Professional Documents
Culture Documents
Halu Oleo Legal Research is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.
Abstract: This study discusses the abuse of authority by police officials in recruiting members of the National Police
in the 2022 fiscal year. The purpose of this study is to analyze the forms of abuse of authority committed by police
officials in recruiting members of the Police and to analyze the enforcement of sanctions by the Police Professional
Code of Ethics against police officers who commit abuse that authority. The research method used is normative legal
research with statutory, case and conceptual approaches. The results of the study show that the form of abuse of
authority committed by the violator First Brigadier Bagas Ray Perdana (BRP) from the point of view of state
administrative law and/or formal juridical terms is included in the category of "Abuse of Mixing Up of Authority"
with elements of taking action outside the scope of the field or subject matter of authority granted and/or contrary
to the purpose of the authority granted. Enforcement of the Police Professional Code of Ethics sanctions against
police officials who commit violations is carried out through a trial of the National Police Code of Ethics Commission
with reference to the Police Professional Code of Ethics which includes state, institutional, social, and personality
ethics.
Keyword: Abuse of Power; Police Officials; Acceptance of Police Members
Abstrak: Penelitian ini membahas penyalahgunaan wewenang pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota
Polri pada tahun anggaran 2022. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota Polri serta untuk menganalisis
penegakan sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian terhadap pejabat kepolisian yang melakukan penyalahgunaan
wewenang tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan
perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pelanggar Briptu Bagas Ray Perdana (BRP) dari segi hukum administrasi negara
dan/atau secara yuridis formal adalah termasuk dalam kategori "Penyalahgunaan Mencampuradukkan
Wewenang" dengan unsur melakukan tindakan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan
dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Penegakan sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian
terhadap pejabat kepolisian yang melakukan pelanggaran dilakukan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri dengan
mengacu pada Kode Etik Profesi Kepolisian yang mencakup etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan
kepribadian.
Kata kunci: Penyalahgunaan Wewenang; Pejabat Kepolisian; Penerimaan Anggota Polri
143
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
PENDAHULUAN
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga pemerintahan yang
mempunyai tugas pokok di bidang penegakan hukum, memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pelayanan, perlindungan serta pengayoman
masyarakat1 Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut dilakukan oleh segenap anggota
Polri yang bertugas mulai dari Pejabat Polri di Pusat sampai Pejabat Polri di Daerah, dan
bahkan anggota yang bertugas di lapangan; sesuai dengan asas Negara Hukum di Republik
Indonesia, maka pelaksanaan tugas harus mendasari kepada hukum yang berlaku (hukum
positif).
Undang-Undang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas kepolisian antara lain; UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, disebutkan bahwa, “Untuk kepentingan umum
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.2 Bertindak menurut
penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta
risiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tersebut, disebutkan
“Dalam melaksanakan tugas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib, antara
lain: “a. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya
kepada masyarakat; ... d. melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan
rasa tanggung jawab; ...”.3 Dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2022 tersebut, disebutkan “Pejabat Kepolisian wajib memedomani KEPP (Kode Etik
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 13.
2 Ibid., Pasal 18 ayat (1).
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 4 “Dalam melaksanakan tugas, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia wajib: a. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik-
baiknya; b. memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan
masyarakat; c. menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah
atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. melaksanakan tugas
sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab; e. memelihara dan meningkatkan
keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia; f. menaati
segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku; g. bertindak dan
bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya; h. membimbing bawahannya
dalam melaksanakan tugas; i. memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya; j.
mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; k. memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembangkan karier; l. menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan
yang berwenang; m. menaati ketentuan jam kerja; n. menggunakan dan memelihara barang milik dinas
dengan sebaik-baiknya; dan o. menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.
144
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia) dengan menaati setiap kewajiban dan
larangan dalam: a. Etika Kenegaraan; b. Etika Kelembagaan; c. Etika Kemasyarakatan, dan d.
Etika Kepribadian. Pelanggaran terhadap KEPP diselesaikan dengan: a. Pemeriksaan
pendahuluan; dan b. Sidang terdiri atas; 1. Sidang KKEP, 2. Sidang KKEP Banding; dan/atau
3. Sidang KKEP PK.4
Dalam pelaksanaan tugas pokok dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip “diferensiasi fungsional (pembagian
kerja yang muncul karena orang melakukan pekerjaan yang berlainan)” yang digariskan
dalam KUHAP. Tugas dan wewenang Kepolisian yang diperoleh secara atributif, yakni
wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945; wewenang
kepolisian yang dirumuskan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002; dan wewenang kepolisian
yang dirumuskan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.
Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang begitu besar sangat rentang
untuk disalahgunakan yang lazim disebut dengan istilah “penyalahgunaan wewenang”.
Pengertian penyalahgunaan wewenang dalam peraturan perundang-undangan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (UU Nomor 2 Tahun 2002; PP Nomor 2 Tahun 2003; dan Perkap
Nomor 7 Tahun 2022) tidak ditemukan, dan di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, juga tidak ditemukan definisi penyalahgunaan wewenang;
hanya mengatur “wewenang”, yaitu hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan (Kepolisian) atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan; sedangkan kewenangan adalah
kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Kepolisian) atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam rana hukum publik.6
4 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 3
5 Aryanto Sutadi et al., Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum dan Implementasinya di Lapangan
(Jakarta: KOMPOLNAS (Komisi Kepolisian Nasional), 2013), 1–2.
6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 5 dan 6; dan
dalam kurung frasa “Kepolisian” adalah penegasan penulis.
145
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
diberikan kepada wewenang itu.7 Atau dengan kata lain pengertian “Penyalahgunaan
wewenang” dalam hukum administrasi negara dapat diartikan sebagai penyalahgunaan
wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan
umum atau untuk menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan dan penyalahgunaan
dalam arti bahwa tindakan tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya.8
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang9 kepolisian secara faktual masih terjadi
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan olek oknum polisi, seperti pada kasus Putusan
Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri Nomor PUT KKEP/14/IX/2022/KKEP oleh Briptu
Bagas Ray Perdana, telah melaksanakan persidangan Komisi Etik Profesi Polri, dan dibantu
oleh Sekretaris selaku pencatat dan perekam fakta-fakta di persidangan, terhadap terduga
pelanggar, sehingga dalam putusan tersebut memutuskan dan menetapkan terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research). Penelitian
hukum normatif ialah penelitian yang menggambarkan secara sistematis aturan yang
mengatur suatu klasifikasi hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan dan
menjelaskan permasalahan, serta memprediksi suatu konsepsi untuk di masa akan datang.
Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, dan doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal
tersebut sesuai dengan karakter preskriptif dari ilmu hukum.
7 Philipus.M. Hadjon et al., Hukum Administrasi dan Good Governance (Jakarta: Universitas Trisakti, 2012),
25--26.
8 Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance (Yogyakarta: Laksbang Presindo,
2005), 8.
9 L Sensu et al., “Kewenangan Kepala Desa Dalam Meningkatkan Pelayanan Pemerintah Desa Batubanawa
Kec. Mawasangka Timur Kab. Buton Tengah Kepada Masyarakat,” Halu Oleo Legal … Vol. 4, No. 2 (2022),
hal. 288–307, https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/article/view/53%0Ahttps://journal.uho.
ac.id/index.php/holresch/article/download/53/23.
146
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
mendukung terciptanya penegakan hukum yang adil, yang berdiri di garda utama dalam
penegakan hukum. Lembaga kepolisian dalam menjalankan tugas pokok berpegang teguh
pada peraturan perundang-undangan di bidang Kepolisian (UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; PP Nomor 1 Tahun 2003 Tentang
Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan PP Nomor 2 Tahun
2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan
memiliki Kode Etik Profesi (Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia), dalam melaksanakan wewenangnya demi tercapainya tugas dan fungsi
pemerintahan dari Kepolisian.
Etika Profesi itu ada untuk menciptakan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang
kredibilitas, serta beretika. Dalam hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU
Nomor 2 Tahun 2002, “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pengemban profesi
kepolisian selain memiliki keahlian dalam bidangnya, harus pula bersikap dan berperilaku
sesuai Kode Etik Profesi yang mengikat sebagai anggota Polri, oleh karena itu setiap
profesional kepolisian harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga
masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang administrasi, hukum, keamanan dan
ketertiban masyarakat secara beretika. Norma dan standar tersebut dalam pelaksanaan
tugas kepolisian di lapangan kadang tidak diindahkan dan kecenderungan oknum anggota
Polri tertentu yang mengabaikan norma dan standar tersebut, sehingga terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan profesinya. Seperti
kasus yang terjadi di Kepolisian Daerah (POLDA) Sulawesi Tenggara pada penerimaan calon
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Penerimaan Calon Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pengumuman Kepolisian Negara Republik
Indonesia Markas Besar; Nomor: Png/20/III/DIK.2.1/2022 Tentang Penerimaan Terpadu
Bintara Polri Gelombang II Tahun Anggaran 2022, Tanggal 29 Maret 2022; dengan
pertimbangan secara filosofis; bahwa “dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang profesional, bermoral dan modern sebagai pemelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, diperlukan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
unggul dan berkualitas; maka diperlukan sistem penerimaan calon anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan secara bersih, transparan, akuntabel, dan
humanis”.
147
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Dalam hal penggunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian
wewenang, maka hal itulah yang merupakan penyalahgunaan wewenang.
10 Moh Alfatah Alti Putra, “Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah yang Tidak Dapat
Dipidana,” Justisi Vol. 7, No. 2 (Juli 15, 2021): 119, https://ejournal.um-
sorong.ac.id/index.php/js/article/view/1362.
11 Sobirin Malian, “Penyalahgunaan Wewenang Jabatan oleh Pejabat Negara/Pemerintah: Perspektif
Hukum Administrasi dan Hukum Pidana,” Jurnal Hukum Respublica Vol. 20, No. 1 (November 30, 2020):
106, https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica/article/view/5363.
12 Moeimam Susi dan Steinhauer Hein, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), 100.
148
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Masyarakat selalu membutuhkan Polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan
serta tegas dalam penegakan hukum. Sebaliknya jika polisi tidak bertindak cepat untuk
menolong korban dan mengabaikan perlindungan hukum maka masyarakat akan menjauhi
polisi bahkan cenderung membenci polisi. Kecenderungan sebagian oknum polisi yang
melakukan penyimpangan sesungguhnya bukan monopoli kepolisian di Indonesia,
mengingat penyimpangan yang dilakukan polisi di negara-negara maju pun masih dijumpai.
Di Inggris dimana keramahtamahan polisinya telah menjadi legenda, tetap saja banyak polisi
yang masih mempergunakan asas “the end justified the means” (tujuan menghalalkan segala
cara). Demikian pula di Kanada, pemerintah Kanada sampai dua kali membentuk komisi
untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police (RCMP), yaitu pertama, Komisi Mac
Donald (1981) dan kedua Komisi Keable (1987). Kesaksian-kesaksian yang diberikan di
hadapan kedua komisi tersebut semakin memperkuat bukti-bukti bahwa Kepolisian Kanada
(RCMP) telah melakukan “a wide range and illegal activities” (serangkaian kejahatan dan
perbuatan melanggar hukum secara luas.15
Hukum memberikan kekuasaan yang luas kepada Polisi untuk bertindak sehingga polisi
memiliki wewenang untuk mengekang masyarakat apabila ada dugaan kuat telah terjadi
tindak pidana. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 18 bahwa Polisi diberi wewenang
dalam keadaan tertentu untuk melakukan tindakan menurut penilaiannya sendiri atau biasa
dikenal sebagai kekuasaan diskresi fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi
sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum; secara lebih rinci pasal tersebut, disebutkan:
13 Ronny R. Nitibaskara, Polisi dan Korupsi (Jakarta: Pustaka Kartini, 2006), 359.
14 Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat
(Jakarta: Restu Agung, 2006), 174, http://library.stik-ptik.ac.id.
15 Azier Bauw, “Penegakan Kode Etik Kepolisian Terhadaap Pelanggaran yang Dilakukan Anggota Polisi
(Studi Kasusu di Kepolisian Daerah Jayapura),” Jurnal Legal Pluralisme Vol. 5, No. 1 (2015): 2.
149
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Berdasarkan ketentuan tersebut, sangat jelas bahwa peran polisi dalam mewujudkan hukum
agar menjadi hidup sangat nyata dengan adanya kekuasaan kewenangan-fungsional. Untuk
itu, setiap anggota Polri, integritas moral sangat dibutuhkan agar tidak ternoda akibat
terpengaruh oleh godaan untuk kepentingan pribadi. Penyimpangan yang dilakukan oleh
oknum polisi dengan menggunakan selimut hukum berdasarkan kekuasaan kewenangan-
fungsional membutuhkan adanya pengawasan, pengamanan dan penindakan atas profesi
agar tidak terjadi penyimpangan, dan penyimpangan harus ditindak secara tegas.
Apabila terjadi pelanggaran atas kode etik profesi kepolisian maka dilakukan pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Kapolri berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU
Nomor 2 Tahun 2002, “Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Ketentuan Pasal 35 tersebut, menegaskan
bahwa Polisi merupakan sebuah profesi yang diikat atau tunduk pada Kode Etik Profesi yang
ditertibkan oleh Institusi Kepolisian sendiri. Pelanggaran terhadap Kode Etik tersebut
membawa konsekuensi akan diadili oleh sebuah Komisi Kode Etik Profesi Polri. Untuk itu,
sebagai sebuah profesi, maka setiap pejabat kepolisian wajib memiliki profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Kode Etik Profesi Kepolisian untuk pertama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat
Keputusan Kapolri No. Skep/213/VII/1985, kemudian diubah dengan Keputusan Kapolri
No. Pol: Kep/05/III/2001, yang berisi petunjuk administrasi bagi Komisi Kode Etik Profesi
Polri; selanjutnya diganti dengan Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian, dan Peraturan Kapolri No. Pol: 8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia; kemudian diganti dengan
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
150
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan terakhir di atur dalam
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik
Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dikenakan sanksi moral yang diberikan
dalam bentuk sidang Komisi Kode Etik Profesi secara tertulis kepada terduga pelanggar.
Sanksi moral tersebut dapat berupa pernyataan putusan yang menyatakan tidak terbukti
atau pernyataan putusan yang menyatakan terduga pelanggar terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian.16
Upaya menegakkan disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian sangat dibutuhkan guna
terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri.
Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak
hukumnya sendiri (Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan
ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau
pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat dan internal kepolisian (pelanggaran
Kode Etik Profesi Kepolisian).
Penegakan Sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, berpedoman
pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode
Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penegakan sanksi
Kode Etik Profesi Polri dilakukan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri untuk melaksanakan
penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat Polri; sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022, ayat (1) Pejabat Polri wajib memedomani Kode Etik
Profesi Polri (KEPP) dengan menaati setiap kewajiban dan larangan dalam: a. Etika
Kenegaraan; b. Etika Kelembagaan; c. Etika Kemasyarakatan; dan d. Etika Kepribadian; ayat
(2) Pelanggaran terhadap KEPP, diselesaikan dengan cara: a. Pemeriksaan pendahuluan; dan
b. Sidang, terdiri atas: 1. Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP); 2. Sidang Komisi Kode Etik
Profesi Banding; dan/atau 3. Sidang Komisi Kode Etik Profesi Peninjauan Kembali (PK).
16 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri) (Surabaya: Laksbang Mediatama,
2007), 205.
151
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian diselesaikan dengan cara: a. pemeriksaan
pendahuluan; dan b. sidang terdiri atas: 1. Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP); 2.
Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP) Banding; dan/atau c. Sidang Komisi Kode Etik
Kepolisian (KKEP) Peninjauan Kembali.
17 Perkap Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pasal 3 ayat (3).
152
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
153
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
diperiksa pada saat sidang KKEP Banding. Peninjauan kembali dapat dilakukan paling
lama 3 (tiga) tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding.
Peninjauan kembali oleh Kapolri dapat dibentuk tim untuk melakukan penelitian
terhadap putusan KKEP atau KKEP Banding. Pembentukan tim ditetapkan dengan surat
perintah Kapolri yang melibatkan: a. Inspektorat Pengawasan Umum Polri; b. Staf
Sumber Daya Manusia Polri; c. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri; dan d. Divisi Hukum
Polri. Tim melaksanakan penelitian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak surat perintah diterbitkan. Tim melaporkan hasil penelitian dengan
memberikan saran dan pertimbangan kepada Kapolri. Kapolri dapat membentuk KKEP
PK setelah adanya saran dan pertimbangan dari tim.
Putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa perbuatan pelanggaran dinyatakan
sebagai perbuatan tercela, dilaksanakan dengan cara dibacakan oleh KKEP pada saat sidang
KKEP. Putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa kewajiban untuk minta maaf,
dilaksanakan dengan cara pelanggar menyatakan permintaan maaf secara lisan dan tertulis
pada sidang KKEP kepada: a. pimpinan Polri melalui KKEP; dan b. pihak yang dirugikan;
sedangkan putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa kewajiban pelanggar untuk
mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi, dilaksanakan dengan cara
pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi yang
diselenggarakan oleh fungsi Rehabilitasi Personil pada Profesi dan Pengamanan. Sanksi etika
dikenakan terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan kategori ringan.
Putusan sidang KKEP dengan sanksi administrasi dilaksanakan oleh pelanggar setelah
diterbitkan keputusan sesuai jenis sanksi yang diputuskan dalam sidang KKEP. Keputusan
yang dimaksud, diterbitkan oleh fungsi Sumber daya manusia sesuai dengan
kewenangannya paling lama: a. 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya salinan
putusan KKEP yang bersifat final dan mengikat dari Sekretariat KKEP, untuk sanksi
administratif: 1. Mutasi bersifat demosi paling singkat 1 (satu) tahun; 2. Penundaan kenaikan
pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun ; dan 3. Penundaan
pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun; 4. Penempatan pada
tempat khusus paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan b. 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya salinan putusan KKEP yang bersifat final dan mengikat dari Sekretariat KKEP,
untuk sanksi administrasi berupa PTDH. Terhadap terduga pelanggar yang diancam dengan
sanksi PTDH diberi kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas
154
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Penjatuhan sanksi etika dan/atau sanksi administrasi bersifat kumulatif dan/atau alternatif
sesuai dengan penilaian dan pertimbangan sidang KKEP. Penjatuhan sanksi KEPP tidak
menghapus tuntutan pidana dan/atau perdata.
KESIMPULAN
Briptu Bagas Ray Perdana melakukan pelanggaran larangan penyalahgunaan wewenang
pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota Polri Bintara Gelombang II Tahu Anggaran
2022, di Polda Sultra. Pelanggaran ini termasuk bentuk "Penyalahgunaan
Mencampuradukkan Wewenang", dengan unsur melakukan tindakan di luar cakupan bidang
atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang
yang diberikan. Konsekuensi hukumnya adalah tindakan tersebut dapat dibatalkan apabila
telah diuji melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Penegakan sanksi Kode Etik Profesi Polri dilakukan melalui
sidang Komisi Kode Etik Polri untuk melaksanakan penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Polri.
Pelanggaran terhadap KEPP diselesaikan melalui pemeriksaan pendahuluan dan sidang,
yang terdiri atas Sidang Komisi Kode Etik Profesi, Sidang Komisi Kode Etik Profesi Banding,
dan/atau Sidang Komisi Kode Etik Profesi Peninjauan Kembali. Pejabat Polri wajib
memedomani Kode Etik Profesi Polri dengan menaati setiap kewajiban dan larangan dalam
Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan, dan Etika Kepribadian.
DAFTAR PUSTAKA
Alti Putra, Moh Alfatah. “Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah yang
Tidak Dapat Dipidana.” Justisi Vol. 7, No. 2 (Juli 15, 2021). https://ejournal.um-
sorong.ac.id/index.php/js/article/view/1362.
Aryanto Sutadi, G. Ambar Wulan, Heru S, dan Sagara Budi H. Diskresi Kepolisian: Dalam
Tinjauan Hukum dan Implementasinya di Lapangan. Jakarta: KOMPOLNAS (Komisi
Kepolisian Nasional), 2013.
Bauw, Azier. “Penegakan Kode Etik Kepolisian Terhadaap Pelanggaran yang Dilakukan
Anggota Polisi (Studi Kasusu di Kepolisian Daerah Jayapura).” Jurnal Legal
Pluralisme Vol. 5, No. 1 (2015).
Hadjon, Philipus.M., Paulus Effendie Loutulung, H.M. Laica Marzuki, Tatiek Sri Djamiati,
dan I Gusti Ngurah Wairocana. Hukum Administrasi dan Good Governance. Jakarta:
Universitas Trisakti, 2012.
Malian, Sobirin. “Penyalahgunaan Wewenang Jabatan oleh Pejabat Negara/Pemerintah:
Perspektif Hukum Administrasi dan Hukum Pidana.” Jurnal Hukum Respublica Vol.
20, No. 1 (November 30, 2020). https://journal.unilak.ac.id/index.php/
155
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023
Respublica/article/view/5363.
Nitibaskara, Ronny R. Polisi dan Korupsi. Jakarta: Pustaka Kartini, 2006.
Rahardi, Pudi. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya:
Laksbang Mediatama, 2007.
Rianto, Bibit Samad. Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan
Dicintai Rakyat. Jakarta: Restu Agung, 2006. http://library.stik-ptik.ac.id.
Sadjijono. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta: Laksbang
Presindo, 2005.
Sensu, La, Guasman Tatawu, Muhammad Jugri Dewa, Oheo Kaimuddin Haris, Muhammad
Sabaruddin Sinapoy, dan Ramli Syarifuddin. “Kewenangan Kepala Desa Dalam
Meningkatkan Pelayanan Pemerintah Desa Batubanawa Kec. Mawasangka Timur
Kab. Buton Tengah Kepada Masyarakat.” Halu Oleo Legal … Vol. 4, No. 2 (2022).
https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/article/download/53/23.
Susi, Moeimam, dan Steinhauer Hein. Kamus Belanda-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
156