You are on page 1of 12

Bab 1

Kearifan Melayu Dalam Pemanfaatan Alam

A. Pembagian Ruang Lingkungan


Secara umum, pembagian ruang hutan-tanah dalam alam Melayu dapat dikelompokan
menjadi empat bagian, sebagaimana tercantum di bawah ini.
1. Tanah Perkampungan
Tanah diperuntukan sebagai tempat permukiman dan pemakaman. Dalam wilayah
perkampungan terdapat ruangan-ruangan lain saling berkaitan yang meliputi tanah pekarangan,
teratak, dusun, tanah koto, tanah pekuburan, padang penggembalaan dan tanah kandang.
2. Rimba
Rimba secara umum diklasifikasikan dalam tiga bagian, yaitu rimba larangan, rimba
cadangan, dan rimba kepungan sialang. Rimba larangan merupakan rimba yang dilindungi secara
adat sebagai tempat simpanan air, flora, dan fauna. Hasil-hasil hutan di rimba larangan seperti
rotan, damar, getah jelutung, berbagai jenis kayu dan hewan buruan, dimanfaatkan secara
ekonomi untuk kebutuhan masyarakat adat. Rimba cadangan merupakan rimba yang
diperbolehkan dibuka untuk tanah peladangan dan perkebunan. Rimba kepungan sialang
merupakan rimba tempat tumbuh pohon sialang yang diperuntukkan sebagai lebah untuk
bersarang. Pohon-pohon yang berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi
lebah untuk mengumpulkan sari- sari bunga dalam proses pembentukan madu.
3. Tanah Peladangan
Tanah peladangan berfungsi sebagai tempat berladang padi dan berkebun, serta berbagai
tanaman semusim seperti jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan ubi-ubian. Kawasan ini
dibuka dari rimba cadangan dan tidak diperbolehkan dibuka dari rimba larangan ataupun rimba
kepungan sialang.
4. Kawasan Perairan
Di kawasan perairan terbentuk sistem khusus yang mengatur pemanfaatannya yang
bertujuan mendukung aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan. Laut,
sungai, danau, dan bencah sebagai komponen kawasan perairan memiliki peran dan fungsi
masing-masing. Sungai selain sumber ekonomi penghasil ikan juga berfungsi sebagai penghubung
ekonomi dalam lalu lintas transportasi antar kampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian.
B. Berladang
Salah satu pemanfaatan alam secara langsung dalam kaitan memenuhi keperluan hidup
masyarakat Melayu adalah berladang. Ladang adalah sebutan untuk tanaman padi atau jenis
tanaman jangka pendek lainnya semacam jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, dan umbi-
umbian. Secara umum, ladang dibuat secara berpindah-pindah, sehingga selalu dijuluki orang
dengan ladang berpindah-pindah. Pada lahan perladangan berpindah ini tidak pernah ditanami
pepohonan karena akan mempersempit lahan untuk menanami tanaman inti seperti padi, jagung,
umbi-umbian, dan sayur-mayur. Jika telah ditanami pohon berarti lahan tersebut telah dianggap
tua dan dikonversikan sebagai hutan masyarakat.
Dalam membuka ladang, biasanya dikerjakan dengan cara gotong. Kegiatan gotong
royong tersebut dilakukan dengan sebutan perharian atau batobo.
Secara umum, mata kegiatan dalam membuka ladang di berbagai tempat dalam kawasan
Melayu Riau untuk pertama kali. adalah sebagai berikut
• Merintis, kegiatan membuka atau membuat jalan dari pinggir kampung ke lahan atau
membuat batas kasar ladang yang hendak digarap.
• Merembas, menebas semak sekali pancung pada bagian atasnya tidak dari pangkal semak.
• Menebang, pohon-pohon kecil ditebang secara gantung- tidak mesti harus tumbang,
sebab akan ditumbangkan oleh pohon-pohon besar yang ditebang kemudian.
• Menutuh, cabang maupun ranting yang tumbang bersama pohon, dipotong-potong,
kemudian dikumpulkan di tengah lahan.
• Melandang, suatu pekerjaan membersihkan daun, memotong dahan dan ranting maupun
sisa-sisa kayu yang berserakan di tepi lahan yang dekat dengan hutan sekeliling ladang
untuk dikumpulkan ke tengah ladang.
• Memarit, yakni membatasi lahan ladang dengan bukan lahan ladang-menebas bagian
batas ini agak bersih sekitar sehasta.
• Membakar, dengan memperhatikan arah angin. Misalnya, kalau angin dari barat, maka
pembakaran dilakukan mulai dari barat lahan ladang juga, sehingga membawa ke timur.
• Memerun, dilakukan dengan cara mengumpulkan dahan serta batang kayu yang masih
tersisa setelah pembakaran di tempat tertentu untuk dibakar kembali. Batang besar
biasanya dijadikan galang pembatas antara jenis-jenis padi yang akan ditanam.
• Menugal dan membenih adalah kegiatan menanam tanaman. Pekerjaan ini dilakukan
secara bersamaan. Laki- laki ditugaskan menugal dan perempuan mengerjakan membenih.

C. Batas Pemanfaatan Alam


Pemeliharaan alam lingkungan pada satu sisi hampir sejalan dengan bagaimana
memanfaatkannya. Dalam petuah amanah berkaitan dengan alam lingkungan oleh Tenas Effendy
menyetalikannya dengan posisi iman seseorang: adat hidup orang beriman/ tahu menjaga laut dan
hutan/ tahu menjaga kayu dan kayan/ tahu menjaga binatang hutan. Jadi, pemanfaatan sumber
daya alam dilaksanakan berdasarkan iman. Hal ini sejalan dengan bagaimana masyarakat Melayu
menjadikan satu-satunya adat yang tidak bisa diubah- ubah yakni adat sebenar adat, berlandaskan
al-Quran dan hadis atau Islam secara keseluruhannya
Di sisi lain, pemanfaatan alam haruslah mengikuti ketentuan positif yang sudah ada,
malahan harus dipelajari sejak awal karena sebagaimana mestinya ketentuan, hal tersebut wujud
dari berbagai pengalaman bukan hanya pengalaman seorang dua, apalagi si pemanfaat alam
tersebut. Tunjuk ajar mengenai hal ini (Tenas Effendy, 2013) dinyatakan dalam ungkapan sebagai
berikut:
Tahu menebas memegang adat
Tahu menebang memegang amanat
Tahu berladang menurut undang
Tahu berkebun mengikut kanun
Dalam ungkapan lain disebutkan bahwa memanfaatkan alam jangan sampai
merusakkannya. Perhatikan ungkapan itu sebagai berikut:
Beramu tidak merusak kayu
Berotan tidak merusak hutan
Bergetah tidak merusak rimba
Berimba tidak merusak tanah
Berkebun tidak merusak dusun
Berkampung tidak merusak gunung
Berladang tidak merusak padang
Mengukur batas maksimal pemanfaatan sampai tidak merusak itu, menurut UU Hamidy
(2012: 89) ialah bagaimana mengambil hasil-hasil dari alam dalam batas kemampuan belantara itu
bertahan, dalam contoh pemanfaatan rimba simpanan. Oleh karena itulah, untuk menjamin
terpeliharanya alam, khususnya pada pemanfaatan hutan simpanan tersebut, diiringi dengan
bidal: Kayu ditebang diganti kayu, rimba ditebang diganti rimba.
Bab 2
Kepengarangan Sastra Melayu Riau

A. Bentuk
Sepanjang yang dapat diamati, ada tiga bentuk sastra Melayu Riau yang paling dominan
sehingga ditemui pada semua kabupaten/ kota di Riau yakni: 1) mantra, 2) pantun, dan 3) syair.
Untuk itu baca dan simaklah contoh-contoh mantra, pantun, dan syair di bawah ini:
1. Mantra
Mantra diyakini sebagai ucapan yang memiliki daya magis. Digunakan sebagai
pelangkah, penjaga diri, penjaga harta benda, penyampai maksud, permohonan atau
pengharapan, untuk permainan rakyat termasuk olahraga. Istilah mantra merupakan sebutan
yang paling umum dipakai. Sebutan lain dari istilah ini adalah serapah, jampi, tawar, tangkal,
cuca, dan oja.
2. Pantun
Pantun merupakan bentuk puisi yang tertua dalam tradisi budaya Melayu, selain
mantra. Dalam genre puisi, pantun tergolong sebagai puisi terikat yang mempunyai peraturan
dan struktur tertentu. Pada umumnya bait-bait pantun terdiri atas empat baris. Bunyi, akhir
dari keempat baris kalimat yang membentuk pantun mengikuti pola persajakan yang disebut
a-b-a-b. Dua baris pertama berfungsi sebagai sampiran, sedangkan dua baris berikutnya
merupakan isi.
3. Syair
Syair merupakan puisi Melayu yang tersusun dari empat baris kalimat bersajak a-a-a-a.
Biasanya dinyanyikan dengan irama khas, berisikan hikayat, cerita, dan nasihat-nasihat untuk
kebaikan akhlak dan budi pekerti serta pelajaran-pelajaran agama. Beberapa syair yang
terkenal misalnya Syair Ikan Terubuk dan Syair Siti Subaidah.

B. Dari Puncak
Sutardji Calzoum Bachri, sastrawan terkemuka Indonesia yang juga adalah anak jati Riau,
mengatakan bahwa membicarakan sastra Riau saat ini adalah membicarakan sesuatu dari puncak
Sebab, bahasa yang digunakan Balai Pustaka yakni bahasa Melayu Riau sebagai medium sastra
telah dengan gemilang terpatrikan dalam begitu banyak karya antara lain Hikayat Hang Tuah dan
Gurindam Duabelas. Dua karya ini disebut karena Hikayat Hang Tuah disebut sebagai karya prosa
Melayu yang sampai tahun 80-an belum ada tolok bandingnya. Sedangkan Gurindam Duabelas
karya Raja Ali Haji merupakan lompatan kreatif pada saat orang sedang mabuk dalam syair dan
pantun yang telah begitu lama membumi.
Dalam "perayaan" sastra Indonesia yang semua pakar sepakat menyatakannya baru
bangkit dengan istilah keberadaan Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, menjulang seorang
nama yakni Soeman Hs. Dari kota terpencil dalam peta Indonesia yang belum merdeka, Soeman
mampu mendobrak sastra di Hindia Belanda ini dengan berbagai kepeloporan. Sejarah mencatat
sebagaimana yang diakui oleh Sutan Takdir Alisjahbana, bagaimana bahasa Melayu dari tangan
Soeman Hs mengalir dan meliuk, memberi warna tersendiri dalam bahasa Indonesia yang baru
dikumandangkan. Dalam segi bentuk, Soeman Hs, memelopori penulisan roman ditektif dan
cerita pendek.
Bab 3
Tunjuk Ajar Jati Diri Pergaulan di Luar Masyarakat Melayu

A. Penamaan Melayu
Secara etimologi, penamaan Melayu berasal dari kata mula dan yu yang berarti negeri.
Negeri yang mula-mula dihuni orang Melayu pada zaman purba telah mempunyai peradaban yang
tinggi. Semua istilah dan perkataan, tersebut dapat disimpulkan bahwa melayu diartikan sebagai
suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu.

B. Jati Diri Melayu


Tiga aspek dasar yang menjadi pengekal dari kemelayuannya, yaitu agama Islam, resam
Melayu, dan berbahasa Melayu. Dari tiga aspek tersebut, agama Islam adalah hal yang paling
mutlak yang tidak bisa ditawar dan menjadi harga mati dari identitas kemelayuan tersebut.
Pada pandangan yang lebih luas, jati diri kemelayuan didukung oleh aspek-aspek lainnya
yang mengokohkan dari identitas kemelayuan tersebut. Aspek ini menjabarkan dan merangkum
nilai-nilai Melayu agar mudah dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

1. Pakaian Diri
Tenas Effendy, menyebut pakaian diri dengan nilai-nilai luhur yang diamalkan untuk
manusia yang sempurna lahiriah dan batiniah, yang dapat diwujudkan dalam Sifat yang Duapuluh
Lima atau Pakaian yang Duapuluh Lima. Hakikat pakain diri pada dasarnya adalah menyeimbangkan
kehidupan kekinian dengan akhirat berdasarkan nilai-nilai asas yang berlaku di tengah masyarakat.
Berikut jabaran 5 pakaian diri dari Pakaian yang Duapuluh Lima.
a) Sifat Tahu Asal Mula Jadi, Tahu Berpegang pada Yang Satu
Sifat ini mencerminkan suatu kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Allah Swt. kesadaran sebagai hamba Allah Swt., mendorong untuk selalu mengingat
penciptanya. Bertakwa, mematuhi semua perintah dan larangannya, serta berusaha untuk
selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
b) Sifat Tahu Membalas Budi
Sifat ini dapat mendorong untuk berbuat baik kepada kaum kerabat, sahabat, jiran
tetangga, masyarakat, bangsa dan negara.
c) Sifat Tahu Diri
Menerapkan sifat tahu diri, akan menghantarkan seseorang untuk tahu alur dengan
patutnya, tahu menempatkan dirinya pada tempat yang layak, tahu membawa dirinya di
dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tahu memahami hak dan
kewajiban, tahu menjalankan tugas yang dibebankan dan sebagainya.
d) Sifat Menang dalam Kalah
Sifat ini menggambarkan bahwa orang Melayu memiliki kerendahan hati dan dan
tenggang rasa. Piawai dalam bersiasat, mahir dalam menyusun strategi, sabar dan teliti dalam
mencari peluang, unggul dalam berunding, berhemat cermat dalam mengambil keputusan,
teliti dalam mengambil kebijakan, berdada lapang dan berpandangan luas dalam
menyelesaikan masalah, dan memandang sesuatu dengan hati nurani yang jernih.
e) Sifat tahu akan malu
Sifat ini akan membuat seseorang untuk tahu menjaga aib dan malu, tahu mengawal
tuah dan marwah, tahu memelihara nama baik diri dan keluarga, dan berpantang
memalukan atau dipermalukan orang lain. Rasa malu merupakan akhlak yang paling tinggi
yang harus dimiliki setiap insan manusia. Jika rasa malu telah lenyap dari diri seseorang,
maka harga dirinya juga akan hilang.

2. Adab
Adab merupakan tingkah laku serta tutur kata yang halus atau sopan untuk menunjukkan
rasa hormat, kerendahan hati, penyerahan diri, dan menjadi cermin kemuliaan orang yang
menyandangnya.

3. Perilaku Masyarakat Melayu


Perilaku ketaatan kepada adat dapat dilihat dari tingkat emosi orang Melayu. Tingkat
emosi ini menggambarkan bagaimana orang Melayu dalam menggunakan adat yang
dipegangnnya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kelima tingkat emosi tersebut seperti
berikut ini.
1) Malu
Malu adalah tingkat emosi yang paling tinggi serta mulia, memiliki perasaan segan dalam
melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, khawatir berbuat salah atau kurang
sopan, kurang senang hati, dan sebagainya. Emosi malu menjadi pakaian utama orang Melayu
yang menjadi bagian dari harga diri. Ungkapan tidak bermalu dianggap tidak punya harga diri.
Malu menjadi sebaik-baik pakaian ialah budi pekerti, sedangkan muatan budi pekerti harus
didasari oleh malu.
2) Rajuk
Tenas Effendy di dalam "Tunjuk Ajar Melayu" menjelaskan, emosi perajuk adalah cerminan
dari sifat lemah semangat, rendah hati, berpikiran sempit, pemalu, cepat putus asa, dan tidak
memiliki keberanian serta harga diri. Orang Melayu sangat memantangkan anggota masyarakat
memiliki sifat perajuk. Dalam Tunjuk Ajar Melayu cukup banyak ungkapan yang melarang menjadi
perajuk dan menggambarkan keburukan dari sifat perajuk tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari,
sifat perajuk dianggap hina dan tidak bertanggung jawab. Selain dijadikan bahan ejekan, bahan
cemooh, dan dilecehkan, orang perajuk lazim tidak diikutsertakan dalam berbagai kegiatan.
Orang perajuk, sadar atau tidak, akan tersingkir dari kehidupan bermasyarakat. Orang tua-tua
mengatakan, "orang perajuk mati hanyut", "orang perajuk hidupnya teruk," atau "orang perajuk
mati terpuruk".
3) Latah
Latah bermakna meniru-niru sikap, perbuatan, atau kebiasaan orang lain. Latah
merupakan kebiasaan diri yang tidak baik untuk selalu melibatkan diri pada perbuatan-perbuatan
yang seharusnya tidak dilakukan. Contoh sifat latah misalnya, laki-laki yang selalu berbual-bual
dengan kaum wanita, laki-laki yang menggantungkan hidupnya terhadap istri, membiarkan istri
bekerja keras sementara ia bermalas-malasan. Latah juga bisa dilihat dari orang yang suka
mencampuri urusan pribadi orang lain ataupun menggunjingkan orang lain. Orang yang bersifat
latah tidak pernah menjadi diri sendiri, suka di puji-puji sehingga selalu tampil untuk memenuhi
kesenangan orang lain.
4) Aruk
Aruk merupakan sesuatu yang menimbulkan kegemparan, seperti kekacauan dan
gangguan. Aruk dapat juga dilihat sebagai sesuatu yang berlangsung dalam keadaan semacam
kesurupan yang disebabkan kekhususan yang tinggi.
5) Amuk
Amuk merupakan tingkat emosi orang Melayu yang paling rendah. Amuk dapat berupa
gelap mata, naik darah, emosi yang tidak terkendali, atau membabi buta misalnya saat
menghadapi lawan. Seseorang yang memakai emosi ini akan menyerang tanpa
pertimbangan akal sehat dan perasaan dengan tujuan hanya ingin melampiaskan amarah. Emosi
amuk akan menghadirkan keberanian tanpa memperhitungkan. Sikap ini muncul ketika seseorang
merasa dirinya diambang kekalahan ketika dalam perang atau perkelahian, dan tidak mau
menyerah atau mengakui kekalahan.

C. Adat Anak Dagang

Adat menjadi tata aturan yang harus dipakai orang Melayu dimana pun berada. Di dalam
ungkapan adat disebutkan, di mana ranting dipatah di situ air diciduk, di mana bumi dipijak, di
situlah langit dijunjung. Penjelasan pepatah ini adalah apabila seseorang mencari penghidupan
dan bekerja di negeri orang, hendaklah ikut membangun negeri tersebut, dan menghormati adat
istiadat yang berlaku. Anak dagang tidak diperbolehkan seperti dalam pepatah, hidup bagai
bayam bertabur yang berarti hidup sesuka hati saja tanpa menghormati orang lain, dan menjadi
pantangan pada suatu negeri untuk membuat rumah dalam rumah, yang berarti mendirikan adat
yang dibawa dari luar ke dalam adat yang berlaku di suatu daerah. Sifat ini akan menyebabkan
berbangga diri terhadap kebesaran adat sendiri dan bersaing dengan adat masyarakat setempat.
Apabila seorang anak hendak pergi merantau, misalnya bekerja atau menuntut ilmu ke
negeri orang, orang tua selalu memberi nasihat yang disebut pesan langkah atau petuah
melangkah Dalam Tunjuk Ajar Melayu dijelaskan sebagai berikut.
Pakai olehmu adat merantau
Di mana bumi dipijak Di sana langit dijunjung
Di mana air disauk
Di sana adat patuh
Di mana nasi dimakan,
Di sana adatnya dimuliakan

Kalau rumah tidak berjantan,


Masuk rumah engkau pantangkan
Kalau singgah ada adatnya
Sebelah kaki di tangga
Sebelah lagi dibendul muka
Jangan dilangkahi bendul yang ada
Bab 4
Mendirikan Provinsi Riau

A. Riau pada Awal Kemerdekaan Indonesia


Kelahiran pemerintahan Indonesia menyusul kemerdekaan dari penjajah dibagi
berdasarkan provinsi-provinsi. Pada tahap awal, Sumatera yang dikenal sebagai pulau terbesar
keenam di dunia, melalui keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 19 Agustus 1945,
ditetapkan sebagai suatu provinsi bersifat administratif. Baru melalui Peraturan Pemerintah No.
8. tahun 1947, pulau ini ditetapkan berstatus menjadi provinsi penuh yang berpusat di Medan.
Tentu saja, rentang jarak antar daerah masih amat jauh. Oleh karena itu, usul agar
Sumatera dipecah-pecah lagi menjadi beberapa provinsi segara muncul begitu provinsi ini
disahkan. Tak lama kemudian, sekitar satu tahun setelah Provinsi Sumatera didirikan atau pada
tahun 1948, terbentuklah tiga provinsi lagi di pulau ini yakni Provinsi Sumatera Bagian Utara,
Sumatera Bagian Selatan, dan Sumatera Tengah.
Ditinjau dari keadaan sekarang pun, rentang jarak antar daerah di Sumatera Khususnya,
kabupaten yang paling merasa keadaan tersebut tentulah Kepulauan Riau. Bayangkan saja, ibu
kota Kabupaten Kepulauan Riau yang terletak di Tanjungpinang, tentu tidak begitu mudah
dijangkau dari Bukittinggi. Banyak masyarakat biasa yang malahan tidak tahu bagaimana jalan
menuju ibu kota provinsi tersebut yang dari Pekanbaru saja, tidaklah begitu mudah dicapai.

B. Wacana Pembentukan Provinsi Riau


Usulan pembentukan Provinsi Riau didasari oleh banyak hal. Bergabung dengan Sumatra
Tengah dirasakan menghambat perkembangan Riau dalam hal urusan kedinasan dan
perekonomian. Riau memiliki sumber alam yang luar biasa. Sebaliknya, pembangunan di Riau
amat sedikit. Sebagai contoh adalah pendidikan. Pada tahun 1950-an, di Provinsi Sumatera Tengah,
terdapat 27 SMP Negeri (SMPN), tetapi hanya empat SMPN saja yang berada di Keresidenan Riau,
selebihnya yakni 21 SMPN berada di Sumatera Barat, dan dua SMPN lagi di Jambi. Begitu juga
Sekolah Teknik (ST) dan Sekolah Teknik Menengah (STM) yang se-Sumatera Tengah berjumlah 14
sekolah, hanya satu sekolah berada di Riau dan Jambi, sedangkan selebihnya di Sumatera Barat.
C. Perjuangan Pembentukan Provinsi Riau
Usaha Riau menjadi provinsi di ganjal habis-habisan oleh pemerintah Sumatera Tengah
yang memang tidak mau daerah kaya itu berpisah dengan mereka. Oleh karena berbagai
hambatan, P3R akhirnya mempersilakan Badan Penghubung di Jakarta yang dikomandoi Wan
Ghalib, mengambil tindakan-tindakan untuk memperlancar jalan bagi berdirinya Provinsi Riau. Di
sisi lain, perjuangan di parlemen pusat diperkuat seperti melalui tangan satu-satunya putra Riau
di lembaga tinggi negara itu yakni Ma'rifat Mardjani. Perjuangan melalui pers juga dilaksanakan
bukan saja untuk menangkis serangan melalui media oleh pihak yang tidak menyenangi berdirinya
Provinsi Riau, tetapi juga membuat opini betapa perlunya Provinsi Riau diwujudkan.
Dalam kerancuan pemerintahan itu pulalah, keluar Undang-undang Darurat No.19 tahun
1957 tanggal 9 Agustus tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Soekarno di Bali. Isinya
menjadikan Keresidenan Riau sebagai provinsi, berpisah dengan Sumatera Tengah. Dengan
keputusan tersebut, terbentuklah Provinsi Riau secara resmi. Oleh karena berbagai pertimbangan
keamanan dan pembangunan waktu itu, seiringan dengan pemberontakan Perlawanan
Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI), buah dari aktivitas Dewan Banteng, Tanjungpinang
ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Riau.

D. Riau sebagai Provinsi


Meskipun Provinsi Riau sudah berdiri, pemerintah pusat belum menunjuk gubernur. Sekali
lagi kerancuan terjadi, ketika PRRI mengangkat Syamsi Nurdin sebagai Gubernur Militer Riau,
dengan pusat pemerintahan di Bukittinggi, bukan di Jakarta. Pemerintah pusat, baru menunjuk
Mr S.M. Amin sebagai Gubernur Riau yang dilantik tanggal 5 Maret 1958 di Tanjungpinang. Provinsi
ini pertama meliputi empat kabupaten yakni Kepulauan Riau, Kampar, Indragiri, dan Bengkalis,
dengan wilayah yang luas hingga ke Laut Cina Selatan, memiliki sekitar 3.000 pulau. Ibu kota
Provinsi Riau dipindahkan ke Pekanbaru pada 1960.

You might also like