Professional Documents
Culture Documents
12-30-2018
Part of the Comparative and Foreign Law Commons, and the Constitutional Law Commons
Recommended Citation
Sujatnika, Ghunarsa (2018) "PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK
KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA DENGAN BERBAGAI NEGARA)," Jurnal
Hukum & Pembangunan: Vol. 48: No. 4, Article 5.
DOI: 10.21143/jhp.vol48.no4.1802
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jhp/vol48/iss4/5
This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Law at UI Scholars Hub. It has been
accepted for inclusion in Jurnal Hukum & Pembangunan by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 4 (2018): 763-790
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
.
PENGARUH KONSTITUSI BERKETUHANAN DALAM PRAKTIK
KETATANEGARAAN (PERBANDINGAN ANTARA INDONESIA
DENGAN BERBAGAI NEGARA)
Ghunarsa Sujatnika *
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI
Korespondensi: sujatnika.ghunarsa@ui.ac.id
Naskah dikirim: 1 Desember 2018
Naskah diterima untuk diterbitkan: 20 Desember 2018
Abstract
One debate that has been going on for a long time and has not yet been
completed is related to the relationship between religion and the state. There
are two general opinions on this matter, namely that which separates religion
and state life and vice versa argues that religion is an integral part of the life of
the state. One way to see how the relationship between God and religion and
the state can be seen in the country's constitution, whether the constitution
regulates "God" and religion or not. After that, it can be found how the
influence of the "Godly Constitution" on constitutional practices in Indonesia
and also its comparison with several other countries' constitutions and their
influence in the practice of state administration in the country.
Abstrak
Salah satu perdebatan yang sudah berlangsung lama dan belum selesai adalah
terkait dengan hubungan antara agama dan negara. Terdapat dua pendapat
umum mengenai hal ini, yakni yang memisahkan antara agama dan kehidupan
bernegara dan sebaliknya berpendapat bahwa agama merupakan bagian tidak
terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Salah satu cara untuk melihat
bagaimana hubungan antara Tuhan dan agama dengan negara dapat dilihat
dalam konstitusi negara tersebut, apakah konstitusi tersebut mengatur “Tuhan”
dan agama atau tidak. Setelah itu dapat ditemukan bagaimana pengaruh
“Konstitusi Berketuhanan” pada praktik ketatanegaraan di Indonesia dan juga
perbandingannya dengan beberapa konstitusi negara lain serta pengaruhnya
dalam praktik ketatanegaraan dalam negara tersebut.
I. PENDAHULUAN
Salah satu perdebatan panjang yang sering terjadi dan bahkan membuat
permasalahan tersendiri dalam masyarakat adalah hubungan antara agama
dengan negara.1 Perdebatan antara hubungan agama dan negara seringkali
terjadi karena beragamnya pendapat terkait hal tersebut. Banyak pendapat ahli
yang mengatakan bahwa agama tidak perlu turut campur dalam permasalahan
negara. Pendapat ini dapat diartikan sebagai paham yang sekuler atau
sekularisme.2
Di sisi lain, masih terdapat pihak yang berpendapat bahwa agama
mempunyai keterkaitan dengan negara, baik di dalam konteks privat maupun
publik. Islam contohnya. Islam mengajarkan bahwa kesempurnaan dan ke-
menyeluruh-an dalam ajarannya, sehingga mencakup segala aspek publik
seperti sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai taraf negara. Pada tingkat
negara pun, Islam telah mengatur berbagai kaidah terkait kepemimpinan negara
dan perangkat-perangkatnya.3 Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa di
dalam Islam terdapat relasi yang erat antara agama dengan negara.
Perbedaan pendapat terkait relasi agama dengan negara ini seharusnya
dapat diakomodasi di dalam sebuah konstitusi tertulis atau undang-undang
dasar. Suatu undang-undang dasar sebagai sebuah dokumen yang berisi
kesepakatan, konsensus bersama terkait kebangsaan dan bernegara, secara ideal
harus dipahami bersama sebagai bentuk kompromi ideologi, cara pandang
politik, dan lain sebagainya.4 Sebagai sebuah kesepakatan (konsensus) bersama,
maka setidaknya konstitusi juga harus menjamin tegaknya konstitusionalisme di
zaman modern yang pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen
kesepakatan, yakni:5
1) Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals
of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2) Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of
government).
1
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara Ide-Ide
‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,
<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>,
diakses pada 30 Agustus 2018
2
Sekularisme seringkali identik dengan demokrasi. Pertama kali lahir dari paham yang
ingin memisahkan kekuasaan Gereja dalam negara. Gereja dinilai cukup mengatur hal-hal atau
hak yang bersifat privat saja, sedangkan untuk urusan publik diserahkan kepada negara. Lihat
John Keane, Secularism? (Oxford: Blackwell Publishes, 2000), hlm. 5.
3
Lihat Imam Al Mawardi, Al Ahkam As Sulthaniyyah: Prinsip-Prinsip
Penyelenggaraan Negara Islami, [Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al-Wilaayah Ad-Diiniyyah]
diterjemahkan oleh Fadhli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2000).
4
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.
5
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2005)
hlm.21. Adapun terkait dengan materi dalam konstitusi, Sri Soemantri berpendapat bahwa pada
umumnya konstitusi mencakup: (1) terdapatnya jaminan terhadap HAM dan warga negaranya;
(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental; dan (3)
terdapatnya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
Lihat Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1987),
hlm. 51.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 765
6
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 20.
7
Jimly Asshiddiqie, ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi.
766 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
bebas dan bertanggungjawab. Pola hubungan inilah yang menarik untuk diteliti
lebih lanjut.
II. PEMBAHASAN
A. Kedaulatan Tuhan dalam Konstitusi
Kedaulatan Kedaulatan merupakan suatu hal atau kekuasaan yang
tertinggi di dalam suatu negara dan merupakan salah satu komponen dasar dari
terbentuknya suatu negara selain terdapatnya rakyat, wilayah, dan
pemerintahan. Bahkan, kedaulatan merupakan hal yang sangat penting dan
diperlukan di dalam suatu negara.
Secara terminologi, kedaulatan berasal dari kata Latin yakni
‘Supreanus’ yang berarti tertinggi (supreme).8 Di dalam konteks kedaulatan
negara, implikasi dari kedaulatan adalah negara memiliki kekuatan yang
tertinggi di atas rakyat dan mempunyai wewenang untuk membentuk hukum
dan peraturan yang berlaku. Jellinek berpendapat, “…that characteristic of the
state in virtue of which it cannot be legally bound except by its own will or
limited by any other power than itself.”9 Dalam konteks itu, Jellinek
berpendapat bahwa terdapat hal-hal yang tidak terikat secara hukum kecuali
atas kehendaknya sendiri atau dibatasi oleh kekuatan lain dari dirinya sendiri.
Selain Jellinek, terdapat pula beberapa tokoh yang berpendapat
mengenai kedaulatan. W.A. Dunning misalnya, dia memberikan definisi, “By
the sovereign is meant that individual or assembly who, by the terms of the
contract on which the commonwealth rests, is authorized to will in the stead of
every party to the contract, for the end of a peaceful life.”10 Dalam hal ini,
Dunning menganggap bahwa penting terdapat suatu kontrak yang memberikan
kepercayaan kepada seorang atau suatu majelis untuk menggantikannya.
Namun demikian, kedaulatan sendiri dapat dikatakan sebagai kekuatan
tertinggi di atas rakyat dan subyek yang tidak terkendali oleh undang-undang
sebagaimana pendapat dari Jean Bodin.11 Ditambahkan pula oleh William
Blackstone, bahwa kedaulatan itu, “. . . the supreme, irresistible, absolute,
uncontrolled authority in which the jura summi imperii reside.”12 Bahkan,
menurut Hinsley, kedaulatan dalam konteks politik tidak mungkin terdapat
otoritas lain yang bersifat final dan mutlak.13 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa di dalam suatu negara pasti terdapat suatu bentuk kekuatan
tertinggi yang bernama kedaulatan.
Di dalam sejarahnya, secara teori, kedaulatan telah mengalami berbagai
perkembangan. Dimulai dari kedaulatan Tuhan, lalu kedaulatan Raja,
kedaulatan Negara, kedaulatan Rakyat, dan kedaulatan Hukum. Dalam konteks
kedaulatan Tuhan, kekuasaan tertinggi atau kedaulatan berada di tangan Tuhan.
8
J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
49.
9
B.N. Ray, Political Theory: Interrogations and Interventions, (Delhi: Author Press,
2006), hlm. 177.
10
William Archibald Dunning, A History of Political Theories; from Luther to
Montesquieu, (New York: The Mac Millan Company, 1953), hlm. 281.
11
J.W. Garner, Political Science and Government, (World Press Calcutta, 1955), hlm.
146.
12
William Blackstone, Commentaries on the Laws of England, (London: Chase’s ed,
Vol. 1), hlm. 14.,
13
Ibid.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 767
Hal ini sebagai bentuk penghormatan tertinggi manusia kepada penciptanya dan
mengakui bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi.14 Tuhan dianggap
sebagai tempat bergantung yang paling utama, sehingga seluruh perintah-Nya
harus ditaati dengan baik. Demikian pula dengan segala larangan-Nya harus
dijauhi sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
Di dalam perkembangannya, kedaulatan Tuhan di muka bumi
diwakilkan oleh seorang penguasa. Di dalam teokrasi yang murni, maka
pemimpin tertinggi agama juga merupakan pemimpin tertinggi dalam
pemerintahan.15 Di dalam konteks Islam misalnya, hal ini pernah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi agama maupun
negara.
Di dalam konteks agama Katholik, maka pemimpin Gereja merupakan
kepemimpinan tertinggi karena dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi.
Namun, pemimpin Gereja, dalam hal ini Paus, bukan merupakan pemimpin
tertinggi dalam suatu negara. Pada masa itu, masih terdapat Raja sebagai
pemimpin tertinggi dari suatu negara. Walaupun pada kenyataannya, justru
Paus yang lebih berkuasa dibandingkan oleh Raja. Contoh paling nyata adalah
kasus Imperium Jerman, Henry VI dengan Paus Gregory VII saat terjadi
perselisihan antara keduanya mengenai penunjukan para uskup. 16 Raja Henry
menolak kewenangan Paus dalam penunjukan para uskup sehingga Paus murka
dan mencopot mahkota Raja dan melarang masyarakat dan para penguasa
daerah untuk mematuhi Raja.
Teori kedaulatan Tuhan ini dianggap memiliki potensi untuk
disalahgunakan oleh orang yang mengaku sebagai wakil atau titisan Tuhan di
muka bumi. Hal tersebut banyak menghasilkan kekuasaan yang bersifat absolut
dan tiran. Oleh karena itu, teori ini lambat laun mulai ditinggalkan. Akan tetapi,
yang menarik adalah teori ini tidak sepenuhnya ditinggalkan. Hal ini karena
pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat tercermin di dalam konstitusi ataupun
dalam penyelenggaraan suatu negara.17
Di dalam perkembangannya, model kedaulatan lain yang populer selain
kedaulatan rakyat adalah kedaulatan hukum. Hukum diharapkan dapat menjadi
rambu sekaligus koridor dalam mengatur kehidupan bernegara. Oleh karena itu,
dibutuhkan hukum dasar atau hukum tertinggi yang disepakati oleh seluruh
rakyat. Biasanya, kesepakatan ini dituangkan pada suatu bentuk dokumen.
Dokumen inilah yang kemudian mengatur bagaimana hak-hak warga negara,
pemberian dan pembatasan dari kekuasaan negara, serta bagaimana hubungan
antar lembaga negara yang diberikan kekuasaan. Dokumen hukum ini
kemudian disebut sebagai konstitusi.
Konstitusi merupakan sebuah kesepakatan bersama sebuah bangsa
mengenai berbagai hal yang mengatur kehidupan dari kumpulan bangsa
tersebut. Menurut Brian Thompson, konstitusi juga dapat diartikan sebagai
sebuah dokumen yang berisi sistem aturan dan pengoperasian dari sebuah
14
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm. 31.
15
Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, (Cambridge: Harvard University Press,
2010), hlm. 2.
16
Salim Ali Al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1996), hlm. 28.
17
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi., hlm. 32.
768 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
18
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 15. Lihat juga Brian
Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-3, (London:
Blackstone Press Ltd., 1997), hlm. 3.
19
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, makalah yang disampaikan
pada lecture Peringatan 10 Tahun KontraS, Jakarta, 26 Maret 2008, hlm. 8.
20
Dahlan Thaib, dkk. Teori Hukum dan Konstitusi, (Jakarta: PT. Grafindo Raja
Persada, 2001), hlm. 19.
21
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial: Institusionalisasi dan
Konstitusionalisasi Kehidupan Sosial Masyarakat Madani, (Jakarta: LP3ES, 2015), hlm. 1-2.
22
Ran Hirschl, Constitutional Theocracy, hlm. 1-2.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 769
Perkembangan ini merupakan suatu hal yang menarik, karena agama yang
dinilai sebagai hal yang privat, ternyata juga dapat mempengaruhi kehidupan
bernegara dan ketatanegaraan suatu negara melalui aturan dalam konstitusi.
23
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 101.
24
Ibid., hlm. 112.
25
Ibid., hlm. 115.
26
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama,
(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 5.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 771
27
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 130.
28
Ibid.
772 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
Allah dan perkara gaib; ajaran beribadah, berkhidmat, dan berbakti kepada
Allah; ajaran beramal-sholih; serta ajaran berjihad di jalan Allah, maka akan
makmur dan sejahtera negeri.29
Beliau juga menekankan bahwa Islam membangun pemerintahan yang
adil dan menegakkan keadilan, berdasarkan kerakyatan dan musyawarah serta
kebebasan memeluk agama. Menurut beliau,
Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-
tuan menginginkan berdirinya atau pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budipekerti yang luhur bersendi
permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak
memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah
pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam itu mengandung
kesampaiannya sifat-sifat itu.
Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk
mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan
patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita
Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang
tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.30
29
Ibid., hlm. 138-139.
30
Ibid., hlm. 143.
31
D. Rini Yunarti, BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, (Jakarta: Kompas:
2003), hlm. 24.
32
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, hlm. 163.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 773
PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa,
dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat-sentausa
mengantarkan Rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indoensia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia
yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang
berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: Ke-Tuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta ini merupakan kesepakatan diantara golongan Islam
Nasionalis dengan Nasionalis Sekuler. Kesulitan untuk menyepakati pendapat
dari kedua golongan tersebut dapat dilihat dari pidato Soekarno pada 10 Juli
1945 sebagai berikut,
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.
Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan
Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula
ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini,
33
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, cet. ke-6,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1962), hlm. 25-26.
774 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya
katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati sekarang ini, kita
sekarang sudah ada persetujuan.
… Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang
disusun oleh anggota-anggota yang terhormat: Mohammad Hatta,
Muhammad Yamin, Soebardjo, Maramis, Muzakkir, Wahid Hasjim,
Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Haji Agus Salim itu adanya.34
34
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1981), hlm. 31.
35
Ibid., hlm. 51.
36
Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I, (Jakarta:
Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 402.
37
Ibid., hlm. 410.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 775
38
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 49.
39
Kementerian Penerangan R.I, Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,
(Jakarta: Penerbitan Chusus, tanpa tahun), hlm. 214. Bandingkan pula dengan Mukaddimah
(Pembukaan) UUD 1945.
40
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 113.
776 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
41
Ibid.
42
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional …, hlm. 401-402.
43
H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hlm. 127.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 777
44
Ismail Sunny, Jejak-Jejak Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
(Jakarta: Konpress, 2005), hlm. 22.
45
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Bernegara: Praksis Kenegaraan Bermartabat dan
Demokratis, (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 21.
778 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
46
Lihat Pasal 1 Ayat (1) Konstitusi RIS 1949. Pasal ini berbunyi, “Republik Indonesia
Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi”
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 779
5. Meksiko
Konstitusi Meksiko 1917 (terakhir diamendemen pada 2015) tidak
mengatur secara eksplisit kata Tuhan atau sejenisnya. Namun demikian,
konstitusi Meksiko banyak mengatur urusan tentang agama, terutama dalam
ranah publik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal seperti tentang hak asasi
manusia, organisasi, dan syarat pejabat publik.
Di dalam Article 1 Par. 5 disebutkan,
Any form of discrimination, based on ethnic or national origin, gender,
age, disabilities, social status, medical conditions, religion, opinions,
sexual orientation, marital status, or any other form, which violates the
human dignity or seeks to annul or diminish the rights and freedoms of
the people, is prohibited.47
47
Meksiko, Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,
https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en, diakses pada 20 Agustus
2018.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 781
48
Ibid.
49
Ibid.
782 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
6. Bhutan
Bhutan merupakan salah satu negara di Asia Selatan yang mendasarkan
kehidupan bernegaranya berdasarkan ajaran agama Budha. Di dalam Preambul
Konstitusi Bhutan tahun 2008 tidak disebutkan kata ‘Tuhan’, tetapi perkataan
sejenis, yakni, “We the people of Bhutan: BLESSED by the Triple Gem, the
protection of our guardian deities, the wisdom of our leaders, the everlasting
fortunes of the Pelden Drukpa and the guidance of His Majesty the Druk
50
Ibid., Article 130.
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 783
Gyalpo Jigme Khesar Namgyel Wangchuck; ...”51 Triple Gem yang dimaksud
adalah Budha, Dharma, dan Sangha.
Dalam konteks ketatanegaraan, agama Budha bahkan menjadi syarat
mutlak bagi siapapun yang menjadi kepala negara atau Raja (Druk Gyalpo)
sebagaimana tercantum pada Article 2 Point 2 yang berbunyi, “The Chhoe-sid-
nyi of Bhutan shall be unified in the person of the Druk Gyalpo who, as a
Buddhist, shall be the upholder of the Chhoe-sid.” Bahkan, pada Article 9
Point 20 menyebutkan, “The State shall strive to create conditions that will
enable the true and sustainable development of a good and compassionate
society rooted in Buddhist ethos and universal human values.” Demikian
halnya pada Article 3 Point 3 yang menyebutkan bahwa terdapat pemisahan
antara politik dan institusi agama dan menegaskan bahwa, “Religious
institutions and personalities shall remain above politics.” Dengan demikian,
ajaran Budha menjadi “nafas” bagi kehidupan bernegara di Bhutan
7. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
menjadikan ajaran agama Islam sebagai dasar dalam bernegara. Meski tidak
mencantumkan kata ‘Tuhan’ atau “Allah”, namun konstitusi Malaysia sangat
penuh dengan nuansa relijiusitas dari agama Islam. Bahkan, Islam merupakan
satu-satunya agama resmi dari Federasi Malaysia sebagaimana diatur di dalam
Article 3 Point 1, “Islam is the religion of the Federation; but other religions
may be practised in peace and harmony in any part of the Federation.”52
Dalam konteks ketatanegaraan, kepala negara Malaysia atau dapat
disebut Yang di-Pertuan Agong haruslah seorang yang beragama Islam karena
dia juga merupakan sebagai “Kepala Agama Islam”. Ketentuan ini dapat dilihat
pada Article 3 Point 5 yang berbunyi,
“Notwithstanding anything in this Constitution the Yang di-Pertuan
Agong shall be the Head of the religion of Islam in the Federal
Territories of Kuala Lumpur, Labuan and Putrajaya; and for this
purpose Parliament may by law make provisions for regulating Islamic
religious affairs and for constituting a Council to advise the Yang di-
Pertuan Agong in matters relating to the religion of Islam.”53
51
Bhutan, Constitution of Bhutan 2008,
https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en, Preambul, diakses pada
25 Agustus 2018.
52
Malaysia, Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,
https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=en, Article 3 Poin 1,
diakses pada 25 Agustus 2018.
53
Ibid., Article 3 Point 5.
784 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
8. Perancis
Pada Konstitusi Perancis yang diamendemen pada 2008, tidak
ditemukan kata ‘Tuhan’ sama sekali. Hal ini menegaskan bahwa Perancis
merupakan negara yang sekuler, sebagaimana disebutkan pada Article 1 yang
berbunyi, “France shall be an indivisible, secular, democratic and social
Republic. It shall ensure the equality of all citizens before the law, without
distinction of origin, race or religion. It shall respect all beliefs. It shall be
organised on a decentralized basis.” Pada Article tersebut juga disebutkan
bahwa setiap manusia setara dihadapan hukum tanpa membedakan apapun.
Selain itu, hal yang menarik pada Article 10 adalah “No one may be
disturbed on account of his opinions, even religious ones, as long as the
manifestation of such opinions does not interfere with the established Law and
Order.” Berpendapat tentang agama atau keyakinan lain dimungkinkan selama
tidak mengganggu hukum dan ketertiban di masyarakat.
9. Lebanon
Di dalam Konstitusi Lebanon, kata ‘Tuhan’ tercantum pada dua tempat,
yakni Article 9 tentang kebebasan bergama dan berkeyakinan serta Article 50
tentang sumpah jabatan Presiden. Pada Article 9 disebutkan,
Freedom of conscience is absolute. In assuming the obligations of
glorifying God, the Most High, the State respects all religions and
creeds and safeguards the freedom of exercising the religious rites
under its protection, without disturbing the public order. It also
guarantees the respect of the system of personal status and religious
interests of the people, regardless of their different creeds.55
Kebebasan ini mutlak dalam rangka hubungan privat antara rakyat dengan
Tuhannya. Oleh karena itu, kebebasan ini merupakan bagian dari perlindungan
yang diberikan oleh negara.
Di dalam konteks ketatanegaraan Lebanon, terdapat suatu Pakta
Nasional 1943 (1943 National Pact) yang mengatur pembagian kekuasaan
berdasarkan agama. Di dalam Pakta tersebut, diatur bahwa Presiden Lebanon
haruslah seorang Kristen Maronite, Perdana Menteri merupakan seorang Islam
Sunni, dan ketua parlemen (Chamber of Duties) adalah seorang Syiah.56 Selain
54
Ibid., Article 37 Part 1.
55
Lebanon, Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,
https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en, Article 9, diakses pada
15 September 2018.
56
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Farid el-Khazen, The Communal Pact of National
Identites: The Making and Politics of the 1943 National Pact, (Oxford: Center for Lebanese
Pengaruh Konstitusi, Ghunarsa Sujatnika 785
itu, di dalam Article 22 juga disebutkan, “With the election of the first Chamber
of Deputies on a national basis, not sectarian, a new Senate shall be
established in which all religious communities are represented and whose
power shall be limited to supreme national causes.” Aturan ini menunjukkan
bahwa representasi dari agama dalam Senat ternyata dibutuhkan dalam hal
kekuasaan legislatif.
10. Norwegia
Pada Konstitusi Norwegia, ditemukan kata ‘Tuhan’ pada bagian sumpah
jabatan Raja. Selain itu, Norwegia menjadikan ajaran Kristen sebagai nilai-nilai
yang harus hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada Article 2 yang
menyebutkan, “Our values will remain our Christian and humanistic heritage.
This Constitution shall ensure democracy, a state based on the rule of law and
human rights.”57Ketentuan ini juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
erat antara ajaran Kristen dengan penguatan demokrasi.
Dalam konteks ketatanegaraan, di dalam Article 4 disebutkan bahwa
Raja harus mengakui dan beragama Evangelical-Lutheran. Ditegaskan pula di
dalam Article 16 agaimana hubungan antara Negara dengan Gereja
Evangelical-Lutheran, yang secara tersirat menunjukkan bahwa Raja
merupakan kepala tertinggi Gereja. Bahkan Konstitusi sebelum amendemen ini,
rentang waktu 1988 hingga 2008, juga mengatur bahwa setengah dari Council
of State harus beragama sesuai agama resmi negara, yakni Evangelical-
Lutheran.58 Hal ini menunjukkan bahwa begitu besarnya pengaruh agama
dalam kekuasaan eksekutif di Norwegia.
Dalam konteks HAM, di dalam Article 16 telah disebutkan bahwa, “All
inhabitants of the Realm shall have the right to free exercise of their religion.”
Hal ini menunjukkan bahwa meski terdapat satu-satunya agama negara, namun
bukan berarti negara tidak memberikan jaminan untuk dapat memilih agama
dan keyakinan bagi rakyatnya.
Dari perbandingan di atas, dapat diambil pola sebagai berikut:
Tabel 1
Model Hubungan antara Tuhan dan Agama dalam Konstitusi
Terdapat kata Mengatur Aturan
‘Tuhan’atau jaminan keagamaan
sejenisnya kebebasan mempengaruhi
No Negara dalam beragama atau prinsip
Konstitusi berkeyakinan ketatanegaraan
Ya Tidak Ya Tidak Ya TIdak
1. Meksiko V V V
2. Perancis V V V
Studies, 1991) dan Jeffrey G. Karam, “Beyond Sectarianism: Understanding Lebanese Politic
through a Cross-Sectarian Lens”, Middle East Brief, (April, 2017, No. 107).
57
Norwegia, Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,
https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en, Article 2, diakses pada
17 September 2018.
58
Ulla Schmidt, “State, Law, and Religion in Norway”, Nordic Journal of Religion
and Society, (2011), hlm. 140.
786 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
3. Bhutan V V V
4. Malaysia V V V
5. Lebanon V V V
6. Norwegia V V V
7. Indonesia V V V
III. PENUTUP
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa pengaruh nilai-nilai Ketuhanan di Indonesia dapat dilihat
dari perjalanan pembentukan UUD 1945 hingga saat ini serta bagaimana
implikasinya dalam struktur ketatanegaraan serta kehidupan bernegara di
Indonesia. Mulai dari penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang ber-
Tuhan sebagaimana diatur di dalam Pembukaan dan Pasal 29 ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945, terdapatnya jaminan perlindungan terhadap warga negara
untuk dapat memilih agama dan kepercayaan serta bebas untuk menjalankan
agama dan kepercayaannya itu, terdapatnya lembaga peradilan etik untuk
61
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 265.
788 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-48 No.4 Oktober-Desember 2018
DAFTAR PUSTAKA
Internet
Asshiddiqie, Jimly. ’Tuhan’ dan Agama dalam Konstitusi: Pergesekan antara
Ide-Ide ‘Godly Constitution’ Versus Godless Constitution,
<https://www.scribd.com/document/355254411/Tuhan-Dalam-
Konstitusi-Jimly-Asshiddiqie>, diakses pada 30 Agustus 2018.
Bhutan. Constitution of Bhutan 2008,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Bhutan_2008?lang=en>
, diakses pada 25 Agustus 2018.
Lebanon. Constitution of Lebanon 1926 with Amendment 2004,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Lebanon_2004?lang=en
>, diakses pada 15 September 2018.
Malaysia. Constitution of Malaysia 1957 with Amendment 2007,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Malaysia_2007?lang=e
n>, diakses pada 25 Agustus 2018.
Meksiko. Constitution of Mexico 1917 with Amendment 2015,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Mexico_2015?lang=en>
, diakses pada 20 Agustus 2018.
Norwegia. Constitution of Norwegia 1814 with Amendment 2016,
<https://www.constituteproject.org/constitution/Norway_2016?lang=en>,
diakses pada 17 September 2018.