You are on page 1of 29

Jurnal Hukum & Pembangunan

Volume 48 Number 4 Article 5

12-30-2018

PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK


KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA
DENGAN BERBAGAI NEGARA)
Ghunarsa Sujatnika
Universitas Indonesia, Faculty of Law, sujatnika.ghunarsa@ui.ac.id

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp

Part of the Comparative and Foreign Law Commons, and the Constitutional Law Commons

Recommended Citation
Sujatnika, Ghunarsa (2018) "PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK
KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DENGAN BERBAGAI NEGARA)," Jurnal
Hukum & Pembangunan: Vol. 48: No. 4, Article 5.
DOI: 10.21143/jhp.vol48.no4.1802
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol48/iss4/5

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
.
PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK
KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA
DENGAN BERBAGAI NEGARA)

Ghunarsa Sujatnika *

* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI
Korespondensi: sujatnika.ghunarsa@ui.ac.id
Naskah dikirim: 1 Desember 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Desember 2018

Abstract
One debate that has been going on for a long time and has not yet been
completed is related to the relationship between religion and the state. There
are two general opinions on this matter, namely that which separates religion
and state life and vice versa argues that religion is an integral part of the life of
the state. One way to see how the relationship between God and religion and
the state can be seen in the country's constitution, whether the constitution
regulates "God" and religion or not. After that, it can be found how the
influence of the "Godly Constitution" on constitutional practices in Indonesia
and also its comparison with several other countries' constitutions and their
influence in the practice of state administration in the country.

Keynote: God, Constitution, Religion, Godly Constitution, Debate

Abstrak
Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah
terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat
umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan
bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat
bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat
dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur “Tuhan”
dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh
“Konstitusi Berketuhanan” pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga
perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya
dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut.

Kata Kunci: Tuhan, Konstitusi, Agama, Konstitusi Berketuhanan, Debat

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol48.no4.1802
764 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

I. PENDAHULUAN

Salah satu perdebatan panjang yang sering terjadi dan bahkan membuat
permasalahan tersendiri dalam masyarakat adalah hubungan antara agama
dengan negara.1 Perdebatan antara hubungan agama dan negara seringkali
terjadi karena beragamnya pendapat terkait hal tersebut. Banyak pendapat ahli
yang mengatakan bahwa agama tidak perlu turut campur dalam permasalahan
negara. Pendapat ini dapat diartikan sebagai paham yang sekuler atau
sekularisme.2
Di sisi lain, masih terdapat pihak yang berpendapat bahwa agama
mempunyai keterkaitan dengan negara, baik di dalam konteks privat maupun
publik. Islam contohnya. Islam mengajarkan bahwa kesempurnaan dan ke-
menyeluruh-an dalam ajarannya, sehingga mencakup segala aspek publik
seperti sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai taraf negara. Pada tingkat
negara pun, Islam telah mengatur berbagai kaidah terkait kepemimpinan negara
dan perangkat-perangkatnya.3 Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa di
dalam Islam terdapat relasi yang erat antara agama dengan negara.
Perbedaan pendapat terkait relasi agama dengan negara ini seharusnya
dapat diakomodasi di dalam sebuah konstitusi tertulis atau undang-undang
dasar. Suatu undang-undang dasar sebagai sebuah dokumen yang berisi
kesepakatan, konsensus bersama terkait kebangsaan dan bernegara, secara ideal
harus dipahami bersama sebagai bentuk kompromi ideologi, cara pandang
politik, dan lain sebagainya.4 Sebagai sebuah kesepakatan (konsensus) bersama,
maka setidaknya konstitusi juga harus menjamin tegaknya konstitusionalisme di
zaman modern yang pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan, yakni:5
1) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals
of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2) Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government).

1
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara Ide-Ide
‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,
<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>,
diakses pada 30 Agustus 2018
2
Sekularisme seringkali identik dengan demokrasi. Pertama kali lahir dari paham yang
ingin memisahkan kekuasaan Gereja dalam negara. Gereja dinilai cukup mengatur hal-hal atau
hak yang bersifat privat saja, sedangkan untuk urusan publik diserahkan kepada negara. Lihat
John Keane, Secularism? (Oxford: Blackwell Publishes, 2000), hlm. 5.
3
Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-Wilaayah Ad-Diiniyyah]
diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000).
4
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.
5
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2005)
hlm.21. Adapun terkait dengan materi dalam konstitusi, Sri Soemantri berpendapat bahwa pada
umumnya konstitusi mencakup: (1) terdapatnya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya;
(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan (3)
terdapatnya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Lihat Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),
hlm. 51.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 765

3) Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur


ketatanegaraan (the form of institutions and procedurs).

Konstitusi juga merupakan resultante dari keadaan politik, ekonomi,


sosial, dan budaya ketika konstitusi itu dibuat dan juga merupakan gambaran
atas keadaan dan jawaban yang muncul atas keadaan pada masa itu.6 Dasar
inilah yang menjadikan undang-undang dasar merupakan cara terbaik untuk
memfasilitasi segala perbedaan tersebut dan setiap pihak harus menghormati
kesepakatan tertinggi yang telah tertuang di dalam undang-undang dasar
tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan bersama tertinggi ini pun harus juga
memuat prinsip dan norma yang berlaku di masyarakat, dan dapat ditafsirkan
sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi.
Cara pandang lainnya terhadap konstitusi adalah bahwa setiap
permasalahan terkait konstitusi ataupun ketatanegaraan, biasanya juga terjadi
dengan negara lainnya. Dalam konteksi ini, kebutuhan akan membangun
kehidupan bernegara yang damai, tentram, dan harmonis merupakan kebutuhan
setiap negara. Apalagi, dalam hubungannya dengan konsep relasi agama dan
negara, setiap negara biasanya mempunyai pengalaman ataupun aturan yang
mengatur relasi tersebut. Hal yang paling mudah untuk menunjukkan
bagaimana relasi antara agama dan negara serta bagaimana suasana kebatinan
dari para perumus konstitusi adalah: (1) bagaimana “Tuhan” diatur di dalam
konstitusi; dan (2) bagaimana jaminan perlindungan negara terhadap warganya
dalam hal agama dan/atau keyakinan.
Konstitusi yang mengatur tentang Tuhan ataupun terdapat kata Tuhan di
dalamnya ternyata mendapatkan tempat di konstitusi berbagai negara. Amerika
misalnya. Naskah Konstitusi Federal Amerika Serikat juga memuat istilah-
istilah yang mencerminkan suasana kebatinan para perumusnya (the framers of
the constitution) hidup dengan sangat akrab dengan nilai-nilai keberagamaan
sehari-hari.7 Negara yang sangat liberal dan sekuler ini menempatkan pula kata
“Tuhan” di dalam 50 konstitusi negara bagiannya. Bahkan, di dalam konstitusi
negara bagian Virginia (1776), selain kata “God” dan “Religion”, juga terdapat
kata “Christian Forbearance” yang mirip dengan “tujuh kata” dalam Piagam
Jakarta 22 Juni 1945.
Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai pengaruh agama dalam
konsep bernegara juga telah berlangsung lama, terutama ketika dalam
perumusan dasar negara Indonesia. Perdebatan ini melibatkan golongan Islam
Nasionalis dan Nasionalis Sekuler terkait dengan Sila ke-1 dari Pancasila
mengenai pencantuman konsep syariat Islam dan syarat bagi calon Presiden.
Meski telah selesai dengan kesepakatan Pancasila pada 18 Agustus 1945,
namun perdebatan ini muncul kembali pada Sidang Konstituante. Hingga pada
akhirnya Presiden Soekarno pun mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli
1959.
Berdasarkan contoh di atas, perlu dilihat juga apakah suasana “Tuhan”
dalam suatu negara dapat terasa juga meski dengan tidak secara eksplisit
dicantumkan di konstitusi. Hal lainnya, meski tidak tercantumkan, namun
negara tersebut memperbolehkan rakyatnya untuk menganut agamanya secara

6
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 20.
7
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.
766 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

bebas dan bertanggungjawab. Pola hubungan inilah yang menarik untuk diteliti
lebih lanjut.

II. PEMBAHASAN
A. Kedaulatan Tuhan dalam Konstitusi
Kedaulatan Kedaulatan merupakan suatu hal atau kekuasaan yang
tertinggi di dalam suatu negara dan merupakan salah satu komponen dasar dari
terbentuknya suatu negara selain terdapatnya rakyat, wilayah, dan
pemerintahan. Bahkan, kedaulatan merupakan hal yang sangat penting dan
diperlukan di dalam suatu negara.
Secara terminologi, kedaulatan berasal dari kata Latin yakni
‘Supreanus’ yang berarti tertinggi (supreme).8 Di dalam konteks kedaulatan
negara, implikasi dari kedaulatan adalah negara memiliki kekuatan yang
tertinggi di atas rakyat dan mempunyai wewenang untuk membentuk hukum
dan peraturan yang berlaku. Jellinek berpendapat, “…that characteristic of the
state in virtue of which it cannot be legally bound except by its own will or
limited by any other power than itself.”9 Dalam konteks itu, Jellinek
berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang tidak terikat secara hukum kecuali
atas kehendaknya sendiri atau dibatasi oleh kekuatan lain dari dirinya sendiri.
Selain Jellinek, terdapat pula beberapa tokoh yang berpendapat
mengenai kedaulatan. W.A. Dunning misalnya, dia memberikan definisi, “By
the sovereign is meant that individual or assembly who, by the terms of the
contract on which the commonwealth rests, is authorized to will in the stead of
every party to the contract, for the end of a peaceful life.”10 Dalam hal ini,
Dunning menganggap bahwa penting terdapat suatu kontrak yang memberikan
kepercayaan kepada seorang atau suatu majelis untuk menggantikannya.
Namun demikian, kedaulatan sendiri dapat dikatakan sebagai kekuatan
tertinggi di atas rakyat dan subyek yang tidak terkendali oleh undang-undang
sebagaimana pendapat dari Jean Bodin.11 Ditambahkan pula oleh William
Blackstone, bahwa kedaulatan itu, “. . . the supreme, irresistible, absolute,
uncontrolled authority in which the jura summi imperii reside.”12 Bahkan,
menurut Hinsley, kedaulatan dalam konteks politik tidak mungkin terdapat
otoritas lain yang bersifat final dan mutlak.13 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu negara pasti terdapat suatu bentuk kekuatan
tertinggi yang bernama kedaulatan.
Di dalam sejarahnya, secara teori, kedaulatan telah mengalami berbagai
perkembangan. Dimulai dari kedaulatan Tuhan, lalu kedaulatan Raja,
kedaulatan Negara, kedaulatan Rakyat, dan kedaulatan Hukum. Dalam konteks
kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan Tuhan.

8
J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
49.
9
B.N. Ray, Political Theory: Interrogations and Interventions, (Delhi: Author Press,
2006), hlm. 177.
10
William Archibald Dunning, A History of Political Theories; from Luther to
Montesquieu, (New York: The Mac Millan Company, 1953), hlm. 281.
11
J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
146.
12
William Blackstone, Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s ed,
Vol. 1), hlm. 14.,
13
Ibid.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 767

Hal ini sebagai bentuk penghormatan tertinggi manusia kepada penciptanya dan
mengakui bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi.14 Tuhan dianggap
sebagai tempat bergantung yang paling utama, sehingga seluruh perintah-Nya
harus ditaati dengan baik. Demikian pula dengan segala larangan-Nya harus
dijauhi sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
Di dalam perkembangannya, kedaulatan Tuhan di muka bumi
diwakilkan oleh seorang penguasa. Di dalam teokrasi yang murni, maka
pemimpin tertinggi agama juga merupakan pemimpin tertinggi dalam
pemerintahan.15 Di dalam konteks Islam misalnya, hal ini pernah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi agama maupun
negara.
Di dalam konteks agama Katholik, maka pemimpin Gereja merupakan
kepemimpinan tertinggi karena dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Namun, pemimpin Gereja, dalam hal ini Paus, bukan merupakan pemimpin
tertinggi dalam suatu negara. Pada masa itu, masih terdapat Raja sebagai
pemimpin tertinggi dari suatu negara. Walaupun pada kenyataannya, justru
Paus yang lebih berkuasa dibandingkan oleh Raja. Contoh paling nyata adalah
kasus Imperium Jerman, Henry VI dengan Paus Gregory VII saat terjadi
perselisihan antara keduanya mengenai penunjukan para uskup. 16 Raja Henry
menolak kewenangan Paus dalam penunjukan para uskup sehingga Paus murka
dan mencopot mahkota Raja dan melarang masyarakat dan para penguasa
daerah untuk mematuhi Raja.
Teori kedaulatan Tuhan ini dianggap memiliki potensi untuk
disalahgunakan oleh orang yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan di
muka bumi. Hal tersebut banyak menghasilkan kekuasaan yang bersifat absolut
dan tiran. Oleh karena itu, teori ini lambat laun mulai ditinggalkan. Akan tetapi,
yang menarik adalah teori ini tidak sepenuhnya ditinggalkan. Hal ini karena
pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat tercermin di dalam konstitusi ataupun
dalam penyelenggaraan suatu negara.17
Di dalam perkembangannya, model kedaulatan lain yang populer selain
kedaulatan rakyat adalah kedaulatan hukum. Hukum diharapkan dapat menjadi
rambu sekaligus koridor dalam mengatur kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
dibutuhkan hukum dasar atau hukum tertinggi yang disepakati oleh seluruh
rakyat. Biasanya, kesepakatan ini dituangkan pada suatu bentuk dokumen.
Dokumen inilah yang kemudian mengatur bagaimana hak-hak warga negara,
pemberian dan pembatasan dari kekuasaan negara, serta bagaimana hubungan
antar lembaga negara yang diberikan kekuasaan. Dokumen hukum ini
kemudian disebut sebagai konstitusi.
Konstitusi merupakan sebuah kesepakatan bersama sebuah bangsa
mengenai berbagai hal yang mengatur kehidupan dari kumpulan bangsa
tersebut. Menurut Brian Thompson, konstitusi juga dapat diartikan sebagai
sebuah dokumen yang berisi sistem aturan dan pengoperasian dari sebuah

14
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm. 31.
15
Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, (Cambridge: Harvard University Press,
2010), hlm. 2.
16
Salim Ali Al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1996), hlm. 28.
17
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi., hlm. 32.
768 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

organisasi.18 Organisasi yang dimaksud beragam dalam bentuk dan


kompleksitasnya, mulai dari yang terkecil sampai yang paling besar sekalipun.
Aturan yang mengaturnya dalam sebuah dokumen disebut dengan konstitusi.
Menurut Jimly Asshiddiqie, materi inti dari suatu konstitusi adalah Hak
Asasi Manusia (HAM) karena perlindungan terhadap HAM merupakan
kepentingan paling dasar dari setiap warga negara.19 Hal ini karena konstitusi
adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara, sehingga
di dalam konstitusi perlu mengatur hal yang memberikan jaminan terhadap Hak
Asasi Manusia.
Menurut K.C. Wheare, maka konstitusi dapat dilihat dari dua pendapat.
Pendapat pertama menganggap bahwa konstitusi semata-mata hanya berupa
aturan-aturan hukum saja, tidak lebih dari itu. Di sisi lain, pendapat kedua
mengatakan bahwa konstitusi tidak hanya berisi kaidah-kaidah hukum saja,
tetapi juga berisi pernyataan tentang keyakinan, prinsip, dan cita-cita.20 Ia pun
juga mengatakan bahwa suatu konstitusi idealnya harus berisi aturan-aturan
hukum yang menjadi acuan tertinggi dalam suatu negara serta juga harus
memuat suatu prinsip yang melekat pada jiwa bangsa yang bersangkutan yang
menjadi cita-cita untuk diwujudkan sebagai tujuan negara.
Pandangan mengenai konstitusi tersebut juga disampaikan oleh Jimly
Asshiddiqie yang berpendapat bahwa konstitusi itu bukan hanya harus
dipandang sebagai sebuah dokumen politik saja, tapi juga sebagai dokumen
ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya.21 Dalam konteks sosial
kemasyarakatan, untuk membentuk suatu masyarakat madani tentu selain
berlandaskan hukum juga harus mengatur aturan sosial dan juga etika. Oleh
karena itu, nilai-nilai Ketuhanan dan agama dapat diatur pula di dalam suatu
konstitusi. Dengan demikian, konstitusi pun juga dapat bernilai nilai-nilai
Ketuhanan sebagai suatu wujud pengakuan eksistensi Tuhan sekaligus sebagai
cerminan suatu masyarakat yang madani.
Dalam mewujudkan konsep bernegara dan masyarakat yang madani,
konsep kedaulatan Tuhan tidak dapat sepenuhnya ditinggalkan. Kedaulatan
Tuhan yang diejawantahkan di dalam agama dan kepercayaan sehingga lebih
bernuansa relijius juga mulai berkembang pada berbagai konstitusi dunia.
Bahkan, makin banyak negara di dunia yang berusaha memasukkan sisi
relijiusitas di dalam konstitusi dan kehidupan bernegara, yang berarti agama
dan kepercayaan dapat berpengaruh di dalam pemerintahan suatu negara. Di
dalam hal ini, dapat dilihat dari pendapat Ran Hirschl berikut:22
Religion and the belief in God have made a major comeback. Over the
last few decades principles of theocratic governance have gained
enormous public support worldwide. From the fundamentalist turn in

18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15. Lihat juga Brian
Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London:
Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 3.
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan
pada lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008, hlm. 8.
20
Dahlan Thaib, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: PT. Grafindo Raja
Persada, 2001), hlm. 19.
21
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan
Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, (Jakarta: LP3ES, 2015), hlm. 1-2.
22
Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, hlm. 1-2.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 769

predominantly Islamic polities to the spread of Catholicism and


Pentecostalism in the global South and to the rise of the Christian Right
in the United States, it is hard to overstate the siginificance of the
religious reviving polal in late twentieth- and early twenty-first-century
politics. Parties that advance religion- infused agendas have gained a
tremendous popular following in polities as diserve as India, Isreal,
Malaysia, and Turkey. Christianity, meanwhile, has been growing
exponentially in the so-called developing world. The Roman Catholic
population in Africa alone more than doubled between the mid-1970s
and the mid-1990s, and in Asia it increased by 90 percent during that
period. Religion-based morality continues to hover over much of the
Catholic “old world,” from Latin America to the Philippines. The
Orthodox Church has enjoyed a big resurgence in parts of Eastern
Europe just as Russia has been struggling to control the spread of Islam
in the northern Caucasus. The changing demographics of French
society have given rise to serious challenges, raucous at times, to
France’s assertive secularism. And one only needs to reach for the
television remote control to appreciate the prevalence of Evangelical,
born-again Christianity in the United States, with its scores of pastors,
lest we forget, as newspaper headlines report on religion-based
insurgency from Iraq and Afghanistan to Pakistan, Yemen, Somalia, and
Indonesia on a near-daily basis; on how Hezbollah (the “party of
God”) has effectively erected its own governing apparatus within
Lebanon; on how the struggle between the nationalist Fatah movement
and the religious Hamas movement has effectively split the Palestinian
people; and on struggles between clerics and reformists in Iran. In
short, the reports of God’s death, to paraphrase Mark Twain’s remark,
have been greatly exxeggerated.

Perkembangan ini merupakan suatu hal yang menarik, karena agama yang
dinilai sebagai hal yang privat, ternyata juga dapat mempengaruhi kehidupan
bernegara dan ketatanegaraan suatu negara melalui aturan dalam konstitusi.

B. Konsepsi Ketuhanan dalam Konstitusi Indonesia


Indonesia, sebagai negara yang merupakan negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, merupakan salah satu negara yang mempunyai
konstitusi yang kental dengan nuansa reljiusitas yang tinggi. Hal itu dapat
dilihat dari bagaimana perjuangan merebut kemerdekaan di Indonesia banyak
melibatkan para santri dan ulama. Bahkan, di dalam pembentukan dasar negara
pun, peran kaum Islam di kancah politik mampu mewarnai, meskipun sering
berdebat sengit dengan kaum nasionalis.
Perdebatan mengenai konsep Tuhan, agama, dan hubungannya dengan
negara Indonesia telah muncul pada saat sidang pertama BPUPK pada 29 Mei
1945. Pada rapat hari pertama itu, terdapat beberapa tokoh yang menyinggung
bagaimana peran Tuhan dalam negara, serta hubungan antara agama dengan
negara. Wiranatakoesoema dalam pidatonya bagaimana Tuhan mengutus
manusia untuk menegakkan hukum agar menuju ke arah kebahagiaan. Beliau
menyatakan, “Oleh karena itu maka dalam sejarah dunia diriwayatkan, bahwa
guna alam kemanusiaan telah bangkit utusan-utusan Tuhan, yang menunjukkan
770 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

hukum-hukum dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh manusia, untuk


menunjuk kearah kebahagiaan.”23
Menurut Soesanto Tirtoprodjo, Indonesia Merdeka memerlukan dasar
atau fundamennya; soko-gurunya; dan atap-payonnya. Dasar atau fundamen
terdiri atas semangat kebangsaan, hasrat persatuan, dan rasa kekeluargaan. Lalu
yang menjadi soko-gurunya adalah pemerintahan yang sesuai dengan kehendak
rakyat; Badan Kehakiman yang satu untuk segenap penduduk dan bebas dari
pengaruh badan-badan pemerintahan; perekonomian yang teratru dan terbatas
menurut kebutuhan masyarakat; dan pendidikan rohani dan jasmani dengan
menjauhkan sifat “intellectualisme” dan “materialisme”. Menurut Soesanto
yang menjadi atap-payonnya adalah:24
1) Rasa ke-agamaan, rasa bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
pengakuan bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya dapat timbul
atau tenggelam atas kehendak Tuhan.
2) Ke-insyafan, bahwa menurut kodrat alam, sebagai bangsa dan
negara, Indonesia tidak dapat terlepas dari kekeluargaan Asia Timur
Raya; insyaf, bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatannya harus memenuhi kewajibannya sebagai anggota
Tonari-Kumi bangsa Asia Timur Raya dan mengakui Dai Nippon
sebagai pemimpin atau Kumityonya.
Dari pendapat Soesanto di atas, sudah mulai disinggung bagaimana
keterkaitan Tuhan dalam pembentukan suatu negara. Keterkaitan ini kemudian
diperjelas ketika Dasaad mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
Dasar gedung kemerdekaan adalah Allah. Allah ialah sumber dari segala
hidup dan firmannya haruslah pedoman dalam kemaysarakatan hidup
kita. Maka manusia itu tidak memandang bangsa dan kedudukan dalam
segala lapangan hidup –termasuk juga lapangan pemerintahan- haruslah
menjunjung tinggi nama dan kemuliaan Tuhan. Dalam hal ini tidak
dibeda-bedakan kedudukan atau kekayaan maupun dalam hal
pengakuan Muslimin, Kristen, Hindu, dan Budha. Karena semua
manusia itu ada sama dalam pandangan Tuhan, hati harus suci untuk
bekerja jujur. Pemerintah Indonesia Merdeka haruslah berdasar kepada
Iman dan Tawakal kepada Tuhan. Segala kemajuan dan kekuasaan
dengan tidak memandang cara pembentukannya menerima hukumannya
dari Tuhan. Dasar ekonomi harus dapat perhatian. Saya akan
memajukan rancangan bekerja di lapangan politik ekonomi.25

Selain pendapat Dasaad, pada sidang berikutnya di tanggal 30 Mei


1945, Moh. Hatta telah menyampaikan pendapat dengan inti gagasan utama
adalah pemisahan antara agama dan negara.26 Pada 31 Mei 1945, Soepomo pun
cenderung sependapat dengan Moh. Hatta. Menurutnya,
… dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada
pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum
negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta

23
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 101.
24
Ibid., hlm. 112.
25
Ibid., hlm. 115.
26
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 5.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 771

perhatian dari negaranegara yang turut berhubungan dengan dunia


internasional itu. Jadi seandainya kita di sini mendirikan negara Islam,
pertentangan pendirian itu akan timbul juga dimasyarakat kita dan
barangkali Badan Penyelidik inipun akan susah memperbicangkan soal
itu. Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara
Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara persatuan.
Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang
akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar, yaitu
golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu
akan timbul soal-soal “minderheden”, soal golongan agama yang kecil-
kecil, golongan agama Kristen dan lain-lain. meskipun negara Islam
akan menjamin dengan sebaikbaiknya kepentingan golongan-golongan
lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama kecil cita negara Islam
itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena
itu cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara
persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang
telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.27

Menurutnya, Indonesia lebih sesuai untuk membentuk suatu negara


nasional, yang mengayomi seluruh golongan, totaliter dan menyatu antar
masyarakat dengan negara, serta menghormati seluruh golongan. Dengan
sendirinya, urusan agama akan terpisah dari urusan negara dan secara alamiah
urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan.
Namun demikian, Soepomo menambahkan bahwa negara nasional
bukan berarti tidak relijius. Menurutnya,
Negara nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa negara itu akan
bersifat “a relligieus”. Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara demikian itu dan
hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur,
yang dianjurkan oleh agama Islam.
Sebagai contoh, dalam Negara Indonesia itu hendaknya dianjurkan,
supaya para warga negara cinta kepada tanah air, ikhlas akan diri sendiri
dan suka berbakti kepada tanah air; supaya mencintai dan berbakti
kepada pemimpin dan kepada negara; supaya takluk kepada Tuhan,
supaya tiap-tiap waktu ingat kepada Tuhan. Itu semuanya harus dianjur-
anjurkan, harus dipakai sebagai dasar moral dari negara nasional yang
bersatu itu. Dan saya yakin, bahwa dasar-dasar itu dianjurkan oleh
agama Islam.28

Pendapat selanjutnya datang dari Ki Bagoes Hadikoesoemo. Beliau


memulai pendapatnya dari bagaimana Tuhan mengatur kehidupan manusia dan
mengutus para Nabi untuk menyebarkan risalah-Nya, lalu pembentukan
masyarakat dan negara melalui musyawarah. Lalu, Ki Bagoes juga
mengingatkan bahwa apabila negara Indonesia yang dibangun ini berdasarkan
dengan 4 (empat) ajaran utama Islam: ajaran iman atau kepercayaan kepada

27
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 130.
28
Ibid.
772 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Allah dan perkara gaib; ajaran beribadah, berkhidmat, dan berbakti kepada
Allah; ajaran beramal-sholih; serta ajaran berjihad di jalan Allah, maka akan
makmur dan sejahtera negeri.29
Beliau juga menekankan bahwa Islam membangun pemerintahan yang
adil dan menegakkan keadilan, berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta
kebebasan memeluk agama. Menurut beliau,
Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-
tuan menginginkan berdirinya atau pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budipekerti yang luhur bersendi
permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak
memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah
pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam itu mengandung
kesampaiannya sifat-sifat itu.
Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk
mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan
patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita
Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang
tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.30

Perdebatan mengenai relasi agama dan negara kemudian menguat pada


rapat BPUPK tertanggal 1 Juni 1945 dengan agenda membahas mengenai dasar
negara. Pada momen inilah, Soekarno menggagas dasar negara yang
dinamakannya “Pancasila”. Pancasila menurut Soekarno merupakan lima dasar
yang terdiri atas kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau peri
kemanusiaan; permusyawaratan (mufakat); kesejahteraan sosial; dan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Pada prinsip yang terakhir ini, Soekarno berpendapat bahwa
setiap manusia Indonesia hendaknya ber-Tuhan dengan setiap pemeluk agama
menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing dengan cara
berkeadaban dan saling menghormati.31 Lebih jauh menurut pendapatnya,

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi


masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya
sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al-
Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad S.A.W, orang
Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya.
Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia
ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara
kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya
Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!32

Dari pendapat Soekarno pada 1 Juni 1945, dapat diambil kesimpulan


bahwa Pancasila, yang di kemudian hari digunakan sebagai dasar negara
Indonesia, berprinsip bahwa mengakui terdapatnya eksistensi Tuhan. Meski
tidak secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah “Negara Islam” atau

29
Ibid., hlm. 138-139.
30
Ibid., hlm. 143.
31
D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, (Jakarta: Kompas:
2003), hlm. 24.
32
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 163.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 773

“Negara Agama”, tetapi pengakuan bahwa negara Indonesia merupakan negara


yang ber-Tuhan merupakan cerminan dari masyarakat Indonesia yang
mengakui dan tunduk terhadap aturan-aturan Tuhan.
Setelah sidang resmi I BPUPK, terdapat masa reses hingga 10 Juli 1945.
Dalam kurun waktu itu, diselenggarakan sidang tidak resmi untuk membahas
rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dihadiri oleh 38
anggota. Dari ke-38 anggota itu, kemudian dibentuk lagi Panitia Kecil yang
beranggotakan Soekarno (Ketua), Hatta, Muh. Yamin, Maramis, Wachid
Hasyim, Soebardjo, K.H. A. Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji
Agus Salim, yang membahas khusus tentang Preambul Konstitusi. Adapun
usulan rancangannya, yang dikenal dengan Piagam Jakarta adalah sebagai
berikut:33

PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentausa
mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indoensia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta ini merupakan kesepakatan diantara golongan Islam
Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Kesulitan untuk menyepakati pendapat
dari kedua golongan tersebut dapat dilihat dari pidato Soekarno pada 10 Juli
1945 sebagai berikut,
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.
Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan
Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula
ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini,

33
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. ke-6,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1962), hlm. 25-26.
774 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya
katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati sekarang ini, kita
sekarang sudah ada persetujuan.
… Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang
disusun oleh anggota-anggota yang terhormat: Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Muzakkir, Wahid Hasjim,
Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim itu adanya.34

Piagam Jakarta yang sebelumnya merupakan kesepakatan luhur diantara


golongan Islam Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler ternyata masih
mendapatkan tantangan. Pada 18 Agustus 1945, di rapat PPKI, Hatta
mengusulkan beberapa perubahan penting tentang UUD 1945. Perubahan itu
adalah sebagai berikut:35
1) Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”.
2) Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “Berdasarkan
kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “berdasar atas Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.”
3) Pasal 6 ayat (1), “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama
Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret.
4) Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat
(1) menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syar’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.”

Setelah Hatta menyampaikan pendapat itu, beliau berkata dengan enuh


keyakinan bahwa perubahan itu merupakan perubahan yang maha penting
menyatukan segala bangsa.36 Soekarno kemudian menambahkan bahwa UUD
yang dibuat merupakan UUD Sementara, UUD Kilat, atau Revolutie grondwet
sebagaimana pendapat berikut, “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam
suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih
lengkap dan sempurna.”37
Perdebatan tentang agama, khususnya Islam, dan negara dalam sistem
bernegara dan Pancasila kembali menghangat dalam Sidang Konstituante.
Kelompok yang mendukung Pancasila mengusulkan rumusan kata-kata yang
agak berbeda dengan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, KRIS
1949, dan UUDS 1950, yaitu: (1) Ketuhanan; (2) Perikemanusiaan; (3)
Kesatuan dan Nasionalisme; (4) Permusyawaratan atau Demokrasi; dan (5)
Keadilan Sosial. Di sisi lain, kelompok Islam menganggap bahwa agama Islam
dijadikan sebagai dasar negara karena aajaran mengenai hal-hal duniawi dan
ukhrawi yang berasal dari Tuhan, yang secara resmi dianut oleh lebih dairi 90%

34
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1981), hlm. 31.
35
Ibid., hlm. 51.
36
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Jakarta:
Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 402.
37
Ibid., hlm. 410.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 775

rakyat Indonesia. Sedangkan terdapat pula blok ideologis lainnya, meski


minoritas, yakni blok Sosial-Ekonomi.38
Terkait dengan usulan dasar negara menurut kelompok Islam, dapat
dilihat dalam rancangan usulan Mukaddimah Undang-Undang Dasar yang akan
dibahas pada Sidang Pleno Konstituante sebagai berikut:39
Bahwa kemerdekaan setiap bangsa dan haknja menentukan nasib sendiri
adalah adjaran Islam, oleh karena itu pendjadjahan, dalam bentuk
apapun diatas dunia harus dihapuskan.
Bahwa dalam pergerakan perdjuangan memerdekakan Indonesia ternjata
Islam telah mendjadi sumber dorongan djiwa rakjat Indonesia jang
utama.
Bahwa bangsa Indonesia jang sebagian besar terdiri dari ummat Islam
sudah sepandjang masa bersatu-padu dalam memperdjuangkan
kemerdekaan itu. Alhamdulillah dengan Kurnia dan Rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala terlaksanalah proklamasi kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka untuk memelihara kemerdekaan
itu, kami bangsa Indonesia berketatapan hati untuk menjusun negara
Indonesia mendjadi Republik berdaulat jang berdasarkan Islam.
Dengan demikian, kami bangsa Indonesia menegakkan negara hukum,
jang mendjamin terlaksananja keadilan dan kemakmuran bagi seluruh
rakjatnja, serta mendjundjung tinggi asas kemanusiaan dalam pergaulan
bangsa-bangsa.
Demi ini, kami bangsa Indonesia menerima dan menjatakan berlaku
untuk kami Undang-Undang Dasar ini dalam Sidang Konstituante pada
hari … tanggal … 19 … bersamaan dengan tanggal … 13 … (H).

Pada Sidang Pleno Konstituante tertanggal 21 Mei 1959, Pemerintah


menyampaikan kembali amanat Pemerintah RI pada 22 April 1945 untuk
kembali kepada UUD 1945. Permasalahan berikutnya muncul karena masih
terjadi perdebatan untuk kembali kepada UUD 1945 dengan menggunakan
Pancasila versi 22 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945. Bahkan, A.K. Muzakkir,
salah seorang Panitia Sembilan dan pendantangan Piagam Jakarta berkata:
Akan tetapi sayang seribu sayang, bahwa Piagam Jakarta kini
ditimbulkan kembali bukan untuk dijadikan dasar hukum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, akan tetapi hanyalah sebagai hiburan
kepada perasaan Ummat Islam di Indonesia saja. Kalau Pemerintah
sekarang mengatakan, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu hanyalah
yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, saya hendak menanya:
“Dari manakah Pemerintah mengambil rencana Undang-Undang Dasar
1945 itu? Bukankah rencana Undang-Undang Dasar itu diambil dari apa
yang telah dibuat oleh Badan Penyelidik Bahan-Bahan Kemerdekaan
pada Juli 1945?”40

Pada bagian lain beliau berkata,

38
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 49.
39
Kementerian Penerangan R.I, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun), hlm. 214. Bandingkan pula dengan Mukaddimah
(Pembukaan) UUD 1945.
40
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 113.
776 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Kalau ummat Islam pada tahun 1945 terpaksa menerima Undang-


Undang Dasar 1945, itu oleh karena Bung Karno pada tanggal 18
Agustus 1945, telah menjanjikan kepada wakil-wakil ummat Islam
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan, bahwa dikemudian hari selekas
mungkin mereka akan dapat menyempurnakan Undang-Undang Dasar
sesuai dengan cita-cita ummat Islam. Janji beliau itu dipegang teguh dan
ditagih kini oleh ummat Islam. Oleh karena itu, di Majlis Konstituante,
fraksi-fraksi Islam telah membuat rumusan-rumusan yang sesuai dengan
falsafah kehidupan mereka.41

Pada akhirnya, diputuskanlah untuk kembali kepada UUD 1945 dengan


Pancasila 18 Agustus 1945. Keputusan itu membuat fraksi Islam menolak dan
ketika dilakukan pemungutan suara pada 30 Mei – 2 Juni 1959, tidak
menghasilkan suara mayoritas. Pada pemungutan suara menghasilkan 269 suara
mendukung dan 199 suara menolak. Pada 1 Juni, pemungutan suara kedua
menghasilkan 246 suara mendukung dan 204 suara menolak. Terakhir,
pemungutan suara ketiga pada 2 Juni menghasilkan 263 suara mendukung dan
203 menolak. Padahal, yang dibutuhkan adalah dua pertiga mayoritas. Hingga
pada akhirnya, pimpinan sidang menyatakan tidak akan melanjutkan
pemungutan suara kembali karena hasilnya akan sama saja.42
Kondisi Konstituante yang tidak kondusif membuat Presiden Soekarno
akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959. Inti dari dekrit
itu adalah: (1) pembubaran Konstituante; (2) keputusan untuk memberlakukan
kembali UUD 1945; dan (3) penarikan kembali UUD 1950, dan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai
dengan UUD 1945. Menariknya, di dalam Dekrit tersebut, disebutkan bahwa
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945
dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut
Endang Saifuddin,
Seandainya rumusan yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh
Presiden/Pemerintah kepada Konstituante, besar sekali kemungkinan
rumusan termaksud dapat diterima oleh kelompok Islami dalam Majlis
Konstituante. Dan dengan demikian, untuk itu tidak diperlukan Dekrit
Presiden. Dan, kembali kepada Dekrit, walaupun bagi beberapa fihak,
hal itu sukar menjawab semua pertanyaan mereka, namun reaksi mereka
pada umumnya positif.43

Menurut Ismail Sunny, kata “menjiwai” secara negatif berarti bahwa


ketujuh perkataan yang “dihilangkan” juga menjiwai peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya. Sebaliknya, secara positif berarti bahwa bagi pemeluk-pemeluk
Islam diwajibkan untuk menjalankan syari’at Islam yang berbentuk peraturan
perundang-undangan. Menurut Soekarno, “Pengakuan adanya Piagam Jakarta
berarti pula pengakuan akan pengaruhnya terhadap UUD 1945, tidak hanya
mengenai pembukaannya, tetapi juga mengenai Pasal 29 UUD 1945, pasal

41
Ibid.
42
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional …, hlm. 401-402.
43
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 127.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 777

mana harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.”44


Dengan demikian, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini yang terus menjadi dasar
berlakunya UUD 1945 pada masa Orde Lama dan Orde Baru sejatinya menjadi
dasar hukum syari’ah berlaku di Indonesia.
Pasca Orde Baru, terdapat desakan untuk amendemen UUD 1945.
Dalam perubahan ini, terdapat kesepakatan dari seluruh fraksi terkait dengan
perubahan UUD 1945, yaitu:45
1) Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2) Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
3) Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensial (dalam
pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi
ciri-ciri umum sistem presidensial);
4) Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam
Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5) Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan
amendemen terhadap UUD 1945.
Pada poin 1 dijelaskan bahwa tidak mengubah Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan kesepakatan itu, artinya Pembukaan UUD 1945 hasil dari Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dinyatakan masih berlaku. Dengan kata lain, jiwa Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 sudah seharusnya masih menjiwai UUD 1945 hasil
amendemen yang digunakan hingga saat ini.
Selanjutnya, pengaturan ‘Tuhan’ di dalam Konstitusi Indonesia menarik
untuk ditelaah lebih lanjut. Di dalam konteks ini, Konstitusi Indonesia telah
berganti sebanyak empat kali, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS Tahun 1949,
UUDS Tahun 1950, dan UUD NRI Tahun 1945.
1. Tuhan dalam Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang pertama kali
digunakan oleh Indonesia. Konstitusi ini merupakan, mengutip kata Soekarno,
undang-undang dasar kilat atau revolutie grondwet karena dibuat di dalam
waktu dan suasana bernegara yang belum stabil. Soekarno menambahkan
bahwa nanti jika telah bernegara dengan tentram, maka anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat akan dikumpulkan kembali untuk membuat UUD
yang lebih lengkap dan sempurna.
Di dalam UUD 1945, nuansa relijiusitas sudah mulai terasa mengacuk
pada perdebatan pada sidang BPUPK dan PPKI antara golongan Islam
Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Setidaknya, dapat dilihat dari bagaimana
pengaturan kata ‘Tuhan’ atau “Allah” di beberapa tempat, yakni:
1) Paragraf ke-3 Pembukaan UUD 1945
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
2) Paragraf ke-4 Pembukaan UUD 1945

44
Ismail Sunny, Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
(Jakarta: Konpress, 2005), hlm. 22.
45
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan
Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 21.
778 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara


Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Neagra Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3) Pasal 9
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh
dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
4) Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tuhan dalam Konstitusi RIS 1949 (KRIS 1949)


Pasca pemberlakuan UUD 1945, bentuk negara Indonesia berubah
menjadi federasi.46 Di dalam konstitusi ini, hanya terdapat dua kata Tuhan,
yakni di dalam Mukaddimah yang berbunyi,
Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan
sejarah yang berbahagia dan luhur.
Maka, demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam negara yang berbentuk republik-federasi, berdasarkan
pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, peri-kemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Hanya terdapatnya satu kata Tuhan pada bagian Mukaddimah (atau


Pembukaan) merupakan cerminan dari para pembuat Konstitusi yang mencoba
untuk sedikit menjauhkan konsep kedaulatan Tuhan. Namun demikian, dengan
adanya kata Tuhan di dalam Mukaddimah, terutama di dalam bagian rasa
syukur atas kemerdekaan, tidak berarti menghilangkan sepenuhnya unsur
kedaulatan Tuhan di dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

46
Lihat Pasal 1 Ayat (1) Konstitusi RIS 1949. Pasal ini berbunyi, “Republik Indonesia
Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi”
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 779

3. Tuhan dalam UUDS Tahun 1950


Pada 1950, terdapat konstitusi baru yang dipersiapkan untuk
menggantikan Konstitusi RIS Tahun 1949. Pergantian ini juga mengubah
kembali bentuk negara Indonesia, yang sebelumnya berupa republik–federasi,
menjadi republik–kesatuan. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang
Republik Serikat Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia.
Di dalam UUDS 1950, kata Tuhan ditempatkan di dalam dua tempat,
yaitu:
1) Mukaddimah
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tertjapailah tingkatan
sedjarah jang berbahagia dan luhur.
Maka demi ini kami menjusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
piagam Negara jang berbentuk republik-kesatuan, berdasarkan ke-
Tuhanan Jang Maha Esa, peri-kemanusiaan, kebangsaan,
kerakjatan dan keadilan sosial, untuk mewudjudkan kebahagiaan,
kesedjahteraan, perdamaian dan kemerdekaan dalam masjarakat dan
Negara-hukum Indonesia Merdeka jang berdaulat sempurna.
2) Pasal 43
Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Jang Maha Esa.
Penempatan kata Tuhan di dalam kedua tempat diatas, merupakan
sebuah pengakuan bahwa Indonesia masih menganut kedaulatan Tuhan. Hal ini
terbukti dari pasal 43 yang mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa tetap
menjadi salah satu dasar negara.

4. Tuhan dalam UUD NRI Tahun 1945


Pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia melakukan
reformasi di berbagai sektor, salah satunya adalah hukum. Salah satu tuntutan
reformasi adalah supremasi hukum, dan salah satu bentuk ikhtiarnya adalah
amendemen UUD 1945. Rentang waktu 1999-2002, UUD 1945 telah empat
kali mengalami amendemen. Hingga pada amendemen keempat, menggunakan
nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada UUD NRI Tahun 1945, terdapat beberapa kata Tuhan atau Allah di
berbagai tempat, antara lain:
1) Paragraf ke-3 dan ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Neagra Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
780 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan


dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Pasal 9 ayat (1)
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh
dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai berikut: “Demi Allah, saya bersumpah akan
memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden
Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala
undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti kepada Nusa dan Bangsa.”
3) Pasal 29 ayat (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari beberapa tempat diatas, tidak ada perubahan tempat, baik itu
pengurangan ataupun penambahan kata Tuhan di dalam UUD NRI Tahun 1945.
Bahkan, penempatannya pun tidak berubah dengan UUD 1945. Hal ini
membuktikan bahwa Tuhan atau kedaulatan Tuhan merupakan dasar dari
negara Indonesia sehingga memang seharusnya tidak tergantikan.

C. Pengaruh Konstitusi Berketuhanan di Beberapa Negara


Pada bagian ini, akan dilihat setidaknya bagaimana konstitusi dari 30
(tiga puluh) negara mengatur tentang Tuhan dalam konstitusi serta implikasinya
dalam praktik ketatanegaraan masing-masing negara. Biasanya, pencantuman
kata ‘Tuhan’ atau sebutan lain berada di dua tempat, yakni di bagian
Pembukaan dan bagian pengaturan tentang hak asasi manusia. Adapun
konstitusi negara-negara yang dibandingkan adalah Meksiko, Bhutan, Malaysia,
Perancis, Lebanon, dan Norwegia.

5. Meksiko
Konstitusi Meksiko 1917 (terakhir diamendemen pada 2015) tidak
mengatur secara eksplisit kata Tuhan atau sejenisnya. Namun demikian,
konstitusi Meksiko banyak mengatur urusan tentang agama, terutama dalam
ranah publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal seperti tentang hak asasi
manusia, organisasi, dan syarat pejabat publik.
Di dalam Article 1 Par. 5 disebutkan,
Any form of discrimination, based on ethnic or national origin, gender,
age, disabilities, social status, medical conditions, religion, opinions,
sexual orientation, marital status, or any other form, which violates the
human dignity or seeks to annul or diminish the rights and freedoms of
the people, is prohibited.47

Lalu, pada Article 24 disebutkan pula,


Every person has the right to have freedom of ethical convictions, of
conscience and of religion, and to have or to adopt, as the case may be,

47
Meksiko, Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,
https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en, diakses pada 20 Agustus
2018.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 781

the one of her preference. Such freedom includes the right to


participate, individually or collectively, in both public and private
ceremonies, worship or religious acts of the respective cult, as long as
they are not a felony or a misdemeanor punished by law. No person is
allowed to use these public acts of religious expression with political
ends, for campaigning or as means of political propaganda.
Congress cannot dictate laws that establish or abolish any given
religion.
Ordinarily, all religious acts will be practiced in temples, and those that
extraordinarily are practiced outside temples must adhere to law.48

Pada Article 24 di atas, mengatur jaminan perlindungan terhadap warga


negara untuk memilih suatu agama atau keyakinan yang sesuai dengan hati
nuraninya. Kebebasan itu termasuk hak untuk berpartisipasi, baik secara
individu maupun kolektif, baik dalam acara publik maupun privat, ibadah atau
tindakan agama dari aliran sesat, selama bukan suatu kejahatan, meski
kejahatan ringan sekalipun. Dengan demikian, dalam konteks ini, suatu aliran
menyimpang dalam suatu agama diperbolehkan oleh negara selama tidak
melanggar aturan hukum yang berlaku.
Pada aturan yang sama, tindakan ekspresi keagamaan yang dilakukan
tidak boleh bertujuan untuk kepentingan politik tertentu, kampanye politik,
bahkan sarana propaganda politik. Hal ini juga dapat dilihat dari konteks
pembuatan undang-undang, meski termasuk kewenangan Kongres, tapi
Kongres tidak dapat membuat aturan untuk membentuk atau menghapuskan
suatu agama tertentu. Pun, dalam hal melakukan tindakan agama apapun, harus
dilakukan di dalam rumah peribadatannya masing-masing, meskipun masih
dapat dilakukan di luar rumah peribadatannya dengan mematuhi aturan hukum
yang berlaku.
Pengaturan tentang agama di dalam Konstitusi Meksiko dapat dilihat
pula dalam sektor publik, seperti pendidikan dan kualifikasi pencalonan pejabat
publik. Pada sektor pendidikan, di dalam Article 3 disebutkan bahwa seluruh
warga berhak menikmati pendidikan. Namun, aturan dalam poin I menyatakan
bahwa, “the education provided by the State shall be secular, therefore, state
education shall be maintained entirely apart from any religious doctrine.”49
Maka, pendidikan keagamaan tertentu tidak diajarkan di dalam pendidikan
formal.
Pengaturan lainnya, mengatur tentang kualifikasi pencalonan, dapat
dilihat pada Article 55 yang menyatakan,
Requirements to be a Representatives:
...
VI. Not to be priest or minister of any religion.

Begitu pula dengan kualifikasi pencalonan Presiden, di dalam Article 82


poin I disebutkan bahwa, “Qualifications for the Presidency: IV. The candidate
for the Presidency cannot be priest or minister of any religion.” Dengan
demikian, seseorang yang ingin maju menjadi kandidat anggota parlemen atau
calon Presiden tidak boleh berasal dari pendeta atau agamawan.

48
Ibid.
49
Ibid.
782 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Sebagaimana disebutkan di dalam Article 3, bahwa Meksiko merupakan


negara sekuler, pengaturan tentang sekulerisme negara diatur tersendiri di
dalam Article 130. Di dalam Article 130 tersebut disebutkan bahwa terdapat
prinsip historis pemisahan antara Negara dan agama, dan Gereja serta
kelompok agama lainnya harus mematuhi hukum yang dibuat. Dalam hal ini,
hanya Congress of the Union yang dapat mengatur tentang hal-hal ibadah
secara umum, Gereja, dan kelompok keagamaan lainnya. Aturan publik
masing-masing harus mengembangkan dan merinci berbagai ketentuan sebagai
berikut:50
a. Churches and religious groups shall have a legal status as religious
association after the registration procedures. The law shall regulate
the religious associations and shall establish the requirements to get
registration.
b. The government shall not intervene in the internal affairs of the
religious associations.
c. Mexicans can become ministers of any religious denomination. For
this purpose, Mexicans and foreigners must meet the requirements
established by law.
d. Religious ministers cannot hold public offices, according to the
statutory law. As citizens, religious ministers have the right to vote,
but they do not have the right to be elected. Those who have ceased
being church ministers with the required anticipation and by the
procedures established in the law may be elected.
e. Church ministers cannot join together for political purposes nor
proselytize in favor of certain candidate, party or political
association or against them. Neither may they oppose the laws of the
Nation or its institutions, nor insult patriotic symbols in any form, in
public meetings, in worship or in religious literatur.

Untuk menjaga paham negara sekuler, maka terdapat juga aturan


tambahan seperti pelarangan pembentukan segala jenis kelompok politik
menggunakan simbol agama tertentu dan pelarangan diadakannya berbagai
aktivitas politik dalam rumah ibadah. Meski secara tegas mengakui bahwa
Meksiko merupakan negara sekuler, namun di dalam konstitusi ini sangat
kental nuansa Kristen, terutama untuk memisahkan urusan Gereja (dan agama
lain) dengan Negara.

6. Bhutan
Bhutan merupakan salah satu negara di Asia Selatan yang mendasarkan
kehidupan bernegaranya berdasarkan ajaran agama Budha. Di dalam Preambul
Konstitusi Bhutan tahun 2008 tidak disebutkan kata ‘Tuhan’, tetapi perkataan
sejenis, yakni, “We the people of Bhutan: BLESSED by the Triple Gem, the
protection of our guardian deities, the wisdom of our leaders, the everlasting
fortunes of the Pelden Drukpa and the guidance of His Majesty the Druk

50
Ibid., Article 130.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 783

Gyalpo Jigme Khesar Namgyel Wangchuck; ...”51 Triple Gem yang dimaksud
adalah Budha, Dharma, dan Sangha.
Dalam konteks ketatanegaraan, agama Budha bahkan menjadi syarat
mutlak bagi siapapun yang menjadi kepala negara atau Raja (Druk Gyalpo)
sebagaimana tercantum pada Article 2 Point 2 yang berbunyi, “The Chhoe-sid-
nyi of Bhutan shall be unified in the person of the Druk Gyalpo who, as a
Buddhist, shall be the upholder of the Chhoe-sid.” Bahkan, pada Article 9
Point 20 menyebutkan, “The State shall strive to create conditions that will
enable the true and sustainable development of a good and compassionate
society rooted in Buddhist ethos and universal human values.” Demikian
halnya pada Article 3 Point 3 yang menyebutkan bahwa terdapat pemisahan
antara politik dan institusi agama dan menegaskan bahwa, “Religious
institutions and personalities shall remain above politics.” Dengan demikian,
ajaran Budha menjadi “nafas” bagi kehidupan bernegara di Bhutan

7. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
menjadikan ajaran agama Islam sebagai dasar dalam bernegara. Meski tidak
mencantumkan kata ‘Tuhan’ atau “Allah”, namun konstitusi Malaysia sangat
penuh dengan nuansa relijiusitas dari agama Islam. Bahkan, Islam merupakan
satu-satunya agama resmi dari Federasi Malaysia sebagaimana diatur di dalam
Article 3 Point 1, “Islam is the religion of the Federation; but other religions
may be practised in peace and harmony in any part of the Federation.”52
Dalam konteks ketatanegaraan, kepala negara Malaysia atau dapat
disebut Yang di-Pertuan Agong haruslah seorang yang beragama Islam karena
dia juga merupakan sebagai “Kepala Agama Islam”. Ketentuan ini dapat dilihat
pada Article 3 Point 5 yang berbunyi,
“Notwithstanding anything in this Constitution the Yang di-Pertuan
Agong shall be the Head of the religion of Islam in the Federal
Territories of Kuala Lumpur, Labuan and Putrajaya; and for this
purpose Parliament may by law make provisions for regulating Islamic
religious affairs and for constituting a Council to advise the Yang di-
Pertuan Agong in matters relating to the religion of Islam.”53

Bahkan, di dalam pengambilan sumpah pun jelas bahwa Yang di-


Pertuan Agong dituntut untuk dapat memelihara Islam di Malaysia. Adapun
sumpahnya adalah sebagai berikut,
Kami ..... ibni ..... Yang di-Pertuan Agong bagi Malaysia bersumpah
dengan melafazkan:
Wallahi; Wabillahi; Watallahi;
Maka dengan lafaz ini berikrarlah kami dengan sesungguh dan dengan
sebenarnya mengaku akan taat setia pada menjalankan dengan adilnya
pemerintahan bagi Malaysia dengan mengikut sebagaimana Undang-

51
Bhutan, Constitution of Bhutan 2008,
https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en, Preambul, diakses pada
25 Agustus 2018.
52
Malaysia, Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,
https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=en, Article 3 Poin 1,
diakses pada 25 Agustus 2018.
53
Ibid., Article 3 Point 5.
784 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

undang dan Perlembagaan Negeri yang telah disah dan dimasyhurkan


dan yang akan disah dan dimasyhurkan di masa hadapan ini. Dan lagi
kami berikrar mengaku dengan sesungguh dan dengan sebenarnya
memeliharakan pada setiap masa Agama Islam dan berdiri tetap di atas
pemerintahan yang adil dan aman di dalam negeri.54

Dengan demikian, sangat terlihat jelas bahwa suasana relijius sangat


terasa pada konstitusi dan kehidupan bernegara di Malaysia.

8. Perancis
Pada Konstitusi Perancis yang diamendemen pada 2008, tidak
ditemukan kata ‘Tuhan’ sama sekali. Hal ini menegaskan bahwa Perancis
merupakan negara yang sekuler, sebagaimana disebutkan pada Article 1 yang
berbunyi, “France shall be an indivisible, secular, democratic and social
Republic. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without
distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs. It shall be
organised on a decentralized basis.” Pada Article tersebut juga disebutkan
bahwa setiap manusia setara dihadapan hukum tanpa membedakan apapun.
Selain itu, hal yang menarik pada Article 10 adalah “No one may be
disturbed on account of his opinions, even religious ones, as long as the
manifestation of such opinions does not interfere with the established Law and
Order.” Berpendapat tentang agama atau keyakinan lain dimungkinkan selama
tidak mengganggu hukum dan ketertiban di masyarakat.

9. Lebanon
Di dalam Konstitusi Lebanon, kata ‘Tuhan’ tercantum pada dua tempat,
yakni Article 9 tentang kebebasan bergama dan berkeyakinan serta Article 50
tentang sumpah jabatan Presiden. Pada Article 9 disebutkan,
Freedom of conscience is absolute. In assuming the obligations of
glorifying God, the Most High, the State respects all religions and
creeds and safeguards the freedom of exercising the religious rites
under its protection, without disturbing the public order. It also
guarantees the respect of the system of personal status and religious
interests of the people, regardless of their different creeds.55

Kebebasan ini mutlak dalam rangka hubungan privat antara rakyat dengan
Tuhannya. Oleh karena itu, kebebasan ini merupakan bagian dari perlindungan
yang diberikan oleh negara.
Di dalam konteks ketatanegaraan Lebanon, terdapat suatu Pakta
Nasional 1943 (1943 National Pact) yang mengatur pembagian kekuasaan
berdasarkan agama. Di dalam Pakta tersebut, diatur bahwa Presiden Lebanon
haruslah seorang Kristen Maronite, Perdana Menteri merupakan seorang Islam
Sunni, dan ketua parlemen (Chamber of Duties) adalah seorang Syiah.56 Selain

54
Ibid., Article 37 Part 1.
55
Lebanon, Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,
https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en, Article 9, diakses pada
15 September 2018.
56
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Farid el-Khazen, The Communal Pact of National
Identites: The Making and Politics of the 1943 National Pact, (Oxford: Center for Lebanese
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 785

itu, di dalam Article 22 juga disebutkan, “With the election of the first Chamber
of Deputies on a national basis, not sectarian, a new Senate shall be
established in which all religious communities are represented and whose
power shall be limited to supreme national causes.” Aturan ini menunjukkan
bahwa representasi dari agama dalam Senat ternyata dibutuhkan dalam hal
kekuasaan legislatif.

10. Norwegia
Pada Konstitusi Norwegia, ditemukan kata ‘Tuhan’ pada bagian sumpah
jabatan Raja. Selain itu, Norwegia menjadikan ajaran Kristen sebagai nilai-nilai
yang harus hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Article 2 yang
menyebutkan, “Our values will remain our Christian and humanistic heritage.
This Constitution shall ensure democracy, a state based on the rule of law and
human rights.”57Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
erat antara ajaran Kristen dengan penguatan demokrasi.
Dalam konteks ketatanegaraan, di dalam Article 4 disebutkan bahwa
Raja harus mengakui dan beragama Evangelical-Lutheran. Ditegaskan pula di
dalam Article 16 agaimana hubungan antara Negara dengan Gereja
Evangelical-Lutheran, yang secara tersirat menunjukkan bahwa Raja
merupakan kepala tertinggi Gereja. Bahkan Konstitusi sebelum amendemen ini,
rentang waktu 1988 hingga 2008, juga mengatur bahwa setengah dari Council
of State harus beragama sesuai agama resmi negara, yakni Evangelical-
Lutheran.58 Hal ini menunjukkan bahwa begitu besarnya pengaruh agama
dalam kekuasaan eksekutif di Norwegia.
Dalam konteks HAM, di dalam Article 16 telah disebutkan bahwa, “All
inhabitants of the Realm shall have the right to free exercise of their religion.”
Hal ini menunjukkan bahwa meski terdapat satu-satunya agama negara, namun
bukan berarti negara tidak memberikan jaminan untuk dapat memilih agama
dan keyakinan bagi rakyatnya.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil pola sebagai berikut:

Tabel 1
Model Hubungan antara Tuhan dan Agama dalam Konstitusi
Terdapat kata Mengatur Aturan
‘Tuhan’atau jaminan keagamaan
sejenisnya kebebasan mempengaruhi
No Negara dalam beragama atau prinsip
Konstitusi berkeyakinan ketatanegaraan
Ya Tidak Ya Tidak Ya TIdak
1. Meksiko V V V
2. Perancis V V V

Studies, 1991) dan Jeffrey G. Karam, “Beyond Sectarianism: Understanding Lebanese Politic
through a Cross-Sectarian Lens”, Middle East Brief, (April, 2017, No. 107).
57
Norwegia, Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,
https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en, Article 2, diakses pada
17 September 2018.
58
Ulla Schmidt, “State, Law, and Religion in Norway”, Nordic Journal of Religion
and Society, (2011), hlm. 140.
786 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

3. Bhutan V V V
4. Malaysia V V V
5. Lebanon V V V
6. Norwegia V V V
7. Indonesia V V V

D. Pengaruh Konstitusi Berketuhanan dalam Praktik Ketatanegaraan


di Indonesia
Berdasarkan Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dilihat
bagaimana Konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia bernuansa
Ketuhanan dan mempengaruhi sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pada
rancangan ketiga UUD 1945 dengan menggunakan Piagam Jakarta yang
ditetapkan pada 16 Juli 1945, dapat dilihat bagaimana bunyi dari Pasal 6 ayat
(1) adalah “Presiden ialah orang Indonesia asli, yang beragama Islam.” Padahal,
bila mengacu kepada Thailand, Bhutan, ataupun Malaysia, maka pengaturan
seperti itu dimungkinkan karena mengacu kepada mayoritas agama di
negaranya masing-masing.
Namun, pada 18 Agustus 1945, Moh. Hatta mencoret aturan tersebut
dengan alasan,
Presiden Indonesia orang Islam, agak menyinggung perasaan dan pun
tidak berguna, oleh karena mungkin adanya orang Islam 95% jumlahnya
di Indonesia ini dengan sendirinya barangkali orang Islam yang akan
menjadi Presiden sedangkan dengan membuang ini maka seluruh
Hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah
Indonesia yang tidak beragama Islam umpamanya yang pada waktu
sekarang diperintah oleh Kaigun. Persetujuan dalam hal ini juga sudah
didapat antara berbagai golongan, sehingga memudahkan pekerjaan kita
pada waktu sekarang ini.59

Namun demikian, bila mengacu kepada pendapat Ismail Sunny tentang


Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang menjadi jiwa dari UUD 1945, baik sebelum
maupun sesudah amendemen, maka Indonesia sejatinya tetap negara yang
sumber atau dasarnya adalah Islam. Apalagi, pada Pasal 29 ayat (1) disebutkan
bahwa, “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bila dibandingkan dengan ketentuan dari konstitusi negara lain, maka
Indonesia, dengan Pancasila-nya, sejatinya memiliki model pengaturan tentang
Ketuhanan yang unik. Indonesia bukanlah negara yang sekuler, tapi merupakan
negara yang ber-Tuhan meski agama mayoritas tidak diberikan tempat khusus
secara eksplisit di Konstitusi. Namun, secara tersirat beberapa nilai Islam atau
nilai Ketuhanan sudah menjiwai dari UUD NRI Tahun 1945, seperti sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menandakan nilai-nilai Tauhid, lalu
terdapatnya Pasal 29 ayat (1) yang mengatur bahwa peraturan perundang-
undangan yang dibuat serta norma-norma kesusilaan tidak boleh bertentangan
dengan norma yang ditentukan oleh Tuhan.60 Hal ini juga sudah seharusnya
mendasari berbagai putusan pengadilan, baik pengadilan di bawah MA ataupun
59
A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 471.
60
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2012), hlm. 193.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 787

pengadilan konstitusi. Segala putusan hakim pun juga harus


mempertimbangkan nilai-nilai Ketuhanan yang menjiwai bangsa Indonesia.
Implementasi lainnya adalah jaminan untuk memilih agama dan
kepercayaan dan juga perlindungan untuk beribadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya itu sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945. Perlindungan ini dapat dilihat misalnya dalam pengaturan kuota
Haji setiap tahunnya, serta penentuan awal puasa Ramadhan, dan juga sholat
Ied bagi yang beragama Islam. Lalu juga penentuan hari libur untuk
memperingati hari-hari besar agama lainnya, seperti Natal, Waisak, maupun
Nyepi. Lalu bagaimana Kementerian Agama dan juga pendidikan keagamaan
sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.
Dibandingkan dengan negara lain, pengaturan ini merupakan
pengaturan yang universal karena berkaitan dengan HAM. Namun demikian,
karena Indonesia merupakan negara yang Bertuhan, tidak diatur ketentuan
tentang masyarakat boleh memilih untuk tidak beragama atau berkeyakinan
tertentu. Hal ini membuktikan bahwa meski bukan negara agama, namun
negara juga hadir untuk mengatur tentang urusan keagamaan.
Implementasi lainnya adalah terdapatnya hubungan antar norma agama,
etika, dan juga hukum. Pancasila sebagai norma dasar atau grundnorm
merupakan jiwa dari berbagai norma yang terdapat dan diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ketatanegaraan, hubungan norma ini
dapat diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan sumpah jabatan bagi
pejabat publik dan peradilan khusus penegakan kode etik.
Pada konteks tersebut, telah muncul berabagai lembaga penegak kode
etik dalam jabatan-jabatan publik seperti Komisi Yudisial, Majelis Kehormatan
Hakim MA maupun MK, Dewan Pers, Majelis Kehormatan Dewan untuk
anggota DPR dan DPD, Badan Kehormatan DPR atau DPD. Di lingkungan
profesi pun juga terdapat beberapa lembaga penegak kode etik seperti Konsil
Kedokteran, PERADI, dan lain sebagainya.61 Namun demikian, berbagai
lembaga tersebut belum berkedudukan yang tetap. Oleh karena itu, diperlukan
peradilan etik yang berkedudukan tetap agar dapat menjadi pemutus dan
lembaga yang menegakkan kode etik. Sejauh ini, setidaknya baru Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang didorong agar dapat menjadi lembaga
yang independen dan berkedudukan tetap.

III. PENUTUP
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengaruh nilai-nilai Ketuhanan di Indonesia dapat dilihat
dari perjalanan pembentukan UUD 1945 hingga saat ini serta bagaimana
implikasinya dalam struktur ketatanegaraan serta kehidupan bernegara di
Indonesia. Mulai dari penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang ber-
Tuhan sebagaimana diatur di dalam Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, terdapatnya jaminan perlindungan terhadap warga negara
untuk dapat memilih agama dan kepercayaan serta bebas untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya itu, terdapatnya lembaga peradilan etik untuk

61
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 265.
788 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

memutus dan mengadili permasalahan kode etik dalam kerangka penegakan


kode etik bagi pejabat publik.
Selain itu, Indonesia merupakan negara ber-Tuhan yang memiliki pola
tersendiri bila dibandingkan dengan 30 negara lainnya yang menjadi
perbandingan. Kata “Tuhan” ditempatkan pada bagian Pembukaan sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari Konstitusi, dan dipertegas kembali pada
Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meski tidak diatur secara eksplisit
bahwa Islam sebagai agama mayoritas memiliki keistimewaan, namun nilai-
nilainya sudah menjiwai Konstitusi.
Dalam perbandingan diatas, dapat ditemukan pola hubungan antara
Tuhan dengan agama bahwa terdapat negara yang mengatur Tuhan dan jaminan
perlindungan agama, namun terdapat pula negara yang tidak mencantumkan
Tuhan dalam konstittusinya, namun mengatur jaminan perlindungan terhadap
agama dan/atau keyakinan. Selain itu, ditemukan pula bahwa sebagian besar
negara yang mencantumkan Tuhan di dalam konstitusinya terdapat pengaruh
agama dalam praktik ketatanegaraan, baik eksplisit maupun inplisit.
Dari pola hubungan di atas, dapat diambil pengalaman dari negara lain
bahwa merupakan hal yang wajar ketika agama mayoritas memiliki
keistimewaan dan mempengaruhi praktik ketatanegaraan di negara tersebut.
Artinya, andaikata Piagam Jakarta masih diterapkan saat ini secara tegas, maka
hal itu bukanlah suatu masalah bagi praktik bernegara dan bermasyarakat di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, dan Makalah


Al-Bahnasawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1996.
Al Mawardi, Imam. Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-
Wilaayah Ad-Diiniyyah] diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, Jakarta:
Darul Falah, 2000.
Anshari, H. Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Jakarta: CV.
Rajawali, 1981.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konpress, 2005.
_____. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan pada
lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008.
_____. Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
_____. Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan Konstitusionalisasi
Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, Jakarta: LP3ES, 2015.
______. Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan
Demokratis, Malang: Setara Press, 2015.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 789

Blackstone, William. Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s


ed, Vol. 1.
Dunning, William Archibald. A History of Political Theories; from Luther to
Montesquieu, New York: The Mac Millan Company, 1953.
el-Khazen, Farid. The Communal Pact of National Identites: The Making and
Politics of the 1943 National Pact, Oxford: Center for Lebanese Studies,
1991.
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.
Garner, J.W. Political Science and Government, World Press Calcutta, 1955.
Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi. Intervensi Negara Terhadap Agama,
Yogyakarta: UII Press, 2001.
Hirschl, Ran. Constitutional Theocracy, Cambridge: Harvard University Press,
2010.
Karam, Jeffrey G. “Beyond Sectarianism: Understanding Lebanese Politic
through a Cross-Sectarian Lens”, Middle East Brief, April, 2017, No.
107.
Keane, John. Secularism? Oxford: Blackwell Publishes, 2000.
Kementerian Penerangan R.I. Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun.
M, Sri Soemantri. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung:
Alumni, 1987.
MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1995.
Nurtjahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006.
Ray, B.N. Political Theory: Interrogations and Interventions, Delhi: Author
Press, 2006.
Schmidt, Ulla. “State, Law, and Religion in Norway”, Nordic Journal of
Religion and Society, 2011.
Sukarja, Ahmad. Piagam Madinah & Undang-Undang Dasar NRI 1945,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Sunny, Ismail. Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Jakarta: Konpress, 2005.
Thaib, Dahlan dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, Jakarta: PT. Grafindo Raja
Persada, 2001.
Thompson, Brian. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi
ke-3, London: Blackstone Press Ltd., 1997.
790 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I,


Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959.
_____. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. ke-6, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1962.
Yunarti, D. Rini. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta:
Kompas: 2003.

Internet
Asshiddiqie, Jimly. ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara
Ide-Ide ‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,
<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-
Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>, diakses pada 30 Agustus 2018.
Bhutan. Constitution of Bhutan 2008,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en>
, diakses pada 25 Agustus 2018.
Lebanon. Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en
>, diakses pada 15 September 2018.
Malaysia. Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=e
n>, diakses pada 25 Agustus 2018.
Meksiko. Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en>
, diakses pada 20 Agustus 2018.
Norwegia. Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en>,
diakses pada 17 September 2018.

You might also like