You are on page 1of 3

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007 : Hal.

77 - 81

I S S N . 1 6 9 3 - 2 5 8 7

Jurnal Oftalmologi Indonesia

JOI

TRANS LIMBAL LENSECTOMY OF UNTREATABLE UVEITIS


IN JUVENILE RHEUMATOID ARTHRITIS PATIENT
Erni Indraswati, M. Anie, Gatut Suhendro
Bag./SMF Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSU Dr. Soetomo Surabaya

ABSTRACT
Objective: To report the result of trans limbal lensectomy, iridectomy and anterior vitrectomy in chronic and
untreatable uveitis with secondary glaucoma, total posterior synechia, and complicated cataract in Juvenile
Rheumatoid Arthritis patient.
Case report: A 14 years old girl was referred from Sorong General Hospital with bilateral chronic uveitis,
complicated cataract and secondary glaucoma. Underlying disease was still unclear. She already treated with
topical polydex and atropin without improvement. Visual acuity in right eye was 1 meter finger counting and light
perception in left eye. Ophthalmic examination showed bilateral keratopathy, secclusio pupil, membrane in front
of the lens capsule and complicated cataract which appear more severe in left eye than right eye. She also
suffered from secondary glaucoma. Ultrasound examination on the right eye showed no vitreous opacity
staphyloma and vitreous and retina attached. Consultation to the Internal Medicine Department revealed Juvenile
Rheumatoid Arthritis as an underlying disease. Pre-operative treatment was methylprednisolon 1 mg/kgBW/day
orally and topical atropin, timolol and azopt. We performed trans limbal lensectomy, iridectomy and anterior
vitrectomy in right eye as the last eye and continued with YAG laser iridectomy.
Result: Best corrected visual acuity in right eye was improve become 5 / 8.5 with S + 10.00 D. Intraocular
pressure was stable without any therapy of glaucoma. Systemic steroid has successfully tappered off without any
sign of reactivation of inflammation until minimal dose ( 3 X 2 mg ) as it was needed to control the Juvenile
Rheumatoid Arthritis.
Conclusion: Trans limbal lensectomy, iridectomy and anterior vitrectomy may give good result for chronic
and untreatable uveitis patient with Juvenile Rheumatoid Arthritis.
Keywords: chronic uveitic, glaucoma, compicated cataract, juvenile rheumatoid arthritis, steroid,

juta orang penderita uveitis dimana kasus barunya


ditemukan sebanyak 45.000 pertahun. Uveitis juga
menyebabkan 10% kebutaan. Meskipun dapat
terjadi pada semua usia, kebanyakan penderita
berusia 20-50 tahun dan menurun insidennya pada
usia diatas 70 tahun.1,4
Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) adalah
arthritis yang terjadi pada masa pre-pubertas atau
sebelum berusia 16 tahun dan berlangsung selama 6
bulan atau lebih. Sebagian besar (70%) kasus timbul
dengan manifestasi yang tidak berat dan hanya
melibatkan sedikit persendian. Di Indonesia
insidennya belum diketahui dengan pasti. Di RS.

PENDAHULUAN
Uveitis merupakan salah satu penyebab
kebutaan di dunia termasuk Indonesia, terlebih
uveitis pada anak yang merupakan penyakit sangat
serius dan lebih sering mengancam kebutaan
dibanding usia dewasa. Penatalaksanaan yang
mungkin dirasakan kurang optimal pada anak
dengan uveitis, komplikasi yang cukup tinggi, serta
seringnya diperlukan pengobatan sistemik
menunjukkan bahwa kelainan ini kronis dan berat
pada usia muda.
Insiden uveitis pada populasi 100.000 orang
adalah 15 kasus pertahun. Di Amerika terdapat 2,3

1
77

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

78

JOI

Trans Limbal Lensectomy

Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1 Januari


1979 - 30 April 1985 ditemukan sebanyak 21 kasus
2
terdiri dari 6 wanita dan 15 pria. JRA merupakan
salah satu kelainan sistemik yang erat kaitannya
dengan timbulnya iridocylitis pada usia anak-anak.
Uveitis anterior terjadi pada 11 % kasus JRA. Insiden
uveitis pada JRA di Amerika diperkirakan sekitar 14
dari 100.000 kasus dan uveitis ditemukan pada 221% anak dengan JRA.3
Dalam kasus uveitis dengan JRA diperlukan
penanganan yang serius sejak diagnosis ditegakkan,
pencarian kemungkinan etiologi, serta
penatalaksanaan yang tepat sesuai dengan
etiologinya. Penatalaksanaan yang tepat diharapkan
dapat meningkatkan prognosis penyakit. Selain itu
karena sifat penyakit ini kronis maka diperlukan
monitoring dan evaluasi yang baik sehingga setiap
perkembangan yang terjadi bisa diwaspadai.
TATALAKSANA KASUS
Seorang gadis belia berusia 14 tahun datang ke
Poliklinik Mata RS Dr. Soetomo Surabaya dengan
keluhan kedua mata kabur. Mata dirasakan kabur
sejak 4 tahun yang lalu namun dirasakan makin
parah sejak 1 tahun, mula-mula ringan namun
berangsur-angsur makin berat. Sejak 3 tahun
sebelumnya mata penderita mulai kabur sering
merah tetapi seringkali sembuh dengan sendirinya.
Selama ini mata tidak pernah nyeri, belekan atau
nrocoh. Riwayat trauma disangkal. Penderita tidak
pernah memakai kacamata. Sejak 2 bulan yang lalu
penderita berobat jalan di RSUD Sorong dan
disarankan untuk berobat ke RS. Dr. Soetomo.
Penderita juga mengeluh nyeri dan sulit
menggerakkan sendi-sendi tangan dan kaki sejak 2
tahun yang lalu. Selain itu di daerah jari dan
punggung tangan serta kaki terlihat benjolan yang
terlihat tidak normal.
Pada pemeriksaan tanggal 29 September 2005
di poliklinik mata RS. Dr. Soetomo didapatkan tajam
penglihatan mata kanan adalah hitung jari dari jarak
1 meter sedangkan mata kiri hanya dapat melihat
cahaya dengan proyeksi iluminasi yang buruk.
Tekanan intra okuli pada kedua mata cenderung
tinggi diatas 23 mmHg dengan pemberian Timolol
0,5% sehari sekali. Segmen anterior mata kanan dan
kiri menunjukkan adanya band keratopathy pada

kornea, bilik mata depan dangkal, seklusio pupil,


membran di depan kapsul anterior lensa dan katarak
komplikata, dimana kelainan-kelainan tersebut
tampak lebih berat pada mata kiri dibanding mata
kanan.
Hasil pemeriksaan ultrasonografi pada mata
kanan tanggal 1 Oktober 2005:
n
Kurvatura dengan bola mata posterior baik
n
Kekeruhan vitreous tidak didapatkan
n
Retina attached
USG pada mata kiri tidak direkam karena tidak
ada rencana tindakan.
Penderita dikonsulkan ke Divisi Rheumatologi Interna
dengan hasil : Juvenile Rheumatoid Arthritis

Gambar 1.
Mata kanan sebelum operasi

Gambar 2.
Mata kiri sebelum operasi

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

79

JOI

Trans Limbal Lensectomy

Tindakan
Dilakukan trans limbal lensectomy, iridectomy,
dan anterior vitrectomy pada mata kanan. Sejak 1
minggu sebelum operasi diberikan steroid sistemik
yaitu methylprednisolon dengan dosis 1
mg/kgBB/hari dan ditambah pemberian oradexon 1
ampul intravena pra-operasi. Prosedur operasi
diawali dengan membuat insisi di limbus sepanjang 3
mm pada jam 10-12 dan insisi untuk side port pada
jam 3. Dilakukan sinekiotomi dan kapsulotomi yang
dilanjutkan dengan translimbal lensectomy.
Kemudian dilakukan anterior vitrectomy yang
dilanjutkan dengan iridektomi pada jam 11 untuk
menjamin aliran humor akuos yang baik. Pada
kasus ini tidak dilakukan pemasangan lensa
intraokuli karena resiko reaktivasi inflamasi yang
tinggi pasca operasi.4
Hasil
Tajam penglihatan pada mata kanan membaik
dimana dengan kondisi afakia didapatkan tajam
penglihatan natural 1/60 dan dengan koreksi Spheris
+ 10,00 Dioptri menjadi 5/8,5. Tekanan intra okuli
pada mata kanan berangsur-angsur menurun dan
stabil dibawah 20 mmHg tanpa terapi anti glaukoma.
Steroid sistemik berhasil diturunkan dosisnya secara
bertahap tanpa menimbulkan tanda-tanda reaktivasi
inflamasi, sampai dengan dosis terendah yang
masih dibutuhkan untuk pengobatan jangka panjang
terhadap arthritisnya.

Gambar 3.
Mata kanan 4 minggu paska operasi
Gambar 4.

Hasil USG OD tgl 1-10-2005

PEMBAHASAN
Penatalaksanaan pada kasus ini bertujuan
untuk menekan proses radang dan mencegah
komplikasi menjadi lebih berat terutama pada mata
kanan. Sementara untuk mata kiri tidak ada rencana
penatalaksanaan khusus karena sejak awal
pemeriksaan visus natural sudah LP (+) dengan
proyeksi iluminasi dan red-green jelek yang berarti
sudah terjadi gangguan fungsi makula.
Pada penderita ini, meski dengan resiko yang
besar akan adanya komplikasi dan rekurensi
inflamasi, dilakukan tindakan operatif
dengan
pertimbangan :
n
Komplikasi yang terjadi akibat uveitis seperti
adanya membran, sinekia posterior dan
seklusio pupil, serta katarak komplikata
merupakan indikasi untuk tindakan operatif.
Mata kanan yang akan dioperasi merupakan
mata yang masih berfungsi (last eye).5,6
n
Penderita masih berusia remaja sehingga
fungsi visual yang baik akan meningkatkan
kualitas hidupnya kelak
n
Penderita dirujuk dari Irian Jaya karena
fasilitas kesehatan disana tidak dapat
menangani kasus yang sulit seperti ini.
Dalam hal ini sebelum operasi sudah diberikan
informasi dan pengambilan informed consent disertai
penjelasan akan adanya kemungkinan kegagalan
tindakan yang menyebabkan hilangnya penglihatan
pada mata kanan.
Persiapan pre-operatif pada penderita ini sudah
dilakukan sejak 1 bulan pre-operatif untuk

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

Trans Limbal Lensectomy

memastikan bahwa kondisi mata kanan yang akan


dioperasi benar-benar tidak dalam kondisi inflamasi
aktif.
Diagnosis ini adalah atas dasar kriteria
diagnosis yang ditetapkan oleh American
Rheumatism Association yaitu :
1. Kaku pagi hari
2. Arthritis pada tiga daerah persendian
3. Arthritis pada persendian tangan
4. Arthritis simetris
5. Nodul Rheumatoid
6. Faktor Rheumatoid serum +
7. Perubahan gambaran radiologi
Seseorang menderita arthritis bila memenuhi 4
kriteria dimana kriteria 1-4 harus diderita minimal 6
minggu. 2
Hasil lab yang menunjang adalah pemeriksaan
radiologi yang dilakukan terhadap sendi-sendi genu,
ankle dan manus dextra sinistra keseluruhannya
menyokong suatu rheumatoid arthritis.
Steroid sistemik dalam dosis maksimal (1
mg/kgBB/hari) diberikan sejak 1 minggu sebelum
operasi untuk mencegah reaksi radang yang berat
post operatif.7,8 Kortikosteroid topikal pre-op tidak
diberikan untuk mencegah peningkatan tekanan
intra okuli sekunder karena kortikosteroid, dimana
pada penderita ini tensi okuli 1 minggu pre-op bisa
dipertahankan antara 14,6 mmHg - 23,1 mmHg
dengan pemberian timolol eye drop 0,5 % 2 kali 1
tetes. 5, 7, 11
Tindakan operatif yang dilakukan pada pasien
ini adalah OD trans limbal lensectomy, iridectomy
dan anterior vitrectomy yang bertujuan untuk
membuang kekeruhan pada lensa dan kapsul anterior
lensa yang fibrotik. Dalam proses operasi sebelum
dilakukan lensectomy dilakukan juga sinekiotomi
untuk membebaskan sinekia dengan menggunakan
jarum kapsulotomi. Setelah bebas, pada kapsul anterior
yang fibrotik dilakukan kapsulotomi. Pada saat
lensectomy, massa lensa diaspirasi dengan
menggunakan vitrector dimana irigasi dilakukan
melalui insisi side port pada jam 3 dengan
menggunakan jarum 20.G. Penggunaan vitrector
untuk aspirasi massa lensa pada kasus ini dipilih
mengingat lensa pada usia remaja umumnya
berkonsistensi lunak dan juga untuk melakukan

80

JOI

pembuangan seluruh cortex dan massa lensa hingga


bersih untuk mencegah post operatif phacogenic
inflammation. Meski menggunakan vitrector namun
insisi yang dilakukan pada limbus superior diambil
sepanjang 3 mm. Hal ini mengingat kondisi kekeruhan
lensa pre-operatif sulit dievaluasi karena adanya
sinekia posterior yang berat, seklusio pupil dan adanya
semacam membran atau kapsul anterior yang fibrotik
yang menghalangi visualisasi kekeruhan lensa. Dengan
insisi 3 mm maka apabila ternyata kondisi nukleus
lensa cukup keras sehingga tidak dapat diaspirasi
dengan menggunakan vitrector maka akan dilakukan
ekspresi lensa secara manual. Iridektomi dilakukan
untuk mencegah peningkatan tensi okuli post-operatif.
Pada penderita ini tidak dilakukan operasi
vitreo-retina karena kekhawatiran akan timbulnya
komplikasi hipotoni mengingat penderita telah
mengalami inflamasi yang cukup lama sehingga bila
terjadi trauma pada badan siliar karena tindakan
operasi akan sangat mudah timbul hipotoni. Selain
itu mata yang dilakukan tindakan merupakan last eye
sehingga resiko yang berat harus betul-betul dihindari.9
Tekanan intraokuli post operatif pada awalnya
masih belum stabil sampai dengan 3 minggu post-op.
Ada beberapa kemungkinan penyebab :
n
Penggunaaan xitrol eye drop dan
kortikosteroid sistemik (methyl prednisolon)
menyebabkan glaukoma sekunder
diakibatkan kortikosteroid.
n
Mekanisme pembuntuan trabecular
meshwork akibat pembengkakan trabekular
post- operatif, debris sel radang atau sisa selsel darah merah yang terperangkap di
trabecular meshwork, neovaskularisasi, ataupun
adanya peripheral anterior synechia (PAS) .
n
Sisa kortex di bilik mata depan menyebabkan
terjadinya lens-induced uveitis yang
menyebabkan timbulnya glaukoma.9, 10
Sejak minggu ke-4 post operatif tensi mata
kanan mulai terkontrol perlahan-lahan hingga
dibawah 20 mmHg. Hal ini disebabkan karena
pemberian steroid sistemik sebagai salah satu
dugaan penyebab glaukoma sudah mencapai dosis
minimal. Tidak dilakukan tindakan bedah filtrasi pada
pasien ini karena sesudah penghentian steroid
topikal dan penurunan dosis bertahap dari steroid

Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007

81

JOI

Trans Limbal Lensectomy

sistemik tekanan intraokuli mata kanan menurun


tanpa pengobatan anti glaukoma (sebelumnya
diberikan kombinasi timolol dan azopt topikal).8,9
Prognosis penyakit ini adalah dubius ad malam
untuk mata kiri dimana tajam penglihatan hanya
mampu mengenali cahaya (+) dengan proyeksi
iluminasi yang jelek. Sedangkan mata kanan adalah
dubius ad bonam. Tajam penglihatan mata kanan
post-operatif memang meningkat yaitu dari 1/60
sukar koreksi menjadi 1/60 dengan koreksi S+10.00
menjadi 5/8.5. Monitoring jangka panjang tetap
diperlukan dan untuk menjamin pengawasan yang
baik telah kami berikan rujukan kembali pada dokter
pengirim di RSUD Sorong sebelum penderita
kembali ke daerah asal.
KESIMPULAN
Uveitis pada kasus ini berhubungan erat
dengan penyakit sistemik yaitu Juvenile Rheumatoid
Arthritis. Indikasi tindakan bedah pada mata
kanannya adalah karena uveitis dengan komplikasi
seperti adanya membran, sinekia posterior, seklusio
pupil, glaukoma dan katarak komplikata yang gagal
diterapi secara konservatif sekunder.
Lensektomi translimbal, iridektomi dan
vitrektomi anterior memberi hasil cukup baik dimana
visus bisa maju, glaukoma terkontrol tanpa obatobatan dan penderita dapat beraktivitas normal
dengan menggunakan kacamata + 10.00D.

DAFTAR PUSTAKA
1. Deborah Pavan-Langston. 2002. Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy , 5th edition Lippincott William &
Wilkins. Philadelphia.p229-230
2. Gina H, 1996. Arthritis Rheumatoid Juvenil, in (Noer
Sjaifoellah, Waspadji S, et al) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, , Balai Penerbit FKUI, Jakarta. P 71-73.
3. Crawford John, Morin J D ; 1982, The Eye in Childhood,
Graus & Straton, New York. p 242-243.
4. Ansyari Fatma.2004. Uveitis pada Anak, 8th Continuing
Ophtalmology Education, , Ophtalmology Department FKUI,
Jakarta.
5. Muhaya Haji M, 2004. Medical Management of Uveitis , 8th
Continuing Ophtalmology Education, , Ophtalmology
Department FKUI, Jakarta.
6. Opremcak EM, et al. 2003. Basic and Clinical Science
Course, section9, Intraocular Inflammation and Uveitis.

7.

8.

9.

10.

American Academy of Ophtalmology .United States of


America. p 138-139.
Bacsal K. 2004. Corticosteroid in Uveitis, 8th Continuing
Ophtalmology Education . Ophtalmology Department FKUI.
Jakarta.
Raizman MB, 2004. Cataract Surgery in Uveitis Patient , in (
Steinert RF eds ) Cataract Surgery: Techniques,
Complications, and Management. 2nd edition.WB Saunders.
Philadelphia. P 267-270.
Heiligenhauz A, Heinz C, Becker M. 2005. The Treatment of
Uveitic Cataract. in (Kohnen T, Koch DD, eds). Essentials in
Ophtalmology : Cataract and Refractive Surgery. Springer.
Berlin. p 135-148.
Kanski JJ, 1999. Uveitis : Clinical Ophtalmology, a
Systemic Approach 4th edition Butterworth Heinemann,
USA. P279-280

You might also like