zina dan anak sumbang yang dimaksud dalam Pasal
283 adalah berbeda.7
Demikian pula berdasarkan ketentuan Pasal 283, dihubungkan dengan
Pasal 273 KUHPerdata, bahwa anak zina berbeda dengan anak sumbang

6 Aris Nurullah, Hak Waris Anak Diluar Kawin Dalam Islam, (Sunan Giri : Jurnal
Kajian Keislaman Vol.9, No. 1, 2020)
7 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 50

7
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

dalam akibat hukumnya. Terhadap anak sumbang, undang-undang dalarn


keadaan tertentu memberikan perkecualian, dalam arti, kepada mereka yang
dengan dispensasi diberikan kesempatan untuk saling menikahi (Pasal 30 ayat
(2) KUHPerdata) dapat mengakui dan mengesahkan anak sumbang mereka
menjadi anak sah (Pasal 273 KUHPerdata). Perkecualian seperti ini tidak
diberikan untuk anak zina.8

Perbedaan antara anak luar kawin dan anak zina terletak pada saat
pembuahan atau hubungan badan yang menimbulkan kehamilan, yaitu apakah
pada saat itu salah satu atau kedua-duanya (maksudnya laki-laki dan
perempuan yang mengadakan hubungan badan di luar nikah) ada dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain atau tidak, sedangkan mengenai kapan anak itu
lahir tidak relevan. Anak zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan
luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di mana salah satu
atau kedua-duanya, terikat perkawinan dengan orang lain. Adapun anak
sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan, yang antara keduanya berdasarkan ketentuan
undang-undang ada larangan untuk saling menikahi (Pasal 31 KUHPerdata).9
Dengan demikian anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang
dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain
dan tidak ada larangan untuk saling menikahi, anak-anak yang demikianlah
yang bisa diakui secara sah oleh ayahnya (Pasal 280 KUHPerdata). Hubungan
antara ibu dan anak terjadi dengan sendirinya karena kelahiran, kecuali apabila
anak itu "overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah). Antara ayah dan anak
hanya terjadi hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).

8 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 49


9 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 6

8
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

B. Pengertian Anak dalam Perkawinan Siri.


Adalah Anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, namun tidak
dicatatkan di pejabat yang berwenang. Pasal 2 UUP (1) Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada dasamya anak nikah sini adalah sah karena lahir dalam
perkawinan yang sah secara agama (syarat dan rukun pernikahan
terpenuhi). Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu."10

C. Hak Kewarisan bagi anak diluar perkawinan tidak tercatat di


Indonesia
Dalam praktek, pengakuan terhadap anak diluar kawin dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Pengakuan Sukarela adalah pengakuan yang dilakukan antara ibu dan
ayah dari anak diluar kawin dengan cara membuatnya secara tertulis
dalam bentuk akta autentik.
2. Pengakuan Paksaan adalah pengakuan yang dilakukan melalui jalur
pengadilan. Artinya, ibu dari anak diluar kawin atau anak diluar kawin
tersbeut meminta pengadilan agar diputus memiliki adanya hubungan
keperdataan atau hubungan waris tidak hanya dengan ibu yang
melahirkannya namun juga dengan ayahnya.

10
Masjfuk Zundi, Nikah Sirri, Nikah DiBawah tangan dan Status Anaknya Menurut hukum
Islam dan Hukum Positif, (Journal,2010), h.11

9
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Untuk pembagian hak waris, maka dapat melihat sesuai aturan


KUHPerdata sebagai berikut :
1. Anak diluar kawin mendapatkan warisan 1/3 (sepertiga) bagian apabila
pewaris meninggal dunia meninggalkan keturuan yang sah menurut
undang-undang seperti anak-anak yang sah atau suami/isteri. (Lihat Pasal
863 KUHPerdata).
2. Anak diluar kawin mendapatkan warisan 1/2 (seperdua) bagian apabila
pewaris tidak meninggalkan keturuan anak yang sah serta suami/isteri,
namun pewaris meninggalkan keluarga sedarah dalam garis keturuan
keatas atau saudara laki-laki dan perempuan. (Lihat Pasal 863
KUHPerdata).
3. Anak diluar kawin mendapatkan warisan 3/4 (tigaperempat) bagian
apabila pewaris hanya meninggalkan keluarga sedarah dalam derajat lebih
jauh. (Lihat Pasal 863 KUHPerdata).
4. Bagian anak diluar kawina yang diakui wajib diberikan terlebih dahulu,
kemudian sisanya dibagikan untuk diberikan kepada para ahli waris yang
sah. (Pasal 864 KUHPerdata).
5. Anak di luar kawin mewarisi seluruh harta warisan apabila pewaris tidak
meninggalkan ahli waris yang sah menurut undang-undang. (Pasal 865
KUHPerdata).
6. Anak-anak yang sah dari anak diluar kawin menjadi pewaris apabila anak
diluar kawin apabila meninggal terlebih dahulu. (Pasal 866 KUHPerdata).

D. Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Putusan MK No. 46/PUU-


VIII/2010

Dalam memutus sebuah perkara, hakim tentunya memiliki


pertimbangan hukum tersendiri dalam memutus sebuah perkara baik yang

10
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

berdasarkan gugatan maupun permohonan. Dalam putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 hakim hanya mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian, yaitu hanya mengabulkan uji materil pasal 43 ayat
1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan menolak
permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.
Sebelum memutus permohonan uji materil, tentunya hakim harus
mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para pemohon apakah patut
atau tidaknya permohonan para pemohon untuk melakukan permohonan
mengenai uji materil Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Para pemohon harus membuktikan terlebih dahulu
apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji.
Dalam permohonannya, pemohon dalam dalil permohonannya telah
menyatakan bahwa berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat
(1) Undang-undang Perkawinan telah menghalang-halangi pelaksanaan hak
konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, hak anak dalam perkawinan, dan kepastian
hukum atas status perkawinannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat
(1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 telah dirugikan11
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam mengadili
permohonan para pemohon adalah karena salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang

11 Aris Agus, Abdul qahar, Kedudukan Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Di
Bawah Tangan Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Journal of Lex Generalis, vol 2 no 2, 2023.

11
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

terhadap Undangundang Dasar. Hal tersebut adalah berdasarkan Pasal 24C


ayat (1) Undangundang Dasar 1945 dn Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-
undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
serta Pasal 29 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman Uji materil dapat diajukan apabila pemohon
merasa hak dan wewenang Konstitusionalnya sirugikan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan harus memenuhi 5 syarat sebagai berikut:
1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon
dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;
3. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi;
4. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusionalnya seperti yang didalikan tidak akan atau tidak lagi
terjadi;12
Dari poin-poin tersebut diatas, hakim memiliki pertimbangan bahwa
pemohon memenuhi semua poin tersebut. Hakim memperhatikan akibat yang
dialami oleh pemohon dan hal tersebut dikaitkan dengan hak konstitusional

12 Aryanto, A. D. Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah Di Indonesia. Bilancia:


Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum, 10(1), 2016

12
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

para pemohon, dan dalam hal tersebut terdapat hubungan akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-undang yang
dimohonkan pengujian, sehingga para Pemohon memenuhi syarat kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan tersebut.
Melihat dari pertimbangan Hakim MK dan berbagai fakta yang
berkembang, benar adanya jika suatu putusan diputuskan atas rasa keadilan
bersama dan para Hakim MK sudah melakukan sesuai yang seharusnya agar
nantinya bisa senafas dan sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam pasal
28B ayat (2) UUD 1945 bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.” Karena tidak adil jika pertanggungjawaban secara perdata
untuk menjamin kelangsungan hidup anak hanya dibebankan kepada ibu dan
keluarga ibunya akibat dari adanya pernikahan dibawah tangan atas
keterlibatan seorang laki-laki didalamnya. Atas pertimbangan hakim yang
mengacu kepada unsur keadilan adalah suatu hal yang seharusnya terjadi dan
diberlakukan diseluruh lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Karena
dengan keadilan yang memberi payung kepada semuanya menjadikan
lembaga itu sudah berfungsi sebagaimana mestinya dan hakim yang
menjalankan telah sesuai ketentuan yang berlaku. Akan tetapi berbeda dengan
pemahaman mengenai putusan yang sudah di keluarkan tersebut adalah
mengenai makna hukum terhadap frasa “yang lahir di luar perkawinan” karena
disini akan muncul berbagai pendapat yang bisa berakibat buruk terhadap
putusan tersebut. Karena makna di luar perkawinan adalah luas sehingga perlu
adanya batasan mengenai itu, sehingga yang menjadi tujuan oleh MK bisa
terlaksana dengan baik.13

13 D.Y. Witanto, S. H., Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Di Luar
Perkawinan), Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012, h. 58.

13
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Kehendak MK waktu itu adalah sudah seharusnya karena dalam hal ini
anak tidak bisa dijadikan sebagai korban akibat perbuatan orang yang
mengakibatkannya ada sehingga jaminan kesejahteraannya berkurang. Anak
yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa sudah saatnya terjamin
kelangsungan hidupnya. Akan tetapi jika selama putusan itu bermaksud lain
(meredusir norma agama) yang sudah berjalan stabil tapi dengan adanya
putusan tersebut menjadi labil, maka perlu adanya peninjauan kembali
terhadap putusan MK tersebut (No. 46/PUU-VIII/2010).

Kesimpulan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengakibatkan banyak
perubahan hukum yaitu: mengubah hubungan darah antara sang anak dengan
ayah biologisnya yang awalnya bersifat biasa menjadi hubungan hukum
berupa hubungan hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya.
Pengakuan hukum sang ayah dengan anaknya awalnya tidak ada, setelah
keluar putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 menjadi tanggung jawab
menurut hukum atas ayah terhadap anak yang lahir diluar perkawinan. Putusan
MK mempunyai keterlibatan hukum terhadap anak di luar nikah yaitu sang
anak akan mendapatkan haknya dengan mendapatkan hubungan perdata
dengan ayahnya yang akan menyebabkan pada pencantuman di akta kelahiran,
dan sang anak akan mendapatkan harta waris dari ayahnya sehingga tidak ada
perbedaan antara anak sah dengan anak luar nikah. Putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 anak diluar perkawinan tercatat mengakibatkan sang anak
mendapatkan warisan dari orang tuanya (ayah biologisnya) jika dapat
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan atau lainnya bahwa anak tersebut
memiliki hubungan darah dengan ayah biologisnya.
Pertimbangan hukum hakim dalam mengeluarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 diantaranya adalah bahwa hakim dalam
mengadili permohonan uji materil ketentuan pasal 2 ayat (2) Undangundang
Nomor 1 tahun 1974 mempertimbangkan bahwa tidak dicatatkannya suatu
perkawinan dalam catatan adinistratif negara tidak lantas menjadikan
perkawinan tersebut sebagai perkawinan yang tidak sah. Permasalahannya
adalah masalah yang timbul dari tidak dicatatkannya perkawinan tersebut.

14
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Sedangkan dalam mengadili permohonan untuk uji materil Pasal 43 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, hakim Mahkamah Konstitusi
menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang
dilahirkan diluar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
dari frasa “yang dilahirkan diluar perkawinan”. Dan pertimbangan hakim
adalah bahwa pasal 43 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyatakan bahwa “Anak yang dilahirkan di laur perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional), yakni unkonstitusional
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat
bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya.
Dalam hukum kewarisan, status anak yang dilahirkan melalui
perkawinan sirri menurut Hukum Islam tidak dapat dilaksanakan melalui
warisan karena anak tersebut lahir diluar perkawinan yang sah. Status anak di
luar kawin (sirri), disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh
karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: a) Tidak ada
hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak
itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul
hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. b) Tidak ada saling mewaris
dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab
kewarisan. c) Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila
anak di luar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu
akan menikah.

15
ADLIYA : Jurnal Hukum dan Kemanusiaan
Vol. x, no. x (xxxx), pp. x-xx, doi: xxx-xxx-xxx

Daftar Pustaka

Andi Robiansah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah


Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Anak”
(Skirpsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) 2019
Aris Agus, Abdul qahar, Kedudukan Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan
Di Bawah Tangan Berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Journal of Lex Generalis, vol 2 no 2,
2023.
Aris Nurullah, Hak Waris Anak Diluar Kawin Dalam Islam, (Sunan Giri :
Jurnal Kajian Keislaman Vol.9, No. 1, 2020)
Aryanto, A. D. Perlindungan Hukum Anak Luar Nikah Di Indonesia. Bilancia:
Jurnal Studi Ilmu Syariah dan Hukum, 10(1), 2016
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi ; Metodologi Penelitian, Cet.VI (Jakarta :
PT. Bumi Aksara, 2005).
D.Y. Witanto, S. H., Hukum Keluarga (Hak dan Kedudukan Anak Di Luar
Perkawinan), Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.
H Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, EdisiRevisi;
(Jakarta:Alumni,2013).
Johny Ibrahim, Teori dan metode Penelitian Hukum Normatif (Malang, Bayu
media Publishing) 2007.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Masjfuk Zundi, Nikah Sirri, Nikah DiBawah tangan dan Status Anaknya
Menurut hukum Islam dan Hukum Positif, (Journal,2010).
Syafran Sofyan, “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010:
Tentang Status Anak Luar Kawin”

© 2023 by the authors. Submitted for possible open


access publication under the terms and conditions of
the Creative Commons Attribution (CC BY SA)
license (https://creativecommons.org/licenses/by-
sa/3.0/).

16

You might also like