You are on page 1of 24

MODEL-MODEL EMPIRIS RELASI AGAMA DAN NEGARA

DI INDONESIA: BAGAIMANA KEPERCAYAAN AGAMA


MENENTUKAN RELASI ANTARA AGAMA DAN NEGARA?

EMPIRICAL MODELS OF THE RELATIONSHIP BETWEEN RELIGION AND


STATE IN INDONESIA: HOW RELIGIOUS BELIEFS DEFINE THE
RELATION BETWEEN RELIGION AND STATE?

Handi Hadiwitanto & Carl Sterkens


Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana – Yogyakarta
Radboud University Nijmegen – Belanda
handi.hadiwitanto@gmail.com

Abstract
In Indonesian political context the plausibility of religion is very high, both at individual and at
societal level. People normally think that religion and state are not seen as totally independent.
Religion should not be marginalised in public policies, and the state should deal with religious
matters. In the same time we found the rise of religious fundamentalism and its influence on
Indonesian politics. This particular situation shows the problematic relationship between
religion and state in Indonesia. The dividing line between religion and state in today’s Indonesia
is very thin at some points; and the role of religion in the legislative and executive branch
receives a lot of attention in public debate. In this article we would like to examine empirically
the attitudes of Indonesian students in higher education towards the relationship between
religion and state. We will elaborate on the relationship between the religious convictions of
individuals, and the influence of these convictions on their ideas about the separation of religion
and state. We expect that university students attitudes are highly relevant regarding respect for
religious freedom in domains where the state exercises control. The tension between religion and
state is indeed visible in concrete legislation.
Keywords: religion-state relation, liberalism, communitarianism, religion, Islam, Kristen,
empirical research, Indonesia

Abstrak
Kondisi politik Indonesia pada dasarnya tidak pernah dapat benar-benar dipisahkan dari
keberadaan dan peran agama di tengah masyarakat. Sebagai konsekuensi, pemahaman tentang
relasi agama dan negara adalah wacana yang tetap menjadi relevan untuk dibicarakan. Semakin
kuat peran agama dalam politik berarti dapat kita asumsikan sebagai semakin kuat pula relasi
agama dan negara. Demikian pula sebaliknya. Di dalam artikel ini kami mencoba untuk
memperlihatkan tiga hal. Pertama, uraian singkat tentang situasi politik dalam hubungannya
dengan agama di Indonesia. Kedua, konseptual terhadap model-model relasi agama-negara
berdasarkan pandangan filsafat, khususnya berdasarkan wacana tentang liberalisme dan
komunitarianisme. Ketiga, berdasarkan model-model tersebut, kami melakukan penelitian
empiris (kuantitatif) untuk melihat sampai sejauh mana mahasiswa Muslim dan Kristen di
Indonesia mengenali, menyetujui dan menghidupi model-model relasi agama dan negara
tersebut dalam pengalaman dan konteks mereka. Lebih jauh dalam penelitian empiris ini kami
mencoba untuk melihat bagaimana masing-masing model relasi agama-negara itu dibentuk oleh
variabel kepercayaan agama. Subjek penelitian adalah dua kelompok agama yang berbeda, hal
ini memungkinkan kami juga melakukan komparasi.
Kata kunci: hubungan agama-negara, liberalisme, komunitarianisme, agama, Islam, Kristen,
penelitian empiris, Indonesia

Pendahuluan piagam Hak Azasi Manusia, di dalamnya


terdapat hal-hal penting mengenainya. Konsep
Sekalipun pemisahan agama dan negara
kebebasan ‘dari’ dan ‘untuk’ (ber)agama
tidak secara langsung dikodifikasikan dalam
setidaknya menunjukkan tentang bagaimana

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 129


hubungan agama dan negara ditentukan. Pada undang dan peraturan. Pengenalan hukum
praktiknya kita dapat menemukan pandangan- syariah di Provinsi Aceh mungkin adalah
pandangan yang berbeda mengenai hubungan contoh yang paling terkenal dan paling
ideal agama dan politik. Karangan ini hendak ekstrem.1 Pada kenyataannya ini adalah contoh
mendeskripsikan bagaimana perbedaan cara yang juga relevan dengan perkembangan umum
mahasiswa Muslim dan Kristen di Indonesia di Indonesia. Musdah Mulia (2011: 42)
melihat hubungan ideal agama dan negara. Di melaporkan ada 156 kebijakan daerah, surat
sini juga dijelaskan bagaimana mereka edaran atau keputusan eksplisit berdasarkan
menyepakati model-model hubungan agama- prinsip-prinsip moralitas Islam yang dapat
negara, berangkat dari latar belakang digolongkan sebagai perda syariah (peraturan
kepercayaan agama mereka masing-masing. daerah yang dipengaruhi oleh syariah). Di sini
kita dapat melihat bahwa persoalan pemisahan
Karangan ini secara garis besar terbagi
agama dan negara di Indonesia sedang berada
dalam lima bagian. Pertama, kami akan melihat
di bawah tekanan.
konteks kekinian Indonesia khususnya terkait
dengan relasi antara agama dan negara. Kedua, Sejarah pembentukan konstitusi di
kami memperlihatkan teori tentang struktur Indonesia telah memperlihatkan ketegangan
relasi agama-negara. Kami menggunakan antara umat Islam dan kelompok sekuler.
struktur teori filsafat politik yang membedakan Sebagian besar Undang-Undang Dasar dibangun
liberalisme dan komunitarianisme. Kemudian berdasar ideologi Pancasila dari Soekarno.
kami akan menggunakan tipologi ini sebagai Rumusan tentang “Ketuhanan yang Maha Esa”
ukuran pembanding lintas agama. Bagian adalah kompromi historis antara ide-ide Islam
Keempat, kami akan mendeskripsikan dan dan nasionalis sekuler pada saat kelahiran
menginterpretasi hasil-hasil empiris dari riset Republik Indonesia. Pada awalnya pembukaan
kami mengenai sikap-sikap terhadap relasi rancangan UUD tahun 1945 (yang dikenal
agama-negara. Terakhir, kesimpulan sebagai sebagai Piagam Jakarta), serta Pasal 29 dalam
penutup. draft tubuh UUD justru diperpanjang oleh
klausul yang menyatakan “kewajiban
 Politik Kontemporer di Indonesia dan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-
Menyusutnya Konsep Pemisahan Agama pemeluknya”. Dengan tambahan ini hukum
dan Negara Islam akan berlaku bagi umat Islam di
Indonesia. Tambahan pada Piagam Jakarta ini
Publikasi terbaru Human Rights Watch
akhirnya tidak termuat dalam bentuk akhir
(2013) melaporkan meningkatnya secara
konstitusi yang diumumkan pada tanggal 18
intensif intoleransi agama di Indonesia. Pada
Agustus 1945 (lih Intan 2006: 31-80; Hosen,
akhir 1990an posisi agama dalam masyarakat
2007; Feener, 2007: 81-117). ‘Yang Maha Esa’
tampak mengalami titik balik dalam sejarah
adalah tambahan pada konsep “Ketuhanan”
Indonesia. Kelompok-kelompok ekstrim keagamaan
untuk menerima monoteisme dalam Islam
tampak menunjukkan peningkatan terutama
(tawhid, atau ‘keesaan Tuhan’). Singkatnya,
setelah Suharto lengser pada 21 Mei 1998.
baik ideologi pancasila dan UUD adalah hasil
Sejak saat itu, berkembanglah dua hal yang
dari perdebatan antara visi politik liberal dan
saling berkaitan, yaitu menguatnya pengaruh
visi komunitarian dalam agama.
agama dalam politik dan sekaligus semakin
bermasalahnya hubungan antara agama dan Pada awal abad ke-21 beragam usaha
negara di Indonesia. dilakukan untuk memperkenalkan kembali
Piagam Jakarta. Di antaranya melalui
Pertama, bangkitnya ekstrimisme keagamaan
amandemen-amandemen, seperti pada pembukaan
dan pengaruhnya pada politik secara paradoks
Pasal 28j UUD: “(2) Dalam menjalankan hak
berhubungan dengan proses demokratisasi yang
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
terbangun di Indonesia. Ekstrimisme agama
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
seolah mendapatkan ruang untuk muncul
setelah lengsernya Suharto pada tahun 1998. Di
1
sini kita melihat bahwa agama memiliki Undang-undang 18/2001 pemberian
pengaruh hebat terhadap politik. Kedua, otonomi khusus pada Aceh termasuk izin untuk
desentralisasi yang semakin memperkuat campur memperkenalkan hukum syariah sebagai tambahan
tangan agama setempat pada politik, undang- untuk, dan bukan pengganti dari, hukum perdata dan
pidana nasional.

130 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


undang-undang dengan maksud semata-mata telah terjadi, UU ini telah dikritik berpotensi
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan mendorong keterlibatan militer jika ada konflik
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk terjadi.
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama,  Model-model Hubungan antara Agama
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu dan Negara
masyarakat demokratis.”2 Hal ini diikuti oleh
Hubungan yang ideal antara agama dan
penafsiran yang beragam khususnya pada
negara dapat dipahami secara berbeda-beda.
bagian yang menyatakan bahwa “setiap orang
Pada bagian ini kami mengidentifikasi berbagai
wajib tunduk kepada pembatasan... [untuk
jenis hubungan antara agama dan negara, yang
menjamin pengakuan serta penghormatan atas
didasarkan pada konsep filosofis-politis
hak dan kebebasan orang lain] ... sesuai dengan
liberalisme dan komunitarianisme (Bader, 2007;
pertimbangan moral [dan] nilai-nilai agama”.
Fergusson, 1997; Rawls 2001; Sandel, 1982;
Rumusan ini rentan menjadi pembatas hak asasi
Taylor, 1994; Torfs, 2002). Masing-masing
manusia terhadap beberapa orang, berdasarkan
pandangan saling bersaing menempatkan
keyakinan agama orang lain.
individu dan (agama) masyarakat sebagai dasar.
Secara eksplisit beberapa contoh Lebih lanjut, model-model itu menyikapi
undang-undang terkini di bawah ini dapat kita dengan berbeda tingkat netralitas pemerintah
lihat sebagai pendahuluan yang menyiratkan terhadap nilai-nilai substansial kelompok.
pembatasan terhadap kebebasan beragama.
Pertama, pasal tentang Perlindungan Anak (no. Liberalisme
23/2002) termasuk kewajiban “perlindungan”
Perspektif liberal ditandai, pertama-
agama anak hasil adopsi, yang harus dipelihara
tama, dengan desakan pada netralitas prosedural
berdasarkan agama mayoritas masyarakat di
dan netralitas substantif (Rawls, 1988; 1996:
mana orang tua angkatnya tinggal. Kedua,
192; Taylor 1994: 56). Netralitas prosedural
peraturan tentang Pendirian Rumah Ibadah,
berarti bahwa dalam menetapkan kebijakan,
yang dibuat tahun 1969, menyarankan
pemerintah tidak dapat bergantung pada definisi
Pemerintah Lokal agar “rumah ibadah hanya
substantif tentang apa yang ‘baik’. Secara
bisa didirikan dengan persetujuan pemerintah
positif, ini berarti bahwa setiap orang yang
daerah”.3 Revisi pada tahun 2006 menetapkan
berkepentingan harus bersedia mendukung
bahwa para pemimpin pemerintahan di
kebijakan yang ditetapkan, terlepas dari
provinsi, kota dan kabupaten harus membentuk
konsepsi mereka tentang ‘kebaikan’. Dengan
“forum kerukunan umat beragama” untuk
kata lain, argumen kebijakan harus sesuai
memberikan nasihat kepada gubernur, walikota
dengan aturan universal, seperti yang
atau bupati mengenai pembangunan Gereja dan
dirumuskan oleh Habermas (1993: 32) sebagai
Masjid. Ketiga, usulan mengenai Rancangan
berikut: “Norma yang valid harus memenuhi
Undang-Undang Kerukunan Beragama (2011),
syarat bahwa konsekuensi dan efek samping
yang masih terus didiskusikan, yang
ketaatan umum itu dapat diantisipasi agar
menggabungkan kebijakan yang ada tentang
memuaskan kepentingan masing-masing
rumah ibadah, pendidikan agama, praktik
sehingga dengan bebas dapat diterima oleh
penguburan, dan perayaan keagamaan.
semua yang terkena dampaknya (dan dapat
Sekalipun usulan ini belum berhasil, legislatif
diterapkan pada apapun kemungkinan alternatif
telah menyetujui Undang-Undang Konflik
regulasinya) “(lih Van der Ven 1998a: 276f).
Sosial yang berkaitan dengan hal itu, yang
Netralitas substantif berarti bahwa tidak ada
mengizinkan pemerintah pusat atau daerah
alasan apapun bagi pemerintah untuk
mengumumkan keadaan darurat pada peristiwa
mempromosikan persepsi tertentu tentang apa
konflik agama. Merujuk pada konflik yang
saja yang ‘baik’, misalnya agama tertentu.
2
Pemerintah hanya boleh memberikan kerangka
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Amandemen netral yang membebaskan tiap individu untuk
Kedua Atas Undang-Undang Dasar Indonesia, 8 dapat memilih sendiri nilai-nilai atau konsep
Agustus 2000.
3 tertentu. Namun, premis netralitas substantif
Surat Keputusan Bersama, No. 1/Ber/
MDN-MAG/1969, 13 September 1969, oleh Menteri tidak mengurangi fakta bahwa konsepsi tentang
Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama ‘kebaikan’ dan praktik yang terkait dengan
Mohammad Dahlan. konsepsi ini harus memenuhi standar minimum

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 131


keadilan. Dalam hal ini, tindakan pemerintah keyakinan agama, atau bahkan terhadap diri
dapat bertujuan untuk mengurangi diskriminasi mereka sendiri. Hubungan dibangun di atas
(agama).4 prinsip-prinsip keadilan universal yang bebas
dari prasangka substantif. Model ini
Liberalisme juga menekankan bahwa
mengasumsikan bahwa negara tidak memusuhi
tiap individu harus memiliki akses yang sama
agama, tetapi tidak ada ruang untuk intervensi
terhadap fasilitas yang disediakan pemerintah,
terhadap agama. Dalam literatur, model ini juga
tanpa memaksakan nilai-nilai tertentu pada
disebut sebagai model pemisahan tegas (Fox,
mereka. Tiap warga dapat berkembang sesuai
2008: 78ff; Madeley, 2009: 185ff).
dengan pilihan mereka sendiri. Liberalisme
dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu liberalisme
otonom dan liberalisme keragaman. Liberalisme  Liberalisme Keragaman
otonom fokus pada otonomi individu sebagai Menurut liberalisme keragaman, otonomi
tujuan akhir. Sementara dalam liberalisme individu seperti dalam model sebelumnya
keragaman, otonomi terletak di tingkat menyiratkan pembatasan pada budaya untuk
masyarakat yang berarti bahwa tujuan utama bertahan hidup. Hal ini dapat membahayakan
kebijakan pemerintah adalah untuk keragaman dalam masyarakat. Liberalisme
mempertahankan atau mendorong keragaman keragaman menganggap keanekaragaman
masyarakat. agama dan budaya sebagai harta. Oleh karena
itu, di sini otonomi terletak pada masyarakat.
 Liberalisme Otonom Ini berarti bahwa tujuan kebijakan pemerintah
adalah untuk memastikan kelangsungan hidup
Dalam liberalisme otonom, otonomi
komunitas tiap agama secara memadai, tetapi
dianggap sebagai kemampuan dan kemauan
pemerintah tetap tidak dipengaruhi oleh tradisi
individu untuk mengadopsi sikap kritis terhadap
agama tertentu. Dalam model ini, tujuan utama
nilai dan norma-norma dalam tiap tradisi. Sikap
negara adalah untuk melindungi keanekaragaman
kritis yang menyiratkan kebebasan individu
yang ada (Galston, 1995: 523). Namun,
untuk mengkritik gagasan tradisi yang ada,
kebebasan komunitas untuk mengabadikan
sesuai dengan kriteria internal dan eksternal
identitasnya harus dibatasi terutama ketika
(lih. Hirst, 1974; Siegel 1988). Bagi liberalisme
mereka menjadi tidak menghormati keragaman
otonomi, hal ini adalah sah, karena zaman kita
terhadap tradisi-tradisi lain.
ditandai dengan rasionalitas yang terbukti
dengan adanya perbedaan pendapat tentang Baik dalam hal otonomi maupun
bentuk kehidupan yang baik. Jika disepakati netralitas, kedua model tersebut terutama lebih
bahwa ada perbedaan pendapat yang wajar ditujukan untuk menjaga hak-hak kelompok
tentang kemungkinan adanya definisi-definisi agama daripada hak-hak individu. Dalam model
kehidupan yang baik, maka respon yang tepat ini, prinsip netralitas – yang mensyaratkan
adalah memberi tempat pada kebebasan negara tidak akan campur tangan dalam urusan
individu. individu – tentulah masih kritis, sekalipun
keragaman individu dan kelompok dipandang
Tiap individu memiliki hak untuk
sebagai substantif (lih. Mulhall & Swift, 1996:
memperoleh pengetahuan dan merumuskan
44ff & 173ff, Rawls, 2001: 40, 453ff, & 187).
nilai-nilai mereka sendiri tanpa intervensi dari
negara (Mulhall & Swift, 1996:45). Ini
Komunitarianisme
menyiratkan netralitas radikal dari negara yang
tak terpengaruh oleh keyakinan kelompok Unsur pertama dari kritik penganut
agama tertentu. Rawls (1971: 136ff) komunitarianisme terhadap liberalisme adalah
menggambarkan situasi saat pengambil ‘netralitas’ itu adalah hal yang tidak mungkin.
kebijakan bersikap seolah tidak memiliki Liberalisme sering disebut sebagai implikasi
informasi tentang posisi sosial dan dasar budaya Barat yang memprioritaskan otonomi
diri berdasarkan kebebasan memilih. Menurut
4
“Jadi, jika kekuasaan konstitusi mengambil pandangan komunitarian, hal itu menyiratkan
langkah-langkah tertentu untuk memperkuat nilai- tidak adanya pengakuan yang tepat pada budaya
nilai toleransi dan saling percaya, misalnya dengan atau agama. Dengan kata lain, para kritikus
mengecilkan berbagai macam diskriminasi agama menyatakan bahwa liberalisme tidak cukup
dan ras [...], belum tentu menjadi sebuah negara
yang sempurna [...]” (Rawls, 1996: 195).

132 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


memberi perhatian pada substansi tradisi-tradisi konteks keragaman, nilai-nilai bersama dapat
keagamaan tertentu. dibentuk hanya pada tingkat komunitas. Dengan
demikian, model ini membedakan masyarakat
Menurut komunitarianisme, pertama,
yang lebih luas dengan komunitas agama yang
pengakuan – kondisi yang diperlukan dalam
merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
identitas – menjadi bermakna bila dalam
Negara harus mengakui, melindungi, dan
kebijakan maupun perlakuan terhadap individu
mendukung kelompok-kelompok agama yang
dan kelompok, kita memperhitungkan
berbeda untuk kepentingan masyarakat luas.
perbedaan substantif. Ini berarti bahwa ada
Pemerintahan negara harus mendukung semua
perbedaan hak dan kewajiban substantif yang
kelompok agama dan memfasilitasi transmisi
mendasar dalam agama. (lih Taylor, 1994: 40-
nilai-nilai dan norma-norma mereka (Trigg,
41; Sandel, 1982; Santosa, 1994). Berbeda
2007: 92 & 208; Fox, 2008: 48 & 362).
dengan gagasan liberal murni, pendekatan ini
didasarkan pada pandangan bahwa pemerintah
dapat melindungi dan membina tradisi  Komunitarianisme Negara
keagamaan tertentu. Kedua, jika dalam Komunitarianisme negara adalah
liberalisme nilai tertinggi ditempatkan pada bentuk radikal komunitarianisme yang di
individu, dalam komunitarianisme nilai tertinggi dalamnya satu cara pandang substansial
ditempatkan pada komunitas. Komunitarian dijadikan landasan bagi negara; dan pada
menekankan bahwa identitas individu gilirannya negara diberi tanggung jawab untuk
tergantung pada hubungan dialogis dengan melakukan transmisi tradisi agama tertentu (lih
orang lain dan kelompok. Tidak ada yang Sandel, 1982; Taylor, 1994; Santosa, 1994;
benar-benar independen dari masyarakat, baik Benhabib, 1996; Fergusson, 1997). Hal ini
kelas sosial, kelompok etnis, ataupun komunitas menyiratkan bahwa negara memiliki hubungan
agama. Melalui interaksi dalam masyarakat, yang sangat dekat dengan satu agama tertentu.
individu menyesuaikan asal identitas sosial Sebuah tradisi keagamaan tertentu mendominasi
mereka, tempat nilai-nilai dibagikan dan norma- pemerintahan dalam undang-undang dan
norma memainkan peranan penting. Masyarakat berbagai peraturan, dan negara merepresentasikan
adalah tempat di mana ide-ide dan praktik- tradisi keagamaan ini (Trigg, 2007: 92). Untuk
praktik tersebut disampaikan pada tiap individu beberapa kelompok Muslim di Indonesia,
(Taylor, 1994: 34; lih Sandel, 1982; Santosa, model komunitarianisme negara sesuai dengan
1994; Fergusson, 1997). pemahaman bahwa Islam harus menjadi sumber
Dalam konteks hubungan antara agama utama kehidupan politik. Prinsip agama Islam
dan negara, komunitarianisme menekankan yaitu tawhid, sebagai dasar iman dan nilai
dukungan negara pada masyarakat agama. utama kehidupan sosial, dapat mempengaruhi
Komunitarianisme berusaha menerima definisi cara mereka memandang negara (Noble, 2010:
substantif bahwa kehidupan yang baik berada di 89ff).
tingkat komunitas atau masyarakat. Di bawah
ini kita akan melihat lebih jauh tentang Operasionalisasi dan Pengambilan Sampel
‘komunitarianisme kelompok’ yang bersifat Dalam penelitian empiris ini kami
moderat serta tentang ide yang lebih radikal, menggunakan empat model relasi agama-negara
yaitu ‘komunitarianisme negara’ (lih Sterkens, yang berbeda berdasarkan uraian teori di atas:
2001: 189ff; Fox, 2008: 4ff & 62F; Madeley, liberalisme otonom, liberalisme keragaman,
2009). komunitarianisme kelompok dan komunitarianisme
negara. Lima poin skala Likert digunakan
 Komunitarianisme Kelompok sebagai respon terhadap item-item tersebut
mulai dari sangat tidak setuju (1) hingga
Kata ‘kelompok’ dalam istilah
sepenuhnya setuju (5). Daftar lengkap item
‘komunitarianisme kelompok’ menyiratkan
dalam kuesioner adalah sebagai berikut:
bahwa individu tidak dapat dipisahkan
sepenuhnya dari ikatan sosial mereka (lih
Fergusson, 1997: 42). Dalam model ini, nilai- Liberalisme Otonom:
nilai bersama dalam tiap kelompok yang 1. Tradisi negara dan tradisi agama masing-
berkembang di masyarakat adalah substantif. masing harus benar-benar independen.
Namun, model ini berpendapat bahwa dalam 5. Pemerintah seharusnya tidak mengganggu

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 133


agama sama sekali. relatif damai. Di setiap daerah dipilih tiga
9. Negara dan agama harus benar-benar universitas: universitas negeri (dengan
terpisah. mayoritas mahasiswa Muslim atau Kristen,
13. Negara tidak harus berurusan dengan tergantung pada populasi sekitar); universitas
masalah agama sama sekali. Islam dengan mayoritas mahasiswa Muslim;
dan universitas Kristen dengan mayoritas
Liberalisme Keanekaragaman: mahasiswa Kristen. Di Maluku (Ambon) kami
2. Negara harus melindungi semua agama di memilih: Universitas (Negeri) Patimura
masyarakat tanpa pengecualian apapun. (UNPATI); Institut Agama Islam Negeri (IAIN);
6. Negara harus melindungi semua umat dan Universitas Kristen Maluku (UKIM). Di
beragama demi keanekaragaman. Yogyakarta: Universitas (Negeri) Gadjah Mada
10. Negara harus menjamin kebebasan dan hak- (UGM); Universitas Islam Negeri Sunan
hak semua kelompok agama secara sama. Kalijaga (UIN); dan Universitas Kristen Duta
14. Negara harus melindungi berkembangnya Wacana (UKDW). Kami mengambil sampel
semua agama di masyarakat. acak dari 250 mahasiswa yang terdaftar resmi
pada tahun pertama sampai dengan keempat di
masing-masing universitas, yang menghasilkan
Komunitarianisme Kelompok:
1.499 kuesioner yang valid, terdiri dari 46,6
3. Negara harus memfasilitasi berkembangnya persen laki-laki; 51,6 persen wanita; 52,8
tiap komunitas agama. persen Muslim; 47,2 persen Kristen.5
7. Negara harus mendukung komunitas agama
yang berbeda dalam menyalurkan nilai-nilai Hasil Empiris
mereka.
11. Negara bisa mendapatkan keuntungan saat Pada bagian ini kami hendak menjawab
mempromosi nilai-nilai agama. empat pertanyaan penelitian: (1) Apa saja
15. Negara harus mempromosikan tiap tradisi model-model hubungan antara agama dan
keagamaan sehingga memungkinkan negara yang dikenali oleh responden mahasiswa
mereka untuk mentransfer nilai-nilai Muslim dan Kristen pada saat mereka
mereka. ditempatkan sebagai kelompok responden yang
berbeda? (2) Apakah ada perbedaan yang
Komunitarianisme Negara: signifikan antara mahasiswa Muslim dan
4. Negara harus mendasarkan seluruh Kristen dalam persetujuan mereka pada model-
masyarakat pada nilai-nilai agama saya. model hubungan antara agama dan negara? (3)
8. Politik harus terinspirasi oleh ide-ide Di antara mahasiswa Muslim dan Kristen,
keagamaan tertentu. karakteristik personal seperti apa (sosial
12. Negara harus didasarkan pada nilai-nilai budaya, sosial ekonomi dan sosial-keagamaan)
dan norma-norma agama saya. dan keyakinan agama seperti apa yang
16. Pemerintah harus terinspirasi oleh nilai- berkaitan dengan model hubungan antara
nilai dan norma-norma tradisi agama saya. agama dan negara? (4) Karakteristik personal
dan keyakinan agama mahasiswa Muslim dan
Untuk sampel penelitian kami memilih Kristen seperti apa yang dapat dilihat sebagai
lokasi yang ditandai dengan kehadiran Muslim alat prediksi model hubungan antara agama dan
dan Kristen dalam posisi mayoritas/minoritas, negara?
dan dengan sejarah konflik serta ketegangan
yang berbeda di antara kelompok-kelompok  Model-Model Relasi Agama-Negara di
tersebut. Provinsi Maluku dan Yogyakarta Kalangan Mahasiswa Muslim dan
memenuhi kriteria tersebut. Secara historis, Kristen
Maluku adalah daerah Kristen, tetapi dengan Untuk menjawab pertanyaan penelitian
minoritas Muslim yang cukup besar; yang pertama, kami melihat komparabilitas
Yogyakarta memiliki mayoritas Muslim besar, 5
dan minoritas Kristen kecil. Selain itu, di kota Informasi detail tentang proses sampling
Ambon (Maluku), hubungan antara Muslim dan dan pengumpulan data dapat dilihat dalam disertasi
doktoral Hadiwitanto (2015–akan terbit) dan tersedia
Kristen telah bermasalah sejak akhir tahun
jika diminta kepada penulis. Profil singkat mengenai
sembilan puluhan. Sedangkan di Yogyakarta, universitas dapat ditemukan dalam buku Sterkens
Muslim dan Kristen hidup berdampingan secara dkk. (2014: 18-21).

134 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


model hubungan agama-negara di antara memisahkan diri dari komunitas agama dan
responden Muslim dan Kristen melalui analisis agama jelas terlihat dalam domain publik.
faktor6: Responden Muslim dan Kristen memahami ide
umum bahwa pemerintah harus melindungi,
Rangkaian analisis faktor menghasilkan
mendukung, dan memfasilitasi tradisi keagamaan
tiga skala yang equivalen: item 14, 6, 2, dan 10
dalam masyarakat. Hal ini tercermin dalam
(liberalisme keragaman) yang bergabung
model gabungan ini, yang kami beri label baru,
dengan item 3 dan 7 (komunitarianisme
yaitu ‘model kerja sama’ antara agama dan
kelompok) dalam faktor pertama; item 12, 16,
negara.
dan 4 ada dalam faktor kedua (komunitarianisme
negara); dan item 9, 13, 5, dan 1 bergabung Komunitarianisme negara dipahami
dalam faktor ketiga (liberalisme otonom). Ini sebagai hubungan yang sangat erat antara satu
berarti bahwa model liberalisme keanekaragaman agama tertentu dan negara. Dalam model ini,
dan komunitarianisme kelompok bergabung pemerintahan sangat dipengaruhi oleh norma-
dalam satu kelompok. Kedua ujung luar norma agama tertentu (misalnya, item 12 dan
spektrum pada hubungan antara agama dan 16), dan negara mengenalinya sebagai agama
negara, yang secara teoritis kami bedakan, yaitu resmi.
komunitarianisme negara dan liberalisme
Liberalisme Otonom berada di ujung
otonom dapat dikenali dengan baik oleh kedua
spektrum yang berlawanan, menawarkan
kelompok responden (Muslim dan Kristen) (lih
pemisahan total antara agama dan negara. Ini
tabel 1).
tidak berarti bahwa negara memusuhi agama,
Kedua model yang bersifat moderat tetapi lebih bermakna negara bersifat netral dan
dari hubungan antara agama dan negara tidak mencampuri hidup keagamaan.
bergabung dalam satu pengukuran, yang terdiri
dari item 14, 6, 2 dan 10 (model liberalisme  Persetujuan Mahasiswa Muslim dan
keragaman), dan item 3 dan 7 (model Kristen pada Model Hubungan Agama-
komunitarianisme kelompok). Responden kami Negara
tidak dapat mengenali perbedaan dari kedua
Sasaran pertanyaan kedua adalah
model tersebut di atas. Sebaliknya, mereka
tingkat persetujuan terhadap model-model
menekankan karakteristik umum, bahwa
hubungan agama-negara dan kemungkinan
pemisahan antara agama dan negara tidak total
adanya perbedaan pandangan antara responden
dan bahwa negara harus mengakui kelompok
Muslim dan Kristen. Kami menghitung nilai
agama yang berbeda. Hal ini mengonfirmasi
rata-rata dan deviasi standar untuk setiap model
pendapat bahwa di Indonesia negara tidak dapat
hubungan agama-negara serta memeriksa
6 perbedaan signifikan antara Muslim dan Kristen
Analisis faktor dilakukan untuk mendapatkan dengan menggunakan independent-sampel t-
model hubungan agama dan negara yang memiliki
struktur sama pada kedua kelompok responden. Ada
test. Tingkat persetujuan pada tiga model
tiga langkah yang dilakukan. Pertama, menganalisis hubungan agama-negara tampak dalam lima
kedua kelompok responden bersamaan. Metode yang poin skala Likert dalam rentang ketidaksetujuan
digunakan adalah Principal Axis Factoring total (1) hingga setuju total (5). Tabel 2 di
(varimax) dengan kriteria sebagai berikut: eigen bawah ini memberikan ringkasan dari nilai rata-
value >1; commonality >.20; factor loadings >.30, rata dan perbedaan antarkelompok.
dan jika ada dua item yang sama, maka perbedaan
factor laoding-nya harus >.15. Kedua, dari hasil Model kerja sama antara agama dan
yang pertama analisis faktor dilakukan terpisah negara secara umum disetujui oleh responden
untuk melihat untuk mengungkap jika ada perbedaan Muslim dan Kristen. Muslim menerima model
antarkelompok. Ketiga, analisis kembali dilakukan kerja sama (mean: 4,04) dengan deviasi standar
bagi kedua kelompok bersama. Perbedaan antara relatif kecil (0,56). Kristen rata-rata
Muslim dan Kristen dieliminasi untuk mendapatkan menunjukkan persetujuan yang lebih signifikan
model komparatif lintas-agama. Demi kesederhanaan, kita dibandingkan Muslim (mean: 4,30), dan hampir
hanya melaporkan hasil akhir dari langkah ketiga. sepakat dengan bulat (deviasi standar 0,48).
(Lih. Anthony, Hermans, & Sterkens, 2015: 42-44 &
78-82) untuk deskripsi rinci tentang bagaimana
mendapatkan ukuran perbandingan lintas agama.
Hasil analisis faktor lengkap tersedia atas
permintaan, silahkan email: C.Sterkens@ftr.ru.nl.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 135


Tabel 1: Analisis faktor (Paf, Varimax rotation), commonalities (h2), percentage of explained variance,
and reliability (Cronbach’s alpha) dari model-model relasi agama-negara di antara responden
Muslim dan Kristen.
Faktor
Item h2
F1 F2 F3
14. Negara harus melindungi berkembangnya semua agama di ,70 -,04 -,00 ,48
masyarakat.
6. Negara harus melindungi semua umat beragama demi ,68 -,07 ,07 ,48
keanekaragaman.
10. Negara harus menjamin kebebasan dan hak-hak semua ,64 -,02 -,04 ,41
kelompok agama secara sama.
2. Negara harus melindungi semua agama di masyarakat tanpa ,61 -,09 -,05 ,38
pengecualian apapun.
3. Negara harus memfasilitasi berkembangnya tiap komunitas ,57 -,00 -,02 ,33
agama.
7. Negara harus mendukung komunitas agama yang berbeda dalam ,54 -,05 ,02 ,29
menyalurkan nilai-nilai mereka.
12. Negara harus didasarkan pada nilai-nilai dan norma-norma -,10 ,83 -,06 ,71
agama saya.
16. Pemerintah harus terinspirasi oleh nilai-nilai dan norma-norma -,07 ,77 -,05 ,60
tradisi agama saya.
4. Negara harus mendasarkan seluruh masyarakat pada nilai-nilai -,04 ,66 -,02 ,44
agama saya.
9. Negara dan agama harus benar-benar terpisah. -,07 -,03 ,74 ,56
13. Negara tidak harus berurusan dengan masalah agama sama -,00 -,06 ,69 ,48
sekali.
5. Pemerintah seharusnya tidak mengganggu agama sama sekali. ,03 -,02 ,61 ,37
1. Tradisi negara dan tradisi agama masing-masing harus benar- -,01 -,02 ,56 ,31
benar independen.

Cronbach’s alpha ,79 ,79 ,74


Jumlah responden valid 1480 1456 1462
Skala: 1=Sangat tidak setuju; 2=Tidak setuju; 3=tidak yakin; 4=Setuju; 5= Sangat setuju
Explained variance = 44,9%; F1 = Kerjasama; F2 = Komunitarianisme negara; F3 = Liberalisme otonom

Tabel 2: Tingkat persetujuan (mean dan deviasi standar) pada model-model relasi agama-
negara di antara responden Muslim dan Kristen, dan T-tes atas mean di antara
kedua kelompok agama.
N Mean s.d. (t-value)
Kerja sama
Muslim 789 4,04 ,56 -9,899**
Kristen 707 4,30 ,48 -9,899**
Komunitarianisme negara
Muslim 763 3,29 ,93 12,780**
Kristen 693 2,69 ,89 12,780**
Liberalisme otonom
Muslim 789 2,41 ,81 -,317
Kristen 706 2,43 ,81 -,317
Skala: 1=Sangat tidak setuju; 2=Tidak setuju; 3=tidak yakin; 4=Setuju; 5= Sangat setuju
t-values siginifikan pada level p<,00 (**) atau p<,05 (*)

Di Indonesia pemerintah harus melindungi semua agama, membiarkan mereka


menunjukkan dukungan pada semua tradisi untuk berkembang, melindungi umat beragama
keagamaan, tunduk pada ideologi Pancasila dan demi kebhinekaan, dan menjamin kebebasan
UUD (Ichwan, 2006). Tampaknya model kerja semua kelompok agama secara setara. Hal ini
sama ini dapat mengandalkan dukungan dari juga memperlihatkan persetujuan kedua
umat Muslim dan Kristen. Negara harus kelompok responden pada kesalingtergantungan

136 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


di antara anggota masyarakat yang relatif Umat Muslim lebih pada posisi positif
tinggi, atau yang disebut orientasi ‘kolektif’ ambivalen terhadap model komunitarianisme
(Mangundjaya, 2013; Hofstede & Hofstede, negara ini. Sebagai kelompok mayoritas mereka
2005). mungkin mengharapkan lebih banyak
kekuasaan dalam domain politik, dan mereka
Karena penekanan dalam model ini
dapat tergoda untuk memaksakan nilai-nilai
adalah kesetaraan, tidaklah mengejutkan bahwa
mereka secara eksklusif di ruang publik (lih van
persetujuan responden Kristen yang merupakan
Klinken 2001; Noorhaidi 2005; Sidel 2006;
kelompok minoritas secara signifikan lebih
Mujiburrahman 2006; Ichwan 2006; Sterkens &
banyak. Hasil ini menyiratkan bahwa di mata
Hadiwitanto 2009). Namun mereka tampaknya
responden Kristen kelompok mayoritas tidaklah
juga menyadari bahwa kehadiran tradisi lain
harus selalu menjadi yang paling utama. Para
membuatnya sulit untuk menerapkan
pemimpin Kristen di Indonesia (seperti
komunitarianisme negara. Meskipun ada
Soegijapranata, IJ Kasimo, dan TB Simatupang)
perdebatan dalam komunitas Islam Indonesia
telah menyuarakan perspektif yang sama dan
tentang hubungan antara agama dan negara,
menekankan kontribusi agama bagi masyarakat.
kecenderungan adanya pengaruh agama di
Sementara para pemimpin ini melihat adanya
pemerintahan relatif lebih populer di kalangan
perbedaan fungsi agama dan negara, mereka
kelompok-kelompok Muslim radikal (lih
juga mendorong gereja-gereja Kristen dan
Brown, 2000; Azra, 2006). Dalam pemikiran
agama-agama lain untuk memberikan
Islam, hubungan antara agama dan politik
kontribusi bagi masyarakat sipil (KWI Komisi
selalu kuat. Pemahaman tentang Ummah
Pemuda, 1995).
biasanya ditafsirkan tidak hanya orang beriman
Komunitarianisme negara berdasarkan dalam arti sempit, tetapi sebagai ‘masyarakat’
hasil analisis persetujuan kurang dapat diterima. atau bahkan ‘bangsa’ yang berbagi tradisi
Sekalipun begitu, umat Muslim menunjukkan budaya, pilihan etis bahkan syariah. Dalam
persetujuan yang ambivalen terhadap model sejarah perumusan konstitusi Indonesia telah
komunitarianisme negara, dengan deviasi ada perdebatan tentang pelaksanaan syariah
standar yang tinggi. Hal ini menunjukkan (Ichwan, 2006; An-Na’im, 2008). Dan gagasan
bahwa ada perbedaan pendapat dalam komunitarianisme negara tetap hidup di antara
kelompok Muslim itu sendiri tentang beberapa kelompok Muslim Indonesia masa
komunitarianisme negara (mean: 3,29; deviasi kini, seperti Front Pembela Islam (FPI), Hizbut
standar 0,93). Sedangkan, responden Kristen Tahrir Indonesi (HTI), dan partai politik seperti
menunjukkan respon ambivalen yang negatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara itu,
pada model komunitarianisme negara ini pemerintah Indonesia juga seringkali
(mean: 2,69; deviasi standar: 0,89). Perbedaan memberikan prioritas pada kebutuhan dan
antara Muslim dan Kristen secara statistik juga permintaan dari kelompok mayoritas dalam
signifikan. Tampaknya, orang Kristen memiliki undang-undang dan peraturan. Hal ini dapat
lebih banyak kesulitan dengan pernyataan menjadi salah satu alasan untuk memahami
bahwa negara harus didasarkan pada hanya sikap mayoritas Muslim yang ambigu terhadap
nilai-nilai agamanya sendiri. Dilihat dari komunitarianisme kelompok (lih Wahid, 1999:
konteksnya, sangat luar biasa melihat responden 109; An-Na’im, 2008: 233 & 257ff; Fox, 2008:
Kristen tidak dengan tegas menolak 202 & 216f). Di sini kita melihat bahwa telah
komunitarianisme negara. Ada kemungkinan terjadi perkembangan dari interpretasi budaya
bahwa beberapa kelompok yang lebih fundamentalis ke interpretasi yang lebih religius tentang umat
memiliki klaim kuat tentang kebenaran agama berkaitan dengan pemerintah (Denny, 1975;
yang eksklusif. Mereka berpikir bahwa di masa Brown, 2000; Waardenburg, 2002).
depan iman mereka akan menggantikan yang
Liberalisme otonom jelas ditolak baik
lain, dan bahwa pada saat itu, komunitarianisme
oleh responden Muslim (mean: 2,41; deviasi
negara adalah model yang baik. Namun
standar 0,81) maupun Kristen (mean: 2,43;
demikian, rata-rata responden Kristen cenderung
deviasi standar 0,81). Tidak ada perbedaan yang
menolak komunitarianisme negara, karena hal
signifikan antara dua kelompok agama. Tidak
tersebut mengabaikan pluralitas agama atau
ada mahasiswa Muslim maupun Kristen di
karena menyiratkan represi, hal yang mereka
Indonesia yang setuju bahwa agama dan negara
alami.
harus dipisahkan dengan tegas; sebaliknya,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 137


mereka berpikir bahwa negara justru harus kurangnya solidaritas, khususnya dalam domain
berurusan dengan masalah agama. Model ini ekonomi, politik, sosial dan budaya yang sering
dianggap bertentangan dengan latar belakang mengakibatkan benih konflik antarkelompok
Indonesia, yang memiliki tradisi penghormatan agama. Dalam domain ekonomi, kami
pada agama sangat tinggi, baik di tingkat mempertanyakan pada responden apakah
individu maupun di tingkat masyarakat. Karena pendapatan keluarga dan kesempatan kerja bagi
agama dan negara tidak dilihat sebagai benar- keluarga mereka dirasa cukup atau tidak.
benar independen, agama tidak boleh Ancaman ekonomi menunjukkan sejauh mana
dipinggirkan dalam kebijakan publik. Apalagi responden berpikir bahwa pendapatan
keinginan dan klaim untuk mempengaruhi keluarganya tidak cukup tinggi dan kesempatan
politik relatif kuat di antara mayoritas Muslim kerja bagi dirinya atau keluarganya yang sulit.
di Indonesia (Wahid, 1999: 54ff & 70; Ichwan, Ancaman politik menunjukkan sejauh mana
2006; Sidel, 2006; An-Na’im, 2008: 223ff; orang merasa tertindas atau didiskriminasi oleh
Salim dkk. 2011.). Sementara bagi kelompok orang-orang dengan kekuasaan politik. Ancaman
Kristen penolakan pada liberalisme otonom sosial mengacu pada evaluasi responden
juga mungkin sebagai bentuk perlawanan tentang apakah dia dan keluarganya memiliki
terhadap dominasi Islam di Indonesia (lih akses yang terbuka ke semua tingkat
Hadiwitanto, 2002). pendidikan, dan memilih sendiri sekolah yang
disukai. Ancaman budaya berarti responden
 Karakteristik Model-Model Hubungan berpikir bahwa nilai-nilai agamanya tidak
Agama-Negara cukup dihormati dalam masyarakat dan lebih
khusus lagi bagaimana masyarakat terlalu
Karakteristik personal dan keyakinan
mendukung gaya hidup hedonis (lih
agama yang seperti apa yang terkait dengan
Hadiwitanto & Sterkens, 2009).
model hubungan agama dan negara di kalangan
mahasiswa Muslim dan Kristen? Pertanyaan Berkenaan dengan keyakinan responden,
penelitian ketiga ini dijawab dengan melihat kami membedakan antara keyakinan agama
hubungan antara karakteristik sosial, yang bersifat intra-group dan keyakinan agama
karakteristik agama, perasaan ketidakadilan yang bersifat inter-group. Kepercayaan agama
yang dirasakan dan keyakinan agama responden intra-group adalah keyakinan dalam masyarakat
mahasiswa di satu sisi, serta model hubungan Muslim dan Kristen itu sendiri, dan mengacu
agama-negara di sisi lain.7 pada interpretasi iman, gambaran tentang Allah,
penafsiran Qur’an atau Alkitab, dan gambaran
Karakteristik sosial mengacu pada usia,
tentang Muhammad atau Yesus, bagi masing-
jenis kelamin, tingkat pendidikan ayah dan ibu,
masing umat Islam dan Kristen. Dalam hal
jenis universitas (universitas negeri, universitas
penafsiran iman, kita membedakan antara
Islam atau Kristen) dan lokasi (Ambon atau
interpretasi psikologis dan historis. Dalam
Yogyakarta). Karakteristik agama adalah
‘interpretasi psikologis’ iman dipandang
pengaruh dari orang tua yang dirasakan
sebagai tanda kepribadian yang lemah, atau
responden dalam memilih agama, keterlibatan
hanya sebagai jaring pengaman bagi ketakutan
orang tua dalam kegiatan keagamaan,
manusiawi. ‘Interpretasi sejarah’ mengacu pada
keterlibatan responden dalam organisasi
keyakinan bahwa konsep tentang Tuhan
keagamaan, partisipasi dalam ibadah dan
berubah dari waktu ke waktu, dan bahwa iman
kegiatan keagamaan lainnya, frekuensi berdoa,
membutuhkan interpretasi terhadap konteks
dan jumlah teman dari agama yang sama.
historis. Gambar Allah hanya dibagi ke dalam
Kemudian kami mengukur sejauh mana
penggambaran Allah yang antropomorfis dan
responden mengalami ketidakadilan dan
non-antropomorfis. Gambaran antropomorfis
umumnya mencakup gambaran Allah yang
7
Karena keterbatasan ruang, di sini kami teistik dan panentheistik; gambaran non-
hanya memperkenalkan secara singkat karakter antropomorfis meliputi gambaran Allah yang
personal dan kepercayaan agama. Bangunan teori deistik dan meta-teistik (lih van der Ven, 1998b:
dan keseluruhan ukuran empiris mengenai hal itu 143-169; Capucao, 2010: 27-45). Penafsiran
dijabarkan secara rinci dalam buku Hadiwitanto Quran atau Alkitab yang hanya mengacu pada
(2015 akan terbit). Deskripsi detil tentang sikap tiga pernyataan responden dilakukan untuk
terhadap pluralitas dapat dilihat dalam artikel menunjukkan di manakah persetujuan mereka
Sterkens & Hadiwitanto (2014).

138 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


pada lima titik skala Likert. Pertanyaan utama agama. Sikap ini lebih memilih untuk fokus
adalah: “Bagi anda, apakah Quran /Alkitab pada elemen umum yang mendasari kesamaan
itu?”, dan pilihan jawabannya: “Sebuah sumber tiap agama dengan beragam ekspresi. Ini
inspirasi dan kebijaksanaan hidup”; “Firman mencakup keyakinan bahwa agama yang
Allah” dan “Hanya koleksi teks budaya yang berbeda mengungkapkan aspek yang berbeda
ditulis oleh manusia”. Kami juga mempertanyakan dari kebenaran hakiki yang sama dan
gambaran tentang Muhammad yang bagi umat menawarkan jalan yang berbeda pada pembebasan
Islam dan gambaran tentang Yesus bagi umat hakiki. Sedangkan model relativisme meyakini
Kristen. Responden Muslim diharapkan bahwa semua agama adalah jalan sahih menuju
menjawab yang mana dari lima gambaran kebenaran hakiki dan tidak ada perbedaan nyata
Muhammad, yang diambil dari Qur’an, Hadis, antara agama-agama di tingkat yang terdalam
Sunnah (perkataan, tradisi dan kebiasaan (lih Sterkens & Hadiwitanto 2014).
Muhammad), Sura (sejarah kehidupan dan Religiosentrisme adalah kombinasi dari sikap
perbuatan Muhammad yang berasal dari Hadis) positif terhadap kelompok agamanya sendiri
dan dalam literatur teologis Islam, yang mereka dan sikap negatif terhadap kelompok agama
setujui. Kelima model itu adalah: Muhammad lain. Konsep panggilan agama tentang
sebagai Nabi terakhir; Muhammad sebagai solidaritas dan keadilan adalah keyakinan
yang istimewa karena kedekatannya dengan bahwa tindakan keagamaan lebih untuk
Allah; Muhammad sebagai kesempurnaan; Muhammad solidaritas pada semua orang, dan bagi keadilan
sebagai model kehidupan (‘uswa’); dan yang melampaui batas-batas agama. Ini
Muhammad hanya sebagai orang besar dalam menyiratkan dukungan untuk pernyataan seperti
sejarah (model humanistik). Responden Kristen “Tuhan menciptakan manusia untuk hidup
pada gilirannya diminta untuk memperlihatkan bersama secara harmonis”, “cinta dan
persetujuannya pada gambaran Yesus berikut: solidaritas pada orang-orang yang beragam
gambaran Yesus klasik (Allah yang berinkarnasi adalah perintah utama Allah”, dan “teks suci
dalam perspektif Trinitarian); Yesus sebagai merangsang saya untuk berjuang demi keadilan
yang dimotivasi oleh Kuasa Roh; Yesus sebagai dan kesamaan bagi semua orang, terlepas dari
model kehidupan; dan Yesus sebagai yang tidak apa agama mereka”.
lebih dari seorang tokoh besar dalam sejarah
Semua karakteristik personal dan
(model humanistik) (untuk gambar Yesus, lihat
keyakinan agama ini akan dikorelasikan dengan
juga Capucao, 2010: 49-80).
tiga model hubungan agama-negara yang sudah
Kepercayaan agama inter-group adalah dikenali oleh responden kami. Untuk variabel
keyakinan tentang hubungan antara kelompok nominal (jenis kelamin, bahasa, jenis
agama, dan merujuk khususnya pada sikap universitas, bidang spesialisasi dan lokasi) kami
terhadap pluralitas agama, religiosentrisme dan menggunakan satuan ukuran eta. Sementara
konsep panggilan agama tentang solidaritas dan untuk variabel lainnya yang merupakan variabel
keadilan. Responden kami metampakkan tiga ordinal kami menggunakan satuan ukuran
sikap yang berbeda terhadap pluralitas agama: statistik Pearson (r). Dalam tabel, kami
monisme, pluralisme dalam kesamaan, dan menyajikan semua satuan penting dalam
relativisme. Monisme menggabungkan klaim statistik, tapi kami akan fokus lebih pada satuan
kebenaran eksklusivistik dan inklusivistik serta yang relevan, lebih khusus lagi pada satuan
meyakini bahwa kebenaran iman hanya dapat yang cukup kuat (0,15 <r <0,30) atau kuat (r ≥
ditemukan dalam agama sendiri. Pluralisme 0,30). Korelasi ini tampak pada Tabel 3, 4, dan 5.
kesamaan menghargai secara positif pluralitas

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 139


Tabel 3: Karakteristik model kerjasama di antara responden Muslim dan Kristen.
Korelasi (eta untuk variabel-variabel nominal; Pearson’s r untuk variabel-
variabel ordinal) di antara model kerjasama dan variabel latar belakang).8
Muslim Kristen
Karakteristik personal
Karakteristik sosial
Level pendidikan ayah -,00 ,08*
Preferensi partai politik (eta) ,14 ,08
Karakteristik religius
Keterlibatan ayah dalam pemilihan agama ,04 ,11**
Keterlibatan ibu dalam pemilihan agama ,05 ,08*
Keterlibatan ayah dalam aktivitas keagamaan ,11** ,08*
Keterlibatan ibu dalam aktivitas keagamaan ,13** ,08*
Ancaman ketidakadilan dan kurangnya solidaritas

Ancaman ekonomi -,05 -,03


Ancaman politik -,09* -,03
Ancaman sosial ,11** ,06
Ancaman kultural ,07 ,16**
Keyakinan agama intra-group
Interpretasi kitab suci & iman
Interpretasi psikologis ,07 -,11**
Interpretasi historis -,09* -,11**
Konsep Qur’an/Alkitab
Sumber inspirasi ilahi ,16** ,13**
Firman Allah ,05 ,12**
Koleksi manusia, teks kultural -,02 ,10**
Gambaran Allah
Anthropomorphis ,20** ,30**
Non-anthromophis ,08* -,07
Gambaran Muhammad
Uswa (model) ,22** -
Humanistik ,07 -
Kesempurnaan ,03 -
Keunikan ,19** -
Nabi ,13** -
Gambaran Yesus
Model - ,38**
Humanistik - -,13**
Klasik - ,18**
Diinspirasi oleh Roh - ,19**
Keyakinan agama inter-group
Sikap pada pluralitas agama
Monisme ,03 ,06
Pluralisme kesamaan ,25** ,16**
Puralisme relativis ,27** ,06
Religiosenrisme
Positive in-group ,07 ,23**
Negative out-group -,11** ,06
Panggilan keagamaan tentang solidaritas dan keadilan ,39** ,42**
Semua korelasi signifikan pada level p<,00(**) atau p<,05(*)

8
Tabel karakteristik ini tidak memperlihatkan semua variabel karakteristik dan keyakinan agama karena
tidak ada korelasi yang signifikan pada setiap kelompok agama. Variabel yang tidak ditampilkan adalah: usia,
jender, level pendidikan ibu, tipe universitas, lokasi, preferensi partai politik, keterlibatan dalam organisasi
keagamaan, partisipasi dalam ibadah agama, partisipasi dalam aktivitas keagamaan, frekuensi berdoa, jumlah
teman yang seagama, ancaman ekonomi dan monisme.

140 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Model kerja sama di kalangan responden panggilan untuk hidup dalam solidaritas dengan
Muslim memiliki beberapa asosiasi signifikan sesama manusia (0,39).
dengan karakteristik personal dan keagamaan.
Bagi responden Kristen, kami menemukan
Preferensi adanya kerja sama antara agama dan
hasil yang hampir sama. Mahasiswa Kristen
negara lazim di kalangan pemilih partai politik
tampaknya relatif lebih menyetujui gambaran
tertentu (eta 0,11). Dilihat dari tingkat
Yesus sebagai model bagi kehidupan yang benar
persetujuannya secara umum model kerja sama
dan hal ini mendukung model kerjasama (0,38).
lebih disepakati oleh mahasiswa Muslim yang
Korelasi positif juga dapat ditemukan dengan
memilih partai politik yang lebih liberal
gambaran Yesus yang dimotivasi oleh Roh
(sekuler).9 Mahasiswa Muslim yang setuju
Tuhan (0,19) dan gambaran Yesus klasik (0,18).
dengan model kerja sama juga cukup liberal
Berkenaan dengan keyakinan inter-group, model
dalam memandang Quran, karena mereka
kerjasama secara positif terkait dengan
melihatnya sebagai sumber inspirasi dan
pluralisme kesamaan (0,16), seperti yang kami
kebijaksanaan hidup (0,16). Selain itu, profil
temukan juga di antara umat Islam; dan hal
agama mereka ditandai dengan gambar Allah
yang mengejutkan adalah model kerjasama ini
yang antropomorfis (0,20) dan lebih setuju pada
berkorelasi dengan sikap positive in-group
gambaran Muhammad sebagai model (uswa)
(0,23). Model kerjasama ini kembali berkorelasi
(0,22), yang berarti bahwa kehidupan
paling kuat dengan ‘panggilan keagamaan
Muhammad berfungsi sebagai model untuk
tentang solidaritas dan keadilan’ (0,42), yaitu
mematuhi aturan Allah. Dengan mengikuti
menjalani keyakinan iman berarti solider dengan
kehidupan dan ucapan Muhammad, pengikutnya
semua orang (bdk. Benediktus XVI, 2009).
bisa belajar menunjukkan rasa terima kasih
kepada Allah dan percaya pada orang lain (Sura, Karakteristik komunitarianisme negara
33: 21; Ramadan, 2007; & Schimmel, 2010). memiliki hasil yang berbeda. Model ini dapat
Model kerja sama ini juga berhubungan positif ditemukan di tengah responden Muslim yang
dengan gambaran Muhammad yang unik dalam memiliki preferensi partai politik Islam yang
kedekatannya dengan Allah (0,19). Keunikan ini konservatif (eta 0,24), terutama Partai Keadilan
berkaitan dengan kisah perjalanan malam Sejahtera (PKS, dengan mean: 3,56), Partai
Muhammad (isra) dan kenaikannya (mi’raj) Persatuan Pembangunan (PPP, mean: 3,32) dan
yang memuncak dalam tatap mukanya dengan Partai Amanat Nasional (PAN, mean: 3,32). Hal
Allah. Model kerja sama antara agama dan ini kontras dengan pemilih partai-partai
negara juga menemukan lebih banyak dukungan nasionalis sekuler, misalnya Partai Demokrasi
di kalangan umat Islam yang menunjukkan lebih Indonesia-Perjuangan (PDI-P, mean: 2,93).
banyak keterbukaan terhadap pluralitas agama, Keterlibatan orang tua dalam pemilihan agama
khususnya mereka yang setuju dengan anak-anak mereka dan keterlibatan orang tua
pluralisme kesamaan (0,25) dan relativisme dalam kegiatan keagamaan anak-anak mereka
(0,27). Dan pada akhirnya model kerjasama ini secara signifikan juga berkorelasi dengan
berkorelasi dengan sangat kuat dengan orang- preferensi mahasiswa Muslim pada model
orang yang yakin bahwa agama memiliki komunitarianisme negara (r dari 0,08 hingga
0,19). Model komunitarianisme negara ini juga
9 dapat ditemukan di tengah mereka yang teman
Kami menanyai responden tentang partai baiknya cenderung seagama (0,18). Dukungan
politik mana yang mendekati keyakinan politik
mereka. Mahasiswa harus memilih dari daftar 11
lebih pada model komunitarianisme negara
partai politik yang pada saat survey di tahun 2007 dapat ditemukan di antara mahasiswa Muslim
dianggap penting, bersamaan dengan yang kami yang mengalami ancaman ekonomi atau budaya.
kategorikan sebagai partai “lain”. Partai yang dikenal Selain itu, komunitarianisme negara juga dapat
sebagai partai nasionalis meliputi: Partai Demokrasi ditemukan di antara umat Muslim dengan
Indonesia – Perjuangan, PDI-P; Partai Golongan keyakinan agama yang menolak interpretasi
Karya, Golkar; Partai Demokrat, PD; Partai Amanat iman dalam sejarah, yaitu penolakan keyakinan
Nasional, PAN. Partai-partai Islam: Partai Keadilan bahwa Allah berubah dari waktu ke waktu, dan
Sejahtera, PKS; Partai Persatuan Pembangunan, bahwa iman perlu interpretasi menghadapi
PPP; Partai Kebangkitan Bangsa, PKB; Partai
konteks sejarah (-0,19). Sebaliknya, dapat
Bintang Reformasi, PBR; Partai Bulan Bintang,
PBB; Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.
Dan partai kecil Kristen: Partai Damai Sejahtera,
PDS.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 141


Tabel 4: Karakteristik model komunitarianisme negara di antara responden Muslim
dan Kristen. Korelasi (eta untuk variabel-variabel nominal; Pearson’s r
untuk variabel-variabel ordinal) di antara model komunitarianisme negara
dan variabel latar belakang)10
Muslim Kristen
Karakteristik personal
Karakteristik sosial
Usia -,09* -,04
Preferensi partai politik (eta) ,24** ,13
Karakteristik religius
Keterlibatan ayah dalam pemilihan agama ,19** ,08*
Keterlibatan ibu dalam pemilihan agama ,14** ,03
Keterlibatan ayah dalam aktivitas keagamaan ,12** ,00
Keterlibatan ibu dalam aktivitas keagamaan ,08* ,03
Keterlibatan dalam organisasi keagamaan (eta) ,01 ,16**
Partisipasi dalam ibadah keagamaan ,08* ,05
Partisipasi dalam aktivitas keagamaan -,02 ,00
Frekuensi berdoa ,09* ,06
Jumlah teman yang beragama sama ,18** ,05
Ancaman ketidakadilan dan kurangnya solidaritas
Ancaman ekonomi ,11** ,05
Ancaman politik ,02 ,02
Ancaman sosial ,17** ,04
Ancaman kultural -,7 -,02
Keyakinan agama intra-group
Interpretasi kitab suci & iman
Interpretasi psikologis -,07* ,03
Interpretasi historis -,16** -,14**
Konsep Qur’an/Alkitab
Sumber inspirasi ilahi ,03 ,08*
Firman Allah ,16** ,04
Koleksi manusia, teks kultural ,19** ,01
Gambaran Allah
Anthropomorphis ,13** ,14**
Non-anthromophis -,05 -,04
Gambaran Muhammad
Uswa (model) ,34** -
Humanistik -,05 -
Kesempurnaan ,26** -
Keunikan ,18** -
Nabi ,04 -
Gambaran Yesus
Model - ,12**
Humanistik - -,02
Klasik - ,12**
Diinspirasi oleh Roh - ,06
Keyakinan agama inter-group
Sikap pada pluralitas agama
Monisme ,51** ,47**
Pluralisme kesamaan -,02 -,00
Puralisme relativis -,26** -,23**
Religiosenrisme
Positive in-group ,26** ,18**
Negative out-group ,35** ,22**
Panggilan keagamaan tentang solidaritas dan keadilan ,03 ,03
Semua korelasi signifikan pada level p<,00(**) atau p<,05(*)

10
Tabel karakteristik ini tidak memperlihatkan semua variabel karakteristik dan keyakinan agama
karena tidak ada korelasi yang signifikan pada setiap kelompok agama. Variabel yang tidak ditampilkan adalah:
jender, tingkat pendidikan ayah dan ibu, tipe universitas, lokasi, partisipasi dalam aktivitas religius, ancaman
politis, ancaman kultural dan Allah non-anthropomorphis, pluralisme kesamaan, dan panggilan religius tentang
solidaritas dan keadilan.

142 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


ditemukan di tengah mereka yang meyakini Karakteristik model komunitarianisme
bahwa Quran adalah firman Allah (0,16); juga negara di tengah responden Kristen cenderung
sepakat dengan pernyataan bahwa Quran adalah menunjuk pada arah yang sama, meskipun
‘kumpulan teks budaya yang ditulis oleh kurang terungkap seperti pada umat Islam.
manusia’ (0,19). Dukungan pada model Persetujuan pada model komunitarianisme
komunitarianisme negara juga dapat ditemukan negara dapat ditemukan di kalangan mahasiswa
di antara umat Muslim yang setuju pada Kristen yang banyak terlibat dalam organisasi
gambaran tradisional Muhammad sebagai agama. Selain itu, model ini juga dapat
uswah/model (0,34), kesempurnaan (0,26) dan ditemukan di tengah mereka yang mendukung
keunikan (0,18). Berkenaan dengan keyakinan sikap monistis (0,47) dan sikap menolak pada
inter-group, dukungan pada model komunitarianisme relativisme (-0,23) di tengah pluralitas agama.
negara dapat ditemukan di antara umat Islam Akhirnya, mahasiswa Kristen yang berpikir
yang memegang klaim kebenaran eksklusivistik- bahwa kebijakan negara harus didasarkan pada
inklusivistik (monisme 0,51) dan mereka yang nilai-nilai dan norma-norma agama Kristen
menolak ide bahwa semua agama adalah sama- tampak mendukung sikap yang lebih
sama valid untuk menuju kebenaran hakiki religiosentris, yang berarti bahwa mereka
(relativisme) (-0,26). Pendukung komunitarianisme memiliki sikap in-group yang positif (0,18) dan
negara rata-rata juga menunjukkan tingkat mereka juga menunjukkan lebih banyak
religiosentrisme yang cukup tinggi, lebih kesepakatan pada sikap negatif terhadap out-
banyak setuju pada sikap in-group positif (0,26) group (0,22).
dan sikap out-group negatif (0,35).

Tabel 5: Karakteristik model liberalisme otonom di antara responden Muslim dan Kristen.
Korelasi (eta untuk variabel-variabel nominal; Pearson’s r untuk variabel-
variabel ordinal) di antara model liberalisme otonom dan variabel latar
belakang)11
Muslim Kristen
Karakteristik personal
Karakteristik sosial
Usia ,02 ,17**
Jender (eta) ,05 ,17**
Tipe universitas (eta) ,03 ,09*
Lokasi (eta) ,12** ,22**
Preferensi partai politik (eta) ,22** ,12
Karakteristik religius
Keterlibatan ayah dalam pemilihan agama -,15** -,07
Keterlibatan ibu dalam pemilihan agama -,13** -,04
Keterlibatan ayah dalam aktivitas keagamaan -,08* -,16**
Keterlibatan ibu dalam aktivitas keagamaan -,10** -,13**
Keterlibatan dalam organisasi keagamaan (eta) ,06 ,13**
Partisipasi dalam ibadah keagamaan -,10** -,04
Partisipasi dalam aktivitas keagamaan -,13** -,10**
Frekuensi berdoa -,14** -,11**
Jumlah teman yang beragama sama -,09* -,02
Ancaman ketidakadilan dan kurangnya solidaritas
Ancaman ekonomi -,08* ,06
Ancaman politik ,09* ,11**
Ancaman sosial -,01 ,04
Ancaman kultural -,04 ,02
Keyakinan agama intra-group
Interpretasi kitab suci & iman
Interpretasi psikologis ,17** -,09*
Interpretasi historis ,18** ,13**

11
Tabel karakteristik ini tidak memperlihatkan semua variabel karakteristik dan keyakinan agama
karena tidak ada korelasi yang signifikan pada setiap kelompok agama. Variabel yang tidak ditampilkan adalah:
tingkat pendidikan ayah dan ibu, ancaman sosial, ancaman kulutural dan pluralisme kesamaan.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 143


Konsep Qur’an/Alkitab
Sumber inspirasi ilahi -,12** -,05
Firman Allah -,27** -,14**
Koleksi manusia, teks kultural -,26** -,13**
Gambaran Allah
Anthropomorphis -,20** -,09*
Non-anthromophis ,15** ,06
Gambaran Muhammad
Uswa (model) -,28** -
Humanistik ,20** -
Kesempurnaan ,00 -
Keunikan -,05 -
Nabi ,08* -
Gambaran Yesus
Model - -,07
Humanistik - ,02
Klasik - -,05
Diinspirasi oleh Roh - -,02
Keyakinan agama inter-group
Sikap pada pluralitas agama
Monisme -,21** ,12**
Pluralisme kesamaan ,07 ,05
Puralisme relativis ,20** -,07
Religiosenrisme
Positive in-group -,14** -,01
Negative out-group ,08* ,19**
Panggilan keagamaan tentang solidaritas dan keadilan -,10** -,04
Semua korelasi signifikan pada level p<,00(**) atau p<,05(*)

Liberalisme Otonom adalah model tampaknya tidak terlalu bersikap negatif pada
terakhir dari hubungan agama dan negara yang model liberalisme otonom ini. Karakteristik
dapat kita identifikasi secara empiris di antara terkait latar belakang agama di kalangan umat
responden mahasiswa Indonesia. Secara umum, Islam pada semua titik berada dalam arah yang
baik Muslim dan Kristen cenderung tidak setuju sama, yaitu ketidaksetujuan pada model
dengan model liberal radikal yang menyerukan liberalisme otonom terkait dengan keterlibatan
pemisahan tegas antara agama dan negara ini. orang tua dalam pilihan agama anak-anak
Namun, seperti apa karakteristik responden mereka, banyaknya partisipasi mahasiswa dalam
yang relatif setuju pada model liberal ini? kegiatan keagamaan, frekuensi doa yang tinggi,
dan teman-teman yang kebanyakan seagama.
Di antara umat Islam, sekali lagi kami
Semua ukuran tradisional dalam identifikasi
menemukan bahwa preferensi pada partai
kelompok agama, yaitu karakteristik keagamaan
politik menjadi relevan di sini (eta 0,22). Secara
personal, terkait secara negatif dengan model
umum kita melihat bahwa pemilih partai-partai
liberalisme otonom. Berkenaan dengan
Islam tidak setuju dengan model liberal.
keyakinan agama, polanya juga sangat jelas.
Misalnya, dalam kasus pemilih Partai Keadilan
Secara keseluruhan, model liberalisme otonom
Sejahtera, (PKS, mean: 2,24),Partai Bintang
ini tidak dapat ditemukan pada kelompok-
Reformasi (PBR, mean: 2,32), dan Partai
kelompok berikut ini: mereka yang meyakini
Kebangkitan Bangsa, (PKB, mean: 2,36).
Qu’ran adalah Firman Allah (-0,27), mereka
Pemilih partai-partai nasionalis seperti Partai
yang meyakini Qur’an sebagai kumpulan teks
Golongan Karya (Golkar, mean: 2,67) dan
budaya yang ditulis oleh manusia’ (-0,26),
Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan (PDI-
mereka yang percaya pada gambaran Allah
P, mean: 2,56) juga tidak setuju dengan model
anthropomorfis (-0,20), gambaran Muhammad
liberal ini. Namun, mereka tidak sebanyak
sebagai model (-0,20); dan mereka dengan sikap
pemilih partai-partai politik Islam. Responden
yang mendukung model monisme dalam relasi
Muslim yang memilih Partai Kristen seperti
dengan agama-agama yang berbeda (-0,21).
Partai Damai Sejahtera (PDS, mean: 2,75)
Namun, keyakinan agama yang non-ortodoks

144 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


justru bersikap positif dengan model liberalisme Yogyakarta (mean: 2,64) lebih setuju dengan
otonom ini, yaitu: agama sebagai interpretasi model liberalisme otonom daripada rekan-rekan
psikologis (0,17) dan agama sebagai interpretasi seiman mereka di Ambon (mean: 2.29), umat
iman yang bersifat historis (0,18), gambaran Islam di Yogyakarta (mean: 2,33) memiliki
Muhamad yang humanistik (0,20), dan mereka persetujuan pada model liberalisme otonom
yang mendukung model relativisme dalam yang lebih kecil dibandingkan mereka yang ada
konteks pluralitas agama (0,20). di Ambon (mean: 2,53). Secara historis, umat
Islam di Ambon sering merasa terdiskriminasi.
Di antara responden Kristen, mahasiswa
Mereka juga adalah kelompok minoritas. Di
yang lebih tua (0,17) dan laki-laki (eta 0,17)
satu sisi, politisi Kristen jauh lebih berpengaruh
bersikap lebih sedikit negatif pada model
di Ambon daripada di Yogyakarta. Oleh karena
liberalisme otonom daripada mahasiswa yang
itu, masuk akal jika umat Muslim di Ambon
lebih muda dan perempuan. Pada model
tidak terlalu menentang liberalisme otonom.
liberalisme otonom ini, kami juga menemukan
Jika kita melihat pada karakteristik personal
perbedaan signifikan antara dua lokasi
keagamaan di kalangan orang Kristen, kita
penelitian kami: Ambon dan Yogyakarta (eta
menemukan juga bahwa liberalisme otonom
0,22). Mahasiswa Kristen di Yogyakarta
berhubungan secara negatif dengan keterlibatan
bersikap lebih tidak negatif pada model
agama. Namun, ketika orang-orang Kristen
liberalisme otonom dibandingkan mereka yang
merasa terancam secara politik, mereka
berada di Ambon (mean: 2,64 berbanding 2,29).
cenderung lebih setuju dengan model
Kami menginterpretasikan bahwa sebuah
liberalisme otonom. Akhirnya, bagi responden
kelompok lebih menunjukkan dukungan untuk
Kristen, sikap negatif pada out-group lebih
model liberalisme otonom (atau setidaknya
banyak berkorelasi dengan mereka yang
tidak terlalu menolak) pada saat kelompok
mendukung model liberalisme otonom (0,19).
tersebut berada dalam posisi minoritas, karena
sebagai minoritas mereka cenderung merasa
terpinggirkan dan didiskriminasi oleh kelompok  Prediksi Variabel-variabel yang Berpengaruh
yang lebih besar. Apalagi ketika mereka pada Model-model Hubungan Agama-Negara
menyadari bahwa kebijakan publik amat Bagian ini akan menjawab pertanyaan:
dipengaruhi oleh dasar-dasar keyakinan (agama) Karakteristik personal dan keyakinan agama
kelompok mayoritas. Hal ini didukung oleh mana dari mahasiswa Muslim dan Kristen yang
hasil empiris bahwa bagi umat Islam, lokasi dapat dianggap sebagai prediktor bagi model-
(Yogya vs Ambon) adalah variabel yang model hubungan agama dan negara? Kami akan
signifikan terkait dengan model liberalisme
otonom (eta 0,12). Sementara umat Kristen di

Tabel 6: Analisis regresi untuk model kerjasama dengan jumlah koefisien (β) untuk setiap
variabel dan total explained variance (R2, Adjusted R2, and R2 Change) di antara
responden Muslim dan Kristen.
Muslim Kristen
Keyakinan agama intra-group
Gambaran Allah
Anthropomorfis ,05 ,05
Gambaran Muhammad
Uswa (model) ,13** -
Gambaran Yesus
Model - ,21**
Keyakinan agama inter-group
Sikap pada pluralitas agama
Pluralisme kesamaan ,10** ,12**
Pluralisme relativistik ,25** ,03
Positive in-group -,01 ,11**
Panggilan keagamaan tentang solidaritas dan keadilan ,28** ,26**

R2 ,23 ,24
Adjusted R2 ,22 ,24
Standardized regression coefficients (β) significan pada level p< ,01 (**) atau p < ,05 (*),

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 145


variabel yang mendukung model komunitarianisme
menjawab pertanyaan keempat ini dengan
negara adalah: sikap monisme dalam pluralitas
membuat analisis regresi linier (metode: Enter).
agama (β .32), sikap religiosentrisme yang
Kami mendefinisikan variabel-variabel karakteristik
mengandung negative out-group (β 0,21) dan
mahasiswa tersebut sebagai variabel independen dan
positive in-group (β 0,12). Tingkat di
model-model hubungan agama-negara (yaitu
bawahnya, gambaran Muhammad sebagai
kerjasama, komunitarianisme negara dan
model (uswah) (β 0,08) dan Muhammad
liberalisme otonom) sebagai variabel dependen.
sebagai kesempurnaan (β 0,08) juga berkontribusi
Kami hanya membahas variabel-variabel yang
mempengaruhi model komunitarianisme negara.
mempunyai korelasi yang relevan (r ≥.20) dan
Untuk mahasiswa Kristen, hanya satu variabel
signifikan (p <. 000) dengan variabel dependen
yang mempengaruhi model komunitarianisme
dalam setidaknya salah satu kelompok agama.12
negara ini, yaitu sikap monisme dalam
Hasil analisis regresi (koefisien determinasi R2)
pluralitas agama (β 0,44).
tempat variabel independen memiliki bobot
signifikan dinyatakan dalam standar koefisien Liberalisme otonom adalah model yang
regresi β. paling kurang disetujui baik oleh responden
Muslim maupun Kristen. Dalam analisis
Variasi tingkat persetujuan model
regresi, prediksi pada model ini hanya
kerjasama dijelaskan oleh variabel independen
dijelaskan oleh 14% responden Muslim dan 8%
yang terbatas oleh 22% mahasiswa Muslim dan
responden Kristen. Dari sejumlah variabel yang
24% mahasiswa Kristen. Bagi mahasiswa
diharapkan sebagai variabel independen dan
Muslim beberapa keyakinan (agama) mendorong
mempengaruhi model liberalisme otonom ini,
persetujuannya pada model kerjasama, yaitu:
hanya beberapa yang memberikan hasil
konsep panggilan agama tentang solidaritas dan
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa model
keadilan (β 0,28), sikap relativisme dalam
liberalisme otonom lebih berkaitan dengan
pluralitas agama (β 0,25), gambaran Muhammad
faktor-faktor lain daripada dengan karakteristik
sebagai model (‘uswah’) (β 0,13) dan sikap
personal dan keyakinan agama seperti yang kita
pluralisme kesamaan dalam pluralitas agama (β
ukur dalam penelitian ini. Menurut kami agama
0,10). Bagi mahasiswa Kristen, keyakinan yang
memainkan peran yang amat penting di
mirip mendorong persetujuan mereka pada
Indonesia sehingga sulit untuk membayangkan
model kerjasama, yaitu: konsep panggilan
bahwa negara tidak akan berurusan dengan
agama tentang solidaritas dan keadilan (β 0,26),
masalah agama sama sekali. Oleh karena itu,
gambaran Yesus sebagai model bagi kehidupan
kita dapat mengerti bahwa keyakinan agama
(β 0,21), sikap pluralisme kesamaan dalam
justru memperlihatkan ketidaksetujuan terhadap
pluralitas agama (β 0,12) dan sikap positive in-
model liberalisme otonom di kalangan umat
group (β 0,11). Di sini kita menemukan bahwa
Islam, seperti gambaran Muhammad sebagai
keyakinan agama secara signifikan
model (uswah) (β -0,16) dan gambaran Allah
berkontribusi besar pada model kerjasama.
antropomorfis (β -0,10). Namun, gambaran
Sementara karakteristik personal tidak ada yang
liberal tentang Muhammad yang humanis dapat
berkontribusi pada model kerjasama ini.
memberikan pengaruh pada model liberalisme
Model komunitarianisme negara dijelaskan otonom ini (β 0,11). Bagi mahasiswa Kristen,
oleh 30% mahasiswa Muslim dan 22% kami pertama-tama menemukan bahwa mereka
mahasiswa Kristen. Untuk mahasiswa Muslim yang tinggal di Yogyakarta jauh lebih setuju
dengan model liberalisme otonom daripada
12
mereka yang tinggal di Ambon (β 0,21).
Kami tidak memasukkan 'preferensi partai Perbedaan ini dapat dijelaskan melalui
politik’ sebagai variabel independen untuk persoalan mayoritas-minoritas. Di Yogyakarta
penjelasan terkait masing-masing model hubungan
agama-negara, karena tampaknya konsep pengaruh
mahasiswa Kristen adalah minoritas sedangkan
yang muncul datang dari arah yang berlawanan. di Ambon mereka adalah mayoritas. Dukungan
Orang memilih partai politik tertentu karena sesuai lebih besar pada pemisahan antara agama dan
dengan pandangan mereka (mengenai peran agama, negara (model liberalisme otonom) dalam
dan beberapa faktor lainnya), dan bukan sebaliknya. konteks minoritas dapat dimengerti, karena hal
Bahwa hubungan antara preferensi partai politik dan tersebut diasumsikan mengurangi potensi
model hubungan agama-negara (dalam bagian 5.3) penindasan dan diskriminasi oleh agama
dapat dianggap sebagai indikasi validitas
pengukuran hubungan agama-negara.

146 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Tabel 7: Analisis regresi untuk model komunitarianisme negara dengan jumlah koefisien
(β) untuk setiap variabel dan total explained variance (R2, Adjusted R2, and R2
Change) di antara responden Muslim dan Kristen.
Muslim Kristen
Keyakinan agama inter-group
Uswa (model) ,08* -
Kesempurnaan ,08* -
Keyakinan agama intergroup
Sikap pada pluralitas agama
Monisme ,32** ,44**
Pluralisme relativistik -,05 -,01
Positive in-group ,12** ,06
Negative ou-tgroup ,21** ,03

R2 ,32 ,23
Adjusted R2 ,30 ,22
Standardized regression coefficients (β) significan pada level p< ,01 (**) atau p < ,05 (*).

Tabel 8: Analisis regresi untuk model liberalisme otonom dengan jumlah koefisien (β)
untuk setiap variabel dan total explained variance (R2, Adjusted R2, and R2
Change) di antara responden Muslim dan Kristen
Muslim Kristen
Karakteristik latar belakang
Lokasi
Ambon ,00 ,00
Yogyakarta -,02 ,21**
Keyakinan agama intra-group
Konsep Qur’an/Alkitab
Firman Allah -,08 -,03
Koleksi manusia, teks kultural -,09 -,09
Gambaran Allah
Anthropomorphis -,10* -,08
Gambaran Muhammad
Uswa (model) -,16** -
Humanistik ,11* -
Keyakinan agama inter-group
Sikap pada pluralitas agama
Monisme -,02 ,18**
Pluralisme relativistik ,06 ,05

R2 ,15 ,09
Adjusted R2 ,14 ,08
Standardized regression coefficients (β) significan pada level p< ,01 (**) atau p < ,05
(*).

mayoritas. Selain itu, sikap monisme dalam dengan perasaan mereka sebagai minoritas
pluralitas agama di kalangan umat Kristen juga dalam konteks yang lebih didominasi oleh tradisi
mempengaruhi model liberalisme otonom (β keagamaan lain. Hal ini bermuara pada
0,18). Hal ini mungkin dianggap mengejutkan, pemahaman bahwa mereka lebih baik dilayani
karena di kalangan responden Kristen monisme oleh pemerintah yang menganggap agama
juga memberikan pengaruh pada model sebagai isu yang sangat pribadi. Ketika agama -
komunitarianisme negara. Interpretasi kami dan khususnya agama mayoritas, yaitu Islam -
adalah ketertarikan orang Kristen untuk tidak memiliki pengaruh pada kebijakan publik,
memegang pandangan yang eksklusif atas tradisi maka agama minoritas tidak perlu merasa takut
keagamaan mereka (monisme) berjalan bersama lagi.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 147


Kesimpulan menemukan beberapa hal menarik. Keterlibatan
orangtua dalam pilihan agama dan dalam
Pada bagian ini kami menyoroti
kegiatan keagamaan responden, juga praktik-
beberapa hal yang menonjol dari temuan kami.
praktik keagamaan mahasiswa sendiri
Pertama, kami telah menemukan tiga model
tampaknya cukup penting berkorelasi dengan
perbandingan lintas-agama mengenai hubungan
model-model hubungan agama-negara. Hal
agama-negara: kerjasama, komunitarianisme
lainnya seperti usia, jenis kelamin, jenis
negara, dan liberalisme otonom. Meskipun asal-
perguruan tinggi (negeri, Islam atau Kristen),
usul model empiris ini berasal dari filsafat
lokasi (Yogyakarta atau Ambon) dan preferensi
politik Barat, hasil ini memungkinkan
partai politik hanya sesekali terkait dengan
perbandingan yang berarti antara Muslim dan
model hubungan agama-negara. Lebih khusus,
Kristen Indonesia pada preferensi mereka
karakteristik personal sebagian besar secara
terhadap hubungan antara agama dan negara.
signifikan berkorelasi dengan model-model
Bagi mahasiswa Muslim dan Kristen di
hubungan agama dan negara di spektrum
Indonesia, ‘liberalisme keragaman’ dan
komunitarianisme negara dan liberalisme
‘komunitarianisme kelompok’ - meskipun secara
otonom. Sementara keyakinan agama
teoritis dapat dibedakan – bergabung dalam satu
menunjukkan korelasi yang lebih sering dan
faktor, yaitu ‘model kerjasama’. Sekalipun teori
lebih kuat dengan ketiga model hubungan
politik membedakannya dengan lebih kompleks,
agama-negara. Keyakinan agama memberikan
seperti tampak dalam kerangka kerja konseptual
indikasi yang lebih kuat pada model agama-
kami, kami tidak menemukan distingsi yang
negara daripada karakteristik personal. Lebih
sama pada responden kami. Mahasiswa yang
khusus lagi, keyakinan inter-group - yaitu
memiliki pandangan liberalisme keragaman
keyakinan agama yang terkait dengan tradisi-
setuju dengan kelompok komunitarianisme, dan
tradisi keagamaan lainnya – dianggap amat
begitupun sebaliknya. Ketiga model yang kami
relevan untuk membangun pemahaman tentang
buat (kerja sama, komunitarianisme negara dan
bagaimana seharusnya hubungan agama-negara.
liberalisme otonom) membuat perbandingan
Model kerjasama tampaknya dapat ditemukan
antara Muslim dan Kristen berkaitan dengan
secara kuat di kalangan responden yang
hubungan agama-negara menjadi mungkin.
memberi perhatian pada solidaritas dan keadilan
Kedua, kami menemukan persamaan yang dirangsang oleh tradisi keagamaan mereka,
dan perbedaan yang signifikan antara Muslim termasuk juga di antara mereka yang cenderung
dan Kristen yang berkaitan dengan pandangan lebih setuju dengan pluralisme kesamaan dan
mereka tentang hubungan agama-negara. Baik relativisme dalam pluralitas agama. Model
mahasiswa Muslim maupun Kristen sebagian kerjasama juga lazim ditemukan di antara
besar setuju dengan model kerjasama, diikuti Muslim dan Kristen yang memegang gambaran
oleh ambivalensi positif berkaitan dengan model Allah antropomorfis dan yang melihat
komunitarianisme negara di kalangan Muslim Muhammad atau Yesus masing-masing sebagai
dan ambivalensi negatif di kalangan Kristen. model untuk kehidupan mereka. Model
Muslim dan Kristen keduanya menunjukkan komunitarianisme negara lebih disukai oleh
persetujuan yang rendah pada model liberalisme responden Muslim dan Kristen yang setuju
otonom. Sekalipun tampaknya persetujuan dengan monisme dan tidak setuju dengan
kedua kelompok agama ini sama, tetapi juga ada relativisme dalam pluralitas agama.
perbedaan ketika kita melihat model-model itu Komunitarianisme negara juga terkait dengan
secara terpisah. Khususnya, ada perbedaan yang gambaran klasik Muhammad atau Yesus. Model
signifikan antara Muslim dan Kristen berkaitan liberalisme Otonom – meskipun umumnya
dengan model kerjasama dan model ditolak – adalah khas bagi umat Islam dan
komunitarianisme negara. Responden Kristen Kristen dengan interpretasi yang lebih liberal
secara signifikan lebih setuju pada model pada kitab suci dan iman, dan bagi umat Islam
kerjasama daripada Muslim dan responden yang memegang gambaran Muhammad yang
Muslim cenderung lebih positif terhadap model humanistik. Di antara umat Islam, model ini juga
komunitarianisme negara daripada responden berkorelasi negatif dengan monisme dan
Kristen. berhubungan positif dengan relativisme dalam
Ketiga, terkait karakteristik dari masing- pluralitas agama.
masing model hubungan agama-negara, kami

148 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Keempat, kami berusaha menjelaskan hubungan antar agama. Meskipun ada
persetujuan pada model agama-negara di peningkatan mobilitas sosial dan geografis,
kalangan umat Islam dan Kristen dan perbedaan peristiwa konflik agama dalam dua puluh tahun
yang ada ke dalam dua level, yaitu teologis dan terakhir telah sama dengan yang terjadi
kontekstual. Penjelasan teologis didapatkan sepanjang perjuangan kemerdekaan tampak
melalui bagaimana keyakinan agama tertentu mencolok (Bertrand, 2004). Identitas komunitas
memberikan pengaruh positif atau justru negatif agama setempat sangat berpengaruh terhadap
pada masing-masing model. Penjelasan politik, tepat seperti yang kita lihat dalam
kontekstual diperoleh dengan melihat konteks kontribusinya bahwa keyakinan agama pada
mayoritas-minoritas di tingkat nasional (Indonesia) tingkat individu memiliki efek pada pandangan
dan regional (Ambon vs Yogyakarta), kekuasaan tentang hubungan agama-negara. Apakah
dan status mereka, serta keadaan lainnya seperti meningkatnya pengaruh baru dari Islam pada
sejarah konflik. Model kerja sama paling kuat undang-undang dan peraturan adalah
disebabkan oleh keyakinan bahwa iman kemunduran sementara dalam evolusi jangka
memerlukan perwujudan dalam solidaritas dan panjang sekularisasi dan sekularisme negara di
keadilan dengan semua orang. Hal ini berlaku Indonesia? Dan apa bentuk konkret sekularisme
bagi Muslim dan Kristen. Pluralisme kesamaan itu nantinya? Ini masih harus dilihat dari arah
(baik Muslim dan Kristen) dan relativisme (bagi pandangan tentang pemerintah yang bagaimana
umat Islam saja) juga berkontribusi terhadap yang akan berkembang di Indonesia di tahun-
persetujuan pada model kerjasama, bersama- tahun mendatang.
sama dengan cara pandang pada Muhammad
atau Yesus sebagai model kehidupan yang benar Daftar Pustaka
dengan dan bagi orang lain. Komunitarianisme
negara terutama dipengaruhi oleh klaim An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the Secular
kebenaran yang monistik dari tradisi tiap agama, State. Negotiating the Future of
Muslim dan Kristen. Sementara bagi umat Islam, Shari’a.Cambridge: Harvard Univerity
religiosentrisme juga berkontribusi pada persetujuan Press.
mereka atas komunitarianisme negara. Liberalisme Anthony F.-V., Hermans C., Sterkens C. (2015).
otonom biasanya berkaitan dengan kurangnya Religion and conflict attribution. A
persetujuan pada keyakinan agama tradisional cross-religious comparative research
seperti gambaran Allah yang antropomorfis atau among Christians, Muslims and Hindus
Muhammad sebagai model. Namun, di antara in Tamil Nadu, India (Nijmegen Studies
orang-orang Kristen, persetujuan pada liberalisme in Humanities 3). Leiden: Brill.
otonom dapat dijelaskan dengan melihat lokasi
mereka (Yogyakarta, yaitu dalam situasi mereka Aritonang, S. (2006). Religion and legislation in
sebagai minoritas), dan – yang mengejutkan – Indonesia with special attention to the
dengan monisme. Keduanya dapat dijelaskan Joint Regulation of the Ministers of
dengan melihat latar belakang posisi minoritas Religious and Home Affairs Nr. 9/8
Kristen. 2006. In: Bakker F. & Aritoning S.
(Eds.). On the edge of many worlds
Kami mengawali tulisan ini dengan (hlm. 126-133). Zoetermeer: Meinema.
argumen bahwa secara paradoksal munculnya
radikalisme agama dan pengaruhnya terhadap Azra, A. (2006). Radical and mainstream Islam:
politik berkaitan dengan proses demokratisasi New Dynamics in Indonesia. In: Friend,
dan desentralisasi politik yang dimulai sekitar Theodore (Ed.). Religion and Religiosity
pergantian abad lalu. Karena arti penting agama in the Philippines and Indonesia.
di tingkat individu dan adanya penerimaan yang Washington: Southeast Asia Studies
tinggi di tingkat masyarakat, hal ini menjadi Program.
kepentingan orang-orang yang mencari kekuasaan Bader V. (2007). Secularism or democracy?
(yaitu partai-partai politik) yang menghubungkan Associational governance of religious
mereka dengan pemilih dari keyakinan agama diversity. Amsterdam: Amsterdam
tertentu. Desentralisasi membuat situasi lokal University Press.
menjadi lebih relevan bagi adanya undang-
undang dan peraturan serta situasi lokal ini juga Benedict XVI. (2009). Caritas in veritate.
mencakup pentingnya bentuk khusus agama dan Encyclical letter on integral human

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 149


development in charity and truth. Rome, Galston, W.A. (1995). Two concepts of
29 June 2009. liberalism. In: Ethics. An international
Journal of Social, Political and Legal
Benhabib, Seyla (Ed.). (1996). Democracy and
Philosophy 105 (1995-4). hlm. 516-534.
difference. Contesting the boundaries of
the political. Princeton: Princeton Goodin, R.E. (2003). Reflective democracy.
University Press. Oxford: Oxford University Press.
Bertrand, Jacques. (2004). Nationalism and Hadiwitanto, H. (2002). Berani Melawan Rasa
ethnic conflict in Indonesia (Cambridge Takut. Thesis. Yogyakarta: Faculty of
Asia-Pacific Studies). Cambridge: Theology, Duta Wacana Christian
Cambridge University Press. University..
Brown L, Carl. (2000). Religion and State. The Habermas, J. (1993). Justification and Application.
Muslim Approach to Politics. New York: Remarks on Discourse Ethics. Cambridge.
Columbia University Press. Translated from the German: Erläuterungen
zur Diskursethik. Frankfurt am Main.
Cammack, Mark E., Donovan H., Heaton Tim B.
1991.
(2007). Islamic divorce law and practice
in Indonesia. In: Feener Michael R., Hirst, P.H. (1974). Moral Education in a Secular
Cammack Mark E. (Ed.). Islamic law in Society. London.
contemporary Indonesia. Ideas and
Human Rights Watch (2013). In religion’s name.
institutions. Cambridge: Harvard
Abuses against religious minorities in
University Press.
Indonesia. New York [etc.]: Human
Capucao, D. (2010). Religion and ethnocentrism. An Rights Watch.
Empirical-theological study (Empirical
Hofstede, G. & Hofstede G.J. (2005). Cultures
Studies in Theology 19). Leiden: Brill.
and organizations. Software of the mind
Denny, F.M. (1975). The Meaning of "Ummah" (2nd Ed.). New York: McGraw-Hill.
in the Qur'an. History of Religions, 15
Hosen, N. (2007). Shari'a and constitutional
(1): 34-70.
reform in Indonesia. Singapore: Institute
Ellis, A. (2002). The Indonesian constitutional of South East Asian Studies.
transition: conservatism or fundamental
Ichwan, M.N. (2006). Official reform of Islam.
change? In: Singapore Journal of
State Islam and the Ministry of Religious
International and Comparative Law 6.
Affairs in Contemporary Indonesia,
116-153.
1966-2004 (dissertation). Tilburg: Universiteit
Feener, M.R. (2007). Muslim legal thought in Tilburg
modern Indonesia. Cambridge [etc.]:
Intan, B.F. (2006). Public Religion” and the
Cambridge University Press.
Pancasila-based state of Indonesia. An
Feener R.M. & Cammack M.E. (Eds.). (2007). ethical and sociological analysis. New
Islamic Law in Contemporary Indonesia. York/Bern/Oxford.
Ideas and Institutions. Cambridge:
Madeley, J. (2009). Religion and the State. In:
Harvard University Press.
Haynes, Jeffrey (Ed.). Routledge
Fergusson David A.S. (1997). “Communitarianism Handbook of Religion and Politics.
and Liberalism: Towards a Convergence?”. Oxon: Routledge, hlm. 174-191.
In: Studies in Christian Ethics, hlm. 32-
Mangundjaya, W.L.H. (2013). Is there cultural
48.
change in the national cultures of
Fergusson, David A.S. (2004). Church, State and Indonesia. In: Yoshihisa Kashima;
Civil Society. Cambridge: Cambridge Emmiko S. Kashima and Ruth Beatson
University Press. (Eds.). Steering the cultural dynamics.
Selected papers from the 2010 Congress
Fox, J. (2008). A World Survey of Religion and
of the International Association for
the State. Cambridge: Cambridge
Cross-cultural Psychology. Melbourne:
University Press.
IACCP. p 59-68.

150 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015


Mujiburrahman. (2006). Feeling Threatened. Prophet in Islamic Piety. Chapel Hill:
Muslim-Christian Relations in Indonesia’s The University of North Carolina Press.
New Order. Isim dissertations. Amsterdam:
Sidel J.T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad.
Amsterdam University Press. Religious Violence in Indonesia. New
Mulhall, S. & Swift, A. (1996). Liberals & York: Cornell University Press.
Communitarians (second edition). Siegel, H. (1988). Educating reason. Rationality,
Malden: Blackwell Publishing. critical thinking, and education. New
Musdah, M. (2011). The problem of the York: Routledge.
implementation of the rights of religious Subagya, Y.T. (2015-forthcoming). Ethno-
freedom in Indonesia. In: Jurnal Salam, religious identification and support of
14 (1), 39-60. intergroup violence among Muslim and
Christian university students. An
Noorhaidi. (2005). Laskar Jihad. Islam,
empirical study in Ambon and
Militancy and the Quest for Identity in Yogyakarta, Indonesia. Diss. RU
Post-New Order Indonesia. Utrecht: Nijmegen.
Universiteit Utrecht.
Sterkens, C. (2001). Interreligious Learning. The
Ramadan, T. (2007). The Footsteps of The Problem of Interreligious Dialogue in
Prophet. Lessons from The Life of Primary Education. Leiden: Brill,
Muhammad. New York: Oxford University Leiden.
Press.
Sterkens, C. & Hadiwitanto, H. (2009). From
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Cambridge: social to religious conflict in Ambon. An
The Belknap Press of Harvard analysis of the origins of religiously
University Press. inspired violence. In: Sterkens C.,
Machasin M., Wijsen F. (ed.). Religion,
Rawls, J. (1988). The priority of rights and ideas civil society and conflict in Indonesia
of good. Philosophy & Public Affairs, (hlm. 61-88). Münster/Berlin/Wien/
17 (4), 251-276. London: Lit Verlag.
Rawls, J. 19931/19962. Political liberalism. Sterkens, C. & Hadiwitanto, H. (2014). Attitudes
(John Dewy Essays in Philosophy 4). Towards Religious Plurality. Comparative
New York. Research Among Muslim and Christian
Rawls, J. (2001). Justice as Fairness. A University Students in Indonesia. In:
Küster V., Setio R. (ed.). Christian-
Restatement. Kelly, Erin (ed.).
Muslim relations in Indonesia and the
Cambridge: Belknap Press of Harvard
Netherlands. (73-101). Leipzig: Evangelische
University Press. Verlagsanstalt.
Salim, H.H.S., Kailani, N., Azekiyah, N. (2011). Sterkens, C., Kanas, A., Subagya, T.,
Politik Ruang Publik Sekolah. Negosiasi Pamungkas, C., Thijs, P.e., & Scheepers,
dan Resistensi di SMUN di Yogyakarta Peer L.H. 2014. Ethno-Religious
[Serial Monograf Praktik Pluralisme]. Conflicts in Indonesia 2012 (ERCI
Yogyakarta: Centre for Religious & 2012). Documentation of surveys on
Cross-cultural Studies (CRCS). ethno-religious identity and latent
intergroup conflict. (Dans Data Guide
Sandel, M.J. (1982). Liberalism and the Limits
12). Amsterdam: Pallas Publications -
of Justice. Cambridge: Cambridge
Amsterdam University Press.
University Press.
Taylor, C. (1994). The Politics of Recognition.
Santosa Simon Ferry (1994). Liberalisme versus In: Gutman, Amy (ed.). Multiculturalism.
Komunitarianisme dan Relevansinya Princeton: Princeton University Press.
dengan Hak-hak Asasi Manusia. Driyakara,
89-103. Trigg, R. (2007). Religion in Public Life. Must
Faith be Privatized? New York: Oxford
Setara Institute. (2010). Reports on freedom of University Press.
religion and belief 2007-2009. Jakarta.
Torfs, R. (2002). Relationship between the state
Schimmel, A. (1985). And Muhammad is His and religious groups. In Flauss J.-F.
Messenger. The Veneration of the (ed.). La protection internationale de

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015 151


liberté religieuse. International protection Wahid, A. (1999). In: Marijan, Kacung; Al-
of religious freedom (hlm. 131-152). Brebesy, Ma’mun Murod (eds.),
Brussel: Bruylant. Abdurrahman Wahid. Mengurai Hubungan
Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo.
Van der Ven, J.A.. (1998a). Formation of the
Moral Self (Studies in Practical Waardenburg, J. (2002). Islam. Historical,
Theology). Grand Rapids/Cambridge: Social, and Political Perspectives.
Eerdmans. Berlin: Walter de Gruyter.
Van der Ven, J.A. (1998b). God reinvented. A Wijsen, F. & Singgih, G. (2009). Regulations on
theological search in texts and tables houses of worship: a threat to social
(Empirical Studies in Theology 1). cohesion? In: Sterkens Carl, Machasin
Leiden: Brill. Muhammad, Wijsen Frans (Eds.).
Religion, civil society and conflict in
Van Klinken, G. (2001). Beyond the Crisis:
Indonesia (hlm. 86-97). Zürich [etc.]:
Religion and Politics in Post-Suharto
Lit Verlag.
Indonesia. Interface, 4 (1), 35-54.
Ziebertz, Hans-Georg & Reindl, M. (2012).
Van Kooij, R., Tsalatsa A., Yam’ah. (2007).
Religious socialisation and values as
Bermain dengan Api. Relasi antara
predictors of human rights attitudes. In:
Gereja-gereja Mainstream dan Kalangan
van der Ven J.A., Ziebertz H.-G. (eds.).
Kharismatik Pentakosta. Jakarta: BPK
Tensions within and between religions
Gunung Mulia.
and human rights (hlm. 223-248).
Leiden/Boston: Brill.

152 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 17 No. 2 Tahun 2015

You might also like