You are on page 1of 14

Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Volume 5 Issue 1, April 2023: pp. 143-156.


Copyright © 2023 Halu Oleo Legal Research. Faculty of Law, Halu Oleo University, Kendari,
Southeast Sulawesi, Indonesia.
Open Access at: https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/

Halu Oleo Legal Research is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License, which permits unrestricted use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited.

Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Kepolisian dalam


Penerimaan Anggota Polri

Abuse of the Authority of Police Officers in Recruiting Police Members

Muhammad Jufri Dewa1, La Sensu2, Oheo Kaimuddin Haris3, Guasman Tatawu4,


Muhammad Sabaruddin Sinapoy5, F. Guntur Sunoto6

1. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: muh.jufridewa@yahoo.com.


2. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: lasensu18@gmail.com.
3. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: oheokh@gmail.com.
4. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: gtatawu@gmail.com.
5. Universitas Halu Oleo, Indonesia, E-mail: sabaruddinsinapoy@yahoo.com.
6. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Indonesia, E-mail: febrianto_guntur@yahoo.com.

Abstract: This study discusses the abuse of authority by police officials in recruiting members of the National Police
in the 2022 fiscal year. The purpose of this study is to analyze the forms of abuse of authority committed by police
officials in recruiting members of the Police and to analyze the enforcement of sanctions by the Police Professional
Code of Ethics against police officers who commit abuse that authority. The research method used is normative legal
research with statutory, case and conceptual approaches. The results of the study show that the form of abuse of
authority committed by the violator First Brigadier Bagas Ray Perdana (BRP) from the point of view of state
administrative law and/or formal juridical terms is included in the category of "Abuse of Mixing Up of Authority"
with elements of taking action outside the scope of the field or subject matter of authority granted and/or contrary
to the purpose of the authority granted. Enforcement of the Police Professional Code of Ethics sanctions against
police officials who commit violations is carried out through a trial of the National Police Code of Ethics Commission
with reference to the Police Professional Code of Ethics which includes state, institutional, social, and personality
ethics.
Keyword: Abuse of Power; Police Officials; Acceptance of Police Members
Abstrak: Penelitian ini membahas penyalahgunaan wewenang pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota
Polri pada tahun anggaran 2022. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota Polri serta untuk menganalisis
penegakan sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian terhadap pejabat kepolisian yang melakukan penyalahgunaan
wewenang tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan
perundang-undangan, kasus, dan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pelanggar Briptu Bagas Ray Perdana (BRP) dari segi hukum administrasi negara
dan/atau secara yuridis formal adalah termasuk dalam kategori "Penyalahgunaan Mencampuradukkan
Wewenang" dengan unsur melakukan tindakan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan
dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Penegakan sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian
terhadap pejabat kepolisian yang melakukan pelanggaran dilakukan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri dengan
mengacu pada Kode Etik Profesi Kepolisian yang mencakup etika kenegaraan, kelembagaan, kemasyarakatan, dan
kepribadian.
Kata kunci: Penyalahgunaan Wewenang; Pejabat Kepolisian; Penerimaan Anggota Polri

143
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

PENDAHULUAN
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga pemerintahan yang
mempunyai tugas pokok di bidang penegakan hukum, memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, memberikan pelayanan, perlindungan serta pengayoman
masyarakat1 Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut dilakukan oleh segenap anggota
Polri yang bertugas mulai dari Pejabat Polri di Pusat sampai Pejabat Polri di Daerah, dan
bahkan anggota yang bertugas di lapangan; sesuai dengan asas Negara Hukum di Republik
Indonesia, maka pelaksanaan tugas harus mendasari kepada hukum yang berlaku (hukum
positif).

Undang-Undang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas kepolisian antara lain; UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; UU Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia, dan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, disebutkan bahwa, “Untuk kepentingan umum
Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”.2 Bertindak menurut
penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta
risiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tersebut, disebutkan
“Dalam melaksanakan tugas anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib, antara
lain: “a. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya
kepada masyarakat; ... d. melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan
rasa tanggung jawab; ...”.3 Dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2022 tersebut, disebutkan “Pejabat Kepolisian wajib memedomani KEPP (Kode Etik

1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Pasal 13.
2 Ibid., Pasal 18 ayat (1).
3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 4 “Dalam melaksanakan tugas, anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia wajib: a. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dengan sebaik-
baiknya; b. memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya laporan dan/atau pengaduan
masyarakat; c. menaati sumpah atau janji anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia serta sumpah
atau janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. melaksanakan tugas
sebaik-baiknya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab; e. memelihara dan meningkatkan
keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Kepolisian Negara Republik Indonesia; f. menaati
segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku; g. bertindak dan
bersikap tegas serta berlaku adil dan bijaksana terhadap bawahannya; h. membimbing bawahannya
dalam melaksanakan tugas; i. memberikan contoh dan teladan yang baik terhadap bawahannya; j.
mendorong semangat bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerja; k. memberikan kesempatan
kepada bawahannya untuk mengembangkan karier; l. menaati perintah kedinasan yang sah dari atasan
yang berwenang; m. menaati ketentuan jam kerja; n. menggunakan dan memelihara barang milik dinas
dengan sebaik-baiknya; dan o. menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik.

144
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia) dengan menaati setiap kewajiban dan
larangan dalam: a. Etika Kenegaraan; b. Etika Kelembagaan; c. Etika Kemasyarakatan, dan d.
Etika Kepribadian. Pelanggaran terhadap KEPP diselesaikan dengan: a. Pemeriksaan
pendahuluan; dan b. Sidang terdiri atas; 1. Sidang KKEP, 2. Sidang KKEP Banding; dan/atau
3. Sidang KKEP PK.4

Selain peraturan perundang-undangan tersebut yang menjadi dasar kepolisian


melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya; juga didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4, bahwa
“karena kewajibannya anggota Polri mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggungjawab”. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
KUHAP, “tindakan lain”, adalah tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyelidikan
dengan syarat tidak bertentangan dengan peraturan hukum serta adanya pertimbangan
yang layak berdasarkan keadaan memaksa”5

Dalam pelaksanaan tugas pokok dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai aparat penegak hukum sesuai dengan prinsip “diferensiasi fungsional (pembagian
kerja yang muncul karena orang melakukan pekerjaan yang berlainan)” yang digariskan
dalam KUHAP. Tugas dan wewenang Kepolisian yang diperoleh secara atributif, yakni
wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945; wewenang
kepolisian yang dirumuskan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002; dan wewenang kepolisian
yang dirumuskan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP.

Kepolisian dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang begitu besar sangat rentang
untuk disalahgunakan yang lazim disebut dengan istilah “penyalahgunaan wewenang”.
Pengertian penyalahgunaan wewenang dalam peraturan perundang-undangan Kepolisian
Negara Republik Indonesia (UU Nomor 2 Tahun 2002; PP Nomor 2 Tahun 2003; dan Perkap
Nomor 7 Tahun 2022) tidak ditemukan, dan di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, juga tidak ditemukan definisi penyalahgunaan wewenang;
hanya mengatur “wewenang”, yaitu hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan (Kepolisian) atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan
dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan; sedangkan kewenangan adalah
kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Kepolisian) atau penyelenggara negara
lainnya untuk bertindak dalam rana hukum publik.6

Penyalahgunaan wewenang merupakan konsep hukum administrasi negara, yaitu


penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat (kepolisian)
menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah

4 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 3
5 Aryanto Sutadi et al., Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum dan Implementasinya di Lapangan
(Jakarta: KOMPOLNAS (Komisi Kepolisian Nasional), 2013), 1–2.
6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 1 angka 5 dan 6; dan
dalam kurung frasa “Kepolisian” adalah penegasan penulis.

145
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

diberikan kepada wewenang itu.7 Atau dengan kata lain pengertian “Penyalahgunaan
wewenang” dalam hukum administrasi negara dapat diartikan sebagai penyalahgunaan
wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan
umum atau untuk menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan dan penyalahgunaan
dalam arti bahwa tindakan tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya.8

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang9 kepolisian secara faktual masih terjadi
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan olek oknum polisi, seperti pada kasus Putusan
Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri Nomor PUT KKEP/14/IX/2022/KKEP oleh Briptu
Bagas Ray Perdana, telah melaksanakan persidangan Komisi Etik Profesi Polri, dan dibantu
oleh Sekretaris selaku pencatat dan perekam fakta-fakta di persidangan, terhadap terduga
pelanggar, sehingga dalam putusan tersebut memutuskan dan menetapkan terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research). Penelitian
hukum normatif ialah penelitian yang menggambarkan secara sistematis aturan yang
mengatur suatu klasifikasi hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan dan
menjelaskan permasalahan, serta memprediksi suatu konsepsi untuk di masa akan datang.
Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum, dan doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal
tersebut sesuai dengan karakter preskriptif dari ilmu hukum.

BENTUK PENYALAHGUNAAN WEWENANG PEJABAT KEPOLISIAN DALAM


PENERIMAAN ANGGOTA POLRI
Analisis Kasus Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Kepolisian Dalam Penerimaan
Anggota Polri Tahun Anggaran 2022
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjalankan salah satu
fungsi pemerintahan terutama di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat melalui pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan pada
masyarakat, serta penegakan hukum. Kepolisian merupakan institusi penting dalam

7 Philipus.M. Hadjon et al., Hukum Administrasi dan Good Governance (Jakarta: Universitas Trisakti, 2012),
25--26.
8 Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance (Yogyakarta: Laksbang Presindo,
2005), 8.
9 L Sensu et al., “Kewenangan Kepala Desa Dalam Meningkatkan Pelayanan Pemerintah Desa Batubanawa
Kec. Mawasangka Timur Kab. Buton Tengah Kepada Masyarakat,” Halu Oleo Legal … Vol. 4, No. 2 (2022),
hal. 288–307, https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/article/view/53%0Ahttps://journal.uho.
ac.id/index.php/holresch/article/download/53/23.

146
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

mendukung terciptanya penegakan hukum yang adil, yang berdiri di garda utama dalam
penegakan hukum. Lembaga kepolisian dalam menjalankan tugas pokok berpegang teguh
pada peraturan perundang-undangan di bidang Kepolisian (UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; PP Nomor 1 Tahun 2003 Tentang
Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan PP Nomor 2 Tahun
2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia), dan
memiliki Kode Etik Profesi (Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia), dalam melaksanakan wewenangnya demi tercapainya tugas dan fungsi
pemerintahan dari Kepolisian.

Etika Profesi itu ada untuk menciptakan Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang
kredibilitas, serta beretika. Dalam hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU
Nomor 2 Tahun 2002, “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pengemban profesi
kepolisian selain memiliki keahlian dalam bidangnya, harus pula bersikap dan berperilaku
sesuai Kode Etik Profesi yang mengikat sebagai anggota Polri, oleh karena itu setiap
profesional kepolisian harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga
masyarakat yang memerlukan pelayanan di bidang administrasi, hukum, keamanan dan
ketertiban masyarakat secara beretika. Norma dan standar tersebut dalam pelaksanaan
tugas kepolisian di lapangan kadang tidak diindahkan dan kecenderungan oknum anggota
Polri tertentu yang mengabaikan norma dan standar tersebut, sehingga terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan profesinya. Seperti
kasus yang terjadi di Kepolisian Daerah (POLDA) Sulawesi Tenggara pada penerimaan calon
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Penerimaan Calon Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pengumuman Kepolisian Negara Republik
Indonesia Markas Besar; Nomor: Png/20/III/DIK.2.1/2022 Tentang Penerimaan Terpadu
Bintara Polri Gelombang II Tahun Anggaran 2022, Tanggal 29 Maret 2022; dengan
pertimbangan secara filosofis; bahwa “dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang profesional, bermoral dan modern sebagai pemelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung, pengayom dan pelayan
masyarakat, diperlukan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
unggul dan berkualitas; maka diperlukan sistem penerimaan calon anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang dilaksanakan secara bersih, transparan, akuntabel, dan
humanis”.

Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Kepolisian Dalam Penerimaan Anggota


Polri Tahun Anggaran 2022
Setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara
selalu disertai tujuan dan maksud diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan
wewenang itu harus sesuai dengan tujuan dan maksud diberikannya wewenang tersebut.

147
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Dalam hal penggunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian
wewenang, maka hal itulah yang merupakan penyalahgunaan wewenang.

Dalam penggunaan wewenang pejabat, dimungkinkan terjadinya kesalahan dalam


penggunaan wewenang (misuse of authority). Kesalahan penggunaan wewenang ini terjadi
karena ketidakcermatan pejabat dalam membuat dan/atau melalukan keputusan dan/atau
tindakan. Meskipun merupakan kesalahan administrasi, kesalahan penggunaan wewenang
(misuse of authority) pada praktiknya dimasa artikan dengan penyalahgunaan wewenang
(abuse of power). Dimana ketika pejabat pemerintahan (Kepolisian) dianggap melakukan
penyalahgunaan wewenang (abuse of power), konsekuensinya tidak hanya sanksi
administrasi saja, tetapi dimungkinkan mendapat sanksi pidana.10

Dalam doktrin hukum administrasi negara dikenal dengan istilah “penyalahgunaan


wewenang” dan “menyalahgunakan wewenang”. Secara etimologi istilah “penyalahgunaan
wewenang” dan “menyalahgunakan wewenang” berasal dari dua suku kata “salah-guna”.
Penyalahgunaan yang bentuknya noun berarti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan
(penyelewengan); sedangkan menyalahgunakan yang berbentuk verb dimaknai melakukan
sesuatu tidak sebagaimana mestinya (menyelewengkan). Istilah
penyalahgunaan/menyalahgunakan dalam istilah Belanda dikenal dengan misbruik yang
memiliki kemiripan dengan istilah missbrauch dalam bahasa Jerman atau misuse dan abuse
dalam istilah bahasa Inggris yang maknanya selalu diasosiasikan dengan hal yang bersifat
negatif yaitu penyelewengan.11

Jadi antara istilah “penyalahgunaan” dan “menyalahgunakan” tidak ada perbedaan;


“penyalahgunaan” menunjuk pada proses, cara, dan perbuatan; sedangkan
“menyalahgunakan” menunjuk pada tindakan atau pelaksanaannya. Demikian pula istilah
“wewenang” dan “kewenangan” berasal dari kata “wenang” keduanya berbentuk noun.
Wewenang dimaknai hak dan kekuasaan untuk bertindak (kewenangan); sedangkan
kewenangan berarti: 1. Hal berwenang; 2. Hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk
melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan “authority” dan tidak ada
perbedaan antara keduanya, sama halnya dengan istilah dalam bahasa Belanda, yang tidak
membedakan keduanya. Istilah yang sering digunakan adalah bevoegdheid, meskipun ada
istilah lain yang terjemahannya adalah kewenangan atau kompetensi yaitu bekwaamheid.12

10 Moh Alfatah Alti Putra, “Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah yang Tidak Dapat
Dipidana,” Justisi Vol. 7, No. 2 (Juli 15, 2021): 119, https://ejournal.um-
sorong.ac.id/index.php/js/article/view/1362.
11 Sobirin Malian, “Penyalahgunaan Wewenang Jabatan oleh Pejabat Negara/Pemerintah: Perspektif
Hukum Administrasi dan Hukum Pidana,” Jurnal Hukum Respublica Vol. 20, No. 1 (November 30, 2020):
106, https://journal.unilak.ac.id/index.php/Respublica/article/view/5363.
12 Moeimam Susi dan Steinhauer Hein, Kamus Belanda-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2005), 100.

148
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

PENEGAKAN SANKSI KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN TERHADAP PEJABAT


KEPOLISIAN YANG MELAKUKAN PELANGGARAN
Penegakan Sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian Terhadap Pejabat Polri Yang
Melakukan Pelanggaran
Profesi Polri adalah profesi yang mulia sebagaimana profesi-profesi terhormat lainnya yang
memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, dan jasanya sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.13 Sebagai suatu profesi maka diperlukan upaya pemolisian
profesi, karena polisi memolisikan profesi, karena polisi merupakan suatu pekerjaan yang
memiliki status sosial yang tinggi dan bergengsi. Selain itu juga merupakan suatu
pengkhususan (spesialisasi) yang memrasyaratkan pendidikan formal yang dapat
dipertanggung jawabkan. Profesi Polri memiliki standar persyaratan yang ketat untuk
masuk dan merupakan suatu organisasi yang mengembangkan sendiri suatu pengetahuan
teoritis. Kepolisian juga merupakan suatu badan yang mempunyai dan melaksanakan kode
etik dan memiliki otonomi politik untuk mengontrol nasib sendiri.14

Masyarakat selalu membutuhkan Polisi yang ramah dan lemah lembut dalam pelayanan
serta tegas dalam penegakan hukum. Sebaliknya jika polisi tidak bertindak cepat untuk
menolong korban dan mengabaikan perlindungan hukum maka masyarakat akan menjauhi
polisi bahkan cenderung membenci polisi. Kecenderungan sebagian oknum polisi yang
melakukan penyimpangan sesungguhnya bukan monopoli kepolisian di Indonesia,
mengingat penyimpangan yang dilakukan polisi di negara-negara maju pun masih dijumpai.
Di Inggris dimana keramahtamahan polisinya telah menjadi legenda, tetap saja banyak polisi
yang masih mempergunakan asas “the end justified the means” (tujuan menghalalkan segala
cara). Demikian pula di Kanada, pemerintah Kanada sampai dua kali membentuk komisi
untuk memeriksa Royal Canadian Mounted Police (RCMP), yaitu pertama, Komisi Mac
Donald (1981) dan kedua Komisi Keable (1987). Kesaksian-kesaksian yang diberikan di
hadapan kedua komisi tersebut semakin memperkuat bukti-bukti bahwa Kepolisian Kanada
(RCMP) telah melakukan “a wide range and illegal activities” (serangkaian kejahatan dan
perbuatan melanggar hukum secara luas.15

Hukum memberikan kekuasaan yang luas kepada Polisi untuk bertindak sehingga polisi
memiliki wewenang untuk mengekang masyarakat apabila ada dugaan kuat telah terjadi
tindak pidana. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 18 bahwa Polisi diberi wewenang
dalam keadaan tertentu untuk melakukan tindakan menurut penilaiannya sendiri atau biasa
dikenal sebagai kekuasaan diskresi fungsional yang menempatkan pribadi-pribadi polisi
sebagai faktor sentral dalam penegakan hukum; secara lebih rinci pasal tersebut, disebutkan:

13 Ronny R. Nitibaskara, Polisi dan Korupsi (Jakarta: Pustaka Kartini, 2006), 359.
14 Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan Dicintai Rakyat
(Jakarta: Restu Agung, 2006), 174, http://library.stik-ptik.ac.id.
15 Azier Bauw, “Penegakan Kode Etik Kepolisian Terhadaap Pelanggaran yang Dilakukan Anggota Polisi
(Studi Kasusu di Kepolisian Daerah Jayapura),” Jurnal Legal Pluralisme Vol. 5, No. 1 (2015): 2.

149
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam


melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri;
dan
2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin 1, hanya dapat dilaksanakan
dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan, serta Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan tersebut, sangat jelas bahwa peran polisi dalam mewujudkan hukum
agar menjadi hidup sangat nyata dengan adanya kekuasaan kewenangan-fungsional. Untuk
itu, setiap anggota Polri, integritas moral sangat dibutuhkan agar tidak ternoda akibat
terpengaruh oleh godaan untuk kepentingan pribadi. Penyimpangan yang dilakukan oleh
oknum polisi dengan menggunakan selimut hukum berdasarkan kekuasaan kewenangan-
fungsional membutuhkan adanya pengawasan, pengamanan dan penindakan atas profesi
agar tidak terjadi penyimpangan, dan penyimpangan harus ditindak secara tegas.

Pembinaan Profesi Polri diselenggarakan melalui peningkatan pengetahuan dan


keterampilan serta pengalaman di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan
dan penugasan secara berlanjut. Berkaitan dengan pembinaan profesi Polri, secara tegas
diatur dalam Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2002, dijelaskan: 1. Sikap dan perilaku pejabat
Polri terikat pada Kode Etik Profesi Polri; 2. Kode Etik Profesi Polri dapat menjadi pedoman
bagi pengemban fungsi kepolisian lainnya dalam melaksanakan tugas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungannya; dan 3. Ketentuan mengenai
Kode Etik Profesi lebih lanjut diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Apabila terjadi pelanggaran atas kode etik profesi kepolisian maka dilakukan pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Kapolri berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU
Nomor 2 Tahun 2002, “Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode
Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Ketentuan Pasal 35 tersebut, menegaskan
bahwa Polisi merupakan sebuah profesi yang diikat atau tunduk pada Kode Etik Profesi yang
ditertibkan oleh Institusi Kepolisian sendiri. Pelanggaran terhadap Kode Etik tersebut
membawa konsekuensi akan diadili oleh sebuah Komisi Kode Etik Profesi Polri. Untuk itu,
sebagai sebuah profesi, maka setiap pejabat kepolisian wajib memiliki profesionalisme
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Kode Etik Profesi Kepolisian untuk pertama kali ditetapkan oleh Kapolri dengan Surat
Keputusan Kapolri No. Skep/213/VII/1985, kemudian diubah dengan Keputusan Kapolri
No. Pol: Kep/05/III/2001, yang berisi petunjuk administrasi bagi Komisi Kode Etik Profesi
Polri; selanjutnya diganti dengan Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian, dan Peraturan Kapolri No. Pol: 8 Tahun 2006 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia; kemudian diganti dengan
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja

150
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan terakhir di atur dalam
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik
Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri dikenakan sanksi moral yang diberikan
dalam bentuk sidang Komisi Kode Etik Profesi secara tertulis kepada terduga pelanggar.
Sanksi moral tersebut dapat berupa pernyataan putusan yang menyatakan tidak terbukti
atau pernyataan putusan yang menyatakan terduga pelanggar terbukti melakukan
pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian.16

Upaya menegakkan disiplin dan Kode Etik Profesi Kepolisian sangat dibutuhkan guna
terwujudnya pelaksanaan tugas yang dibebankan dan tercapainya profesionalisme Polri.
Sangat tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan dengan baik, apabila penegak
hukumnya sendiri (Polri) tidak disiplin dan tidak profesional. Ketidakdisiplinan dan
ketidakprofesionalan Polri akan sangat berdampak dalam hal penegakan hukum atau
pengungkapan kejahatan yang terjadi di masyarakat dan internal kepolisian (pelanggaran
Kode Etik Profesi Kepolisian).
Penegakan Sanksi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, berpedoman
pada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode
Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penegakan sanksi
Kode Etik Profesi Polri dilakukan melalui sidang Komisi Kode Etik Polri untuk melaksanakan
penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pejabat Polri; sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022, ayat (1) Pejabat Polri wajib memedomani Kode Etik
Profesi Polri (KEPP) dengan menaati setiap kewajiban dan larangan dalam: a. Etika
Kenegaraan; b. Etika Kelembagaan; c. Etika Kemasyarakatan; dan d. Etika Kepribadian; ayat
(2) Pelanggaran terhadap KEPP, diselesaikan dengan cara: a. Pemeriksaan pendahuluan; dan
b. Sidang, terdiri atas: 1. Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP); 2. Sidang Komisi Kode Etik
Profesi Banding; dan/atau 3. Sidang Komisi Kode Etik Profesi Peninjauan Kembali (PK).

Prosedur Penjatuhan Sanksi Atas Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian


Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 35 ayat (1)
“Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia oleh pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia diselesaikan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia”. Mengingat dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia berkaitan erat dengan hak serta kewajiban warga negara dan masyarakat secara
langsung serta diikat oleh Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka
dalam hal seorang anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melaksanakan tugas
dan wewenangnya dianggap melanggar Etika Profesi, maka anggota tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia.

16 Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri) (Surabaya: Laksbang Mediatama,
2007), 205.

151
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian diselesaikan dengan cara: a. pemeriksaan
pendahuluan; dan b. sidang terdiri atas: 1. Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP); 2.
Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP) Banding; dan/atau c. Sidang Komisi Kode Etik
Kepolisian (KKEP) Peninjauan Kembali.

Pemeriksaan pendahuluan dilaksanakan melalui tahapan: a. Audit Investigasi; b.


Pemeriksaan; dan c. Pemberkasan. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh Akreditor.
Akreditor adalah pejabat Polri pengemban fungsi profesi dan pengamanan Polri di bidang
pertanggungjawaban profesi yang ditunjuk sebagai pemeriksa untuk melaksanakan
pemeriksaan pendahuluan dugaan pelanggaran KKEP. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada huruf b (pemeriksaan), dapat dilakukan tanpa melalui tahapan Audit Investasi, apabila
adanya paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang cukup berdasarkan hasil gelar perkara.17

a. Audit Investigasi. Audit investigasi dilaksanakan berdasarkan: a. laporan atau


pengaduan masyarakat atau anggota Polri; b. surat atau nota dinas atau disposisi dari
pejabat struktural di lingkungan Polri terhadap komplain, informasi, dan temuan dari
fungsi Pengawasan; dan c. rekomendasi dari pengemban fungsi Paminal yang masih
membutuhkan pendalaman. Audit investigasi dilaksanakan dengan cara: a. wawancara
terhadap terduga pelanggar dan saksi; b. mencari, mengumpulkan dan mencatat bukti-
bukti yang memiliki hubungan dengan pelanggaran KEPP; c. memeriksa, meneliti dan
menganalisis dokumen yang memiliki hubungan dengan dugaan pelanggaran KEPP; dan
d. mendatangi tempat yang berhubungan dengan pelanggaran KEPP, Audit investigasi
dapat dilaksanakan bersama pengemban fungsi terkait di lingkungan Polri. Hasil audit
investigasi dilaksanakan gelar perkara yang melibatkan fungsi Inspektorat pengawasan,
fungsi Sumber daya manusia, fungsi Hukum, dan fungsi Profesi dan pengamanan.
b. Pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan melalui tahap: a. pemanggilan dan perintah
membawa saksi dan terduga pelanggar; b. permohonan kesediaan ahli; c. pengambilan
keterangan saksi, ahli dan terduga pelanggar; dan d. penanganan barang bukti.
Pemanggilan saksi dan terduga pelanggar, dilakukan dalam bentuk surat yang
ditandatangani oleh pejabat Atasan Akreditor, dengan ketentuan: a. tingkat Markas
Besar Polri; b. tingkat Kepolisian Daerah, oleh: 1. Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan
Kepolisian Daerah, untuk surat kepada Ajun Komisaris Besar Polisi dan Komisaris Polisi;
dan b. Kepala Sub Bidang Pertanggungjawaban Profesi, untuk surat kepada Ajun
Komisaris Polisi ke bawah; dan c. tingkat Kepolisian Resor. Dalam hal saksi bukan
pegawai negeri pada Polri, surat panggilan ditandatangani oleh: a. Kepala Divisi Profesi
dan Pengamanan pada tingkat Markas Besar Polri dan dapat didelegasikan kepada
Kepala Biro Pertanggungjawaban Profesi; b. Kepala Kepolisian Daerah pada tingkat
Kepolisian daerah dan dapat didelegasikan kepada Kepala Bidang Profesi dan
Pengamanan Kepolisian Daerah; dan c. Kepala Kepolisian Resor pada tingkat Kepolisian
Resor dan dapat didelegasikan kepada Kepala Seksi Profesi dan Pengamanan.

17 Perkap Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pasal 3 ayat (3).

152
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

c. Pemberkasan. Pemberkasan merupakan kegiatan penyusunan administrasi


pemeriksaan, berita acara pemeriksaan, resume dan rekomendasi terkait hasil
pemeriksaan dalam suatu berkas. Hasil pemeriksaan, dibuat dalam bentuk: a. laporan
hasil pemeriksaan pelanggaran KEPP, untuk dugaan pelanggaran kategori ringan; atau
b. berkas pemeriksaan pendahuluan pelanggaran KEPP, untuk dugaan pelanggaran
kategori sedang dan berat. Hasil pemeriksaan pelanggaran KEPP, diserahkan kepada
Sekretariat KKEP (lebih jelasnya telaah ketentuan Pasal 20 sampai Pasal 37 Perkap
Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara
Republik Indonesia).
d. Sidang Komisi Kode Etik Kepolisian (KKEP). Sidang KKEP dilaksanakan setelah selesai
Pemeriksaan Pendahuluan. Sidang KKEP dilaksanakan untuk memeriksa dan memutus
perkara pelanggaran: a. KEPP sebagaimana dimaksud dalam peraturan kepolisian ini; b.
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2003 Tentang
Pemberhentian Anggota Polri; dan c. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri.
Sidang KKEP terdiri atas: a. sidang dengan cara pemeriksaan cepat, dilakukan untuk
pelanggaran KEPP kategori ringan; atau b. sidang dengan cara pemeriksaan biasa,
dilakukan untuk pelanggaran kategori sedang dan kategori berat (lebih jelasnya telaah
ketentuan Pasal 55 sampai Pasal 62 Perkap Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik
Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia).
e. Sidang Komisi Kode Etika Kepolisian Banding. Dalam ketentuan Pasal 78 Perkap Nomor
7 Tahun 2022, ayat (1) KKEP Banding wajib melaksanakan sidang dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga) hari kerja sejak menerima keputusan pembentukan KKEP Banding;
ayat (2) sidang dilaksanakan dengan memeriksa berkas Banding dan memori Banding
tanpa melakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli dan pemohon Banding; ayat (3)
Sidang Banding dilakukan tanpa menghadirkan saksi, ahli dan pemohon Banding.
Putusan KKEP Banding, berupa: a. menolak permohonan Banding; atau b. menerima
permohonan Banding. Menolak permohonan Banding, berupa; a. menguatkan putusan
sidang KKEP; atau b. memberatkan sanksi putusan sidang KKEP; sedangkan menerima
permohonan banding, berupa: a. pengurangan sanksi putusan sidang KKEP; atau b.
pembebasan dari penjatuhan sanksi KEPP. KKEP Banding menetapkan keputusan dalam
jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak dimulainya sidang.
Putusan sidang KKEP Banding diregistrasi oleh sekretariat KKEP. Penyampaian putusan
sidang KKEP Banding dilaksanakan oleh sekretariat KKEP dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja setelah diputuskan. Setelah batas waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja pejabat pembentuk KKEP Banding tidak memberikan persetujuan
dianggap telah menyetujui putusan KKEP Banding. Setelah KKEP Banding selesai
melaksanakan tugasnya, KKEP Banding melaporkan kepada Pejabat Pembentuk KKEP.
f. Komisi Kode Etik Kepolisian Peninjauan Kembali. Kapolri berwenang melakukan
peninjauan kembali atas putusan KKEP atau putusan KKEP Banding yang telah final dan
mengikat. Peninjauan kembali, dilakukan apabila: a. dalam putusan KKEP atau KKEP
Banding terdapat suatu kekeliruan; dan/atau b. ditemukan alat bukti yang belum

153
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

diperiksa pada saat sidang KKEP Banding. Peninjauan kembali dapat dilakukan paling
lama 3 (tiga) tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding.
Peninjauan kembali oleh Kapolri dapat dibentuk tim untuk melakukan penelitian
terhadap putusan KKEP atau KKEP Banding. Pembentukan tim ditetapkan dengan surat
perintah Kapolri yang melibatkan: a. Inspektorat Pengawasan Umum Polri; b. Staf
Sumber Daya Manusia Polri; c. Divisi Profesi dan Pengamanan Polri; dan d. Divisi Hukum
Polri. Tim melaksanakan penelitian dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak surat perintah diterbitkan. Tim melaporkan hasil penelitian dengan
memberikan saran dan pertimbangan kepada Kapolri. Kapolri dapat membentuk KKEP
PK setelah adanya saran dan pertimbangan dari tim.

Pelaksanaan Putusan Atas Pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian


Pelanggaran adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh pejabat Polri yang bertentangan
dengan Kode Etik Profesi Kepolisian (KEPP). Pejabat Polri yang dimaksud adalah anggota
Polri yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian. Sedangkan
pelanggar adalah setiap pejabat Polri yang karena kesalahannya telah dinyatakan terbukti
melakukan pelanggaran melalui Sidang KKEP. Sidang KKEP adalah sidang untuk
melaksanakan penegakan KEPP terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Polri.
Pejabat Polri yang melakukan pelanggaran KEPP dikenakan sanksi berupa: a. sanksi etika;
dan/atau b. sanksi administrasi.

Putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa perbuatan pelanggaran dinyatakan
sebagai perbuatan tercela, dilaksanakan dengan cara dibacakan oleh KKEP pada saat sidang
KKEP. Putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa kewajiban untuk minta maaf,
dilaksanakan dengan cara pelanggar menyatakan permintaan maaf secara lisan dan tertulis
pada sidang KKEP kepada: a. pimpinan Polri melalui KKEP; dan b. pihak yang dirugikan;
sedangkan putusan sidang KKEP dengan sanksi etika berupa kewajiban pelanggar untuk
mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi, dilaksanakan dengan cara
pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi yang
diselenggarakan oleh fungsi Rehabilitasi Personil pada Profesi dan Pengamanan. Sanksi etika
dikenakan terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan kategori ringan.

Putusan sidang KKEP dengan sanksi administrasi dilaksanakan oleh pelanggar setelah
diterbitkan keputusan sesuai jenis sanksi yang diputuskan dalam sidang KKEP. Keputusan
yang dimaksud, diterbitkan oleh fungsi Sumber daya manusia sesuai dengan
kewenangannya paling lama: a. 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya salinan
putusan KKEP yang bersifat final dan mengikat dari Sekretariat KKEP, untuk sanksi
administratif: 1. Mutasi bersifat demosi paling singkat 1 (satu) tahun; 2. Penundaan kenaikan
pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun ; dan 3. Penundaan
pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun; 4. Penempatan pada
tempat khusus paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan b. 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
diterimanya salinan putusan KKEP yang bersifat final dan mengikat dari Sekretariat KKEP,
untuk sanksi administrasi berupa PTDH. Terhadap terduga pelanggar yang diancam dengan
sanksi PTDH diberi kesempatan untuk mengajukan pengunduran diri dari dinas Polri atas

154
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

dasar pertimbangan tertentu sebelum pelaksanaan sidang KKEP. Sanksi administrasi


dikenakan terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan kategori sedang dan
kategori berat.

Penjatuhan sanksi etika dan/atau sanksi administrasi bersifat kumulatif dan/atau alternatif
sesuai dengan penilaian dan pertimbangan sidang KKEP. Penjatuhan sanksi KEPP tidak
menghapus tuntutan pidana dan/atau perdata.

KESIMPULAN
Briptu Bagas Ray Perdana melakukan pelanggaran larangan penyalahgunaan wewenang
pejabat kepolisian dalam penerimaan anggota Polri Bintara Gelombang II Tahu Anggaran
2022, di Polda Sultra. Pelanggaran ini termasuk bentuk "Penyalahgunaan
Mencampuradukkan Wewenang", dengan unsur melakukan tindakan di luar cakupan bidang
atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang
yang diberikan. Konsekuensi hukumnya adalah tindakan tersebut dapat dibatalkan apabila
telah diuji melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri dan ada Putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Penegakan sanksi Kode Etik Profesi Polri dilakukan melalui
sidang Komisi Kode Etik Polri untuk melaksanakan penegakan Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat Polri.
Pelanggaran terhadap KEPP diselesaikan melalui pemeriksaan pendahuluan dan sidang,
yang terdiri atas Sidang Komisi Kode Etik Profesi, Sidang Komisi Kode Etik Profesi Banding,
dan/atau Sidang Komisi Kode Etik Profesi Peninjauan Kembali. Pejabat Polri wajib
memedomani Kode Etik Profesi Polri dengan menaati setiap kewajiban dan larangan dalam
Etika Kenegaraan, Etika Kelembagaan, Etika Kemasyarakatan, dan Etika Kepribadian.

DAFTAR PUSTAKA
Alti Putra, Moh Alfatah. “Bentuk Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Pemerintah yang
Tidak Dapat Dipidana.” Justisi Vol. 7, No. 2 (Juli 15, 2021). https://ejournal.um-
sorong.ac.id/index.php/js/article/view/1362.
Aryanto Sutadi, G. Ambar Wulan, Heru S, dan Sagara Budi H. Diskresi Kepolisian: Dalam
Tinjauan Hukum dan Implementasinya di Lapangan. Jakarta: KOMPOLNAS (Komisi
Kepolisian Nasional), 2013.
Bauw, Azier. “Penegakan Kode Etik Kepolisian Terhadaap Pelanggaran yang Dilakukan
Anggota Polisi (Studi Kasusu di Kepolisian Daerah Jayapura).” Jurnal Legal
Pluralisme Vol. 5, No. 1 (2015).
Hadjon, Philipus.M., Paulus Effendie Loutulung, H.M. Laica Marzuki, Tatiek Sri Djamiati,
dan I Gusti Ngurah Wairocana. Hukum Administrasi dan Good Governance. Jakarta:
Universitas Trisakti, 2012.
Malian, Sobirin. “Penyalahgunaan Wewenang Jabatan oleh Pejabat Negara/Pemerintah:
Perspektif Hukum Administrasi dan Hukum Pidana.” Jurnal Hukum Respublica Vol.
20, No. 1 (November 30, 2020). https://journal.unilak.ac.id/index.php/

155
Halu Oleo Legal Research | Volume 5, Issue 1, April 2023

Respublica/article/view/5363.
Nitibaskara, Ronny R. Polisi dan Korupsi. Jakarta: Pustaka Kartini, 2006.
Rahardi, Pudi. Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya:
Laksbang Mediatama, 2007.
Rianto, Bibit Samad. Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa dan
Dicintai Rakyat. Jakarta: Restu Agung, 2006. http://library.stik-ptik.ac.id.
Sadjijono. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance. Yogyakarta: Laksbang
Presindo, 2005.
Sensu, La, Guasman Tatawu, Muhammad Jugri Dewa, Oheo Kaimuddin Haris, Muhammad
Sabaruddin Sinapoy, dan Ramli Syarifuddin. “Kewenangan Kepala Desa Dalam
Meningkatkan Pelayanan Pemerintah Desa Batubanawa Kec. Mawasangka Timur
Kab. Buton Tengah Kepada Masyarakat.” Halu Oleo Legal … Vol. 4, No. 2 (2022).
https://journal.uho.ac.id/index.php/holresch/article/download/53/23.
Susi, Moeimam, dan Steinhauer Hein. Kamus Belanda-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.

156

You might also like