You are on page 1of 15

Reinventing Government: Demokrasi dan Reformasi Pelayanan Publik

Oleh: Dr. Abidarin Rosidi, MMA Rinatania Anggraeni Fajriani, SE

Latar Belakang. Konsep Reinventing Government. Wacana pemerintah untuk melakukan reinventing government berfokus kepada konseptualisasi ulang pemerintah, untuk mendefinisikan kembali peran pemerintah dalam tata kelola masyarakat sehingga menciptakan lingkungan pemerintahan yang lebih efektif dengan memanfaatkan teknologi dan dapat meningkatkan efisiensi dengan biaya yang lebih rendah.

Konsep reinventing government pada dasarnya merupakan representasi dari paradigma New Public Management, dimana negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern dalam bidang tertentu bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang lainnya memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal kepada masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan layanan publik, yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Oleh Osborne dan Plastrik dalam Banishing Bureaucracy, reinventing government dimaknai sebagai berikut:

The fundamental transformation of public systems and organizations to create dramatic increases in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate. This transformation is accomplished by changing their purpose, incentives, accountability, power structure, and culture.

Pembaharuan yang dimaksud adalah dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat business entity. Pembaharuan dilakukan dalam hal pelayanan terhadap masyarakat, menciptakan organisasi-organisasi yang mampu memperbaiki efektifitas dan efisiensi pada saat sekarang dan di masa yang akan datang.

Awalnya,

konsep reinventing

government diilhami

oleh

beban

pembiayaan

birokrasi yang besar tidak sebanding dengan kinerja aparatur birokrasi yang rendah. Tekanan dari masyarakat sebagai pembayar pajak mendesak pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran dan meningkatkan kinerjanya. Pengoperasian fungsi pelayanan publik yang tidak efisien dan membebani keuangan Negara diminta untuk dikerjakan oleh sektor non-pemerintah. Sehingga akan terjadi alih peran dan fungsi pemerintah yang semula memonopoli semua bidang pelayanan publik, kini memiliki kedudukan yang sama dengan pihak swasta, dari yang semula merupakan big government dijadikan small government yang efektif, efisien, responsif, dan accountable terhadap kepentingan publik.

Reinventing dilakukan bukan untuk sekedar menciptakan efisiensi. Efisiensi hanyalah salah satu dari tujuan reinventing. Osborne menyatakan bahwa reinvention adalah Transformasi yang bersifat fundamental atas sistem dan organisasi pemerintahan yang demokratis meningkatkan efisiensi, efektivitas, kemampuan adaptasi dan kemampuan berinovasi. Selanjutnya, transformasi tersebut dilakukan melalui perubahan sistematis atas tujuan organisasi, penerapan insentif,

akuntabilitas, struktur kekuatan, dan budaya. Termasuk didalamnya pengaturan konstitusional, institusional, dan struktural untuk memungkinkan partisipasi masyarakat yang lebih efektif.

Authors approach to solving the problem. Implementasi Governance. Arti dari government dan governance secara fundamental berbeda. Governance mengambil peran yang lebih besar, yang terdiri dari semua proses, aturan, dan lembaga yang memungkinkan pengelolaan dan pengendalian masalah-masalah kolektif masyarakat. Secara luas, governance termasuk totalitas dari semua lembaga dan unsur masyarakat, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Lembaga dan unsur masyarakat sesuai fungsinya bergerak dalam batas-batas hokum tertentu yang telah ditetapkan. Pemerintah tetap menjalankan fungsinya sebagai regulator dan pengawas untuk melaksanakan kekuasaan koersif, dan menciptakan kewajiban formal bagi masyarakat. Dengan demikian, walaupun terlepas dari berbagai bagian yang membentuk suatu governance, gagasan governance itu sendiri lebih besar dalam lingkup tugas dan fungsi dibandingkan government. Reinventing Government di Indonesia, Government dan

Untuk membentuk suatu governance yang, pada akhirnya diharapkan dapat mengembalikan demokrasi demi kepentingan masyarakat, dapat dilakukan dengan proses reinventing government. Proses reinventing government dapat dilakukan paling tidak dengan dua cara. Pertama, melalui perbaikan menajemen pemerintahan dari gaya birokratis ke gaya entrepreuner yang umumnya diterapkan di sektor

bisnis. Perspektif ini mereformasi pendekatan manajemen pelayanan publik di Indonesia yang sebelumnya menggunakan pendekatan birokratis. Teknik-teknik manajemen yang biasa digunakan di sektor bisnis digunakan di sektor pemerintahan, seperti penyusunan renstra dan pengukuran kinerja untuk pemerintahan lokal dan BUMD yang tertuang dalam AKiP (Akuntabilitas Kinerja Pemerintah).

Cara yang kedua yaitu dengan mentransfer beberapa fungsi-fungsi pelayanan publik ke sektor non-pemerintah (swasta), diantaranya penggunaan manajemen kontrak, privatisasi, dan membuka alternatif-alternatif pelayanan sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan.. Privatisasi dapat dilakukan tanpa harus melepas aset (transfer of assets) seperti yang terjadi dengan BUMN-BUMN di Indonesia akhir-akhir ini, privatisasi dapat dilakukan dengan upaya alih manajemen (transfer of management) BUMN/BUMD. Oleh karenanya, sebelum melakukan privatisasi, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan kajian yang mendalam dan penuh kehati-hatian (prudential measures) Ada 10 prinsip reinventing government yang diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler, yaitu: 1. Pemerintahan katalis (Steering Rather Than Rowing) Berfokus pada pengarahan, bukan pada produksi pelayanan

publik. Memisahkan fungsi mengarahkan (kebijaksanaan dan regulasi) dari fungsi mengayuh (pemberian layanan dan compliance). Mengoptimalkan peranan pemerintah yang lebih sebagai fasilitator dari pada langsung

melakukan semua kegiatan operasional. Metode-metode yang digunakan antara lain : privatisasi, lisensi, konsesi, kerjasama operasional, kontrak, voucher, insentif pajak, dll. Pemerintah harus menyediakan beragam pelayanan publik, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya. Pemerintah memfokuskan pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan kepada swasta atau pihak ketiga. Produksi pelayanan publik oleh Pemerintah harus dijadikan sebagai perkecualian, bukan suatu keharusan. Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan pihak non publik. 2. Pemerintahan milik masyarakat (Empowering raher than Serving ). Mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, dan memberikan perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Dengan demikian, mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, pemerintah dapat memberikan wewenang kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community selfhelp). 3. Pemerintahan yang kompetitif (Injecting Competition into service Delivery) Pemberian jasa/layanan harus bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Persaingan adalah kekuatan yang fundamental yang tidak memberikan pilihan lain sehingga harus dilakukan oleh organisasi publik. Pelayanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah tidak bersifat monopoli tetapi harus bersaing.

Masyarakat dapat memilih pelayanan yang disukainya. Oleh sebab itu pelayanan sebaiknya mempunyai alternatif. Kompetisi merupakan satusatunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Tentunya dengan tetap menggunakan standar baku tertentu. 4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi (mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan) Mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan (Transforming RuleDriven Organizations) menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven). Secara internal, hal ini dapat dimulai dengan mengeliminasi peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan system administrasi. Sebagai permulaan, perlu ditinjau kembali visi dan misi pemerintah. Misi pemerintah harus jelas dan peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan misi tersebut. Apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah diatur dalam mandatnya. Tujuan Pemerintah bukan mandatnya, tetapi misinya. Contoh: Cara penyusunan APBD. APBD memang harus disusun berdasarkan suatu prosedur yang benar dan baku, tetapi pemenuhan prosedur bukanlah tujuan. Tujuan APBD adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. 5. Pemerintahan yang berorientasi pada hasil (Funding outcomes, Not input) Hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: a. Berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif: membiayai hasil dan bukan masukan.

b.

Mengembangkan standar kerja, yang mengukur seberapa baik mampu memecahkan masalah.

c.

Semakin baik kinerja, semakin banyak dana yang dialokasikan untuk mengganti dana yang dikeluarkan unit kerja

6. Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi (Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy) Mengidentifikasi pelanggan yang sesungguhnya. Pelayanan masyarakat harus berdasarkan pada kebutuhan riil, apa saja yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Instansi pemerintah harus responsif terhadap perubahan kebutuhan dan selera konsumen, dalam hal ini masyarakat. Selain itu, diperlukan adanya penetapan standar pelayanan. Pemerintah perlu meredesain organisasi mereka untuk memberikan nilai maksimum kepada masyarakat. 7. Pemerintahan wirausaha (Earning Rather than Spending) Pemerintah wirausaha memfokuskan energinya bukan hanya membelanjakan uang (melakukan pengeluaran) melainkan memperolehnya. Pendapatan dapat diperoleh dari biaya yang dibayarkan pengguna dan biaya dampaknya (impact fees), pendapatan atas investasinya dan dapat

menggunakan insentif seperti dana usaha (swadana) dan partisipasi dari pihak swasta, yang perlu ditingkatkan sehingga dapat meringankan beban pemerintah. 8. Pemerintahan antisipatif (anticipatory government)

Pemerintah harus bersikap proaktif. Menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah sehingga dapat membantu meraih peluang tidak terduga, menghadapi krisis tidak terduga, dengan system birokrasi yang lebih sederhana namun tepat sasaran. 9. Pemerintahan desentralisasi Dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja (From Hierarchy to Participation and Teamwork). Dengan melihat beberapa tantangan dari masyarakat, diantaranya: a. b. c. Perkembangan teknologi sudah sangat maju. Kebutuhan masyarakat dan bisnis semakin kompleks. Staf yang berpendidikan tinggi

Maka pemerintah harus menurunkan wewenang melalui organisasi, dengan cara menyederhanakan system birokrasi dan administratif. Pengambilan keputusan bergeser kepada masyarakat dan kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk memudahkan partisipasi masyarakat, serta terciptanya suasana kerja Tim. Pejabat yang langsung berhubungan dengan masyarakat (from-line workers) harus diberi kewenangan yang sesuai. Karena dengan kewenangan yang diberikan akan memungkinkan terjadinya koordinasi cross functional antar semua instansi yang terkait. 10. Pemerintahan berorientasi pasar (market oriented government) Pemerintah melakukan perubahan melalui pasar (Leveraging change

throught the Market) yaitu dengan perubahan dengan mekanisme pasar ( sistem insentif ) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur

dan pemaksaan). Mekanisme pasar terbukti yang terbaik di dalam memaksimalkan potensi sumberdaya.

Sebagai implikasi praktisnya, teori ini di sempurnakan melalui lima strategi reinventing Government (the five strategies for reinventing government) yakni core strategies and culture strategies dimana dibagi dalam : 1. Strategi inti dengan adanya kejelasan tujuan, kejelasan peran dan kejelasan arah 2. Strategi konsekuensi dengan adanya persaingan yang terkendali dalam manajemen dan kinerja. 3. 4. 5. Strategi pelanggan, adanya jaminan mutu pelayanan Strategi pengendalian; adanya pemberdayaan pada anggota organisasi Strategi budaya dimana adanya penghentian kebiasaan yang tidak kondusif yang mampu mengubah pikiran. Penerapan reinventing Government dalam Birokrasi di Indonesia, harus memenuhi persyaratan, yaitu: a. penyiapan sumberdaya aparatur birokrasi yang siap dan mampu mendukung operasionalisasi konsep-konsep tersebut. b. penyesuaian sistem dan prosedur kerja yang berorientasi pada efisiensi dan efektivitas kerja. c. penyempurnaan peraturan-peraturan (regulasi) yang lebih

akomodatif terhadap perubahan.

Meskipun ada kekhawatiran dalam strategi ReGo yakni birokrasi pemerintahan yang tidak berpihak kepada masyarakat atau birokrasi yan tidak lagi dapat

menjalankan mekanisme dan fungsinya sebagai pelayan publik. Kekhawatiran lain, bahwa Rego di anggap kental dengan nuansa privatisasi organisasi publik.

Oleh karena itu, dalam mengimplementasikan prinsip reinventing government yang telah disebutkan diperlukan pengawalan dan pengawasan, terutama dari pihak masyarakat. Karena apabila tidak ada pihak atau sistem yang mengawal, kesepuluh prinsip diatas dapat menjadi justifikasi bagi para pimpinan/wakil rakyat untuk menjual aset-aset pemerintah, yang akhirnya berujung pada korupsi dan kolusi yang berkelanjutan. Privatisasi dan restrukturisasi BUMN yang banyak dilakukan akhir-akhir ini merupakan salah satu contohnya. Terbukti privatisasi dilakukan bukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi BUMN sehingga dapat memaksimalkan fungsinya dalam melayani masyarakat, melainkan menjadi salah satu cara untuk membagikan saham/kepemilikan kepada pihak-pihak tertentu.

Tiga sektor dalam good governance yaitu negara/pemerintah, privat, dan masyarakat memiliki pembagian hak dan tanggung jawab bersama yang jelas yang dapat diatur dalam berbagai jenis kontrak sosial, seperti peraturan dan UU. Pemerintah berperan sebagai pembuat regulasi dan mengamankan hasil-hasil regulasi berdasarkan kesepakatan bersama ketiga sektor tadi. Masyarakat memiliki hak untuk mengakses informasi dari pemerintah dalam rangka mengawasi kinerja lembaga pemerintahan dan mitra kerjanya yang dijamin oleh sistem legal-formal.

Sistem ini dapat memberi implikasi yuridis kepada lembaga-lembaga yang melalaikan fungsinya untuk mewujudkan transparansi informasi dan akuntabilitas publik. Keterlibatan masyarakat secara langsung dalam mengawasi kinerja pemerintah merupakan syarat terlaksananya good governance.

Aligning the Strategies Konsep Reinventing Government, memang muncul terhadap kinerja pemerintah selama ini dan sebagai antisipasi atas berbagai perubahan yang selalu akan terjadi dalam organisasi. Dengan pembahasan di atas, bahwa dengan 10 strategi reinventing goverment dapat menjadi dasar bagi sebuah model baru pemerintahan (birokrasi) di masa depan. Akan tetapi harus dilakukan secara simultan dan terintegralistik melalui perubahan struktur dan kultur birokrasi. Perubahanperubahan lain perlu dilakukan terhadap birokrasi seperti dilakukan bureaucracy reengineering, righsizing dan perbaikan mekanisme reward and punishment.

Penerapan reinventing Government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu diperlukan perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintahan yakni entrepreneurial bureaucratic menjadi tata nilai budaya baru yang harus di internalisasikan dalam tubuh organisasi birokrasi.

Relevansi Reinventing Government dengan Administrasi Publik di Indonesia Birokrasi memainkan peranan utama dalam pembangunan dan semakin kuat menunjukkan kecenderungan yang kurang baik, yaitu sulit ditembus, sentralistis,

top

down,

dan Hierarki

sangat

panjang. Birokrasi

dianggap

mengganggu

mekanisme pasar, karena menciptakan distorsi ekonomi dan pada akhirnya menyebabkan inefisiensi organisasi. Eraturbulance and uncertainty, teknologi informasi yang canggih, demanding community, dan persaingan ketat, menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja dengan baik. Pada era globalisasi dan knowledge based economy, birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan menekankan efisiensi.

Di Indonesia, upaya deregulasi dan debirokratisasi sudah mulai dilakukan sejak tahun 1983, namun baru menyentuh sektor riil dan moneter, sementara debirokratisasi belum menyentuh sisi kelembagaan. Praktik Manajemen dan Administrasi Publik di Indonesia ditandai oleh Public service yang buruk, ekonomi sangat birokratis, kebocoran anggaran, dan Budaya KKN. Konseptualisasi

pemerintah merupakan upaya untuk menjadikan pemerintah lebih bertorientasi pada strategic thinking, strategic vision, and strategic management. Sedangkan dalam penataan Kelembagaan pemerintah melalui reinventing (Sunarno, 2008) antara lain : 1. REORIENTASI. Meredefenisikan visi, misi, peran, strategi, implementasi, dan evaluasi kelembagaan pemerintah. 2. RESTRUKTURISASI. Menata ulang kelembagaan pemerintah, membangun organisasi sesuai kebutuhan dan tuntutan publik.

3. ALIANSI. Mensinergikan seluruh sektor, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam tim yang solid.

Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk mewujudkan good governance yang didukung oleh penyelenggara Negara yang profesional dan bebas korupsi, kolusi, nepotisme serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga tercapai pelayanan prima (Sunarno, 2008).

Sasaran reformasi birokrasi menurut Sunarno adalah terwujudnya birokrasi yang profesional, netral dan sejahtera yang mampu menempatkan dirinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik; terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional, fleksibel, efisien dan efektif baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah; terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelit-belit, mudah dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani.

Daftar Pustaka

Handayani, Canti Tri. 2008. Menemukan Kunci Reformasi Birokrasi, TC Media, Edisi Ke 5, Jakarta Jurnal Ilmiah, Admnistrasi Publik, Birokrasi Era Reformasi, Vol. V No 1, September 2004 Februari 2005. Jurnal Ilmu Pemerintahan, Penataan Kelembagaan Pemerintahan, Edisi 7, Tahun 2002, Penerbit, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Leach, Steve; Stewart, John and Kieron Walsh, 1994. The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd. Mariana, Dede. 2009. Reformasi Birokrasi dan Paradigma Baru Administrasi Publik di Indonesia Dalam Makalah Utama Konferensi Administrasi Publik, Surabaya , Mei 2009, hal 1-19 Muluk, Khairul, 2004. Paradigma Baru Administrasi Publik : Dari "Public Management" Menuju "Public Governance" Jurnal Vol. V, No. 1, September 2004-Februari 2005 Osborne, David dan Gaebler, Ted, 1996, Mewirausahakan Birokrasi:Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik dalam Abdul Rosyid (penerjemah), Jakarta: Pustaka Binawan Pressindo. Osborne, David and Peter Plastrik, 1997. Memangkas Birokrasi, Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Lembaga Manajemen PPM, Jakarta. Thoha, Miftah. 1996. Birokrasi Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: PD Batang Gadis

You might also like