You are on page 1of 96

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYEDUHAN TEH HITAM (Camellia

sinensis) SERTA PROSES PENCERNAAN SECARA IN VITRO TERHADAP


PENGHAMBATAN AKTIVITAS ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA
GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO
SKRIPSI

SURIAH ANGGRAENI
F24070073

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

EFFECT OF TEMPERATURE AND DURATION TIME OF BREWING BLACK TEA (Camellia


sinensis) ALSO DIGESTION PROCESS IN VITRO CONCERNING INHIBITION OF ALPHA
AMYLASE AND ALPHA GLUCOSIDASE ACTIVITY IN VITRO
Suriah Anggraeni and Endang Prangdimurti
Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.
Phone 62 251 8624622, e-mail: suriah.anggraeni@yahoo.com

ABSTRACT
Diabetes is a chronic disease that occurs either when the pancreas does not produce enough
insulin or when the body cannot effectively use the insulin. Natural alpha amylase and alpha
glucosidase inhibitors from food-grade plants offer an attractive strategy to eather manage or
prevent type 2 diabetes by controlling of starch breakdown and intestinal glucose absorption. Black
tea is the second most widely consumed beverage in the world after water. A lot of researches about
bioactive compounds in tea related have been done. In this study, six extracts treated with different
combination of temperature and brewing time were investigated for alpha amylase and alpha
glucosidase inhibitory potential. Furthermore, the influence of the digestion condition in vitro to the
activity of the enzymes was also performed in this study. The enzymes inhibitory and total phenol was
measured by spectrophotometric while tannin content was measured by gravimetric method. Results
showed that tea brewed by 70oC 15 minutes, 70oC 30 minutes, 100oC 5 minutes, 100oC 15 minutes can
optimally inhibit amylase at initial extract (as an estimation of salivary alpha amylase), 70oC 15
minutes and 100oC 5 minutes can optimally inhibit pH digestion-controlled extract (pancreatic
amylase), 70oC 30 minutes and 100oC 30 minutes can optimally inhibit alpha glucosidase at initial
extract, also 70oC 15 minutes, 100oC 15 minutes, and 100oC 30 minutes can optimally inhibit at pH
digestion-controlled extract. Alpha amylase inhibitory has a positive correlation with tannin content
but not with total phenol. While alpha glucosidase inhibitory showed no correlation with tannin and
showed a negative correlation with total phenol.
Keywords: alpha amylase, alpha glucosidase, black tea, diabetes, inhibitory

SURIAH ANGGRAENI. F24070073. Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam
(Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas
Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro. Dibawah bimbingan Endang
Prangdimurti. 2011.

RINGKASAN

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang jumlah penderitanya terus meningkat setiap
tahunnya di dunia, termasuk di Indonesia. Diabetes Melitus merupakan suatu keadaan dimana tubuh
penderitanya tidak memproduksi hormon insulin atau memproduksinya namun jumlahnya tidak
cukup atau tubuh memang tidak bisa menggunakannya secara efektif sehingga terdapat kelebihan
glukosa dalam darahnya. Keadaan dimana darah mengandung kelebihan glukosa disebut
hiperglikemia. Hiperglikemia memicu terjadinya kerusakan sistem tubuh sehingga tidak jarang
penderita diabetes mengidap penyakit komplikasi.
Senyawa bioaktif pada tanaman telah banyak dilaporkan memiliki efek positif terhadap
kesehatan. Karena berasal dari tanaman, senyawa tersebut lebih aman dikonsumsi, efek samping yang
ditimbulkan relatif rendah, dan biasanya murah dan mudah didapat. Teh merupakan tanaman yang
biasa dijadikan sebagai minuman dengan cara menyeduh pucuk daunnya dengan air panas pada suhu
dan waktu yang bervariasi. Teh dilaporkan mengandung banyak komponen bioaktif. Senyawa bioaktif
teh diduga dapat mengontrol diabetes dengan cara menghambat enzim penting yang dapat memecah
karbohidrat, yaitu enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu penyeduhan teh hitam serta
proses pencernaan secara in vitro terhadap penghambatan aktivitas enzim alfa amilase dan enzim alfa
glukosidase secara in vitro sebagai salah satu upaya untuk mengurangi asupan glukosa pada penderita
DM.
Metode penelitian pertama-tama dilakukan dengan menyeduh bubuk teh hitam dengan
menggunakan suhu air awal dan lama penyeduhan yang berbeda, yaitu suhu 70oC dan 100oC selama
5, 15, dan 30 menit sehingga dihasilkan enam macam ekstrak yang berbeda. Ekstrak teh hitam yang
didapat dari penyeduhan (disebut ekstrak awal) kemudian diukur pH, kadar total fenol, kadar tanin,
inhibisi alfa amilase, dan inhibisi alfa glukosidase. Selanjutnya sebagian ekstrak awal diberi perlakuan
pengaturan pH simulasi proses pencernaan, yaitu diatur menjadi pH 2, lalu didiamkan selama 30
menit, kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8. Ekstrak yang telah diberi perlakuan pH ini kemudian
diuji inhibisi alfa amilase dan alfa glukosidase. Pengujian inhibisi enzim dari ekstrak awal berguna
untuk memperkirakan kemampuan ekstrak adalam menghambat kerja enzim di mulut, sedangkan
pengujian inhibisi dari ekstrak yang telah diberi perlakuan pH berguna untuk memperkirakan
kemampuan ekstrak dalam menghambat kerja enzim di usus halus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH ekstrak teh tidak dipengaruhi oleh suhu penyeduhan,
waktu penyeduhan, serta interaksi keduanya (p 0.05). Nilai pH ekstrak awal berkisar antara 4.935.06. Nilai inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal teh hitam tidak dipengaruhi oleh suhu
penyeduhan dan waktu penyeduhan (p 0.05), namun interaksi keduanya memengaruhi besarnya
inhibisi (p 0.05). Nilai inhibisi ini diduga dapat menggambarkan besarnya daya hambat pada enzim
amilase saliva. Ekstrak teh yang paling baik dalam menghambat enzim alfa amilase (dibandingkan
dengan Acarbose sebagai kontrol positif) adalah teh yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit
(95.13%), 70oC selama 30 menit (97.92%), 100oC selama 5 menit (97.54%), dan 100oC selama 15
menit (96.04%). Setelah melewati proses pencernaan secara in vitro, ekstrak yang masih memiliki
besar inhibisi yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose (Acarbose juga diuji setelah melewati proses
pencernaan secara in vitro) adalah teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC 15 menit (87.14%) dan
100oC 5 menit (85.40%). Daya inhibisi alfa amilase ekstrak mengalami penurunan (p 0.05) setelah
mengalami proses pencernaan in vitro.

Ekstrak awal terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase dipengaruhi oleh faktor waktu
penyeduhan, suhu penyeduhan, dan interaksi keduanya (p 0.05). Ekstrak yang memiliki daya
hambat yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose adalah teh yang diseduh pada 70oC 30 menit
(98.36%) dan 100oC 30 menit (99.42%). Karena di dalam tubuh alfa glukosidase tidak terdapat pada
saliva dan hanya terdapat pada usus halus maka penentuan ekstrak yaang terbaik adalah ekstrak yang
menunjukkan daya inhibisi tertinggi setelah melalui proses pencernaan in vitro yang adalah ekstrak
hasil penyeduhan 70oC 15 menit (97.74%), 100oC 15 menit (98.37%), dan 100oC 30 menit (97.94%).
Daya inhibisi alfa amilase ekstrak tidak mengalami perubahan (p 0.05) setelah mengalami proses
pencernaan in vitro.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan asupan kalori
karbohidrat maka disarankan meminum teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit.
Kondisi penyeduhan tersebut merupakan kondisi paling baik dalam menghambat aktivitas enzim alfa
amilase dan alfa glukosidase.
Total fenol ekstrak tidak dipengaruhi oleh suhu (p 0.05) namun dipengaruhi oleh waktu
penyeduhan dan interaksi keduanya (p 0.05). Total fenol tertinggi diperoleh dari ekstrak teh yang
diseduh pada 100oC 15 menit, yaitu sebesar 22.82 mg GAE/g. Total fenol pada ekstrak yang diseduh
100oC 15 menit berbeda nyata dari ekstrak lainnya. Berdasarkan uji statistik, total fenol memiliki
korelasi negatif terhadap nilai inhibisi alfa glukosidase (p 0.05 dengan koefisien korelasi -0.825) dan
juga tidak memiliki korelasi terhadap nilai inhibisi alfa amilase (p 0.05).
Kadar tanin ekstrak dipengaruhi oleh suhu, waktu penyeduhan, dan interaksi keduanya (p
0.05). Ekstrak hasil penyeduhan 70oC 15 menit dan 70oC 30 menit menghasilkan kadar tanin yang
tidak berbeda nyata dan jumlahnya paling tinggi, yaitu masing-masing 4.01% dan 4.20%. Kadar tanin
tidak memiliki korelasi terhadap nilai inhibisi alfa glukosidase (p 0.05) tetapi memiliki korelasi
yang kuat terhadap nilai inhibisi alfa amilase (p 0.05 dengan koefisien korelasi 0.892).

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENYEDUHAN TEH HITAM (Camellia sinensis) SERTA
PROSES PENCERNAAN SECARA IN VITRO TERHADAP PENGHAMBATAN AKTIVITAS
ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
SURIAH ANGGRAENI
F24070073

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Judul Skripsi

Nama
NIM

:
:

Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta
Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa
Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro
Suriah Anggraeni
F24070073

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M. Si)


NIP. 19680723 199203.2.001

Mengetahui:
Plt. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M. Si)


NIP. 19610802 198703.2.002

Tanggal Lulus : 11 November 2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Suhu
dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro
terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro
adalah hasil karya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 30 Oktober 2011


Yang membuat pernyataan

Suriah Anggraeni
F24070073

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Serang tanggal 25 September 1988 sebagai anak bungsu


dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Masno, SE dan Ibu Aminah.
Penulis menempuh pendidikan formal pertamanya di TK Pertiwi SerangBanten selama 1 tahun, dilanjutkan di SDN 8 Serang dari tahun 1995 hingga
2001. Sekolah menengah pertama ditempuh di SLTP Negeri 7 Serang dari
tahun 2001 hingga 2004. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SMA
Negeri 1 Cipocok Jaya pada tahun 2004 hingga 2007. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP).
Selama masa perkuliahan, penulis terlibat aktif dalam berbagai organisasi
seperti anggota paduan suara Agriaswara, anggota organisasi kesenian sunda Gentra Kaheman,
anggota organisasi daerah KMB (Keluarga Mahasiswa Banten), dan anggota Himpunan Mahasiswa
Teknologi Pangan (Himitepa). Penulis pernah mendapatkan dana hibah dalam Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM) sebanyak empat kali atas ide-ide kreatifnya selama masa kuliah. Pada tahun 2010,
penulis terpilih sebagai finalis dalam lomba Internasional yang diadakan UNESCO dan Imagine
Africa bertema 10 Ideas for Tomorrow Africa. Selama masa perkuliahan penulis menerima beasiswa
dari Program Pengembangan Akademik (PPA) selama 1 tahun dan setelah itu menerima beasiswa dari
Goodwill Scholarship Leadership Award dari Yayasan Goodwill Internasional selama 2 tahun.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi
dengan judul Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh Hitam (Camellia sinensis) serta Proses
Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa
Glukosidase secara In Vitro dibawah bimbingan Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi
ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Pengaruh Suhu dan Lama Penyeduhan Teh
Hitam (Camellia sinensis) serta Proses Pencernaan secara In Vitro terhadap Penghambatan
Aktivitas Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase secara In Vitro dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan sejak bulan Februari sampai Juli 2011.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Hj. Endang Prangdimurti, M.Si, sebagai dosen pembimbing atas segala saran,
bimbingan, nasihat, dan bantuan yang telah diberikan.
2. Keluarga terkasih: Bapak Masno, Mamah Aminah, Teh Mira, Kakek-Nenek, Annisa, Teh
Asiah, dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.
3. Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc, selaku dosen
penguji yang telah bersedia menguji pada ujian saya.
4. Teman satu bimbingan: Achmad Riffi Julian dan Elizabeth Setyo.
5. Teman-teman satu lab: Mba Ilul Urifah, Ricky Sinaga, Mba Dian, Mba Rizki, Khafid, Dimas,
Ka Manik, Tiara, Mba Muslikatin, Sarah, Nida, Lukman, Ka Ste, Cipi dan lainnya yang silih
berganti menggunakan Lab Biokim.
6. Para laboran dan staf : Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Rojak, Mba Vera, Pak Aldi, Pak Sobirin,
Pak Sidiq, Bu Antin, dan lainnya.
7. Seluruh staf UPT terkhusus untuk Ibu Novi dan Mba Ani.
8. Teman-teman ITP: Renny, Tia, Lia, Imel, Dhina, Alia, Annisa Sita, Rina Ristyawati (Almh.),
Hanna Mery, Sri, Anis, Puji, Tiko, Tami, Desir, Irwan, Lailya, Nurin, Nadiah, Della,
Chandra, Kurce, Fitri, Ashari, Malik, Ratih, Amel, Marki, Tece, dan lainnya atas
kebersamaan selama masa perkuliahan.
9. Teman-teman Asrama: Nursida, Lilis, Dyah, Devi, Galuh, Anisa, Jenita, dan Enjiem.
10. Teman-teman TPB : Cutrisni, Tania, Sarah, Dhika, Leli, Nunu, dan Astari.
11. Teman satu SMA di IPB : Ade dan Wondo
12. Teman matrikulasi : Alifta
13. Keluarga Bateng 69 : Teh Rena, Teh Meiy, Teh Poppy, Teh Ayu, Cipo, Jamil, Teh Ayun,
Teh Asti, Ka Nadia, Teh Asme, Ka Bianca, Teh Abe, dan Teteh.
14. Keluarga Wisma Intan : Sari, Mba Vita, Mba Kut, Mba Evi, Ka Nunuz, Mba Tetri, Mba
Annky, dan Ibu kostan serta keluarga.
15. Dikti atas Program Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA)
16. Keluarga besar Yayasan Goodwill Internasional
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang
nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu dan teknologi pangan.
Bogor, 30 Oktober 2011
Suriah Anggraeni

iii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...........................................................................................................................iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................................viii
I.

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A.

Latar Belakang........................................................................................................................... 1

B.

Tujuan........................................................................................................................................ 2

II.

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3


A.

Teh Hitam.................................................................................................................................. 3

B.

Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase ............................................................................... 8

C.

Proses Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat..................................................................... 10

D.

Inhibitor Enzim........................................................................................................................ 13

III.

METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................................. 15

A.
B.

Bahan dan Alat ........................................................................................................................ 15


Metode Penelitian .................................................................................................................... 15
Ekstraksi.............................................................................................................................. 16
Perlakuan pH Simulasi Sistem Pencernaan In vitro ............................................................ 16
Pengujian............................................................................................................................. 17
a) Pengujian inhibisi enzim alfa amilase............................................................................. 17
b) Pengujian inhibisi enzim alfa glukosidase ...................................................................... 17
c) Pengujian total fenol ....................................................................................................... 17
d) Pengujian kadar tanin...................................................................................................... 17
4. Prosedur .............................................................................................................................. 18
a) Inhibisi enzim alfa amilase (Thalapaneni et al. 2008) .................................................... 18
b) Inhibisi enzim alfa glukosidase (Mayur et al. 2010) ....................................................... 19
c) Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu dalam Zega 2010) 20
d) Uji kadar tanin (Nugraha 1999) ...................................................................................... 20
5. Analisis Statistik.................................................................................................................. 21
1.
2.
3.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 22

A.

Ekstraksi Teh Hitam ................................................................................................................ 22

B.

Nilai pH Ekstrak Teh Hitam .................................................................................................... 23

C.

Inhibisi Enzim Alfa Amilase ................................................................................................... 23


a.
Inhibisi Enzim Alfa Amilase pada Ekstrak Awal................................................................ 23

iv

b.

Inhibisi Enzim Alfa Amilase setelah Melewati Pencernaan................................................ 25

a.
b.

Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase............................................................................................. 26


Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase pada Ekstrak Awal ......................................................... 26
Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase setelah Melewati Pencernaan ......................................... 27

a.
b.

Total Fenol .............................................................................................................................. 29


Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase..................................................................... 32
Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase .............................................................. 32

a.
b.

Kadar Tanin ............................................................................................................................. 34


Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase ................................................................... 37
Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase............................................................. 38

D.

E.

F.

IV.

SIMPULAN DAN SARAN..................................................................................................... 40

A.

Simpulan.................................................................................................................................. 40

B.

Saran........................................................................................................................................ 40

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................... 41
LAMPIRAN ......................................................................................................................................... 47

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi tanaman teh............................................................................................................. 4
Tabel 2. Komposisi kimia teh hitam ....................................................................................................... 6
Tabel 3. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam................................................................................ 7
Tabel 4. Prekursor dan kadar theaflavin pada teh hitam......................................................................... 7
Tabel 5. Klasifikasi karbohidrat............................................................................................................ 11
Tabel 6. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa amilase.................................................... 19
Tabel 7. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa glukosidase ............................................. 20

vi

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Pucuk daun teh (Hill 2009) ................................................................................................... 3
Gambar 2. Struktur dasar flavonoid (Lazarus et al. 2000) ...................................................................... 5
Gambar 3. Struktur theaflavin (Whampler 2011) ................................................................................... 8
Gambar 4. Struktur enzim alfa amilase (Bayer et al. 1995).................................................................... 9
Gambar 5. Stuktur enzim alfa glukosidase (Bayer et al. 1995) .............................................................. 9
Gambar 6. Bagan proses pencernaan karbohidrat (Muchtadi et al. 1993) ............................................ 12
Gambar 7. Bagan proses fermentasi karbohidrat di kolon (Cummings dan Mann 2009) ..................... 13
Gambar 8. Diagram alir penelitian ....................................................................................................... 16
Gambar 9. Nilai inhibisi enzim alfa amilase dari ekstrak teh hitam ..................................................... 26
Gambar 10. Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase dari ekstrak teh hitam............................................. 28
Gambar 11. Total fenol ekstrak awal teh hitam .................................................................................... 31
Gambar 12. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal............... 32
Gambar 13. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal ........ 33
Gambar 14. Faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein (Kawamoto et al.
1997) .............................................................................................................................. 36
Gambar 15. Kadar tanin pada ekstrak teh awal .................................................................................... 37
Gambar 16. Grafik hubungan kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal ............. 38
Gambar 17. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal . 39

vii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam ........................................................................... 48
Lampiran 2. Data pH ekstrak awal ....................................................................................................... 49
Lampiran 3. Hasil uji statistik pH ekstrak awal teh hitam .................................................................... 50
Lampiran 4. Data inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal.................................................................. 51
Lampiran 5. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal .............................................. 52
Lampiran 6. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu ekstrak awal terhadap inhibisi amilase......... 53
Lampiran 7. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa amilase oleh
ekstrak awal................................................................................................................. 54
Lampiran 8. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses
pencernaan in vitro ...................................................................................................... 55
Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati
proses pencernaan in vitro........................................................................................... 56
Lampiran 10. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa amilase...................................................................... 57
Lampiran 11. Data inhibisi enzim alfa glukosidase teh hitam .............................................................. 58
Lampiran 12. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal...................................... 59
Lampiran 13. Hasil uji statistik faktor suhu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase..... 60
Lampiran 14. Hasil uji statistik faktor waktu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa glukosidase 61
Lampiran 15. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose pada
inhibisi enzim alfa glukosidase................................................................................. 62
Lampiran 16. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose
pada inhibisi enzim alfa glukosidase ........................................................................ 63
Lampiran 17. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati proses
pencernaan in vitro ................................................................................................... 64
Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan untuk inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah
melewati proses pencernaan in vitro......................................................................... 65
Lampiran 19. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa glukosidase ............................................................... 66
Lampiran 20. Tabel dan kurva standar asam galat................................................................................ 67
Lampiran 21. Data total fenol ............................................................................................................... 68
Lampiran 22. Hasil uji statistik total fenol............................................................................................ 69
Lampiran 23. Hasil uji lanjut Duncan untuk waktu penyeduhan total fenol......................................... 70
Lampiran 24. Uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol ....................................... 71
Lampiran 25. Uji lanjut Duncan untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol ................... 72
Lampiran 26. Data kadar tanin ............................................................................................................. 73
Lampiran 27. Hasil uji statistik kadar tanin .......................................................................................... 74
Lampiran 28. Nilai rataan pada suhu yang berbeda nyata pada kadar tanin (Hasil uji lanjut Duncan
untuk suhu penyeduhan tidak ditampilkan karena kurang dari tiga jenis)................ 75
Lampiran 29. Hasil uji Duncan untuk waktu penyeduhan kadar tanin ................................................. 76
Lampiran 30. Hasil uji statistik untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin .................. 77
Lampiran 31. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin ................... 78
Lampiran 32. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim alfa amilase ................................................. 79
Lampiran 33. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim glukosidase ................................................. 80
Lampiran 34. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa amilase ............................................... 81
Lampiran 35. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa glukosidase......................................... 82

viii

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat penting bagi makhluk hidup
dikarenakan kandungan energi yang disimpannya. Karbohidrat (pati dan gula) menyumbangkan
80% kalori dari total kalori yang dibutuhkan dan memberikan nilai energi fisiologis 4 Kkal/g
(Muchtadi et al. 2006). Walaupun karbohidrat bukan satu-satunya sumber energi namun
karbohidrat merupakan sumber energi yang paling murah sehingga banyak dikonsumsi.
Kelebihan dalam mengonsumsi karbohidrat banyak dihubungkan dengan berbagai macam
penyakit seperti carries gigi, penyakit jantung koroner, kanker, diabetes mellitus, dan
kegemukan atau obesitas.
Jumlah penderita penyakit degeneratif cenderung meningkat secara signifikan. Salah satu
penyakit degeneratif yang mengalami peningkatan adalah Diabetes Melitus (DM). WHO (2011)
menunjukkan bahwa sekitar 346 juta penduduk dunia menderita DM. The International Diabetes
Federation (IDF) (2011) memperkirakan bahwa pada tahun 2030, penderita diabetes akan
meningkat menjadi 438 juta jiwa. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melakukan pendataan
terakhir pada tahun 2007, yaitu sekitar 12.5 juta jiwa penduduk Indonesia mengalami diabetes
dan diperkirakan jumlahnya meningkat menjadi 21.3 juta jiwa pada tahun 2030 (Riskesdas
2007).
DM merupakan salah satu penyakit degeneratif, dimana terjadi gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein serta ditandai dengan tingginya kadar gula dalam darah
(hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria). DM disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam
darah (hiperglikemia) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Absolut
berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya di bawah normal atau di
atas normal atau daya kerjanya lemah (Depkes 2003). Hormon insulin diproduksi oleh kelenjar
pankreas dan dibutuhkan tubuh untuk mengubah glukosa menjadi energi. DM diklasifikasikan
menjadi dua jenis, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan oleh tubuh yang tidak
dapat memproduksi insulin sehingga penderita kekurangan insulin dalam darahnya dan
membutuhkan suntikan insulin. DM tipe 2 terjadi bila tubuh tidak cukup memproduksi insulin
atau kehilangan sensitifitas dalam membuat insulin.
Pencegahan DM pada individu yang beresiko dapat dilakukan melalui modifikasi gaya
hidup (pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan dukungan
program edukasi berkesinambungan (Depkes 2005). Pencegahan DM juga dapat dilakukan
dengan mendorong masyarakat mengonsumsi pangan fungsional yang berfungsi untuk
membatasi asupan kalori dengan jalan menghambat kerja enzim pemecah karbohidrat seperti
enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Dengan menghambat kedua enzim tersebut, diharapkan
sebagian karbohidrat tidak terserap di usus halus dan langsung memasuki usus besar untuk
difermentasi. Namun karbohidrat yang berlebihan pada usus juga dilaporkan dapat menimbulkan
beberapa gangguan. Cummings dan Mann (2009) menghubungkan kelebihan karbohidrat dengan
beberapa gangguan perut, seperti produksi gas berlebih yang menimbulkan rasa tidak nyaman
pada perut atau flatulensi, serta produksi biomassa mikroba usus yang meyebabkan efek laktasif
seperti mulas dan diare.
Belakangan ini komponen bahan aktif dari beberapa tanaman obat, bahan pangan, dan
produk pertanian lainnya telah secara empiris dilaporkan mempunyai aktivitas biologis yang
berguna untuk pengobatan penyakit diabetes. Efek hipoglikemik komponen bioaktif pada

tanaman dapat mengembalikan fungsi sel pankreas sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin,
menghambat absorpsi glukosa di usus dan menghambat kerja enzim alfa amilase dan alfa
glukosidase. Kebanyakan tumbuhan yang mengandung senyawa bioaktif seperti glikosida,
alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan karotenoid mempunyai aktivitas antidiabetes (Kim et al. 2006
diacu dalam Suarsana et al. 2008).
Teh adalah minuman yang berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) yang sudah
banyak diteliti memiliki banyak khasiat. Komponen bioaktif yang terkenal ada pada teh adalah
polifenol yang berkontribusi sebesar 25-30% berat kering (Ullah 1991). Teh dan polifenolnya
dilaporkan memiliki efek antioksidan (Wan et al. 2009), mencegah kanker dan menekan
karsinogenesis prostat (Lin 2009a), mencegah inflamasi (Ramji et al. 2009), menghambat
proliferasi sel kanker payudara (Lin et al. 2009b), mengontrol berat badan (Shi et al. 2009),
menekan lipogenesis dan obesitas (Lin et al. 2009c), serta menghambat enzim alfa amilase (Hara
dan Honda 1990 diacu dalam Thalapaneni 2008).
Berdasarkan proses pengolahannya, teh pada umumnya digolongkan menjadi tiga jenis,
yaitu teh hijau, teh hitam, dan teh oolong. Teh hijau diproses tanpa fermentasi, teh oolong
diproses dengan setengah fermentasi, dan teh hitam difermentasi dengan sempurna. Dari ketiga
jenis teh tersebut, teh hitam merupakan teh yang paling banyak dikonsumsi. Konsumsi teh hitam
didunia mencapai 80% dibandingkan konsumsi jenis teh lainnya (Huang 2006). Di Indonesia,
angka konsumsi teh hitam lebih tinggi dari pada angka konsumsi teh hijau. Pada tahun 2005,
angka konsumsi teh hitam mencapai 67.9 juta ton sedangkan teh hijau hanya mencapai 31.3 juta
ton (Wan et al. 2009).
Teh hitam memiliki komponen bioaktif yang diduga mampu menghambat enzim-enzim
pencernaan seperti enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Kedua enzim tersebut berperan
penting dalam pemecahan karbohidrat kompleks menjadi glukosa yang akan diserap tubuh.
Penghambatan kedua enzim oleh teh diharapkan dapat mereduksi jumlah glukosa pada usus
sehingga dapat digunakan untuk mencegah atau menjaga kadar gula darah pada penderita DM.

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu dan suhu penyeduhan teh
hitam serta proses pencernaan secara in vitro terhadap penghambatan aktivitas enzim alfa
amilase dan enzim alfa glukosidase secara in vitro sebagai salah satu upaya untuk mengurangi
asupan glukosa pada penderita DM.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teh Hitam
Teh merupakan jenis minuman penyegar yang digemari oleh masyarakat Indonesia.
Minuman teh berasal tanaman teh (Camellia sinensis) yang diambil dua sampai tiga pucuk
daunnya yang paling ujung (terminal leaves) beserta batang muda (growing apex) melalui proses
pengolahan tertentu. Pucuk daun teh dapat dilihat pada Gambar 1. Kusumaningrum (2008)
menyatakan bahwa tanaman teh dapat tumbuh dengan baik di daerah pegunungan beriklim sejuk
dengan ketinggian lebih dari 1800 meter di atas permukaan laut dan sampai saat ini sudah ada
3000 jenis teh yang berasal dari satu jenis tanaman dengan hasil perkawinan silangnya.
Klasifikasi tanaman teh dapat di lihat pada Tabel 1.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen teh terbesar di dunia. Pada tahun 2005,
FAO mendata negara penghasil teh terbesar di dunia adalah Cina, India, Kenya, Srilangka,
Turki, Indonesia, dan Vietnam, dengan persentase output dari total produksi teh secara global
sebesar masing-masing 26.68%, 26.49%, 9.38%, 9.05%, 5.87%, 4.73%, dan 2.97% (Wan et al.
2009).

Gambar 1 Pucuk daun teh (Hill 2009)

Komposisi kimia pucuk daun teh sangat bervariasi, tergantung dari musim, faktor iklim
seperti temperatur yang sesuai, hujan, dan pemaparan sinar matahari, serta agroteknik seperti
pemangkasan, peneduhan (shade), dan fertilizer treatment. Berdasarkan teh yang ditanam
dengan perlakuan yang baik dan pada umumnya, pucuk teh mengandung senyawa polifenolik
dengan jumlah yang perlu diperhitungkan dan kafein sebanyak 2-5% (Ullah 1991).
Nasution dan Tjiptadi (1975) mengemukakan bahwa daun teh mengandung beberapa zat
kimia yang digolongkan menjadi tujuh. Ketujuh golongan tersebut antara lain: 1) bahan-bahan
anorganik, yaitu Al, Mn, P, Ca, Mg, Fe, Se, Cu, dan K, 2) ikatan-ikatan nitrogen, yaitu protein,
asam amino, alkaloid, dan kafein, 3) karbohidrat dan ikatannya yaitu gula, pati, dan pektin, 4)
polifenol dan turunannya, yaitu asam galat, katekin, tanin, theaflavin, dan thearubigin, 5)
pigmen, yaitu klorofil, anthosianin, dan flavon, 6) enzim, yaitu polifenol oksidase, peroksidase,
pektase, dan 6) vitamin, yaitu vitamin C dan vitamin E. Sedangkan Eden (1958) mengatakan
bahwa teh juga mengandung vitamin B2.

Tabel 1. Klasifikasi tanaman teh


Kingdom

Plantae

Divisi

Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub divisi

Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)

Kelas

Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)

Sub kelas

Dialypetalae

Ordo (bangsa)

Guttiferales (Clusiales)

Familia (suku)

Camelliaceae (Theaceae)

Genus (marga)

Camellia

Spesies (jenis)

Camellia sinensis

Sumber : Tuminah (2004) diacu dalam Kusumaningrum (2008)

Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu
sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum
dipanaskan dan dikeringkan. Selama itu, enzim yang terdapat pada daun-daun teh akan
mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang ada di dalam teh sehingga menghasilkan
warna, rasa, dan aroma (Hartoyo 2003). Komposisi kimia daun teh sangat berpengaruh terhadap
bubuk teh yang dihasilkan. Hal ini diakibatkan dari pengaruh reaksi-reaksinya selama proses
pengolahan. Komponen-komponen ini berpengaruh langsung terhadap strength, warna, flavour,
dan rangsangan seduhan teh tersebut. Presentase komposisi teh hitam dapat dilihat pada Tabel 2.
Teh hitam yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam menggunakan sistem
pengolahan CTC (Crushing Tearing Curling) jenis mutu Broken Pekoe 1 (BP 1) yang berasal
dari PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas, Bogor. Proses pengolahan teh hitam di perkebunan
ini terdiri dari proses pemetikan, pelayuan, penggulungan atau penggilingan, fermentasi,
pengeringan, sortasi, dan pengepakan.
Pemetikan dilakukan setiap hari menggunakan tangan atau gunting. Keuntungan
pemetikan dengan tangan adalah tingkat selektifitasnya yang tinggi karena pekerja dapat benarbenar memilih pucuk-pucuk yang benar-benar layak petik sedangkan pemetikan dengan gunting
dilakukan apabila pucuk yang harus dipetik jumlahnya banyak sedangkan jumlah tenaga
pemetik tetap.
Pelayuan bertujuan untuk mengeluarkan sebagian cairan sel, merubah susunan sel, dan
untuk menciptakan kondisi yang baik untuk proses penggulungan atau penggilingan. Pelayuan
dilakukan pada suhu 27C-30C selama 10 jam (Panuju 2008).
Penggulungan atau penggilingan bertujuan untuk memecah sel-sel daun, mengeluarkan
cairan sel, dan merusak jaringan daun yang menyebabkan unsur-unsur di dalamnya termasuk
polifenol dan beberapa enzim bergabung menjadi satu. Hasil gilingan yang baik adalah daun
tidak menjadi bubuk dan tidak ada air yang menetes dari alat (Aji 2011). Bentuk gulungan
dipengaruhi oleh kualitas bahan baku serta tingkat kelayuan pucuk.
Fermentasi dilakukan secara oksidatif enzimatis selama 40 menit sampai 4 jam pada suhu
25-32C (Panuju 2008). Waktu yang dibutuhkan untuk seluruh proses fermentasi teh hitam di
PT. Perkebunan Nusantara Gunung Mas adalah sekitar 58 menit (Tirtasujana 1997).
Pengeringan dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim sehingga proses fermentasi
berhenti dan menurunkan kandungan air sampai kira-kira 3% basis basah (Kusumaningrum
2008). Alat yang digunakan untuk proses pengeringan teh hitam terdiri dari Fluid Bed Dryer

(FBD) dan Heat Exchanger. Bubuk teh yang masuk ke FBD disemprot dengan udara panas
yang berasal dari Heat Exchanger. Suhu pengeringan berkisar 110-120C pada saat bubuk teh
baru memasuki alat dan akan menurun menjadi 90-100C pada proses pengeringannya. Waktu
yang dibutuhkan untuk pengeringan adalah 15-18 menit (Tirtasujana 1997).
Sortasi dilakukan untuk memisahkan teh kering dari serat-serat dan kotoran lain serta
untuk mendapatkan ukuran dan warna teh yang sesuai standar. PT. Perkebunan Nusantara
Gunung Mas membedakan mutu teh hitam menjadi 3 macam: 1) Mutu 1 terdiri dari Broken
Pekoe 1 (BP 1), Pekoe Fanning 1 (PF 1), Pekoe Dust (PD), Dust 1 (D1), Fanning, 2) Mutu 2
terdiri dari Dust 2 (D2), Broken Mix (BM), Dust 3 (D3), Raw Material Instant Tea (RMIT), dan
3) Mutu 3 terdiri dari Broken Mix 2 (BM) dan Pluff (Tirtasujana 1997). Bubuk teh yang lolos
pada mesh 12 termasuk BP1, mesh 16 dan 18 termasuk PF, mesh 22 dan 24 termasuk PD, dan
bubuk teh yang keluar dari mesh 30 merupakan jenis Dust (Sartika 2011). Komposisi kimia
pada berbagai jenis mutu tersebut belum diketahui secara pasti perbedaannya namun untuk kadar
katekin, Astill et al. (2001) meneliti senyawa tersebut pada teh hitam berdasarkan mutunya, yaitu
Broken Pekoe (BP), Pekoe Fanning (PF), dan Pekoe Dust (PD). BP mengandung katekin lebih
tinggi dari jenis mutu lainnya, yaitu 0.71%. PF dan PD mengandung kadar katekin yang tidak
jauh berbeda, yaitu masing-masing 0.43 dan 0.48%.
Pengemasan dilakukan dengan menggunakan kemasan paper sack yang dilapisi
alumunium di bagian dalammya sehingga kontak antara teh kering dengan udara luar dapat
dicegah. Dengan proses pengemasan tersebut, kadar air teh hitam menjadi relatif tetap.
Komponen bioaktif paling banyak terdapat pada teh hitam adalah polifenol. Komponen
fenolik yang sebagian besar ada pada teh hitam adalah flavonoid. Flavonoid memiliki struktur
utama yaitu cincin C6-C3-C6 yang mana bagian C3 merupakan cincin heterosiklik yang
mengandung oksigen. Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2. Balentine dan
Robinson (1998) melaporkan flavonoid utama yang ditemukan pada daun teh segar adalah
katekin (flavan-3-ols) dan flavonols. Jenis flavonoid tersebut biasanya mencapai 30% berat
kering pada daun teh. Epigalokatekin galat (EGCG) merupakan jenis katekin yang paling banyak
jumlahnya pada teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Minuman teh hijau dan teh oolong
mengandung 30-130 mg EGCG per cup, sedangkan minuman teh hitam mengandung 0-70 mg
EGCG per cup. Jenis flavonol yang ada pada daun teh berkisar antara 1-2% yaitu dalam bentuk
mono sampai triglikosida dengan kuersetin, kaemferol, myricetin sebagai aglikonnya (Wong et
al. 2009) atau sekitar 5-15 mg per cup (Balentine dan Robinson 1998). Flavonol aglikon juga
ditemukan pada daun teh namun jumlahnya berkurang pada minuman teh karena kelarutannya
yang rendah. Asam-asam fenolik seperti asam galat dan asam kafeat juga terkandung pada teh,
yaitu sebanyak 2-3%. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 2. Struktur dasar flavonoid (Lazarus et al. 2000)

Tabel 2. Komposisi kimia teh hitam


Komponen

Kadar (%)

Selulosa dan serat kasar

34

Protein

16

Klorofil dan pigmen

Pati

0.25

Tanin teh

18

Tanin teroksidasi

Kafein

Asam amino

Mineral

Abu

5.5

Sumber : Nasution dan Tjiptadi (1975)

Teh hitam memiliki pembentuk warna atau pigmen yang khas, yaitu theaflavin,
thearubigin, dan theasinensis. Pigmen-pigmen tersebut termasuk ke dalam kelompok polifenol
yang telah banyak dilaporkan memiliki efek positif bagi kesehatan sehingga dapat digolongkan
menjadi senyawa bioaktif. Pigmen-pigmen tersebut terbentuk pada saat proses fermentasi dalam
pembuatan teh hitam. Theaflavin dibentuk melalui reaksi oksidasi berpasangan (oxidative
coupling) antara katekin jenis katekol (epikatekin dan epikatekin galat) dan katekin jenis
pyrogallol (epigalokatekin dan epigalokatekin galat) (Tanaka et al. 2009). Shahidi dan Naczk
(2004) menyatakan bahwa fermentasi daun teh akan menyebabkan epimerisasi epikatekin dan
epigalokatekin menjadi katekin dan galokatekin. Kedua hasil epimerasi tersebut akan mengalami
oksidasi dengan bantuan katekol oksidase dan menghasilkan o-quinone yang kemudian akan
membentuk kompleks yang disebut theaflavin. Theaflavin yang terdapat pada teh hitam ada
empat jenis, yaitu theaflavin (TF), theaflavin 3 gallat (TF-3-G), theaflavin 3 gallat (TF-3-G),
dan theaflavin 3,3-digallat (TF-3,3-DG). Prekursor dan kadar masing-masing jenis theaflavin
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 sedangkan struktur theaflavin dapat dilihat pada Gambar 3.
Apabila reaksi oksidasi berlangsung terlalu lama, maka theaflavin akan mengalami degradasi
oksidatif yang merupakan reaksi utama dalam pembentukan thearubigin. Sebagian theaflavin
yang terbentuk akan bereaksi dengan katekin kuinon dan menjadi bagian dari kompleks
thearubigin. Total theaflavin dan thearubigin pada teh masing-masing berkisar 3-6% dan 12-18%
(Wong et al. 2009). Sedangkan adanya kondensasi berpasangan antara dua jenis galokatekin,
yaitu epigalokatekin galat (EGCG) dan epigalokatekin (EGC), akan membentuk dimer kuinon
lain, terutama dehidrotheasinensis yang akan dikonversi menjadi theasinensis apabila dipanaskan
atau dikeringkan (Wan et al. 2009).
Senyawa bioaktif diluar flavonoid adalah alkaloid, saponin (triterpenoid saponin), ligan,
dan pigmen. Kafein, theobromin dan theofilin adalah golongan purine alkaloid yang paling
banyak ada pada teh (Wong et al. 2009) yaitu berkisar 3-4% (Ullah 1991). Sejumlah ligan telah
terdeteksi pada teh sebanyak 6%, serta asam amino non protein yang disebut L-theanin (ethylamino-L-glutamic acid) juga dilaporkan merupakan zat bioaktif pada daun teh dengan
jumlah berkisar antara 1.5% - 3% berat kering dan merupakan komponen asam amino utama
dalam teh dengan jumlah lebih dari 50% dari total asam amino bebas (Wan et al. 2009).

Tabel 3. Kadar flavonoid pada minuman teh hitam


Komponen

Kadar (mg/100 g)

Quersetin

2.1

Kaemferol

1.5

Myricetin

0.3

Luteolin

Apigenin

-prosianidin

5.4

Epigalokatekin galat

3.9

Katekin

0.8

Epikatekin

3.7

Epigalokatekin galat

6.0

Epikatekin galat

5.9

Galokatekin

1.9

Naringenin

Hesperitin

Sumber : Kyle dan Duthie diacu dalam Andersen dan Markham (2006)

Tabel 4. Prekursor dan kadar theaflavin pada teh hitam


Prekursor

Jenis Theaflavin

Kadar (% bk)

EC + EGC

TF

0.2 0.3

EC + EGCG

TF-3-G

1.0 1.5

ECG + EGC

TF-3-G

ECG + EGCG

TF-3,3-G

0.6 1.2

Sumber : Wan et al. (2009)


Keterangan:
EC
ECG`
EGC
EGCG

= Epikatekin
= Epikatekin galat
= Epigalokatekin
= Epigalokatekin galat

Gambar 3. Struktur theaflavin (Whampler 2011)

B. Enzim Alfa Amilase dan Alfa Glukosidase


Enzim alfa amilase (-1,4-D-glukan glukanohidrolase, EC 3.2.1.1, endoamilase)
merupakan enzim ekstraseluler yang mampu mengkatalisis hidrolisis ikatan -1,4 glukosidik
pada pati dan glikogen secara acak dari tengah atau bagian dalam molekul, tetapi tidak dapat
menghidrolisis ikatan glukosidik -1,6 pada percabangan amilopektin (Qader et al. 2006).
Produk akhir dari enzim ini adalah oligosakarida dengan konfigurasi alfa pada karbon pertama
(Shetty 2006). Struktur enzim alfa amilase dapat dilihat pada Gambar 4. Sisi aktif terpenting dari
enzim ini adalah Aspartat 197, Glutamat 233, dan Aspartat 300 (McCue et al. 2004).
Cara kerja alfa amilase terjadi melalui dua tahap: pertama, degradasi amilosa menjadi
maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi secara sangat cepat dan
diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat pula. Tahap kedua terjadi relatif sangat
lambat yaitu pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan caranya tidak acak.
Kedua tahap tersebut merupakan kerja enzim alfa amilase pada molekul amilosa saja. Kerja alfa
amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang semuanya
mengandung ikatan glikosidik -1,6 (Winarno 1995).

Alfa amilase bekerja optimum pada pH 7 dan dapat diaktivasi dengan keberadaan ion Cl-,
Br-, dan NO3-, akan tetapi dapat dihambat dengan pereaksi urea dan amida (Guilbauilt 1976).
Penambahan ion kalsium juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas kerja dan menjaga
kestabilan enzim ini.
Enzim alfa amilase dapat ditemukan pada tanaman, jaringan mamalia, dan mikroba. Alfa
amilase murni dapat diperoleh dari berbagai sumber, misalnya dari malt (barley), ludah manusia,
dan pankreas. Enzim ini juga dapat diisolasi dari Aspergillus oryzae dan Bacillus subtilis.

Gambar 4. Struktur enzim alfa amilase (Bayer et al. 1995)

Enzim alfa glukosidase (-D-glukosid. Glukohidrolase, EC 3.2.1.20) adalah enzim yang


mengkatalisis pemecahan ikatan 1,4 -glikosida pada ujung non pereduksi dari
maltooligosakarida dengan melepas -D-glukosa. Enzim ini juga dapat menghidrolisis secara
lambat ikatan 1,6--D-glukosidik sehingga dapat melanjutkan kerja alfa amilase, yaitu
menghidrolisis lanjut -limit dekstrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Struktur enzim ini
dapat dilihat pada Gambar 5. Enzim alfa glukosidase pada pencernaan mamalia berada pada
permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan enzim yang mengkatalisis
proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan (Lebovitz 1997). Enzim ini
memecah pati dari luar dengan mengeluarkan unit-unit glukosa dari ujung bukan pereduksi
polimer pati sehingga hasil akhirnya hanya glukosa. Enzim ini merupakan enzim kunci dalam
metabolisme pati dan glikogen.

Gambar 5. Stuktur enzim alfa glukosidase (Bayer et al. 1995)

C. Proses Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat


Karbohidrat merupakan polihidroksi aldehida ataupun keton. Nama karbohidrat
mempunyai rumus empiris yang menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah karbon hidrat
serta mempunyai nisbah perbandingan C terhadap H terhadap O sebanyak 1: 2: 1 (Muchtadi et
al. 1993). Karbohidrat disintesis oleh tanaman dari air dan karbon dioksida dengan bantuan sinar
matahari. Rumus umum dari karbohidrat adalah (CH2O)n. Glukosa merupakan contoh
karbohidrat yang paling sederhana, dengan rumus molekul C6H12O6. Glukosa sangat mudah larut
dan siap ditransportasikan ke seluruh jaringan tanaman atau hewan yang mana nantinya akan
dioksidasi kembali menjadi air dan karbondioksida. Proses oksidasi tersebut akan menghasilkan
energi bagi tanaman dan hewan melalui proses metabolik seluler (Mann dan Truswell 2009).
Karbohidrat adalah sumber energi yang paling penting bagi hampir seluruh penduduk di
dunia. Bahan pangan utama yang mengandung karbohidrat didapat dari jenis serealia, seperti
nasi, gandum, jagung, barley, rye, oat, millet, dan sorgum. Pangan berbasis karbohidrat
memberikan sekitar 40-80% dari total kalori yang dibutuhkan, tergantung dari budaya dan status
ekonomi (Mann dan Truswell 2009). Pangan berbasis karbohidrat juga memberikan kontribusi
bagi sejumlah protein, vitamin, mineral, komponen pangan lainnya seperti fitokimia dan
antioksidan.
Mann dan Truswell (2009) mengklasifikasikan karbohidrat menjadi tiga kelas
berdasarkan derajat polimerisasinya, yaitu sugars atau gula-gula sederhana, oligosakarida, dan
polisakarida. Klasifikasi karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 5.
Senyawa karbohidrat kompleks (bukan monosakarida) harus dipecah terlebih dahulu
menjadi senyawa yang lebih pendek dan sederhana agar dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Muchtadi et al. (1993) mengemukakan bahwa proses pemecahan karbohidrat ini dibantu oleh
adanya peranan enzim, seperti enzim pemecah pati (amilase atau ptialin), enzim pemecah
disakarida (disakaridase), enzim sukrase intestinal yang menguraikan sukrosa menjadi fruktosa
dan glukosa, enzim maltase intestinal yang menguraikan maltosa menjadi glukosa dan glukosa
dan enzim laktase intestinal yang menguraikan laktosa menjadi galaktosa dan glukosa. Muchtadi
et al. (1993) juga meringkas suatu proses pencernaan karbohidrat ke dalam bagan sederhana
yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Karbohidrat mulai dicerna pada mulut secara mekanik dengan pengunyahan dan kimiawi
oleh enzim amilase saliva yang disekresikan. Enzim amilase saliva hanya memecah pati sebagai
karbohidrat kompleks bukan memecah gula-gula sederhana. Namun, aktivitas pencernaan oleh
enzim tersebut akan terhenti apabila makanan sudah masuk ke lambung melalui kerongkongan
karena adanya asam klorida pada lambung yang memiliki pH 2. Oleh karena itu, hasil
pencernaan yang terjadi di mulut relatif tidak begitu signifikan apabila dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh melalui proses pencernaan oleh enzim-enzim pankreas di usus halus. Pada
lambung karbohidrat dihidrolisis lebih lanjut dengan hadirnya HCl dari mukosa (Astawan M
2009). Setelah itu, hasil hidrolisis dari lambung masuk mukosa usus halus, yaitu berupa
campuran disakarida, -limit dekstrin, dan sebagian kecil monosakarida. Permukaan usus halus
diselimuti oleh mikrofili-mikrofili sehingga memperluas permukaan area penyerapan lebih dari
200 m2. Membran mikrofili biasa disebut dengan istilah brush border. Menurut Cummings dan
Mann (2009), ada tiga enzim utama yang menyelesaikan proses pencernaan karbohidrat menjadi
monosakarida, yaitu 1) glukoamilase (-glukosidase), 2) sukrose isomaltase (mengurangi produk
hasil pencernaan pati dengan mengubahnya menjadi monomer glukosa, serta memecah sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa), dan 3) laktase atau -galaktosidase (menghidrolisis laktosa
menjadi glukosa dan galaktosa).

10

Kelas (Derajat Polimerisasi)

Tabel 5. Klasifikasi karbohidrat


Sub-Kelas

Sugars (1-2)

1. Monosakarida

Komponen Utama
Glukosa, Fruktosa,
Galaktosa

2. Disakarida

Sukrosa, Laktosa,
Maltosa, Trehalosa

3. Polyols
(gula alkohol)

Sorbitol, Mannitol,
Laktitol, Xylitol,
Eritritol

Oligosakarida (3-9)
(Karbohidrat rantai pendek)

1. Malto-oligosakarida

Maltodekstrin

(-glucans)
2. Oligosakarida bukan
-glucan

Rafinosa, Stakiosa,
Fruktooligosakarida,
Galaktooligosakarida,
polidektrosa, inulin

Polisakarida ( 10)

1. Pati (-glucans)

Amilosa, Amilopektin,
Pati termodifikasi

2. Polisakarida bukan
pati

Selulosa, Hemiselulosa,
Pektin, Arabinoxylans,
Glucomannans, Plant
gums dan getah
(mucilages),
Hidrokoloid.

Sumber : Mann dan Truswell (2009)

Glukosa, galaktosa, dan fruktosa dibawa dari usus halus ke liver melalui darah. Liver
mengonversi seluruh fruktosa dan galaktosa menjadi glukosa. Glukosa digunakan sebagai
sumber energi dan disimpan sebagai glikogen apabila jumlahnya sudah berlebih.
Gula alkohol seperti sorbitol dan manitol tidak mempunyai mekanisme yang spesifik
sehingga diserap melalui difusi sederhana. Apabila jumlah gula alkohol yang dikonsumsi
berlebihan, melebihi kapasitas usus halus, maka sebagian tidak diserap di usus halus dan
dibiarkan melewati usus besar. Gula alkohol memiliki bobot molekul yang relatif kecil sehingga
dapat menahan sejumlah air pada usus besar yang dapat mengakibatkan diare.

11

Karbohidrat

Gula

Pati
Amilase/ Ptialin

Dekstrin

Maltosa
Pancreatic
amylase

Intestinal
maltase

Sukrosa

Intestinal
sukrase

Laktosa

Intestinal
laktase

Glukosa

Glukosa
dan
Glukosa

Glukosa
dan
Fruktosa

Galaktosa
dan
Glukosa

Gambar 6. Bagan proses pencernaan karbohidrat (Muchtadi et al. 1993)

Pati resisten, oligosakarida bukan glukan (fruktooligosakarida dsb.), dan polisakarida


bukan pati (selulosa dsb.) tidak dapat dicerna oleh tubuh dan akan dilewati di usus halus dan
memasuki usus besar atau kolon untuk difermentasi. Hal ini diperkirakan karena ikatan kimia
dan bentuk fisik jenis karbohidrat tersebut yang tidak mudah diserap baik oleh brush border
maupun enzim-enzim pankreas, contohnya selulosa memiliki ikatan -1,4 (berkebalikan dengan
pati yang memiliki ikatan -1,4). Perbedaan stereokimia tersebut dapat mencegah proses
hidrolisis selulosa oleh enzim amilase di pankreas. Semua karbohidrat yang memasuki kolon
akan difermentasi dengan bakteri yang hidup di kolon. Bakteri di kolon jumlahnya sekitar 1012
sel/gram.
Proses fermentasi oleh mikroba pada tubuh merupakan proses anaerobik yang unik.
Selain menghasilkan zat sisa seperti hidrogen, karbon dioksida, metana, dan biomassa mikroba,
proses ini juga menghasilkan produk berupa asam lemak rantai pendek seperti asetat, propionat,
dan butirat. Asam lemak rantai pendek lebih mudah larut air sehingga lebih cepat diserap
(Cummings dan Mann 2009). Proses fermentasi karbohidrat di kolon dapat dilihat pada Gambar
7.

12

Laktosa/Gula alkohol
Non-digestable oligosakarida
Pati resisten
Polisakarida bukan pati

Metabolisme Mikroba Anaerobik

Hidrogen
Karbon dioksida
Metana

Uap air dari pernapasan


dan buang angin (flatus)

Asam amino
Urea

Asetat
Propionat
Butirat

Biomassa
mikroba

Darah (Feses)

Feses

Gambar 7. Bagan proses fermentasi karbohidrat di kolon (Cummings dan Mann 2009)

D. Inhibitor Enzim
Zat yang dapat menghambat kerja enzim disebut zat penghambat atau inhibitor enzim.
Sebagian besar enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimiawi tertentu.
Penghambat enzim dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penghambat yang bekerja secara
tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible). Penghambat tidak dapat balik adalah
penghambat yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim
yang penting bagi aktivitas katalitiknya, contohnya adalah senyawa diisoprofilfluorofosfat (DFP)
yang menghambat enzim asetilkolinesterase (enzim yang penting di dalam transmisi impuls
syaraf) (Lehninger 1982). Penghambat dapat balik dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif
dan non kompetitif. Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan
sisi aktif enzim, tetapi apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut.
Penghambat kompetitif ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi
substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada struktur dimensinya.
Penghambat non kompetitif terjadi bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat
substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim sehingga mengakibatkan inaktifasi
dapat balik sisi katalitik. Menurut Lehninger (1982) penghambat nonkompetitif berikatan secara
dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks enzim-substrat (ES), membentuk
kompleks enzim-inhibitor (EI) dan kompleks enzim-subtrat-inhibitor (ESI) yang tidak aktif.
Pada penderita DM, penghambatan terhadap enzim yang berperan dalam hidrolisis
karbohidrat menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan
hiperglikemia setelah makan. Obat yang biasa diberikan pada penderita DM adalah Acarbose.
Acarbose merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari fermentasi mikroorganisme
Actiniplanes utahensis, memiliki berat molekul 645.6, larut air, dan mempunyai nilai pKa 5.1

13

(Info Obat Indonesia 2009). Calder dan Geddes (1989) meneliti bahwa Acarbose menghambat
enzim alfa glukosidase secara kompetitif.
Belakangan ini, berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap
enzim. Banyak peneliti yang tertarik menguji berbagai jenis tanaman dan fitokimia yang
dikandungnya dan diduga dapat menghambat kerja enzim. Senyawa fitokimia tersebut antara
lain dieckol (sejenis florotanin) dari alga coklat Ecklonia cava yang dapat menghambat enzim
alfa amilase dan alfa glukosidase (Lee et al 2010), vasicine dan vasicinol pada daun Adhatoda
vasica Nees sebagai inhibitor enzim alfa amilase, alfa glukosidase, dan sukrase (Gao et al.
2008). Senyawa rosmarinic acid, quersetin, protocatechuic acid, dan para-Coumaric acid pada
tanaman herbal oregano dilaporkan dapat menghambat porcine pankreas amilase in vitro
(McCue et al. 2004). Ono et al. (2005) meneliti bahwa ekstrak daun Nelumbo nucifera mampu
menghambat enzim pankreas amilase dan lipase, namun setelah komponen fenolik pada ekstrak
tersebut dihilangkan, daya hambatnya menghilang. Kayu secang mengandung komponen
kuersetin yang dapat berperan dalam inhibisi enzim -amilase dan -glukosidase (Cai et al.
2007).
Enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol,
luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat (Tadera et al. 2006).
Berbagai kelas senyawa fenolik memang telah banyak diberitahukan sebagai inhibitor enzim alfa
glukosidase. McDougall et al. (2009) mengutarakan bahwa elagitanin, proantosianidin, dan
polifenol pada buah berry (strawberry, claudberry, dsb) dapat menghambat enzim lipase. Shai et
al. (2010) juga meneliti enam jenis tanaman obat yang tumbuh di Phalaborwa-Afrika Selatan,
memiliki kemampuan menghambat yeast alpha glucosidase walaupun belum diteliti lebih lanjut
senyawa bioaktif apa saja yang berperan dalam penghambatan tersebut.
Teh hitam yang memiliki pigmen khas yaitu theaflavin telah banyak diteliti memiliki
kemampuan inhibisi pada beberapa enzim. TF-3 (theaflavin 3,3-digallat) dan EGCG
(epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas inhibisi terhadap UVB-induced phophatidylinositol-3kinase (PI3K). Produksi nitrit dan protein inducible nitric oxide synthase (Inos) dapat dihambat
oleh asam galat, EGC (epigalokatekin), EGCG (epigalokatekin gallat), TF-1 (theaflavin), TF-2
(theaflavin-3-gallat), dan TF-3 (theaflavin 3,3-digallat). Zega (2010) mengatakan bahwa
theaflavin dan theaflavin-3-gallat memiliki aktivitas inhibisi yang tinggi dalam melawan human
hystolytic lymphoma, tetapi kurang efektif dalam melawan acute T-cell leukimia Jurkat,
sedangkan TF-3 (theaflavin 3,3-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) memiliki aktivitas
yang lebih rendah. Lin et al. (2009c) melaporkan bahwa ekstrak teh dan polifenol teh, seperti
TF-3 (theaflavin 3,3-digallat) dan EGCG (epigalokatekin gallat) menghambat enzim yang
berperan dalam lipogenesis fatty acid synthase (FAS).

14

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan dan Alat


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari
PT Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas Bogor grade BP1 (Broken Pekoe 1). Bahan-bahan
yang digunakan untuk menganalisis daya inhibisi enzim alfa amilase antara lain: enzim alfa
amilase porcine pancreas (Sigma A3176), pati murni (Merck), pereaksi asam 3,5-dinitrosalisilat
(DNS), buffer natrium fosfat pH 6.9. Bahan-bahan yang digunakan untuk menganalisis daya
inhibisi enzim alfa glukosidase antara lain: enzim alfa glukosidase dari Saccharomyces
cerevisiae tipe I (Sigma G5003), buffer kalium fosfat pH 6.8, larutan p-nitrofenil--Dglukofiranosida (Sigma N1377), dan Na2CO3. Bahan-bahan yang digunakan untuk mengukur
total fenol antara lain: etanol 95%, folin ciocalteau 50%, Na2CO3 5%, asam galat 250 mg/L, dan
akuades. Kadar tanin diuji dengan menggunakan bahan-bahan seperti HCl 32%, formalin
(HCHO 37%), dan akuades. HCl 11.96 N dan NaOH 10 N digunakan untuk menetapkan pH
proses pencernaan in vitro.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spektrofotometer, pH meter,
sentrifugasi, gelas piala, tabung reaksi, tabung sentrifugasi, kuvet, alat vortex, pipet dan
mikropipet, penangas air, gelas ukur, neraca analitik, alumunium foil, penyaring vakum,
termometer, waterbath, sudip, gelas pengaduk, gelas arloji, corong dan saringan.

B. Metode Penelitian
Penelitian pertama-tama dilakukan dengan menyeduh bubuk teh hitam dengan
menggunakan suhu air dan lama penyeduhan yang berbeda. Ekstrak teh hitam yang didapat dari
penyeduhan kemudian diberi dua perlakuan yang berbeda, yaitu ada yang diberi perlakuan
pengaturan simulasi pH pencernaan dan ada yang tanpa diberi perlakuan (disebut ekstrak awal).
Ekstrak yang dibiarkan seperti ekstrak awal langsung dilakukan beberapa uji, yaitu pengukuran
pH, inhibisi enzim alfa amilase, inhibisi enzim alfa glukosidase, total fenol, dan kadar tanin.
Ekstrak awal yang diberi pengaturan simulasi pH pencernaan pertama-tama diubah pH nya
seperti pH lambung (pH 2) dan didiamkan selama 30 menit kemudian dinaikkan menjadi pH 6.8
seperti pH pada usus halus. Ekstrak tersebut diuji daya inhibisinya terhadap enzim alfa amilase
dan alfa glukosidase. Diagram alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

15

Teh Hitam

Ekstraksi (penyeduhan 4 gram teh hitam dalam 100 ml air pada


suhu awal 70oC dan 100oC selama 5, 15, dan 30 menit)

Ekstrak
Teh Hitam

Pengaturan
simulasi
pH
pencernaan (pH 2 selama 30
menit kemudian pH 6.8)

Pengukuran pH
Pengukuran inhibisi alfa amilase
Pengukuran inhibisi alfa glukosidase
Pengukuran total fenol
Pengukuran kadar tanin

Pengukuran inhibisi alfa amilase


Pengukuran inhibisi alfa glukosidase
Gambar 8. Diagram alir penelitian

1. Ekstraksi
Teh hitam diblender kering sampai menghasilkan partikel halus (bubuk) yang
homogen. Konsentrasi teh hitam dibuat yang sama, yaitu 0.04 g/ml (4 gram teh ditambah
dengan 100 ml air). Teh diseduh dengan perlakuan dua suhu dan tiga waktu penyeduhan
yang berbeda. Suhu air yang digunakan untuk menyeduh yaitu suhu 70C dan suhu 100C
atau mendidih. Sedangkan waktu penyeduhan yaitu 5, 15, dan 30 menit. Larutan teh tersebut
disaring dengan kain saring, disentrifuse pada 3500 rpm selama 10 menit, dan disaring
kembali dengan penyaring vakum menggunakan kertas saring Whatman No. 41. Volume
ekstrak kemudian ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Diagram alir
proses ekstraksi teh hitam dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Perlakuan pH Simulasi Sistem Pencernaan In vitro


Pada percobaan ini, ekstrak teh akan melalui proses pencernaan secara in vitro
dengan mengubah nilai pH sesuai pH saluran pencernaan, yaitu lambung dan usus halus.
Ekstrak teh yang didapat pertama-tama diukur pH nya sehingga didapat pH ekstrak awal.
Kemudian ekstrak diubah pH nya sesuai pH lambung yaitu pH 2 dengan menggunakan

16

kurang lebih tiga sampai empat tetes HCl 11.96 N dan didiamkan selama 30 menit.
Kemudian ekstrak yang pH nya sama dengan pH lambung tersebut diubah kembali mengikuti
pH usus halus, yaitu pH 6.8 dengan penambahan NaOH 10 N sebanyak lima sampai tujuh
tetes.

3. Pengujian
Pengujian daya inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase hanya dilakukan baik
pada ekstrak dengan pH awal maupun pada pH pada usus halus (6.8) setelah melalui pH
lambung (pH 2) selama 30 menit. Pengukuran pH dengan pH meter, total fenol, dan kadar
tanin juga diukur pada ekstrak awal.

a)

Pengujian inhibisi enzim alfa amilase


Pada percobaan ini ingin diketahui pengaruh penambahan teh hitam pada
masing-masing suhu dan waktu penyeduhan serta proses pencernaan secara in vitro
terhadap penurunan aktivitas enzim alfa amilase dalam memecah pati sehingga hasilnya
adalah penurunan daya cerna pati. Pati dihidrolisis oleh enzim alfa amilase menjadi
gula-gula sederhana. Semakin tinggi daya cerna suatu pati berarti semakin banyak pati
yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu yang ditunjukkan oleh semakin banyaknya
glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Glukosa dan maltosa dapat bereaksi dengan DNS
(asam dinitrosalisilat) sehingga kadar keduanya dapat diukur secara spektrofotometri
pada panjang gelombang 540 nm.

b)

Pengujian inhibisi enzim alfa glukosidase


Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas penghambatan enzim alfa
glukosidase yang berasal dari Saccharomyces cerevisiae tipe I secara in vitro.
Pemecahan substrat p-nitrofenil--D-glukofiranosida menjadi p-nitrofenil berwarna
kuning dan glukosa oleh enzim alfa glukosidase. Aktivitas penghambatan enzim diukur
berdasarkan jumlah p-nitrofenil yang dihasilkan dengan mengukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm.

c)

Pengujian total fenol


Analisis total polifenol menggunakan folin-ciocalteau yaitu dengan melihat
kemampuan mereduksi dari komponen fenol. Standar yang digunakan adalah asam
galat. Asam galat merupakan salah satu senyawa asam fenolat terbanyak dalam teh.
Prinsip dari metode ini adalah reduksi dari reagen fosfomolibdat (MoO42-) dan
fosfotungstat (WO42-) sehingga terbentuk kompleks warna biru yang dapat terukur
secara spektrofotometri sinar tampak pada panjang gelombang 725 nm.

d)

Pengujian kadar tanin


Pengukuran kadar tanin secara kuantitatif dilakukan dengan metode gravimetri.
Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin
terkondensasi terhadap formaldehida. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan
sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Ummah 2010).
Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (termasuk golongan

17

flavonoid) atau tanin terkondensasi untuk membentuk kompleks pada struktur flavonoid
yang dapat diendapkan oleh formaldehida (Garro Galvez et al. 1996 diacu dalam
Kassim et al. 2011).

4. Prosedur
a)

Inhibisi enzim alfa amilase (Thalapaneni et al. 2008)


Larutan enzim alfa amilase yang digunakan adalah enzim porcine pancreatic
amylase 1 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A, kontrol B, dan
sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37C selama 10 menit, larutan
pati 1% (b/v) ditambahkan sebanyak 125 l dan diinkubasi kembali pada suhu 37C
selama 10 menit. Setelah inkubasi kedua, pereaksi DNS 0.096 M ditambahkan sebanyak
500 l dan diinkubasi kembali selama 5 menit pada air mendidih. Setelah itu, 5 ml air
suling ditambahkan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540 nm.
Kontrol positif yang digunakan adalah acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari
pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose) dalam 100 ml HCl 2 N.
Buffer natrium fosfat dibuat dari larutan natrium fosfat monobasik 0.02 M
ditambah dengan larutan natrium klorida 0.0067 M dengan perbandingan 1:1, kemudian
campuran larutan tersebut dinaikkan pH nya menjadi pH 6.9 dengan penambahan
NaOH 1 M. Pati 1% (b/v) dibuat dari 1 gram pati kentang soluble dilarutkan dengan
100 ml buffer natrium fosfat, kemudian dididihkan selama 15 menit dan setelah dingin
ditepatkan ke volume awal dengan penambahan akuades. Pereaksi DNS 0.096 M dibuat
dengan melarutkan 1 gram asam 3,5-dinitrosalisilat ke dalam 50 ml akuades yang
dididihkan. Larutan DNS tersebut kemudian dicampurkan dengan larutan natrium
kalium fosfat, yang dibuat dari 30 gram natrium kalium tartrate dipanaskan bersamasama dengan 20 ml NaOH 2 M. Volume campuran larutan tersebut kemudian
ditepatkan sampai 100 ml dengan penambahan akuades.
Tabel 6 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer natrium fosfat, dan
enzim yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi
perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula
sederhana awal pada pati yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan untuk
menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis enzim.
Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh hitam
sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada pati dan teh
hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor yaitu teh.

18

Tabel 6. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa amilase


Larutan

Blanko

Kontrol A

Kontrol B

Sampel (l)

(l)

(l)

(l)

Sampel

125

125

Buffer natrium fosfat

250

125

125

Enzim

125

125

Pati

125

125

125

125

Pereaksi DNS

500

500

500

500

Air suling

5000

5000

5000

5000

Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (1) sebagai berikut:


%

100%

(1)

Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A Absorbansi blanko


A2 = Absorbansi sampel Absorbansi kontrol B

b)

Inhibisi enzim alfa glukosidase (Mayur et al. 2010)


Enzim alfa glukosidase yang digunakan berasal dari Saccharomyces cerevisiae
tipe I dengan aktivitas 0.2 unit/ml. Campuran reaksi terdiri dari blanko, kontrol A,
kontrol B, dan sampel. Kemudian campuran reaksi diinkubasi pada suhu 37C selama
10 menit, larutan p-nitrofenil--D-glukofiranosida 0.0005 M ditambahkan sebanyak 350
l dan diinkubasi kembali pada suhu 37C selama 30 menit. Setelah inkubasi kedua,
tambahkan 1400 l larutan natrium karbonat 0.2 M dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 410 nm. Kontrol positif yang digunakan pada penelitian ini adalah
acarbose 0.5 mg/ml yang diperoleh dari pelarutan 1 tablet Glucobay (50 mg acarbose)
dalam 100 ml HCl 2 N.
Buffer kalium fosfat dibuat dari larutan kalium fosfat monobasik 0.1 M (13.609
gram dilarutkan dalam 1 liter akuades) dan dinaikkan pH nya menjadi 6.8 dengan
penambahan NaOH 1 M. Substrat p-nitrofenil--D-glukofiranosida 0.0005 M dibuat
dengan menimbang 1.505 mg dan dilarutkan dalam 10 ml akuades dingin. Larutan
natrium karbonat 0.2 M dibuat dengan melarutkan 21.198 gram dalam 1 liter akuades.
Tabel 7 menunjukkan kombinasi jumlah sampel, buffer kalium fosfat, dan enzim
yang diberikan pada blanko, kontrol A, kontrol B, dan sampel. Acarbose diberi
perlakuan yang sama seperti sampel. Blanko digunakan untuk menghitung gula-gula
sederhana awal pada substrat yang bukan hasil hidrolisis enzim. Kontrol A digunakan
untuk menghitung seluruh gula baik gula awal maupun gula sederhana hasil hidrolisis
enzim. Kontrol B bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada substrat dan
teh hitam sedangkan sampel bertujuan untuk menghitung gula sederhana awal pada
substrat dan teh hitam serta gula hasil hidrolisis enzim dengan dengan adanya inhibitor
yaitu teh.

19

Tabel 7. Jumlah larutan pada analisis aktivitas inhibisi alfa glukosidase


Larutan

Blanko

Kontrol A

Kontrol B

Sampel (l)

(l)

(l)

(l)

Sampel

140

140

Buffer kalium fosfat

1190

840

1050

700

Enzim

350

350

Substrat

350

350

350

350

Na2CO3

1400

1400

1400

1400

Aktivitas inhibisi ekstrak dihitung menggunakan rumus (2) sebagai berikut:


%

100%

(2)

Keterangan : A1 = Absorbansi kontrol A Absorbansi blanko


A2 = Absorbansi sampel Absorbansi kontrol B

c)

Uji total fenol (Strycharz dan Shetty 2002 dengan modifikasi diacu dalam Zega
2010)
Larutan standar asam galat dibuat pada berbagai konsentrasi, yaitu 50, 100, 150,
200, dan 250 ppm. Pengujian ini menggunakan reagen folin ciocalteau 50% dan
pereaksi Na2CO3 5%.
Pertama-tama, larutan standar atau ekstrak sebanyak 0.5 ml dilarutkan dalam 0.5
ml etanol 95%, 2.5 ml akuades dan 2.5 ml larutan reagen folin ciocalteau. Setelah itu
larutan didiamkan selama 5 menit dalam ruang gelap dan kemudian ditambahkan 0.5 ml
larutan Na2CO3 dan diinkubasi kembali dalam ruang gelap selama 1 jam. Setelah
inkubasi, larutan divorteks dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.

d)

Uji kadar tanin (Nugraha 1999)


Ekstrak teh sebanyak 25 ml atau disetarakan 1 gram sampel teh ditambahkan
HCl 32% sebanyak 5 ml. Kemudian tambahkan 10 ml formalin (HCHO) 37% dan
panaskan selama 30 menit. Larutan kemudian disaring dengan menggunakan kertas
saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan akuades sampai bebas asam.
Endapan yang terbentuk dikeringkan pada suhu 100C selama 24 jam kemudian
ditimbang. Kandungan tanin dari ekstrak dihitung dengan rumus (3) berikut ini:
=

( )

( )

100

(3)

20

5. Analisis Statistik
Data-data yang diperoleh dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak
Lengkap dengan Dua Faktor. Jika perlakuan memberikan pengaruh yang nyata, maka
pengujian dilanjutkan dengan analisis beda Duncan pada taraf 5% untuk mengetahui
pengaruh antar perlakuan. Uji t-test dua berpasangan digunakan untuk mengetahui pengaruh
perbedaan pH terhadap nilai inhibisi enzim amilase.

21

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi Teh Hitam


Ekstraksi adalah penyarian zat-zat aktif pada tanaman. Ekstraksi bertujuan untuk menarik
komponen kimia yang ada pada suatu tanaman. Proses ektraksi teh dilakukan dengan cara
penyeduhan. Isi sel teh hitam akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di
dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti
oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Pada penelitian ini, sebanyak 4
gram teh hitam diseduh dalam 100 ml air. Konsentrasi ekstrak teh hitam dibuat sama sedangkan
suhu air dan waktu penyeduhan bervariasi, yaitu pada suhu 70C dan 100C selama 5, 15, dan 30
menit.
Menurut Laresolo (2008), komposisi yang benar untuk menghasilkan minuman teh
dengan cita rasa yang pas yaitu sebanyak 2 gram bubuk teh diseduh dalam 100 ml air. Walaupun
komposisi tersebut tidak bersifat mutlak karena tiap orang memiliki cita rasa yang berbeda.
Sebagian orang menyukai teh yang kental dan sebagian lagi lebih menyukai teh yang tidak
terlalu kental. Konsentrasi teh hitam yang digunakan pada penelitian ini lebih pekat, yaitu dua
kali lipat dari saran penyajian. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi apabila komposisi yang
disarankan tersebut terlalu encer sehingga kemampuan inhibisi terhadap enzim belum bisa dilihat
atau dihitung.
Perbedaan suhu penyeduhan didasarkan atas kebiasaan masyarakat dalam menyeduh teh.
Pada umumnya, masyarakat memasak air sampai mendidih untuk menyeduh teh, suhu air
mendidih adalah sekitar 100C. Suhu penyeduhan 70C diperoleh dari kebiasaan masyarakat
kota yang sering memakai air panas yang berasal dari dispenser untuk menyeduh teh. Oleh
karena itu, setelah dilakukan pengecekan dengan termometer, suhu air panas yang dihasilkan
mesin dispenser menunjukkan suhu 70C.
Tidak ada ketentuan khusus seberapa lama teh harus diseduh. Namun, apabila teh hitam
diseduh terlalu sebentar maka rasa dan flavor teh kurang muncul sedangkan jika sebaliknya
maka minuman teh akan terasa lebih pahit. Menurut Laresolo (2008) waktu yang sesuai untuk
menyeduh teh adalah 5 menit. Perlakuan penyeduhan teh dibuat selama 5, 15, dan 30 menit
untuk mengetahui perbedaan inhibisi yang dihasilkan oleh komponen bioaktif yang ada dalam
teh jika diseduh dengan waktu yang bervariasi.
Ekstrak teh hitam diberi perlakuan atas perbedaan suhu awal air seduh dan waktu
penyeduhannya. Berdasarkan perbedaan tersebut, terdapat enam ekstrak yang berbeda : 1) teh
hitam yang diseduh pada suhu awal air 70C selama 5 menit, 2) teh hitam yang diseduh pada
suhu awal air 70C selama 15 menit, 3) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 70C selama
30 menit, 4) teh hitam yang diseduh pada suhu awal air 100C selama 5 menit, 5) teh hitam yang
diseduh pada suhu awal air 100C selama 15 menit, dan 6) teh hitam yang diseduh pada suhu
awal air 100C selama 30 menit. Dikarenakan suhu penyeduhan akan menurun seiring lamanya
waktu penyeduhan, maka dilakukan pengecekan suhu akhir. Pada suhu air awal 70C setelah
diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 55,
45, dan 39C. Sedangkan suhu air awal 100C setelah diseduh selama 5, 15, dan 30 menit, suhu
akhir ekstrak teh hitam menurun menjadi masing-masing 81, 61, dan 50C.
Selain ingin mengetahui nilai inhibisi pada ekstrak awal, penelitian ini juga dilakukan
untuk mengetahui apakah ekstrak teh tersebut masih memiliki kemampuan menghambat enzim
alfa amilase dan alfa glukosidase setelah melewati saluran pencernaan. Oleh karena itu, proses

22

pencernaan secara in vitro dikenakan pada ekstrak teh hitam dengan cara mengubah nilai pH
sesuai dengan kondisi saluran pencernaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa makanan pertamatama dicerna di mulut kemudian masuk ke lambung melalui kerongkongan. Kondisi di dalam
lambung sangat asam, yaitu sekitar pH 1-2. Seberapa lama makanan berada di lambung itu
tergantung dari jenis makanan dan berapa banyak jumlah yang dimakan. Rata-rata diperlukan
waktu empat sampai lima jam untuk makanan padat keluar dari lambung sedangkan diperlukan
waktu sekitar 30 menit untuk makanan cair atau minuman mengalir dari lambung ke usus kecil
(Aryani 2011). Miller (1998) juga menambahkan bahwa waktu yang diperlukan lambung untuk
mencerna minuman sekitar 30 menit. Makanan semifluid keluar dari lambung menuju usus halus
yang memiliki pH sekitar netral dan bercampur dengan enzim pencernaan yang diproduksi oleh
pankreas (Siregar 2004), seperti alfa amilase dan alfa glukosidase yang merupakan enzim
pencernaan karbohidrat. Berdasarkan hal tersebut, maka ekstrak teh hitam yang merupakan
cairan atau minuman tersebut diubah pH nya sesuai dengan pH lambung dan didiamkan 30
menit, setelah itu diubah lagi pH larutannya menjadi sekitar pH 6.8 sesuai dengan kondisi usus
halus.

B. Nilai pH Ekstrak Teh Hitam


Teh hitam yang diekstrak dengan suhu dan waktu yang berbeda kemudian diukur derajat
keasamannya dengan menggunakan pH meter. Hasil pengukuran tersebut dinamakan nilai pH
pada ekstrak awal. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa teh hitam yang diseduh pada 70C 5
menit, 70C 15 menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30 menit
masing-masing memiliki nilai pH sebesar 5.00, 5.00, 5.06, 5.02, 5.04, dan 4.93. Analisis statistik
menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu penyeduhan, dan kombinasi keduanya tidak
memengaruhi nilai pH pada larutan ekstrak teh tersebut (p 0.05). Oleh karena itu dapat
diperkirakan bahwa nilai suatu pH larutan tidak dipengaruhi oleh besarnya suhu dan waktu serta
interaksi keduanya pada penelitian ini. Data lengkap dan hasil analisis statistik dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan Lampiran 3.

C. Inhibisi Enzim Alfa Amilase


a. Inhibisi Enzim Alfa Amilase pada Ekstrak Awal
Inhibisi enzim alfa amilase pada ekstrak awal dilakukan untuk melihat kemampuan
ekstrak teh hitam pada kondisi awal dalam menghambat aktivitas enzim alfa amilase. Alfa
amilase terdapat pada saliva dan cairan pankreas. Ekstrak teh awal belum melalui proses
pencernaan in vitro sehingga nilai inhibisi yang dihasilkan dapat menggambarkan dugaan
kemampuan ekstrak teh dalam menghambat enzim amilase saliva. Telah diketahui bahwa
karbohidrat pertama-tama dicerna oleh enzim amilase saliva yang ada di mulut. Bayer et al.
(1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak
jauh berbeda.
Hasil penelitian pada ekstrak teh hitam yang diberi berbagai perlakuan suhu dan
waktu menunjukkan adanya daya hambat terhadap enzim alfa amilase (Gambar 9). Teh hitam
yang diseduh pada 70C 5 menit, 70C 15 menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit, 100C 15
menit, dan 100C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 94.60%, 95.13%,
97.92%, 97.54%, 96.04%, dan 89.14% (Lampiran 4). Kontrol positif yang digunakan adalah
Acarbose yang memiliki daya hambat sebesar 99.12% (Lampiran 4). Widowati (2007)

23

menerangkan bahwa penghambatan enzim alfa amilase berdampak pada penurunan daya
cerna pati yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas hipoglikemik yang berperan positif
untuk penderita diabetes. Ankolekar et al.(2011) meneliti bahwa teh yang telah difermentasi
menunjukkan daya inhibisi enzim alfa amilase yang lebih tinggi dari teh yang tidak
mengalami proses fermentasi, yaitu sekitar 71.60-84.10% dengan waktu ekstraksi teh hitam
selama lima menit.
Analisis statistik ekstrak teh pada pH awal menunjukkan bahwa faktor suhu dan faktor
waktu tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05), sedangkan
interaksi suhu dan waktu penyeduhan memiliki pengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa
amilase (p 0.05) (Lampiran 5).
Interaksi suhu dan waktu diuji kembali dengan melibatkan Acarbose. Hasilnya adalah
interaksi tersebut berpengaruh terhadap nilai inhibisi (p 0.05) (Lampiran 6). Oleh karena
interaksi suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi nilai inhibisi maka data diolah lebih
lanjut dengan uji Duncan (Lampiran 7).
Uji lanjut Duncan menjelaskan empat ekstrak hasil penyeduhan 70C 15 menit, 70C
30 menit, 100C 5 menit, dan 100C 15 menit tidak berbeda nyata dengan Acarbose.
Keempat ekstrak tersebut diduga memiliki senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim
alfa amilase dengan sangat baik. Dengan demikian diperkirakan alfa amilase yang ada pada
saliva juga mengalami penghambatan oleh keempat ekstrak tersebut.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditunjukkan pula bahwa ekstrak hasil penyeduhan
70C 5 menit dan 100C 30 menghasilkan nilai inhibisi yang berbeda nyata dengan
Acarbose, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan nilai inhibisi oleh Acarbose. Hal
tersebut diduga dikarenakan pada kondisi penyeduhan 70C 5 menit diduga senyawa bioaktif
yang mampu menghambat enzim amilase belum banyak terekstrak, sedangkan ekstraksi
100C 30 menit diduga merupakan kondisi penyeduhan yang terlalu lama sehingga
diperkirakan komponen bioaktif yang memiliki kemampuan menginhibisi enzim alfa amilase
mengalami perubahan struktur yang dapat menurunkan daya inhibisinya. Selain itu, mungkin
saja pada kombinasi suhu dan waktu tersebut ada senyawa bioaktif jenis lain yang terekstrak
yang memiliki kemampuan inhibisi enzim alfa amilase yang rendah yang memengaruhi nilai
inhibisi secara keseluruhan karena senyawa bioaktif terekstrak pada waktu dan kondisi yang
berbeda-beda.
Tadera et al. (2006) menemukan bahwa senyawa flavonoid yang memiliki potensi
dalam menghambat enzim porcine pancreatic amylase adalah senyawa luteolin, myricetin
dan quersetin. Minuman teh hitam mengandung myricetin dan quersetin masing-masing
sebesar 0.3 dan 2.1 mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie
diacu dalam Andersen dan Markham 2006). Tadera et al. (2006) juga mengemukakan bahwa
struktur flavonoid yang bertanggung jawab dalam penghambatan enzim alfa amilase adalah
ikatan ganda pada cincin B posisi 2 dan 3, 5-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3, dan
gugus OH pada cincin B. Perubahan pada struktur tersebut diduga dapat menurunkan
kemampuan inhibisinya.

24

b. Inhibisi Enzim Alfa Amilase setelah Melewati Pencernaan


Keenam ekstrak teh setelah melalui simulasi pH sistem pencernaan mengalami
penurunan kemampuan inhibisi enzim alfa amilase. Teh hitam yang diseduh pada kondisi
penyeduhan 70C 5 menit, 70C 15 menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit, 100C 15 menit,
dan 100C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar masing-masing sebesar
72.66%, 87.14%, 10.40%, 85.40%, 23.04%, 23.62%, sedangkan Acarbose sebagai kontrol
positif juga mengalami penurunan daya inhibisi enzim alfa amilase menjadi sebesar 85.18%
(Gambar 9). Data lengkap ekstrak dan Acarbose setelah melalui proses pencernaan in vitro
dapat dilihat pada Lampiran 4. Kondisi ini dapat menggambarkan daya inhibisi teh hitam
terhadap enzim alfa amilase yang bekerja pada usus halus, yaitu enzim amilase pankreas.
Hasil statistik menunjukkan bahwa proses pencernaan in vitro berpengaruh terhadap
nilai inhibisi enzim alfa amilase (p 0.05) (Lampiran 8). Uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa teh yang diseduh pada 70C 15 menit dan 100C 5 menit memiliki nilai hambat
terhadap enzim alfa amilase yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose, yang mana memiliki
nilai inhibisi yang relatif masih tinggi pada kondisi pH usus halus. Hal ini diperkirakan
kombinasi penyeduhan pada 70C selama 15 menit dan suhu 100C selama 5 menit
merupakan kombinasi yang dapat mengekstrak senyawa bioaktif yang mampu menghambat
aktivitas enzim alfa amilase secara optimal walaupun sudah melewati proses pencernaan
secara in vitro (Lampiran 9).
Uji t test dua berpasangan dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara
nilai inhibisi oleh ekstrak pH awal dan oleh ekstrak setelah melewati proses pencernaan in
vitro. Hasil analisis menunjukkan bahwa besar inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak awal
berbeda nyata dengan besar inhibisinya setelah melalui proses pencernaan in vitro (p 0.05)
(Lampiran 10). Dapat dilihat pula pada Gambar 9 bahwa nilai inhibisi enzim alfa amilase
mengalami penurunan setelah melewati proses pencernaan in vitro. Hal ini diperkirakan
bahwa senyawa bioaktif pada teh hitam yang bertanggung jawab dalam menghambat
aktivitas enzim alfa amilase cenderung mengalami perubahan struktur atau tidak stabil
setelah melewati pH lambung in vitro (pH 2) selama 30 menit kemudian dikondisikan berada
pada pH usus halus in vitro (pH 6.8). Peleq et al. (1998) menyatakan bahwa penambahan
asam pada kelompok polifenol seperti katekin, asam galat, dan tanin akan meningkatkan rasa
sepat atau astringency yang disebabkan oleh pengikatan senyawa fenolik dengan enzim
saliva amilase. Bayer et al. (1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva
dan amilase pankreas tidak jauh berbeda. Penelitian yang lain, yaitu Lee et al. (2005)
menyatakan bahwa pada kondisi pH asam theaflavin stabil, tetapi akan terdegradasi dengan
lambat pada pH sekitar netral (pH 7-7.5) sedangkan pada pH 9 theaflavin terdegradasi
dengan cepat. Hal tersebut menerangkan bahwa perubahan pH memengaruhi senyawa
bioaktif dan memengaruhi potensi yang dimilikinya.
Khasiat hipoglikemik yang diberikan oleh ekstrak teh akan lebih optimal apabila dapat
menghambat enzim amilase saliva di mulut dan enzim amilase pankreas di usus halus. Oleh
karena itu, ekstrak teh yang dapat menghambat dua jenis enzim amilase tersebut adalah teh
hitam yang diseduh pada suhu 70C 15 menit dan 100C 5 menit karena menghasilkan nilai
inhibisi yang tinggi, baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui pangaturan simulasi
proses pencernaan.

25

Inhibisi (%)

110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

94.60b

95.13bc

97.92bc

97.54bc

96.04bc

99.12c
89.14a

89.18z

85.40z
72.66y

87.14z

23.04x

23.62x

10.40w
70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

100 C 5
menit

100 C 15 100 C 30 Acarbose


menit
menit

Perlakuan sampel
Ekstrak awal

Ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda untuk kondisi ekstrak yang sama menunjukkan
berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan

Gambar 9. Nilai inhibisi enzim alfa amilase dari ekstrak teh hitam

D. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase


a. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase pada Ekstrak Awal
Inhibisi alfa glukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk mendapatkan informasi
awal apakah ekstrak teh hitam memiliki kemampuan menghambat enzim glukosidase
sebelum diberi perlakuan lain. Hasil penelitian inhibisi enzim alfa glukosidase pada ekstrak
pH awal dapat dilihat pada Gambar 10. Ekstrak hasil penyeduhan 70C 5 menit, 70C 15
menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30 menit memiliki daya
hambat masing-masing sebesar 95.96%, 95.96%, 98.36%, 91.34%, 82.32%, dan 99.42%
sedangkan Acarbose memiliki daya hambat sebesar 99.87% (Lampiran 11). Kwon et al.
(2006) meneliti bahwa teh hitam memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase yang paling
besar diantara jenis teh lainnya, besar inhibisinya mencapai lebih dari 90%. Penelitian
tersebut juga menjelaskan bahwa penghambatan yang lebih tinggi pada enzim alfa
glukosidase disertai penghambatan enzim alfa amilase yang lebih rendah merupakan
kombinasi yang paling baik untuk mengontrol diabetes. Perbedaan penelitian yang dilakukan
Kwon et al. (2006) dengan penelitian ini adalah konsentrasi teh hitam dan unit enzim yang
lebih besar, yaitu masing-masing 0.1 g/ml dan 1 unit/ml, cara analisis dengan menggunakan
jumlah enzim yang lebih besar dua kali lipat dari jumlah substrat yang ditambahkan, serta
cara ekstraksi yang menggunakan refluks selama 1 jam.
Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor suhu, faktor waktu dan interaksi
keduanya berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran
12). Interaksi suhu dan waktu penyeduhan teh hitam dan Acarbose berpengaruh terhadap
nilai inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran 15).

26

Suhu penyeduhan 70C menghasilkan daya inhibisi yang lebih tinggi (96.76%)
dibandingkan dengan daya inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak menggunakan suhu
penyeduhan 100C (91.03%) (Lampiran 13). Besar penghambatan enzim alfa glukosidase
dari yang paling tinggi sampai paling rendah dihasilkan oleh ekstrak yang diseduh selama 30
5 15 dengan daya hambat sebesar masing-masing 98.98 93.64 89.14% (Lampiran
14).
Lampiran 16 menunjukkan bahwa ekstrak hasil penyeduhan 70C 30 menit dan 100C
30 menit menghasilkan daya hambat enzim alfa glukosidase yang besarnya tidak berbeda
nyata dengan kontrol positif (Acarbose) dimana nilai inhibisinya paling tinggi. Hal ini
diperkirakan karena senyawa bioaktif yang terdapat pada kedua ekstrak tersebut memiliki
kemampuan menginhibisi enzim alfa glukosidase yang besarnya setara dengan Acarbose.
Tadera et al. (2006) melaporkan bahwa enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara
efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan
epigalokatekin galat. Katekin, epikatekin, dan epigalokatekin galat terkandung dalam
minuman teh hitam sebesar 0.8, 3.7, 6.0 mg/100 g namun belum diketahui mengandung
naringenin dan apigenin (Kyle dan Duthie). (Tadera et al. 2006) juga menambahkan bahwa
senyawa flavonoid lain yang berpotensi menghambat enzim alfa glukosidase yang berasal
dari khamir adalah antosianidin, isoflavon, dan kelompok flavonol. Valant-Vetschera dan
Wollenweber diacu dalam Andersen dan Markham (2006) memaparkan bahwa quersetin,
kaemferol, dan myricetin termasuk ke dalam golongan flavonol. Minuman teh hitam
mengandung kaemferol, myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 1.5, 0.3, dan 2.1
mg/100 g namun belum diketahui mengandung luteolin (Kyle dan Duthie diacu dalam
Andersen dan Markham 2006). Tadera et al. (2006) meneliti bahwa struktuf flavonoid yang
memiliki andil dalam penghambatan enzim alfa glukosidase adalah cincin C tidak jenuh
(unsaturated), 3-OH, 4-OH, ikatan pada cincin B di posisi 3, dan gugus hidroksil pada
cincin B.

b. Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase setelah Melewati Pencernaan


Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase setelah melalui proses pencernaan in vitro pada
teh hitam yang diseduh pada 70C 5 menit, 70C 15 menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit,
100C 15 menit, dan 100C 30 menit memiliki daya hambat masing-masing sebesar 90.56%,
97.74%, 96.15%, 87.10%, 98.37%, 97.94%, dan Acarbose memiliki daya hambat sebesar
99.48% (Gambar 10). Data lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Uji statistik menunjukkan bahwa proses pencernaan secara in vitro memengaruhi nilai
inhibisi enzim alfa glukosidase (p 0.05) (Lampiran 17). Teh hitam yang diseduh pada 70C
15 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30 menit memiliki daya hambat yang tidak berbeda
nyata dengan Acarbose sebagai kontrol positif (Lampiran 18). Oleh karena itu, dapat
diperkirakan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan yang paling baik untuk
menghambat enzim alfa glukosidase adalah teh hitam yang diseduh pada 70C 15 menit,
100C 15 menit, dan 100C 30 menit.
Uji t-test dua berpasangan menunjukkan bahwa besar inhibisi alfa glukosidase oleh
ekstrak awal tidak berbeda nyata dengan besar inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak setelah
melalui proses pencernaan in vitro (p value 0.05) (Lampiran 19). Hal ini diperkirakan
bahwa senyawa bioaktif yang dapat menghambat enzim alfa glukosidase memiliki
kecenderungan tahan terhadap perubahan pH.

27

Kombinasi penghambatan enzim alfa amilase dan alfa glukosidase sebagai enzim
kunci dalam pemecahan karbohidrat diharapkan dapat memberikan efek hipoglikemik
dengan cara mengurangi asupan glukosa untuk para penderita diabetes, terutama diabetes tipe
2. Berdasarkan hasil penelitian, ekstrak teh hitam yang baik untuk menekan asupan
karbohidrat kompleks (pati) adalah ekstrak yang dapat menekan aktivitas enzim alfa amilase
(saliva dan pankreas) secara optimal, yaitu teh yang diseduh pada waktu relatif singkat
dengan kombinasi suhu 70C selama 15 menit dan suhu 100C selama 5 menit. Ekstrak teh
yang dapat menekan asupan gula-gula sederhana melalui penghambatan enzim alfa
glukosidase secara optimal (dilihat dari ekstrak yang cenderung tahan terhadap perubahan
pH sistem pencernaan) diperoleh dari penyeduhan teh hitam dengan waktu relatif lebih lama,
yaitu dengan kombinasi suhu dan waktu 70C 15 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30
menit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa teh hitam yang diseduh pada suhu 70C
selama 15 menit menghasilkan ekstrak teh yang dapat mengurangi jumlah asupan, baik
karbohidrat kompleks maupun gula-gula sederhana melalui penghambatan aktivitas enzim
alfa amilase dan enzim alfa glukosidase.

Inhibisi (%)

95.96c
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

95.96c

98.36d

97.74yz

91.34b

96.15y

82.32a

99.42d

98.37yz

99.87d
99.48z
97.94yz

87.10w

90.56x

70 C 5
menit

70 C 15
menit

Ekstrak awal

70 C 30
100 C 5 100 C 15
menit
menit
menit
Perlakuan sampel

100 C 30 Acarbose
menit

Ekstrak setelah melewati proses pencernaan in vitro

Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda untuk kondisi ekstrak yang sama menunjukkan
berbeda nyata (p 0.05) dengan uji lanjut Duncan

Gambar 10. Nilai inhibisi enzim alfa glukosidase dari ekstrak teh hitam

28

E. Total Fenol
Uji total fenol dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa fenolik di dalam teh
hitam yang diekstrak dengan kombinasi suhu dan waktu yang berbeda. Fenol merupakan
senyawa yang strukturnya mengandung gugus hidroksil yang berikatan dengan gugus fenil
sedangkan polifenol adalah senyawa kimia yang ada pada tumbuhan yang memiliki banyak
gugus fenol dalam molekulnya. Oleh karena itu, hasil uji total fenol akan mewakili secara kasar
jumlah polifenol yang ada pada ekstrak. Polifenol daun teh jumlahnya hampir 35% berat kering
(Shahidi dan Naczk 2004). Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol
memiliki andil dalam menghambat aktivitas enzim. Gugus OH pada senyawa tersebut diyakini
dapat berikatan dengan protein. Haslam et al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa
pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen
antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan
juga adanya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada
yang bersifat dapat balik maupun tidak dapat balik. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat
dengan protein (Siebert 1999 diacu dalam Ali 2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino
yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millic et al. 1968 diacu dalam Ali 2002).
Pengujian dilakukan hanya pada ekstrak awal teh hitam. Pertama-tama, kurva standar
asam galat dibuat dengan memplotkan absorbansi yang dihasilkan dengan beberapa konsentrasi
asam galat yang sudah ditentukan. Persamaan garis nya adalah y = 0.0044x-0.1021 dengan R=
0.9902. Kurva asam galat dan persamaannya dapat dilihat pada Lampiran 20. Kemudian total
fenol ekstrak didapat dari persamaan garis kurva standar asam galat tersebut. Perhitungan total
fenol ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 21. Hasil penelitian total fenol dinyatakan sebagai
Asam Galat Ekuivalen (GAE). Teh yang diseduh pada 70C 5 menit, 70C 15 menit, 70C 30
menit, 100C 5 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30 menit masing-masing mengandung total
fenol sebesar 19.35, 19.46, 19.52, 18.48, 22.82, dan 18.33 mg GAE/g (Gambar 11). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat 19.35 mg komponen fenolik dalam 1 gram teh (contohnya pada teh
yang diseduh pada 70C 5 menit), dan seterusnya. Kwon et al. (2007) meneliti bahwa kandungan
komponen fenolik pada teh hitam sebesar 4.75 mg/g sedangkan Moraes de Souza et al. (2008)
melaporkan bahwa teh hitam mengandung total polifenol dengan rentang 35-40 mg GAE/g.
Perbedaan kandungan fenol di dalam teh dipengaruhi oleh varietas, unsur hara dalam tanah,
musim, serta proses pengolahannya seperti perbedaan lama fermentasi dan sebagainya.
Analisis statistik menerangkan bahwa perbedaan suhu penyeduhan teh hitam tidak
memengaruhi kandungan total fenol di dalamnya (p 0.05), sedangkan perbedaan waktu
penyeduhan dan interaksi suhu-waktu penyeduhan memberikan pengaruh terhadap besarnya
kandungan total fenol ekstrak teh (p 0.05). Hasil uji statistik total fenol dapat dilihat pada
Lampiran 22.
Ekstraksi polifenol dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya jenis pelarut, pH, suhu,
banyaknya tahap ekstraksi, ukuran partikel dan bentuknya. Escribano dan Santos (2002)
menyatakan bahwa suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena
panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari
senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu yang terlalu tinggi dapat
mendegradasi senyawa polifenol. Harbourne et al. (2009) menambahkan bahwa penurunan total
fenol pada suhu tinggi dikarenakan adanya penguapan komponen volatil fenol, penguraian
senyawa fenol dan penggabungan senyawa fenol tertentu dengan komponen lain. Marostica Jr et
al. (2010) mengatakan bahwa beberapa komponen fenolik sensitif terhadap panas
(thermosensitive). Ross et al. (2011) meneliti tentang stabilitas panas pada senyawa fenolik dan

29

melaporkan bahwa kadar katekin dan epikatekin menurun seiring dengan kenaikan suhu
sedangkan asam galat dan galokatekin meningkat jumlahnya seiring bertambahnya suhu, dengan
penggunaan suhu berkisar 120-240C dengan waktu 0-90 menit. Pada percobaan ini, perbedaan
suhu awal penyeduhan tidak memengaruhi jumlah fenol karena diperkirakan jarak kedua suhu
tersebut tidak besar sehingga jumlah fenolnya belum terlihat perbedaannya.
Kondisi pH lingkungan memengaruhi kestabilan polifenol. Friedmen dan Jurgens (2000)
meneliti kestabilan senyawa polifenol tanaman pada rentang pH 3-11 dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komponen fenolik jenis
kafeat, klorogenat, dan asam galat tidak stabil pada pH tinggi dan ketidakstabilannya bersifat
tidak dapat balik, polifenol jenis asam klorogenat stabil pada pH asam, serta polifenol jenis
katekin, epigalokatekin, asam ferulat, rutin, dan asam trans sinamat cenderung tahan degradasi
akibat perubahan pH. Perbedaan tersebut dipengaruhi kekuatan resonansi dalam menstabilkan
ion fenoksida dan quinon pada senyawa polifenol tersebut. Penelitian yang dilakukan Kwon et
al. (2006) memberikan informasi bahwa senyawa fenolik memiliki daya inhibisi enzim alfa
glukosidase yang berbeda-beda sesuai pH lingkungannya, fenol jenis asam hidroksibenzoat,
asam galat, dan asam protokatekuat memiliki daya hambat enzim alfa glukosidase lebih tinggi
pada pH 3.5-4.5 dibandingkan pada pH 6.5-7.5, sedangkan katekol, quersetin, katekin, asam
rosmarat, asam elagat, dan asam kumarat memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Oleh karena
itu, dapat diperkirakan bahwa pH saluran pencernaan juga memengaruhi besarnya suatu inhibisi
enzim sesuai jenis dan jumlah komponen fenolik yang ada pada tanaman tersebut. Teh hitam
diketahui mengandung senyawa fenol seperti katekin, epigalokatekin, asam galat, dan quersetin,
rutin, asam kafeat, asam ferulat, dan asam kumarat yang memiliki kestabilan terhadap pH yang
berbeda-beda yang akan memengaruhi nilai inhibisi terhadap suatu enzim.
Teh yang diseduh selama 15 menit mengandung total fenol yang berbeda nyata
dibandingkan dengan total fenol pada teh yang diseduh selama 5 dan 30 menit. Total fenol yang
diperoleh pada ekstrak teh hitam yang diseduh selama 15 menit jumlahnya lebih tinggi
dibandingkan pada teh yang diekstrak selama 5 menit dan 30 menit (Lampiran 23). Hal ini
diperkirakan bahwa waktu penyeduhan selama 15 menit merupakan waktu yang paling optimal
untuk mengekstrak senyawa fenol yang ada pada teh. Waktu penyeduhan teh hitam selama 5
menit diduga belum mampu mengekstrak senyawa polifenol lebih banyak, sedangkan waktu
penyeduhan selama 30 menit mungkin merupakan waktu yang terlalu lama untuk mengekstrak
polifenol sehingga senyawa tersebut menjadi teroksidasi. Telah diyakini sebelumnya bahwa
waktu ekstraksi yang terlalu lama akan memicu pemaparan oksigen lebih banyak yang akan
meningkatkan peluang terjadinya oksidasi senyawa fenolik (Shahidi dan Naczk 2004). Polifenol
oksidase (PPO) adalah enzim yang berperan dalam oksidasi senyawa polifenol. PPO aktif pada
suhu optimum berkisar 50-80C (Capecka 2005). Keberadaan PPO menyebabkan total fenol
berkurang karena telah teroksidasi. Yang Li (2009) menambahkan bahwa pada umumnya,
semakin lama waktu ekstraksi maka proses ektraksi semakin efisien, namun ekstraksi yang
terlalu lama juga tidak disarankan karena dapat meningkatkan resiko terjadinya oksidasi senyawa
fenolik kecuali jika ditambahkan agen pereduksi pada pelarut. Agen pereduksi yang biasa
ditambahkan untuk mencegah oksidasi fenolik adalah asam askorbat (FAO 2000). Penambahan
asam askorbat pada beberapa produk minuman teh dalam kemasan dilakukan untuk mengurangi
terjadinya oksidasi.
Oksidasi adalah proses kimia yang melibatkan transfer elektron dari atom atau molekul
(sekelompok atom) melalui reaksi dengan atau tanpa adanya penambahan oksigen atau
kehilangan hidrogen (Geldenhuys 2009). Fenol sangat mudah teroksidasi. Buah yang

30

mengandung fenol dibiarkan terpapar ke udara dalam beberapa saat sampai menjadi kering dan
sangat berwarna karena terbentuknya produk oksidasi (Hart et al. 2003). Volgina et al. (2005)
menjelaskan fenol teroksidasi menghasilkan produk hasil oksidasi berupa p-benzokuinon, asam
dikarboksilat, dan karbondioksida. Geldenhuys (2009) mengukur dan membandingkan total
fenol pada wine belum teroksidasi dan wine yang sudah teroksidasi (telah diberi penambahan
oksigen) dengan metode folin-ciocalteau. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa
kandungan fenol pada wine yang diberi penambahan oksigen mengalami penurunan walaupun
tidak signifikan. Telah diketahui bahwa pada pengukuran total fenol dengan metode folin
ciocalteau, fosfotungstat-fosfomolibdat tereduksi oleh gugus OH pada senyawa fenol
menghasilkan molibdenum-tungsten. Produk fenol teroksidasi telah kehilangan atom hidrogen
sehingga sebagian dari fosfotungtat-fosfomolibdat tidak dapat tereduksi sehingga mengurangi
intensitas warna biru yang terukur pada spektrofotometer.
Uji statistik menunjukkan bahwa interaksi suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi
total fenol (p 0.05) (Lampiran 24). Kombinasi suhu ekstraksi 100C selama 15 menit ternyata
mengandung total fenol yang berbeda nyata dengan total fenol yang terkandung pada kelima
jenis ekstrak lainnya, dimana kandungan total fenol yang terkandung pada ekstrak tersebut
paling tinggi (Lampiran 25). Dengan demikian, suhu penyeduhan 100C selama 15 menit
merupakan kondisi penyeduhan terbaik karena dapat mengekstrak komponen fenol terbanyak
pada teh hitam.

Total fenol (mg GAE/g)

25
20

22.82d
19.35bc

19.46c

19.52c

70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

18.48ab

18.33a

15
10
5
0
100 C 5
menit

100 C 15
menit

100 C 30
menit

Perlakuan sampel
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
(p 0.05) dengan uji lanjut Duncan

Gambar 11. Total fenol ekstrak awal teh hitam

31

a. Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase


Dua percobaan yang berbeda dikatakan memiliki suatu korelasi dapat diketahui
dengan menggunakan analisis korelasi bivariate. Hubungan antara total fenol dan nilai
inhibisi enzim alfa amilase tidak memiliki korelasi (ditandai dengan p 0.05) (Lampiran 32).
Gambar 12 memperlihatkan grafik total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase. Ada
banyak sekali komponen fenolik dalam ekstrak teh. Perbedaan kondisi ekstraksi
menghasilkan perbedaan komposisi senyawa fenolik yang terekstrak. Korelasi yang negatif
atau tidak memiliki korelasi menunjukkan bahwa masing-masing senyawa fenolik memiliki
kemampuan dalam menghambat enzim yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diteliti
lebih lanjut senyawa fenolik yang mana yang memiliki kemampuan inhibisi yang kuat. Selain
itu, hal ini juga menunjukkan ada komponen non fenolik yang berperan. Senyawa bioaktif
yang pernah dilaporkan dapat menghambat enzim alfa amilase selain dari golongan fenol
adalah alkaloid (Zajoncova et al. 2005).

100

50

98

Inhibisi (%)

94

30

92
20

90
88

10

86
84

0
70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

100 C 5
menit

Total Fenol (mg GAE/g)

40

96

100 C 15 100 C 30
menit
menit

Perlakuan sampel
Inhibisi Ekstrak Awal (%)

Total Fenol (mg GAE/g)

Gambar 12. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal

b. Total Fenol dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase


Hubungan antara total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase memiliki
korelasi (p 0.05) dengan koefisien korelasi sebesar -0.825 (Lampiran 33). Nilai tersebut
dapat diartikan bahwa kandungan total fenol pada ekstrak awal teh hitam memiliki korelasi
yang kuat terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase pada taraf 5%. Tanda negatif
menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin tinggi total fenol ekstrak maka
daya inhibisi enzim alfa glukosidase semakin rendah. Korelasi yang negatif atau tidak
memiliki korelasi menunjukkan bahwa masing-masing senyawa fenolik memiliki
kemampuan dalam menghambat enzim yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu diteliti
lebih lanjut senyawa fenolik yang mana yang memiliki kemampuan inhibisi yang kuat.
Gambar 13 memperlihatkan dua grafik, yaitu grafik total fenol dan grafik nilai inhibisi enzim
alfa glukosidase pada ekstrak awal teh hitam.

32

Korelasi yang berbanding terbalik ini dapat dilihat pada kondisi ekstraksi 100C 15
menit yang mana mengandung total fenol yang tinggi namun memiliki daya hambat yang
rendah terhadap aktivitas enzim alfa glukosidase. Hal tersebut diperkirakan bahwa tidak
semua senyawa fenol memiliki kemampuan dalam mengikat protein yang lebih lanjut dapat
memungkinkan terjadinya penghambatan enzim. Senyawa fenol pada teh hitam yang
diketahui tidak memiliki kemampuan menginhibisi enzim telah diteliti oleh Kwon et al.
(2006), yaitu jenis vanillic acid dan syringic acid yang tidak mampu menghambat enzim alfa
glukosidase pada pH sekitar netral sedangkan asam firulat dan asam klorogenat tidak
mempunyai kemampuan menginhibisi pada pH asam. Selain itu, ekstrak teh yang diseduh
pada 100C 30 menit menunjukkan bahwa nilai inhibisi enzim alfa glukosidase tetap tinggi
walaupun kandungan fenolnya menurun. Kondisi tersebut menimbulkan dugaan bahwa ada
senyawa bioaktif lain yang terekstrak pada kondisi penyeduhan tersebut yang memiliki
kemampuan menghambat enzim alfa glukosidase. Komponen bioaktif selain polifenol yang
telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim alfa glukosidase adalah golongan
alkaloid (Molynuex et al. 1986) dan triterpenoid saponin (Luo et al. 2008). Salah satu
golongan alkaloid pada teh adalah kafein yang jumlahnya 7.0 mg pada 150 ml teh hitam yang
diseduh selama 30 menit pada suhu 100C (Resource 1996).

50

Inhibisi (%)

100

40

80
30
60
20
40
10

20
0

Total Fenol (mg GAE/mg)

120

0
70 C 5 menit

70 C 15
menit

70 C 30
100 C 5
menit
menit
Perlakuan sampel

Inhibisi Ekstrak Awal (%)

100 C 15
menit

100 C 30
menit

Total Fenol (mg GAE/g)

Gambar 13. Grafik hubungan total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal

33

F. Kadar Tanin
Tanin merupakan metabolit sekunder yang termasuk ke dalam kelompok senyawa
fenolik. Tanin dapat membentuk kompleks dengan protein dan mengkelat logam. Rangari (2007)
mengemukakan bahwa tanin merupakan kompleks polifenolik berbobot molekul tinggi yang
dihasilkan melalui reaksi polimerisasi senyawa polifenol sederhana. Bate-Smith (1962) diacu
dalam Hagerman (2002) mendefinisikan tanin sebagai senyawa fenolik larut air yang memiliki
bobot molekul berkisar 500-3,000 (disebut ester asam galat), memberikan reaksi fenolik yang
sama dengan senyawa fenolik lainnya dan memiliki sifat khas seperti kemampuannya dalam
mengendapkan gelatin dan protein lainnya. Bahkan tanin yang memiliki berat molekul sebesar
20,000 (disebut proantosianidin) juga pernah dilaporkan. Selain dengan protein, tanin juga
memiliki kemampuan membentuk kompleks dengan polisakarida (Haslam 1989 diacu dalam
Hagerman 2002).
Tanin dibedakan atas dua jenis, yaitu tanin terhidrolisis dan tanin terkondensasi. Tanin
terhidrolisis adalah tanin yang dapat dihidrolisis oleh asam-asam mineral atau enzim seperti
enzim tannase dan struktur molekulnya merupakan turunan dari asam galat. Tanin terkondensasi
atau dikenal dengan proantosianidin adalah tanin yang tidak mudah dihidrolisis oleh asam
mineral dan enzim serta merupakan turunan flavonoid. Rangari (2007) menggolongkan daun teh
sebagai tanaman yang mengandung tanin terkondensasi. Penelitian yang dilakukan Engelhardt et
al. (2003) menunjukkan bahwa teh hitam mengandung tanin terkondensasi (proantosianidin)
sebesar 0.5 g/100 g dan memiliki tanin terhidrolisis berkisar 0.02-0.15 g/100 g. Penelitian
tersebut juga melaporkan bahwa semakin lama proses fermentasi pada teh maka konsentrasi
tanin terhidrolisis semakin rendah.
Penentuan kadar tanin dilakukan dengan menggunakan formaldehida. Tanin, khususnya
tanin terkondensasi, dapat bereaksi dengan formaldehida pada kondisi asam. Tanin bereaksi
dengan monomernya untuk membentuk senyawa berbobot molekul lebih besar. Monomer dari
proantosianidin adalah katekin. Penambahan aldehida seperti formaldehida dapat mempercepat
terjadinya reaksi tersebut. Formaldehida akan menyerang cincin benzena pada katekin (tanin
terkondensasi) (Garro Galvez et al. 1996 diacu dalam Kassim et al. 2011) membentuk endapan
tanin-formaldehida.
Pengujian kadar tanin dilakukan pada ekstrak awal. Teh yang diseduh pada 70C 5 menit,
70C 15 menit, 70C 30 menit, 100C 5 menit, 100C 15 menit, dan 100C 30 menit memiliki
kadar tanin masing-masing sebesar 3.14%, 4.01%, 4.20%, 3.40%, 3.06%, dan 1.18% (Gambar
16). Data perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 26. Atanassova et al. (2009) meneliti
kadar tanin pada beberapa tanaman dan buah-buahan, termasuk teh hitam. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa kadar tanin yang ada pada teh hitam mencapai 10.23%. Perbedaan
persentase ini mungkin terjadi karena perbedaan cara ekstraksi dan metode analisisnya. Pada
penelitian tersebut, teh hitam diekstrak hanya dengan merendam dengan air selama 4 jam.
Metode analisis yang digunakan pada penelitian tersebut juga menggunakan titrimetri, bukan
gravimetri yang digunakan dalam penelitian ini.
Analisis statistik menunjukkan bahwa suhu penyeduhan, waktu penyeduhan, dan interaksi
keduanya memengaruhi kadar tanin yang ada pada ekstrak (p 0.05) (Lampiran 27). Kadar tanin
pada suhu penyeduhan 70C berbeda nyata dengan kadar tanin pada suhu 100C. Suhu
penyeduhan 70C menghasilkan rata-rata kadar tanin (3.78%) yang lebih tinggi dibandingkan
dengan rata-rata kadar tanin yang ada pada ekstrak teh yang diseduh pada 100C (2.54%)
(Lampiran 28). Hal tersebut menunjukkan bahwa suhu awal penyeduhan 70C lebih optimal dari
pada 100C dalam mengekstrak senyawa tanin. Lokeswari et al. (2011) menguji kadar tanin pada

34

kelopak tumbuhan Caesalpinia coriaria dengan perbedaan suhu air untuk ekstraksi berkisar
75C sampai 100C, hasil penelitiannya membuktikan bahwa jumlah tanin yang terekstrak
paling tinggi diperoleh dari ekstraksi menggunakan suhu air 90C, suhu air 75C, 80C, 85C,
dan 95C dapat mengekstrak tanin dengan jumlah lebih rendah, sedangkan suhu air 100C
menghasilkan kadar senyawa tanin yang paling rendah. Tiga waktu penyeduhan yang berbeda
ternyata memengaruhi kadar tanin ekstrak teh. Kadar tanin pada teh yang diseduh selama 5 dan
15 menit tidak berbeda nyata. Kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 30 menit lebih
rendah dari pada kadar tanin pada ekstrak teh yang diseduh selama 5 dan 15 menit (Lampiran
29). Kemungkinan yang terjadi adalah senyawa tanin sudah mencapai kadar maksimumnya
sehingga semakin lama teh diseduh maka akan menyebabkan penurunan kadar tanin.
Uji statistik menunjukkan interaksi suhu dan waktu memengaruhi kadar tanin (p 0.05)
(Lampiran 30). Dapat dilihat pada Gambar 14 bahwa kadar tanin tertinggi diperoleh pada kondisi
penyeduhan 70C 15 menit dan 70C 30 menit sehingga kombinasi suhu dan waktu penyeduhan
tersebut dapat dikatakan optimal dalam mengekstrak senyawa tanin, sedangkan kadar tanin
terendah diperoleh dari kondisi penyeduhan 100C 30 menit (Lampiran 31).
Hasil pengujian kadar tanin ekstrak teh memperlihatkan jumlah yang lebih tinggi
dibandingkan total fenolnya padahal tanin merupakan bagian total fenol yang seharusnya
jumlahnya lebih rendah. Hal ini diperkirakan menunjukkan adanya kesalahan positif dalam
pengujian kadar tanin ini. Formaldehida diperkirakan dapat mengikat struktur benzen dari
senyawa selain tanin. Senyawa bukan tanin yang memiliki struktur benzen adalah salah satunya
asam amino aromatik (triptofan, tirosin, dan fenilalanin). Asam amino merupakan penyusun
protein. Telah diketahui sebelumnya bahwa kandungan protein pada teh hitam cukup tinggi,
yaitu 16 % (Nasution dan Tjiptadi 1975). Adanya kandungan protein yang tinggi diduga dapat
mengganggu pengukuran kadar tanin sehingga jumlah kadar tanin lebih tinggi dari seharusnya.
Kawamoto et al. (1997) membagi mekanisme pembentukan kompleks tanin-protein pada
dua tahap, proses pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan kemudian dilanjutkan
dengan proses pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
konsentrasi protein merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan tahap pertama
yaitu pembentukan kompleks sedangkan suhu, pH, dan kekuatan ionik memengaruhi proses
pengendapan. Tanin yang digunakan pada penelitiannya adalah jenis galloylglucose. Gambar 15
menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein.

35

Gambar 14. Faktor-faktor yang memengaruhi pengikatan tanin dengan protein


(Kawamoto et al. 1997)

Kawamoto et al. (1997) melaporkan bahwa pengendapan tanin-protein terlarut terjadi


secara maksimal pada pH mendekati titik isoelektrik (pI) protein. Pengendapan maksimum tanintripsin dan tanin-lisosim terjadi pada pH lebih dari 8 (pI pepsin: 10.1, pI lisosim: 11.0), taninovalbumin dan tanin-BSA terjadi pada pH 3-5 (pI ovalbumin: 4.6, pI BSA: 4.9), serta
pengendapan tanin-pepsin terjadi pada pH 3 (pI pepsin: 1.0) (Hagerman dan Butler 1978 diacu
dalam Kawamoto et al. 1997). Enzim alfa amilase pankreas memiliki titik isoelektrik 6.6 (FereyRoux et al. 1998) dan enzim alfa glukosidase memiliki titik isoelektrik 5.4 (Siro et al. 1978).
Berdasarkan hal tersebut, pembentukan kompleks tanin-protein yang memberikan peluang
terjadinya penghambatan aktivitas enzim dapat terjadi secara optimal pada sekitar pH lingkungan
yang mendekati titik isoelektriknya. Ekstrak awal memiliki pH yang mendekati titik isoelektrik
kedua enzim tersebut, yaitu 4.93-5.06.

36

Kadar Tanin (%)

4.01c

4.20c

3.40b

3.14b

3.06b

3
2

1.18a
1
0
70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

100 C 5
menit

100 C 15
menit

100 C 30
menit

Perlakuan sampel
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
(p 0.05) dengan uji lanjut Duncan
Gambar 15. Kadar tanin pada ekstrak teh awal

a. Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Amilase


Tanin sering dihubungkan dengan daya inhibisi enzim karena memiliki kemampuan
dalam membentuk kompleks dengan protein, yang mana enzim merupakan suatu protein.
Hubungan kadar tanin dan inhibisi enzim alfa amilase memiliki korelasi (p 0.05) dengan
koefisien korelasi sebesar 0.892 (Lampiran 34). Koefisien korelasi sebesar 0.892 menujukkan
bahwa kandungan tanin yang ada pada ekstrak teh hitam berkorelasi kuat dengan besarnya
daya inhibisi terhadap enzim alfa amilase. Gambar 17 memperlihatkan grafik kadar tanin dan
nilai inhibisi enzim alfa amilase. Zhang J dan Kashket (1998) meneliti bahwa tanin yang
dihilangkan dari teh dengan cara pengikatan oleh gelatin akan menghilangkan
kemampuannya dalam menghambat amilase saliva.

37

100

10

98

Inhibisi (%)

94

92

90

4
3

88

Kadar Tanin (%)

96

86

84

0
70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

100 C 5
menit

100 C 15
menit

100 C 30
menit

Perlakuan sampel
Inhibisi ekstrak awal (%)

Kadar Tanin (%)

Gambar 16. Grafik hubungan kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal

b. Kadar Tanin dan Inhibisi Enzim Alfa Glukosidase

Hubungan kadar tanin terhadap nilai inhibisi enzim alfa glukosidase memiliki nilai p
0.05 (Lampiran 35). Hal ini menunjukkan tidak ada korelasi antara besarnya inhibisi enzim
alfa glukosidase dan kandungan tanin dalam ekstrak teh. Gambar 18 memperlihatkan grafik
kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase. Ekstrak teh yang diseduh pada 100C
30 menit menunjukkan bahwa nilai inhibisi enzim alfa glukosidase tetap tinggi walaupun
kandungan tanin rendah. Hal tersebut diduga adanya senyawa bioaktif lain yang terekstrak
pada kondisi penyeduhan tersebut yang memiliki kemampuan menghambat enzim alfa
glukosidase. Komponen bioaktif selain polifenol yang telah dilaporkan memiliki daya
hambat terhadap enzim alfa glukosidase adalah golongan alkaloid (Molynuex et al. 1986)
dan triterpenoid saponin (Luo et al. 2008). Salah satu golongan alkaloid pada teh adalah
kafein yang jumlahnya 7.0 mg pada 150 ml teh hitam yang diseduh selama 30 menit pada
suhu 100C (Resource 1996)

38

10

100

80
6
60
4
40

Kadar Tanin (%)

Inhibisi (%)

120

20
0

0
70 C 5
menit

70 C 15
menit

70 C 30
menit

100 C 5
menit

100 C 15
menit

100 C 30
menit

Perlakuan sampel
Inhibisi Ekstrak Awal(%)

Kadar Tanin (%)

Gambar 17. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal

39

IV.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi suhu dan waktu penyeduhan teh hitam
memengaruhi besarnya penghambatan enzim alfa amilase dan alfa glukosidase. Daya hambat yang
dianggap paling optimal adalah daya hambat yang besarnya tidak berbeda nyata secara statistik
dengan daya hambat yang dihasilkan oleh Acarbose sebagai kontrol positif.
Daya hambat enzim alfa amilase oleh ekstrak awal dapat menggambarkan dugaan
penghambatan terhadap enzim amilase saliva. Ekstrak awal yang menghasilkan nilai inhibisi
paling optimal diseduh pada suhu 70C selama 15 menit (95.13%), 70C selama 30 menit
(97.92%), 100C selama 5 menit (97.54%), dan 100C selama 15 menit (96.04%).
Daya hambat enzim alfa glukosidase pada ekstrak awal dilakukan untuk memberikan
informasi awal sebelum diberi perlakuan simulasi perubahan pH pencernaan pada ekstrak. Nilai
inhibisi paling optimal dihasilkan oleh ekstrak awal teh hitam yang diseduh pada suhu 70C
selama 30 menit (98.36%) dan 100C selama 30 menit (99.42%).
Daya hambat enzim alfa amilase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan oleh
teh hitam yang diseduh pada suhu 70C selama 15 menit (87.14%) dan 100C selama 5 menit
(85.40%). Besar inhibisi amilase setelah melalui proses pencernaan berbeda nyata dengan besar
inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal.
Daya hambat enzim alfa glukosidase setelah proses pencernaan paling optimal dihasilkan
oleh teh hitam yang diseduh pada suhu 70C selama 15 menit (97.74%), 100C selama 15 menit
(98.37%), dan 100C selama 30 menit (97.94%). Inhibisi glukosidase pada kondisi pencernaan
inilah yang dapat mewakili daya hambat enzim glukosidase yang hanya terdapat pada usus halus.
Besar inhibisi glukosidase setelah melalui proses pencernaan tidak berbeda nyata dengan besar
inhibisi yang dihasilkan oleh ekstrak awal.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan asupan kalori
karbohidrat maka disarankan meminum teh hitam yang diseduh pada suhu 70oC selama 15 menit.
Kondisi penyeduhan tersebut merupakan kondisi paling baik dalam menghambat aktivitas enzim
alfa amilase dan alfa glukosidase.
Pengukuran terhadap total fenol dan kadar tanin pada ekstrak awal menunjukkan bahwa
daya hambat enzim alfa amilase berkorelasi positif dengan kadar tanin tetapi tidak berkorelasi
dengan total fenol sedangkan daya hambat enzim alfa glukosidase berkorelasi negatif dengan total
fenol tetapi tidak berkorelasi dengan kadar tanin yang ada pada ekstrak teh hitam.

B. Saran
Saran yang diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukannya uji lanjut
untuk mengetahui apakah ada penghambatan aktivitas enzim oleh ekstrak teh hitam jika senyawa
tanin telah dihilangkan dari ekstrak, uji penghambatan aktivitas enzim secara in vivo untuk melihat
aktivitas ekstrak dalam tubuh, pengukuran kadar total fenol dan tanin pada ekstrak setelah melalui
proses pencernaan in vitro, mengidentifikasi komponen fenolik pada berbagai proses penyeduhan
baik pada ekstrak awal maupun setelah melalui proses pencernaan in vitro, melakukan pengujian
inhibisi enzim alfa amilase dan alfa glukosidase dari konsentrasi ekstrak teh hitam yang
divariasikan misalnya lebih rendah dari 4 gram/100 ml, serta perlu dilakukan analisis alkaloid
seperti kafein dalam menghambat enzim alfa amilase dan alfa glukosidase.

40

DAFTAR PUSTAKA
Aji M. 2011. Pengelolaan pemangkasan tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) di PT.
Perkebunan Rumpun Sari Kemuning Karanganyar, Jawa Tengah [skripsi]. Fakultas Pertanian,
IPB, Bogor.
Ali H. 2002. Protein-phenolic interaction in food [thesis]. Departement of Food Science and
Agricultural Chemistry, McGill University Quebec.
Ankolekar C, Terry T, Johnson K, Johnson D, Barbosa ACL, Shetty K. 2010. Anti-hyperglicemic
properties of tea (Camellia sinensis) bioactive using in vitro assay models and influnce of
extraction time. Mary Ann Liebert Inc, [Online] 14 (10). Abstract from J Med Food. [14
September 2011].
Aryani. 2011. Penting diketahui! kebiasaan umum yang salah dalam mengonsumsi minuman atau
makanan. http://www.kesehatan.kompasiana.com. [20 September 2011]
Astawan M. 2009. Hand Out Metode Evaluasi Nilai Biologis Komponen Pangan. Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor.
Astill C, Birch MR, Decombe C, Humphrey PG, Martin PT. 2001. Factors affecting the caffeine and
polyphenol contents of black and green tea infusions. J Agric Food Chem 49: 5340-5347.
Atanassova M, Bagdassarian VC. 2009. Determination of tannins content by titrimetric method for
comparison of different plant species. Journal of the University of Chemical Technology and
Metallurgy 44 (4): 413-415.
Balentine DA, Robinson IP. 1998. Tea as a source of dietary antioxidants with a potential role in
prevention of chronic diseases. Di dalam: Mazza D, Oomah BD (eds.). Herbs, Botanicals, and
Teas. USA: CRC Press, pp 265-281
Bate-Smith EC, Swain T.1962. Flavonoid compounds. Di dalam: Mason, Florkin (eds.). Comparative
Biochemistry Volume 3A. Academic Press.
Bayer GD, Yaoguang L, Withers SG. 1995. The structure of human pancreatic -amylase at 1.8 A
resolution and comparisons with related enzymes. Protein Sci 4: 1730-1742.
Berdanier CD, Dwyer J, Feldman EB. 2006. Handbook of Nutrition and Food Second Edition. USA:
CRC Press.
Cai YZ, Luo Q, Sun M, Corkea H. 2007. Antioxidant activity and phenolic compound of 112
traditional chinese medicinal plants associated with anticancer. Life Sci 74: 2157-2184.
Calder PC, Geddes R. Acarbose is a competitive inhibitor of mammalian lysosomal acid alpha-Dglucosidases. Carbohydr Res, [Online]. Abstract from Department of Biochemistry, University of
Auckland, New Zealand. http://www.ncbi.nlm.nih.gov. [17 November 2011]
Capecka E, Marcezeek A, Leja M . 2005. Antioxidant activity of fresh and dry herbs of some
Lamiciae sp. J Food Chem 93:223-226.
Cummings J, Mann J. 2009. Carbohydrates. Di dalam: Mann J, Truswell AS (eds.). Essentials of
Human Nutrition. New York: Oxford University Press, pp 35-71
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2003. Peran DIIT dalam penanggulangan diabetes. Makalah
dalam Seminar Pekan Diabetes, 25-27 Maret 2003, Jakarta.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Jumlah penderita diabetes Indonesia ranking ke-4 di dunia.
Berita Dep. Kes. RI. 5 September 2005.
Eden T. 1958. Tea. London: Longmans, Green and Co.

41

Engelhardt UH, Lakenbrink C, Pokorny O. 2003. Proanthocyanidins, bisflavanols, and hydrolyzable


tannins in green and black teas. ACS Symposium Series, [Online]. Abstract from American
Chemistry Society. http://www.pubs.acs.org. American Chemistry Society. [29 Oktober 2011]
Escribano MT, Santos C. 2002. Polyphenol extraction from foods. Di dalam: Esribano MT, Santos C
(eds.). Methods in Polyphenol Analysis. USA: CRC Press.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2000. Quantifications on tannins in tree foliage. Vienna:
Animal Production and Health Sub-Program.
Ferey-Roux G, Perrier J, Forest E, Marchis-Mouren G, Puigserver A, Santimone M. 1998. The
hunamn pancreatic -amylase isoform: isolation, structural studies and kinetics of inhibition by
acarbose. Laboratoire de Biochemie Universite dAix-Mairselle, [Online]. 1388 (1). Abstract from
BBA. http://sciencedirect.com. BBA. [21 Oktober 2011]
Friedman M, Jurgens HS. 2000. Effect of pH on the stability of plant phenolic compounds. Western
Regional Research Center, [Online]. 48 (6). Abstract from American Chemistry Society.
http://www.pubs.acs.org. American Chemistry Society. [12 Oktober 2011]
Fogarty, W. M. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. Appl. Sci. Publ, London.
Gao H, Huang YN, Gao B, Li P, Inagaki C, Kawabata J. 2008. Inhibitory effect on -glucosidase by
Adhatoda vasica Nees. Food Chem 108: 965-972.
Garro Gavlez JM, Reidl B, Fechtal M. 1996. Gallic acid as a model of tannins in condensation with
formaldehyde. Thermochemica Acta 274: 149-163.
Geldenhuys L. 2009. Influence of oxygen addition on the phenolic composition of red wine [thesis].
Department of Viticulture and Oenology, Faculty of AgriSciences, Stellenbosch University.
Guilbauilt, GG. 1976. Handbook of Enzyme Methods of Analysis. New York: Marcel Dekker Inc.
Hagerman AE, Butler LG. 1978. Protein precipitation method for the quantitative determination of
tannin. J Agric Food Chem 26: 809-812.
Hagerman AE. 2002. Tannin Chemistry. USA: Departement of Chemistry and Biochemistry Miami
University, Oxford.
Hara Y, Honda M. 1990. The inhibition of alpha amylase by tea polyphenol. Agruic Biol Chem 54:
1939-1945.
Harbourne N, Christopher J, ORiordan D. 2009. Optimisation of extraction and processing conditions
of chamomile (Matricaria chamomilla L.) for incorporation into a beverage. Food Chem 115: 1519
Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia Organik-Suatu Kuliah Singkat Edisi Kesebelas. (Tejemahan
Achmadi SS). Erlangga, Jakarta
Hartoyo, A. 2003. Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. Kanisius, Yogyakarta.
Haslam E. 1989. Plant Polyphenols. Vegetable Tannins Revisited. Cambridge University Press.
Haslam E, Williamson MP, Baxter NJ, Charlton AJ. 1999. Astringency and polyphenol protein
interaction. Recent Advance in Phytochemistry 33: 289.
Hill C. 2009. A return to zhuyeqing garden. http://www.chinateatravels.com [14 September 2011].
Huang MT, Liu Y, Ramji D. 2006. Inhibitory effects of black tea theaflavin derivatives on 12-Otetradeconoyphorbol-13-acetate-induced-inflammation and arachidonic acid metabolism in mouse
ears. J Nutr Food Res 50: 115-122.
[IDF] The International Diabetes Federation. 2011. Diabetes data. www.idf.org [25 Juli 2011].
Info Obat Indonesia. 2009. Acarbose. http://infodrugindonesia.blogspot.com [15 November 2011]
Kawamoto H, Nakatsubo F. 1997. Effect of environmental factors on two-stage tannin-protein coprecipitation. Phytochem 46: 479-483.

42

Kassim MJ, Hussin MH, Achmad A, Dahon NH, Kim Suan T, Hamdan HS. 2011. Determination of
total fenol, condensed tannin, flavonoid contents and antioxidant activity of Uncaria gambir
extracts. Majalah Farmasi Indonesia 22 (1): 50-59
Kim JS, Ju JB, Choi CW, Kim SC. 2006. Hypoglicemic and antihyperlipidemic effect of four korean
medicinal plants in alloxan induced diabetic rats. Amer J Biochem and Biotech 2:154-160.
Kusumanigrum D. 2008. Pemetaan Karakteristik Komponen Polifenol untuk Mencegah Kerusakannya
pada Minuman Teh Ready to Drink (RTD) [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kwon YI, Apostolidis E, Shetty K. 2006. Inhibitory potential of wine and tea against -amylase and
-glucosidase for management of hyperglicemia linked to type 2 diabetes. J Food Biochem 32: 1531.
Kyle M, Duthie D. 2006. Flavonoid in Foods. Di dalam: Andersen J, Markham A (eds.). Flavonoids.
USA: CRC Press, pp 254-285
Laresolo B. 2007. Bagaimana cara nmeyeduh teh yang benar. http://www.kedaitehlaresolo.com [8
Mei 2011]
Lazarus SA, Schmitz HH. 2000. Dietary flavonoids may promote health, prevent hearth disease.
California Agric 54 (5): 33-39.
Lebovitz. 1997. Alpha-glucosidase inhibitor. Endrocrinology and Metabolism Clinics of North
America 26: 539-551.
Lee MJ, Lambert JD, Prabhu, S, Yang CS. 2005. Delivery of tea polyphenol to the oral cavity by
green tea leaves and black tea extract. Cancer epidemiol. Biomarkers Prev. 13: 132-137.
Lee SH, Park MH, Heo SJ. Kang SM, Ko SC, Han JH, Jeon YJ. 2010. Dieckol isolated from Ecklonia
cava inhibits -glucosidase and -amylase in vitr and alleviates postprandial hyperglicemia in
streptozotocin induced diabetic mice. Food Chem Toxicology 48 : 2663-3637.
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia (terjemahan M. Thenawidjaja). Erlangga, Jakarta.
Lin JK. 2009a. Mechanism of cancer chemoprevention by tea and te polyphenol. Di dalam: Ho CT,
Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties.
USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 161-171
Lin JK, Chen YW, Yn S, Shiau L. 2009b. Inhibition of breast cancer cell proliferation by theaflavins
and epigallocathecin 3-gallate through suppressing proteasomal activiteies. Di dalam: Ho CT, Lin
JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties. USA:
CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 191-210
Lin JK, Shiau L. 2009c. Fermented tea is more effective than unfermented tea in suppressing
lipogenesis and obesity. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product:
Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp
233-244
Lokeswari N, Sujatha P. 2011. Isolation of tannins from Caesalpinia coriaria and effect of physical
parameters. Internation Res J Pharm 2 (2): 146-152.
Luo JG, Ma L, Kong LY. 2008. New triterpanoid saponins with strong -glucosidase inhibitory
activity from the roots of Gypsophila oldhamiana. Bioorganic & Med Chem 16 (6): 2912-2920.
Mann J, Truswell AS. 2009. Essentials of Human Nutrition. New York: Oxford University Press.
Marostica Jr MR, Leite AV, Dragano NRV. 2010. Supercritical fluid extraction and stabilitzation of
phenolic compounds from natural sources-review (supercritical extraction and stabilization of
phenolic compounds). The Open Chem Engineer J 4: 51-60.
Mayur B, Sandez S, Shrut S, Sung-Yum S. 2010. Antioxidant and alpha-Glucosidase inhibitory
properties of Carpesium abrotanoides L. J Med Plant Res 4 (15) : 1547-1553.

43

McCue P, Vattem D, Shetty K. 2004. Inhibitory effect of clonal oregano extracts against porcine
pancreatic amylase in vitro. Asia Pac J Clin Nutr 13 (4): 401-408
McDougall GJ, Kulkarni NN, Stewart D. 2009. Berry poliphenol inhibit pancreatic lipase activity in
vitro. Food Chem 115: 193-199.
Miller D, Benito P. 1998. Iron absorption and bioavailability: an update review. Nutrition Research,
[Online]. 18 (3). Abstract from Science Direct. http://www.sciencedirect.com, Science Direct. [18
Oktober 2011]
Millic B, Stojanovic S, Vucureuic N, Turcic M. 1968. Chlorogenic and quinic acids in sunflower
meal. J Sci Food Agric 19: 108.
Molyneux RJ, Roitman JN, Dunnheim G, Szumilo T, Elbein AD. 1986. 6-Epicastanospermine, a
novel indolizidine alkaloid that inhibits alpha glucosidase. Arch Biochem Biophys 251 (2): 450457.
Moraes de Souza RA, Oldoni TLC, Regitano deArce MAB, Alencar SM. 2008. Antioxidant activity
and phenolic composition of herbal infusions consumed in Brazil. Cienc. Tecnol. Aliment 6(1):4147.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan
bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 2006. Metabolisme Zat Gizi: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan
bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nasution MZ, Tjiptadi W. 1975. Pengolahan teh [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Pertanian,
FATEMETA, IPB, Bogor.
Nugraha G. 1999. Pemanfaatan tanin dari kulit kayu akasia (Acacia mangium Willd) sebagai bahan
penyamak nabati [skripsi]. Fateta, IPB, Bogor.
Ono Y, Hattori E, Fukaya Y, Imai S, Ohizumi Y. 2005. Anti-obesity effect of Nelumbo nucifera
leaves extract in mice and rats. J Ethnopharm 106: 236-244.
Panuju DT. 2008. Teh dan pengolahannya. http://www.images.dyagi.multiply.multiplycontent.com
[11 Maret 201]
Pequet V, Croux C, Goma G, Soucaille P. 1991. Purification and characterization of extracellular
alpha-amylase from Clostridium acetobutylicum ATCC 824. Appl Environ Microbiol 57 (1): 212218.
Qader SAU, Bano S, Aman A, Syed N, Azhar, A. 2006. Enhanced production and extracellular
activity of commercially important amylolytic enzyme by a newly isolated strain of Bacillus sp.
AS-1. Turkish J Biochem. 31 (3) : 135-140
Ramji D, Huang MT, Shahidi F, Ho CT. 2009. Effect of tea and tea constituents on inflammation. Di
dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting
Properties. Boca Raton: CRC Press, Taylor and Francis Group USA, pp 177-190
Rangari, V. D. 2007. Pharmacognosy: Tannin Containing Drugs. Nagpur: J. L. Chaturvedi College
of Pharmacy.
Resource.
1996.
An
investigation
of
caffein
content
in
tea-an
abstract.
http://www.resources.edb.gov.hk. [19 Oktober 2011]
[Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2007.
www.docstoc.com. [ 25 Juli 2011].
Ross CF, Hoye Jr C, Fernandez-Plotka VC. 2011. Influence of Heating on the Polyphenolic Content
and Antioxidant Activity of Grape Seed Flour. Wiley, [Online].76 (6). Abstract from Journal of
Food Science. http://www.onlinelibrary.wiley.com, J Food Sci. [19 November 2011].

44

Sanusi H. 2011. Peranan obat hipoglikemik oral pada pengobatan diabetes melitus.
http://www.dokternetworkangk97.blogspot.com/2011/02/peranan-obat-hipoglikemik-oralpada.html. [ 7Agustus 2011].
Sartika D. 2011. Analisis kebisingan pada proses pengolahan teh hitam di ruang penggilingan,
pengeringan, dan sortasi di PTPN VIII Perkebunan Gunung Mas, Cisarua, Jawa Barat [skripsi].
Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Shahidi F, Naczk MG. 2004. Phenolic in Food and Nutraceuticals. USA: CRC Press
Shai LJ, Masako P, Mokgotho MP, Magono SR, Mogale AM, Boadou N, Ellof JN. 2010. Yeast alpha
glucosidase inhibitory and antioxidant activities of six medicinal plants collected in Phalaborwo,
South Africa. South Afri J of Botany 76: 465-470.
Shetty, K. 2006. Food Biotechnology. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group
Siebert K.J. 1999. Reviews- Effect of protein-polyphenol interaction on beverage haze, stabilization
and Analysis. J Agric Food Chem 47 (2) : 353.
Siregar CT. 2004. Kebutuhan dasar manusia eliminasi buang air besar [makalah]. Sumatera Utara:
Program Studi Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Siro MR, Lovgren T. 1978. On the properties of alpha-glucosidase on binding of glucose to the
enzyme.
PubMed,
[Online].
32(6).
Abstract
from
Acta
Chem
Scand
B.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov, Acta Chem Scand B. [19 Oktober 2011].
Strycharz S, Shetty K. 2002. Effect of Agrobacterium rhizogenes on phenolic content of Mentha
pulegium elite clonal line phytoremediation applications. Process Biochemistry (38): 287-293.
Suarsana IN, Priosoeryanto P, Bintang M, Wresdiyati T. 2008. Aktivitas daya hambat enzim glukosidase dan efek hipoglikemik ekstrak tempe pada tikus diabetes. J Vet 9 (3): 122-127.
Tadera K, Minami Y, Takamatsu K, Matsuoka T. 2006. Inhibition of -glucosidase and -amylase by
flavonoids. J Nutrion Sci and Vitamin 52 (2): 149:153.
Tanaka T, Matsuo Y, Kouno I. 2009. Production of theaflavins, theasinensins, and related polyphenols
during tea fermentation. Di dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product:
Chemistry and Health-Promoting Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 5976
Thalapeneni NR, Chidambaram KA, Ellapan T, Sabapathi ML, Mandal SC. 2008. Inhibition of
carbohydrate digestive enzymes by Talinum portulacifolium (Forssk) leaf extract. J Compl Integ
Med 5 (1): 1-10.
Tirtasujana DR. 1997. Mempelajari aspek pengolahan teh hitam CTC di PT. Perkebunan Gunung
Mas, Bogor, Jawa Barat [laporan praktek magang]. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Tuminah S. 2004. Teh (Camelia sinesis O.K. Var Assamica (Mast)) sebagai salah satu sumber
antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran 44: 52-54.
Ullah MR. 1991. Tea. Di dalam Fox PF (ed.). Food Enzymology Volume 2. London and New York:
Elvisier Applied Science, pp 163-177
Ummah MK. 2010. Ekstraksi dan pengujian aktivitas antibakteri senyawa tanin pada daun belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi l.) (kajian variasi pelarut). [skripsi]. Malang: Jurusan Kimia, Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Valant-Vetschera KM, Wollenweber E. 2006. Flavons and Flavonols. Di dalam: Andersen J,
Markham A (eds.). Flavonoids. USA: CRC Press, pp 254-285
Volgina TN, Kukurina OS, Novikov VT. 2005. Study of phenol destruction by means of oxidation.
Chem for Sustain Develop 13: 41-44

45

Wan X, Li D, Zhang Z. 2009. Green and black tea manufacturing and consumption. Di dalam: Ho CT,
Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting Properties.
USA: CRC Press, Taylor and Francis Group,
pp 1-8.
Waterhouse, A. L. 2002. Determination of Total Phenolic-Current Protocol in Food Analysis
Chemistry. John Willey and Sons, Inc.
Whampler DJ. 2011.Technical reports on tea. http://www.sensusflavors.com./t-r-tea.html [14
September 2011]
[WHO] World Health Organization. 2011. Diabetes. http://www.who.int/en/ [12 Mei 2010]
Widowati S. 2007. Pemanfaatan ekstrak teh hijau dalam pengembangan beras fungsional untuk
penderita diabetes melitus [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Willet W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J
Clin Nutr 76(1):274S-280S.
Winarno FG. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Wong C, Cheng K., Chao J, Wang M. 2009. Analytical methods for bioactive compounds in teas. Di
dalam: Ho CT, Lin JK, Shahidi F (eds.). Tea and Tea Product: Chemistry and Health-Promoting
Properties. USA: CRC Press, Taylor and Francis Group, pp 77-110
Yang Li. 2009. Optimum extraction process of polyphenol from the bark of Phyllanthus emblica L.
Based on the response surface methodology. J Separation Sci 12: 143
Zajoncova L, Kosina P, Vicar J, Ulrichova J, Pec P. 2005. Study of the inhibition of -amylase by the
benzo[c]phenanthridine alkaloids sanguinarine and chelerythrine. J Enzyme Inhibit & Med Chem
20(3): 261-267.
Zega. 2010. Pengembangan produk jelly drink berbasis teh (Camelia sinensis) dan secang
(Caesalpinia sappan L.) sebagai pangan fungsional [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
Bogor.
Zhang J, Kashket S. 1998. Inhibition of salivary amylase by black tea nad green teas and their effects
on the intraoral and hydrolysis of starch. Forsyth Dental Center, [Online]. 32 (3). Abstract from
Center for Research on the Oral and Biological Effects of Foods database.
http://www.content.karger.com. Center for Research on teh Oral and Biological Effects of Foods.
[14 September 2011].

46

LAMPIRAN

47

Lampiran 1. Diagram alir proses ekstraksi teh hitam

4 gram teh hitam diseduh dalam


100 ml air suhu 70oC atau 100oC
20 g
Penyeduhan selama 5,15, dan 30 menit

Penyaringan dengan kain saring

Sentrifuse 3500 rpm 10 menit

Penyaringan dengan penyaring vakum

Penepatan volume sampai 100 ml dengan


akuades

Ekstrak teh
20 g

48

Lampiran 2. Data pH ekstrak awal

Kondisi ekstraksi
70oC 5 menit
70oC 15 menit
70oC 30 menit
100oC 5 menit
100oC 15 menit
100oC 30 menit

Ulangan

pH

5.00

5.01

4.93

5.08

5.11

5.00

5.10

4.93

5.01

5.08

4.94

4.92

Rata-rata
5.00
5.00
5.06
5.02
5.04
4.93

49

Lampiran 3. Hasil uji statistik pH ekstrak awal teh hitam

Univariete Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH
Type III Sum of
Source

Squares

df

Mean Square

Sig.

.019a

.004

.677

.657

301.101

301.101

5.244E4

.000

Suhu

.002

.002

.327

.588

Waktu

.002

.001

.184

.836

Suhu * Waktu

.015

.008

1.345

.329

Error

.034

.006

Total

301.155

12

.054

11

Corrected Model
Intercept

Corrected Total

a. R Squared = .361 (Adjusted R Squared = -.172)

50

Lampiran 4. Data inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal

Perlakuan Ekstraksi

Ul

70oC 5 menit

2
70oC 15 menit
70oC 30 menit
100oC 5 menit
100oC 15 menit
100oC 30 menit
Acarbose (Kontrol
Positif)

Ekstrak setelah diberi pengaturan


simulasi pH pencernaan

Ekstrak awal
RataInhibisi
Rata
(%)
(%)
92.07
94.60
97.14

94.95

95.31

98.51

97.32

96.39

98.68

96.88

95.19

89.21

89.08

1
2

99.16

Inhibisi (%)
70.07

72.66

75.24
87.98

95.13

87.14

86.30
10.87

97.92

10.40

9.92
85.58

97.54

85.40

85.22
24.16

96.04

23.04

21.91
24.38

89.14

23.62

22.85
84.99

99.12

99.08

Rata-Rata (%)

85.19

85.38

Contoh perhitungan
Kondisi ekstaksi 70oC 5 menit (Ulangan 1)
Absorbansi Blanko
= 0.074
Absorbansi Kontrol A
= 0.490
Absorbansi Kontrol B
= 0.802
Absorbansi Sampel
= 0.835
%

)(

=
%

(0.490 0.074) (0.835 0.802)


(0.074 0.490)
=

(0.416) (0.033)
0.416
= 92.07

100

100

100

51

Lampiran 5. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase ekstrak awal

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Inhibisi oleh ekstrak awal
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

100.853a

20.171

6.844

.018

108438.744

108438.744

3.679E4

.000

8.118

8.118

2.754

.148

Waktu

14.536

7.268

2.466

.165

Suhu * Waktu

78.199

39.099

13.266

.006

Error

17.684

2.947

Total

108557.281

12

118.537

11

Corrected Model
Intercept
Suhu

Corrected Total

a. R Squared = .851 (Adjusted R Squared = .726)

52

Lampiran 6. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu ekstrak awal terhadap inhibisi amilase

One way
ANOVA
Inhibisi amilase oleh ekstrak awal
Sum of Squares
Between Groups
Within Groups
Total

Df

Mean Square

129.099

21.516

17.687

2.527

146.786

13

F
8.516

Sig.
.006

53

Lampiran 7. Uji lanjut Duncan faktor interaksi suhu dan waktu inhibisi enzim alfa amilase oleh
ekstrak awal

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets
Inhibisi amilase oleh ekstrak awal
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Interaksi
100oC 30
o

1
2

89.1450

70 C 5

94.6050

70oC 15

95.1300

95.1300

100 C 15

96.0350

96.0350

100oC 5

97.5350

97.5350

70 C 30

97.9150

97.9150

Acarbose

Sig.

99.1200
1.000

.093

.052

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

54

Lampiran 8. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah melewati proses
pencernaan in vitro

One way
ANOVA
Inhibisi alfa amilase setelah melewati proses pencernaan in vitro
Sum of
Squares
Between Groups
Within Groups
Total

Df

Mean Square

14351.096

2391.849

19.070

2.724

14370.166

13

F
877.980

Sig.
.000

55

Lampiran 9. Hasil uji lanjut Duncan statistik inhibisi enzim alfa amilase oleh ekstrak setelah
melewati proses pencernaan in vitro

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets
Inhibisi alfa amilase setelah melewati proses pencernaan in vitro
Duncan HSD
Subset for alpha = 0.05
Interaksi

70oC 30

100 C 15

23.0350

100oC 30

23.6150

70 C 5

Acarbose

10.3950

72.6550

85.1855

85.4000

70 C 15

87.1400

100 C 5
o

Sig.

1.000

1.000

1.000

.880

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

56

Lampiran 10. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa amilase

Paired Samples Statistics


Mean
Pair 1

Std. Deviation

Std. Error Mean

Awal

95.0608

12

3.28269

.94763

Seteleah melalui pencernaan in vitro

50.3733

12

33.42912

9.65016

Paired Samples Correlations


N
Pair 1

Awal & Setelah melalui pencernaan in vitro

Correlation
12

Sig.
.172

.592

Paired Samples Test


Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference
Mean
Pair 1

Awal-Setelah melalui
pencernaan in vitro

57

57

4.46875E1

Std. Deviation
33.02169

Std. Error Mean


9.53254

Lower
23.70652

Upper
65.66848

df
4.688

Sig. (2-tailed)
11

.001

Lampiran 11. Data inhibisi enzim alfa glukosidase teh hitam

Perlakuan Ekstraksi

70oC 5 menit

Ul

1
2

70oC 15 menit
70oC 30 menit
100oC 5 menit
100oC 15 menit
100oC 30 menit
Acarbose (Kontrol
Positif)

Ekstrak awal
RataInhibisi
Rata
(%)
(%)
95.80
95.96
96.11

95.65

96.27

97.20

99.53

92.15

90.52

81.86

82.98

98.83

100.00

1
2

99.86
99.88

95.96
98.36
91.34
82.32
99.42
99.87

Ekstrak setelah diberi pengaturan


simulasi pH pencernaan

Inhibisi (%)
90.91
90.21
95.96
99.53
95.88
96.43
87.72
86.48
98.60
98.14
96.74
99.14
99.46
99.51

Rata-Rata (%)
90.56
97.74
96.15
87.10
98.37
97.94
99.49

58

Lampiran 12. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase ekstrak awal

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Inhibisi oleh ekstrak awal
Type III Sum of
Source

Squares

df

Mean Square

Sig.

398.987a

79.797

82.000

.000

105787.741

105787.741

1.087E5

.000

98.728

98.728

101.454

.000

Waktu

190.490

95.245

97.875

.000

Suhu * Waktu

109.768

54.884

56.399

.000

Error

5.839

.973

Total

106192.566

12

404.825

11

Corrected Model
Intercept
Suhu

Corrected Total

a. R Squared = .986 (Adjusted R Squared = .974)

59

Lampiran 13. Hasil uji statistik faktor suhu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa
glukosidase

Suhu
Dependent Variable:Inhibisi glukosidase oleh ekstrak awal
95% Confidence Interval
Suhu

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

70oC

96.760

.403

95.775

97.745

91.023

.403

90.038

92.009

100 C

60

Lampiran 14. Hasil uji statistik faktor waktu penyeduhan terhadap inhibisi enzim alfa
glukosidase

Duncan
Subset
Waktu

15

30

89.1400

Sig.

93.6450
98.8900
1.000

1.000

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .973.

61

Lampiran 15. Hasil uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan Acarbose
pada inhibisi enzim alfa glukosidase

One way
ANOVA
Inhibisi alfa glukosidase oleh ekstrak awal
Sum of Squares
Between Groups
Within Groups
Total

df

Mean Square

460.256

76.709

5.839

.834

466.095

13

F
91.962

Sig.
.000

62

Lampiran 16. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan ekstrak dan
Acarbose pada inhibisi enzim alfa glukosidase

Post Hoc Tests


Homogenous Subsets
Inhibisi glukosidase ekstrak awal
Duncan
Subset for alpha = 0.05
Interaksi
100oC 15

1
2

82.3200

100 C 5

70oC 5

95.9550

70 C 15

95.9600

70oC 30

98.3650

100 C 30

99.4150

Acarbose

99.8700

Sig.

91.3350

1.000

1.000

.996

.157

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

63

Lampiran 17. Hasil uji statistik inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah melewati
proses pencernaan in vitro

One way
ANOVA
Inhibisi oleh alfa glukosidase setelah melewati proses pencernaan in vitro
Sum of Squares
Between Groups
Within Groups
Total

Df

Mean Square

260.616

43.436

10.519

1.503

271.135

13

F
28.905

Sig.
.000

64

Lampiran 18. Hasil uji lanjut Duncan untuk inhibisi enzim alfa glukosidase oleh ekstrak setelah
melewati proses pencernaan in vitro

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets

Inhibisi glukosidase setelah melalui proses pencernaan in vitro


Duncan
Subset for alpha = 0.05
Interaksi
100oC 5
o

1
2

87.1000

70 C 5

70oC 30

96.1500

70 C 15

97.7450

97.7450

100oC 30

97.9400

97.9400

100 C 15

98.3700

98.3700

Acarbose

Sig.

90.5600

99.4850
1.000

1.000

.131

.221

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

65

Lampiran 19. Hasil uji t-test inhibisi enzim alfa glukosidase

Paired Samples Statistics


Mean
Pair 1

Std. Deviation

Std. Error Mean

Awal

93.8917

12

6.06649

1.75124

Setelah melalui pencernaan in vitro

94.6442

12

4.58220

1.32277

Paired Samples Correlations


N
Pair 1

Correlation

Awal & Setelah melalui proses pencernaan in vitro

12

Sig.
.006

.984

Paired Samples Test


Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference
Mean
Pair 1

Awal & Setelah melalui proses


pencernaan in vitro

-.75250

Std. Deviation
7.57933

Std. Error Mean


2.18796

Lower
-5.56818

Upper
4.06318

df
-.344

Sig. (2-tailed)
11

.737

66

Lampiran 20. Tabel dan kurva standar asam galat

Konsentrasi Asam Galat (ppm)

Absorbansi

50

0.144

100

0.335

150

0.496

200

0.768

250

1.018

Kurva Standar Asam Galat


1.2

y = 0.0044x - 0,.021
R = 0.9902

Absorbansi

1
0.8
0.6
0.4
0.2
0
0

50

100

150

200

250

300

Konsentrasi (ppm)

67

Lampiran 21. Data total fenol

Kondisi
Ekstraksi
70oC 5

Ulangan

Absorbansi

Konsentrasi (ppm)

0.244

78.66

Konsentrasi
(mg GAE/g)
19.66

0.233

76.16

19.04

0.241

77.98

19.49

0.240

77.75

19.44

0.241

77.98

19.49

0.242

78.20

19.55

0.228

75.02

18.76

0.218

72.75

18.19

0.291

89.34

22.34

0.308

93.20

23.30

0.218

72.75

18.19

0.223

73.89

18.47

70 C 15
70oC 30
100oC 5
100oC 15
100oC 30

Rata-rata
(mg GAE/g)
19.35
19.46
19.52
18.48
22.82
18.33

Cara pengenceran: 100 ml ekstrak teh (mengandung 4 gram bubuk teh) diambil sebanyak 1 ml
kemudian diencerkan sampai dengan 10 ml dengan akuades. Dari pengenceran
tersebut, diambil 0.5 ml untuk dilakukan pengujian total fenol.
Contoh perhitungan:

Kondisi ekstraksi 70oC 5 menit (Ulangan 1)


Persamaan garis dari kurva asam galat
= 0.0044 0.1021 (y= Absorbansi, x =konsentrasi)
0.244 = 0.0044 0.1021
= 78.66
atau = 78.66
/

Konversi ke Gallat Acid Equivalent (GAE)


=

= 78.66

= 19.66

0.5

10
0.5

100
1

1
1000

68

Lampiran 22. Hasil uji statistik total fenol

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Total fenol
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

26.625

5.325

37.251

.000

4638.187

4638.187

3.245E4

.000

.555

.555

3.880

.096

Waktu

13.187

6.594

46.125

.000

Suhu * Waktu

12.883

6.442

45.061

.000

Error

.858

.143

Total

4665.670

12

27.483

11

Corrected Model
Intercept
Suhu

Corrected Total

a. R Squared = .969 (Adjusted R Squared = .943)

69

Lampiran 23. Hasil uji lanjut Duncan untuk waktu penyeduhan total fenol

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets
Total fenol
Duncan
Subset
Waktu

18.9125

30

18.9250

15;

Sig.

21.1425
.964

1.000

Means for groups in homogeneous subsets


are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) =
,143.

70

Lampiran 24. Uji statistik interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol
One way
ANOVA
Total fenol
Sum of Squares
Between Groups
Within Groups
Total

Df

Mean Square

26.625

5.325

.858

.143

27.483

11

F
37.251

Sig.
.000

71

Lampiran 25. Uji lanjut Duncan untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan total fenol

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets

Total fenol ekstrak awal


Duncan
Subset for alpha = 0.05
Interaksi
100oC 30

18.3300

100 C 5

18.4750

70oC 5

18.4750
19.3500

19.3500

70 C 15

19.4650

70oC 30

19.5200

100 C 15
Sig.

22.8200
.715

.060

.678

1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

72

Lampiran 26. Data kadar tanin

Kondisi
ekstraksi

Ulangan

Berat kertas
kosong (g)

70oC 5

1
2

70oC 15
70oC 30
100oC 5
100oC 15
100oC 30

0.5787

Berat
endapan +
kertas (g)
0.6105

Berat
endapan
(g)
0.0318

Kadar
Tanin
(%)
3.18

0.5801

0.6110

0.0309

3.09

0.5700

0.6073

0.0373

3.73

0.5744

0.6173

0.0429

4.29

0.5793

0.6227

0.0434

4.34

0.6019

0.6424

0.0405

4.05

0.5808

0.6151

0.0343

3.43

0.5859

0.6195

0.0336

3.36

0.5402

0.5729

0.0327

3.27

0.5693

0.5977

0.0284

2.84

0.6015

0.6118

0.0103

1.03

0.5929

0.6061

0.0132

1.32

Rata-Rata
(%)
3.14
4.01
4.20
3.40
3.06
1.18

Contoh perhitungan
Kondisi ekstraksi 70oC 5 menit (Ulangan 1)

Berat endapan = (berat endapan + kertas) berat kertas kosong


Volume ekstrak = 100 ml (mengandung 4 gram bubuk teh)
Volume ekstrak yang diuji = 25 ml
Berat ekstrak yang diuji =
4=1
jadi, dalam 25 ml ekstrak terkandung 1 gram bubuk teh hitam.
=

100%

= 3.18%

0.0318
1
3.18

100

100%

73

Lampiran 27. Hasil uji statistik kadar tanin

Univariate Analysis of Variance


Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kadar tanin
Type III Sum of
Source

Squares

Df

Mean Square

Sig.

Corrected Model

11.602a

2.320

40.965

.000

Intercept

119.890

119.890

2.117E3

.000

Suhu

4.600

4.600

81.220

.000

Waktu

1.502

.751

13.255

.006

Suhu * Waktu

5.500

2.750

48.547

.000

Error

.340

.057

Total

131.832

12

11.941

11

Corrected Total

a. R Squared = .972 (Adjusted R Squared = .948)

74

Lampiran 28. Nilai rataan pada suhu yang berbeda nyata pada kadar tanin (Hasil uji lanjut
Duncan untuk suhu penyeduhan tidak ditampilkan karena kurang dari tiga
jenis)

Suhu
Dependent Variable:Kadar tanin
95% Confidence Interval
Suhu
o

Mean

Std. Error

Lower Bound

Upper Bound

70 C

3.780

.097

3.542

4.018

2.542

.097

2.304

2.779

100 C

75

Lampiran 29. Hasil uji Duncan untuk waktu penyeduhan kadar tanin

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets
Kadar tanin
Subset
Waktu
Duncan HSDa 30

1
4

2.6850

3.2650

15

3.5325

Sig.

1.000

.320

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = .057.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

76

Lampiran 30. Hasil uji statistik untuk interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin

One way
ANOVA
Kadar tanin
Sum of Squares
Between Groups
Within Groups
Total

Df

Mean Square

11.602

2.320

.340

.057

11.941

11

F
40.965

Sig.
.000

77

Lampiran 31. Hasil uji lanjut Duncan interaksi suhu dan waktu penyeduhan kadar tanin

Pos Hoc Test


Homogeneous Subsets

Kadar tanin ekstrak awal


Duncan
Subset for alpha = 0.05
Interaksi
o

100 C 30

100oC 15

3.0550

70 C 5

3.1350

100oC 5

3.3950

1.1750

70 C 15

4.0100

70oC 30

4.1950

Sig.

1.000

.216

.466

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

78

Lampiran 32. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim alfa amilase

Correlations
Inhibisi
Amilase

Pearson Correlation

Fenol
1

Sig. (2-tailed)
N
Fenol

.298
.566

Pearson Correlation

.298

Sig. (2-tailed)

.566

79

Lampiran 33. Korelasi total fenol dengan inhibisi enzim glukosidase

Correlations
InhGlukosidase
Glukosidase

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)

Fenol

Fenol
-.825*
.043

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)
N

-.825

.043
6

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

80

Lampiran 34. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa amilase

Correlations
Inhibisi
Amilase

Pearson Correlation

Tanin
1

Sig. (2-tailed)

.017

N
Tanin

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)

.892*

.892*

.017

*. Correlation is significant at the 0.05 level


(2-tailed).

81

Lampiran 35. Korelasi kadar tanin dengan inhibisi enzim alfa glukosidase

Correlations
InhGlukosidase
Glukosidase

Pearson Correlation

Sig. (2-tailed)
N
Tanin

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Tanin
-.119
.823

-.119

.823
6

82

You might also like