Professional Documents
Culture Documents
1 PB
1 PB
JURNAL KAWISTARA
VOLUME 10 No. 1, 22 April‑ 2020 Halaman 116—132
*Agus Suwignyo
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The formation of the Indonesian nation-state is inseparable from linguistic engineering. This includes
phrases that transformed their lexical meaning to become a binding political concession produced
by Indonesian political leaders in the 1940s and 1950s. The official name of the Indonesian state “The
Unitary State of the Republic of Indonesia” is the result of this political concession in the statecraft
of Indonesia. This article aims to examine the meanings of the “unity and unitary” phrases in the
imagined form of Indonesian nation-state. Why was “unity and unitary” an effective political tool for
the shaping of the imagination of “Indonesia”? Linguists and historians would these choices of words
as a reflection of the power of language in the creation of facts. Language can transform a lexical fact
into a material one. It is therefore essential to understand how did the phrase “unity and unitary”
transform from a lexical to a political meaning in the context of Indonesian history? This article is based
on literary analyses of official relevant documents, including the assembly proceeding of the Council
for the Investigation of the Preparation for Indonesian Independence (Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) of August 1945, and the so-called Principal Guidelines
for State Development (Garis-Garis Besar Haluan Negara, GBHN) of the New Order. It argues that the
“unity and unitary” phrase represents a negotiation of diverse political elements which then shaped the
crafting of Indonesian nation-state. The changes in the contexts in which the phrase was used show a
changing association between the lexical and ideological meanings of the phrase. While these changes
worked towards institutionalizing the Indonesian state, this article concludes that they also submerged
the people’s discontents. The phrase “unity and unitary” reflected the making of people’s uniformity
to a large extent.
116
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
117
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
logika yang mengkonstruksinya. Sebagaimana Bahasa mensuplai alat yang penting dalam
dikatakan Michel Foucault dalam The Order proses ini. Artikel ini juga memanfaatkan
of Things (1973, dirujuk dari Gutting dan struktur rekayasa bahasa dalam memahami
Oksala, 2018), bahasa mengusung potensi fenomena pemakaian kata-kata yang sifatnya
kuasa melalui pembentukan pemahaman foundasional dalam bangun politik negara dan
dan pola pikir, yang menggerakkan perilaku. bangsa Indonesia. Artikel ini mengulas makna
Dalam sejarah Indonesia, kehadiran entitas “kesatuan” untuk memahami rekayasa-bahasa
(dan realitas) politik terpacu dan berkelindan sebagai alat ideologi politik melalui kajian atas
dengan proses-proses rekayasa bahasa. narasi dan diksi dalam dokumen-dokumen
Kehadiran tokoh-tokoh perjuangan yang resmi pembentukan negara. Dokumen-
memiliki kemampuan berbahasa merupakan dokumen resmi negara menunjukkan bahwa
bagian penting dari proses menjadinya bangsa pemilihan kata (diksi) dalam lingkup makna
dan negara Indonesia. kata “kesatuan” ditentukan lewat kesepakatan
Sayangnya, pendekatan bahasa masih politik.
sangat jarang digunakan untuk mengkaji Artikel ini menegaskan bahwa kata
konstruksi politik, padahal banyak dokumen “persatuan” dan “kesatuan” merepresentasikan
penting pembentukan negara Indonesia proses negosiasi politik untuk mewadahi
memuat komponen rekayasa-bahasa yang keragaman kepentingan. Perubahan konteks
sangat kental. Akan tetapi, baik keterkaitan pemakaian dalam diskursus negara Indonesia
antara konstruksi bahasa dan proses politik telah membawa asosiasi makna ideologis pada
masih luput dari perhatian baik para sejarawan kedua kata yang mengikat warga Indonesia
maupun para linguist. Bidang kajian bahasa secara politik. Penguatan makna “persatuan
dan kajian sejarah adalah dua bidang yang dan kesatuan” secara politik dan ideologis
sangat dekat, tetapi tersekat. Pendekatan bertujuan memperkuat ikatan setiap warga
kajian bahasa atas konstruksi politik dapat di dalam wadah negara-bangsa. Meskipun
mengungkap bagaimana negosiasi dan demikian, penguatan frase “persatuan
kesepakatan-kesepakatan politik tentang dan kesatuan” juga mencerminkan proses
pembentukan negara-bangsa Indonesia ini penyeragaman identitas ideologis warga, yang
dulu berlangsung. Kesepakatan-kesepakatan memiliki landasan sosial dan kultural yang
politik tersebut dituangkan di dalam dokumen- beragam.
dokumen resmi negara, yang mengikat seluruh Meskipun pemakaian pendekatan bahasa
warga secara hukum. Pendekatan kajian dalam kajian politik mungkin merupakan
bahasa atas dokumen-dokumen resmi hasil pendekatan yang sekarang termasuk
kesepakatan politik dapat mengungkapkan ketinggalan zaman, penerapan pendekatan
kecerdasan kolektif para pendiri bangsa ini. tersebut dalam kajian sejarah politik masih
Hal ini berkaitan dengan perumusan konsep- sangat relevan. Alasannya, konstruk kebijakan
konsep besar kenegaraan dan wujudnya dalam politik sangat tergantung pada bagaimana
bentuk praktis kalimat dan pemilihan kata. gagasan dan tujuan politik itu dirumuskan
Menempatkan bahasa dan kekuasaan di dalam produk bahasa (kebijakan tertulis,
sebagai bagian dari kerangka teoretik, perundangan-undangan dan lain-lain) yang
artikel ini bertujuan mengkaji mengapa merupakan representasi formal ideologi
kata “persatuan dan kesatuan” melahirkan tertentu penguasa. Tujuan penelitian ini, yaitu
ikatan politik kewargaan yang kuat dalam mengkaji dokumen-dokumen sejarah politik
wacana pembangunan negara Indonesia dengan menggunakan pendekatan bahasa
dan bagaimana proses rekayasa-bahasa tentang frase “persatuan dan kesatuan”,
“kesatuan” berlangsung dengan konteks dan dimaksudkan untuk membongkar struktur
faktor tertentu. Kekuasaan merupakan wujud pemikiran yang mengurung jargon atau
dari hasrat pengambilan tindakan atas nama slogan politik yang telah mengikat kewargaan
dan yang berimplikasi mengingat pihak lain. Indonesia hingga saat ini. Karakter lintas-
118
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
disiplin penelitian ini memungkinkan proses dibangun oleh kekuatan bahasa. Cita-cita
pembongkaran struktur pemikiran tersebut. negara, arah kebijakan, perumusan anggaran
Artikel ini merupakan hasil kajian teks hingga penyelesaian masalah kebangsa-
atas dokumen resmi pemerintah/negara. Di negaraan, misalnya yang berkaitan dengan
antaranya adalah dokumen Risalah Sidang masalah regionalisme, menunjukkan proses
BPUPKI 1945 dan dokumen Garis-Garis Besar rekayasa bahasa dengan sangat hati-hati dan
Haluan Negara (GBHN). Metode atau langkah penuh makna, sehingga mengikat perilaku
kerja kajian mengikuti tahap-tahap metode warga saat diimplementasikan. Singkat kata,
sejarah. Pertama, memilah dan memilih sumber, institusionalisasi kekuasaan negara “Indonesia”
yaitu dokumen resmi pemerintah yang sejaman, memiliki landasan pada kesuksesan politik
sebagai sumber primer. Pemilihan dokumen bahasa.
pemerintah sebagai sumber primer penelitian Kongres Pemuda 1928 dan pidato Soekarno
dilandasi pemikiran bahwa dokumen- tentang Pancasila, 1 Juni 1945, menunjukkan
dokumen tersebut merupakan produk bahwa bahasa menjadi medium “persatuan”
pemegang kekuasaan negara yang mengikat melalui pembayangan bersama atas keterikatan
dalam kehidupan bangsa. Kedua, membaca erat elemen-elemen masyarakat nusantara
sumber (teks sumber) secara teliti dan kritis yang sangat beragam. Unsur rekayasa bahasa
untuk menelisik makna kata “kesatuan” dan di dalam peristiwa Kongres Pemuda 1928
konteks wacana yang melingkupinya. Ketiga, terlihat pertama di dalam rumusan sebuah
kritik atas sumber-sumber primer sebagai janji kolektif sebagai salah satu hasil penting
bagian tak terpisahkan dari proses analisis, dari Kongres tersebut, yaitu janji yang dinamai
dituangkan di dalam penulisan. Hasil dari “Sumpah Pemuda”. “Sumpah Pemuda” secara
analisis tersebut adalah narasi yang tertuang eksplisit menekankan kesatuan bahasa:
di dalam bagian-bagian berikut ini.
Bagian selanjutnya artikel ini mengulas “Pertama : Kami putra dan putri Indonesia,
mengaku bertumpah darah yang
kerangka konseptual atas bahasa dan politik satu, tanah Indonesia.
kuasa dalam konteks pembentukan negara- Kedua : Kami putra dan putri Indonesia
bangsa Indonesia. Kemudian disajikan proses mengaku berbangsa satu, bangsa
produksi narasi politik dari dua rezim politik Indonesia.
di Indonesia, yaitu rezim Soekarno dan rezim Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan,
Soeharto. Bagian ketiga menganalisis proses bahasa Indonesia.”
legalisasi produk narasi politik tersebut (teks bunyi Sumpah Pemuda dikutip dari
menjadi suatu instrumen kekuasaan elit Pratama, 2018)
yang mengikat warga negara. Bagian ketiga
dipaparkan berdasarkan periodisasi masing- Butir ketiga dari Sumpah Pemuda secara
masing dari dua kekuasaan rezim tersebut. eksplisit menempatkan bahasa Indonesia
Di sisi lain, upaya analisis kritis atas doktrin sebagai bahasa persatuan. Di balik pernyataan ini,
kedua rezim juga dihadirkan khususnya ada usaha untuk menyelesaikan suatu perkara
untuk melihat bagaimana proses penyatuan besar di dalam fungsi bahasa. Perkara besar itu
dan pemersatuan bangsa yang de facto sangat adalah proses penyatuan bangsa-bangsa yang
beragam itu harus dibayar secara politik dan sangat beragam dari sisi bahasa, adat-istiadat,
kultural. Tulisan ini diakhir dengan simpulan sistem sosial ekonomi, dan sistem kepercayaan
dan rekomendasi. di kepulauan nusantara menjadi “bangsa
Indonesia”. Para pelaku Kongres Pemuda
PEMBAHASAN menyadari bahwa bahasa menggendong
Bahasa dan Politik Kuasa Kata cara berpikir, gagasan, dan pembentukan
Paradigma kebangsaan Indonesia suatu realitas baru. Lebih dari sekedar alat
berkembang melalui kesepakatan bahasa. tutur, demikian kata Benedict Anderson
Ideologi negara-bangsa Indonesia juga bahwa bahasa adalah paradigma, pola pikir,
119
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
logika, hasrat, orientasi dan keinginan yang Pidato Soekarno tentang Pancasila dan
menciptakan pembayangan-pembayangan penegasannya yang sangat persuasif tentang
tentang realitas yang telah ada maupun realitas makna gotong royong sebagai bentuk ringkas
yang akan diadakan (Anderson, 1991). Pancasila, menunjukkan bahwa deklarasi
Rekayasa bahasa demi dan dalam kebangsaan memiliki tumpuan kunci pada
konstruksi politik telah menyebabkan timbul deklarasi bahasa (Suwignyo, 2019).
dan tenggelamnya kata dan maknanya. Meskipun menjadi penentu penting dalam
Sejarah pertumbuhan kebangsaan Indonesia munculnya dan tersebarnya pemakaian suatu
menunjukkan perubahan makna sejumlah kata, kekuasaan negara juga memungkinkan
kata dan frase secara drastis. Perubahan itu pudarnya keberlangsungan sejumlah kata
terjadi seiring dengan pergantian penguasa akibat dinamika politik. Sebagaimana
dari satu rezim politik ke rezim politik lainnya. dikatakan Nugroho Notosusanto, ada
Transformasi makna kata menunjukkan bahwa persoalan semantik (pe-makna-an) atas suatu
rezim politik memanfaatkan rekayasa bahasa kata berdasarkan paradigma dan kepentingan
untuk kepentingannya sesuai jamannya politik yang melandasi pemakaiannya
sendiri. Menguatnya maupun menghilangnya (Notosusanto, 1981: 13). Nugroho Notosusanto
pemakaian sebuah kata serta perubahan mengulas secara kritis pandangan Muhammad
maupun pergeseran makna suatu kata, Yamin, yang mengatakan bahwa Pancasila
dipengaruhi oleh arah ideologis dan kebijakan sebagai rumusan dasar negara Indonesia
suatu rezim politik. sesuai hasil sidang Badan Penyelidik Usaha-
Salah satu frase yang kemunculannya Usaha Kemerdekaan Indonesia, merupakan
menjadi tonggak linguistik pembentukan hasil pandangan dan pemikiran Bung Karno.
negara-bangsa Indonesia adalah frase “gotong Menganalisis teks risalah BPUPKI, Nugroho
royong”. Kemunculan kata “gotong royong” Notosusanto menulis:
sebagai kosakata politik dan “penetapannya”
sebagai kata yang ideologis terjadi menjelang “Dapat disimpulkan bahwa Bung Karno
bukanlah orang pertama dan bukan orang
akhir Perang Dunia II. Momen “peresmiannya” satu-satunya yang mengetengahkan suatu
berkembang melalui pergumulan pemikiran konsepsi mengenai dasar negara Indonesia
Soekarno dan paparannya dalam sidang merdeka. Keistimewaan pidato beliau pada
Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan tanggal 1 Juni 1945 adalah bahwa kecuali
Indonesia (BPUPKI), yang kemudian dikenal berisi pandangan atau usul mengenai dasar
negar Indonesia merdeka, juga berisi usul
sebagai Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945. Pada mengenai nama dasar negara itu, yakni
kesempatan itu, dalam menguraikan fondasi Pancasila, Trisila atau Ekasila. […] Jadi yang
bagi negara Indonesia yang akan dibentuk, lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah nama
Soekarno menyebutkan dan menguraikan Pancasila (di samping nama Trisila dan
“lima sila”, yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Ekasila yang tidak dipilih)” (Notosusanto,
1981: 21).
Persatuan, Demokrasi Kerakyatan dan Keadilan
berbasis sosialisme. Menurut Soekarno, kelima Pandangan Nugroho Notosusanto
sila itu dapat diringkas menjadi tiga, yaitu tersebut adalah sebuah praktik rekayasa bahasa.
Monoteisme, Sosio-nasionalisme dan Sosio- Di satu sisi ia menganalisis secara kritis teks
Demokrasi. Kata Soekarno: risalah Sidang BPUPKI yang menjadi landasan
“Jika saya peras yang lima menjadi tiga dan pendapat tentang Soekarno sebagai pencetus
yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya Pancasila. Di sisi lain, Nugroho Notosusanto
satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu memainkan kata-kata untuk men-defamifikasi
perkataan gotong royong. Negara Indonesia (meruntuhkan) kekuatan teks yang melandasi
yang kita dirikan haruslah negara gotong pendapat tentang Soekarno pencetus Pancasila,
royong. Alangkah hebatnya! Negara gotong
royong!” (Soekarno 1946: 2). dan mendesakkan pendapatnya sendiri
tentang Soekarno bukan orang pertama yang
mencetuskan gagasan dasar negara. Rekayasa
120
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
paradigma kebahasaan Nugroho Notosusanto pada masanya, bahwa pemakaian kata “rakyat”
tampak sangat jelas pada upanya menciptakan membawa konsekuensi ancaman keselamatan
kategorisasi antara “rumusan dasar negara” akibat pemaknaan yang sempit oleh rezim
dan penamaan rumusan tersebut sebagai politik atas makna kata tersebut. Akibat
“Pancasila”. Dia mencari titik-pijak bagi pemakaiannya yang intensif pada banyak
pembenaran atas pendapatnya itu dengan organisasi dan aktivitas PKI sebelum peristiwa
memilah secara sangat rigid antara “pemikiran G30S 1965, kata “rakyat” menimbulkan asosiasi
tentang dasar negara” dan “nama yang dipakai” makna yang kekiri-kirian ketika dipakai pada
untuk menyebut pemikiran tersebut. Nugroho ranah publik pada periode setelah itu. Hal
Notosusanto bersiasat kata ketika mengatakan ini dapat dilihat pada dokumen penutupan
bahwa Soekarno “sekedar penemu istilah Sekolah-sekolah Rakyat dan Universitas
Pancasila”. Dengan strategi itu, jelaslah bahwa Rakyat (People’s University) pada koleksi
Nugroho mencoba menciptakan realitas lain Arsip Nasional Republik Indonesia. Makna
atas “posisi Soekarno” dalam proses lahirnya kata “rakyat” yang telah berkembang pesat
Pancasila, dengan melakukan rekayasa bahasa dan sangat bervariasi dari tahun 1930an hingga
atas peristiwa sejarah–realitas yang didasarkan tahun 1950an, kembali surut.
pada kepentingan tertentu yang diusungnya.
Kasus analisis teks yang dilakukan “Persatuan” dan “Kesatuan dalam
Nugroho Notosusanto tersebut menunjukkan Dua Rezim Politik
bahwa kuasa politik membungkus konsep yang Diskursus “persatuan” dan “kesatuan”
dirumuskan bahasa. Kuatnya makna sebuah muncul dan berkembang sebagai jargon
kata ditentukan oleh kepentingan politik yang politik yang mengikat warga. Kata “kesatuan”
menjadi konteks kemunculan dan pemakaian dipakai sebagai nama-diri yang resmi lembaga-
kata tersebut. Demikian juga hilangnya lembaga negara. Nama-diri negara Indonesia,
atau redupnya pemakaian suatu kata. Kata- yaitu “Negara Kesatuan Republik Indonesia
kata diciptakan, dilestarikan, dihilangkan, (NKRI)”, juga memasukkan kata “kesatuan”
dan dilenyapkan sesuai kebutuhan politik secara eksplisit. Menurut Anthony Reid,
penguasa. Sejarah Indonesia menunjukkan pilihan atas bentuk dan nama negara dengan
hubungan yang erat antara perubahan rezim kata “kesatuan” adalah bagian penting dari
politik dan perubahan makna suatu kata. Kata proses revolusi fisik di awal pembentukan
“merdeka” dan “kemerdekaan”, berubah dari negara-bangsa Indonesia (Reid, 2010: 29-50).
awalnya “kemandirian individu” menjadi Pernyataan Reid menyiratkan bahwa pemilihan
“kebebasan kolektif secara politik”. Saat ini, kata “kesatuan” menjadi bagian penting dari
hampir pasti makna “kemerdekaan” hanya proses penyatuan Indonesia. Proses ini bukan
diasosiasikan dengan pembebasan dari lagi sekedar proses rekayasa linguistik, tetapi
penindasan bangsa lain. Makna ini menyempit telah mewujud di dalam upaya menghadirkan
dari apa yang dulu, sekitar tahun 1930an, wadah ideologi bagi warga.
umum dipakai pada media massa (Suwignyo, Dalam sejarah pembentukan negara-
2014). bangsa Indonesia, khususnya pada periode
Kasus kata lainnya adalah kata “rakyat”. sekitar 1945–1959, istilah “kesatuan” dalam
Kata ini mengalami penyempitan makna yang konteks bentuk negara dikontraskan dengan
sangat drastis dari pemakaian tahun 1930an kata “serikat” (united). NKRI sebagai sebuah
ke tahun 1970an. “Rakyat” sebagai kesadaran entitas politik, pernah menjadi bagian dari
politik dan simbol perlawanan terhadap entitas politik lain yang bernama Republik
penindasan di tahun 1930an, berubah menjadi Indonesia Serikat (RIS). Perdebatan tentang
kata yang membawa insinuasi makna yang “kesatuan” atau “serikat” dapat ditelusuri
tidak berterima di tengah konstelasi baru antara lain dalam risalah sidang BPUPKI,
perpolitikan di Indonesia pasca pergantian khususnya terkait bentuk negara yang akan
rezim (Suwignyo, 2014: 132-133). Sempat terjadi didirikan. Dalam notulensi Konferensi Meja
121
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
Bundar tahun 1949, perundingan tentang laporannya tentang Indonesia pasca Orde Baru
bentuk negara kemudian disepakati menjadi dengan memperkirakan masa depan Indonesia
Republik Indonesia Serikat. di tengah isu separatisme, desentralisasi dan
Beberapa studi tentang berdiri dan politik identitas yang semakin kuat (Harvey,
bubarnya “Republik Indonesia Serikat (RIS)” 2002). Riwanto Tirtosudarmo menyebut
di tahun 1950an menyinggung kembali pilihan bahwa konsep “kesatuan” negara Orde Baru
bentuk negara, yaitu apakah negara federal telah menunjukkan proses mistifikasi atas
(serikat, united) atau negara kesatuan (unitary). keberadaan negara dan rezim politiknya
Pada tahun 1950an itu pula, pertentangan (Tirtosudarmo, 2005).
yang berkembang dari dua paham bentuk Kajian-kajian itu, meskipun menyangkut
negara itu memicu antara lain sejumlah aksi kata “kesatuan”, tidak mengulas arti kata dan
militer lewat gerakan kelompok bersenjata di perubahannya dalam periode sejarah yang
sejumlah daerah di Indonesia maupun aksi berbeda-beda. Kajian-kajian bertitik-tolak
balasan angkatan bersenjata atas aksi-aksi pada ide tentang negara dan dinamikanya dan
tersebut. Studi-studi lain umumnya terfokus merupakan landasan bibliografi yang penting.
pada persoalan regionalisme yang menguat Meskipun demikian terdapat kekosongan
pada dekade 1950an. Pertanyaan terkait studi tentang arti kata “kesatuan” sesuai
konsekuensi-konsekuensi apa yang timbul dari sejarah nation-state building. Posisi kata sebagai
pilihan atas bentuk “negara kesatuan” pasca kesepakatan politik juga belum banyak dikaji.
bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS), Pada periode Orde Baru, kata “kesatuan”
dan mengapa bentuk negara kesatuan dipilih dan “kesatuan” merupakan satu entitas
untuk dipertahankan (Kahin, 1985), tidak gagasan politik. Ungkapan “persatuan dan
membawa pada ulasan atas proses rekayasa kesatuan” mengikat elemen masyarakat
linguistik yang melingkupi kesepakatan- secara politik. Ada konsekuensi hukum atas
kesepakatan politik. Meskipun RIS akhirnya pelanggaran maupun perlawanan terhadap
secara resmi bubar pada 17 Agustus 1950, pelaksanaan ungkapan “persatuan dan
paradigma politik atas suatu bentuk wadah kesatuan”. Ungkapan “NKRI harga mati” yang
yang “serikat” (dan bukan “kesatuan”), masih menguat dalam sekitar sepuluh tahun terakhir,
sangat kuat pada tahun 1950an dalam bentuk menunjukkan pemahaman sebelah mata atas
gerakan regionalisme. realitas historis tentang proses pembentukan
Kata “kesatuan” Indonesia muncul dalam negara-bangsa Indonesia. Realitas historis itu
studi-studi pada era setelah kejatuhan rezim adalah harga dari keberagaman yang harus
Orde Baru. Akan tetapi, seperti halnya pada dibayar, yang semua ditundukkan di dalam
studi-studi yang menyoroti periode 1950an, wadah kesatuan itu. Dalam ungkapan “NKRI
pada studi kontemporer pembahasan tentang harga mati” terkandung kerangka pikir yang
kata “kesatuan” merupakan singgungan atas bersifat totaliter, yang justru membahayakan
pertanyaan tentang keberlangsungan bentuk masa depan persatuan kebangsaan Indonesia.
negara kesatuan. Sejarawan ekonomi Anne Ungkapan itu mencerminkan kehendak akan
Booth termasuk yang mempertanyakan secara kesatuan yang didesakkan oleh suatu kelompok
tajam apakah NKRI dapat bertahan di era kepada kelompok lain dengan semangat
desentralisasi saat ini (Booth, 1992/2007: 32- paksaan dan secara implisit, juga ancaman.
47). Pertanyaan serupa juga menjadi pokok Lepas dari kesatuan tekad yang diusungnya,
penelitian Edward Aspinall dan Mark T. ungkapan “NKRI Harga Mati” mencerminkan
Berger dalam tulisan mereka yang berjudul “ambyar”nya atau hilangnya logika dan daya
“ The Break-up of Indonesia? Nationalisms kritis untuk memahami kelemahan-kelemahan
after Decolonization and the Limits of the yang mungkin terdapat dalam konsep negara
Nation-State in Post-Cold War Southeast Asia” yang dibentuk. Ungkapan “NKRI harga mati”
(2001: 1003–1024). Barbara S. Harvey, seorang mencerminkan apa yang disebut oleh YB
pengkaji kebijakan strategis, menyampaikan Mangunwijaya sebagai “nasionalisme pokrol
122
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
bambu”, alias kekuatan okol (fisik) alih-alih integralitas-nya “persatuan” yang diusulkan
akal (nalar) dalam upaya memahami dan Soepomo (Risalah Sidang BPUPKI 1995: 33).
memahamkan makna dan konsekuensi dari Menurut Soepomo, gagasan tentang
negara kesatuan. persatuan sebagai prinsip dasar pembentukan
Kata “kesatuan” dan “persatuan” dalam negara, merupakan representasi dari praktik
artikel ini merupakan kasus tentang rekayasa kebersamaan dalam berbagai bidang yang
bahasa yang membentuk diskursus sosial- telah ada di masyarakat Indonesia. Soepomo
politik dalam sejarah Indonesia pasca 1945. meyakini bahwa persatuan yang bercorak
Penggunaan kedua kata sebagai objek kajian “sosialis” sesuai dengan ciri ketimuran. Ia juga
antara lain dipicu oleh ungkapan “NKRI mengatakan bahwa persatuan adalah karakter
harga mati”. Meskipun demikian, kajian “asli” bangsa Indonesia. Katanya:
tentang “kesatuan” dan “persatuan” lebih luas
cakupannya daripada ungkapan “NKRI harga “Dari aliran pikiran nasional sosialis, prinsip
persatuan antara pimpinan dan rakyat dan
mati”. Secara teoretik, kajian tentang kata prinsip persatuan dalam negara seluruhnya
“persatuan” dan “kesatuan” menunjukkan cocok dengan aliran pikiran ketimuran. […]
proses rekayasa bahasa yang dilegalkan di Semangat kebatinan, struktur kerohanian
dalam dokumen-dokumen resmi negara. dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-
cita persatuan hidup, persatuan kawulo
– Gusti yaitu persatuan antara dunia luar
Imajinasi Kebangsaan dalam dan dunia batin, antara mikrokosmos dan
Rekayasa Bahasa Dilegalkan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpin-
Teks sumber utama yang relevan pemimpinnya” (dalam Risalah Sidang
diulas dalam membongkar rekayasa kata BPUPKI 1995: 35).
“persatuan” dan “kesatuan” adalah Risalah
Oleh karena itu, persatuan harus menjadi
Sidang BPUPKI Mei – Agustus 1945. Teks
ciri negara Indonesia yang akan dibentuk.
tersebut sangat penting karena merupakan
“Persatuan” sebagai ciri negara Indonesia,
wujud pertama dari legalilasi rekayasa
menurut Soepomo, mewujud antara lain
bahasa dalam konteks pembentukan negara
dalam kesatuan rakyat dan pejabat. Rakyat
Indonesia. Prosesnya berlangsung pertama
dan pejabat secara bersama-sama wajib
melalui pembayangan, yang kemudian
menjaga keseimbangan tersebut dalam
dituangkan di dalam kata dan kalimat sebagai
kehidupan sehari-hari. Persatuan dalam wadah
konsep. Konsep-konsep itu dipaparkan dan
negara meleburkan semua sekat dan batas
“diadu” ketajaman dan kesesuaiannya dengan
antarkelompok. Negara menyatu-padukan
tujuan dari pembayangan itu. Pada akhirnya,
unsur-unsur perbedaan yang secara sosio-
rekayasa bahasa berujung pada kompromi.
historis telah ada di masyarakat. Soepomo
Artinya, pemungkas rekayasa bahasa adalah
menekankan kesatuan antara golongan satu
kesepakatan tentang kepentingan yang
dengan lainnya dengan semangat gotong-
dirasakan bersama.
royong dan kekeluargaan (Risalah Sidang
Dalam Risalah Sidang BPUPKI, alam pikir
BPUPKI 1995: 35-36).
tentang “persatuan” sangat jelas telah diusung
Persatuan “integralistik” yang diusung
oleh Soepomo melalui uraiannya tentang
Soepomo memuat prinsip pengakuan
paham integralistik negara. Negara, kata
kesetaraan antara unsur-unsur di dalam
Soepomo adalah masyarakat yang susunannya
suatu wadah sosial-politik. Tetapi di dalam
integral yang menempatkan semua golongan ke
konteks wadah yang menaunginya, unsur-
dalam “persatuan masyarakat yang organis”.
unsur tersebut secara bersama-sama menjadi
Menurut Soepomo, yang terpenting ialah
sub-struktur bagi struktur wadahnya. Wadah
penghidupan bangsa seluruhnya”. Negara
sosial-politik yang dimaksud adalah “negara”.
harus menyediakan jaminan atas “keselamatan
Unsur-unsur di dalamnya merujuk pada semua
hidup bangsa seluruhnya”. Itulah konsep
elemen dan komponen yang ada di dalam
masyarakat. Negara integralistik menekankan
123
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
Gambar 1
Ilustrasi Proses Rekayasa-Bahasa “Persatuan” Soepomo
124
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Pidato Soekarno pada sidang yang sama Risalah Sidang BPUPKI 1995: 74). Pernyataan
adalah teks yang juga secara jelas memuat ini jelas irasional. Apa penjelasannya bahwa
unsur rekayasa-bahasa “persatuan”. Rekayasa- 70 juta orang (yang tujuh dekade kemudian
bahasa itu antara lain tampak dari kalimat telahbertumbuh tiga kali lipatnya) itu “telah
tanya eksistesial yang diajukan Soekarno menjadi satu”? Meskipun tanpa perlu
untuk menggiring pikiran lawan bicara kepada pengetahuan lebih rinci, kita yakin 70 juta
gagasan yang mau dipaparkannya. Katanya: orang memiliki keragaman dalam berbagai
hal, baik secara individu maupun berdasarkan
“Apakah syaratnya bangsa? Menurut Ernest kategori tertentu, misalnya suku.
Renan syaratnya bangsa adalah ‘kehendak
akan bersama’. Orang-orangnya merasa diri Apa yang disampaikan Soekarno tentang
bersatu dan mau bersatu. […] yang menjadi “persatuan” 70 juta penduduk itu lebih
bangsa yaitu satu gerombolan manusia merupakan imajinasi dan harapan. Imajinasi
yang mau bersatu, yang merasa dirinya bahwa ada timbul kemauan yang sama untuk
bersatu. […] Menurut Otto Bauer, bangsa bersatu dari 70 juta orang. Harapan bahwa
adalah satu perasaan perangai yang timbul
karena persatuan nasib. […] Ki Bagoes kemauan-bersatu ke-70 juta orang itu menjadi
Hadikoesoemo mengatakan ‘persatuan kenyataan dan mengatasi semua perbedaan
antara orang dan tempat’” di antara mereka. Berangkat dari imajinasi
(dalam Risalah Sidang BPUPKI 1995: 72). dan harapan itu, Soekarno memformulasikan
konsep tentang “persatuan” untuk diterima
Argumentasi Soekarno menyajikan oleh peserta Sidang BPUPKI –dan nantinya
prasyarat. Jika ingin menjadi bangsa, maka oleh ke-70 juta penduduk itu– sebagai realitas
harus ada persatuan. Imajinasinya tentang baru. Namun dengan “menyatukan” secara
bangsa adalah imajinasi tentang kesatuan imajinatif ke-70 juta penduduk itu, Soekarno
beraneka ragam unsur pembentuknya. Bagian mengabaikan realitas sosial historis tentang
terpenting dari motivasi untuk bersatu itu unsur-unsur perbedaan yang secara pasti
adalah “perasaan senasib”. Pernyataan “nasib” melekat pada 70 juta orang.
sebagai elemen utama dalam tinbulnya motivasi Jadi proses rekayasa-bahasa yang
untuk bersatu bagi sebuah bangsa menjadi dilakukan Soekarno dimulai dengan meng
menarik karena menginsinuasikan sesuatu di abaikan fakta-fakta sosial dan historis tentang
luar jangkauan kekuatan manusia. Ada nuansa unsur-unsur perbedaan yang de facto ada di
irasionalitas di dalam pernyataan bahwa masyarakat. Setelah itu, dimunculkannya
“perasaan senasib” merupakan unsur penting imajinasi dan harapan tentang “kesatuan”
berkembangnya persatuan sebuah bangsa. seluruh penduduk dan unsur-unsurnya.
Artinya, upaya Soekarno untuk menghadirkan Imajinasi dan harapan tentang “kesatuan”
alur pemahaman atau rasionalitas tentang diikuti dengan lontaran formulasinya tentang
prasyarat berdirinya sebuah bangsa, berujung “persatuan”. Inilah konsep yang ditawarkan
pada sesuatu yang bernuansa irasional, yaitu kepada sekelompok kecil orang-orang ber
nasib. pengaruh (yaitu anggota BPUPKI) untuk
Irasionalitas itu semakin kuat ketika diterima, untuk selanjutnya didesakkan
Soekarno berbicara tentang persatuan dalam kepada seluruh 70 juta penduduk tadi. Konsep
konteks geopolitik. Ia mendefinisikan “bangsa ini merupakan alat-bahasa “persatuan”. Begitu
Indonesia” sebagai manusia dalam kesatuan diterima oleh 70 juta penduduk, maka alat-
geopolitik kepulauan Indonesia. Jumlah bahasa tersebut menghasilkan realitas baru
“seluruh manusia” itu pada tahun 1945 sekitar berupa persatuan 70 juta penduduk yang
70 juta orang (tahun 2018 mencapai sekitar secara sosial dan historis adalah entitas yang
245 juta orang). Mereka semua, kata Soekarno, beraneka ragam.
“telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu” (dalam
125
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
Gambar 2
Ilustrasi Proses Rekayasa-Bahasa “Persatuan” Soekarno
126
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
yang utuh” (Garis-garis Besar Haluan Negara Doktrin “persatuan” dan “kesatuan” Orde
1988: 18). Rumusan ini sangat jelas dilandasi Baru sangat jelas ditemukan dalam konsep
pemikiran dan kehendak untuk mendesakkan yang disebut “Wawasan Nusantara”. Rumusan
suatu kerangka tujuan kehidupan sehari- konsep tersebut terdapat dalam setiap GBHN
hari, yang bukan hanya sama tetapi juga (1973 sampai dengan 1998). “Wawasan
terikat dalam satu kesatuan yang berimplikasi Nusantara” secara lugas menggariskan
hukum. Klaim tentang proses pembangunan empat ranah/bidang kesatuan, yaitu politik,
sebagai “nasional” mengasumsikan bahwa sosial budaya, ekonomi dan pertahanan dan
seluruh dinamika kehidupan yang beragam, keamanan (Garis-Garis Besar Haluan Negara,
dapat diarahkan dan dibingkai ke dalam 1988: 13-15). Sebagaimana ditampilkan Tabel
“kesatuan” tujuan, pola, dan ritme. Dalam 1, konsep “kesatuan” pada setiap bidang
konteks ini, rekayasa-bahasa “persatuan” dan menunjukkan elemen sasaran cakupan konsep
“kesatuan” adalah pola imajiner atas kehendak tersebut. Isi Tabel 1 merupakan kutipan
politik yang dijelmakan ke dalam struktur langsung dari rumusan garis haluan negara dan
birokrasi kekuasaan. Akibatnya, kehendak elemen-elemennya sebagaimana dituangkan di
politik tersebut menjadi bersifat mengikat dan dalam dokumen GBHN setiap periode.
merasuk ke dalam alam bawah sadar warga
negara melalui bahasa.
Tabel 1
Rekayasa-Bahasa “Kesatuan” dalam Doktrin Wawasan Nusantara Orde Baru 1973 – 1998
Rumusan Elemen
Perwujudan Kepulauan Nusantara 1. Kebulatan Wilayah Nusantara sebagai satu kesatuan
sebagai satu kesatuan Politik wilayah, wadah, ruang hidup kesatuan matra seluruh
bangsa
2. Bangsa Indonesia yang terdiri beraneka ragam suku,
bahasa, agama… harus menjadi satu kesatuan bangsa yang
bulat
Perwujudan Kepulauan Nusantara 1. Masyarakat Indonesia adalah satu, kemajuan masyarakat
sebagai satu kesatuan Sosial dan yang sama, merata dan seimbang
Budaya 2. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, corak-
ragam budaya yang ada menggambarkan kekayaan
Perwujudan Kepulauan Nusantara 1. Kekayaan wilayah Nusantara milik bersama dan
sebagai satu kesatuan Ekonomi [pemanfaatannya] harus tersedia merata bagi seluruh
bangsa
2. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang
di seluruh wilayah Nusantara
Perwujudan Kepulauan Nusantara 1. Ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada
sebagai satu kesatuan Pertahanan hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa
dan Keamanan dan negara
2. Tiap warga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
rangka bela negara dan bangsa
(Sumber: “Wawasan Nusantara”, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia
[Jakarta: MPRI RI 1973; 1978; 1983; 1988; 1993; 1998])
Pada ranah kesatuan politik, “wilayah”, berupa “aneka ragam suku, bahasa, agama”
“wadah”, “ruang hidup” penduduk – diharuskan “menjadi satu kesatuan bangsa
kumpulan warga yang disebut bangsa— yang bulat”. Dengan demikian identitas
diharuskan menjadi hanya satu, yaitu bayangan bawaan dari setiap kelompok yang telah ada,
tentang apa yang disebut Indonesia menurut tidak mendapatkan pengakuan dalam konsep
pengertian penguasa. Selain itu, realitas sosial struktur yang akan dibangun.
127
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
128
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
ini sama artinya dengan mengorbankan asas Apa yang disampaikan oleh Mohammad
masing-masing. Hatta menunjukkan kontestasi antara
Cita-cita kedaulatan rakyat susah disatukan
proses rekayasa-bahasa yang menjelmakan
dengan cita-cita cultuur nationalism, selagi
kultur Indonesia memakai cap kaum di atas imajinasi menjadi realitas politik, dengan
dan bukan semangat kaum marhaen. Siapa realitas sosial-historis yang de facto telah
mau mencoba boleh ia menyatukan dua ada. Ungkapannya tentang “persatuan” dan
golongan itu, tetapi jangan diharap akan “persatean” jelas menggambarkan peringatan
terdapat asa yang sehat dan benar”
tentang ancaman terhadap individu yang
(Mohammad Hatta sebagaimana dibukukan dapat timbul dan tercipta oleh konsep
oleh Pane, 2015: 139). “persatuan”. Hatta menekankan pentingnya
pengakuan (recognition) atas posisi individu
Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 warga di hadapan negara, bukan warga
menyediakan kesempatan bagi Mohammad dalam arti kolektif bangsa. Penekanan Hatta
Hatta untuk kembali mengungkapkan atas pentingnya pengakuan posisi individu
kekhawatirannya. Hatta menyatakan lagi warga, didasarkan pada prinsip tentang
perihal bahaya persatuan dan kesatuan yang penghormatan (dan pemenuhan) hak-hak
berpola penyeragaman individu dan yang abai dasar/asasi individu warga. Bahwa persatuan
terhadap realitas sosial-historis masyarakat. Ia para warga (menjadi kolektif individu
menyatakan bahwa ide tentang persatuan dalam warga yang disebut bangsa) sebagai akibat
wadah negara harus disertai dengan pernyataan keniscayaan politik pembentukan negara,
eksplisit tentang perlindungan setiap orang tidak berarti hilangnya kemerdekaan setiap
sebagai individu warga negara, bukan hanya warga sebagai individu manusia. Dengan
sebagai warga kolektif yang disebut bangsa. penekanan ini Hatta menunjukkan pentingnya
Hatta secara khusus menyatakan bahwa hak melihat realitas sosial-historis tempat tumbuh-
individu warga untuk menyatakan pendapat kembangnya individu warga itu. Artinya
harus dijamin secara hitam-putih oleh konstitusi rekayasa-bahasa atas pentingnya persatuan,
negara (Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 262). Selain seharusnya didasarkan pada realitas sosial-
itu, harus ada jaminan kepada rakyat, yaitu historis yang de facto sangat beragam pada setiap
jaminan akan “hak untuk merdeka berpikir” individu/kelompok individu. “Persatuan”
(Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 263). dan “persatean” adalah representasi adanya
Menurut Hatta, persatuan dalam wadah kontestasi rekayasa-bahasa dengan realitas
negara tidak berarti dan justru menjadi sosial historis itu.
ancaman kehidupan bersama jika tidak
dilandasi pada prinsip hormat atas individu SIMPULAN
sebagai warga yang memiliki hak-hak dasar. Pemilihan kata (diksi) dalam lingkup
Negara dalam hal ini harus menempatkan makna kata “persatuan” dan “kesatuan”
diri sebagai pengelola keberagaman individu. ditentukan lewat kesepakatan politik. Dengan
Hatta menegaskan bahwa kebebasan individu demikian bahasa menjadi representasi proses
sebagai syarat sebuah negara, harus dijamin negosiasi politik khususnya untuk mewadahi
eksplisit agar negara Indonesia tidak menjadi keragaman kepentingan. Pemilihan kata
“Negara Kekuasaan”. Hatta mengatakan: merupakan bagian dari rekayasa-bahasa.
Lewat bahasa, keragaman disatukan pertama-
“Kita menghendaki negara pengurus
(managerial state). […] Tujuan kita ialah mem
tama melalui konsep dan pemahaman tentang
baharui masyarakat. Tetapi janganlah kita “negara Indonesia”, selanjutnya melalui
memberikan kekuasaan yang tidak terbatas program-program dan kebijakan yang
kepada negara untuk menjadikan di atas dikeluarkan oleh institusi negara.
negara baru itu suatu negara kekuasaan. Kata “persatuan” dan “kesatuan” berubah
(Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 262).
makna karena konteks pemakaiannya dalam
diskursus sosial politik pembentukan negara
129
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
Indonesia. Kedua kata bukan lagi sekedar kata dipahami sebagai salah satu cara untuk
dengan makna leksikalnya “bergabungnya menciptakan alat politik penyatuan tersebut.
beberapa hal menjadi satu”. Kedua kata Meskipun rekayasa bahasa “persatuan
membawa asosiasi makna ideologis yang dan kesatuan” juga berpotensi meremuk
dilegalkan dan memberikan dampak mengikat keragaman yang ada akibat tekanan ideologis
bagi siapapun yang merasakan dinamika oleh insititusi negara. Ruang bagi ekspresi
masyarakat di Indonesia. Dampak yang kesadaran politik di luar bingkai “kesatuan
mengingat tersebut pada awalnya meliputi dan persatuan” menjadi sangat terbatas atau,
aspek gagasan dan konsep, tetapi berkembang jika ada, harus di dalam alur kesamaan dengan
pada aspek pemikiran dan orientasi imajiner tujuan negara.
tentang “ruang kemasyarakatan”, serta perilaku Oleh karena itu, diperlukan upaya jalan
dan sikap. Hal tersebut berlaku relatif sama tengah. Kepentingan negara untuk menciptakan
baik pada periode pascaproklamasi (sekitar narasi kesatuan, perlu disinkronkan dengan
1945 – 1950an) maupun pada periode Orde kebutuhan akan ruang ekspresi dan paradigma
Baru. Meskipun demikian, kata “persatuan” politik kewargaan. Upaya jalan tengah akan
dan “kesatuan” mewujud menjadi doktrin mencegah proses politik yang ekstrem, yaitu
dalam semua lini kebijakan dan administrasi negara menjadi terlalu hegemonik terhadap
negara pada masa Orde Baru. warga di satu sisi, atau warga bersikap antipati
Sejak 1945 kata “persatuan” dan terhadap arah kebijakan negara di sisi lain.
“kesatuan” sebagai diskursus sosial politik Rekomendasi yang dapat dirumuskan
telah menggiring pengerucutan pola pikir secara garis besar di sini mengarah pada upaya
dan perilaku warga. Kedua kata tersebut awal. Pertama, diperlukan penetapan hal-hal
mengalami rekayasa makna yang dilandasi dan pokok yang menjadi inti gagasan negara atas
berorientasi kepada gagasan penyeragaman. paradigma dan konsep “persatuan-kesatuan”
Rekayasa kata “persatuan” dan “kesatuan” yang harus dihidupi oleh warga negara.
dalam periode 1945-1990an mengarah pada Kedua, upaya menyosialisasikan pokok-
pembentukan kesamaan pola pikir, perilaku pokok gagasan negara atas paradigma dan
dan orientasi tindak warga. Rekayasa-kata konsep “persatuan-kesatuan” membutuhkan
cenderung melihat warga sebagai kolektif- konteks lokal. Pembahasaan desain politik
orang dan mengabaikan hakikatnya sebagai “kesatuan”, misalnya, harus sensitif terhadap
individu yang haknya untuk berekspresi kebutuhan dan kondisi di berbagai level dan
harus dilindungi. Selain itu, rekayasa-kata jenis masyarakat. Ketiga, di luar pokok-pokok
“persatuan” dan “kesatuan” cenderung gagasan yang ditetapkan negara sebagai inti
berorientasi pada realitas-terbayang tentang paradigma dan konsep “persatuan-kesatuan”,
kesamaan dan kesetaraan dan mengabaikan harus ada jaminan bahwa rakyat memiliki
realitas sosial-historis warga yang secara nyata ruang ekspresi atas kesadaran politiknya.
sangat beragam. Singkatnya, di luar pokok-pokok “persatuan-
Konsep “persatuan” dan “kesatuan” kesatuan” yang menjadi kepentingan negara
mengalami transformasi makna karena adalah ruang kebebasan bagi rakyat yang tidak
kandungan tujuan politik-ideologis yang perlu diatur maupun dicampuri oleh negara.
diusungnya dalam bingkai pembentukan
negara. Tujuan dari konseptualisasi politik- Ucapan Terima Kasih
ideologis ini sangat penting dari perspektif Riset untuk artikel ini dibiayai oleh Skema
negara. Tanpa alat politik yang mampu Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT)
menyatukan persepsi dan pandangan tentang Departemen Sejarah FIB UGM tahun 2018.
negara Indonesia, akan sulit mencari kerangka Penulis mengucapkan terima kasih kepada
bersama wadah organisasi bagi entitas-entitas Ketua Departemen Sejarah FIB UGM yang
sosio-kultural yang sangat beragam di wilayah telah menyetujui pembiayaan riset ini. Terima
Nusantara. Untuk itu, rekayasa bahasa dapat kasih juga kepada semua kolega di Departemen
130
Agus Suwignyo -- Rekayasa Bahasa dan Konstruksi Politik “Persatuan-Kesatuan”
dalam Wacana “Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Sejarah FIB UGM dan kepada dua reviewer yang __________. 1978. Garis-garis besar haluan
telah membaca dan memberikan masukan atas negara Republik Indonesia. Jakarta:
draft awal artikel. MPR RI.
__________. 1983. Garis-garis besar haluan
DAFTAR PUSTAKA negara Republik Indonesia. Jakarta:
Anderson, Benedict R.O.G. 1991. Imagined MPR RI.
communities: Reflections on the origin
__________. 1988. Garis-garis besar haluan
and spread of nationalism. London:
negara Republik Indonesia. Jakarta:
Verso.
MPR RI.
Aspinal, Edward and Mark T. Berger.
__________. 1993. Garis-garis besar haluan
2001. The break-up of Indonesia?
negara Republik Indonesia. Jakarta:
Nationalism after decolonization
MPR RI.
and the limits of nation-state in post-
Cold War Southeast Asia”. Third __________. 1998. Garis-garis besar haluan
World Quarterly 22 (6): 1003-1024. negara Republik Indonesia. Jakarta:
MPR RI.
Badan BP7 Pusat. 1994. Bahan penataran
P-4: Garis-garis besar haluan negara. N.N. 1988. Garis-garis besar haluan negara
Jakarta: Badan BP-7 Pusat. beserta susunan Kabinet Pembangunan
V. Yogyakarta: Penerbit Lukman
Badan Pengembangan dan Pembinaan
Offset Yogyakarta.
Bahasa, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. 2020. “Blues untuk N.N. 1995. Risalah sidang Badan Penyelidik
Bonnie (1971)”, http://ensiklopedia. Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
kemdikbud.go.id/sastra/artikel/ Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan
Blues_untuk_Bonnie, akses 6 Maret Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei
2020 pukul 09.20. – 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Booth, Anne. 1992 (2008). Can Indonesia
survive as a Unitary State?’ Indonesia Notosusanto, Nugroho. 1981. Proses
and the Malay World 20 (58): 32-47. perumusan Pancasila Dasar Negara.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
Gutting, Gary dan Oksala, Johanna. 2018.
“Michel Foucault” dalam Stanford Pane, Nina, ed. 2015. Mohammad Hatta: Politik,
Encyclopedia of Philisophy, kebangsaan, ekonomi (1926 – 1977).
https://plato.stanford.edu/entries/ Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
foucault/#LangMan, akses 6 Maret Pratama, Aswab Nanda. 2018. Sejarah
2020 pukul 09.25. sumpah pemuda: Tekad anak
Harvey, Barbara S. 2002. The future of Indonesia bangsa bersatu demi kemerdekaan,
as Unitary State: Separatism and https://nasional.kompas.com/
decentralization. Alexandria, Virginia: read/2018/10/28/06360091/
Centre for Naval Analyses, http:// sejarah-sumpah-pemuda-tekad-
www.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/ anak-bangsa-bersatu-demi-
a594235.pdf, 26 Maret 2018. kemerdekaan?page=all, akses
tanggal 14 Agustus 2019, pukul
Kahin, Audrey (ed). 1985. Regional dynamics of
10.15Raditya, Iswara N. 2019. Andai
the Indonesian Revolution. Honolulu:
Ki Hadjar seorang Belanda: Sejarah
University of Hawaii Press.
radikal begawan pendidikan.
Majelis Permusyaratan Rakyat Republik https://tirto.id/andai-ki-hadjar-
Indonesia. 1973. Garis-garis besar seorang-belanda-sejarah-radikal-
haluan negara Republik Indonesia.
Jakarta: MPR RI.
131
Kawistara, Vol. 10, No. 1, 22 April 2020: 116-132
132