You are on page 1of 13

Keanekaragaman Amfibi Pada Lahan Agroforestry Di

Pekon Kotabatu, Tanggamus, Lampung


(The Diversity Of Amphibians In Agroforestry Land In Kotabatu Village,
Lampung)

Andi Rianto1*, Arief Darmawan2


Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Kota Bandar Lampung, 35141, Indonesia
*E-mail: andidrianto@gmail.com

ABSTRACT
Amphibians are a good indicator for assessing the condition of a forest, because
amphibians are very sensitive to ecology and climate change. Kotabatu is one of the villages that
is passed by river, and empties directly into the sea of Semaka Bay. Based on these criteria, it is
a habitat for amphibians. This study aims to identify and analyze the diversity of amphibian
species using a combination method of Visual Encounter Survey (VES) and Line Transects with data
collection based on three different habitats, namely river flow, rice fields and yards. The results of
diversity study found that there were 6 types of amphibians consisting of 3 families, namely Ranidae,
Dicroglossidae, and Bufonidae. The most common species found was the rice field frog (Fejervarya
cancrivora) with
95 people, and the least species found was the hourglass frog (Leptophryne borbonica) with 5
people. The total number of amphibians found at the site was 239 individuals, with the highest
diversity index value (H') found in riverine habitats with a value of 1.5218 which was included in
the (moderate) category, while the highest margalef wealth index (Dmg) was found at the same
habitat is a river flow of 1.3131 which is included in the (low) category, and the absence of
dominating amphibians (D) because the highest index value is only 0.2269. Based on the three
indices, it can be seen that at the research location, the diversity of amphibians is still preserved,
but there will be a decrease if it’s not properly considered.
Keywords: Amphibians, diversity, and habitat

ABSTRAK
Amfibi merupakan indikator yang baik untuk menilai kondisi hutan karena amfibi sangat sensitif
terhadap ekologi dan perubahan iklim. Amfibi banyak tersebar di Indonesia termasuk juga di pekon
Kotabatu, yang merupakan salah satu pekon yang berada di Kecamatan Kotaagung, Kabupaten
Tanggamus yang dilalui oleh sungai, dan bermuara langsung ke laut teluk Semaka. Berdasarkan
kriteria tersebut merupakan lokasi habitat bagi jenis Amfibi. Penelitian ini menggunakan metode
Visual Encounter Survey (VES) dengan pengambilan data berdasarkan tiga lokasi berbeda. Hasil
penelitian keanekaragaman Amfibi ditemukan terdapat 6 jenis amfibi yang terdiri dari 3 famili yaitu
Ranidae, Dicroglossidae, dan Bufonidae. Jenis amfibi yang paling banyak ditemukan yaitu katak
sawah (Fejervarya cancrivora) sebanyak 95 individu, dan jenis yang paling sedikit dijumpai yaitu
Kodok jam pasir (Leptophryne borbonica) sebanyak 5 individu. Total individu amfibi yang ditemukan
pada lokasi penelitian sebanyak 239 individu, dengan nilai indeks Keanekaragaman H’= 1,2863
(sedang), indeks Kekayaan Dmg = 1,2106, dan indeks Dominansi D = 0,1882 (tidak ada jenis yang
mendominasi).

Kata Kunci : Amfibi, keanekaragaman, dan habitat

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 1


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
I. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu
Keberadaan jenis amfibi juga menarik
negara yang memiliki keanekaragaman
untuk diperhatikan pada lahan
hayati paling tinggi di dunia. Menurut
agroforestri. Akhir-akhir ini agroforestri
Biodiversity Action Plan for Indonesia
telah menjadi bahan diskusi yang penting,
(Bappenas, 1993) Indonesia memiliki
karena konsep tersebut tidak hanya
sekitar 10% jenis tumbuhan berbunga
menyelesaikan masalah pemanfaatan
yang ada di dunia, 12% mamalia, 16%
lahan, tetapi juga memperoleh berbagai
reptil dan amfibi, 17% burung serta 25%
macam kebutuhan pangan, pakan ternak,
jenis ikan. Keanekaragaman hayati yang
kayu bakar maupun kayu bangunan.
terbesar salah satunya yaitu jenis amfibi.
Selain itu sistem agroforestri yang
Indonesia tercatat memiliki dua jenis ordo
diterapkan pada lahan pertanian
yang ada di dunia yaitu ordo
masyarakat merupakan salah satu solusi
gymnophiona dan anura, sedangkan ordo
dalam hal peningkatan hasil produksi
caudata tidak terdapat di Indonesia
(Amin, 2016).
(Setiawan dkk, 2016). Ordo Anura paling
Pekon Kotabatu memiliki beberapa
mudah ditemukan di Indonesia yakni
ekosistem yang menarik seperti aliran
mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari
sungai, lahan agroforestri, muara
seluruh jenis anura yang di temukan di
dunia (Iskandar, 1998). (estuari), dan pantai. Keunikan topografi
yang dimiliki pekon tersebut tentunya
Amfibi merupakan bagian dari
memiliki potensi keanekaragaman satwa
keanekaragaman hayati yang menghuni
liar yang menarik untuk diteliti khususnya
habitat perairan, daratan hingga arboreal.
jenis amfibi. Informasi terkait potensi
Menurut Kusrini (2009) amfibi merupakan
amfibi belum banyak dilaporkan, oleh
salah satu biota yang kurang mendapat
sebab itu penting untuk mengkaji lebih
perhatian dalam penelitian di Indonesia
dalam terkait hal tersebut guna
meskipun keberadaannya memiliki
menunjang dalam pengelolaan terkait.
peranan penting sebagai bagian dari
Penelitian ini bertujuan untuk
rantai makanan dan juga berbagi
mengidentifikasi serta menganalisa
kegunaan bagi manusia. Amfibi
keanekaragaman jenis amfibi.
merupakan indikator yang baik untuk
menilai kondisi hutan karena amfibi
II. Metode Penelitian
sangat sensitif terhadap ekologi dan
Penelitian ini dilakukan pada bulan
perubahan iklim (Iskandar 2014).
September tahun 2020 di pekon Kotabatu
Kusrini (2007) menyatakan bahwa
Kecamatan Kotaagung Kabupaten
informasi mengenai keberadaan dan
Tangggamus (Gambar 1).
status dari amfibi di Indonesia masih
sangat terbatas, sedangkan penelitian
mengenai biologi dan ekologi amfibi masih
belum terlalu banyak dan biasanya
dilakukan hanya pada jenis-jenis yang
umum dijumpai (Kusrini, 2013).
Umumnya referensi mengenai amfibi ada
di Jawa dan Bali (Iskandar, 1998), Jawa
Barat (Kusrini, 2013), Kalimantan Tengah
(Mistar, 2008), dan Alas Purwo,
Banyuwangi, Jawa Timur (Yanuarefa et
al., 2012). sedangkan panduan lapangan
atau kunci identifikasi jenis-jenis amfibi di
Sumatera masih sangat minim sekali
datanya.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 2


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
Beberapa tipe habitat yang diamati ni = Jumlah individu jenis ke-i
diantaranya areal persawahan, kebun N = Jumlah individu seluruh jenis
warga, dan aliran sungai. Areal Pi = Proporsi individu spesies ke-i
persawahan terletak di bagian barat daya
dari pekon Kotabatu, dan di bagian Kriteria nilai indeks keanekaragaman
selatan terdapat areal tambak, sedangkan Shannon-Wienner (H) :
aliran sungai membentang secara vertikal H<1 = keanekaragaman
dari hulu hingga hilir di muara, dan untuk rendah
areal agroforestry terdapat di sempadan 1<H<3 = keanekaragaman
aliran sungai. Areal tersebut untuk lebih sedang
jelas dapat dilihat pada (Gambar 2). H>3 = keanekaragaman tinggi

2. Indeks Kekayaan (Margalef)


Indeks kekayaan spesies dapat
dihitung dengan menggunakan
beberapa cara yaitu indeks margalef
(Nahlunnisa,
S−1
2016) sebagai berikut :
: Dmg =
lnN

Keterangan :
Dmg = Indeks kekayaan
Margalef (Dmg)
S = Jumlah jenis yang
Gambar 2. Peta areal yang terdapat pada teramati
lokasi penelitian. N = Jumlah total individu
yang teramati
Pengamatan amfibi menggunakan Ln = Logaritma natural
metode kombinasi line transect dan visual
encounter survey, yaitu dilakukan dengan Kriteria nilai indeks kekayaan Margalef
cara mencari amfibi yang ditemukan pada (Dmg) :
jalur pengamatan sepanjang 500m Dmg < 3,5 : kekayaan jenis rendah
kemudian diidentifikasi jenis tersebut. 3,5 < Dmg < 5 : kekayaan jenis
Pengamatan dilakukan di setiap habitat sedang
yang diamati yaitu persawahan, Dmg > 3,5 : kekayaan jenis
pekarangan, dan aliran sungai. tinggi
Analisis Data
1. Indeks Keanekaragaman (Shannon- 3. Mengetahui ada tidaknya indeks
Wienner) dominansi, maka kriteria yang
Mengetahui keanekaragaman jenis mendekati 1 berarti ada dominansi
amfibi dihitung dengan menggunakan oleh suatu spesies dalam komunitas
indeks keanekaragaman Shannon- tersebut (Odum, 1993) sebagai
Wienner (Odum, 1993 ; Indriyanto berikut :
2008) dengan menggunakan rumus
sebagai berikut : Rumus : D = (𝑛𝑖/N)2
Keterangan :
-∑Pi ln (Pi), dimana Pi = (ni/N) D = indeks dominansi Simpson
ni = jumlah individu suatu jenis
Keterangan : N = jumlah individu dari seluruh jenis
H’ = Indeks keanekaragaman
Shannon- Kriteria nilai indeks simpsons (D) :
` Wienner

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 3


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
Jika nilai D mendekati 0 (< 0.5), Bufonidae Bangkong Phrynoidis 6
maka tidak ada spesies yang Sungai aspera
mendominasi. Total Individu 239
Jika nilai D mendekati 1 (≥ 0.5),
maka ada spesies yang mendominasi Hasil yang diperoleh pada
pengambilan data didasarkan pada tiga
lokasi habitat yang berbeda, berdasarkan
III. Hasil dan Pembahasan (Tabel 1), didapati jumlah total individu
amfibi sebanyak 239 individu terdiri dari 7
1. Keanekaragaman Jenis Amfibi jenis. Katak Sawah (Fejervarya cancrivora)
merupakan jumlah individu yang paling
Berdasarkan hasil penelitian yang banyak ditemukan yaitu sebanyak 95
telah dilaksanakan di Pekon Kotabatu individu, sedangkan untuk jumlah individu
Kecamatan Kotaagung Kabupaten terendah yaitu Katak Jam Pasir
Tanggamus, didapati data jenis-jenis
(Leptophryne borbonica) sebanyak 5
amfibi yang ditemukan sebanyak tujuh
individu.
jenis. Jenis-jenis tersebut adapun terdiri
Katak sawah (Fejervarya cancrivora)
dari tiga famili, dengan Bufonidae sebagai
jenis ini dapat ditemukan di ketiga habitat
family yang paling banyak dijumpai (Tabel
pada lokasi penelitian, namun pada
1).
habitat pekarangan hanya dapat dijumpai
dengan jumlah yang lebih sedikit
Tabel 1. Jenis-jenis amfibi yang teramati.
dibandingkan pada habitat aliran sungai
dan persawahan. Katak sawah memiliki
Famili Nama Jenis Nama Ilmiah Jumla ukuran besar yang biasanya hanya sekitar
h 100 mm, tetapi dapat mencapai 120 mm.
Ranidae Katak Fejervarya 95 Tekstur pada katak ini berkulit kasar
Sawah cancrivora
Ranidae Kongkang Odorrana hosii 23 dengan lipatan-lipatan atau bintil-bintil
Racun yang memanjang paralel dengan atau
Dicroglossid Katak Fejervarya 45 hingga sumbu tubuh. Hanya terdapat
ae Tegalan limnocharis satu bintil metatarsal dalam, selaput selalu
Dicroglossid Bancet Occidozyga 12
Rawa
melampaui bintil subartikuler terakhir jari
ae Sumatrana
Sumatra kaki ke 3 dan ke 5 (Gambar 3) (Kusrini,
Bufonidae Bangkong Bufo 53 2013).
Kolong melanostictus
Bufonidae Katak Jam Leptophryne 5
Pasir borbonica

a b c d

e f g

Gambar 3. Identifikasi jenis amfibi Katak sawah F. cancrivora (a), Katak tegalan F. limnocharis
(b), Kongkang racun O. hosii (c), Bangkong kolong B. melanostictus (d), Kodok jam
pasir L. borbonica (e), Bancet rawa sumatra O. sumatrana (f), Bangkong sungai P
aspera (g).

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 4


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
sungai. Berdasarkan (Iskandar,1998)
Kusrini (2013) Katak jenis ini sangat memisahkan jenis yang serupa dengan F.
terkenal hidup di sawah-sawah sesuai limnocharis yang dijumpai di dataran
dengan sebutannya. Jenis ini jarang tinggi sebagai F. Iskandari. Katak tegalan
ditemukan sepanjang sungai, tetapi dapat tersebar di India, Jepang, China,
ditemukan tidak jauh dari sungai. Andaman, Laos, Myanmar, Kamboja,
Terdapat juga dalam jumlah banyak di Vietnam, Thailand, Peninsular Malaysia,
sekitar rawa dan bahkan pada daerah Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
berair asin, seperti tambak atau hutan Tenggara, dan Filipina (Gambar 3).
bakau. Penyebaran ketak jenis ini Kongkang racun (Odorrana hosii)
tersebar di India, Jepang, Andaman, Pulau merupakan jenis katak yang memiliki
Nicobar, Asia Tenggara Papua (hasil ukuran sedang (jantan) hingga besar
introduksi), Hainan Penyebaran di Jawa (betina), dengan tubuh yang ramping dan
Barat diantaranya Cipeuteuy (TN Gunung sedang serta anggota tubuh pada bagian
Halimun Salak), Kawasan Taman Safari. belakangnya panjang dan kuat.
Katak tegalan (Fejervarya Karakteristik pada ujung jari tangan dan
limnocharis) katak jenis ini dapat dijumpai jari kaki meluas menjadi bantalan, pada
di ketiga habitat penelitian dengan jumlah jari kakinya berselaput penuh, sedangkan
yang variatif. Katak ini memiliki ukuran pada kulit belakang berbintil halus.
tubuh yang kecil, bentuk kepala yang Terdapat sebuah lipatan kulit yang lemah
runcing dan pendek dengan tekstur kulit selalu ada di tiap sisinya. Memiliki warna
berkerut yang tertutup oleh bintil-bintil perut keabuan atau putih keperakan.
panjang yang tampak tipis. Bintil-bintil ini Katak jenis ini apabila dipegang memiliki
biasanya memanjang, paralel dengan bau khas seperti langu. Ketika pada fase
sumbu tubuh. Tekstur pada kulit jenis ini berudu: Badan dan ekornya berwarna
mempunyai benjolan-benjolan di bagian abu-abu gelap atau kehitaman, sedangkan
atas, benjolan sering berbentuk tidak pada bagian ventral tidak bewarna
teratur. (bening). Badannya oval menyempit di
Kusrini (2020) Fejervarya limnocharis bagian anterior. Memiliki ekor
memiliki ukuran lebih kecil jika memanjang dengan sirip yang sempit
dibandingkan dengan katak sawah meruncing ke bagian ujung ekor. Mata
(ukuran dewasa sekitar 70 mm). Bentuk mengarah ke bagian dorsal lateral,
pada kepala runcing dn pendek dengan memiliki bentuk mulut membulat, dan
tekstur kulit berkerut yang ditutupi oleh bukaan mulut mengarah ke bawah
bintil-bintil memanjang secara parallel (ventral). Katak jenis ini lebih umum
pada sumbu tubuh yang tampak tipis dan ditemukan pada hutan primer, katak ini
tidak teratur. Jari kaki runcing dengan juga dapat hidup di hutan bekas tebangan
ujung yang tidak melebar. yang berdekatan dengan sungai yang
Penelitian genetik menunjukkan masih bersih. Persebaranny dapat
bahwa katak tegalan F. limnocharis di ditemukan di seluruh pulau Kalimantan,
pulau Jawa merupakan jenis katak yang terutama pada areal dengan kisaran
kompleks dan terdiri dari paling tidak dua ketinggian hingga 750 meter (Gambar 3)
spesies yang berbeda yaitu F. limnocharis (Kusrini, 2013).
dan F. Iskandari (Veith et al. 2001). Bangkong kolong (Bufo
Walaupun demikian, F. iskandari secara melanostictus) katak jenis ini memiliki
morfologi sangat sulit dibedakan dengan karakteristik unik berupa benjolan-
F. limnocharis. benjolan hitam yang tersebar di bagian
Kusrini (2013) katak jenis ini dapat atas tubuh dengan moncong yang
dijumpai pada sawah dan padang rumput runcing. Jenis ini mempunyai alur
di dataran rendah, jarang sampai 700 m supraorbital yang bersambung dengan
dan dijumpai juga di sekitar kolam dan alur supratimpanik dan tidak memiliki alur

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 5


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
parietal. Terdapat pula kelenjar parotoid Terdapat tanda berbentuk segitiga hitam
yang berbentuk elips. Jari tangan dan jari di belakang mata. Ventral, kaki dan
kaki hampir sama dalam keadaan tumpul, tenggorokan berwarna kecoklatan, depan
pada jari kaki terdapat selaput yang dan belakang paha kemerahan, bagian
melebihi setengah jari. Terdapat juga atas sama dengan warna tubuh.
bintil metatarsal yang bagian luarnya lebih Menurut Kusrini (2013) memiliki
kecil dari bagian dalam. Jenis ini paling ukuran tubuh pada jantan dewasa 20-30
mudah dan sering ditemukan diseluruh mm dan ukuran pada tubuh betina
lokasi dan mudah dikenali melalui dewasa 25-40 mm. Kodok jenis ini biasa
suaranya yang khas. Ukuran tubuhnya dijumpai dalam jumlah banyak di sekitar
sedang sampai besar dengan panjang daerah yang cenderung basah, kemudian
mulai dari ujung moncong sampai dubur di daerah-daerah berair yang jernih, lalu
melebihi 80 mm. Jenis ini merupakan berarus lambat, bahkan dapat juga
kodok paling umum ditemukan di berbagai ditemukan di arus yang cukup deras di
tempat termasuk perkampungan dan kota hulu sungai, dan dapat hidup hampir
yang luas, lahan olahan, tempat terbuka, sampai pada ketinggian 1.400 mdpl.
kebun, parit di pinggiran jalan serta biasa Kodok ini juga dapat ditemukan di Jawa,
berada di tanah kering, diatas rumput dan Thailand, Peninsula Malaysia, Sumatera
diatas serasah. dan Kalimantan. Di Jawa Barat antara lain
Kodok ini memiliki hubungan yang ditemui di sekitar kawasan Gunung Salak
erat dengan lingkungan hidup manusia. (Sukamantri) dan Halimun, serta daerah
Hal tersebut dibuktikan dari waktu ke Bodogol (TN Gede Pangrango) (Gambar
waktu, bangkong kolong terus 3).
memperluas daerah sebarannya mengikuti Bancet rawa sumatra (Occidozyga
aktivitas manusia. Iskandar (1998) sumatrana) merupakan salah satu jenis
mencatat bahwa kodok ini tak pernah dari katak kecil dengan ukuran kepala
terdapat di dalam hutan hujan tropis. yang kecil. Kusrini (2013) memiliki
Kusrini (2013) kodok ini dapat struktur jari kaki berselaput seluruhnya
dijumpai di wilayah Andaman, Pulau hingga ke piringan, serta mempunyai
Nicobar, Myanmar, Laos, Vietnam, Cina piringan gigi yang besar dan jelas.
Selatan, India, Indo-Cina, Thailand, Struktur pada rahang bawah memiliki
Kamboja, Peninsular Malaysia, Kalimantan, tekstur yang halus tanpa indikasi tonjolan
Sumatera, Jawa, Bali (hasil introduksi), gigi yang besar. Kulit dengan sedikit bintil-
Sulawesi (hasil introduksi), Ambon (hasil bintil, tetapi tanpa indikasi adanya lipatan,
introduksi), dan Papua (hasil introduksi). kecuali lipatan supratimpanik.
Di Jawa Barat jenis ini menyebar luas Iskandar (1998) Kepala berukuran
terutama pada daerah yang telah kecil. Jari kaki berselaput penuh hingga ke
terpengaruh oleh aktivitas manusia seperti piringan di ujung jari. Rahang bawah
di perkotaan dan desa-desa. (Gambar 3). halus tanpa tonjolan serupa gigi yang
Kodok jam pasir (Leptophryne membesar. Kulit dengan sedikit tonjolan
borbonica) memiliki ukuran yang kecil (bintil), tetapi tanpa adanya tanda-tanda
tanpa kelenjar paratoid yang jelas, lipatan (di punggung) kecuali lipatan
kadang-kadang dengan tanda segitiga supratimpanik. Timpanum (gendang
hitam di belakang mata, terdapat tanda telinga) tersembunyi.
berbentuk jam pasir di bagian belakang. Kusrini (2013) katak jenis ini juga
Selaput renang tidak mencapai benjolan dapat ditemui di pulau-pulau Nusantara
subartikuler jari kaki ketiga dan kelima. antara lain pulau Jawa, Sumatera, Bali,
Kusrini (2013) Tekstur kulit bintil-bintil Kalimantan dan Semenanjung Malaysia,
berpasir hampir seluruh permukaan dan mungkin sampai ke Myanmar-
tubuh, lebih kasar pada bagian sisi tubuh. Thailand-Laos-Kamboja-Vietnam (Indo-
Warna coklat keabuan dengan tanda China). Jenis katak ini juga di Jawa barat
berbentuk jam pasir di bagian belakang. dapat ditemukan di wilayah-wilayah

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 6


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
Situgunung, dan Taman Nasional Gunung habitat aliran sungai sebesar 1,5218 yang
Gede pangrango (Gambar 3). termasuk kedalam kriteria indeks sedang,
Bangkong sungai (Phrynoidis lalu pada indeks kekayaan tertinggi
aspera) jenis ini merupakan jenis kodok didapati dengan nilai sebesar 1,3131 nilai
berukuran besar, pada saat usia dewasa tersebut temasuk kriteria nilai indeks
panjang kodok ini sampai 200 mm. rendah yang terdapat pada habitat aliran
Memiliki sungai, dan indeks dominansi tertinggi
ukuran tubuh yang cukup besar, kepala terdapat pada habitat persawahan dengan
lebar, dan ujung moncong tumpul serta nilai sebesar 0,2269 berdasarkan kriteria
tidak mempunyai alur parietal. Tekstur indeks yang berarti tidak ada jenis yang
kulit yang terdapat pada kodok ini sangat mendominasi pada habitat. Nilai indeks
kasar atau berbenjol serta diliputi oleh tersebut merupakan nilai rata-rata
bintil-bintil berduri atau benjolan-benjolan. keseluruhan dari indeks pada tiap-tiap
Kusrini (2013) Struktur pada ujung lokasi habitat berdasarkan waktu
jari dari kodok membesar namun ukuran pengambilan dan pengulangan data.
besarnya tidak melebihi dari bagian-
bagian jari yang lain. Bentuk pada jari Tabel 2. Indeks keanekaragaman jenis.
pertama agak lebih panjang daripada jari Tipe Habitat Dmg D
kedua, kemudian kelenjar-kelenjar
Sungai 1,5218* 1,3131* 0,1207
parotoidnya terlihat sangat jelas
berbentuk lonjong berurutan (berbentuk Sawah 1,2631 0,865 0,2269*
subtriangular). Struktur pada jari kaki Pekarangan 1,07431,0839 0,2171
terdapat selaput renang sampai ke ujung,
bagian ini merupakan salah satu ciri khas. Keterangan :
Jenis ini merupakan salah satu yang H’ = Indeks keanekaragaman sedang
paling umum terdapat di hutan. Sering (1-3)
terlihat di sekitar aliran air yang lambat, Dmg = Indeks kekayaan rendah (<2,5)
dekat dengan air terjun dan biasanya D = Indeks dominansi tidak ada
terdapat di sepanjang alur tepi sungai. (<0,5)
Jenis ini kadang ditemukan pada habitat * = Nilai Tertinggi
kegiatan manusia namun masih memiliki
aliran air dengan vegetasi disekitarnya 1,6
1,4
(Gambar 3).
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
SungaiSawahPekarangan
H'DmgD

Gambar 5. Histogram indeks


keanekaragaman (H’), kekayaan (Dmg),
dan dominansi (D).

a. Indeks keanekaragaman jenis


Gambar 4. Titik Koordinat amfibi.
Keanekaragaman jenis merupakan
suatu kelimpahan dan atau beragamnya
2. Tingkat Keanekaragaman Spesies
dari jenis yang dimaksud. Pratiwi (2014)
Hasil inventarisasi jenis-jenis amfibi
berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 5
diketahui bahwa nilai indeks
keanekaragaman tertinggi terdapat pada

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 7


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
keanekaragaman hayati melingkupi indeks keanekaragaman tinggi
berbagai perbedaan atau variasi bentuk, dipengaruhi dengan semakin banyak dan
penampilan, jumlah, dan sifat-sifat yang atau semakin beragamnya jenis yang
terlihat pada berbagai tingkatan. Secara ditemukan. Menurut Soegianto (1994),
garis besar, keanekaragaman hayati dalam suatu komunitas dikatakan
terbagi menjadi tiga tingkat yaitu mempunyai keanekaragaman jenis tinggi
keanekaragaman gen, keanekaragaman jika komunitas itu disusun oleh banyak
spesies, dan keanekaragaman ekosistem jenis dengan kelimpahan jenis yang sama
Terdapat kriteria tertentu dalam atau hampir sama.
menggambarkan suatu tingkat
keanekaragaman pada suatu habitat yaitu 2
apabila H < 1 maka keanekaragaman 1,5
rendah, lalu apabila nilai indeks 1 < H < 1
3 maka keanekaragaman sedang, dan 0,5
apabila nilai indeks yang diperoleh H > 3 0
maka keanekaragaman tinggi.
Berdasarkan (Tabel 3) dan (Gambar

Sep-

Sep-

Sep-

Sep-

Sep-
6) indeks keanekaragaman pada Pekon

rata 18-
Sep-20
Rata-
20

20

20

20
Kotabatu Kecamatan Kotaagung
Kabupaten Tanggamus dengan nilai

15-

16-

17-

19-

20-
tertinggi ditemukan pada habitat aliran Sungai SawahPekarangan
sungai yaitu sebesar 1,5218, pada habitat
persawahan diperoleh nilai indeks sebesar
1,2628, sedangkan indeks keanekaragam Gambar 6. Histogram indeks
terendah ditemukan pada habitat keanekaragaman (H’).
pekarangan dengan nilai sebesar 1,0743.
Tingkat keanekaragaman dari ketiga Margareta, dkk (2012) menambahkan
habitat tersebut masuk ke dalam kriteria bahwa keanekaragaman habitat akan
(sedang), sebab nilai yang dihasilkan berpengaruh terhadap keanekaragaman
berkisar 1-3. dari jenis suatu hewan. Struktur dari suatu
habitat yang semakin beranekaragam
Tabel 3. Indeks keanekaragaman. akan menyebabkan semakin besar
Tipe Habitat Waktu H' keanekaragaman dari jenis satwa
tersebut. Habitat menyediakan
15-Sep-20 1,5606
sumberdaya yang cukup, khususnya
Sungai 16-Sep-20 1,6631
sebagai tempat untuk mencari makan,
17-Sep-20 1,3417 berlindung, dan berkembang biak bagi
Rata-rata 1,5218 jenis-jenis satwa. Nilai indeks
18-Sep-20 1,2589 keanekaragaman, indeks kekayaan jenis
Sawah 19-Sep-20 1,3073 dan indeks kemerataan jenis digunakan
20-Sep-20 1,2221 untuk menggambarkan suatu keadaan-
Rata-rata 1,2628 keadaan dari lingkungan tersebut
berdasarkan kondisi biologinya (Indra dan
21-Sep-20 1,3046
Allo 2009).
Pekarangan 22-Sep-20 1,0547
23-Sep-20 0,8637 b. Indeks kekayaan
Rata-rata 1,0743 Indeks kekayaan menunjukan
perbandingan banyaknya satu spesies
Hasil penelitian mendapatkan data terhadap jumlah seluruh spesies (Naidu
keanekaragaman jenis amfibi dengan dan Kumar 2016). Selanjutnya klasifikasi
indeks sedang (Tabel 3), dimana nilai kekayaan suatu spesies dapat diketahui
indeks yang diperoleh 1 < H’ < 3. Nilai apabila nilai indeks yang diperoleh kurang
dari 3,5 maka dapat dikatakan bahwa

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 8


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
kekayaan jenis rendah, lalu apabila nilai (1995) menyarankan bahwa nilai Indeks
indeks lebih dari 3,5 dan atau kurang dari Margalef akan semakin besar seiring
4 maka kekayaan jenis sedang, dan dengan semakin luasnya plot contoh yang
apabila lebih dari 4 maka dapat dikatakan digunakan, dan semakin tinggi juga
bahwa kekayaan jenis tinggi. keanekaragamannya yang ditunjukkan
Pernyataan di atas dengan kata lain pula oleh semakin besar nilai kekayaan
bahwa semakin kecil nilai indeks kekayaan jenisnya. Ada beberapa faktor yang
jenis maka perbandingan suatu spesies mempengaruhi kekayaan suatu jenis di
terhadap spesies seluruhnya semakin suatu ekosistem, diantaranya daya
kecil. Nahlunnisa (2016) kekayaan reproduksi, ketersediaan pakan,
spesies dapat dihitung dengan kemampuan beradaptasi dan adanya
menggunakan beberapa cara yaitu indeks pemangsa (Ekowati, 2016).
margalef, indeks menhinick, metode
rarefaction, dan penduga jacknife.
1,6
Hasil penelitian menunjukkan nilai
1,4
indeks kekayaan tertinggi ditemukan pada 1,2
habitat aliran sungai sebesar 1,31313, 1
pada habitat pekarangan diperoleh nilai 0,8
indeks sebesar 1,0839, sedangkan untuk 0,6
nilai indeks terendah ditemukan pada 0,4
habitat persawahan sebesar 0,86542 0,2
(Tabel 4 dan Gambar 7). Nilai indeks 0 Sep-

Sep-

Sep-

Sep-

Sep-
kekayaan pada ketiga habitat tersebut

rata 18-
Sep-20
Rata-
20

20

20

20

20
termasuk ke dalam kategori rendah.
15-

16-

17-

19-

20-
Sungai Sawah Pekarangan
Tabel 4. Indeks Kekayaan
Tipe Habitat Waktu Dmg
15-Sep-20 1,5005 Gambar 7. Histogram Indeks Kekayaan
Sungai 16-Sep-20 1,1250 (Dmg).
17-Sep-20 1,3138
Rata-rata 1,31313 Margalef mengusulkan indeks
18-Sep-20 0,8507 kekayaan jenis yang dikombinasikan
Sawah 19-Sep-20 0,9207 dengan nilai kelimpahan/ kerapatan
20-Sep-20 0,8247 individu pada setiap unit contoh yang
Rata-rata 0,86542 berukuran sama yang ditempatkan pada
21-Sep-20 1,3352 habitat atau komunitas yang sama.
Pekarangan 22-Sep-20 1,136 Metode perhitungan tersebut disebut
23-Sep-20 0,7797 Indeks Kekayaan Margalef (Magurran,
2004). Nilai Indeks Margalef akan
Rata-rata 1,0839
semakin besar seiring dengan semakin
luasnya plot contoh yang digunakan, dan
Nilai indeks kekayaan jenis amfibi di
semakin tinggi juga keanekaragamannya
lokasi penelitian termasuk rendah,
yang ditunjukkan pula oleh semakin besar
sehingga perbandingan jenis amfibi
nilai kekayaan jenisnya (Boontawe et al.
sangat rendah terhadap komunitas yang
1995).
terdapat pada lokasi tersebut. Indeks
c. Indeks Dominansi
kekayaan rendah dapat disebabkan oleh
Dominansi diindikasikan untuk
jumlah jenis yang ditemukan dalam suatu
mengetahui suatu jenis yang memiliki
komunitas tersebut sedikit. Rendahnya
pengaruh terhadap suatu komintas.
nilai indeks kekayaan jenis amfibi di lokasi
Menurut Mawazin dan Subiakto (2013)
penelitian disebabkan oleh banyaknya
nilai indeks dominansi digunakan untuk
akitivitas antropogen. Boontawe et al.
menggambarkan pola penguasaan suatu
jenis terhadap jenis lainnya dalam suatu

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 9


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
komunitas. Indeks dominansi dalam jenis dengan kelimpahan jenis yang sama
suatu komunitas dapat diketahui dengan atau hampir sama.
kriteria nilai indeks kurang dari dan atau
mendekati 0,5. Suatu komunitas apabila
semakin tinggi nilai indeks dominansinya, 0,35
maka terdapat suatu jenis yang 0,3
berpengaruh terhadap komunitas itu 0,25
sendiri. 0,2
Nilai indeks tersebut dapat dilihat 0,15
pada Tabel 5 dan Gambar 8, bahwa nilai 0,1
indeks tertinggi ditemukan pada 0,05
persawahan sebesar 0,2269, pada habitat 0

Sep-

Sep-

Sep-

Sep-

Sep-
rata 18-
Sep-20
pekarangan didapati nilai indeks sebesar

Rata-
20

20

20

20

20
0,2171, sedangkan nilai indeks dominansi

15-

16-

17-

19-

20-
terendah ditemukan pada habitat aliran Sungai SawahPekarangan
sungai sebesar 0,12079. Berdasarkan dari
ketiga habitat tersebut. Gambar 8. Histogram indeks dominansi
(D).
Tabel 5. Indeks Dominansi
Tipe Habitat Waktu D Diketahui bahwa dengan semakin
rendahnya tingkat dominansi dalam suatu
15-Sep-20 0,1543
komunitas maka semakin tinggi pula
Sungai 16-Sep-20 0,126
tingkat keanekaragaman dari jenisnya,
17-Sep-20 0,0816 sehingga memudahkan untuk mengetahui
Rata-rata 0,12079 dan mengidentifikasi keanekaragaman
18-Sep-20 0,2214 jenis dalam suatu komunitas. Dominansi
Sawah 19-Sep-20 0,1789 yang besar menunjukkan batas
20-Sep-20 0,2802 kemampuan adaptasi dan toleransi yang
Rata-rata 0,2269 luas (Adil dan Hernowo., 2010)
21-Sep-20 0,20
3. Kondisi Habitat
Pekarangan 22-Sep-20 0,3265 Kondisi wilayah lokasi penelitian
23-Sep-20 0,12 merupakan hutan rakyat, dengan
Rata-rata 0,2171 topografi rata-rata 4-15 mdpl kemudian
suhu maksimal rata-rata berkisar 27,8 C
Nilai indeks dominansi di lokasi dan suhu minimal berkisar 20,3 C.
penelitian termasuk kurang dari 0,5 yang Berdasarkan (Tabel 4) dan (Gambar 10)
berarti bahwa pada komunitas tidak kondisi habitat pengamatan terdiri atas
terdapat jenis amfibi yang mendominasi. vegetasi yang ditumbuhi oleh 6 jenis yang
Rendahnya nilai indeks dominansi berasal dari 6 famili. Jenis Kelapa (Cocos
dipengaruhi oleh tingginya nilai nucifera) merupakan jenis yang banyak
kelimpahan pada lokasi penelitian. dijumpai dengan jumlah individu sebanyak
Sulistiyani (2014) indeks dominansi yang 25 dengan persentase 46% dan Beringin
rendah menunjukkan kelimpahan tiap (Ficus benjamina) merupakan jenis yang
jenisnya lebih merata, sehingga indeks paling sedikit dijumpai yaitu 3 dengan
kemerataan dan keanekaragaman di area persentase 6%. Total jenis vegatasi yang
ini menjadi tinggi. Pernyataan tersebut dijumpai sebanyak 54 jenis.
dikuatkan dengan pendapat Soegianto
(1994) bahwa suatu komunitas dikatakan Tabel 6. Jenis Vegetasi.
mempunyai keanekaragaman jenis tinggi Nama Nama Ilmiah Famili Total
jika komunitas itu disusun oleh banyak Jenis
Kelapa Cocos nucifera Arecaceae 25
Duku Lansium Meliceae 5

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 10


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
domesticum lingkungan seperti banyaknya cemaran
Melinjo Gnetum Gnetaceae 4 bahan kimia ataupun sedikitnya kesuburan
gnemon
Beringin Ficus Moraceae 3 tanah maka keragaman dari serangga
benjamina yang ada dipermukaan tanah semakin
Jengkol Pithecellobium Mimosacea 7 sedikit. Lingkungan yang memiliki
lobatum e kandungan tanah yang kaya akan
Durian Durio Bombacace 10
zibethinus ae kesuburan tanahnya lebih besar
Jumlah 54 keragaman hayati yang dimiliki tempat
tersebut, hal ini dikarenakan lingkungan
Indeks keanekaragaman jenis amfibi yang stabil akan menunjang kehidupan
yang diketahui berdasarkan pada lokasi bagi fauna yang ada di tanah. Jalur
penelitian yaitu (sedang). Nilai tersebut penelitian yang berbatasan dengan
tentunya memiliki keberpengaruhan oleh masyarakat sehingga merupakan
keberagaman habitat dan penyusunnya. daerah/habitat peralihan (ekoton). Daerah
Pengaruh tersebut disebabkan vegetasi ekoton memberikan kemudahan pada
pada suatu habitat apabila semakin satwaliar dalam memenuhi kebutuhan
beragam, maka berdampak semakin hidupnya, terutama makanan (Alikodra
beragam jenis-jenis fauna pada suatu 2002).
habitat. Hal tersebut dikarenakan habitat Sesuai dengan pernyataan Kusuma
memiliki fungsi sebagai tempat (2007) bahwa indeks Simpson dan
keberlangsungan hidup yang secara Shannon-Wiener tidak nyata untuk jumlah
khusus meliputi sebagai sumber makanan individu, dan indeks Margalef merupakan
dan proses adatasi terhadap habitat. indeks yang nyata dengan nilai hubungan
yang paling tinggi dibandingkan dengan
indeks lainnya. Selain itu, indeks Margalef
19% merupakan indeks yang paling sensitif
dibandingkan dengan indeks lainnya. Hal
ini di perjelas oleh pernyataan Magurran
13% 46% (1988) bahwa indeks Margalef memiliki
kemampuan merespon perbedaan
6% kekayaan jenis yang baik dan kesensitifan
7% tinggi. Nilai indeks Shanon wiener
9% memiliki nilai tinggi jika terdapat jumlah
spesies yang tinggi dan jumlah individu
KelapaDukuMelinjo yang tinggi pada masing-masing spesies,
BeringinJengkolDurian sedangkan nilai indeks margalef akan
tinggi jika terdapat jumlah spesies yang
Gambar 8. Diagram lingkaran jenis tinggi, sehingga kesensitifan keragaman
penyusun vegetasi. spesies tumbuhan pada indeks margalef
akan diperoleh dengan bertambahnya
Keanekaragaman habitat akan jumlah spesies.
pengaruh terhadap keanekaragaman jenis Nilai-nilai tersebut tentunya memiliki
suatu hewan. Sari (2014) semakin keberpengaruhan atas keberagaman
beranekaragam struktur habitat maka habitat dan penyusunnya. Vegetasi pada
semakin besar keanekaragaman jenis suatu habitat apabila semakin beragam,
hewan, hal ini karena habitat maka berdampak semakin beragam jenis-
menyediakan sumberdaya yang cukup, jenis fauna pada suatu habitat. Hal
khususnya sebagai tempat untuk mencari tersebut dikarenakan habitat memiliki
makan, berlindung, dan berkembang biak. fungsi sebagai tempat keberlangsungan
Keanekaragaman di tiap-tiap tempat hidup yang secara khusus meliputi
berbeda tergantung dari lingkungan yang sebagai sumber makanan dan proses
ditempatinya, semakin tidak stabil adaptasi terhadap habitat.

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 11


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
4. Kesimpulan Sumatera Utara. Forum
Keanekaragaman jenis amfibi di Pekon Pascasarjana, 33 (1) : 55-65 pp.
Kotabatu Kecamatan Kotaagung Amin, M., Imran Rachman, I., dan
Kabupaten Tanggamus ditemukan Ramlah, R. 2016. Jenis
sebanyak enam jenis yang terdiri atas tiga Agroforestri dan Orientasi
famili yaitu Ranidae, Dicroglossidae, dan Pemanfaatana Lahan Di Desa
Bufonidae. Jenis amfibi yang paling Simoro Kecamtan Gumbasa
banyak ditemukan yaitu katak sawah Kabupaten Sigi. Jurnal Warta
(Fejervarya cancrivora) sebanyak 95 Rimba. Vol 4 (1) : 97-104 pp.
individu, dan jenis yang paling sedikit Boontawee B, Phengkhlai C, Kao-sa-ard A.
dijumpai yaitu Kodok jam pasir 1995. Monitoring and measuring
(Leptophryne borbonica) sebanyak 5 forest biodiversity in Thailand. In
individu. Total individu amfibi yang Boyle TJB, Boontawee B.
ditemukan pada lokasi penelitian sebanyak Measuring and monitoring
239 individu. biodiversityin tropical and
Nilai indeks keanekaragaman (H’) temperate forests. Bogor (ID):
tertinggi terdapat pada habitat aliran CIFOR.
sungai dengan nilai sebesar 1,5218 yang Ekowati, A., Setiyani, A. D., Haribowo, D.
termasuk dalam kategori sedang, R., dan Hidayah, K. 2016.
sedangkan pada indeks kekayaan Keanekaragaman Jenis Burung di
margalef (Dmg) tertinggi dapat dijumpai Kawasan Telaga Warna, Desa
pada habitat yang sama yaitu aliran Tugu Utara, Cisarua Bogor. Al-
sungai sebesar 1,3131 yang termasuk Kauniyah : Journal of Biology.
kategori rendah, dan tidak adanya jenis 9(2)
amfibi yang mendominasi (D) sebab nilai : 88-94 pp.
indeks tertinggi hanya sebesar 0,2269. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Buku.
Nilai-nilai tersebut tentunya memiliki Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
keberpengaruhan atas keberagaman Iskandar, D. T. 1998. Seri Panduan
habitat dan penyusunnya. Lapangan Amfibi Jawa dan Bali.
Berdasarkan penelitian yang telah Buku. Puslitbang Biologi LIPI.
dilakukan, perlunya penelitian lanjutan Bogor. 146 hlm.
yang berkesinambungan di Pekon Iskandar, D. T., Evans, B. J., McGuire, J.
Kotabatu Kecamatan Kotaagung A. 2014. A Novel Reproductive
Kabupaten Tanggamus. Hal tersebut Mode in Frogs: A New Species of
guna memperkaya dan mengetahui data Fanged Frog with Internal
pembaharuan pada lokasi yang Fertilization and Birth of Tadpoles.
bersangkutan. Journal PloS ONE. 9 (12) : 123-
Ucapan Terima Kasih (Tahoma 11) 147 pp.
Penulisan penelitian ini banyak Kurniawan, E. S. 2005. Inventarisasi
terlibat oleh pihak-pihak yang telah Anura di Bendungan Batu Tegi
membantu. Pihak kepala Kecamatan, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
kepala Pekon/ Desa, serta masyarakat Skripsi. Universitas Lampung.
Pekon Kotabatu saya mengucapkan Bandar Lampung. 144 hlm.
banyak terimakasih atas semua partisipasi Kusrini, M. D. 2007. Konservasi Amfibi di
dan kerjasama. Indonesia: Masalah Global dan
DAFTAR PUSTAKA Tantangan (Conservation of
Adil, Setiadi, D., dan Hernowo, B. J. Amphibian in Indonesia: Global
(2010). Hubungan struktur dan Problems and Challenges).
komposisi jenis tumbuhan dengan Departemen Konservasi Sumber
keanekaragaman jenis burung di Daya Hutan dan Ekowisata. Media
hutan mangrove Suaka Konservasi XII (2) Agustus 2007 :
Margasatwa Karang Gading dan 89-95 pp.
Langkat Timur Laut, Provinsi

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 12


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941
Kusrini, M. D., Endarwin, W., Ul-Hassanah, inventarisasi amfibi di kawasan
dan Yazid, M. 2007. Metode hutan lindung bukit cogong II.
Pengamtan Hepetofauna di Taman Jurnal Penelitian Sains. 18 (2) :
Nasional Batimurung Bulusaraung, 55-
Sulawesi Selatan. Modul Pelatihan. 58 pp.
Departemen Konservasi Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif.
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Buku. Penerbit Usaha Nasional.
Jurnal. Fakultas Kehutanan IPB. Surabaya. 173 hlm.
Bogor Sulistyani, T. H., Rahayuningsih, M., dan
Kusrini, M. D. 2013. Panduan Bergambar Partaya. 2016. Keanekaragaman
Identifikasi Amfibi Jawa Barat. Jenis Kupu-Kupu (Lepidoptera:
Buku. Pustaka Media Konservasi : Rhopalocera) di Kawasan Cagar
Fakultas Kehutanan IPB dan Alam (CA) Ulolanang Kecubung,
Direktorat Konservasi Kabupaten Batang. Unnes Journal
Keanekaragaman Hayati. Bogor. of Life Science 3 (1) : 9-17 pp.
126 hlm. Veith, M. J., Ohler, A. M., and Dubois, A.
Kusrini, M. D. 2020. AMFIBI DAN REPTIL 2001. Systematics of Fejervarya
SUMATERA SELATAN: Areal limnocharis (Gravenhorst, 1829)
Sembilang-Dangku dan Sekitarnya. (Amphibia, Anura, Ranidae) and
Buku. Pustaka Media Konservasi : related species. 2. Morphological
Fakultas IPB dan Perhimpunan and molecular variation in frogs in
Herpetologi Indonesia (PHI). the Greater Sunda Islands
Bogor. 93 hlm. (Sumatra, Java, Borneo) with
Mawazin, dan Subiakto, A. 2013. definition of two species. Alytes
Keanekaragaman dan komposisi 2001 : 5 -28pp.
jenis permudaan alam hutan rawa Yanuarefa, M. F., Hariyanto, G. dan Utami,
gambut bekas tebangan di Riau. J. 2012. Panduan Lapang
Indonesian Forest Rehabilitation Herpetofauna (Amfibi dan Reptil)
Journal, 1(1) : 59-73 pp. Taman Nasional Alas Purwo. Balai
Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi Taman Nasional Alas Purwo.
dan Reptil di Area Mawas Provinsi Banyuwangi.
Kalimantan Tengah. Buku. Yayasan
Penyelamatan Orangutan Borneo.
Kalimantan Tengah. 118 hlm.
Nahlunnisa, H., Zuhud, E. A. M., dan
Santosa, Y. 2016.
Keanekaragaman Spesies
Tumbuhan di Areal Nilai Konservasi
Tinggi (NKT) Perkebunan Kelapa
Sawit Provinsi Riau. Jurnal Media
Konservasi. Vol 21 (1) : 91-98 pp.
Odum, E. P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi.
Edisi Ketiga. Gajah mada
University Press. Jogjakarta. 34-
162 hlm.
Pratiwi, D. 2014. Pengembangan Bahan
Berbasis Kontekstual Pada Mata
Kuliah Biologi Umum. Jurnal
Pendidikan Biologi. Vol. 6 (1) :23-
25 pp.
Setiawan, D., Yustian, I. dan Prasetyo, C.
Y. 2016. Studi pendahuluan:

Journal of Forest Science Avicennia│Vol. 05 No.01│e-issn:2622-8505│2022 13


Doi:10.22219/avicennia.v5i1.19941

You might also like