“SASTRA kita sastra indo!” Tiba-tiba ia telah berada di
depanku. Matanya yang suntuk itu memerah. Roman mukanya serius. Kami bersitatap sejenak. Terus terang aku kaget dan gugup. Aku sedang duduk-duduk di taman kota di sebuah tembok rendah yang mengelilinginya, menghadap jalan raya. Sebenarnya aku bukan sedang merenung ramainya kendaraan senja hari. Pikiranku lebih sibuk bercakap-cakap tentang peringatan hari kemerdekaan yang jatuh dua hari lagi. Mau tak mau aku terpengaruh juga oleh semaraknya umbul- umbul, bendera merah putih, dan banner-banner berisi slogan-slogan bernada semangat patriotisme yang memenuhi hampir setiap ruang dan sudut kota. Apakah setelah setengah abad lebih kita merdeka masih juga memerlukan slogan- slogan yang berlebihan? Semua itu belum lagi kurangkum sebagai sebuah kesimpulan ketika kemudian ia datang dan mengagetkanku dengan pernyataannya yang menambah bingung itu. “Bagaimana?” Ia lebih dulu tersadar dari keadaan serba salah itu. Ia jeling mukaku. Keningnya berkerut. Aku masih agak gugup ketika menggagapi saku kemeja dan saku celana mencari rokok, dan ternyata tak ada. Kutemukan sebungkus rokok itu beserta pemantiknya di samping tempatku duduk ketika tanganku geragapan menawarinya untuk duduk. “Duduk dulu, kita bisa lebih enak berbicara. Rokok?” kutawarkan rokok. Ia mengambil sebatang. Kusodorkan pemantik. Disulutnya rokok itu. “Bagaimana?” Ia sudah kembali pada perangainya yang banyak tanya, terburu-buru, dan terkesan terlalu bersemangat itu. Meski kali ini ia tak seperti kemarin- kemarin. Mungkin karena ia kasihan mendapati mukaku yang sedikit pucat. Maksudku datang ke taman kota ini memang hendak bersantai, melepas penat, mencari hawa luar ruangan yang lebih segar. Kepalaku agak pening tadi. “Harus kumulai dari mana?” “Dari mana sajalah! Toh nanti pasti bisa menjalin dengan sendirinya.” “Yang kau maksud dengan indo?” “Ya indo, blasteran. Bukan asli Indonesia.” “Jadi yang asli Indonesia itu yang seperti apa?” “Tunggu! Tunggu! Jangan ke situ dulu!” sergahnya sedikit kecewa. “Terus?” “Kita kan sama-sama penyair. Meski kau seorang sejarahwan, tapi kau juga menulis sajak dan menganggit cerpen. Bahkan karyamu lebih banyak dimuat, diterbitkan, dan diapresiasi khalayak daripada karya-karyaku. Juga daripada esai atau penelitian sejarahmu yang lain.” “Terus?” “Masa, kau tak merasakannya?” “Merasakan apa?” “Karya-karya itu. Sajak, cerpen, novel.” “Maksudmu?” Dia mengerutkan kening, sepertinya betul-betul keheranan. Mungkinkah aku sendiri yang tak nyambung? “Ah, mungkin karena kau sedang sakit. Wajahmu agak pucat.” “Aku memang sedikit pusing.” “Kalau begitu lain kali saja kita bicarakan. Sebaiknya kau pulang dan istirahat.” Dia bisa juga merasa iba. Mukanya menyiratkan kecewa untuk kedua kalinya. “Begitu mungkin lebih baik.” “Mau kuantar?” “Terimakasih. Lain kali sajalah. Aku masih kuat mengendarai sendiri.” “Betul?” “Hm.” Sebenarnya tubuhku sudah agak limbung dan pandanganku mulai berkunang. Tapi aku sedang tak ingin banyak berbincang. Kalau ia yang memboncengkanku sampai rumah, aku sangsi perbincangan dengannya akan berhenti. Temanku yang satu ini sulit sekali ditebak tingkahnya. Dan kalau sudah cocok, kami bisa berbincang sampai lupa waktu. Kadang aku juga tak kalah bandel. Menariknya perbincangan kadang bisa mengalihkan segala kesakitan. Begitu sampai di rumah aku langsung nuju kamar, rebah di ranjang tanpa melepas kaus kaki dan pakaian kerja. * KEESOKAN paginya, kuputuskan untuk tetap ke kantor meski kepala masih pening dan tubuh agak meriang. Lagipula keberadaanku diperlukan untuk memeriksa naskah- naskah yang masuk hari ini, juga beberapa urusan lain yang belum sempat kuselesaikan. Apa tidak lebih baik jika kukerjakan saja di rumah? Kan ada laptop dengan koneksi internet? Aku jadi bimbang. Sambil mandi, kuingat-ingat lagi percakapan dengan teman penyair itu senja kemarin. Sastra indo, katanya. Kalau maksudnya ingin menyindir, jelas maksudnya dengan indo itu sendiri adalah blaster. Lalu? Mungkin dia lupa bahwa indo dalam bahasa Indonesia sendiri sebetulnya berasal dari kata Indisch, Insulinde. Terus? Kepalaku belum bisa diajak kompromi. Baiklah, kutunggu saja kapan ia mau menuntutku lagi untuk mendengarkan celotehannya. Penyair memang aneh-aneh, terutama temanku ini. Dia punya pesangon teks yang banyak, tapi dalam mencipta karya, dia bilang sendiri bahwa ia lebih banyak bermain rasa, seperti katanya kemarin, “Masa’ kau tak merasakannya?” Terus terang, kerjaku lebih banyak melibatkan pemilihan bentuk dan terutama sesuai dengan karakter harian kami. Aku jadi ingat perkataan seorang kawan dalam sebuah forum, “Coba kau hilangkan nama-nama penyair dari sajak-sajaknya. Kau akan mendapati gaya yang sama dari nama-nama Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, bla bla bla.” Betulkah begitu? Lalu apa hubungannya dengan sastra Indo? Ah, makin melantur saja. Aku telah siap dengan pakaian kerja. Setelah mandi, tubuhku tak juga beranjak membaik. Barangkali sarapan telur dan susu bisa membuat sedikit lebih segar. Barangkali sakitku karena perut kosong, tak ada asupan energi. Kutuang susu ke dalam gelas, kuberi air panas. Malas merebus telur, kuambil sekerat roti. Aku sarapan duduk di kursi beranda depan rumah menghadap jalan mencari segarnya udara pagi. Roti kukerat sedikit-sedikit, kukunyah, dan kutelan. Lalu gelas itu kudekatkan ke bibir, dan aku mulai menyeruput pelan sambil melirik jalanan depan situ yang mulai ramai orang dan kendaraan, terutama orang-orang berseragam dan anak-anak sekolah. “Ah, sudah sembuh rupanya! Bagaimana, bung?!” Hampir saja aku tersedak, dan susu itu tumpah membercaki kemeja yang kupakai. Ampun! Dia telah berdiri di halaman yang luasnya tak seberapa itu, sebelah tangannya bertolak pinggang, dan tangan satunya lagi menunjuk mukaku. Kepalanya dengan wajah kusut itu sedikit dimiringkan. Mulutnya terbuka, giginya yang agak kuning itu menyeringai. “Ah, kau. Pagi-pagi benar sudah kelayapan. Sejak kapan kau berada di situ?" “Kau saja yang keenakan sarapan,” katanya sambil menuju ke arahku. “Mau? Biar kubuatkan.” “Ah, tak usah. Biar kita berbagi sekerat roti dan segelas susu itu untuk berdua, sepagi ini.” Tanpa basa-basi, ia rebut gelas di tanganku lalu meneguknya. “Susu panas. Hm, nikmatnya.” Kemudian dia bersendawa. “Rotinya juga, ya?” Tanpa menunggu anggukan kepalaku, ia mencomot roti di atas meja, membelahnya separuh, dan mengunyahnya terburu-buru. “Bagaimana yang kemarin itu, bung? Aku mesti mendengar tanggapanmu.” Pertanyaannya masih terkesan buru-buru, menuntut seenaknya. Dan sambil berkata begitu, ia mengaduk-aduk isi tas cangklong yang selalu ia tenteng ke mana-mana itu. “Ini memang merk seorang aku. Lebih enak menenteng tas cangklong yang berisi tulisan-tulisanku, beberapa buku, dan bendel-bendel teori yang berat ini daripada menentengnya dengan tangan. Kau tahu sendiri, tak ada waktu luang bagiku, harus kuisi dengan nutrisi segar biar produktif. Bendel-bendel dan buku-buku itu nutrisi. Sajak- sajak itulah produksiku,” katanya padaku suatu kali. Kasihan juga orang seperti dia. Sebagian kawan pesimis memandangnya sebagai seorang penganggur terselubung, tukang bual, atau pengkhayal. Padahal, hidupnya suntuk menelusup kesana-kemari sepanjang waktu, terutama saat- saat malam, memburu orang-orang, menuntutnya dengan diskusi-diskusi panjang, atau kadang sekedar memburu sunyi malam itu sendiri tanpa teman selain sepi, pikiran, dan atau bacaan. “Kerja? Kerjaku ya seperti ini,” jawabnya ketika suatu kali kutanyakan apa pekerjaannya. Masih ada juga penyair model klasik seperti dia; tikus got, kata seorang kawan, aktor tua yang beralih profesi menjadi seorang guru. Sedang aku? Aku pun menganggit sajak. Aku kerja kantoran. Aku juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta. Berarti kerjaku lebih serabutan daripada dia. “Bangsa kita bangsa indo!” Kali ini lain lagi istilah yang ia pakai. Aku tak mau terburu-buru menanggapinya. Bicara dengannya harus sabar. “Coba kau lihat ini!” Dia menyodorkan sebuah bendel tebal. Kubuka, ada hubungannya dengan periodisasi sastra Indonesia. “Hm, aku sudah pernah menemuinya.” Kubolak-balik juga. “Itu aku tahu.” “Lantas?” “Hanya Angkatan Pujangga Lama saja sepertinya yang bisa disebut asli. Itu pun hanya mendekati, tidak sepenuhnya. Mungkin karya-karya sebelum itu lebih mewakili.” Aku terhenyak. Orang seprogresif dia bisa bicara begitu? “Maksudku pengaruh dari isme-isme barat belum begitu kental di situ.” Apa regresi bisa jadi progresi? “Tapi, bahasanya kan kemelayu-melayuan?” “Itulah yang membuat aku sedikit bingung. Indonesia itu sebenarnya yang seperti apa?” “Melayu yang berevolusi sedemikian rupa.” “Ya. Dengan mencomot sana-sini. Barat, timur tengah, timur asing.”’ “Itu kan dari segi bahasa.” “Sama saja. Orang Aceh belajar dari Turki. Orang Minang, Jawa, Menado, dan lainnya dari Eropa. Terutama dari Belanda. Yamin? Hatta? Tan Malaka? Soekarno? Marko? Semaun? Syahrir?” Dia menyebut lebih banyak lagi nama.” “Mereka kan negarawan.” “Sama aja. Sanusi Pane? Jassin? Bahkan Chairil pun. Idrus? Pramoedya? Sitor? Rendra? Taufik? Goenawan?” Banyak nama lagi. “Produk barat juga.” Aku makin tersentak. Dia mengatur nafasnya. “Tapi justru dari belajar dengan orang asing itu, kita kemudian baru mengerti tentang keIndonesiaan kita.” “Memang tak bisa dipungkiri. Yang aku sayangkan justru kita makin indo, terlalu indo. Dari rambut sampai kaki, pakaian hingga makanan. Parah lagi gagasan-gagasannya, pola-pola pikirnya, ungkapan-ungkapan, simbol-simbol, karya-karyanya.” Orang seperti dia kalau sudah bersemangat, bicaranya sering tak terkontrol, kata-katanya berloncatan tak karuan. Padahal, pesangon teks dan pengalamannya bertukar pikiran mungkin lebih padat dan intens daripada aku. Dan teks-teks serta teman debatnya itu, dari mana mereka membentuk dirinya? “Aku lebih suka bermain rasa.” Dia pernah berterus terang padaku. Rasa? Rasa yang seperti apa? Dia Jawa, apakah yang dia maksud roso dalam istilah Jawa itu? Dan Indonesia? Rasa yang Indonesia? Rasa yang bagaimana pula? Dan Sastra Indo? Aku hampir lupa membahasnya. Sewaktu ingin kutanyakan padanya, ia keburu melenggang sambil mengempit tas cangklong yang tak lagi dapat dikenali warna aslinya itu. “Mau ke mana?” “Bosan duduk-duduk.” Atau apakah ia bingung sendiri? Cepat sekali sikapnya berubah. Bukankah ia yang terlalu bersemangat tadi? Dan roman mukanya sewaktu jeda tadi menerawang, ngambang. “Lantas apa yang hendak kau lakukan?” “Ambil bagian dalam pesta.” “Pesta?” “Pesta menyambut peringatan kemerdekaan. Masa kau lupa?” “Oh.” Aku manggut-manggut. “Barangkali besok dan setelahnya, aku bisa merasa merdeka sepenuhnya.” Apakah ia seorang nasionalis? Bukankah ktp pun ia tak punya? Ia sendiri masih sangsi dengan Indonesia serta keIndonesiaannya. “Bung, lain kali kau bisa lebih mengenal aku dan menyusun konsep tentang Indonesia dan keIndonesiaan itu dari sana.” Ia menoleh sebelum mencapai pagar pintu halaman. Pandangnya menusuk mataku. * JALANAN masih sepi. Orang-orang lebih banyak memadati halaman-halaman atau lapangan-lapangan, hendak memperingati detik-detik proklamasi. Bila jalanan tak terlalu padat seperti ini, aku lebih bebas melenggang, bebas dari kemacetan, kecuali bila harus berhenti di lampu merah. Dan nuansa peringatan kemerdekaan mengingatkanku pada temanku yang penyair itu. Kemarin dia bilang ingin ambil bagian dalam pesta peringatan kemerdekaan. Apakah hari ini ia mengikuti upacara-upacara itu? Di mana? Di lapangan mana? Di halaman kantor mana? Rasanya-rasanya, tak ada tempat bagi orang seperti dia. Jika saja ia nekat masuk ke barisan anak-anak dan atau orang-orang berseragam itu dengan t-shirt kumal dan jeans belel serta sandal jepit tipis belang-belang itu, kira-kira apa reaksi mereka? Aku jadi geli sendiri membayangkannya. Meriang dan pusingku pelan mulai hilang. Segar saja yang kurasakan. Acara keliling kota dengan motor jadi lebih menyenangkan, meski sendirian. Istriku masih tetirah ke rumah ibunya, besok lusa baru pulang. Aku mulai bisa menikmati jalan-jalan di kotaku sendiri yang mulai melebar dipenuhi ruko, kios-kios, dan pedagang kaki lima di sepanjang pinggirannya, ketika kemudian terdengar suara sirine meraung-raung dari sebuah arah. Suara sirine itu seperti menggiringku pada suasana revolusi. Umbul-umbul yang berkelebatan ditiup angin itu seperti gerilyawan yang dengan gagahnya memasuki kota sambil menyapa setiap orang yang mereka temui. ”Merdeka!” “Sekali Merdeka Tetap Merdeka!” “Merdeka! Teruslah Berjuang! Revolusimu Belum Selesai!” Aku merasa trenyuh. Tapi, tak lama kemudian, rombongan remaja berseragam muncul dari belokan jalan di depan. Langkah-langkahnya seragam seiring ketukan drumband di barisan belakangnya. Aku menepi ke sebuah mulut gang, diusir polisi lalu lintas. Orang-orang telah memenuhi trotoir dan emperan toko. Barisan tadi terus lewat disusul barisan drumband di belakangnya, kemudian rombongan-rombongan lain yang berkelompok dengan kostum lebih beraneka ragam. Aku terus masuk menyusuri gang itu. Orang-orang bergegas ke arah berlawanan. Beberapa ratus meter kemudian aku celingukan, kebingungan mencari arah. Akhirnya kupilih saja secara serampangan; belok kiri, kanan, lurus, belok kanan lagi, lurus, belok lagi berulangkali hingga suara-suara tinggal sayup-sayup saja. Belum juga kutemukan arah menuju jalan besar, ketika tiba-tiba dari mulut sebuah gang melintas orang- orang dengan wajah lebih banyak ditekuk. Dengan sendirinya aku menepi. Kuperhatikan jalanan dengan seksama. Ada taburan mawar di sepanjang jalan situ. Ada juga orang mati di hari peringatan proklamasi, pikirku. Kutunggu rombongan itu lewat. Mereka tak banyak cakap. Karena penasaran, kuhentikan seseorang di barisan belakang rombongan. “Maaf mas, siapa yang meninggal?” “Seseorang.” “Ya?” “Seorang warga yang indekos di sini.” “Oh. Kapan meninggalnya?” “Kemungkinan semalam tadi, mas.” “Lelaki atau perempuan?” “Lelaki.” “Dikuburkan di kampung sini?” “Itu keputusan kami bersama. Tak ditemukan identitas padanya. Kami hanya tahu bahwa ia indekos di sini. Orangnya jarang berbaur dengan tetangga. Tapi, selebihnya, ia tak pernah berbuat onar, meski penampilannya sedikit urakan.” “Orang tanpa identitas yang jelas mengapa diijinkan indekos di sini?” “Entahlah. Hal itu sedang kami usut. Maksudnya, setelah ini, ibu kosnya baru akan disidang oleh Pak Rt. Yang penting bagi kami adalah mengurus jenazahnya secara layak. Nah, bapak ini sedang apa?” “Oh, saya sedang mencari gang yang menuju jalan besar. Saya kehilangan arah tadi.” Ditunjukkannya padaku gang yang menuju jalan besar itu. “Terimakasih, mas.” Aku melenggang di atas motor mengikuti arah yang telah ditunjukkan orang tadi, pelan saja. Wangi mawar memenuhi hidung, bukan menyegarkan tapi membikin nglangut.