You are on page 1of 138

KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI

DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR

HADI PRANOTO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
Hadi Pranoto. Analysis Characteristic Agroecology of Agroforestry System in

Cianjur Watershed. Under suvervisor M A Chozin as chairman, Hadi susilo


Arifin and Edi Santosa, as a member of the advisory community.a
A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry
system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30
samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and
the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the
communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry
practice in order to manage their dry land. Its found the differences characteristic of
agroforestry system between the upper stream and the down stream. In the upper

stream, agroforestry practices were found in a forest garden. This area is the
buffer zone of Gede Pangrango Mountain. In the upper stream, the number of
trees found 5 species and 12 species of plants. In the middle stream area,
agroforestry practices were found in community lands and the tea estate
plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12
species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in
community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11
species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a
transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of
biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees
and cash crop. Planting index of cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper,

middle and down stream, respectively. The average annual income from cash
crops in the three zones are 15.866.250, 4.771.643 and 735.918 (IDR/ha/yr) from
the upper, the middle to the down streams, respectively. The productivity of cash
crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the generally also lower
than the potential yield and data from Cianjur Agriculture Official 2009.
Furthermore, the dominant cash crops in the upper stream are carrot, cabbage,
tomato, scallion, mustard and chili. In the middle stream are corn, chili, tomato,
carrot, and mustard, and than in the down stream are corn, chili, tomato and
cassava.The aspects of sustainability can be seen from the B/C ratio, where B/C
ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The B/C ratio in
the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream 1:02. The
sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for aspects of
productivity, economic, social and culture and ecologycal. For the aspect of
environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle
and the down stream.The aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides,
in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the
management of agroforestry systems. There are differences of sustainability
indexs in the three zones area in ianjur watershed. The average of indexs
sustainability is 12.12 (moderat suatainability).in scale 11-15
Key words: agroclimate, biophisic, cropping pattern, productivity, social
economic

RINGKASAN
HADI PRANOTO. Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran
Sungai Cianjur. Di bawah bimbingan: M A CHOZIN, HADI SUSILO ARIFIN
dan EDI SANTOSA
Sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan kering pada kawasan Daerah
Aliran Sungai (DAS) diyakini oleh beberapa peneliti mampu menjaga kelestarian
lingkungan dan mempunyai manfaat dari segi keragaman jenis (biodiversity),
unsur hara, sifat fisik tanah serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Daerah
Aliran Sungai yang berdasarkan tempatnya meliputi kawasan dari hulu sampai ke
hilir, secara umum memiliki keragaman agroekologi yang disebabkan oleh
perbedaan ketinggian tempat. Perbedaan wilayah yang ditentukan berdasarkan
ketinggian tempat ini sering dianggap sebagai zona DAS. Masyarakat di wilayah
DAS Cianjur secara umum memanfaatkan lahan keringnya dengan sistem
agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home gardens),
kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens). Sistem
agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dan sudah menjadi budaya
masyarakat secara turun-temurun. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri
sebagai suatu sistem tersebut dipengaruhi oleh kondisi zona agroekologi yang
berarti bahwa keadaan topografi dan iklim yang berbeda akan memberi pengaruh
yang berbeda terhadap pola pengelolaan sistem agroforestri sebagai sistem
pertaniannya.
Serangkaian penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik sistem
agroforestri berdasarkan kajian agroekologi di tiga zona DAS Cianjur yang
dikhususkan dengan tujuan 1) analisis biofisik dan agroklimat sistem agroforestri
di tiga zona DAS Cianjur, 2) analisis pola tanam dan produktivitas tanaman
semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3) analisis sosial ekonomi
dan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian dilaksanakan
sejak Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2008 di tiga zona Daerah
Aliran Sungai Cianjur Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Secara geografis
zona hulu terletak pada S 60 46 23 60 47 15 ; E 1060 59 7 1070 3 16
pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11 - 107005` 08 BT dan 6048` 14
LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11 - 107005` 08 BT dan 6048` 14 LS
pada 300 m dpl.
Penelitian menggunakan metode survei dengan pengamatan langsung
sistem agroforestri masyarakat. Jumlah sampel agroforestri dan petani pada setiap
zona sebanyak 30. Penentuan lokasi sampel dan responden didasarkan pada data
kepemilikan dan penggunaan lahan secara acak dan atau terstruktur yang mengacu
pada peta topografi, penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur.
Survei dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun agroforestri
berupa jenis pohon, jenis tanaman semusim, jumlah jenis dan penyebarannya serta
pola tanaman tanaman semusim yang meliputi intensitas penanaman, pola tanam,
rotasi penanaman, luas dan pola kepemilikan lahan dan status garapan.
Pengelompokkan jenis tanaman didasarkan pada fungsinya dan dibedakan

menjadi 8 (delapan) kelompok yaitu: tanaman pangan, buah, sayuran, bumbu,


obat, industri, hias dan tanaman lainnya.
Analisis pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman didasarkan
pada beberapa kriteria yaitu: konsumsi harian, kemudahan menjual,
keuntungan/harga, kesesuaian iklim, keahlian petani, kemudahan pemeliharaan
tanaman, biaya yang rendah, kemudahan mendapatkan bibit/benih dan kesesuaian
dengan kebijakan. Selanjutnya dilakukan Uji Chi Square untuk menguji hubungan
pada masing-masing kriteria pada setiap zona.
Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan
pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani sampel.
Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan
hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam.
Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak
pengamatan berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang
mewakili kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan
terhadap 10 tanaman contoh dari setiap petak pengamatan untuk setiap jenis
tanaman, dan setiap petak pengamatan diulang sebanyak tiga kali. Petak
pengamatan untuk setiap jenis tanaman juga dibuat pada pertanaman monokultur
sebagai pembanding.
Analisis ekonomi dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran
dan pendapatan dari lahan yang dikelola petani pada saat penelitian berlangsung
(2007-2008), dengan analisis arus uang tunai (cash flow analysis). Sedangkan
tingkat keberlanjutan sistem agroforestri ditentukan dengan analisis Benefit/Cost
Ratio (B/C ratio). Analisis keberlanjutan juga didasarkan pada aspek
keberlanjutan agronomi, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi,
dimana Sustainabilitas Agroforestri (ST) = KA + KE + KSB + KEK. Pembobotan
untuk setiap aspek dianggap setara. Semakin tinggi nilai ST, maka sistem
agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani tingkat keberlanjutannya
semakin tinggi. Nilai akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap
responden pada zona yang bersangkutan. Nilai ST = 4-10 berarti tidak
berkelanjutan (Not Sustainable), ST = 11-15 berarti keberlanjutan sedang
(moderat sustainable) dan ST = 16-20 berarti sangat berkelanjutan (very
sustainable).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan karakteristik agroklimat
dan biofisik di tiga zona DAS Cianjur, yang berpengaruh terhadap karakteristik
penyusun sistem agroforestri pada setiap zona DAS. Di hulu ditemukan pohon
sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan
fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan 20% pohon buah, di tengah 60%
penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil bunga sedangkan di hilir 56.52%
penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70% penghasil bunga dan 4.40%
penghasil obat.
Perbedaan jumlah spesies pohon disebabkan oleh tujuan pemilihan pohon
yang dikaitkan dengan fungsi ekologis dan ekonomis pohon pada setiap zona
DAS. Berdasarkan fungsi ekologis pohon yang dipilih adalah pohon yang
mempunyai nilai konservasi tinggi dengan perakaran yang dalam dan
perkembangan tajuk yang cepat. Sedangkan dari nilai ekonomis adalah pohon

yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik berupa getah maupun kulit kayunya
yaitu: pinus (Pinus merkusii) dan kayu putih (Eucalyptus sp). Sedangkan jumlah
spesies tanamam semusim di hulu lebih rendah dibandingkan di tengah dan di
hilir. Rendahnya jumlah spesies tanaman di hulu disebabkan oleh kondisi
agroklimat terutama suhu. Perbedaan suhu yang merupakan representasi dari
ketinggian tempat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga
jenis tanaman yang diusahakan hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran
tinggi seperti cabe, tomat, wortel, kobis, sawi, bawang daun dan brokoli.
Pola tanam di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda. Di hulu dan tengah pola tanam
lorong (alley cropping) dengan tata letak tanaman teratur dalam barisan atau blokblok baik tunggal maupun tumpang sari, sedangkan di hilir sistem agroforestri
umumnya berupa kebun campuran. Intensifikasi pengelolaan tanaman di tiga zona
DAS Cianjur juga berbeda, dimana di hulu intensifikasi pengelolaan tanamannya
sangat intensif, di tengah intensif sedangkan di hilir kurang intensif. Adapun
indeks pertanaman di hulu adalah 2.93, di tengah 2.53 sedangkan di hilir 1.43.
Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim. Waktu tanam
masih mengacu pada pola musim penghujan (Oktober-Maret) dan kemarau (AprilSeptember). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam cenderung jenis yang
sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun).
Produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur juga berbeda.
Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran) di hulu dan tengah
selain karena kesesuaian faktor iklim juga karena faktor agronomis. Faktor iklim
terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi, peningkatan fungsi enzim,
kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas fisiologi tanaman. Terdapat
perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan sampel pada petak
pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan potensi hasil. Hal ini
diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan data. Survei wawancara
menggunakan data dari petani, sedangkan data produktivitas pada petak
pengamatan yang diambil dengan cara mengamati dan menghitung secara
langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan. Adapun
data Dinas Pertanian Kab Cianjur, merupakan data produktivitas rataan yang tidak
membedakan kondisi agroforestri atau non agroforestri maupun lahan kering atau
lahan basah (sawah). Produktivitas agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi
hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor
lingkungan yang tidak sepenuhnya dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari
beberapa jenis tanaman tersebut.
Karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap
pendapatan (rp/ha/thn). Tingginya pendapatan dari tanaman semusim di hulu
dibanding di tengah dan hilir, dipengaruhi oleh perbedaan status kepemilikan,
luasan garapan, sistem bagi hasil tanaman dan pohon, tujuan penanaman dan
kelembagaan. Peranan kelembagaan pertanian juga cukup besar. Di hulu, petani
dalam bentuk kelompok tani mendapatkan penyuluhan satu bulan satu kali
mengenai penanaman dan pengaturan pola tanam. Selain itu juga tersedia
pinjaman sarana produksi (saprodi) melalui beberapa pengusaha/pedagang lokal.
Di zona tengah kelompok tani belum terbentuk, namun ada koperasi yang
menyediakan pinjaman saprodi untuk pengelolaan lahan mereka, sedangkan di

hilir kelompok tani hanya terbatas kelompok tani lahan sawah, sehingga
agroforestri belum dapat dikelola secara optimal.
Secara ekonomi bahwa sistem agroforestri di DAS Cianjur memberikan
pendapatan yang cukup besar. Nilai pendapatan tanaman semusim dari hulu ke
hilir berturut-turut adalah Rp 15 866 25/ha/tahun, Rp 4 771 643/ha/tahun dan
735 918 /ha/tahun, sedangkan keberlanjutan yang dihitung dari nilai B/C ratio
menunjukkan bahwa B/C ratio di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02.
Sedangkan nilai keberlanjutan yang dihitung berdasarkan nilai Keberlanjutan
Agronomi (KA), Keberlanjutan Ekonomi (KE), Keberlanjutan Sosial Budaya
(KSB) dan Keberlanjutan Ekologi (KEK), menunjukkan bahwa nilai
keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah 12.12 pada interval 11
15, yang berarti nilai keberlanjutanya adalah moderat (moderat sustainability).
Kata kunci: agroklimat, biofisik, keberlanjutan, pola tanam, produktivitas
tanaman

KAJIAN AGROEKOLOGI SISTEM AGROFORESTRI


DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CIANJUR

HADI PRANOTO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor
Pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MSc
2. Dr. Ir. Ade Wachjar, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Irdika Mansyur, MSc
2. Dr. Ir. Murniati, MSc

Judul Disertasi

Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran


Sungai Cianjur

Nama

Hadi Pranoto

NIM

A361050131

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. M.A. Chozin, M. Agr


Ketua

Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS


Anggota

Dr. Edi Santosa, SP. MSi


Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi

Prof. Dr. Ir. Munif Gulamahdi, MS


NIP. 195905051985031004
Tanggal Lulus: ...........................

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MAgr Sc


NIP. 196508141990021001
Tanggal Lulus: ...........................

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul:
Analisis Agroekologi Sistem Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir disertasi ini.
Bogor , Desember 2011

Hadi Pranoto
A361050131

@Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011


Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 25 Nopember 1970 di Ngawi, Jawa Timur sebagai anak
ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Martosaidi dan Ibu Sunarti (Alm). Menikah
dengan Daru Purbaningtyas Kusumo, ST MT dan dikarunia empat orang anak yaitu
Bagus Fadhilurosyid, Bagus Prasetyonurosyid (Alm), Dimas Farhan Nurahmad dan
Adiningtyas Prameswari Pranoto.
Penulis menamatkan kuliah S1 dengan gelar (SP) di Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Agronomi lulus tahun 1994, dan
melanjutkan kuliah S2 di Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, lulus
tahun 2001. Tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan doktor pada Program Studi
Agronomi dan Hortikultura pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis pada saat ini adalah staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas
Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Alloh SWT karena atas rahmad dan karunia-Nya
saya dapat menyusun dan menyelesaikan penulisan desertasi S3 sebagai karya
ilmiah saya di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi dengan judul Kajian Agroekologi Sistem Agroforestri di
Daerah Aliran Sungai Cianjur, merupakan tugas akhir studi doktor di SPs IPB.
Kajian agroekologi sistem agroforestri di kawasan DAS ini dipandang perlu dan
penting diangkat dalam sebuah tulisan akademik. Agroforestri merupakan sistem
pertanian yang telah dilakukan masyarakat dalam pengelolaan lahan kering
secara turun-temurun dan masih terus berlangsung sampai saat ini. Sedangkan
kajian agroekologi, juga dipandang perlu untuk mengetahui sejauh mana sistem
agroforestri dapat dilaksanakan di kawasan DAS dengan karakteristik
agroekologi yang berbeda (dari hulu ke hilir).
Terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya secara khusus
penulis sampaikan kepada Ketua Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. M A Chozin,
MAgr. Bimbingan yang intensif, cermat, terarah serta ketulusan hati beliau
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Semoga Alloh SWT
memberikan kebahagiaan dan keberkahan kepada Bapak dan Keluarga.
Terimakasih dan penghormatan juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi
Susilo Arifin, MS dan Dr. Edi Santosa, MSi selaku anggota komisi pembimbing,
beliau juga telah memberikan bimbingan yang intensif, motivasi, informasi dan
tak kenal lelah banyak menyediakan waktu untuk diskusi dalam rangka
penyelesaian disertasi ini.
Terimakasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto
dan Dr. Ir. Maya Melati, MSc atas masukan dan saran serta kesediaanya sebagai
dosen penguji pada ujian prakualifikasi. Kepada Tim Hibah Pascasarjana (HPTP)
DP2M DIKTI angkatan IV tahun 2006-2008 dengan tema Harmonisasi
Pembangunan Pertanian Berbasis DAS pada Lanskap Desa-Kota Kawasan
Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur)

yang diketuai

Prof Dr. Ir. Hadi Susilo

Arifin, MS atas dukungan dan bantuan dana penelitian. Kepada Hibah Doktor,
Pemprov Kalimantan Timur, Apindo Kalimantan Tengah yang juga telah
membantu dana penelitian ini.
Dengan tulus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mang Entis,
Pak Ujang, Pak Ade, Mang Mamang, Pak Udin yang setia menemani saya di
lapangan selama penelitian, dan para petani di Galudra, Mangun Kerta dan
Selajambe yang dengan ramah menerima saya. Dan juga teman seperjuangan dan
sahabat saya Ibu Selvie Diana Anis yang sejak awal kuliah, penelitian sampai
penulisan disertasi menjadi sahabat diskusi. Mas Haris, Bu Eva dan Pak Dwi juga
saya ucapkan terima kasih.
Kepada kedua orang tua saya Ibu Sunarti (Alm) dan Bapak Martosaidi
dan mertua saya Bapak Ir. Tejo Mantrisutejo, MSc (Alm) dan Ibu Darmastuti,
terimakasih atas doa, kasih sayang, jasa dan pengorbanan kepada saya. Kepada
istriku Daru Purbaningtyas, ST, MT dan anak-anaku tercinta Bagus, Prasetyo,
Dimas dan Ajeng terimakasih atas kesabaran, doa, keiklasan, dorongan, cinta
kasih kalian. Kepada kakaku Ir. Sukaryanto, MS dan Suwarno dan keponakanku
Jati, Joko, Ayu dan Yayun terimaksih atas dorongan, doa dan kasih sayangnya.
Semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
pengembangan ilmu pengetahuan. Amien. Terimakasih.
Bogor, Desember 2011

Hadi Pranoto

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL

................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR

................................................................

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvii

PENDAHULUAN
................................................................
Latar Belakang ..............................................................................
Perumusan Masalah ...
Tujuan Penelitian...........................................................................
Hipotesis .
Manfaat Penelitian .

1
1
6
7
7
8

TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................


Daerah Aliran Sungai......................................................................
Pemanfaatan Lahan Kering di DAS................................................
Agroforestri ....................................................................................
Kebaikan dan Kelemahan Agroforestri ..........................................
Agroekologi ....................................................................................
Keberlanjutan .................................................................................

10
10
11
13
19
20
22

ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT


SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR..............................
Abstrak............................................................................................
Abstract ..........................................................................................
Pendahuluan....................................................................................
Metode Penelitian ...........................................................................
Hasil dan Pembahasan.....................................................................
Simpulan ........................................................................................

24
24
24
25
26
28
47

ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN


PADA SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR .................
Abstrak............................................................................................
Abstract ..........................................................................................
Pendahuluan....................................................................................
Metode Penelitian ...........................................................................
Hasil dan Pembahasan.....................................................................
Simpulan ........................................................................................

48
48
48
49
50
53
67

ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN


KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAS
CIANJUR .................................................................................
Abstrak............................................................................................
Abstract ..........................................................................................

68
68
68

Pendahuluan....................................................................................
Bahan dan Metode ..........................................................................
Hasil dan Pembahasan.....................................................................
Simpulan ........................................................................................

69
70
74
78

PEMBAHASAN UMUM ..................................................................

87

SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................


Simpulan ........................................................................................
Saran................................................................................................

98
98
99

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................

100

LAMPIRAN ......................................................................................

108

DAFTAR TABEL
Nomor

Teks

Halaman

Keuntungan (pemasukan) dari sistem agroforestri di beberapa


negara .......................................................................................
Pendapatan dan total pendapatan tahunan tanaman tahunan
pada pertanaman vanili di Desa Padasari, dibandingkan
dengan intercropping dengan cash crops di Desa Bugel dan
pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa
Barat.........................................................................................
Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta
luasannya ..................................................................................
Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 2007.............................
Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian ...........
Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi
penelitian ..................................................................................
Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003 .....................
Deskripsi wilayah penelitian di Daerah Aliran Sungai
Cianjur.......................................................................................
Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya)
pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur ..................
Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur....................
Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri
masyarakat di DAS Cianjur .....................................................
Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona
DAS Cianjur ............................................................................
Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di
DAS Cianjur .............................................................................
Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS
Cianjur ......................................................................................
Keadaan iklim dan topografi di tiga zona DAS Cianjur ..........
Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem
agroforestri masyarakat di DAS Cianjur ..................................
Rotasi tanaman pada sistem agroforestri di DAS Cianjur .......
Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis
tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS
Cianjur .................................................................................... .
Pertimbangan petani dalam menentukan jenis tanaman yang
akan ditanam ............................................................................
Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur .......
Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tahun) pada
sistem agroforestri di DAS Cianjur...........................................
Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di
DAS Cianjur..............................................................................
Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur ......

16

3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.6
3.7
3.8
3.9
3.10
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
5.1
5.2
5.3
5.4

17
30
31
33
34
35
36
42
44
45
45
47
51
54
56
57
58
59
74
83
84
87

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Teks

Halaman

1
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5

Bagan kerangka pemikiran rencana penelitian ....................


Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ......................
Lokasi penelitian DAS Cianjur ..............................................
Peta kelas lereng DAS Cia jur.................................................
Peta curah hujan DAS Cianjur ...............................................
Peta jenis tanah di DAS Cianjur..............................................
Peta tutupan lahan DAS Cianjur.............................................
Peta penggunaan lahan wilayah hulu .....................................
Peta penggunaan lahan wilayah tengah ..................................
Peta penggunaan lahan wilaya hilir.........................................
Peta lokasi penelitian sepanjang DAS Cianjur ......................
Contoh alley cropping di hulu
Contoh alley cropping di tengah ............................................
Contoh alley cropping di hilir.
Pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman pada
sistem agroforestri di DAS Cianjur
Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur .............
Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa
tanaman semusim di tiga zona hulu .......................................
Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa
tanaman semusim di tiga zona tengah ....................................
Rata-rata produktivitas (ton/ha/musim tanam)beberapa
tanaman semusim di tiga zona hilir ........................................
Rata-rata produktivitaas wortel di zona hulu dan tengah .......
Rata-rata produktivitaas cabe keriting di zona tengah dan
hilir .........................................................................................
Rata-rata produktivitaas tomat di zona hulu, tengah dan hilir
Urutan analisis berkelanjutan sistem agroforestri. Skor
makin tinggi berarti makin berlanjut. Data dari non
agroforestri dijadikaan standar dengan skor 3 (sedang) .........
Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi
(KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...............................
Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi
(KE) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...............................
Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial
Budaya (KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...............
Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi
(KEK) sistem agroforestri di DAS Cianjur ............................
Dendrogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi
(KA) sistem agroforestri di DAS Cianjur ...............................

9
26
28
30
31
33
34
37
38
39
51
57
57
57
60

4.6
4.7
4.8
4.9
4.10
4.11
4.12
5.1
5.3
5.4
5.5
5.6
5.7

62
63
64
64
65
65
66
73
77
79
80
82
85

116

Glossari
Adaptabilitas:

Kemampuan menyesuaikan suatu sistem pertanian untuk

mengatasi kondisi yang berubah.


Agroekologi:

Kajian menyeluruh mengenai agroekosistem, termasuk semua

unsur lingkungan dan manusia, hubungan unsur-unsur dan proses-proses yang


melibatkan semua unsur tersebut, misalnya simbiosis, persaingan, perubahan
secara berurutan.
Agroekosistem: Suatu sistem agroekologi yang dimodifikasi oleh manusia untuk
menghasilkan pangan, serat dan produk-produk lain yang bermanfaat bagi
manusia.
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial
dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman pertanian dan
atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi
tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input
teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).
Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan dengan mengkombinasikan
antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan secara simultan atau
berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang
sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem pengelolaan
lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon dengan sengaja diusahakan
dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada saat yang
sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini terintegrasi sekaligus aspek
ekologis dan aspek ekonomis.
Andosol/Andisols: Tanah yang terbentuk dari bahan volkanik muda (pasir dan
atau abu volkanik), terasa ringan dan licin jika dipirid, mengandung >60% debu,
pasir dan kerikil volkanik.
Bedengan: Gundukan tanah dengan panjang dan lebar tertentu yang dibuat untuk
pertanaman tanaman semusim.
Budidaya lorong (alley cropping): Sistem pertanaman dimana tanaman semusim
ditanam pada lorong (alley) di antara dua baris tanaman pagar (hedgerows).

117

Budidaya pertanian: Segala bentuk usaha manusia untuk melakukan pengelolaan


terhadap tanaman, tanah, air, dan input-input pertanian dengan tujuan untuk
menghasilkan suatu produk pertanian
Degradasi lahan: Proses penurunan produktivitas lahan, baik bersifat sementara
maupun tetap.
Ekologi: Ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungan.
Ekosistem: Komunitas tanaman dan hewan (termasuk manusia) yang hidup di
suatu wilayah dan lingkungan fisik serta kimia mereka (misalnya udara, air, tanah)
termasuk interaksi antara mereka dengan lingkungan.
Erodibilitas tanah (kepekaan tanah terhadap erosi): Mudah tidaknya tanah
dihancurkan oleh kekuatan hujan dan atau oleh kekuatan aliran permukaan.
Erosi: Hilang atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah oleh media alami
(air atau angin) dari suatu tempat ke tempat lain.
Konservasi tanah: Cara penggunaan tanah yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan. Usaha konservasi tanah adalah usaha yang ditujukan
untuk (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang
rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat
digunakan secara lestari.
Nematisida: Jenis pestisida untuk pengendalian hama yang berupa ulat yang
banyak ditemukan pada lapisan atas tanah yang basah, yang biasanya bersifat
parasit terhadap tanaman dan hewan.
Parasit: Suatu organisme yang hidup dalam atau pada organisme lainnya (inang),
tempat organisme itu mendapatkan bahan makanan.
Pengetahuan indigenous: sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh
sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras
dengan alam.
Pengetahuan lokal: pengetahuan kolektif suatu masyarakat yang hidup di suatu
wilayah dalam jangka waktu lama dan selaras dengan lingkungannya.
Penyuluhan: disini mengacu pada penyuluhan pertanian: kegiatan penyebaran
hasil-hasil penelitian dan saran-saran kepada petani tentang praktek-praktek
pertanian dan meningkatkan kemampuan analisis dan komunikasi petani untuk

118

membantu mereka dalam pengambilan keputusan di bidang pertanian.


Pertanian berkelanjutan: Pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi
perubahan kebutuhan manusia sambil mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
Pestisida: Jenis substansi untuk menghancurkan atau mengendalikan hama,
termasuk insektisida, herbisida, fungisida, akarisida dan sebagainya.
Produktivitas: Hubungan antara jumlah barang atau jasa yang dihasilkan dan
faktor-faktor yang dipakai untuk memproduksinya; produktivitas pertanian dapat
diungkapkan sebagai output/keluaran per unit lahan, modal curahan tenaga kerja,
energi, air, unsur hara dan sebagainya.
Tanaman: tanaman semusim dan atau tahunan yang dibudidayakan untuk
memberikan hasil yang dikehendaki untuk konsumsi manusia atau untuk diproses,
misalnya gabah, sayuran (umbi-umbian, tandan atau daun yang dapat dimakan),
bunga, buah, serat dan bahan bakar.
Tanaman tahunan (perennial crops): Tanaman yang daur hidupnya lebih dari
satu tahun. Tanaman tahunan dapat dibagi menjadi tanaman tahunan tegakan tetap
dan tegakan temporer.
Tumpangsari: Menanam dua atau lebih tanaman pada saat yang sama atau pada
lahan yang sama. Budidaya ini diintensifkan menurut kondisi waktu dan tempat.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk memperbaiki sektor
pertanian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan
masyarakat pedesaan serta mengatasi urbanisasi. Di sisi lain juga dihadapkan
pada perbaikan lingkungan akibat adanya kerusakan hutan, banjir, penurunan
kesuburan tanah, polusi udara dan air akibat penggunaan pupuk maupun pestisida
yang berlebihan dalam produksi pertanian.
Pada awal millennium ini berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk
Indonesia telah mencapai 235 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan 1.5%
pertahun pada tahun 2000-2010, pertumbuhan laju populasi melebihi laju
pertumbuhan produksi pertanian, yang diperkirakan 1.3% pertahun pada periode
tahun 1995-2010. Kondisi ini menyebabkan tujuan untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan sendiri tidak sebanding dengan laju pertumbuhan penduduk.
Impor beras, jagung, kedelai, gula dan beberapa komoditas lain semakin
meningkat. Dari sisi kelestarian lingkungan program intensifikasi pertanian yang
gencar digalakkan terutama untuk pengelolaan lahan sawah (padi) juga tidak
dapat memenuhi kebutuhan penduduk dan bahkan cenderung menurunkan
kualitas lingkungan terutama kesuburan tanah, sehingga produktivitas tanah
semakin menurun.
Pemerintah juga dihadapkan pada pencapaian ketahanan pangan yang
menurut

Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang

mengartikan ketahanan pangan sebagai: Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap


rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pengertian ini mencakup aspek
makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup, dan sekaligus aspek mikro yaitu
terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang
sehat dan aktif.
Pengertian tersebut, idealnya kemampuan dalam menyediakan pangan
bersumber dari dalam negeri sendiri, yaitu yang dihasilkan petani. Sedangkan

impor pangan dilakukan hanya untuk memenuhi kekurangan, karena jika jumlah
yang diimpor lebih besar dibanding yang diproduksi oleh petani, selain akan
menguras devisa negara dalam jumlah banyak, ketahanan pangan di dalam
negeripun akan terganggu, karena ketersediaan pangan dunia sangat terbatas dan
harga jualnya selalu berfluktuasi (Apriantono 2008).
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan rekayasa
eko-fisiologi melalui sistem pertanaman ganda seperti tumpang sari, tanaman sela
setahun, penanaman sela bersisipan, penanaman beruntun dan agroforestri.
Sistem ini selain meningkatkan produktivitas lahan juga diyakini dapat
mengendalikan cekaman biotik terutama hama dan penyakit tanaman, serta
mengurangi resiko gagal panen.

Namun yang perlu diingat bahwa dalam

peningkatan produktivitas pertanian ini harus mempertimbangkan empat prinsip


yaitu prinsip keseimbangan ekologi agar produksi pertanian dapat lestari, prinsip
capaian optimum karena adanya keragaman lingkungan yang besar, prinsip
kehati-hatian untuk menghindari kerusakan lingkungan dan menurunnya
keragaman genetik serta prinsip kearifan lokal agar pengetahuan yang baik
(endogenus knowledge) yang telah ada dapat dipertahankan dan dikembangkan
(Chozin 2006). Selain itu juga diharapkan dapat melaksanakan ekstensifikasi
pertanian terutama pada lahan-lahan kering yang masih cukup luas dan memiliki
potensi yang besar.
Menurut Deptan (2002), terdapat 57.38 juta ha lahan potensial untuk
perluasan areal pertanian. Di luar Pulau Jawa saja terdapat sekitar 37 juta ha
(Sumatera 14.43 juta ha, Kalimantan 12.76 juta ha, Sulawesi 8.83 juta ha dan
Papua 2.01 juta ha). Lebih dari 40% areal ini berkemiringan 0-3% dan sisanya
berkemiringan 3-15%, dan sekitar 60% (21 juta ha) didominasi oleh jenis tanah
Podsolik Merah Kuning (PKM) atau Ultisol. Sebagian lahan ini telah dibuka
untuk pertanian dan pemukiman melalui program transmigrasi.
Departemen kehutanan juga melakukan revitalisasi sektor kehutanan
dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara
efektif mengelola kawasan hutan, khususnya kawasan hutan produksi yang tidak
dikelola dengan baik. Kawasan yang kosong dan telantar akan dikelola bersama

masyarakat untuk ditanami, dipelihara dan diatur panennya pada masa mendatang,
berdasarkan kaidah-kaidah Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), yang sistem
pengelolaannya disebut sebagai sistem agroforestri.
Salah satu tantangan pengembangan pertanian lahan kering adalah
rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas tanaman disebabkan
oleh faktor fisik dan sosial ekonomi masyarakat. Masalah fisik antara lain
kesuburan tanah, kemiringan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air,
sedangkan masalah sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak pada cash
kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang
rendah (Hadipoernomo 1983; Kusmana 1988).
Menurut Irawan dan Pranadji (2002) masalah lain yang juga penting
adalah: 1) biofisik lahan kering yang tidak sebaik lahan sawah, tingkat kesuburan
rendah dan sumber pengairan yang mengandalkan curah hujan yang distribusinya
terkadang tidak merata, 2) topografi yang tajam, sehingga laju aliran permukaan
(run off) dan erosi tanah cukup tinggi, 3) masih terbatasnya dukungan paket
teknologi, tingkat adopsi teknologi dan asosiasi paket teknologi pada proses
produksi, 4) lokasi pengembangan yang tersebar, terpencil dengan skala usaha
umumnya tidak mencapai titik minimum skala ekonomi, dan 5) dalam
pengembangan DAS, para pengambil keputusan masih belum mempertimbangkan
dampak negatif pada lingkungan, sehingga pembangunan pertanian yang
berkelanjutan sulit terwujud.
Selain itu Keeney (1990), menyatakan bahwa pengembangan usaha
pertanian di lahan kering umumnya berhubungan dengan kerusakan lingkungan
yang menyebabkan lahan-lahan menjadi tandus, ketersediaan air yang terbatas dan
erosi. Keadaan ini mendorong perlunya perencanaan dan evaluasi yang baik,
sehingga

dapat

meminimalkan

kerusakan

lingkungan

dan

membantu

meningkatkan produksi terutama pangan bagi masyarakat. Menurut Sinukaban


(2003), pembangunan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) seyogyanya
dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional,
pembangunan daerah atau wilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan dan
hasil akhirnya adalah kondisi tata air yang baik. Tata air yang baik dapat diukur

dari tersedianya air yang cukup sepanjang waktu baik secara kuantitas maupun
kualitas.

Selain itu, dalam memperlakukan DAS sebagai suatu sistem

keberkelanjutan, dalam pengembangannya perlu memenuhi persyaratan sebagai


berikut: 1) dapat memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) dapat menjamin
kelestarian DAS, 3) menjamin pemerataan pendapatan petani (equity), dan 4)
mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi
(resilient).
Salah satu alternatif pengembangan pertanian yang berkelanjutan di DAS
adalah pengembangan agroforestri. Agroforestri diartikan secara luas sebagai
suatu sistem usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara
spatial dan temporal tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan.
Agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan yang dapat mempertahankan
dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan
kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik secara bersamasama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan pola budidaya masyarakat
setempat (King dan Chandler 1978); Wijayanto (2002). Pengelolaan lahan kering,
khususnya di DAS dengan sistem agroforestri sangat diperlukan sebagai
sumberdaya pembangunan yang memiliki potensi strategis antara lain : 1) lahan
kering merupakan luasan terbesar dari wilayah budidaya, 2) lahan kering dapat
memasok sebagian besar komoditas andalan, 3) lahan kering mempunyai
keragaman komoditas untuk pengembangan agroindustri (Widaningsih 1991;
Suhara 1991; Badrun 1998).
Secara umum, banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah
satunya adalah rendahnya produktivitas tanaman. Rendahnya produktivitas ini
antara lain disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dalam pemilihan jenis
tanaman dan pengaturan pola tanam. Menurut Beets (1982), dalam pola tanam
campuran (mixed cropping) seperti halnya pada sistem agroforestri, akan terjadi
kompetisi baik antar tanaman maupun dengan pohon terutama kompetisi dalam
penyerapan unsur hara sehingga sering berdampak negatif terhadap produktivitas
tanaman. Untuk itu dalam pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam
dalam agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi dan

peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian
pola tanam dalam rangka memperlancar proses adopsi teknologi. Sedangkan
dalam penentuan jenis tanaman (cash crops) yang akan dikembangkan, menurut
Thakur et al. (2005), petani sebaiknya memilih tanaman semusim yang memiliki
nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu dan bahkan pakan
ternak. Selain itu, rendahnya produktivitas juga dapat disebabkan oleh cekaman
intensitas radiasi surya akibat penutupan tajuk (naungan). Beberapa studi tentang
ekofisiologi tanaman di bawah naungan telah dilakukan pada padi gogo (Chozin
et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid
1984). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas
cahaya adalah terganggunya laju fotosintesis yang menyebabkan menurunnya
proses metabolisme tanaman.
Menurut Kusmana (1998) dan Kartasubrata (1992), bahwa penekanan
pengembangan agroforestri di DAS diarahkan agar mempunyai pengaruh ganda
terhadap keberlanjutan lingkungan, perbaikan lahan kritis dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur jenis
tanaman yang diusahakan petani beragam dan pola tanam yang dikembangkan
belum optimal, sehingga diperlukan bentuk pengembangan yang mengarah pada
peningkatkan produktivitas tanaman. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk
membangun agroforestri yang baik, produktivitas tinggi serta layak secara sosialekonomi dan ekologi yang lestari.
Perumusan Masalah
Pengelolaan lahan yang kurang tepat di suatu DAS dapat menimbulkan
kerusakan ekosistem. Kerusakan ekosistem ini menyebabkan menurunnya kualitas
air, bahan organik tanah, erosi, sedimentasi, dan akhirnya terjadi degradasi lahan
yang merugikan secara ekologi.
Degradasi lahan dapat menurunkan produktivitas lahan, oleh karena itu
diperlukan kajian pemanfaatan lahan secara terintegrasi dengan memperhatikan
aspek sumberdaya manusia, teknologi, sumberdaya tanah dan air serta sosial
ekonomi masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan lahan kering di kawasan

DAS adalah sistem agroforestri.

Sistem ini dianggap memiliki keunggulan,

karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan pohon, yang


diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial ekonomi
masyarakat serta meningkatkan kualitas lingkungan.
Sistem agroforestri banyak dikembangkan termasuk di DAS Cianjur, baik
dalam bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks. Sistem agroforestri yang
dikembangkan di kawasan ini bersifat lokal dan produktivitasnya rendah,
sehingga perlu perbaikan dan optimalisasi dengan pengaturan pola tanam serta
pemilihan jenis tanaman terutama tanaman semusim. Pengaturan pola tanam dan
pemilihan jenis tanaman semusim merupakan kunci keberhasilan sistem
agroforestri. Hal ini disebabkan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang
tepat dapat mengurangi kompetisi baik kompetisi antar tanaman maupun antara
pohon dengan tanaman semusim.
Salah satu bentuk pola tanam yang banyak diterapkan masyarakat adalah
pola tanam lorong (alley cropping).

Pola tanam lorong (alley cropping)

dilaksanakan dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong (lorong) di antara barisan


pohon, sehingga dianggap sebagai bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan.
Menurut Workman (2007), alley cropping dapat meningkatkan intensivitas
pemanfaatan lahan, meningkatkan keragaman hasil/pendapatan, keragaman waktu
panen, mengurangi erosi serta memperbaiki siklus hara dalam tanah. Sedangkan
menurut Suryanto et al. (2005) alley cropping juga mempunyai karakteristik yang
dinamis dan dapat memadukan dua tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu
produksi dan konservasi, dan pola tersebut cocok untuk daerah-daerah lereng/
miring.
Serangkaian penelitian akan dilakukan untuk mengkaji karakteristik
agroekologi sistem agroforestri dengan penekanan pada pengaturan pola tanam,
pemilihan jenis tanaman, aspek sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan di
wilayah tersebut. Penelitian akan dilakukan di tiga zona DAS Cianjur (hulu,
tengah dan hilir) dengan memperhatikan karakteristik wilayah masing-masing.
Keluaran dari penelitian ini adalah menghasilkan bentuk pola tanam dan jenis
tanaman yang tepat, dengan mempertimbangkan teknik budidaya masyarakat

setempat menuju pengelolaan sistem agroforestri yang produktif, layak secara


sosial, ekonomi dan ekologis, serta dapat menggambarkan bentuk pengelolaan
lanskap agroforestri di DAS Cianjur. Penelitian ini sangat strategis karena
menyangkut keberlanjutan sistem pengelolaan lahan di DAS secara terintegrasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik agroekologi
sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang dikhususkan dengan beberapa
tujuan, yaitu:
1. Menganalisis karakter biofisik dan agroklimat sistem agroforestri di DAS
Cianjur.
2. Menganalisis karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman semusim
pada sistem agroforestri di DAS Cianjur.
3. Menganalisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri
di DAS Cianjur
4. Menganalisis prospek dan tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS
Cianjur.
Hipotesis
1. Terdapat perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada setiap zona
DAS yang berpengaruh terhadap karakteristik sistem agroforestri baik jumlah
spesies baik tegakan maupun tanaman semusim, penyebaran serta tujuan
pemanfaatannya.
2. Terdapat perbedaan pola tanam dan produktivitas sistem agroforestri di tiga
zona DAS Cianjur, yang diduga disebabkan oleh perbedaan intensifikasi
lahan, tujuan penanaman tanaman semusim oleh petani, kebiasaan/
pengalaman serta kesesuaian pemilihan jenis tanaman dengan faktor
agroklimat.
3. Terdapat

perbedaan

karakteristik

sosial

ekonomi

masyarakat

yang

berpengaruh terhadap sistem agroforestri, pola tanam dan produktivitas


tanaman semusim, sehingga mempengaruhi pendapatan.

4. Sistem agroforestri di DAS Cianjur berlanjut (sustainable), terutama dilihat


dari produksi yang konstan setiap tahun, peningkatan sosial ekonomi dengan
meningkatnya pendapatan petani, dan sistem agroforestri telah berlangsung
lama dan menjadi budaya masyarakat di DAS Cianjur dalam pengelolaan
lahan kering.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Sebagai pedoman dalam penerapan sistem agroforestri dengan berbagai
kombinasi tanaman semusim dan tahunan pada beberapa karakter wilayah
DAS Cianjur.
2. Sebagai pedoman untuk penentuan jenis tanaman dan pola tanam sistem
agroforestri dengan memperhatikan pemanfaatan lahan, status hara tanaman,
analisis usaha tani dan konservasi lahan pada beberapa karakteristik wilayah
DAS Cianjur.
3. Menghasilkan sistem pengelolaan yang tepat dengan memperhatikan aspek
pemanfaatan lahan, produktivitas, sosial ekonomi dan lingkungan.
4. Menjadi model/contoh dalam perencanaan usaha tani agroforestri yang
optimal pada beberapa wilayah yang memiliki karakteristik yang sama atau
hampir sama.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang
dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub-DAS)
dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri
dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi,
tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut.
Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan
komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial, kedua
subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997; Arsyad
2000; Sinukaban 2003).
Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan
sumberdaya alam di suatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi
yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai usaha menekan
kerusakan seminimal mungkin sehingga distribusi aliran sungai, pengembangan
sosial-ekonomi dan pengaturan tata ruang wilayah dapat berjalan sepanjang tahun.
Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air
termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 2003).
Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan
pengelolaan. Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan
atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup
serta perkembangannya. Untuk itu pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai
pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kuantitas optimum, pengaturan
produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan DAS adalah faktor
iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebarannya menentukan
kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi

11

dalam satu periode kemungkinan tidak akan menyebabkan aliran permukaan jika
intensitasnya rendah dan perkolasinya tinggi.

Demikian pula jika hujan

intensitasnya tinggi tetapi dalam waktu atau periode singkat, kemungkinan tidak
akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati et al. 1993; Arsyad 2000).
Adapun tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam
suatu DAS seharusnya sama, yaitu untuk memberikan kontribusi pada
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha
memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hal ini
dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yaitu tersedianya air yang cukup
sepanjang waktu baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air
tersebut, diperlukan suatu tata kelola air yang diperoleh dari air hujan maupun dari
sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang
terdapat dalam kawasan tersebut, terutama oleh pohon-pohon yang rimbun
(Sukmana et al. 1990).
Pemanfaatan Lahan Kering di DAS
Lahan kering adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan
bawah tubuh tanah tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di
bawah kapasitas lapang. Kekeringan tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi
cuaca, fisiografis dan faktor edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas
daratan di Indonesia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al.
1991; Kartono 1998). Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan
berciri khas agroekologi lahan yang sangat beragam karena ketersediaan air,
tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan yang
sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Penggunaan airnya sampai saat ini
masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan.
Menurut Prasad dan Power (1997), lahan kering di Indonesia menurut
sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala berupa: topografi
yang tajam dengan penutupan vegetasi jarang sehingga laju infiltrasi dan erosi
tanah cukup tinggi, hujan yang tidak merata dan kemampuan tanah untuk
menyimpan air yang rendah. Kaidah umum yang dapat dikembangkan adalah

12

lahan kering antara kemiringan 0-15%. Secara ideal lahan kering untuk budidaya
tanaman pangan terbatas pada daerah yang relatif datar hingga berombak
(kemiringan < 8%). Sedangkan pada kemiringan lebih dari 8% perlu persyaratanpersyaratan penanggulangan erosi jika akan digunakan sebagai areal budidaya
(Kusmana 1998; Sitorus 2001).
Pengelolaan lahan kering harus bertujuan untuk memantapkan dan
melestarikan produktivitas serta mempertahankan keragaman alami masyarakat
biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, konservasi tanah dan air serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bentuk pola tanam yang banyak
diusahakan adalah sistem agroforestri dengan pola lorong (alley cropping), pohon
pembatas (trees along border), pola campuran (mixed cropping) atau pola baris
(alternate rows). Pola ini terlihat lebih dinamis terutama dalam berbagi
sumberdaya (resources sharing) baik antar pohon dengan tanaman semusim
maupun antar tanaman semusim, terutama dalam penangkapan cahaya matahari
(Suryanto et al. 2005).
Menurut Irawan dan Pranadji (2002), bahwa pengelolaan lahan kering juga
memiliki keragaman agroekologi yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah.
Keragaman tersebut mengakibatkan pelibatan jumlah rumah tangga tani pengguna
lahan kering jauh lebih besar daripada sawah. Pada tahun 1993 tercatat sekitar 17
juta rumah tangga tani menggunakan lahan kering untuk menjalankan usaha
pertaniannya, sedangkan pada lahan sawah hanya sekitar 10 juta rumah tangga
tani. Hal ini menunjukkan bahwa lahan kering mampu menyediakan lapangan
usaha pertanian yang lebih tinggi dibandingkan lahan sawah. Dari 19.7 juta
(1993) rumah tangga tani pengguna lahan pertanian, sekitar 87% menggunakan
lahan kering sedangkan yang menggunakan lahan sawah hanya 49%.
Untuk wilayah DAS Cianjur pemanfaatan lahan kering umumnya dengan
sistem agroforestri. Sistem agroforestri di daerah ini berupa pekarangan (home
gardens), kebun campuran (mixed gardens) dan kebun hutan (forest gardens).
Sistem agroforestri ini berlangsung sudah cukup lama dalam bentuk tumpang sari
dan kebun campuran yang memiliki beberapa keuntungan yaitu pemanfaatan
energi yang optimal, mengurangi resiko kerusakan serta dapat mempertahankan

13

keragaman komponen ekosistem (biodeversity).

Dengan karakteristik sistem

semacam ini maka sistem agroforestri dapat meningkatkan produktivitas,


stabilitas, kelestarian lahan dan pendapatan petani. Adapun tanaman-tanaman
dalam sistem agroforestri ini berupa tanaman buah, sayuran, bumbu,
semak/rumput, tanaman penghasil biji-bijian, industri, kayu bakar, bahan
bangunan dan tanaman hias (Arifin et al. 2002).
Agroforestri
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi
sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan dengan tanaman
pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total
produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan
input teknologi yang sederhana pada lahan-lahan marginal (Nair 1989).
Agroforestri juga didefinisikan sebagai suatu sistem manajemen lahan
yang

berkelanjutan

untuk

meningkatkan

variasi

hasil

lahan

dengan

mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan pohon dan atau hewan


secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan aplikasi
pengelolaan yang sesuai dengan budaya masyarakat setempat.

Definisi ini

dipertegas kembali bahwa agroforestri merupakan suatu istilah atau nama kolektif
untuk sistem pengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, dimana pohon
dengan sengaja diusahakan dalam unit yang sama dengan tanaman pertanian dan
atau ternak pada saat yang sama atau berurutan. Dalam sistem agroforestri ini
terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan aspek ekonomis.
King dan Chandler (1978) dan Wijayanto (2002), juga memberikan
definisi yang hampir sama, bahwa agroforestri secara luas merupakan suatu sistem
usaha tani atau penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial, temporal
tanaman pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan yang sama.
Agroforestri

juga

merupakan

bentuk

penggunaan

lahan

yang

dapat

mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang


merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik
secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan manajemen

14

praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. Sistem


agroforestri ini mencakup bentuk atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum
dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun
campuran.
Pengembangan agroforestri juga merupakan salah satu jawaban dalam
mengatasi masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz
dan Vegera (1987), penerapan agroforestri dapat bermanfaat pada aspek
perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara;
aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah, dan pada periode
jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas tanaman, sosial ekonomi, gizi
dan kesehatan. Sedangkan Lai (1995) menyatakan bahwa agroforestri telah
menjadi suatu yang penting dalam usaha pengembangan pedesaan sebagai strategi
mengurangi kemiskinan di desa dan memperbaki kondisi lingkungan.
Salah satu bentuk pola tanam yang banyak digunakan pada sistem
agroforestri khususnya di daerah dataran tinggi adalah pola lorong (Alley
cropping). Alley cropping merupakan pola agroforestri yang menyisipkan
tanaman semusim di antara tanaman pohon.

Penanaman ini bertujuan untuk

merubah dan meningkatkan keragaman tanaman, mengurangi erosi air dan angin,
memperbaiki pertumbuhan tanaman, meningkatkan pemanfaatan unsur hara
(nutrient) dan menambah stabilitas ekonomi dalam sistem pertanian. Selain itu
alley cropping juga dirancang untuk memadukan dua tujuan secara bersamaan
yaitu tujuan produksi dan konservasi. Karakter pola lorong ini adalah jarak baris
pohon antar lorong dan pola ini baik digunakan pada lahan yang miring.
Agroforestri juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Peningkatan
produktivitas sistem agroforestri dapat dilakukan melalui peningkatan dan/atau
diversifikasi hasil dari komponen yang bermanfaat, dan menurunkan jumlah
masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan masukan dan biaya
produksi yang dapat diterapkan dalam sistem agroforestri yaitu penggunaan pupuk
nitrogen dapat dikurangi dengan pemberian pupuk hijau dari tanaman pengikat
nitrogen pada sistem agroforestri berbasis pohon ternyata memerlukan jumlah
tenaga kerja yang lebih rendah dan tersebar lebih merata per satuan produk

15

dibandingkan sistem perkebunan monokultur. Diversifikasi ini bisa dilakukan


pada sistem pertanian dataran tinggi dengan sistem agroforestri yang sesuai
dengan daerah tersebut. Misalnya seperti yang dilaksanakan di India yang 65%
berupa lahan kering, miring dan merupakan lahan tadah hujan, sistem
pertaniannya dirubah dari sistem tradisional yang semula mengandalkan tanaman
pangan, kayu dan rumput menjadi tanaman kayu dengan tanaman-tanaman
semusim yang memiliki nilai ekonomis tinggi (High Value Cash Crop / HVCC),
yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar bagi petani (Shrotriya et al.
2002).
Pemilihan jenis tanaman sangat menentukan produktivitas tanaman pada
sistem agroforestri. Dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada
sebidang lahan haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya
dengan faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya (Arsyad 2000 dan Sitorus
2001). Adapun menurut Nair (1989), sifat tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Tanaman semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman
pokok serta dalam pengambilan zat hara tidak pada tempat yang sama di
dalam horizon tanah.
2) Tanaman semusim yang digunakan tahan terhadap hama penyakit dibanding
dengan tanaman pohon
3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman semusim tidak
merusak tanaman pohon.
4) Tanaman semusim yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.
5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman
semusim dipanen.
Menurut Kusmana (1998), bahwa sistem agroforestri memberikan
optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini memberikan
manfaat sebagai berikut:
1) Di dalam sistem agroforestri didapat tanaman yang heterogen dan tidak
seumur yang terdiri dari dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti itu,
tajuk tanaman dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan

16

produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh


tanaman dapat maksimal.
2) Pada sistem agroforestri akan didapat bentuk hutan serba guna atau usaha tani
terpadu di luar kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk
seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat. Dengan demikian
sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Di beberapa negara sistem agroforestri secara umum lebih menguntungkan
dari pada monokultur (Tabel 1). Keuntungan ini didapat dari keragaman hasil dari
pola yang dikembangkan pada masing-masing negara.
Tabel 1. Keuntungan dari sistem agroforestri di beberapa negara
Negara

Sistem Agroforestri

NPV dalam US$/Ha

Penghasilan
dibandingkan non
agroforestri

Tanzania

Tanaman kayu

US$ setelah 5 thn

Uganda

Pohon sebagai tanaman


pagar

US$ 155-917
tahun

Pendapatan bersih turun


US$ 4 setelah 4 tahun
dibandingkan penanaman
jagung secara terusmenerus.

Nepal

Tanaman kayu

Rata-rata penerimaan/tahun
US$ 1 582 atau US$ 2 796
untuk 2 sistem AF

Rata-rata
pendapatan
tahunan
US$
804
dibandingkan penanaman
jagung secara terusmenerus.

Vietnam

Tephosia condida sebagai


tanaman pagar dengan
padi dataran tinggi

Pendapatan dari kayu turun


US$ 50 dan dari padi naik
US$ 123 setelah 4 tahun

Pendapatan bersih turun


US$ 33 setelah 4 tahun
pada monokultur padi
dataran tinggi
Diasumsikan memiliki
peluang 0.

India

AF 6.3 kali lebih besar


dari pertanaman jagung
tanpa pemupukan.
setelah

Jarak pagar (Jatrofa US$ 853 setelah 30 tahun


curcas)
Sumber : Swallow B dan S Ochola (2006)

Begitu juga di Indonesia, total pendapatan tahunan dari sistem agroforestri juga
lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur seperti di laporkan Santosa (2005)
pada Tabel 2.

17

Tabel 2. Pendapatan dan total pendapatan tahunan pada pertanaman vanili di


Desa Padasari, dibandingkan intercropping dengan cash crops di Desa
Bugel dan pisang di Cijeunjing pada hutan jati di Sumedang Jawa
Barat (Santosa 2005).
Lokasi

Padasari
Bugel
Cieunjing
z
y

Kontribusi terhadap pendapatan (%)


Intercropping
Padi
Tanaman Lainnya y
sawah
dataran
tinggi
z
28 4
18 6
83
45 10
26 2
11 5
21
61 6
32 3
14 6
33
51 48

Total
pendapatan
tahunan (x
1000 rupiah)
6.105 864
4.770 752
4.164 477

Mean S.E
= Pendapatan dari gaji/upah, dari dagang dll.

Agroforestri dikenal dengan istilah wanatani yang arti sederhananya


adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De Foresta dan Michon
(1997), agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu sistem agroforestri
sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan
satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar
mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk
lorong/pagar. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang
bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao, nangka,
melinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap,
lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman
pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayurmayur dan rerumputan atau jenis-jenis tanaman lainnya.
Sistem agroforestri sederhana yang paling banyak diterapkan di Jawa
adalah tumpangsari. Sistem ini juga dikenal dengan taungya dan sistem ini
terutama dikembangkan di areal hutan jati di Jawa dalam rangka program
perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk
menanam tanaman semusim di antara pohon-pohon jati muda. Hasil tanaman
semusim dipanen oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau
merusak pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani.

18

Sistem ini berakhir ketika pohon jati telah dewasa dan tajuk telah menutup
sempurna.
Bentuk agroforestri sederhana ini juga bisa dijumpai pada sistem
pertanian tradisional. Pada daerah yang kurang padat penduduknya, bentuk ini
timbul sebagai salah satu upaya petani dalam mengintensifkan penggunaan lahan
karena adanya kendala alam, misalnya pada tanah-tanah rawa. Sebagai contoh,
kelapa ditanam secara tumpangsari dengan padi sawah di tanah rawa di Sumatra.
Perpaduan pohon dengan tanaman semusim ini juga banyak ditemui di daerah
berpenduduk padat, seperti pohon-pohon randu yang ditanam pada pematangpematang sawah di daerah Pandaan (Pasuruan, Jawa Timur), kelapa atau siwalan
dengan tembakau di Sumenep Madura. Contoh lain, tanah-tanah yang dangkal dan
berbatu seperti di Malang Selatan ditanami jagung dan ubikayu di antara gamal
atau kelorwono (Gliricidia sepium).
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam
maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani serta
mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini,
selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat
(liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama
dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest.
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks ini
dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan agroforest, yang biasanya
disebut hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta et al. 2000).
Contohnya hutan damar di daerah Krui Lampung Barat atau hutan karet di
Jambi.

19

Kebaikan dan kelemahan sistem agroforestri


Kebaikan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis
atau lingkungan, secara ekonomis dan keuntungan sosial. Keuntungan secara
ekologis dapat berupa: a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan
lindung dan suaka alam, b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan
hara dari solum tanah yang lebih dalam ke lapisan permukaan oleh sistem
perakaran pohon yang dalam, c) penurunan dan pengendalian aliran permukaan,
pencucian hara dan erosi tanah, d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya
temperatur lapisan tanah atas, pengurangan evavorasi dan terpeliharanya
kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman, e) adanya
perbaikan aktivitas mikroorganisme tanah, f) penambahan hara tanah melalui
dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan g) terpeliharanya
struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan
hewan.
Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama
dalam hal: a) lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan,
papan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang, b)
memperkecil resiko kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari
salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh hasil dari komponen lain, c)
meningkatkan pendapatan petani karena input yang diberikan akan menghasilkan
output yang berkelanjutan.
Sedangkan secara sosial sistem agroforestri memiliki keuntungan yaitu: a)
terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan

dengan keberlanjutan

pekerjaan dan pendapatan, b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat kesehatan


masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk agroforestri, dan
c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering, sehingga
dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Lai 1995).
Adapun kelemahan-kelemahan sistem agroforestri secara ekologis adalah:
a) kemungkinan terjadinya persaingan mendapatkan sinar matahari, air tanah dan
hara antara pohon dan tanaman semusim, b) adanya kerusakan tanaman pertanian

20

pada saat pemanenan pohon, c) tanaman pohon berpotensi menjadi inang bagi
hama dan penyakit tanaman, d) relatif lamanya regenerasi pohon menyebabkan
penyempitan lahan untuk tanaman pertanian sejalan dengan semakin besarnya
tanaman pohon.
Kelemahan dari segi sosial ekonomi antara lain: a) terbatasnya tenaga
kerja yang yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun
sistem agroforestri, b) terjadinya persaingan antara pohon dan tanaman semusim
yang dapat menurunkan hasil, c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu
panen pohon dapat mengurangi keuntungan sistem agroforestri, d) sistem
agroforestri diakui lebih kompleks sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan
pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan dengan sistem pertanian
monokultur dan e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan
tanaman pertanian/pangan dengan pohon dan atau sebaliknya yang lebih bernilai
ekonomis.
Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahankelemahan ini dapat dikendalikan sebagian dan atau seluruhnya dengan jalan: a)
penggunaan pohon kacang-kacangan atau tanaman berbuah polong yang relatif
sedikit menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman
dapat terpenuhi, b) memilih pohon yang memiliki perakaran yang dalam, untuk
mengurangi persaingan penyerapan hara dan air dengan tanaman pertanian di
sekitar permukaan atau tanah lapisan atas, dan c) jarak tanam pohon yang lebih
lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah
dengan tanaman pertanian.
Agroekologi
Agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk
semua elemen lingkungan dan manusia, dengan penekanan pada bentuk, dinamika
dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana
mereka terlibat.

Adapun yang tampak secara implisit dalam pekerjaan

agroekologi adalah gagasan bahwa dengan memahami hubungan-hubungan dan


proses-proses ekologi ini, agroekosistem dapat dimanipulasi untuk memperbaiki

21

produksi dan berproduksi secara lebih berkelanjutan dengan dampak negatif yang
lebih sedikit terhadap lingkungan dan masyarakat serta input dari luar yang lebih
rendah (Reijntjes 2004).
Agroekologi juga mengarah pada pendekatan yang menekankan terjadinya
keseimbangan dalam sistem pertanian atau biasa disebut keseimbangan
agroekosistem. Agroekosistem menekankan pada analisis yang mengadopsi
konsep

sistem

dengan

tujuan

mengidentifikasi

berbagai

faktor

yang

mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan


tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap: produktivitas (productivity),
stabilitas produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan
pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las 1991).
Sedangkan menurut Keeney (1990), pemahaman tentang konsep agroekosistem
ini diharapkan mampu menciptakan suatu sistem budidaya yang berkelanjutan
(sustainable agriculture) dan perbaikan lingkungan, termasuk perlindungan dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut.
Agroekosistem juga merupakan kesatuan komunitas tumbuhan dan hewan
serta lingkungan kimia dan fisiknya yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk
menghasilkan makanan, bahan bakar dan produk lainnya bagi konsumsi manusia.
Sedangkan dalam budidaya tanaman modifikasi ini diharapkan dapat menciptakan
dan mempertahankan kondisi-konsisi tanah sebagai berikut:
1) Ketersediaan air, udara dan unsur hara tepat waktu dalam jumlah seimbang
dan mencukupi.
2) Struktur tanah yang gembur yang dapat meningkatkan pertumbuhan akar,
pertukaran unsur-unsur gas, ketersediaan air dan kapasitas penyimpanan.
3) Suhu tanah yang dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan
pertumbuhan tanaman.
4) Tidak ada unsur-unsur toksik (racun) yang menghambat pertumbuhan
tanaman.
Pada agroekosistem terdapat konsep zona agroekologi (agroecological
zones). Konsep ini merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona
fisik yang kurang lebih homogen. Dalam konsep ini evaluasi lahan sangat

22

diperlukan

untuk

pengambilan

keputusan

penggunaan

lahan.

Adapun

parameternya adalah: fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan


sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter 1994). Untuk wilayah DAS,
parameternya adalah ketinggian dimana secara umum zonanya terbagi menjadi
daerah atas (hulu), tengah dan bawah (hilir).
Keberlanjutan (Sustainability)
Konsep keberlanjutan telah menjadi perhatian dalam pembangunan
pertanian dewasa ini.

Dalam bidang pertanian, konsep keberlanjutan yang

mengarah menjadi produktivitas yang berkelanjutan menjadi tujuan akhir


pengembangan pertanian oleh Consultatif Group on International Agriculture
Research (CGIAR) sejak tahun 1970. Sejak pertanian berkembang dan menjadi
konsep yang dinamis, CGIAR mendefinisikan bahwa pertanian berkelanjutan
adalah keberhasilan pengelolaan sumberdaya pertanian untuk memenuhi
perubahan kebutuhan masyarakat dengan tetap menjaga kualitas lingkungan dan
sumberdaya alam. Pertanian yang berkelanjutan juga merupakan suatu sistem
pertanian yang dalam waktu lama dapat mempertahankan kualitas lingkungan dan
sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia berupa makanan dan
serat-seratan dan layak secara ekonomi serta meningkatkan taraf hidup petani
maupun masyarakat secara umum.
Mugnisjah (2001), menyatakan bahwa pertanian yang berkelanjutan
adalah suatu sistem budidaya dimana teknologi budidaya yang digunakan
memungkinkan lahan yang dikelola dapat memberikan produksi tanaman dan atau
hewan yang memuaskan tanpa menimbulkan kerusakan atas lahan tersebut
sehingga produktivitasnya dapat dipertahankan oleh sistem produksi pertanian itu
sendiri.

Ada beberapa prinsip dalam pertanian berkelanjutan yaitu: 1)

mengorganisasi produksi tanaman dan hewan serta manajemen sumberdaya usaha


tani secara harmonis sehingga tidak bertentanggan dengan sistem alamiah, 2)
menggunakan dan mengembangkan teknologi yang tepat berdasarkan pemahaman
sistem biologis, 3) mencapai dan memelihara kesuburan tanah untuk mencapai
produksi optimum dengan mengandalkan penggunaan sumberdaya yang dapat

23

diperbaharui, 4) melaksanakan diversifikasi untuk mencapai produksi optimum, 5)


mengusahakan nilai gizi optimum dari bahan makanan pokok, 6) menggunakan
struktur yang terdesentralisasi untuk pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil,
7) mengupayakan hubungan yang setaraf antar subyek yang bekerja dan yang
hidup di atas lahan usaha tani, 8) menciptakan suatu sistem yang menyenangkan
dari segi estetika bagi yang bekerja di dalam sistem tersebut dan bagi orang di luar
yang memandangnya, dan 9) menjaga dan melindungi satwa liar yang menjadi
habitatnya.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) juga merupakan bentuk
pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan
sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi
pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin.
Keberlanjutan yang dimaksud meliputi: penggunaan sumberdaya, kualitas dan
kuantitas

produksi,

serta

lingkungannya.

Proses

produksi

pertanian

yang

berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah
terhadap lingkungan. Pertanian berkelanjutan ini mancakup aspek ekonomi, sosial
dan ekologi (Sitorus 2004), sedangkan menurut Liu et al. (1999), keberlanjutan
mencakup subsistem ekonomi, teknologi, ekologi dan subsistem masyarakat
pedesaan.

Untuk

mengukur

tingkat

keberlanjutan,

perlu

dilakukan

analisis

keberlanjutan. Kawasan DAS Cianjur yang meliputi wilayah dari hulu ke hilir,
dengan orientasi pengembangan ekonominya berbasis tanaman sayuran dataran
tinggi dan tanaman pangan, memerlukan analisis keberlanjutan (sustainability
analysis) usahatani agar dapat diupayakan pengelolaan
berkelanjutan.

kawasan yang

Salah satu metode analisis adalah menghitung tingkat

keberlanjutan usaha tani (sistem agroforestri), baik pada setiap zona DAS
maupun keberlanjutan sistem agroforestri secara umum (seluruh kawasan DAS)
berdasarkan kondisi riil masyarakat setempat (existing condition) dengan
mengelompokkan (cluster) beberapa aspek keberlanjutan yaitu aspek agronomi,
aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi.

ANALISIS KARAKTERISTIK BIOFISIK DAN AGROKLIMAT


SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR
(Analysis Characteristic Biophisics and Agroclimate of Agroforestry System
in Cianjur Watershed)
ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik biofisik dan agroklimat sistem
agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Pengamatan dilakukan terhadap 30 sampel
lahan agroforestri masyarakat dan wawancara/kuisioner yang dilakukan pada 30 petani
pelaksana agroforestri pada setiap zona DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan karakteristik biofisik (tanah, iklim, vegetasi dan fauna) pada sistem
agroforestri di tiga zona DAS Cianjur. Perbedaan juga terjadi pada karakteristik
agroklimat (suhu udara, curah hujan, kelembaban dan jumlah bulan kering dan bulan
basah). Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat menyebabkan terjadinya
perbedaan jumlah jenis pohon, tanaman semusim serta fauna (serangga) parasitoid pada
sistem agroforestri di wilayah ini. Di zona hulu, agroforestri dilaksanakan di areal
kehutanan dengan topografi berbukit/miring dan areal ini merupakan kawasan penyangga
(buffer zone) dari Tanaman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jumlah spesies pohon 5
spesies pohon dan 12 spesies tanaman semusim. Di tengah agroforestri dilaksanakan di
lahan-lahan masyarakat dan di lahan perkebuanan teh PTPN 8 pada topografi datar
sampai bukit/miring. Pada agroforestri di lahan-lahan masyarakat, jumlah spesies pohon
sebanyak 20 spesies dan 12 spesies tanaman semusim. Sedangkan di hilir jumlah spesies
pohon sebanyak 23 spesies dan 11 spesies tanaman semusim. Jumlah spesies pohon dan
tanaman semusim di tengah lebih banyak dibandingkan di hulu dan hilir, karena zona
tengah merupakan zona transisi sehingga ada beberapa jenis pohon dan tanaman semusim
baik dari zona hulu maupun hilir yang mampu beradaptasi dan tumbuh di zona tengah.
Kata kunci: DAS Cianjur, karakteristik biofisik dan agroklimat, struktur dan komponen
agroforestri

ABSTRACT
A research was conducted to analyze agroecologycal characteristic of agroforestry
system in Cianjur Watershed landscape. Observation and interviews were held to 30
samples of agroforestry field and respondents in the upper stream, the middle stream and
the down stream of Cianjur Watershed, respectively. The results showed, that the
communities in the three zones of Cianjur Watershed have been conducting agroforestry
practice in order to manage their dry land. Its found the differences characteristic of
agroforestry system between the upper stream and the down stream. In the upper

stream, agroforestry practices were found in a forest garden. This area is the
buffer zone of Gede Pangrango Mountain. In the upper stream, the number of
trees found 5 species and 12 species of plants. In the middle stream area,
agroforestry practices were found in community lands and the tea estate
plantation. In the community lands the number of trees found 20 species and 12
species of plant. In the down stream area, agroforestry were practiced in
community lands and the flat area. The number of trees is 23 species and 11
species of plants. The middle stream agroforestry system characteristic was known as a

25

transition condition between the upper and the down streams. The characteristic of
biophisic and agroclimate have affected to total individual number and species of trees
and cash crop.
Key words: Biophisic and agroclimate characteristic, Cianjur watershed, structure and
component of agroforestry

PENDAHULUAN
Agroforestri diartikan secara luas sebagai suatu sistem usaha tani atau
penggunaan lahan yang mengintegrasikan secara spatial dan temporal tanaman
pohon dan tanaman semusim pada sebidang lahan. Menurut King dan Chandler
(1978) dan Wijayanto (2002), agroforestri merupakan bentuk penggunaan lahan
yang dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara
keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan
pertanian baik secara bersama-sama atau secara bergilir yang disesuaikan dengan
pola budaya masyarakat setempat. Agroforestri telah dikembangkan masyarakat
secara turun temurun dan sebagai salah satu alternatif dalam pengelolaan lahan
kering di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) termasuk juga di DAS Cianjur.
Sinukaban (2003) mendefinisikan bahwa DAS merupakan suatu hamparan
wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan
air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai
(sub-DAS) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem
yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya
adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di
daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik,
sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk subsistem sosial,
kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS.
Dari cakupan wilayah yang luas, maka suatu DAS umumnya memiliki
keragaman kondisi biofisik maupun agroklimat terutama dipengaruhi oleh
perbedaan ketingian tempat. Perbedaan kondisi biofisik dan agroklimat ini juga
berpengaruh terhadap pola penggunaan lahan, dimana pola penggunaan lahan
merupakan salah satu faktor yang relatif dinamis, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi karakter daerah aliran sungai tersebut.

26

Pengelolaan lahan juga terkait erat dengan sumberdaya tanah, air dan
manusia di dalamnya, dimana sumberdaya yang ada akan berpengaruh terhadap
pola DAS. Sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur yang menjadi lokasi
penelitian ini memiliki karakteristik biofisik dan agroklimat yang berbeda. Untuk
itu, dilakukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis karakteristik biofisik
(tanah, tanaman dan fauna) pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2)
menganalisis karakteristik agroklimat (suhu, kelembaban, curah hujan, jumlah
bulan basah dan bulan kering) pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dan 3)
menganalisis vegetasi penyusun (struktur, komponen tanaman dan sebarannya)
pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di tiga zona DAS Cianjur (Gambar 3.1), sejak
Bulan Agustus 2007 sampai dengan Desember 2007.

Gunung Gede
Galudra 1300 mdpl
Mangunkerta 950 mdpl

Keterangan

Selajambe 300 mdpl

Hutan
CianjurCity

Hutan tanaman
Kebun hutan
Lahan dat tinggi

Sawah
Areal pemukiman

N
10km

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur
(Sumber: Harashima et al. 2002)

27

Penelitian meliputi: zona hulu (> 900 m dpl); tengah (300-900 m dpl) dan
hilir (300 m dpl). Secara administratif zona hulu masuk wilayah Desa Galudra,
zona tengah Desa Mangunkerta masing-masing masuk wilayah Kecamatan
Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa Selajambe Kecamatan Sukaluyu.
Pembagian zona ini berdasar pada penelitian Arifin (2001). Adapun secara
geografis zona hulu terletak pada S 60 46 23 60 47 15; E 1060 59 7 070 3
16 pada ketinggian > 900 m dpl, tengah 107003` 11-107005` 08 BT dan 6048`
14 LS (300-900 m dpl), dan hilir 107003` 11- 07005` 08 BT dan 6048` 14 LS
pada 300 m dpl.
Bahan dan Alat
Alat: Global Positioning System (GPS), camera digital, meteran, gunting,
hand counter, tali rapia, kantong plastik dan alat tulis.
Bahan: peta vegetasi, peta topografi, peta tanah masing-masing skala 1 :
50.000 dan kuisioner.
Metode
Analisis karakteristik biofisik dan agroklimat dilakukan untuk mengetahui
karakter biofisik dan agroklimat pada setiap zona DAS Cianjur. Data karakteristik
biofisik (tanah, agroklimat dan fauna) didapat dari data sekunder dan studi
pustaka. Data sekunder meliputi data iklim, topografi, dan data tanah diperoleh di
stasiun klimatologi setempat. Berdasarkan beberapa studi pendahuluan di ketiga
zona DAS ini sudah banyak dilaksanakan praktek agroforestri.
Data vegetasi didapatkan dari survei lapangan dengan pengamatan
langsung sistem agroforestri dan kebun campuran yang dikembangkan
masyarakat. Jumlah sampel pengamatan pada masing-masing zona 30 dan ukuran
sampel pengamatan 10 m x 10 m. Sedangkan penentuan responden, didasarkan
pada data kepemilikan dan penggunaan lahan masing-masing desa (petani
pelaksana agroforestri) secara random dan atau terstruktur serta mengacu pada
peta topografi, peta penggunaan lahan dan peta kesesuaian lahan DAS Cianjur
(Saroinsong et al. 2007). Lokasi sampel diverifikasi menggunakan Global

28

Position System (GPS), dipetakan dan hasilnya akan dijadikan basis pengamatan
lapang sistem agroforestrinya.
i

H =

(ni/n) log

(ni/n)

i 1

H = indeks keragaman, ni = jumlah individu tiap jenis, n = total individu


semua jenis.
Survei sistem agroforestri masyarakat dilakukan untuk mengetahui komponen
penyusun berupa jenis pohon, jenis tanaman semusim, jumlah jenis dan
penyebarannya. Komponen penyusun agroforestri ini selanjutnya dipetakan untuk
mengetahui sebaran jenisnya. Pengelompokan jenis dibedakan menjadi 8
(delapan) kelompok yaitu tanaman pangan, buah, sayuran, bumbu, obat, industri,
hias dan tanaman lainnya (Arifin 1998b).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik geografi
Daerah Aliran Sungai Cianjur secara geografis terletak diantara
10602500 BT - 10701430 BT dan 0602500 LS - 0605040 LS, letaknya
berbatasan dengan puncak dan punggung Gunung Gede Pangrango di bagian
barat, Waduk Cirata di bagian timur, perbukitan Gunung Geulis di bagian utara
dan Gunung Puntang di bagian selatan.

Gambar 3.2. Lokasi penelitian DAS Cianjur

29

DAS Cianjur terdiri dari sungai utama (Sungai Cianjur) dengan beberapa anak
sungai (Cigadog, Cianjur Leutik, Cibeureum, dan Cikukulu) yang bermuara pada
sungai utama.
Kawasan ini mencakup 26 desa, 6 wilayah kecamatan dalam Kabupaten
Cianjur Propinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan salah satu sub-DAS
Citarum Tengah terutama pada Daerah aliran Sungai Cisokan. Oleh sebab itu
DAS Cianjur sesungguhnya merupakan sub-DAS Cisokan atau sub-DAS Citarum
Bagian Tengah. Luas kawasan yang termasuk dalam kawasan DAS Cianjur adalah
5935.42 ha (berdasarkan delinasi menggunakan peta kontur dan peta sungai skala
1 : 25 000 dengan program ArcView versi 3.2). Luas wilayah DAS Cianjur ini
sebesar 24.2% dari luas wilayah administratif tingkat kecamatan (30 810.5 ha) dan
hanya 2.1% dari luas total wilayah administratif Kabupaten Cianjur. DAS Cianjur
juga merupakan DAS lokal yang berada di wilayah Kabupaten Cianjur, sehingga
lebih mudah dalam pengelolaan dan pelestarian fungsi-fungsi DAS bagi
pemerintah daerah dalam upaya pengelolaan DAS tersebut.
Karakteristik Topografi
Topografi kawasan DAS Cianjur bervariasi dan membentang dari
ketinggian 275 m dpl sampai dengan 2862.5 m dpl (Tabel 3.1) yang terdiri dari:
1. Dataran rendah (ketinggian 250-500 m dpl) yang mencakup wilayah DAS
Cianjur seluas 1854.12 ha.
2. Dataran menengah (ketinggian 500-750 m dpl) yang mencakup wilayah DAS
Cianjur seluas 640.5 ha dan ketinggian 700-1000 m dpl seluas 796.56 ha.
3. Dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1250 m dpl yang mencakup wilayah
DAS Cianjur seluas 1190.05 ha, ketinggian 1250-1500 m dpl dengan luas
wilaya 562.11 ha, 1500-1750 m dpl dengan luas wilayah 337.05 ha, 17502000 m dpl dengan luas wilayah 208.32 dan ketinggian >2000 m dpl dengan
luas wilayah 341.08 ha.
Daerah dataran tinggi merupakan pegunungan dengan kemiringan lereng
yang bervariasi dengan pola lereng mengikuti pola alur sungai.

30

Tabel 3.1. Kelas kemiringan lereng wilayah DAS Cianjur beserta luasannya
Luasan
No
1

Kelas
Lereng
A

Kemiringan
(%)
0-3

Keterangan

(ha)

(%)

Datar

2 017.21

33.99

3-8

Agak Landai

1 350.22

22.75

8-15

Landai

71.29

22.99

15-25

Agak Curam

457.96

7.72

25-45

Curam

1 149.65

19.37

>45

189.89

3.18

5 935.42

100

Total

Curam sekali

Sumber: Saroinsong (2002)

Gambar 3.3. Peta kelas lereng DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)
Karakterisitik Iklim
Kondisi iklim di wilayah DAS Cianjur secara umum merupakan daerah
iklim hujan tropis, selalu basah dengan curah hujan rata-rata setiap bulannya lebih
dari 60 mm (Tabel 3.2).

31

Tabel 3. 2. Data iklim DAS Cianjur tahun 2005 2007


Tahun 2005
Bulan

Suhu

RH (%)

( C)

Tahun 2006
Curah
Hujan

Suhu

RH (%)

( C)

Tahun 2007
Curah
Hujan

(mm)

Suhu

RH (%)

( C)

Curah
Hujan

(mm)

(mm)

Jan

20.2

89

377.8

20.0

92

414.0

24.0

86

196.0

Feb

20.2

90

583.2

20.1

92

412.0

20.0

91

330.0

Maret

20.3

89

410.2

20.3

92

105.0

20.1

89

338.0

April

20.3

86

225.9

20.4

92

319.0

28.0

88

320.0

Mei

20.8

85

231.0

20.7

91

139.0

20.9

86

217.0

Juni

20.4

87

195.7

20.0

92

106.0

20.4

86

145.0

Juli

19.9

85

147.3

19.6

92

44.0

20.3

81

12.0

Agt

20.1

84

113.3

19.4

89

30.0

20.4

78

70.0

Sept

19.9

85

131.7

21.1

78

9.0

21.0

76

108.0

Okt

21.1

85

219.4

21.8

78

109.0

221.3

81

337.0

Nop

21.5

85

365.9

22.2

83

220.0

21.6

82

438.0

Des

20.5

91

308.8

21.2

88

403.0

20.8

87

417.0

Rata-rata

20.4

87

275.9

20.6

88

193.0

19.2

84

244.0

Sumber: Stasiun Klimatologi Pacet (2007)

Gambar 3.4. Peta curah hujan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)

32

Berdasarkan serial curah hujan selama 10 tahun, maka menurut sistem


klasifikasi Kopen, kawasan DAS Cianjur termasuk dalam tipe sistem Af yaitu
iklim hujan tropis. Rata-rata curah hujan pertahun bervariasi dari 3 572 mm di
wilayah DAS hulu sampai dengan 1 858 mm pada bagian hilir. Kelembaban ratarata berkisar antara 80% - 82% dengan suhu rata-rata terendah 16.9 0C dan ratarata tertinggi sekitar 24.840C. Sedangkan jumlah hari hujan pertahunnya juga
bervariasi antara 116 hari/tahun sampai dengan 159 hari/tahun. Kondisi iklim ini
menunjukkan bahwa di wilayah DAS Cianjur sangat memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai kawasan agroforestri potensial dengan mempertimbangkan
pemilihan jenis tanaman pada setiap zonanya.
Kondisi Geologi/tanah
Tanah yang berada di lokasi DAS Cianjur meliputi 13 satuan peta tanah
(SPT) dengan jenis-jenis tanah meliputi (a) regosol ditrik (sistem klasifikasi Pusat
Penelitian Tanah) atau tergolong Inceptisol (menurut klasifikasi USDA Soil
Taxonomy). Tekstur lapisan atas dan bawah lempung pasir berkerikil, epipedon
ochric, drainase agak cepat, bentuk wilayah agak berbukit sampai bergunung,
vulkan dengan bahan induk berupa tufa intermedier. (b) Kambisol vertik atau
tergolong inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, drainase sangat
terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (c) Kambisol distrik atau
tergolong inceptisol inceptisol, tekstur bagian atas dan bawah liat berat, dainase
sangat terhambat, epidon ochric bahan induk tufa intermedier. (d) Andosol distrik
atau tergolong andosol, tekstur lapisan bagian atas liat berdebu, bagian bawah liat,
epipedon ochric, drainase cepat, vulkan, bahan induk tufa intermedier. (e) Latosol
argilik distrik atau utisol. Tekstur bagian atas dan bawah liat berat, epipedon
ochric, drainase cepat, sistem dataran, bahan induk tufa intermedier. (f) Mediteran
argilik atau tergolong Alfisol. Tekstur lapisan atas liat, lapisan bawah liat berat,
drainase agak terhambat, bentuk wilayah datar. (g) mediteran kambik atau alfisol,
tekstur bagian atas dan bawah liat, epipedon ochric, drainase sedang, lereng
perbukitan, bahan induk tufa intermedier. (h) Podsolik argilik atau tergolong

33

ultisol, tekstur liat sampai berat, drainase agak terhambat, bentuk wilayah berbukit
atau bergelombang.

Gambar 3.5. Peta jenis tanah di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)
Penggunaan lahan
Pola

penggunaan

lahan

seluruh

kawasan

DAS

Cianjur

dapat

dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kawasan hutan, kawasan pemukiman


dan lahan pertanian (Tabel 3.3).
Tabel 3.3. Pola penggunaan lahan dan luasan di lokasi penelitian
Luas lahan
(ha)
Hutan
Talun
Kebun
campuran
Lahan
kering
Sawah
(padi)
Perumahan
Total

Galudra
Lahan
%
(ha)
128.8
26.5
90.3
18.6
0.0
0.0

Mangunkerta
Lahan
%
(ha)
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

Selajambe
Lahan
%
(ha)
0.0
0.0
0.0
0.0
15.7
4.3

242.3

49.8

11.9

7.0

50.9

14.0

13.1

2.7

141.0

83.6

274.2

75.6

11.9
486.4

2.4
100

15.9
168.8

9.4
100

22.0
362.8

6.1
100

Sumber: Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe (Arifin 2002)

34

Luasan hutan sekitar 1130.64 ha (19.05%) terutama terkonsentrasi di kawasan


hulu DAS Cianjur. Kawasan permukiman seluas 954.19 ha membentang dari
daerah tengah sampai ke hilir terdiri dari 6 kecamatan yaitu Pacet, Cugenang,
Cianjur, Karang Tengah, Cilaku dan Sukaluyu dengan mayoritas penduduk pada 6
kecamatan tersebut berprofesi sebagai petani.
Selain itu, kepemilikan dan luasan lahan di wilayah DAS umumnya
berbeda, seperti yang terdapat di DAS Cianjur-Cisokan (Tabel 3.4).
Tabel 3.4. Luasan lahan dan struktur kepemilikannya di lokasi penelitian
Luas
lahan
(ha)
< 0.1
0.1 - 0.5
> 0.5 - 1
> 1 - 1.5
> 1.5 - 2
>2 -5
>5 -8
>8-0
> 10
Total

Galudra
Rumah
%
Tangga
805.0
253.0
25.0
15.0
8.0
3.0
3.0
2.0
1.0
1115

72.2
22.7
2.2
1.3
0.7
0.3
0.3
0.2
0.1
100

Mangunkerta
Rumah
%
Tangga
450.0
350.0
50.0
25.0
27.0
0.0
0.0
0.0
0.0
882

51.0
39.7
5.7
2.8
0.8
0.0
0.0
0.0
0.0
100

Selajambe
Rumah
%
Tangga
581.0
355.0
33.0
22.0
12.0
10.0
4.0
0.0
0.0
1 017

Sumber : Profile data Desa Galudra, Mangunkerta dan Selajambe Arifin (2002).

Gambar 3.3. Peta tutupan lahan di DAS Cianjur (Sumber: Rahmad 2007)

57.1
34.9
3.2
2.2
1.2
1.0
0.4
0.0
0.0
100

35

Lahan pertanian merupakan kawasan paling luas dan terdiri dari beberapa
jenis pemanfaatan yaitu sawah dengan luasan 1997.07 ha (33.65%), tegalan
dengan luas wilayah 911.06 ha atau sekitar 15.35%, perkebunan teh seluas 451.16
ha atau 7.60%, kebun campuran seluas 366.89 ha atau sekitar 6.18% dan talun
seluas 125.40 ha atau 2.11%.
Tanaman sayuran yang berpotensi dikembangkan pada sistem agroforestri
Karakteristik lahan di DAS Cianjur memungkinkan untuk pengembangan
tanaman sayuran. Gambaran produksi dan keadaan tanaman sayuran terdapat
pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Keadaan tanaman sayuran tahun 2002 dan 2003
N
o

Jenis

Bawang
Merah
Bawang
Daun
Kentang
Kubis
Kembang
Kol
Petsai /
Sawi
Wortel
Lobak
Kacang
Merah
Kacang
Panjang
Cabe
Merah
Cabe
Rawit
Jamur
Tomat
Terung
Buncis
Ketimun
Labu Siam
Kangkung
Bayam

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

sayuran

Luas Tanam
(ha)

Luas Panen
(ha)

2002

2003

2002

2003

21

18

15

2 514
246
906

2 481
95
772

Produktivitas
(kw/ha)

Produksi Bruto
(ton)

2002

2003

26

135.33

136.15

203

354

2 339
191
1 123

2 220
81
677

254.00
299.69
313.00

263.54
336.79
313.00

59 410
5 724
35 150

58 506
2 728
21 190

32

22

408.18

898

1 290
2 153
129

1 454
2 316
169

1 477
2 233
161

1 207
2 392
167

237.35
311.01
218.20

187.48
267.67
195.93

35 056
69 448
3 513

18 448
56 826
3 272

700

472

774

437

158.81

158.79

12 292

6 939

943

948

910

894

152.07

179.94

13 838

16 087

1 501

1 077

1 558

934

183.82

216.52

28 639

20 223

0
0
1 048
494
854
823
823
127
115

648
91
963
463
907
766
766
171
138

0
0
1 258
534
1 026
848
848
136
113

493
30
906
463
800
786
786
123
126

0
0
144.83
220.56
219.92
215.71
215.71
71.03
70.00

121.26
3.67
268.02
257.45
246.58
231.32
231.32
96.26
78.49

0
0
18 220
11 778
22 564
18 292
18 292
966
791

5 978
11
21 495
11 920
19 726
18 182
18 182
1 184
989

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2003)

2002

2003

36

Tanaman sayuran juga menjadi tanaman utama pada sistem agroforestri.


Tanaman sayuran memiliki potensi untuk dikembangkan karena wilayah ini
memang merupakan salah satu sentra produksi untuk tanaman sayuran (terutama
sayuran dataran tinggi) untuk wilayah Provinsi Jawa Barat.
Karakteristik wilayah penelitian
Deskripsi wilayah penelitian di DAS Cianjur terdapat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Deskripsi lokasi penelitian di Daerah Aliran Sungai Cianjur
Deskripsi
Zona

Hulu

Tengah

Hilir

Ketinggian
tempat
(mdpl)

Koordinat/

> 900

S 60 46 23
60 47 15
; E 1060 59
7 1070 3
16

300-900

300

Tofografi

lokasi

S 60 47 44
60 48 14
; E 1070 3
11 1070 5
8
S 60 48 7
60 49 18 ;
E 1070 12
17 1070
14 32

70%
bukit

Jarak
dari
kota
Cianjur
(km)

Luas
Wilayah
(ha)

Jumlah
Penduduk
(jiwa)

Kepadatan
ratarata/km

12.90

373.40

3 807

102

9.80

212.90

5 029

210

10.00

115.48

6 359

287

30%
dataran
40%
bukit
60%
dataran
semuanya
berupa
dataran

Zona Hulu
Wilayah penelitian untuk zona hulu adalah Desa Galudra. Desa Galudra
masuk wilayah Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur. Galudra ini merupakan
wilayah dataran tinggi dan pegunungan pada ketinggian 1 300 m dpl, dengan
lanskap lereng yang curam. Beberapa area pedesaan adalah tipe hutan sebagai
zona penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Desa Galudra

memiliki luas wilayah sebesar 373 400 ha dengan jumlah penduduk 3 807 jiwa,
kepadatan/km 102 dan pendapatan perkapita Rp.1 897 292/tahun.

37

Gambar 3.2. Peta penggunaan lahan wilayah hulu (Ali dan Arifin, 2007)
Lahan pertanian Galudra adalah berupa lahan kering. Agroforestri pada
kawasan ini dilaksanakan dengan sangat intensif berupa intercropping, multiple
cropping, maupun dalam bentuk alley cropping dengan tegakan utamanya berupa
pinus dan kayu putih. Pola Agroforestri ini secara intensif dilaksanakan pada
lahan-lahan kehutanan yang merupakan bagian dari daerah Penyangga Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Tanaman yang dibudidayakan secara intensif
adalah jenis sayuran dataran tinggi tropis seperti wortel, bawang daun, jagung
manis, sawi, tomat, cabe, kobis, selada, brokoli, bawang daun dan labu siam.
Sedangkan agroforestri berbentuk talun terdapat pada lereng sungai dengan
topografi yang curam.
Zona Tengah
Lokasi penelitian zona tengah DAS Cianjur adalah Desa Mangunkerta.
Desa Mangunkerta secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kecamatan
Cugenang. Di sebelah selatan mengalir Sungai Cisarua yang langsung membagi
desa dan berbatasan dengan Desa Srampat, sedangkan di sebelah utara mengalir
Sungai Cianjur Kecil yang juga langsung membagi desa dan berbatasan langsung
dengan Desa Nyalindung. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Gasol dan di
sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamulya. Jumlah penduduk desa

38

Mangunkerta sebanyak 5.029 jiwa dengan kapadatan/km 210 jiwa dan pendapatan
perkapita Rp 264.839/tahun.

Gambar 3.3. Peta penggunaan lahan wilayah tengah (Ali dan Arifin, 2007)
Keberadaan pertanaman tanaman semusim hampir berlangsung sepanjang
tahun. Di daerah ini curah hujannya juga cukup tinggi, sehingga tidak ada
masalah air. Cara penanaman tanaman semusim lebih teratur dalam baris-baris
maupun blok-blok tanaman dengan jarak tertentu, hal ini terjadi karena pada
umumnya petani di daerah ini merupakan petani-petani spesialis lahan kering dan
praktek agroforestri merupakan pekerjaan pokok bagi sebagian besar petani.
Pengolahan tanah optimum, benih dan bibit umumnya beli dari pasar serta
dilakukan pemeliharaan tanaman seperti pengendalian hama penyakit dan gulma.
Jenis tanaman semusim lebih beragam, sementara untuk pohon dilakukan
pemangkasan terutama daun untuk mengurangi pengaruh negatif naungan. Talas
Bogor (Colocasia esculenta L ) ditanam terutama di pinggir teras sehingga
mempunyai nilai tambah yaitu disamping produksi juga untuk menahan erosi
(aspek konservasi).
Zona Hilir
Zona hilir wilayah penelitian ini adalah Desa Selajambe. Desa Selajambe
secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Sukaluyu. Di sebalah selatan
berbatasan dengan Desa Tanjungsari, sedangkan di sebelah utara berbatasan

39

dengan Desa Sukasirna. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Hegarmanah


dan sebalah barat berbatasan dengan Desa Babakan Caringin Kecamatan Karang
Tengah. Desa ini berada kurang lebih 10 km dari Kota Cianjur dan 5 km dari
ibukota kecamatan. Desa ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 6.359 jiwa
dengan luas wilayah seluas 115.48 ha yang terdiri dari sawah setengan teknis 21.6
ha, lahan kering 11.454 ha dan pemukiman 71.560 ha.

Desa ini memiliki

kerapatan 2.087 jiwa/km2. Tanaman utama pada lahan kering (kebun campuran)
adalah jagung, cabe, ketela pohon, tomat dan ubi jalar.
Penggunaan lahan pada tahun 2000 di zona bawah ini relatif sama dengan
jumlah jenis penggunaan lahan pada tahun 1990 sebanyak 4 jenis yaitu sawah,
tegal, kebun campuran dan pemukiman (Gambar 3.4).

Pada tahun 2000

penggunaan lahan tetap sama yaitu didominasi oleh sawah sebesar 75.37% dari
total keseluruhan luas wilayah. Untuk tegalan seluas 4.64%, pemukiman sekitar
12.91% dan penggunaan lahan untuk kebun campuran sekitar 12.91% dari total
luas wilayah.

Gambar 3.4. Peta penggunaan lahan wilayah hilir (Ali dan Arifin, 2007)
Penggunaan lainnya mengalami peningkatan luas lahan yaitu penggunaan
lahan sawah, kebun campuran dan pemukiman. Pada tahun 1990 luas lahan untuk
penggunaan sawah meningkat dari 73.37% menjadi 73.54% pada tahun 2000 atau
mengalami perubahan bertambah sebesar 1.83%. Kebun campuran pada tahun
1990 luasnya sebesar 3.98% pada tahun 2000 menjadi 7.08%, sedangkan

40

penggunaan untuk pemukiman pada tahun 1990 sebesar 5.34% pada tahun 2000
berubah menjadi 12.91% dari total luas wilayah lahan keseluruhan. Penggunaan
untuk pemukiman ini mengalami perubahan (bertambah) sebesar 7.57% (Ali dan
Arifin, 2007).
Waktu tanam untuk tanaman semusim umumnya juga terbatas. Penanaman
hanya berlangsung selama Bulan Oktober-Desember untuk jenis tanaman cabe,
tomat, jagung, terong atau kacang panjang, dan selanjutnya

tanaman dibiarkan

tumbuh sampai tanaman tidak berproduksi (mati). Hal ini terjadi karena
keterbatasan air (curah hujan rata-rata tahunan 1000 - 2000 mm/tahun) terutama
pada musim kemarau (hanya mengandalkan air hujan) sementara air irigasi teknis
hanya dialokasikan untuk pertanian lahan sawah, yang lebih menjadi fokus usaha
pertanian mereka. Untuk penanaman selanjutnya beberapa petani menanam ketela
pohon yang sebenarnya juga menguntungkan karena dengan umurnya yang cukup
panjang dan relatif tahan kekeringan maka tanaman ini cocok sampai masa
penanaman tanaman selanjutnya.
Penyuluhan tentang agroforestri tidak ada, sementara kelompok tani hanya
merupakan kelompok tani sawah. Pengolahan tanah dengan olah tanah minimum
(minimum tillage) dengan sekali cangkul atau dengan ditugal, benih dan bibit
dibuat oleh petani sendiri, dan hanya sebagian kecil petani yang membeli benih
dari pasar. Tingkat pemeliharaan tanaman (pemupukan teratur, pemberantasan
hama penyakit dan gulma baik secara mekanis maupun kimiawi) juga sangat
rendah, sehingga produktivitas tanaman untuk sistem agroforestri di daerah ini
rendah.
Karakteristik Sistem Agroforesti Masyarakat di DAS Cianjur
Karakter pohon
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter sistem
agroforestri masyarakat di tiga zona DAS Cianjur. Di zona hulu, sistem
agroforestri berbentuk agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley
cropping) dan terdapat di Kawasan Penyangga Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango. Di tengah, terdapat 2 sistem agroforestri yaitu agroforestri berbentuk

41

alley cropping berbasis mahoni yang terdapat di lahan milik perkebunan teh dan
agroforestri berupa kebun campuran

milik masyarakat.

Sedangkan

di hilir

86.67% sistem agroforestri dengan pola campuran (mixed cropping) dan 13.33%
alley cropping berbasis sengon (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Karakteristik agroforestri di tiga zona DAS Cianjur
Performance Agroforestri

Sistem
Agroforestri

Rataan Luasan
Agroforestri
( m2 )

Struktur vegetasi

AF sederhana di hulu

Sederhana,
pola alley
cropping

440 m2

Teratur, bentuk
barisan,bedengan,
tumpang sari.
Jumlah jenis tegakan
/ pohon = 5 ;
Tanaman semusim =
12

AF sederhana di tengah

Sederhana,
pola alley
cropping dan
kebun
campuran

820m2

Teratur, bentuk
barisan dan blok.
Jumlah jenis tegakan
/ pohon = 20 ;
Tanaman semusim =
20

AF kompleks di hilir

Kompleks
(kebun
campuran)

660 m2

Tidak teratur, banyak


jenis.
Jumlah jenis tegakan
/ pohon = 32 ;
Tanaman semusim =
21

Pola sebaran pohon pada sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur
juga berbeda. Di hulu pohon pinus atau kayu putih ditanam dalam barisan teratur
jarak

tanam 4m x 10m.

Pohon pinus berumur rata-rata berumur 4 tahun,

sedangkan kayu putih > 10 tahun. Kondisi pohon pinus dan kayu putih umumnya
kurus tidak subur dan selalu dilakukan pemangkasan 2-3 kali dalam 1 tahun. Di

42

zona hulu ini petani sebagai pesanggem dapat memanfaatkan lahan-lahan di


bawah tegakan untuk dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, namun petani juga
memiliki kewajiban menjaga dan merawat pohon.
Sedangkan di tengah tegakan/pohon dalam sistem agroforestri didominasi
oleh jenis mahoni. Di lahan milik perkebunan teh, tegakan mahoni umur 4 tahun
dengan jarak tanam teratur 4m x 10m ditanam pada lahan-lahan yang miring.
Sedangkan di hilir, pohon penyusun agroforestri didominasi oleh jenis sengon.
Sebagian besar pohon sengon tidak ditanam oleh petani. Adapun gambar/sketsa
sebaran pohon pada setiap zona DAS Cianjur terdapat pada Lampiran 3 dan 4.
Jumlah spesies pohon dan tanaman semusim juga berbeda di tiga zona
DAS Cianjur. Di hulu ditemukan pohon sebanyak 5 spesies, di tengah 20 spesies
dan di hilir 23 spesies. Berdasarkan fungsinya, di hulu 80% penghasil kayu dan
20% pohon buah, di tengah 60% penghasil kayu, 30% pohon buah 10% penghasil
bunga sedangkan di hilir 56.52% penghasil kayu, 30.43% penghasil buah, 8.70%
penghasil bunga dan 4.40% penghasil obat Tabel 3.6. Data spesies pohon dan
tanaman penyusun agroforestri pada setiap zona terdapat pada Lampiran 2.
Tabel 3.6. Spesies pohon dan tanaman semusim (berdasarkan fungsinya) pada
sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur
Zona DAS
Jenis Penyusun
Hulu
Jumlah
%
spesies
Tegakan
Pohon (kayu)
Pohon Buah-buahan
Penghasil bunga/hias
Penghasil Obat
Total
Tan Semusim
Sayuran
Pangan
Buah
Hias
Total

Tengah
Jumlah
%
spesies

Hilir
Jumlah
spesies

4
1
0
0
5

80
20
0
0
100

12
6
2
0
20

60
30
10
0
100

13
7
2
1
23

56.52
30.43
8.70
4.40
100.00

10
1
1
0
12

83.33
8.33
8.33
0
100

13
4
2
1
20

65
20
10
5
100

13
4
2
2
21

62.00
19.04
9.52
9.52
100.00

43

Perbedaan jumlah spesies pohon di hulu dan tengah disebabkan oleh


tujuan dari pemilihan pohon yang dikaitkan dengan fungsi ekologis dan ekonomis
pohon pada setiap zona DAS. Berdasarkan fungsi ekologis pohon yang dipilih
adalah pohon yang mempunyai nilai konservasi tinggi dengan perakaran yang
dalam dan perkembangan tajuk yang cepat. Sedangkan dari nilai ekonomis adalah
pohon yang mempunyai nilai ekonomis tinggi baik berupa getah maupun kulit
kayunya (pinus dan kayu putih).
Sistem agroforestri di tengah didominasi pohon mahoni karena disamping
memiliki perakaran yang kuat, harga jual kayunya tinggi, ranting bekas pangkasan
bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar dan daunnya untuk pakan ternak. Sedangkan
di hilir, agroforestri berupa kebun campuran dengan jumlah spesies pohon lebih
banyak, karena pohon selain untuk memenuhi fungsi ekologis dan ekonomis, juga
fungsi produksi yaitu, untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Rendahnya jumlah spesies pohon di hulu dan tengah juga disebabkan oleh
pola alley cropping yang memerlukan spesies pohon tertentu agar tidak terjadi
kompetisi antar pohon dan tanaman, baik kompetisi ruang tumbuh maupun
kompetisi penyerapan unsur hara. Pada Alley cropping dengan tegakan pinus di
hulu dan mahoni di tengah, masih memungkinkan tersedianya ruang tumbuh bagi
tanaman semusim. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sabarnurdin et al.
(2004), yang menyatakan bahwa pada alley cropping dengan pohon mahoni,
pohon memberikan pengaruh pada proses berbagi (sharing) ruang tumbuh dengan
tanaman (cash crop). Seiring dengan perkembangan tajuk tegakan mahoni, maka
lebar ruang pertanian semakin turun dan ruang pertanian mempunyai
ketidakaktifan tinggi pada saat perkembangan tajuk mahoni antar baris sudah
bertemu.

Adapun masa aktif ruang pertanian berkisar 5.2 sampai 8.7 tahun.

Sedangkan menurut Kurniawan (2004), pada agroforestri pinus dengan kedelai,


dengan melakukan pemangkasan 1/3 tajuk bagian bawah, mampu meningkatkan
penangkapan cahaya yang lolos ke bawah pohon dari 20% menjadi 23% pada saat
awal pemangkasan (0 hst) dan pada saat kedelai tumbuh vegetatif maksimum (40
hst) meningkat dari 23% menjadi 28%.

44

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah spesies pohon adalah tingkat


intensifikasi sistem agroforestri. Tingkat intensifikasi pertanian yang makin
meningkat ke hulu maka pohon yang dipilih hanya jenis-jenis tertentu yang masih
dapat memberi ruang untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman yang
diusahakan petani. Selain itu dengan tofografi yang umumnya berbukit, maka
pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki perakaran yang dalam dan tidak
terlalu menyebar, tajuk tidak terlalu lebar, mudah dipangkas, sehingga pohon ini
bisa memiliki fungsi ganda yaitu dapat mengurangi erosi, daun pangkasan bisa
dimanfaatkan untuk menambah bahan organik tanah dan pakan ternak.
Di hilir, 100% agroforestri pada lahan-lahan masyarakat sehingga jenis
pohon yang ditanam ditentukan sendiri oleh pemilik/penggarap (Tabel 3.7).
Faktor kepemilikan ini mempengaruhi jumlah jenis pohon. Di hulu petani sama
sekali tidak memiliki hak atas pohon, begitu juga di tengah pada kebun campuran
di areal PTPN, sedangkan di hilir karena kepemilikan ada pada masyarakat
(pemilik) maka pemilik memiliki hak untuk memilih dan memanfaatkan pohon
yang ditanam sesuai dengan tujuan penanaman.
Tabel 3.7. Pola kepemilikan lahan di tiga zona DAS Cianjur
No
1
2
3
4

Kriteria
Petani/penggarap
lahan kehutanan
Petani sebagai pemilik
sendiri
Petani/penggarap
milik orang luar desa
Petani luar daerah
yang
menggarap
sendiri
Jumlah

Zona DAS
Tengah

Hulu

Hilir

Jumlah
30

%
100

Jumlah
18

%
60

Jumlah
0

%
0.00

30

6.67

10

19

63.33

16.67

30

100

30

100

30

100.00

Luasan lahan garapan pada sistem agroforestri (kebun campuran) secara


umum kita bedakan menjadi 4 (empat). Luas rata-rata lahan garapan petani juga
berbeda di tiga zona DAS Cianjur. Di hulu luas lahan garapan petani 100%
sempit dengan rata-rata 440 m2 lebih rendah dibanding di tengah sebesar 820 m2
dan di hilir 660 m2 (Tabel 3.8). Perbedaan rata-rata luas lahan garapan ini diduga

45

akan mempengaruhi jenis tanaman dan pohon. Rata-rata luasan lahan yang sempit
di hulu disebabkan petani mendapatkan lahan yang hampir merata dari BTNGGP
(Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dengan luasan 400m2-600m2,
begitu juga di tengah, pada lahan milik PTPN 8 (Perkebunan Teh Gunung
Gedeh) dengan luasan juga 400m2-600m2. Pada 30 % petani yang menggarap
lahan milik sendiri atau orang lain (selain PTPN) luasannya bervariasi antara 400
m2- >1200 m2. Sedangkan di hilir 100% lahan milik petani (milik sendiri atau
milik orang lain) maka luasannya juga beragam dengan rata-rata lebih luas
dibanding di hulu dan di tengah. Rata-rata luas lahan garapan juga mempengaruhi
tingkat intensifikasi pemanfaatan lahan. Di hulu dan tengah dengan luas garapan
yang sempit petani akan lebih intensif dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan di
hilir cenderung kurang intensif (86.68%) dan hanya 13.32% intensif berupa
agroforestri sederhana berbasis sengon terutama pada lahan-lahan yang cukup luas
dan dimiliki oleh orang lain (dari luar Desa Selajambe).
Tabel 3.8. Rata-rata luas lahan garapan pada sistem agroforestri masyarakat di
DAS Cianjur
<400 (m2)

Zona
DAS
Hulu
Tengah
Hilir

Luas Lahan Garapan


400-800 (m2)
800-1200 (m2)

>1200 (m2)

Jumlah

Jumlah

Jumlah

Jumlah

0
18
11

0.00
60.00
36.67

30
8
9

100.00
26.60
30.00

0
1
8

0.00
3.33
26.60

0
3
2

0.00
10.00
6.67

Luas
rataan
(m2)
440
820
660

Selain itu jumlah jenis komponen penyusun juga dipengaruhi oleh status
garapan dan sistem bagi hasil dari sistem agroforestri yang dikelola (Tabel 3.9).
Tabel 3.9. Status garapan dan sistem bagi hasil agroforestri di tiga zona DAS
Cianjur
Kriteria
Hasil untuk penggarap
Bagi hasil (50 : 50)
Milik sendiri
Pohon untuk penggarap
Pohon dibagi hasil
Pohon ke pemilik lahan
Total

Hulu
Jumlah
%
30
100.00
0
0.00
0
0
0
0
30

0.00
0.00
0.00
0.00
100.00

Zona DAS
Tengah
Jumlah
%
18
60.00
3
10.00
9
0
0
9
30

30.00
0.00
0.00
0.00
100.00

Hilir
Jumlah
6
2

%
20.00
6.67

12
2
0
8
30

40.00
6.67
0.00
26.67
100.00

46

Karakter tanaman semusim


Jumlah spesies tanamam semusim di hulu lebih rendah dibandingkan di
tengah dan di hilir. Rendahnya jumlah spesies tanaman di hulu disebabkan oleh
kondisi agroklimat terutama suhu. Menurut Kiyotaka et al. (2001), setiap
kenaikan ketinggian 100m menyebabkan penurunan suhu sebesar 0.590C.
Perbedaan suhu yang merupakan representasi dari ketinggian tempat merupakan
faktor pembatas pertumbuhan tanaman, sehingga jenis tanaman yang diusahakan
hanya terbatas pada tanaman sayuran dataran tinggi seperti cabe, tomat, wortel,
kobis, sawi, bawang daun dan brokoli. Perbedaan suhu ini juga berpengaruh
terhadap produksi, seperti dinyatakan oleh Selari et al. (2007), bahwa perubahan
suhu udara dan tanah karena perbedaan elevasi berpengaruh terhadap produksi
tanaman.
Intensitas penanaman tanaman semusim di hulu sangat intensif. Sangat
intensifnya penanaman tanaman semusim ini, mengakibatkan hanya spesies
tanaman tertentu yang ditanam petani, dan petani cenderung memilih jenis
tanaman semusim yang berumur pendek. Hal ini sesuai dengan pendapat Thakur
et al. (2005), yang menyatakan bahwa pemilihan jenis tanaman sangat diperlukan
dalam pola tanam intensif. Sementara di tengah dan hilir memungkinkan untuk
menanam lebih banyak jenis tanaman, karena selain tujuan penanaman juga
disebabkan oleh adanya beberapa tanaman dataran tinggi yang bisa beradaptasi di
dataran rendah. Sebagai contoh tanaman cabai dan terong merupakan tanaman
sayuran yang dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi (1 200 m dpl)
dengan kisaran suhu yang lebih besar yaitu 17 - 320C. Sedangkan tanaman labu
siam hanya tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 17- 250C. Hal ini sesuai
dengan penelitian Bahrun et al. (2004), yang menyatakan bahwa perbedaan zona
karena perbedaan ketinggian tempat menyebabkan terbentuknya zona agroklimat
dan mempengaruhi iklim mikro, sehingga komponen penyusun agroforestrinya
juga berbeda (kasus di DAS Ciliwung).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada sistem agroforestri baik
di hulu, tengah maupun hilir, menanam jenis spesies yang sama, yaitu jenis

47

tanaman sayuran dataran tinggi.

Sedangkan beberapa tanaman pangan yang

ditanam di tengah dan di hilir adalah jagung (jagung dan jagung manis) serta
singkong (ubi kayu).
Karakteristik fauna
Jumlah jenis fauna parasitoid di hulu lebih besar dibandingkan di tengah
dan hilir (Tabel 3.10). Hal ini dikarenakan pertambahan jumlah spesies parasitoid
ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan struktur lanskapnya, dimana
semakin beragam habitat tanaman maka jumlahnya semakin banyak.
Tabel 3.10. Jumlah spesies fauna (serangga) pada sistem agroforestri di DAS
Cianjur
Fauna (Jumlah spesies)

Zona
Predator

Parasitoid

Polinator

Herbivor

Hulu

58

26

Tengah

48

21

Hilir

40

23

Sumber: Yaherwandi (2005)


Selain itu juga karena intensifikasi pengelolaan terutama penggunaan
pestisida dapat menyebabkan parasitoid pindah dari habitat yang banyak
menggunakan pestisida ke habitat yang lebih sedikit menggunakan (Yaherwandi
2005).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Sistem agroforestri di DAS Cianjur yang dilaksanakan di wilayah hulu berupa
agroforestri sederhana, dengan kondisi tanah/topografi berbukit/miring
sehingga jenis pohon lebih sedikit karena disesuaikan dengan fungsi pohon
yaitu fungsi konservasi. Di tengah, selain fungsi konservasi juga fungsi
produksi, sedangkan di hilir pohon yang dipilih adalah pohon yang memiliki
fungsi produksi yang tinggi dan nilai jual yang tinggi.

48

2. Perbedaan ketinggian tempat berpengaruh terhadap perbedaan karakter


agroklimat terutama suhu yang sangat berpengaruh terhadap sistem
agroforestri serta jumlah jenis spesies (tumbuhan dan hewan) yang ada di
suatu kawasan DAS.
3. Karakteristik sistem agroforestri di hulu berbeda dengan di tengah dan hilir.
Perbedaan karakteristik biofisik dan agroklimat pada sistem agroforestri
berpengaruh terhadap komposisi vegetasi penyusunnya. Di zona hulu jumlah
spesies tegakan sebanyak 5, di tengah 20 sedangkan di zona hilir 23 spesies.
Sedangkan untuk spesies tanamn semusim, di hulu 12 spesies, di tengah 20
spesies dan hilir 21 spesies.

ANALISIS POLA TANAM DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN PADA


SISTEM AGROFORESTRI DI DAS CIANJUR
(Analysis Cropping Pattern and Productivity of Cash Crops on Agroforestry
System in Cianjur Watershed)
ABSTRAK
Penelitian dilakukan untuk menganalisis karakteristik pola tanam dan
produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di DAS Cianjur.
Pengamatan dan wawancara dilaksanakan pada 30 sampel sistem agroforestri
masyarakat dan wawancara terhadap 30 responden (petani) pada setiap zona DAS
Cianjur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik
pola tanam, dimana perbedaan karakteristik pola tanam ini juga berpengaruh
terhadap produktivitas tanaman. Sistem agroforestri di zona hulu merupakan
agroforestri sederhana dengan pola tanam lorong (alley cropping), tata letak
tanaman teratur dalam baris atau blok dengan intensifitas pertanamannya sangat
intensif, di tengah sistem agroforestri di areal perkebunan teh (73%) areal dengan
pola tanam lorong (alley cropping) tata letak tanaman teratur dalam baris atau
blok dengan intensifitas pertanamannya intensif, sedangkan sisanya 27% berupa
kebun campuran di lahan milik masyarakat. Sedangkan di hilir sistem
agroforestri umumnya berupa kebun campuran dengan tata letak tanaman
semusim yang tidak teratur, intensitas penanaman kurang intensif dengan pemilik
lahan orang luar Desa Selajambe. Adapun nilai indeks pertanaman masingmasing dari hulu ke hilir berturut-turut adalah 2.93, 2.53 dan 1.43. Produktivitas
tanaman semusim di hulu juga lebih tinggi dibanding di tengah dan di hilir, hal
ini disebabkan jenis tanaman semusim yang ditanam baik di tengah dan di hilir
merupakan tanaman sayuran dataran tinggi. Produktivitas tanaman semusim di
tiga zona DAS Cianjur umumnya juga lebih rendah dari potensi hasil setiap jenis
tanaman dan dari data Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. Sedangkan tanaman
semusim dominan di hulu adalah wortel, kobis, tomat, bawang daun, sawi dan
cabe, di tengah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi sedangkan di hilir adalah
jagung, cabe keriting, tomat dan singkong.
Kata kunci : agroforestri, indeks pertanaman, pola tanam, produktivitas tanaman
ABSTRACT
The study was conducted to analyze characteristics of the cropping pattern and
productivity of cash crops of agroforestry systems in the Cianjur watershed
landscape. Observation and interviews were held to 30 samples of agroforestry field and
respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur
Watershed, respectively. The results showed, that the communities in the three zones of
Cianjur Watershed have been conducting agroforestry practice in order to manage their
dry land. Its found the differences characteristic of agroforestry system between the
upper stream and the down stream. The middle stream agroforestry system characteristic
was known as a transition condition between the upper and the down streams. The
characteristic of the biophisic and agroclimate have affected to total individual number

49

and species of trees and cash crops, cropping pattern and productivity. Planting index of
cash crops is 2.93, 2.53 and 1.43 in the upper, middle and down stream, respectively.

The productivity of cash crops in the three zones of Cianjur watershed area, in the
generally also lower than the potential yield and data from Cianjur Agriculture
Official 2009. Furthermore, the dominant cash crops in the upper stream are
carrot, cabbage, tomato, scallion, mustard and chili. In the middle stream are corn,
chili, tomato, carrot, and mustard, and than in the down stream are corn, chili,
tomato and cassava.
Key word : agroforestry, cash crop productivity, planting index, planting pattern
PENDAHULUAN
Pola tanam diartikan sebagai bentuk pengelolaan pertanaman yang
diusahakan pada sebidang lahan yang meliputi cara tanam, bentuk penanaman,
waktu/periode tanam dan persiapan lahan. Bentuk pola tanam tanaman semusim
pada sistem agroforestri dapat berupa pola tanam tunggal (monocropping) dan
pola tanam ganda (multiple cropping). Pola tanam ganda dibagi menjadi pola
tanam campuran (mixed cropping) dan tumpang sari (intercropping), dimana
kedua pola tanam ini terdapat berbagai jenis pola tanam tergantung dari tujuan
usaha tani dan kondisi lahan setempat (Sukmana et al. 1990; Haryati et al. 1993).
Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah ditentukan oleh faktor
lahan/tanah dan keadaan iklim, serta tujuan dari pengelolaan pada setiap zona
agroekologi (Das 2005). Selain itu pola pertanaman juga ditentukan oleh: 1)
fasilitas-fasilitas

penunjang

(infrastruktur)

seperti

irigasi,

transportasi,

penyimpanan, pasar/perdagangan, dan pergudangan, 2) faktor sosial ekonomi


yaitu modal, kepemilikan, ukuran dan sistem pengelolaan lahan, ketersediaan
makanan dan kayu bakar serta tenaga kerja, 3) faktor teknologi yaitu tersedianya
varietas tanaman yang baik, teknik budidaya, mekanisasi, sarana penanggulangan
hama penyakit serta akses informasi. Sedangkan di tingkat petani faktor yang
paling menentukan adalah potensial produksi dan keuntungan secara finansial.
Pengaturan pola tanam mempengaruhi keberhasilan sistem agroforestri.
Pola tanam yang tepat dapat mengurangi interaksi negatif (kompetisi) antar
tanaman sehingga

dapat menghasilkan produksi yang maksimal. Menurut

Partohardjono (2003), dalam pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman

50

pada sistem agroforestri harus mempertimbangkan kondisi fisik, sosial ekonomi


dan peluang yang ada, adanya pelibatan petani dalam perancangan dan pengkajian
pola tanam untuk memperlancar proses adopsi teknologi, melibatkan multidisiplin dari berbagai bidang keahlian dan pengembangan pola tanam yang
mengarah pada peningkatkan intensitas tanam serta dapat diterima petani.
Sedangkan menurut Raintree (1983), bahwa pengembangan agroforestri meliputi
beberapa aspek yaitu: a) meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, b)
mengusahakan keberlanjutan sistem agroforestri yang sudah ada dan c)
penyebarluasan sistem agroforestri sebagai alternatif atau pilihan dalam
penggunaan lahan yang memberikan tawaran lebih baik dalam berbagai aspek
(adaptability).
Banyak kendala dalam pengembangan agroforestri. Salah satunya adalah
rendahnya produktivitas tanaman yang antara lain disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan tentang pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam.
Sebagaimana yang terjadi di DAS Cianjur, produktivitas sistem agroforestri juga
masih rendah. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan: 1) menganalisis
pola tanam tanaman semusim dan tingkat pengelolaannya pada sistem agroforestri
di DAS Cianjur, 2) menganalisis produktivitas tanaman semusim pada sistem
agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 3) Menganalisis motivasi pemilihan jenis
tanaman semusim yang diusahakan petani untuk sistem agroforestri di DAS
Cianjur, 4) menganalisis kalender pertanaman pada sistem agroforestri di DAS
Cianjur untuk mendapatkan sistem agroforestri yang produktif dengan
mempertimbangkan perbedaan zona yang didasarkan pada perbedaan ketinggian
tempat, dan 5) menganalis peluang pengembangan vegetable agroforetry
khususnya di zona hulu.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2008 sampai dengan Oktober
2008. Penelitian pola tanam dan produktivitas tanaman juga dilaksanakan di tiga
zona Daerah Aliran Sungai Cianjur, yaitu: zona hulu (> 900 m dpl); tengah (300-

51

900 m dpl) dan hilir (300 m dpl) (Gambar 4.1). Secara administratif zona hulu
masuk wilayah Desa Galudra, zona tengah Desa Mangunkerta

masing-masing

masuk wilayah Kecamatan Cugenang dan zona hilir masuk wilayah Desa
Selajambe Kecamatan Sukaluyu. Pembagian zona ini berdasar pada penelitian
Arifin (2001). Adapun secara geografis zona hulu terletak pada S 60 46 23 60
47 15 ; E 1060 59 7 1070 3 16 pada ketinggian > 900 m dpl, tengah
107003` 11 - 107005` 08 BT dan 6048` 14 LS (300-900 m dpl), dan hilir
107003` 11 - 107005` 08 BT dan 6048` 14 LS pada 300 m dpl.

Gambar 4. 1. Peta lokasi penelitian sepanjang Daerah Aliran Sungai Cianjur


(Sumber: Arifin 2001)

Penelitian didesain berdasarkan hasil analisis penelitian tahap pertama,


terutama jenis tanaman dominan yang ditanam dan menjadi kebiasaan masyarakat
pada ketiga zona DAS Cianjur. Empat jenis tanaman terpilih didasarkan pada
beberapa aspek penting dalam pemilihan jenis tanaman semusim untuk
agroforestri yaitu aspek agronomis meliputi kesesuaian lahan, tingkat toleransi
terhadap pohon/tanaman tahunan, memiliki daya adaptasi tinggi, tidak terjadi
kompetisi dengan pohon (interaksinya positif); aspek ekonomis yaitu tanaman
yang ditanam merupakan tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thakur et
al. 2005) dan diperlukan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. Aspek ini
menurut Santosa (2005) menjadi pertimbangan utama dalam penentuan jenis

52

tanaman semusim untuk agroforestri; aspek ekologis/lingkungan artinya ada


kecocokan antara sifat fisik lingkungan dengan persyaratan tumbuh tanaman
semusim yang akan dikembangkan dengan memperhitungkan input-input yang
diperlukan tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dan berproduksi optimal.
Adapun faktor-faktor lingkungan ini adalah suhu, curah hujan, ketinggian tempat,
kedalaman tanah, pH, bahan organik serta sifat-sifat pertumbuhan pohon.
Sedangkan

penanaman dan pengelolaan tanaman mengacu pada persyaratan

tumbuh masing-masing jenis tanaman semusim terpilih (hasil penelitian


sebelumnya), mulai dari persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan sampai
pemanenan.
Data produktivitas tanaman dikumpulkan dari hasil wawancara dan
pengamatan pertumbuhan dan produksi tanaman di pertanaman petani contoh.
Wawancara berupa pertanyaan mengenai persiapan tanam sampai pemanenan
hasil, produksi, biaya serta nilai jual produksi tanaman pada setiap periode tanam.
Sedangkan pengamatan pertumbuhan dan produksi, dilakukan pada petak contoh
berukuran 5m x 5m yang ditempatkan pada lahan-lahan petani yang mewakili
kondisi pertanaman pada lokasi penelitian. Pengamatan ini dilakukan terhadap 10
tanaman contoh dari setiap petak contoh untuk setiap jenis tanaman, dan setiap
petak contoh diulang sebanyak tiga kali. Petak contoh untuk setiap jenis tanaman
juga dibuat pada pertanaman monokultur sebagai pembanding. Sedangkan 4
tanaman akan dijadikan sampel destruktif 2 tanaman pada saat fase vegetatif cepat
dan 2 tanaman pada fase generatif. Petak contoh pengamatan ini dibuat sebanyak
3 petak (dalam 1 blok atau beda blok) untuk setiap jenis tanaman, dan masingmasing petak ini dianggap sebagai ulangan.
Pemilihan petak contoh juga didasarkan pada kesesuaian lahan dan
persyaratan penggunaan lahan terutama lahan-lahan yang selama ini telah
dikembangkan dalam bentuk agroforestri (kebun campuran) oleh masyarakat.
Sampel plot juga dibuat pada pertanaman monokultur (tanpa pohon) untuk
mengetahui respon pada kondisi non agroforestri. Penelitian ini merupakan
penelitian uji multi lokasi dan didesain dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok

53

(RAK) dengan dua faktor yaitu jenis tanaman semusim dan lingkungan
(ketinggian tempat), masing-masing diulang tiga kali.

Adapun peubah yang diamati adalah:


1. Produksi tanaman setiap panen (pada tanaman buah dan sayuran). Pengamatan
ini untuk mengetahui kecenderungan jumlah produksi dan jumlah produksi
total dalam 1 musim tanam.
2. Produksi tanaman segar/sayur (kg/ha), jumlah buah segar (tanaman buah),
berat tongkol, jumlah dan berat umbi (kg/ha).
3. Indeks Cropping mengacu pada Ruthenbergs Cropping Indexs (RCI) dengan
rumus: RCI = Tcrop / (Tcrop + Tfallow), dimana: Tcrop = Lamanya lahan
ditanami tanaman pertanian (semusim); T fallow = Lamanya lahan bera.
4. Indeks panen (harvest indexs) = Bobot hasil yang dipanen/bobot total
tanaman, atau berat kering hasil/berat kering total tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik pola tanam dan produktivitas tanaman pada sistem
agroforestri di DAS Cianjur
Karakteristik pola tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur
Terdapat perbedaan karakteristik pola tanam tanaman semusim di tiga
zona DAS Cianjur (Tabel 4.1).
Tabel 4.1. Karakteristik pola tanam pada sistem agroforestri di DAS Cianjur
Karakteristik Pola Tanam
Zona

Hulu

Tengah

Hilir

Bentuk pola tanam

Tata letak tanaman

Intensifikasi
pengelolaan

Indeks
pertanaman

Pola lorong (Alley


cropping)

Teratur, bentuk barisan,


bedengan, tumpang sari

Sangat intensif

2.93

Pola lorong (Alley


cropping) dan mixed
cropping

Teratur, dalam bentuk


barisan-barisan dan
blok

Intensif

2.53

Kebun campuran (Mixed


cropping)

Tidak teratur, banyak


jenis

Kurang
intensif

1.43

54

Sistem agroforestri di zona hulu dan tengah berupa agroforestri sederhana dengan
pola lorong (alley cropping), tata letak tanaman teratur dalam baris dan blok-blok,
penanaman sepanjang tahun dengan pengelolaan sangat intensif dan intensif.
Perbedaan karakteristik ini dipengaruhi oleh

faktor agroklimat (suhu,

kelembaban dan curah hujan) (Tabel 4.2). Suhu memegang peranan penting
terhadap pertumbuhan tanaman. Rosario et al (1986), menyatakan bahwa setiap
proses fisiologi seperti respirasi dan fotosintesis dibatasi oleh suhu. Suhu juga
dapat mempengaruhi aktivitas enzim menjadi aktif. Contoh pada suhu rendah,
kelembaban tinggi dan curah hujan yang tinggi, maka tanaman sayuran seperti
kobis, wortel, bawang daun dan brokoli dapat tumbuh dengan baik, bahkan dapat
dilaksanakan penanaman sepanjang tahun.
Tabel 4.2. Keadaan iklim dan tofografi tiga zona DAS Cianjur
Karakter
Wilayah

Iklim

Topografi

Hulu

Suhu udara: 19-22C, kelembaban udara:


80-82%, curah hujan: 3388.6 mm/tahun

70% perbukitan, 30% dataran

Tengah

Suhu udara: 21-22C,kelembaban udara:


80-82%, curah hujan: 3388.6 mm/tahun

40% perbukitan, 60% dataran

Hilir

Suhu udara: 25C, kelembaban udara: 8082%, curah hujan: 1963.0 mm/tahun

seluruhnya berupa dataran

Sumber Ali dan Arifin (2007).


Bentuk pola tanam
Pola tanam lorong (allley cropping) di hulu dilaksanakan di lahan
kehutanan di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tegakan utama
(pohon) berupa pohon pinus dan kayu putih. Pola tanam berupa intercroping,
interplanting dan mix-intercropping. Tamanan pinus telah berumur 4-5 tahun
dengan jarak tanam 4m x 5m dan kayu putih yang berumur >10 tahun dengan
jarak tanam 10m x 10m. Pengelolaan oleh petani dengan sistem pesanggem
(petani bisa memanfaatan lahan-lahan dan mendapatkan hasil dari lahan-lahan di
bawah tegakan/pohon sampai tegakan/pohon kehutanan itu tumbuh dengan tajuk
sempurna). Pola ini telah berlangsung sejak tahun 1998 dengan melibatkan tiga

55

kelompok tani hutan yaitu Kelompok Tani Hutan Mekar Tani, Jaya Tani dan
Kelompok Tani Hutan Subur yang masing-masing beranggotakan 12 petani hutan
(total anggota 36 petani) dengan luas lahan setiap petani 400 600 m2.
Pada tegakan (pohon pinus) dilakukan pemangkasan cabang sebanyak 2-3
kali setahun dimaksudkan selain untuk mendapatkan pohon yang tinggi juga
untuk mengurangi tajuk, sehingga ruang antar pohon bisa dimanfaatkan untuk
budidaya tanaman semusim oleh masyarakat/petani. Pengelolaan lahan pada pola
lorong ini sangat intensif dengan masa bera antara 1-2 minggu. Tanaman yang
dominan ditanam berupa tanaman sayuran dataran tinggi yaitu wortel, kobis,
tomat, bawang daun, sawi dan cabe baik secara tunggal maupun campuran seperti
wortel sawi, tomat sawi, tomat bawang daun.
Di zona tengah, sistem agroforestri sederhana dengan pola lorong (alley
cropping) dilaksanakan di sebagian areal perkebunan teh, dengan sistem
pesanggem serta di kebun yang merupakan kebun-kebun hak milik (milik
perseorangan), yang dimiliki oleh masyarakat setempat maupun oleh pendatang
(dari luar Desa Mangunkerta). Agroforestri pada lahan-lahan hak milik berupa
agroforestri kompleks, sedangkan status petani sebagai petani penggarap. Pada
sistem agroforestri di areal perkebunan teh, petani mendapatkan luas lahan ratarata seluas 1 patok (400m2), sedangkan di luar perkebunan teh (30%) milik
pribadi dan (10%) sebagai penggarap dengan pemilik orang dari luar Desa
Mangunkerta. Luasan garapan rata-rata lebih besar dari 400 m2.
Pada alley cropping di areal yang dimiliki perkebunan teh, tegakan/pohon
berupa pohon mahoni. Pemangkasan tajuk dilaksanakan sebanyak 2 kali setahun
dengan masa bera 2-3 minggu. Tanaman dominan pada pola lorong di tengah
adalah jagung, cabe, tomat, wortel, dan sawi.
Sistem agroforestri di hilir berupa kebun campuran hak milik, dengan
struktur vegetasi yang rapat, jarak tanam tidak teratur. Pemeliharaan tanaman
tidak intensif, alokasi waktu untuk pengelolaan kebun juga rendah yang
disebabkan oleh terbatasnya air terutama pada musim kemarau akibat rendahnya
curah hujan dibandingkan di hulu dan tengah. Selain itu petani di hilir lebih
berorientasi pada pengerjaan tanah sawah. Berdasarkan kepemilikannya, petani di

56

hilir umumnya hanya sebagai penggarap, sementara pemilik kebun campuran


(73.33%) adalah orang-orang dari luar Desa Selajambe. Tanaman yang dominan
ditanam di hilir adalah jagung, cabe keriting, tomat dan singkong. Adapun jenis
tanaman semusim dan pola tanam pada alley cropping di tiga zona DAS Cianjur
terdapat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Jenis tanaman semusim dan pola tanam pada sistem agroforestri
masyarakat di DAS Cianjur
Zona
DAS

Jenis tanaman Dominan

Pola Tanam
Monokultur
Polikultur

Hulu

Wortel-sawi; Bawang daun wortel, bawang daun, Wortel-sawi,


/kubis; cabe/tomat-wortel
kobis, cabe
Wortel, bwg daun

Tengah

Jagung-cabe, cabe (tanaman Jagung, cabe, tomat, Jagung-cabe,


lama tomat/sawi ; (sawi), wortel
Cabe-sawi,
serta talas di tepi/pinggir
Tomat-Sawi
sengkedan.

Hilir

Jagung/cabe
keriting/tomat; Jagung, cabe keriting Jagung-cabe,
tanaman bumbu dan obat yang dan tomat
Jagung-singkong
tumbuh di musim penghujan
dan sebagian petani menanam
singkong dan ubi jalar.

Pola tanam dan sistem pertanaman di suatu wilayah juga ditentukan oleh
faktor iklim dan lahan/tanah, serta tujuan pengelolaan pada setiap zona
agroekologi (Das, 2005). Pola tanam di hulu dan tengah berlangsung sepanjang
tahun, sedangkan di hilir, pola tanam masih didasarkan pada kebiasaan pola
musim penghujan (OktoberMaret) dan kemarau (April-September). Sedangkan
untuk kesesuaian lahan, menurut Saroinsong (2002), bahwa petani di tiga zona
DAS Cianjur masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas
komoditas tertentu pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani
cenderung meniru pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap
cukup berhasil. Keadaan ini berpengaruh terhadap rotasi tanaman (Tabel 4.4)
dimana, di hulu 73.33% dengan 3 jenis tanaman, sedangkan di tengah dan hilir
masing-masing 79.99% dan 73.33% dengan 2 jenis tanaman. Rotasi tanaman yang
hampir sama sepanjang tahun ini menurut DAS (2005) akan mengakibatkan

57

terjadinya ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang berdampak negatif bagi


pertumbuhan tanaman.
Tabel 4.4. Rotasi tanaman pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur
Zona DAS Pola 3 Pola Pola
2 1
Hulu

Tengah

Hilir

Pola 2

Pola 3

Wortel, sawi-bwg daun- Wortel-tomat


wortel
Wortel, sawi-kobis-wortel Wortel-cabe
Wortel-cabe-Kobis

Wortel-bwg daun
- kobis - sawi

Wortel-cabe-jagung

Cabe-jagung

Wortel-cabejagung-sawi

Wortel-jagung-sawi

Wortel-jagung
Tomat-jagung

Cabe-jagung
Tomat-jagung
Jagung-ketela pohon

Cabe
Tomat
Jagung
Ketela pohon

Pola penanaman tumpang sari pada alley cropping di hulu dan tengah juga
dapat menyelamatkan unsur hara yang tercuci ke lapisan bawah. Hal ini
disebabkan perbedaan zona perakaran antar pohon dan tanaman semusim. Akar
pohon umumnya tumbuh lebih dalam dan dapat menyerap unsur hara pada lapisan
tersebut.

Semakin dalam dan berkembang perakaran pohon tersebut, maka

semakin banyak unsur hara yang diselamatkan, sehingga akar pepohonan ini
menyerupai jaring yang akan menangkap unsur hara yang mengalir ke lapisan
bawah, dan fungsi ini sering disebut sebagai Jaring Penyelamat Hara. Contoh
pada tanaman petaian yang ditanam di sela-sela tanaman jagung (Hairiyah 2005).
Sedangkan di hilir pada kebun campuran dengan struktur tegakan yang rapat,
perakaran tidak teratur sehingga ruang untuk tumbuh tanaman semusim terbatas
serta memungkinkan terjadinya kompetisi penyerapan hara yang lebih besar.

Gbr 4.2 alley cropping di


hulu

Gbr 4.3 Alley cropping di


tengah

Gbr 4.4 Kebun Campuran


di hilir

58

Frekuensi petani menanam jenis tanaman yang tinggi di hulu dan tengah
karena adanya kesesuaian jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi
lingkungannya (Tabel 4.5). Tanaman yang ditanam pada lingkungan yang sesuai
maka proses fisiologis tanaman seperti proses pembungaan tidak terganggu.
Sementara pada lingkungan yang tidak sesuai tanaman akan mengalami stres, fase
pembungaan tidak akan terjadi dan tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Poerwanto (2003), bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang
sesuai, karena differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres.
Terganggunya tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan
tanaman tidak dapat berproduksi.
Tabel 4.5. Frekuensi petani melakukan pola tanam untuk berbagai jenis tanaman
pada sistem agroforestri masyarakat di DAS Cianjur.
Frekuensi
Zona DAS

Satu jenis
Jenis

Hulu

Total

Jenis

Jenis

16.67

Wortel dan sawi

26.67

Wortel, sawi, bwg


daun

3.33

B daun

10.00

Wortel dan bwg


daun

10.00

Cabe, wortel, bwg


daun

3.33

Cabe

6.67

Cabe dan wortel

10.00

Kobis

3.33

Cabe dan b daun

6.67

Tomat

3.33
40.00

53.32

6.67

Cabe

13.33

Cabe, jagung

23.33

Cabe, jagung dan


ketela pohon

6.67

Jagung

13.33

Wortel jagung

16.67

Tomat,jagung dan
Singkong

3.33

Tomat

1.33

Tomat, jagung

13.33

Wortel

1.33

Kc Panjang

1.33

Total
Hilir

Tiga jenis

Wortel

Total
Tengah

Dua jenis

36.67

53.32

Cabe

23.33

Cabe, jagung

10.00

Tomat

10.00

Tomat, jagung

3.33

Jagung

26.66

Jagung, singkong

Singkong

10.00
69.99

10.00

16.67

29.99

10.00

59

Selain itu, perbedaan frekuensi petani menanam jenis tanaman juga


disebabkan oleh perbedaan rentang panen yang panjang pada tanaman sayuran
sehingga sangat memungkinkan untuk dikombinasikan dengan pengaruh negatif
(kompetisi) yang sangat kecil. Contoh wortel dan sawi yang ditanam bersamaan,
pada umur 40-45 hari, sawi sudah dipanen sementara wortel baru dipanen umur 4
bulan. Pola penanaman ini

tidak mengganggu pertumbuhan tanaman wortel,

tetapi justru petani mendapat keuntungan dari sawi. Begitu juga pada wortel dan
bawang daun yang dipanen umur 75-90 hari.
Analisis motivasi pemilihan jenis tanaman
Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap motivasi pemilihan jenis
tanaman (Tabel 4.6). Pada zona hulu dan tengah, tujuan penanaman terbesar
adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar (kemudahan menjual dan keuntungan
yang besar), sehingga pola tanam disesuaikan dengan kecenderungan (trend)
permintaan pasar saat itu, sementara di hilir dengan tujuan utama untuk kosumsi
sehari-hari, sehingga pola tanam lebih mengarah pada efektivitas pemanfaatan
lahan karena adanya rentang musim yang panjang, sedangkan pada musim
penghujan seluruh tenaga kerja terkonsentrasikan untuk penanaman padi/sawah
baik sebagai petani maupun buruh tani (Gambar 4.5).
Tabel 4.6. Motivasi petani dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditanam
No

Kriteria

Zona Daerah Aliran Sungai


Hulu
Tengah
Hilir

1
Konsumsi sehari-hari
-X
10
2
Kemudahan menjual
15
17
3
Keuntungan yang besar
20
15
4
Kesesuaian dengan iklim
5
10
5
Keahlian petani/pengalaman
22
18
6
Kemudahan pemeliharaan
5
10
7
Biaya produksi yang rendah
9
10
8
Kemudahan mendapat benih/bibit
12
5
9
Mengikuti kebijakan
0
0
X
Jumlah petani sampel yang memberikan jawaban terhadap masing-masing kriteria

12
15
5
5
5
8
10
18

Hasil uji Chi-Square untuk pemilihan jenis tanaman, menunjukkan bahwa


di hulu, nilai Asymp Sig< = 0.05, berarti terdapat perbedaan kriteria pemilihan
jenis tanaman. Namun pada uji lanjut dengan membandingan 2 kriteria yang
terbanyak dipilih tidak terdapat perbedaan, sehingga kriteria pemilihan jenis

60

tanaman di hulu adalah keahlian petani dan keuntungan yang besar. Di tengah
nilai Asymp.Sig>

= 0.05, berarti tidak ada perbedaan kriteria dalam memilih

jenis tanaman.
Konsum si sehari-hari
25

20
Mudah m endapat bibit

Kem udahan m enjual


15

hulu
10

tengah

Biaya prod rendah

Kem udahan pem eliharaan

hilir
Keuntungan yg besar

Kesesuaian dng iklim

Keahlian/pengalam an petani

Gambar 4.5 Motivasi petani memilih jenis tanaman pada sisten agroforestri di
DAS Cianjur
Kriteria yang terbanyak dipilih petani menjadi dasar pemilihan jenis
tanaman yaitu keahlian petani dan kemudahan menjual, sedangkan di hilir
Asymp.Sig< = 0.05, berarti juga terdapat perbedaan kriteria pemilihan jenis. Uji
lanjut terhadap 2 kriteria yang terbanyak dipilih menunjukkan bahwa kemudahan
mendapat benih/bibit dan kemudahan menjual menjadi pertimbangan pemilihan
jenis tanaman.
Pemilihan jenis semacam ini menyebabkan sebagian besar tanaman tidak
dapat tumbuh dengan baik terutama tanaman-tanaman yang peka terhadap
naungan yang banyak diusahakan masyarakat. Sedangkan di tengah dan hulu lebih
berorientasi kemudahan menjual, keuntungan yang besar dan kebiasaan serta
pengalaman petani sehingga sering terjadi petani menanam jenis tanaman yang
sama, dan kesempatan ini sering dimanfaatkan pedagang untuk membeli dengan
harga yang murah.
Intensifikasi pengelolaan lahan sangat intensif di hulu, dan intensif di
tengah. Sedangkan di hilir, pengelolaan lahan dengan olah tanah kurang intensif

61

dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan dicangkul sekali dan/atau
ditugal. Pengolahan lahan (pengolahan tanah) yang sangat intensif-intensif di
hulu dan tengah berpengaruh terhadap perbaikan struktur tanah. Menurut Titi
(2003), struktur tanah yang baik akan merubah konduktivitas dan permeabilitas
air, suhu dan aliran udara pada tanah dan keadaan ini dapat memperbaiki
transportasi larutan dalam tanah serta distribusi ruangnya. Selain itu pengolahan
tanah juga akan berpengaruh terhadap makroporositas, konduktivitas dan
kemampuan menyerap tanah (infiltrasi), mengurangi aliran permukaan dan dalam
skala besar bisa menurunkan erosi. Tanah dengan makroporositas yang tinggi
dilaporkan juga akan meningkatkan resposibilitas terhadap polusi air tanah yang
disebabkan oleh bahan kimia yang dipakai dalam budidaya pertanian. Sementara
itu pada sistem agroforestri di hilir, dengan pengolahan tanah

minimum

(minimum tillage), maka struktur tanahnya kurang baik.


Indeks pertanaman di hulu lebih tinggi dibandingkan di tengah dan hilir
(Tabel 4.1). Tingginya indeks pertanaman ini, disebabkan oleh adanya kesesuaian
jenis tanaman (genetik) yang dipilih dengan kondisi lingkungannya. Tanaman
yang ditanam pada lingkungan yang sesuai maka proses fisiologis tanaman seperti
proses pembungaan tidak terganggu. Sementara pada lingkungan yang tidak
sesuai tanaman akan mengalami stres, fase pembungaan tidak akan terjadi dan
tanaman dorman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Purwanto (2003), yang
menyatakan bahwa tanaman perlu mendapatkan lingkungan yang sesuai, karena
differensiasi pembungaan terjadi setelah tanaman keluar dari stres. Terganggunya
tanaman pada fase ini dalam waktu yang lama mengakibatkan tanaman tidak
dapat berproduksi secara optimal.
Kalender Pertanaman pada Sistem Agoforestri Masyarakat di DAS Cianjur
Berdasarkan hasil penelitian (wawancara petani responden), bahwa petani
di tiga zona DAS Cianjur belum memanfaatkan data iklim untuk penentuan pola
tanam tanaman semusim. Pola tanam masih berdasarkan pada kebiasaan pola
musim penghujan (OktoberMaret) dan kemarau (April-September). Keadaan ini
mengakibatkan sering terjadi gagal panen dan menurunnya hasil/produksi akibat
perubahan/pergeseran musim (musim hujan dan kemarau).

62

Petani juga terbiasa dengan pengalaman dan kebiasaan mengenai


penentuan waktu tanam, cara tanam dan rotasi tanamannya. Tanaman semusim
yang ditanam kurang beragam dan cenderung jenis yang sama pada setiap musim
tanam (bahkan setiap tahun), dan penanaman jenis yang sama secara terusmenerus

ini

menurut

Das

(2005),

akan

mengakibatkan

terjadinya

ketidakseimbangan konsentrasi hara tanah yang akan berdampak negatif bagi


pertumbuhan tanaman.
Penentuan pola tanam petani belum didasarkan pada data iklim (Gambar
4.6). Waktu tanam masih mengacu pada pola musim penghujan (OktoberMaret)
dan kemarau (April-September). Hal ini menyebabkan tanaman yang ditanam
cenderung jenis yang sama pada setiap musim tanam (bahkan setiap tahun).
Penanaman jenis yang sama secara terus-menerus ini, menurut Das (2005) akan
mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan hara tanah yang akan berdampak
negatif bagi pertumbuhan tanaman.
Wilayah
DAS
Hulu
Pola 1

Pola 2
Tengah
Pola 1

Bulan
Okt

Nop

Des

Jan

Peb

Mar

Wortel + sawi

Apr

Mei

Jun

Juli

Bawang Daun

Jagung manis

Cabe keriting

Wortel +sawi

Bw daun

Tomat

Wortel

Jagung

Cabe keriting

Jagung

Pola 2
Hilir
Pola 1

Pola 2

Talas/ubi kayu

Jagung

Ubi kayu

Agus

Cabe keriting

Gambar 4.6. Kalender tanam sistem agroforestri di DAS Cianjur

Sep

63

Sedangkan penentuan kesesuaian lahan dengan jenis tanaman, petani


masih menggunakan indikator pertumbuhan dan produktivitas komoditas tertentu
pada suatu kawasan serta neighbour effect dimana petani cenderung meniru
pengelolaan lahan sebelumnya di dekatnya yang dianggap cukup berhasil
(Saroinsong et al. 2007).
Produktivitas sistem agroforestri di tiga zona DAS Cianjur
Produktivitas tanaman semusim di DAS Cianjur terdapat pada Gambar
4.7- Gambar 4.12. Tingginya produktivitas tanaman semusim (tanaman sayuran)
di hulu dan tengah (Gambar 4.7 dan 4.8) selain karena kesesuaian faktor iklim
juga karena faktor

ton/ha/m us im tanam

60

agronomis.

R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada


z ona hulu

50
40
30

W ortel

20

B awang Daun

10

K obis

0
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

Tomat

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.7. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hulu


Faktor iklim terutama suhu berpengaruh terhadap kecepatan reaksi,
peningkatan fungsi enzim, kondisi lingkungan tanah serta meningkatkan aktivitas
fisiologi tanaman. Sedangkan pada kelembaban dan curah hujan yang tinggi,
maka besarnya evavorasi potensial standart (Eto) akan lebih rendah dari curah
hujan bulanan sepanjang tahun. Berdasarkan hal tersebut maka kebutuhan air
tidak akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan, dan cukup tersedia selama
masa pertumbuhannya (Arsyad 1989). Produktivitas juga dipengaruhi oleh jarak
pohon pada sistem agroforestri. Di zona hulu dengan jarak tanaman pinus 3m x
4m, memungkinkan tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik karena

64

adanya perbedaan sebaran perakaran dan tingkat kedalaman perakaran antara

ton/ha/m us im tanam

pohon pinus dengan tanaman semusim.

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada


z ona teng ah

W ortel
Tomat
C abe K eriting
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

J agung manis

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.8. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona tengah


Perbedaan ini menurut Radjati (2006) akan memberikan keuntungan
terhadap peningkatan efisiensi penyerapan hara. Pengaturan jarak antar pohon
dan jarak antar pohon dengan tanaman semusim yang tepat memungkinkan
pohon dapat berperan positif terhadap tanaman semusim. Pengaturan yang tepat
memungkinkan pohon menyerap unsur hara yang tidak terjangkau oleh tanaman
semusim (penyelamat unsur hara), serta pohon dapat berperan sebagai penahan
angin (shelter belt), serta menjadi tempat hidup hama penyakit tanaman

ton/ha/m us im tanam

R ata-rata produktivitas beberapa tanaman s emus im pada


z ona hilir
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Tomat
C abe K eriting
J agung
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Ubi K ayu
Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.9. Rata-rata produktivitas beberapa tanaman semusim di zona hilir

65

Pohon juga bisa menjadi penaung tanaman terutama pada awal masa tumbuh
sehingga evavorasi tanaman dapat dikurangi dan tanaman bisa tumbuh dengan
baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Mercado et al. (2011), yang menyatakan
bahwa penanaman tanaman semusim pada jarak 10-40 kaki (ft) dari pohon,
menyebabkan produktivitas beberapa tanaman sayuran meningkat dibandingkan
dengan penanaman di tempat terbuka (tanpa pohon).
Sistem agroforestri di zona hilir, berupa kebun campuran, kerapatan
pohon lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadi cekaman pertumbuhan yang
disebabkan oleh naungan, akibatnya produktivitas tanaman menjadi rendah

ton/ha/mus im

(Gambar 4.9).
R ata-rata produktivitas wortel pada z ona

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Hulu
Tengah
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.10. Rata-rata produktivitas wortel di zona hulu dan tengah


Gambar (4.10), menunjukkan bahwa tanaman sayuran dataran tinggi (wortel),
yang ditanam di zona tengah memiliki produksi yang lebih rendah. Hal ini sesuai
dengan hasil beberapa studi tentang ekofisiologi tanaman di bawah naungan
seperti pada padi gogo (Chozin et al. 2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas
(Djukri 2003) dan lada (Wahid 1997), yang menunjukkan bahwa dampak dari
cekaman intensitas cahaya adalah terganggunya proses metabolisme tanaman,
yang menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Hal ini
terkait dengan kondisi lingkungan yang kurang sesuai untuk pertumbuhan
tanaman wortel. Secara ekologi hal ini juga menunjukkan tingkat adaptasi
tanaman, dimana setiap tanaman memiliki dapat tumbuh dan berproduksi dengan
baik jika jika syarat tumbuh untuk tanaman tersebut terpenuhi. Hal ini juga terjadi

67

Terdapat perbedaan produktivitas tanaman pada data survei, pengamatan


sample pada petak pengamatan, rataan dari Dinas Pertanian Kab Cianjur dan
potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan metode pengumpulan
data. Survei wawancara menggunakan data dari laporan petani, data produktivitas
pada petak contoh diambil dengan cara mengamati dan

menghitung secara

langsung produktivitas sampel tanaman pada petak yang telah ditentukan,


sedangkan data dari Dinas Pertanian Kab Cianjur (2009), merupakan data
produktivitas rata-rata yang tidak membedakan kondisi agroforestri atau non
agroforestri maupun lahan kering atau lahan basah (sawah). Produktivitas
agroforestri masih jauh di bawah nilai potensi hasil. Hal ini diduga disebabkan
oleh faktor pengelolaan tanaman dan faktor lingkungan yang tidak sepenuhnya
dapat memenuhi persyaratan tumbuh dari beberapa jenis tanaman tersebut.

SIMPULAN
1. Terdapat perbedaan pola tanam tanaman semusim di tiga zona DAS Cianjur.
Di zona hulu sistem agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping,
di tengah 70% agroforestri sederhana dengan pola tanam alley cropping dan
30% kebun campuran, sedangkan di hilir agroforestri kompleks.
2. Secara umum penentuan pola tanam lebih banyak didasarkan pada kebiasaan
pola musim penghujan ( Oktober-Maret) dan kemarau (April-September), dan
tidak terdapat perbedaan kalender pertanaman.
3. Motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan
keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan
menjual, sedangkan di hilir adalah kemudahan mendapat benih/bibit dan
kemudahan menjual.
4. Secara umum produktivitas tanaman semusim pada sistem agroforestri di
DAS Cianjur lebih rendah dibandingkan non agroforestri, terutama disebabkan
perbedaan cara perhitungan produktivitas, faktor pengelolaan dan lingkungan.

68

5. Sistem agroforestri khususnya di zona hulu memiliki peluang/prospek untuk


dikembangkan sebagai Vegetable Agroforestry yang berorientasi komersial,
dengan menagtur jarak antar pohon dan jarak antara pohon dengan tanaman
semusim, seperti yang telah dikembangkan di beberapa negara.

ANALISIS KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DAN


KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI CIANJUR
(Analysis of social economic and sustainability characteristics of agroforestry
systems in Cianjur Watershed)
ABSTRAK
dilakukan untuk menganalisis karakteristik sosial ekonomi dan
keberlanjutan sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur. Penelitian
dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, survei dan wawancara
terhadap 30 responden (petani) pada tiga zona DAS.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarakat berpengaruh
terhadap pendapatan dan motivasi pemilihan jenis tanaman semusim untuk sistem
agroforestri. Pendapatan dari nilai tanaman semusim di hulu Rp 5 866
250/ha/musim tanam di tengah Rp 4 771 643/ha/musim tanam, sedangkan di hilir
Rp 735 918/ha/musim tanam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis
tanaman yang ditanam, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.
Sedangkan motivasi pemilihan jenis tanaman di hulu adalah keahlian petani dan
keuntungan yang besar, di tengah adalah keahlian petani dan kemudahan menjual,
di hilir adalah kemudahan mendapatkan benih/bibit dan kemudahan menjual. Pada
sistem agroforestri di DAS Cianjur juga terdapat introduksi teknologi dengan
pemilihan jenis tanaman yang mengarah pada orientasi ekonomi (economic
oriented). Analisis keberlanjutan yang didasarkan pada analisis B/C ratio,
menunjukkan bahwa sistem agroforestri di DAS Cianjur adalah masih berlanjut,
dengan nilai di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02. Sedangkan analisis
keberlanjutan yang didasarkan pada aspek keberlanjutan agronomi, aspek
ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek ekologi, sistem agroforestri di DAS
Cianjur berada pada tingkat keberlanjutan moderat (moderat sustainability)
dengan nilai keberlanjutan 12.12. Sedangkan untuk nilai keberlanjutan sistem
agroforestri pada masing-masing zona dari hulu ke hilir adalah 12.07, 12.67, dan
11.60.
Penelitian

Kata kunci : agroforestri, keberlanjutan, pendapatan, sosial ekonomi


ABSTRACT
The study was conducted to analyze the sustainability of agroforestry systems in
the Watershed Cianjur. Interviews were held to 30 samples of agroforestry field and
respondents in the upper stream, the middle stream and the down stream of Cianjur
Watershed, respectively. The results showed that, the agroforestry systems in the

three zones Cianjur watershed has a level of sustainability is high. The high level
of sustainability can be seen from the aspect of productivity, social, economic,
environmental and adoptability. Aspects of productivity, it appears that the
productivity of agroforestry systems is high, especially for seasonal crops; socioeconomic aspects, that agroforestry systems can provide a high enough opinion on

69

each zone, while the socially one of them is employment that involves almost all
the male family members and adult women, except in the downstream only by
adult males (household heads). Agroforestry systems are also adoptable, because
agroforestry has been going on for generations and there is the introduction of
technology with the choice of plants which leads to the orientation of the economy
(economic oriented). The aspects of sustainability can be seen from the B/C ratio,
where B/C ratio in the three zones of watersheds Cianjur worth more than 1. The
B/C ratio in the upper stream 1:09, in the middle stream 2.89 and the downstream
1:02. The sustainability of agroforestry systems in every zone, was defined for
aspects of productivity, socio-economic and adoptability. For the aspect of
environmental sustainability, in the upper stream more lower than in the middle
and the down stream.The aspects of the use of chemical fertilizers and pesticides,
in the downstream is lowest of use of fertilizers and chemical pesticides for the
management of agroforestry systems.
Key words: agroforestry, income,sosial economic, sustainability
PENDAHULUAN
Salah satu isu penting dalam pengembangan pertanian di DAS adalah
mempertahankan keberlanjutan (sustainability) usaha tersebut. Menurut Komisi
Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commision on Environment
and Development), keberlanjutan adalah suatu usaha tani yang dapat memenuhi
kebutuhan dan aspirasi pada masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan
generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Untuk mewujudkan
usaha tani yang lestari maka harus dapat memproduksi sejumlah produk
berkualitas yang mencukupi, melindungi sumberdayanya, serta ramah lingkungan
dan menguntungkan secara ekonomi. Ada tiga pilar kelestarian yaitu: 1)
kelestarian hasil atau produksi yang terkait dengan tindakan agronomis, 2)
kelestarian agroekosistem pada suatu bentang alam atau biasa disebut sebagai
kelestarian lingkungan dan 3) kelestarian fungsi agroforestri, baik fungsi ekonomi,
ekologi dan sosial.
Di kawasan DAS Cianjur, agroforestri menjadi pilihan dalam sistem
budidaya pertanian, dan telah dipraktekkan masyarakat secara turun-temurun.
Agroforestri yang berkembang terutama di daerah hulu dan tengah DAS
menerapkan pola penanaman yang intensif. Pola budidaya yang intensif
melibatkan input tinggi untuk pupuk, pestisida serta faktor-faktor produksi

70

lainnya. Terkait intensifikasi tersebut diduga akan berdampak pada keberlanjutan


dalam pengelolaan DAS.
Banyak penelitian terkait keberlanjutan di kawasan DAS Cianjur, seperti
yang dilakukan Wibowo et al. (2007) dan Kaswanto et al. (2007). Wibowo et al.
(2007), telah mengkaji keberlanjutan usaha tani sayuran dataran tinggi di
Kawasan Agropolitan Pacet Cianjur. Sedangkan Kaswanto et al. (2007), telah
mengkaji kelestarian pengelolaan air pada lanskap pedesaan di DAS Cianjur.
Aspek keberlanjutan yang ditinjau secara komprehensif belum banyak diungkap.
Kajian komprehensif tersebut penting untuk pengembangan dan penyusunan
strategi di masa mendatang di tiga zona DAS Cianjur. Untuk itu dilakukan
penelitian yang

bertujuan: 1) menganalisis karakteristik sosial ekonomi

masyarakat petani agroforestri di tiga zona DAS Cianjur, 2) menganalisis


keberlanjutan sistem agroforestri di berbagai zonaa DAS Cianjur berdasarkan
aspek agronomis, aspek ekonomis, aspek sosial budaya dan aspek ekologi.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di 3 (tiga) zona Daerah Aliran Sungai Cianjur,
yaitu : zona hulu (> 900 m dpl); zona tengah (300-900 m dpl) dan zona hilir
(300 m dpl) (Gambar 5.1). Penelitian dilaksanakan sejak Bulan Agustus 2007
sampai dengan Desember 2008.
Data dikumpulkan melalui wawancara dan kuisioner terhadap 30
responden di masing-masing zona DAS.

Data yang diambil dari instansi

pemerintahan desa/kecamatan meliputi: data wilayah, data kependudukan, luasan


dan kepemilikan lahan, pendapatan dan data kelembagaan terutama yang terkait
dengan kelembagaan pertanian.
Keberlanjutan secara agronomi (KA) didefinisikan sebagai tingkat
kesulitan dan alokasi tenaga kerja yang dicurahkan pada sistem agroforestri
dibandingkan dengan sistem non agroforestri. Alokasi tenaga kerja merupakan
jumlah tenaga kerja yang dialokasikan untuk sistem agroforestri di wilayah ini.
Semakin tinggi alokasi tenaga kerja, maka keberlanjutan secara agronomi semakin

71

rendah, dan semakin rendah alokasi tenaga kerja, maka secara agronomi semakin
berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diberi skor 1, 3 dan 5. Skor 1 adalah alokasi
tenaga kerja makin tinggi dan tingkat kesulitan kegiatan budidaya makin tinggi.
Skor 3 adalah normal, yaitu dianggap setara dengan alokasi tenaga kerja non
agroforestri. Skor 5 artinya sistem semakin berlanjut secara agronomi karena
usaha tani tersebut semakin mudah dikerjakan.
Keberlanjutan secara ekonomi (KE) diproyeksikan dari data pendapatan
petani dari usaha agroforestri. Semakin tinggi pendapatan diasumsikan sistem
secara ekonomi dapat berlanjut. Asumsi tersebut kemudian diskor 1, 3 dan 5.
Skor 1 adalah jika pendapatan dari usaha agroforestri lebih rendah dibandingkan
dengan usaha non agroforestri.

Skor 3 adalah jika pendapatan dari usaha

agroforestri sama dengan usaha non agroforestri. Skor 5 adalah jika pendapatan
dari usaha non agroforestri lebih tinggi daripada usaha non agroforestri. Analisis
usaha tani dilakukan dengan menghitung pemasukan, pengeluaran serta
keuntungan dari lahan yang kelola petani saat ini, dengan analisis anggaran arus
uang tunai (cash flow analysis) yang diperoleh dengan cara wawancara dan
kuisioner (Soekartawi 2002).
Penerimaan usaha tani (TR), merupakan perkalian antara produksi
tanaman ke-i (Yi) dan harga produksi tanaman ke-i (Pyi) dapat dinyatakan sebagai
: TR = Yi Pyi = (Y1 Py1 + Y2 Py2+ ... + Yn Pyn)
Total biaya (cost) usaha tani merupakan nilai semua pengeluaran yang dipakai
dalam usaha tani selama proses produksi baik langsung maupun tidak langsung,
dan dinyatakan sebagai berikut :
TC = FC + VC
VC = Xi Pxi = (X1 Px1 + X2 Px2+ ... + Xn Pxn)
Dimana TC = total biaya usaha tani, FC = biaya tetap, VC = biaya tidak tetap,
Xi = input usaha tani ke-i dan Pxi = harga input usaha tani ke-i.
Pendapatan bersih usaha tani (), merupakan selisih antara penerimaan (TR) dan
(TC) yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
= TR - TC

72

Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri juga ditentukan dengan analisis


Benefit/Cost Ratio (B/C ratio).
Keberlanjutan secara ekologi (KEK) dinilai dari tingkat penggunaan
pupuk dan pestisida (pemeliharaan tanaman) secara komulatif yang dikonversi
dalam besaran biaya sarana pupuk dan pestisida. Keberlanjutan diukur dalam
skala 1-5. Semakin tinggi penggunaan kedua input tersebut dipandang tidak
berlanjut secara ekologi (skor 1).

Skor 3 adalah jika input untuk sistem

agroforestri sama dengan input non agroforestri. Skor 5 jika input agroforestri
lebih rendah dibandingkan dengan input non agroforestri. Analisis konservasi
lahan dilakukan dengan menganalisis bentuk konservasi lahan di sekitar blok-blok
penelitian serta kearifan-kearifan lokal sebagai upaya peningkatan konservasi
lahan oleh masyarakat. Pengamatan ini dilakukan dengan pengamatan langsung
dan wawancara dengan petani. Pengamatan dan wawancara meliputi : 1) bentuk
konservasi lahan (arah penanaman, teras, konservasi vegetatif dll), 2) penggunaan
pupuk dan pestisida berdasarkan data hasil survei/wawancara dengan petani, 3)
ketersedian air untuk tanaman di areal agroforestry, 4) penanganan limbah, baik
lembah kimia (pestisida dll) maupun penanganan sisa tanaman sebagai tambahan
bahan organik, dan 5) tindakan dari pemilik lahan khususnya mengenai
pengelolaan lahan dan pemilihan jenis tanam.
Keberlanjutan secara sosial budaya (KSB) dinilai dari keberadaan
kelembagaan pertanian, peran lembaga pertanian dan lama pengalaman petani.
Kelembagaan yang semakin mantap, peran lembaga pertanian yang baik dan
bertani yang lama menunjukkan secara sosial budaya memiliki keberlanjutan yang
tinggi. Demikian sebaliknya, kelembagaan yang tidak ada, peran lembaga yang
minim dan durasi bertani yang singkat, menunjukkan secara sosial budaya kurang
berlanjut. Setiap komponen di skor 1, 3 dan 5 tergantung kriteria rendah, sedang
dan tinggi.

Data skoring yang dperoleh kemudian dianalisis menggunakan

pengelompokan (Cluster Analysis), dan untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk


dendrogram. Struktur analisis keberlanjutan dilakukan secara hierarkis seperti
disajikan pada Bagan 5.1.

73

Sustainabilitas (ST) = KA + KE + KEK + KSB ; pembobotan untuk setiap


aspek dianggap setara. Dengan demikian, semakin tinggi nilai ST, sistem
agroforestri yang diterapkan oleh masing-masing petani semakin tinggi. Nilai
akhir setiap zona DAS merupakan rata-rata dari setiap responden pada zona yang
bersangkutan. Nilai ST = 4 10 berarti tidak berkelanjutan (Not Sustainable), ST
= 11-15 berarti keberlanjutan sedang (moderat sustainable) dan ST = 16 20.
sangat berkelanjutan (very sustainable).
Keberlanjutan Usaha Tani (KA)
1

Rendah

Sedang

Tinggi

Keberlanjutan Ekonomi (KE)


1

Rendah

Sedang

Tinggi

Keberlanjutan Sosial Budaya (KSB)


1

Rendah

Sedang

Tinggi

Keberlanjutan Ekologi (KEK)


1

Rendah

Sedang

Tinggi

Bagan 5.1. Urutan analisis keberlanjutan sistem agroforestri. Skor makin tinggi
berarti makin berlanjut. Data dari non agroforestri dijadikan standar
dengan skor 3 (sedang).

74

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis karakteristik sosial ekonomi masyarakat pada sistem agroforestri di
DAS Cianjur
Hasil penelitian karakteristis sosial ekonomi sistem agroforestri di tiga
zona DAS Cianjur (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat di DAS Cianjur
Zona

Karakteristik sosial
ekonomi
Lokasi
Luas wilayah (Ha)
Jarak dari kota (Km)
Kependudukan
Jumlah penduduk (jiwa)
Kepadatan (km/jiwa)
Jumlah KK
Tingkat pendidikan
SD
SMP
SMA
>SMA
Mata Pencaharian
Petani/buruh tani (org)
Non Petani (org)
Rata2 luas lahan (m2)
Status kepemilikan
Pemilik (org)
Penggarap (org)
Pendapatan
Pohon (rp/ha/thn)
Tanaman semusim
(rp/ha/musim tanam)
B/C ratio
Kriteria utama pemilihan
jenis tanaman

Tengah

Hilir

373.40
12.90

212.90
9.80

115.48
10.00

4 506
102
1 110

5 743
210
1 575

6 359
287
2 109

1 500
73
10
20

3 115
872
239
53

3 052
1 144
572
63

700
560
440

1 011
566
820

1 653
699
660

0
30

21
9

19
11

2 742 850

4 575 000

4 090 900

15 866 250

4 771 643

735 918

1.09
Keahlian petani dan
keuntungan yang
besar

Kelembagaan
Kelompok Tani
Penyuluh Pertanian
Peminjaman Saprodi
Pengijon
Koperasi

Karakteristik

Hulu

3
ada
ada
ada
1

sosial

ekonomi

2.89
Keahlian petani dan
kemudahan menjual

1.02
Kemudahan
mendapat benih/bibit
dan menjual

0
ada
ada
ada
1

masyarakat

1
ada
ada
ada
0

berpengaruh

terhadap

pendapatan (rp/ha/thn). Tingginya pendapatan dari tanaman semusim di hulu

75

dibanding di tengah dan hilir, dipengaruhi oleh perbedaan status kepemilikan,


luasan garapan, sistem bagi hasil tanaman dan pohon serta tujuan penanaman
dan kelembagaan. Status kepemilikan lahan juga berpengaruh terhadap
pendapatan. Sebagai penggarap, petani di hulu dan sebagian besar di tengah
memiliki keleluasaan mengelola dan memilih jenis tanaman yang akan ditanam.
Sedangkan dari luas garapan, pada luasan lahan garapan yng sempit petani bisa
menanam lebih intensif. Sistem bagi hasil pada sistem agroforestri di hulu dan
sebagian tengah, semua hasil tanaman semusim diberikan kepada petani,
sedangkan pada petani yang menggarap lahan-lahan masyarakat, hasil tanaman
semusim sebagian diberikan kepada pemilik lahan.
Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap pendapatan. Petani di hulu
yang menekankan tujuan penanaman untuk mendapatkan untung yang besar,
mereka memilih jenis tanaman yang memiliki nilai jual yang tinggi dengan
melakukan pengelolaan tanaman yang maksimal, serta mempertimbangkan biaya
dan hasil yang akan mereka dapatkan. Selama penerimaan masih mereka anggap
lebih besar dari biaya yang mereka keluarkan, maka petani melanjutkan usaha
taninya.
Peranan kelembagaan pertanian juga cukup besar. Di hulu, petani dalam
bentuk kelompok tani mendapatkan penyuluhan sebulan satu kali mengenai
penanaman dan pengaturan pola tanam. Selain itu juga tersedia pinjaman sarana
produksi (saprodi) melalui beberapa pengusaha/pedagang lokal. Di zona tengah
kelompok tani belum terbentuk, namun ada koperasi yang menyediakan pinjaman
saprodi untuk pengelolaan lahan mereka, sedangkan di hilir kelompok tani hanya
terbatas kelompok tani lahan sawah, sehingga agroforestri belum dapat dikelola
secara optimal.
Pendapatan dari nilai tanaman semusim di hulu Rp 5 866 250/ha/musim
tanam di tengah Rp. 4 771 643/ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp 735
918/ha/musim tanam. Perbedaan ini dipengaruhi oleh perbedaan jenis tanaman
yang ditanam, yang berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Untuk jenis
tanaman terpilih, di hulu dihasilkan nilai produktivitas tanaman semusim sebesar
Rp16 500 900/ha/musim tanam atau naik 4% dari sistem agroforestri secara

76

umum, di tengah Rp 5 945 467 (naik 24.6%) sedangkan di hilir Rp 971 411 (naik
32%).
B/C ratio di zona hulu lebih rendah dibandingkan di tengah karena
instensifikasi pengelolaan yang sangat intensif di hulu, memerlukan biaya
produksi yang lebih tinggi. Tingginya biaya produksi ini disebabkan oleh masih
rendahnya efisiensi proses produksi. Sedangkan di zona hilir, B/C ratio paling
rendah dibanding di hulu dan tengah, karena produksi yang dihasilkan dari
tanaman semusim pada sistem agroforestri di zona hilir umumnya memiliki
kualitas rendah dan sistem pemasaran yang kurang baik, sehingga nilai jualnya
rendah.
Analisis keberlanjutan sistem agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur
Keberlanjutan Agronomi (KA)
Keberlanjutan agronomi (KA), pada penelitian ini didekati dengan
pendekatan penggunaan tenaga kerja.

Pendekatan penggunaan tenaga kerja

digunakan, dengan asumsi bahwa ada hubungan atau pengaruh antara jumlah
penggunaan tenaga kerja dengan tingkat intensifikasi pertanian yang dilaksanakan
pada suatu wilayah. Hasil penelitian mengenai keberlanjutan agronomi terdapat
pada (Gambar 5.3). Pada tingkat keragaman 70% terdapat 2 cluster, dimana
tengah dan bawah (T dan B) mengelompok dalam satu cluster, sementara yang
hulu mengelompok dalam 1 (satu) cluster. Hal ini menunjukkan bahwa dari
aspek penggunaan tenaga kerja yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian, di
hulu nilai keberlanjutannya lebih rendah dibandingkan dengan di tengah dan
bawah. Lebih rendahnya nilai keberlanjutan di hulu dibanding di tengah dan di
hilir ini sesuai, karena diketahui bahwa sistem agroforestri di hulu sangat intensif
dan indeks pertanamannya juga lebih tinggi dibanding di tengah dan di hilir.
Keberlanjutan yang lebih rendah di hulu, menunjukkan potensi kerusakan
ekologi makin tinggi, tekanan terhadap ekologi tinggi, ditambah dengan topografi
yang umumnya lebih terjal, maka peluang erosi juga tinggi. Untuk itu perlu
dilakukan tindakan konservasi lahan, dengan pola tanam konservasi serta
mengatur jarak tanaman dan pohon yang tepat untuk sistem agroforestri, memilih

77

cara konservasi yang tepat serta meningkatkan peran serta masyarakat pada
konservasi lahan.
Dari ketersediaan tenaga kerja, di hulu tenaga kerja tersedia, dan
memungkinkan untuk untuk pertanian intensif, dibanding di tengah dan hilir. Hal
ini terjadi karena ada keterlibatan tenaga kerja wanita (ibu-ibu rumah tangga) dan
tenaga kerja laki-laki dewasa (selain kepala rumah tangga) yang juga ikut
mengelola dan bekerja penuh sehingga memungkinkan dilakukan intensifikasi
pertanian serta pengelolaan tanaman secara optimal mulai dari penyiapan lahan
sampai pemanenan.

Gambar 5.3. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Agronomi (KA)


sistem agroforestri di DAS Cianjur.

78

Keberlanjutan Ekonomi (KE)


Keberlanjutan ekonomi didekati dari pendapatan sistem agroforestri yang
dilakukan petani. Pendapatan digunakan dengan asumsi, ada keterkaitan antara
tingkat pendapatan petani dengan pendapatan. Pendapatan yang tinggi
diasumsikan bahwa sistem agroforestri petani tersebut lebih berlanjut.
Berdasarkan cluster data pendapatan (Gambar 5.4), terlihat bahwa pada
tingkat keragaman 70% terbentuk 2 (dua) cluster. Cluster I terdapat 1 sub grup
dan cluster II terdiri dari 5 sub grup. Pada cluster 1, semua petani di hilir dan
sebagian petani di tengah mengelompok, sedangkan pada cluster II sebagian
petani di tengah (T) mengelompok dengan semua petani di atas. Pengelompokan
ini jelas terlihat, karena perbedaan zona berpengaruh terhadap jenis tanaman dan
produktivitas tanaman, dimana di hulu tanaman yang terpilih adalah tanaman
sayuran dataran tinggi yang sesuai untuk dataran tinggi, sedangkan di hilir, pada
kebun campuran umumnya petani juga menanam tanaman sayuran dataran tinggi
sehingga produktivitas rendah, dan pendapatan petani juga rendah.
Produktivitas lahan pada sistem agroforestri terwakili oleh pendapatan,
dimana semakin ke hulu pendapatan semakin besar. Pendapatan rata-rata dari
tanaman semusim di hulu Rp 5 866 250/ha/musim tanam di tengah Rp 4 771
643/ha/musim tanam, sedangkan di hilir Rp 735 918/ha/musim tanam. Perbedaan
produktivitas lahan salah satunya dipengaruhi oleh pemilihan komoditas. Dari
hasil pemilihan jenis tanaman, di hulu dihasilkan nilai produktivitas tanaman
sebesar Rp 16 500 900/ha/musim tanam atau meningkat 4% dari sistem
agroforestri masyarakat, di tengah Rp 5 945 467/ha/musim tanam (meningkat
24.6%) sedangkan di hilir Rp 971 411/ha/musim tanam (meningkat 32%).
Petani di tengah sebagian ada yang mengelompok ke cluster I dan
sebagian ke cluster II. Hal ini terjadi karena tanaman sayuran dataran tinggi yang
ditanam di zona tengah masih bisa beradaptasi dengan baik sehingga produktivitas
tanamannya juga tinggi, sedangkan beberapa petani di zona bawah mengelompok
dengan tengah (T). Penyebab adanya kelompok zona tengah dan zona bawah yang
bersatu diduga karena faktor tanaman yang diusahakan.

Beberapa tanaman

dataran rendah seperti jagung dan singkong juga diusahakan di zona tengah. Dari

79

data ini menunjukkan bahwa di zona tengah merupakan zona peralihan komoditas
(zona transisi) antara zona atas dan zona bawah, sehingga memiliki keragaman
tanaman asal zona dataran tinggi dan dataran rendah yang berpengaruh terhadap
produktivitas tanaman.

Gambar 5.4. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekonomi (KE)


sistem agroforestri di DAS Cianjur

80

Keberlanjutan Sosial Budaya


Keberlanjutan sosial budaya dalam penelitian ini didekati dengan
menghitung lamanya sistem agroforestri sudah dilaksanakan masyarakat/petani
(Gambar 5.5).

Gambar 5.5. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sosial Budaya


(KSB) sistem agroforestri di DAS Cianjur

81

Gambar 5.5 menunjukkan dari sisi sosial budaya pada keragaman 70%
menunjukkan adanya 2 grup. Grup I beranggotakan semua petani dari zona
tengah dan zona hilir, sedangkan grup II beranggotakan petani dari zona hulu.
Zona hulu teridentifikasi sebagai petani yang telah lama mengupayakan
varietas/jenis tanaman sayuran dataran tinggi. Lamanya pengusahaan tersebut
selain dipengaruhi oleh faktor agroekologi juga karena adanya keterbatasan
terhadap pemilihan jenis tanaman. Berbeda dengan zona tengah dan hilir, petani
memiliki pilihan komoditas yang lebih beragam, sehingga lamanya pengusahaan
bervariasi antar petani.
Dari penelitian ini, terlihat bahwa sistem agroforestri petani telah
dilaksanakan antara 1 20 tahun. Lamanya usaha sistem agroforestri ini akan
berpengaruh terhadap kebiasaan petani serta pemilihan jenis tanaman pada setiap
musim tanaman. Lebih lanjut, kebiasaan petani mempengaruhi jenis tanaman pada
setiap zona DAS Cianjur. Di hulu, 100% petani terbiasa menanam sayuran,
sementara di tengah 70% petani terbiasa menanam tanaman sayuran dan 30%
petani biasa menanam selain sayuran. Sedangkan di hilir 16.67% petani biasa
menanam tanaman sayuran sedangkan

83.33% menanam tanaman pangan.

Kebiasaan petani ini juga berkaitan dengan tingkat intensifikasi.

Salah satu

indikator intensifikasi yang tinggi adalah pemilihan jenis tanaman. Intensifikasi


yang tinggi berarti jenis tanaman yang ditanam juga makin spesifik terutama
adalah tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomis tinggi serta cocok dengan
kondisi agroekologi dan kesesuaian lahan.
Keberlanjutan Ekologi (KEK)
Keberlanjutan Ekologi (KEK), didekati dari aspek pemeliharaan tanaman,
yaitu penggunaan pupuk dan pestisida (Tabel 5.2 dan 5.3). Hasil pengelompokan
(cluster) data pemeliharaan tanaman yang tentukan dari biaya yang dikeluarkan
untuk pembelian pupuk dan pestisida secara komulatif, terdapat pada Gambar
5.6. Hasil cluster data

terlihat pada tingkat keragaman 70%, data ekologi

mengelompok dalam 3 kelompok (cluster). Cluster I terdiri dari 3 (tiga) sub


cluster yaitu sub cluster A, sub cluster B dan sub cluster C. Pada sub cluster A

82

hampir semua petani di hilir (B), sebagian besar petani di tengah

(T) dan

beberapa petani di atas (A) yaitu A21, A24, A25, A26 dan A30 mengelompok
membentuk satu cluster.

Gambar 5.6. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Ekologi (KEK)


sistem agroforestri di DAS Cianjur

83

Pada sub cluster B, sebagian besar petani atas (A) dan sebagian kecil petani
tengah (T) mengelompok dalam satu cluster, sedangkan sub cluster C hanya satu
petani yaitu A6. Cluster II terdiri dari petani di hulu (A) yaitu A7, A12, A13, A29
dan A16. Sedangkan Cluster III hanya satu petani yaitu A1.Semua petani di hilir
(B), sebagian besar petani di tengah (T) dan sebagian kecil petani atas (A),
mengelompok dalam cluster I, hal ini diduga disebabkan oleh kebiasaan petani
menggunakan pupuk dan pestisida, serta kemampuan petani untuk membeli.
Petani di zona hilir membentuk 1 (satu) kelompok. Hal ini diduga karena
hampir semua petani menggunakan pupuk dan pestisida dalam jumlah yang kecil.
Sebagian besar petani tengah (T), ini terkait dengan kemampuan membeli pupuk
dan pestisida dan jenis tanaman yang diusahakan terutama pada kebun campuran,
yang memiliki kemiripan dengan kebun campuran di bawah. Beberapa petani di
hulu (A) masuk kelompok 1, keterbatasan biaya untuk membeli pupuk dan
pestisida.

Selain itu beberapa petani di hilir (B) dan tengah (T) juga

menggunakan pupuk tambahan berupa pupuk organik (sisa-sisa tanaman) dan abu.
Tabel 5.2. menunjukkan penggunaan pupuk di zona hulu lebih tinggi
untuk urea, NPK, pupuk kandang dan kapur. Di zona hilir para petani nyata
menggunakan lebih sedikit pupuk.
Tabel 5.2. Rata-rata penggunaan pupuk dan kapur (ton/ha/tanam) pada sistem
agroforestri di DAS Cianjur
Zona
Hulu
Tengah
Hilir

Urea

Jenis Pupuk
NPK

1.14
0.94
0.61

0.46
0.89
0.31

Pupuk
Kandang
6.36
4.34
1.47

Kapur
1.45
0.50
0.00

Demikian juga penggunaan pestisida, para petani di zona hilir lebih


sedikit (Tabel 5.3). Dengan demikian, ada perbedaan kontribusi terhadap kondisi
air pada sistem agroforestri di DAS Cianjur dari zona yang berbeda. Menurut
Kaswanto (2007), tingkat kualitas air semakin ke hilir semakin rendah.

84

Tabel 5.3. Rata-rata penggunaan pestisida pada sistem agroforestri di tiga zona
DAS Cianjur
Zona

Insektisida
(lt/ha/tanam)

Jenis Pestisida
Herbisida
(lt/ha/tanam)

Hulu

4.99

1.75

11.35

Tengah

3.41

1.02

7.76

Hilir

1.34

0.00

0.00

Nematisida
(kg/ha/tanam)

Sebagian petani di zona tengah (T) dan sebagian besar petani di hulu (A),
membentuk satu cluster, ini terkait dengan kebiasaan dan kemampuan untuk
menyediakan (membeli) pupuk dan pestisida untuk pengelolaan tanaman mereka.
Petani di zona hulu dan di tengah juga lebih mudah mengakses pupuk dan
pestisida karena ada lembaga peminjam modal usaha dan koperasi yang
menyediakan pinjaman saprodi (Tabel 5.1), untuk kelangsungan usaha tani di
kedua zona ini.
Keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur
Hasil pengelompokan dengan Analisis Cluster untuk nilai keberlanjutan
sistem agroforestri (ST) terdapat pada Gambar 5.7. Nilai setiap aspek
keberlanjutan pada sistem agroforestri disajikan pada tabel 5.4. Data setiap petani
disajikan pada Lampiran 5.
Hasil cluster data pada tingkat keragaman 70%, menunjukkan bahwa
sustainabilitas agroforestri mengelompok dalam 2 kelompok. Kelompok I terdiri
dari semua petani di zona hulu dan beberapa petani di zona tengah, sedangkan
kelompok II terdiri dari sebagian petani di zona tengah dan semua petani di zona
hilir (B). Hal ini terjadi karena adanya kemiripan terutama jenis tanaman sayuran
yang diusahakan di zona tengah dengan zona hulu. Selain itu kondisi agroklimat
di kedua zona ini juga memungkinkan tanaman sayuran dataran tinggi (zona hulu)
diusahakan dan dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Pola tanam sistem
agroforestri di kedua zona juga hampir sama, yaitu allley cropping. Pada

85

kelompok II, sebagian petani tengah (T) membentuk cluster dengan petani di zona
hilir (B).

Gambar 5.7. Dendogram cluster untuk analisis Keberlanjutan Sistem Agroforestri


(ST) di DAS Cianjur

86

Hal tersebut diduga disebabkan oleh kesamaan pada sebagian pola


tanaman campuran khususnya pada sistem agroforestri di luar perkebunan teh
(30%) petani yang merupakan agroforestri kompleks (kebun campuran). Zona
tengah sebagai zona transisi juga memungkinkan tanaman diintroduksi dan
beradaptasi ke arah hilir atau ke hulu. Demikian juga sebaliknya di zona tengah
memungkinkan tanaman beradaptasi dan diintroduksi jenis tanaman dari zona atas
maupun tanaman dari zona hilir.
Nilai keberlanjutan Sistem Agroforestri (ST), merupakan nilai rata-rata
dari nilai Keberlanjutan Agronomi (KA), Keberlanjutan Ekonomi (KE), Nilai
Keberlanjutan Ekologi (KEK) dan nilai keberlanjutan Sosial Budaya (KSB).
Tabel 5.4. menunjukkan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur. Dari
tabel tersebut terlihat bahwa dari hulu ke hilir terdapat variasi keberlanjutan
agronomi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial budaya dan keberlanjutan
ekologi. Keberlanjutan ekonomi secara rata-rata tidak ada variasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa secara ekonomi tanaman yang diusahakan telah cukup
menguntungkan dan cukup berlanjut dari skor 1 3 5.
Dari Tabel 5.4.dan dendrogram 5.7, dapat disimpulkan bahwa untuk
meningkatkan keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur perlu penanganan
spesifik pada setiap zona. Zona hulu, secara ekologi sudah lebih dari cukup, dan
perlu perbaikan pada pemilihan jenis tanaman dan aspek agronomi yang lain
sehingga sevara ekonomi dan sosial budaya dapat meningkatkan keberlanjutan.
Zona tengah demikian juga, perlu peningkatan keberlanjutan pada KA, KE dan
KEK. Zona hilir secara agronomi berada di ambang batas. Hal tersebut diduga
karena frekuensi petani menanam lebih rendah dalam setahun diantara ketiga zona
tersebut.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan untuk sistem
agroforestri di Daerah Aliran Sungai Cianjur adalah 12.12 dan nilai ini berarti
tingkat keberlanjutan sistem ini moderat pada interval nilai keberlanjutan 11 15.

87

Tabel 5.4. Tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur


Komponen keberlanjutan
Zona
Hulu
Tengah
Hilir
Rata-rata

ST
KA
2.80
3.00
2.60
2.80

KE
3.00
3.00
3.00
3.00

KSB
3.00
3.60
3.00
3.20

KEK
3.27
3.07
3.00
3.12

12.07
12.67
11.60
12.12

Keterangan : KA = Keberlanjutan Agronomi, KE = Keberlanjutan Ekonomi, KSB =


Keberlanjutan Sosial Budaya, dan KEK = Keberlanjutan Ekologi

SIMPULAN
1. Masyarakat petani di bagian hulu adalah penggarap dengan rata-rata luas
lahan garapan 440 m2 dengan pendapatan rata-rata dari tanaman semusim
Rp15 866 250 (rp/ha/musim tanam). Petani di tengah 30% penggarap dan 70%
pemilik dengan luasan rata-rata garapan 820 m2 dengan pendapatan dari
tanaman semusim Rp 4 771 643 (rp/ha/musim tanam), sedangkan di hilir
63.3% pemilik dan 36.7% penggarap dengan luasan lahan 660 m2 dengan
pendapatan rata-rata Rp 735 918 (rp/ha/musim tanam).
2. Nilai keberlanjutan sistem agroforestri untuk zona hulu 12.07, tengah 12.67
dan hilir 11.60.
3. Secara umum tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur
berdasarkan aspek agronomis, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek
ekologi termasuk moderat (moderat sustainability), dengan nilai tingkat
keberlanjutan 12.11 pada interval nilai keberlanjutan 11-15.

88

PEMBAHASAN UMUM
Studi tentang agroekologi untuk memahami hubungan-hubungan dan
proses ekologi pada suatu ekosistem adalah sangat penting. Pemahaman dan
pengetahuan yang benar tentang agroekologi memungkinkan agroekosistem dapat
dimanipulasi untuk memperbaiki produksi, sehingga suatu proses produksi dapat
berkelanjutan, berdampak positif bagi masyarakat serta tidak merusak lingkungan.
Pendekatan agroekologi diharapkan juga dapat menjaga keseimbangan sistem
pertanian atau yang bisa kita sebut keseimbangan agroekosistem.
Agroekosistem pada suatu DAS yang meliputi kawasan dari hulu sampai
hilir memiliki keragaman yang tinggi. Secara umum agroekosistem ini meliputi
hutan, talun, lahan kering, kebun campuran, sawah dan lain-lain. Adapun untuk
pengelolaan lahan terutama lahan kering, umumnya dikelola dengan sistem
agroforestri. Mengapa memilih agroforestri? Agroforestri telah diyakini sebagai
suatu sistem pengelolaan lahan kering yang dapat meningkatkan produktivitas
lahan akibat beragamnya produksi yang dihasilkan, aspek sosial karena
meningkatnya pendapatan, aspek ekologi karena pemilihan jenis tanaman yang
mempertahankan kualitas lingkungan, sedangkan tingkat adoptabilitas bahwa
masyarakat menerima introduksi teknologi untuk meningkatkan produktivitas
lahannya.
Agroforestri telah dikenal masyarakat dalam waktu yang lama dan bahkan
telah diterapkan secara turun-temurun. Sistem ini juga dianggap memiliki
keunggulan, karena mengintegrasikan teknologi budidaya tanaman semusim dan
pohon, yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas lahan, tingkat sosial
ekonomi masyarakat serta meningkatkan fungsi hidrologis lahan. Sistem
agroforestri ini juga banyak dikembangkan di wilayah DAS Cianjur, baik dalam
bentuk agroforestri sederhana maupun kompleks, yang disesuaikan dengan
karakter wilayah, pola kepemilikan lahan, tujuan pengelolaan maupun karakter
budaya masyarakat setempat.
Berdasarkan zonasi/pewilayahan, secara umum kawasan DAS dibagi
menjadi tiga, yaitu zona hulu, tengah dan hilir. Pembagian zona ini dibedakan

89

berdasarkan ketinggian tempat, dimana menurut Kiyotaka et al. (2001), setiap


kenaikan ketinggian 100 m menyebabkan penurunan suhu sebesar 0.590C,
sehingga perbedaan zona berdasarkan ketinggian tempat ini berpengaruh terhadap
karakteristik biofisik dan agroklimat yang sangat diperlukan dalam kegiatan
pertanian. Karakter biofisik sistem agroforestri, seperti tanah (topografi, tingkat
kemiringan lereng maupun jenis tanah), vegetasi (pohon dan tanaman semusim
serta jenis fauna baik predator, parasitoid, polinator maupun herbivor), sedangkan
karakter agroklimat diharapkan dapat diterapkan dalam perencanaan kegiatan
pertanian.
Perbedaan zonasi juga berpengaruh terhadap jenis tanah. Di hulu dan
tengah umumnya didominasi jenis tanah regosol dan andosol, sedangkan di hilir
tanah latosol dan mediteran. Tanah regosol mempunyai daya serap air yang tinggi
dengan nilai laju erosi toleransi (nilai T) tinggi, sedangkan tanah andosol nilai T
rendah, namun karena tingkat kemiringan lereng yang tinggi maka di hulu dan
tengah, nilai erosinya lebih tinggi. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah
erosi ini adalah dengan memilih pohon/tegakan yang memiliki perakaran yang
dalam dan kuat, tidak membiarkan tanah terbuka/mempercepat masa bera serta
menanam sejajar kontur. Sedangkan secara mekanis dengan pembuatan teras
gulud atau teras bangku untuk mengurangi laju aliran permukaan (infiltrasi).
Sedangkan di hilir yang didominasi tanah mediteran umumnya memiliki
ketebalan tanah yang tinggi, nilai toleransi erosi juga tinggi serta topografi datar
sehingga nilai erosivitasnya sangat rendah.
Kawasan DAS Cianjur, berdasarkan tata guna lahannya meliputi kawasan
Gunung Gede Pangrango sebagai DAS hulu dan Waduk Cirata/Saguling sebagai
zona hilir. Gunung Gede Pangrango sebagai kawasan konservasi, memiliki fungsi
yang sangat terbatas yaitu mengkonservasi air, sehingga pengelolaan kawasan ini
dikendalikan oleh Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BTNGGP).
Penentuan jenis tegakan/pohon sangat terbatas dan petani/masyarakat yang diberi
hak mengelola kawasan khususnya di kawasan penyangga dan peruntukan lain
dengan sistem agroforestri tidak berhak menanam pohon di luar ketentuan
BTNGGP. Jumlah jenis tegakan/pohon terbatas dan hal ini terlihat dari jumlah

90

spesies pohon di hulu hanya 5 (lima) spesies yaitu pinus, kayu putih, mahoni,
suren dan apokat (Tabel 3.8). Sedangkan untuk jumlah spesies tanaman semusim
juga lebih rendah dibanding di tengah dan hilir, karena faktor agroklimat terutama
suhu yang rendah sehingga hanya jenis tanaman tertentu yang bisa tumbuh dan
berproduksi secara maksimum, yaitu tanaman-tanaman sayuran dataran tinggi. Di
tengah, jumlah spesies pohon dan tanaman semusim lebih banyak daripada di
hulu, karena zona tengah merupakan zona transisi/peralihan kedua zona yang
memungkinkan menanaman pohon sesuai fungsi kawasan dengan tanaman selain
tanaman sayuran dataran tinggi (misal jagung dan singkong), sedangkan di hilir
jumlah jenis pohon lebih banyak karena pungsi pohon sebagai fungsi ekonomis,
sedang untuk tanaman semusim, selain tanaman pangan, petani juga cenderung
menanam tanaman sayuran yang sama dengan di tengah dan di hulu, walaupun
dari nilai produktivitasnya rendah.
Keragaman komponen penyusun pada sistem agroforestri membentuk
struktur vertikal dan horizontal.

Struktur vertikal merupakan struktur yang

terbentuk berdasarkan ketinggian. Vegetasi dalam sistem agroforestri ini sesuai


dengan ketinggiannya membentuk lapisan-lapisan berdasarkan struktur tajuknya.
Penutupan tajuk yang rapat sangat menguntungkan dalam efisiensi penggunaan
cahaya matahari oleh tanaman dan mengurangi erosi tanah oleh air hujan.
Sebagai contoh dari penelitian Wigunadi et al. (2008) yang menyatakan bahwa
untuk penutupan tajuk pada pekarangan di DAS Cianjur, penutupan tajuk di
pekarangan wilayah hulu, tengah dan hilir, masing-masing diwakili oleh Galudra,
Mangunkerta dan Selajambe berturut-turut adalah 107%, 176.9% dan 227.9%.
Sedangkan struktur horizontal merupakan struktur yang terbentuk oleh
beragamamnya fungsi tanaman dalam sistem agroforestri. Beragamnya fungsi
tersebut meliputi tanaman hias, tanaman buah-buahan, sayuran, bumbu, obat ,
tanaman penghasil pati, tanaman industri dan tanaman dengan fungsi lain.
Wilayah DAS Cianjur semakin ke hulu topografinya semakin berbukit
dengan tingkat kelerengan yang terjal. Zona hulu dan tengah sebagai zona
konservasi dan produksi terbatas, maka pohon sebagai komponen agroforestri
harus dipilih yang memiliki perakaran yang dalam dan kuat yang diharapkan juga

91

mampu menahan erosi. Sedangkan zona hilir sebagai zona produksi/pemanfaatan


bisa memilih jenis pohon yang cepat tumbuh (fast growing spesies) seperti jenis
sengon (Albisia falcataria), yang memiliki perakaran yang banyak, mampu
menahan air serta dapat menambah unsur hara nitrogen (N) dari seresahseresahnya. Sedangkan untuk jenis tanaman semusim wilayah hulu sebaiknya
spesifik untuk tanaman sayuran dataran tinggi, zona tengah dengan sayuran dan
tanaman pangan sedangkan di hilir dengan jenis tanaman pangan, karena lebih
toleran terhadap cekaman khususnya cekaman air dan naungan.
Perbedaan karakteristik agroklimat juga berpengaruh terhadap keberadaan
vegetasi fauna parasitoid (Hymenoptera) di DAS Cianjur (Tabel 3.12). Jumlah
jenis fauna parasitoid di hulu lebih besar dibandingkan di tengah dan hilir.
Menurut Yaherwandi

(2005),

tingginya jumlah spesies parasitoid di hulu

disebabkan oleh tersedianya faktor-faktor penunjang kehidupan Hymenoptera


parasitoid tersebut. Pertambahan jumlah spesies parasitoid ini juga sangat
dipengaruhi oleh struktur lanskap. Struktur lanskap yang beragam bisa menjadi
inang dan sumber makanan bagi jenis serangga ini. Selain itu juga disebabkan
oleh intensifikasi pengelolaan terutama penggunaan pestisida yang dapat
menyebabkan parasitoid pindah dari habitat yang banyak menggunakan pestisida
ke habitat yang lebih sedikit menggunakan pestisida, serta terjadinya
migrasi/perpindahan dari suatu habitat pada masa bera.
Karakteristik lain yang sangat penting dalam pengelolaan sistem
agroforestri adalah pola tanam tanaman semusim serta produktivitasnya. Pola
tanam tanaman semusim pada suatu sistem agroforestri sangat ditentukan oleh
karakter pohon baik jenis maupun tata letak pohon dalam suatu pertanaman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter pola tanam pada
sistem agroforestri di DAS Cianjur (Tabel 4.1 ). Di zona hulu, sistem agroforestri
dengan pola lorong (alley cropping), di zona tengah terdapat pola tanam lorong
(alley cropping) dan agroforestri berupa kebun campuran, sedangkan di hilir
umumnya merupakan kebun campuran dan hanya sebagian kecil pola tanam alley
cropping berbasis sengon. Pada alley cropping di hulu dan tengah jenis pohon
dan jarak antar pohon telah ditentukan oleh pemilik kawasan, di hulu adalah

92

pengelola Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, sedangkan di tengah


adalah PTPN 18 (Gunung Gedeh) Propinsi Jawa Barat. Pada alley cropping
dengan jarak antar pohon yang teratur ini memungkinkan tersedianya ruang untuk
tumbuh tanaman semusim, sehingga petani bisa memanfaatkan ruang bawah
tegakan untuk budidaya tanaman semusim (terutama tanaman sayuran). Lamanya
ketersediaan ruang untuk budidaya tanaman semusim ini sangat tergantung dari
tingkat penutupan tajuk yang menurut Sabarnurdin (2005), bahwa untuk pohon
mahoni masa aktif ruang pertanian berkisar 5.2 sampai 8.7 tahun.
Pada alley cropping di hulu dan tengah juga dilakukan pemangkasan tajuk
(prunning) terhadap pohon.

Prunning pada pohon pinus di hulu, dilakukan

sebanyak 3 kali setahun, yaitu pada saat awal tanam tanaman semusim, sedangkan
pada alley cropping dengan pohon mahoni di tengah, pemangkasan tajuk
dilakukan sebanyak 2 kali setahun. Prunning bagi pengelola/pemilik lahan
dimaksudkan untuk mendapatkan batang bebas cabang yang lebih tinggi, sehingga
nilai ekonomis dari pohon juga tinggi, sedangkan bagi petani/penggarap areal
kehutanan dan perkebunan, pemangkasan dimaksudkan untuk mengurangi tingkat
penutupan tajuk sehingga sinar matahari yang diterima tanaman semusim lebih
besar (tersedia ruang yang lebih besar), dan tanaman semusim yang ditanam bisa
tumbuh dengan baik.
Jarak tanam pohon juga berpengaruh terhadap tata letak atau susunan
penanaman tanaman semusim. Di hulu dan tengah dengan jarak tanam pinus 4m x
4m dan mahoni 10m x 10m, maka ruangan antar pohon/lorong yang ada bisa
dimanfaatkan untuk menanam tanaman semusim dalam bentuk blok-blok atau
barisan-barisan teratur. Pada blok-blok dan barisan-barisan ini, bisa ditanam
secara monokultur maupun polikultur (tumpang sari). Pada penelitian ini terlihat
bahwa penanaman tumpang sari lebih dominan di hulu dan tengah. Tumpang sari
umumnya dilakukan dengan tanaman sayuran dataran tinggi yang berumur
pendek dan atau antar tanaman yang memiliki karakter morfologi yang berbeda.
Tumpang sari di hulu adalah wotel sawi, tomat sawi, tomat bawang daun
dan di tengah wotel sawi, tomat sawi dan jagung manis - sawi atau jagung
manis - wortel. Adapun di hilir penanaman tanaman semusim umumnya tidak

93

teratur dalam barisan atau blok-blok, tetapi menyesuaikan dengan ruang bawah
pohon, kecuali pada sebagian kecil agroforestri berbasis sengon dimana tata letak
penanamannya menyerupai di hulu dan di tengah.
Tanaman sayuran sebagai tanaman khas di zona hulu dan tengah memiliki
perbedaan rentang panen yang panjang sehingga sangat memungkinkan untuk
dikombinasikan dengan pengaruh negatif (kompetisi) yang sangat kecil. Contoh
pada penanaman wortel dan sawi. Wortel dan sawi ditanam bersamaan, pada umur
40 - 45 hari sawi sudah dipanen sementara wortel masih kecil (panen wortel umur
4 bulan) dan ini tidak mengganggu pertumbuhan tanaman wortel, tetapi justru
petani mendapat keuntungan dari sawi. Begitu juga pada wortel dan bawang
daun, dimana bawang daun dipanen pada umur 75-90 hari.
Perbedaan karakteristik pola tanam di tiga zona DAS Cianjur yang lain
adalah intensifikasi pengelolaan lahan. Intensifikasi pengelolaan lahan di hulu
sangat intensif, di tengah intensif dan di hilir kurang intensif.

Intensifikasi

pengelolaan lahan ini dimulai dari pengolahan tanah, penyediaan benih,


penanaman dan pemeliharaan tanaman. Di hulu, pengolahan tanah sangat intensif,
penyediaan benih/bibit bersertifikat dibeli di toko-toko pertanian, pemeliharaan
tanaman seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit dan gulma dilakukan
oleh petani. Di tengah, pengolahan tanah intensif, benih dan bibit umunya
bersertifikat kecuali benih wortel yang dibuat sendiri oleh petani, sedangkan
pemeliharaan tanaman juga dilaksanakan dengan baik. Sedangkan di hilir
pengolahan tanah dengan olah tanah minimum (minimum tillage) dengan sekali
cangkul dan atau dengan ditugal, benih dan bibit dibuat oleh petani sendiri, dan
hanya sebagian kecil (10%) petani yang membeli benih bersertifikat (umumnya
pada agroforestri sederhana). Tingkat pemeliharaan tanaman seperti pemupukan
dan pengendalian hama penyakit dan gulma baik secara mekanis maupun kimiawi
juga sangat rendah.
Pemeliharaan

tanaman

khususnya

mengenai

pemupukan,

petani

menggunakan pupuk berupa pupuk dasar (kotoran ayam atau kambing), dan
pemupukan susulan atau tambahan berupa pupuk N (urea), pospat (TSP) dan
kalium (KCL) dan pupuk majemuk NPK. Di hulu pemupukan susulan I pada

94

umur 2 minggu setelah tanam serta susulan II umur 1 bulan setelah tanam,
sedangkan di hilir petani hanya memberikan pupuk pada saat tanaman berumur 2
minggu setelah tanam. Aplikasi pemupukan baik di hulu, tengah dan hilir dengan
cara meletakkan pupuk di sekitar pertanaman tanpa ditutup tanah terutama pada
tanaman jagung, cabe, tomat, sehingga sehingga sebagian pupuk menguap
(terevavorasi) pada saat panas/kering, sedangkan bila setelah pemupukan terjadi
hujan maka pupuk akan terlarut dan atau tercuci oleh limpasan air hujan. Hal ini
dilaporkan oleh Msyahidryan (2011), bahwa kehilangan pupuk akibat evavorasi
dan terlarut/tercuci ini bisa mencapai > 45%. tercuci/terlarut (saat hujan). Keadaan
ini menyebabkan meningkatnya biaya produksi serta berpotensi terjadinya
pencemaran/polusi air, terutama pada zona bawah. Pengendalian hama penyakit
umumnya menggunakan pestisida (kimia), sedangkan untuk gulma dengan cara
dicabut, secara mekanis (dicangkul) dan ada yang menggunakan herbisida.
Faktor penting dalam pola tanam adalah rotasi tanaman dan frekuensi
penanaman jenis tanaman oleh petani. Rotasi tanaman menggambarkan pola
pergiliran tanaman dalam suatu lahan/areal pertanaman dalam 1 (satu) tahun,
sedangkan frekuensi penanaman menggambarkan berapa kali tanaman tertentu
ditanam petani dalam 1 tahun. Rotasi tanaman dan frekuensi penanaman
dipengaruhi oleh intensifikasi pengelolaan lahan, pemilihan jenis tanaman serta
kebiasaan dan pengalaman petani. Di hulu dan tengah dengan intensifikasi
pertanian yang tinggi maka petani memanfaatkan lahan seoptimal mungkin, serta
menanam jenis tanaman semusim dengan masa panen yang tidak terlalu panjang
serta petani benar-benar telah menguasai teknik budidaya tanaman yang akan
diusahakan berdasarkan pengalaman budidaya yang telah mereka terapkan selama
bertahun-tahun. Sedangkan untuk kalender pertanaman berdasarkan hasil
penelitian (wawancara petani responden), bahwa petani di tiga zona DAS Cianjur
belum memanfaatkan data iklim untuk penentuan pola tanam tanaman semusim.
Pola tanam masih berdasarkan pada kebiasaan pola musim penghujan (Oktober
Maret) dan kemarau (April-September). Petani juga terbiasa dengan pengalaman
dan kebiasaan mengenai penentuan waktu tanam, cara tanam dan rotasi
tanamannya.

95

Tujuan penanaman juga berpengaruh terhadap kalender pertanaman


(Gambar 4.6). Pada zona hulu dan tengah, tujuan penanaman terbesar adalah
untuk memenuhi kebutuhan pasar (kemudahan menjual dan keuntungan yang
besar), sehingga pola tanam disesuaikan dengan kecenderungan (trend)
permintaan pasar saat itu, sementara di hilir dengan tujuan utama untuk konsumsi
sehari-hari (Tabel 4.6), sehingga pola tanam lebih mengarah pada efektivitas
pemanfaatan lahan karena adanya rentang musim yang panjang. Sedangkan pada
musim penghujan seluruh tenaga kerja terkonsentrasikan untuk penanaman
padi/sawah baik sebagai petani maupun buruh tani.
Pola dan kebiasaan rotasi tanaman, frekuensi penanaman jenis tanaman
dan kalender pertanaman sangat berhubungan dengan indeks pertanaman. Indeks
penanaman menggambarkan jumlah penanaman yang dilaksanakan petani dalam
satu tahun. Di Hulu indeks penanaman lebih besar dibanding di tengah dan di hilir
disebabkan oleh 1) kondisi bioklimat yang mumungkinkan untuk penanaman
sepanjang tahun, 2) petani di hulu umumnya merupakan petani spesialis sayuran
dataran tinggi, 3) Sebagian besar masyarakat memang menjadikan pertanian
sebagai pekerjaan pokok, terutama petani hutan (pesanggem), dan 4) tersedianya
tenaga kerja karena ada keterlibatan tenaga kerja lain (tenaga kerja wanita dan
lelaki dewasa) dalam mengelola lahan pertanian. Sementara itu di zona tengah,
walaupun ada kesesuaian kondisi bioklimat yang memungkinkan untuk menanam
tanaman sayuran sepanjang tahun, tetapi ketersediaan tenaga kerja lebih rendah
(keterlibatan tenaga kerja wanita hanya 13.33%), hal ini disebabkan istri dan
perempuan dewasa umumnya bekerja pada perkebunan teh (bekerja sebagai
tenaga kerja harian/borongan pemetik daun teh). Sedangkan di hilir 93.33%
pengelolaan kebun dilaksanakan oleh kepala rumah laki-laki dan hanya 6.67%
keterlibatan istri/tenaga wanita, karena istri lebih berperan di lahan sawah
(36.67%).
Pengaturan pola tanam dalam sistem agroforestri juga berpengaruh
terhadap produktivitas tanaman. Produktivitas merupakan suatu konsep yang
menggambarkan rasio/hubungan antara hasil (jumlah barang dan jasa yang
diproduksi) dengan sumber (jumlah tenaga kerja, modal, tanah, energi dan lain-

96

lain) yang terpakai untuk menghasilkan produk tersebut. Secara umum, produk
yang dihasilkan sistem agroforestri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1)
produk yang langsung menambah penghasilan petani, misalnya makanan, pakan
ternak, bahan bakar, serat, aneka produk industri, dan 2) produk yang secara tidak
langsung memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat luas, misalnya konservasi
tanah dan air, pemeliharaan kesuburan tanah, iklim mikro dan pagar hidup.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri diharapkan bisa berdampak pada
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Peningkatan produktivitas
sistem

agroforestri

dilakukan

dengan

menerapkan

perbaikan

cara-cara

pengelolaan tanaman sehingga hasilnya bisa melebihi yang diperoleh dari praktek
sebelumnya, termasuk jasa lingkungan yang dapat dirasakan dalam jangka
panjang. Namun demikian, keuntungan/nilai ekonomi yang diperoleh dari
peningkatan hasil dalam jangka pendek seringkali menjadi faktor yang
menentukan apakah petani mau menerima dan mengadopsi cara-cara pengelolaan
yang baru.
Peningkatan produktivitas sistem agroforestri juga dapat dilakukan dengan
peningkatan dan/atau diversifikasi hasil komponen yang bermanfaat, dan atau
menurunkan jumlah masukan atau biaya produksi. Contoh upaya penurunan
masukan dan biaya produksi yang dapat diterapkan pada sistem agroforestri yaitu:
mengurangi penggunaan pupuk nitrogen dan mengganti dengan pemberian pupuk
hijau dari tanaman pengikat nitrogen.
Pada sistem agroforestri di tiga zona Daerah Aliran Sungai Cianjur,
produktivitas (ratarata produksi/luasan lahan/tahun) tanaman semusim di hulu
lebih tinggi di bandingkan di tengah dan hilir. Tingginya produktivitas di hulu,
karena kondisi agroklimat yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman sayuran
dataran tinggi seperti wortel, kubis, bawang daun dan tomat. Di tengah dengan
suhu yang lebih tinggi dan jenis tanaman yang ditanam adalah sayuran dataran
tinggi, sehingga produksinya lebih rendah. Sedangkan di hilir, tanaman berbeda
dengan di hulu dan tengah karena suhu yang tinggi tidak sesuai untuk jenis
tanaman sayuran dataran tinggi, sehingga petani lebih memilih tanaman pangan
seperti singkong dan jagung.

97

Sistem agroforestri dengan pola tanam alley cropping di hulu,


memungkinkan untuk dikembangkan sebagai vegetable agroforestry. Vegetable
agroforestry memungkinkan dikembangkan dengan cara mengatur jarak tanam
antar pohon serta jarak pohon dengan tanaman semusim. Jarak antar pohon dan
jarak pohon dengan tanaman semusim yang tepat memungkinkan, pohon dapat
berperan positif terhadap tanaman semusim, terutama melindungi tanaman dari
angin kencang, sebagai inang hama penyakit tanaman serta mengurangi pengaruh
sinar matahari secara langsung sehingga evavorasi tanaman bisa berkurang
terutama pada saat awal masa tumbuh. Selain itu pohon juga memungkinkan
menjadi pemompa unsur hara yang sulit dijangkau oleh tanaman menjadi
terjangkau oleh tanaman (penyelamat unsur hara).
Rata-rata produktivitas tanaman semusim hasil survei dan pada petak
contoh pengamatan di tiga zona DAS Cianjur lebih rendah dibandingkan data
Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur

tahun 2009 dan potensial produksi dari

produsen benih. Perbedaan ini diduga karena perbedaan metode penghitungan


produkstivitas lahan, namun berdasarkan hasil wawancara dengan responden
khususnya di hulu dan tengah, dengan rata-rata produktivitas seperti data survei
dan pengamatan petak contoh ini, bagi petani pelaksana agroforestri sudah
untung (produktivitasnya sudah

maksimal). Sedangkan di hilir produktivitas

sistem agroforestri lebih rendah, hal ini disebabkan kondisi pertanaman pohon
yang rapat dan tidak teratur, sehingga pertumbuhan tanaman semusim tidak
optimal dan kemungkinan besar terjadi kompetisi dalam penyerapan hara maupun
cahaya matahari.
Aspek terpenting lainya dari sistem agroforestri adalah keberlanjutan
(sustainability). Keberlanjutan sistem agroforestri meliputi keberlanjutan
produksi, sosial

ekonomi, ekologis

dan

penerimaan oleh masyarakat.

Keberlanjutan produksi, terlihat bahwa produktivitas sistem agroforestri cukup


tinggi, terutama di hulu dan tengah dan produksi tiap satuan luas lahan hampir
sama setiap musim tanam dan setiap tahun. Stabilitas produksi ini bisa menjadi
indikator keberlanjutan. Sesuai dengan pendapat Dabermann (2005), yang
menyatakan bahwa keberlanjutan usaha tani diukur dari stabilitas produksi, dan

98

untuk mempertahankan stabilitas produksi ini diperlukan introduksi teknologi.


Lebih lanjut dari penelitian Backes (2001), menunjukkan bahwa teknologi
introduksi akan diadopsi oleh 53% petani jika teknologi tersebut sudah dikenal
masyarakat di daerahnya, sedangkan 47% petani akan mengadopsi jika nilai
tambah teknologi tersebut relatif sama dengan teknologi yang ada pada petani.
Hasil penelitian ini bila kita kaitkan dengan perubahan orientasi petani mengenai
pemilihan jenis tanaman, akan sinkron karena petani di tiga zona DAS Cianjur
umumnya telah melakukan introduksi teknologi, dimana introduksi teknologi ini
terlihat dari perubahan orientasi usaha taninya yang cenderung ke orientasi
ekonomi (economic oriented).
Keberlanjutan aspek sosial ekonomi sistem agroforestri terlihat bahwa,
sistem agroforestri di DAS Cianjur memberikan pendapatan yang cukup besar.
Nilai pendapatan tanaman semusim dari hulu ke hilir berturut-turut adalah Rp 15
866 25/ha/tahun, Rp 4 771 643/ha/tahun dan 735 918 /ha/tahun, sedangkan nilai
B/C rationya juga relatif besar, di hulu 1.09, di tengah 2.89 dan di hilir 1.02.
Sedangkan dari aspek penerimaan masyarakat, terlihat bahwa masyarakat di DAS
Cianjur, dalam pengelolaan lahan keringnya telah melaksanakan sistem
agroforestri secara turun-temurun dalam waktu yang lama. Penanaman dengan
sistem agroforestri telah menjadi budaya, dan masyarakat akan tetap
mempertahankan sistem agroforestri selama masih tersedia lahan untuk usaha
tani mereka. Berdasarkan perhitungan nilai keberlanjutan yang didasarkan pada
Aspek Agronomi (KA), Aspek Ekonomi (KE), Aspek Sosial Budaya (KSB) dan
Aspek Ekologi (KEK), bahwa nila keberlanjutan sistem agroforestri di DAS
Cianjur adalah 12.12 pada interval 11-15, yang berarti tingkat keberlanjutannya
sedang (moderat sustainability). Untuk mempertahankan keberlanjutannya, maka
perlu dilakukan tindakan konservasi lahan, seperti mengurangi penggunaan
pupuk kimia digantikan dengan pupuk organik, meningkatkan produksi untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat/petani, efisiensi penggunaan tenaga kerja
serta mempertahankan sistem agroforestri untuk pengelolaan lahan.

99

SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan:
1. Karakteristik sistem agroforestri di hulu berbeda dengan di tengah dan hilir.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan karakter biofisik dan agroklimat
yang berpengaruh terhadap perbedaan komponen penyusun agroforestri
(pohon dan tanaman semusim). Karakter agroklimat terutama suhu sangat
berpengaruh terhadap komponen penyusun agroforestri, karena perbedaan
suhu menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sistem agroforestri
ini. Berdasarkan jumlah spesies pohon dan tanaman semusim, di hulu jumlah
jenisnya lebih rendah dibanding di tengah dan hilir, hal ini diduga disebabkan
oleh perbedaan zona yang didasarkan pada ketinggian tempat, juga
berpengaruh terhadap pengelompokan habitat tanaman sesuai dengan karakter
dan persyaratan tumbuhnya.
2. Pola tanam dan produktivitas tanaman semusim di tiga zona DAS berbeda,
dipengaruhi oleh kondisi biofisik dan agroklimat, sistem agroforestri, karakter
pohon (jenis dan jarak tanam) dan jenis tanaman semusim serta intensitas
pengelolaannya, sedangkan kriteria pemilihan jenis tanaman berbeda di tiga
zona DAS Cianjur, namun ketiganya cenderung menuju ke orientasi ekonomi
(economic oriented).
3. Kalender penanaman belum memanfaatkan data iklim tetapi masih
menggunakan penentuan musim penghujan (Oktober-Maret) dan musim
kemarau (April-September), sehingga terjadi kecenderungan pola tanam dan
waktu tanam yang hampir sama sepanjang tahun.
4. Secara umum tingkat keberlanjutan sistem agroforestri di DAS Cianjur
berdasarkan aspek agronomis, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek
ekologi termasuk moderat (moderat sustainability), dengan nilai tingkat
keberlanjutan

12.11

pada

interval

nilai

keberlanjutan

11-15.

Nilai

keberlanjutan sistem agroforestri untuk zona hulu 12.07, tengah 12.67 dan
hilir 11.60.

100

5. Sistem agroforestri khususnya di zona hulu sangat prospektif untuk


dikembangkan sebagai Vegetable Agroforestry yang berorientasi komersial
seperti yang telah dikembangkan di beberapa negara.
Saran
1. Berdasarkan analisis biofisik dan agroklimat, maka perlu meningkatkan
keragaman jenis pohon maupun tanaman semusim untuk sistem agroforestri di
tiga zona DAS Cianjur, disesuaikan antara karakteristik pohon dan tanaman
semusim dengan kondisi biofisik dan agroklimat serta fungsi dari pohon dan
tanaman semusim di setiap zona DAS.
2. Perlu pengaturan pola tanaman spesifik lokasi (berdasarkan zona DAS) yang
didasarkan data klimat dan perhitungan perubahan karakteristik iklim/musim
serta peningkatan produktivitas tanaman dengan memilih jenis tanaman yang
sesuai dengan karakteristik wilayah dan kesesuaian lahan serta memanfaatkan
data iklim dari stasiun-stasiun iklim setempat dan data tanah maupun
kesesuaian lahan berdasarkan hasil-hasil penelitian di wilayah ini atau wilayah
lain yang memiliki karakter yang hampir sama.
3. Perlu analisis sosial ekonomi secara menyeluruh untuk pegembangan
agroforestri yang produktif, bernilai sosial ekonomi tinggi, berlanjut dan
diterima masyarakat.
4. Untuk menilai keberlanjutan sistem agroforestri di wilayah ini, sebaiknya
didasarkan pada aspek-aspek yang terkait dengan sistem agroforestri serta
berusaha melibatkan lebih banyak petani/masyarakat yang terlibat untuk
menilai aspek keberlanjutan.
5. Untuk mengembangkan vegetable agrofororestry, perlu memilih dan
mengatur kombinasi antara pohon dan tanaman semusim baik jenis maupun
jarak tanam, agar terjadi interaksi positif antar keduanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali M dan Arifin HS. 2007. The structure of rural landscape in Cianjur
Watershed District, West Java. Jurnal Lanskap Indonesia Vol 1(2) 1-5.
Apriantono A. 2008. Penguatan strategi ketahanan pangan nasional. makalah
seminar nasional ketahanan pangan. Center for International and
Development Studies (CIDES). Jakarta.
Arifin HS. 1998. Study on the vegetation structure of pekarangan and its changes
in west java, indonesia. (Dissertation). Labolatory of Forest and
Environmental Management. The Graduate School of Natural Science
and Technology Okayama University.
Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998b. Effects of urbanization on the structure
of home gardens in West Java, Indonesia. Jpn. K. Trop. Agr. 42: 94102.
Arifin HS, Sakamoto K, Takeuchi K. 2001. Study of rural landscape structure
based on its different bio-climatic conditions in middle part of Citarum
Watershed. Cianjur District. West Java. Indonesia. Procceding JSPSDGHE Core University Program in Applied Biosciences. 99-108.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Institut Pertanian Bogor.
Backes MM. 2001. The role of indigenous trees for the conservation of
biocultural diversity in tradisional agroforestry land use system.
Agroforestry System J.52: 119 132.
Badrun M. 1998. Lahan kering, potensi dan peluang pengembangan untuk
mendukung upaya peningkatan produksi pangan. Prosiding Seminar
Peningkatan Produksi Padi Nasional Lampung 9 10 Des 1998. hal
1824.
Baharsyah J.S. 1991. Hubungan cuaca dengan tanaman. dalam A. Bey (ed)
kapita selekta dalam agrometeorologi. Ditjen Pendidikan Tinggi
Depdikbud. Jakarta.
Bahrun AH, Chozin MA, Arifin HS, Darusman D. 2004. The analysis of optimal
utilization of dryland with an agroforestry system in several
agroclimatic zones of Ciliwung Watershed : An Agroecophysiological
Study. Kompilasi Abstrak Agroforestri di Indonesia. hal. 17.
Beets WC. 1982. Multiple cropping and tropical farming system.
Publishing Company Limited, Hampshire, England.

Gower

101

Bey and Las 1991. Strategi pendekatan iklim dalam usaha tani. Dalam A Bey
(ed) Kapita Selekta Dalam Agrometereorologi. Ditjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud. Jakarta.
Biro Pusat Statistik 2010. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta
Chozin MA, Sopandie D, Sastrosumardjo S dan Suwarno. 2000. Physiology and
genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate
Team Research Grant, URGE Project. Directorat General of Higer
Education, Ministry of Education and Culture.
Chozin MA. 2006 Peran ekofisiologi tanaman dalam pengembangan teknologi
budidaya pertanian. Orasi Ilmiah Guru Besar. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Cruz RE and Vergera RJ. 1987. Proctive and ameliorative role of agroforestry :
an Overview Inc: Agroforestry in The Humic Tropics. EAPI East-West
Centre Hawai. USA
Das P. 2005. Cropping pattern (agricultural and horticultural) in different zones,
their average yields in comparison to national average/critical
gaps/reasons identified and yield potential. Director General (Agril
Extension), Indian Council of Agricultural Research, New Delhi.
Debermann A. 2005. The development of site specific nutrient management for
maize in Asia. Workshop 1 - 4 May 2005. Brastagi Indonesia.
Puslitbang Tanaman Pangan.
De Foresta H and Michon G, 1997. The agroforest alternative to Imperata
grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach
sustainability. Agroforestry Systems 36:105-120.
De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA, 2000. Ketika Kebun
Berupa Hutan Agroforest Khas Indonesia Sebuah Sumbangan
Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp.
Deptan. 2002. Metode pengkajian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Djukri. 2003. Seleksi tanaman talas (Colocasia esculanta. L Schott) untuk
adaptasi terhadap cekaman naungan. Disertasi Sekolah Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor.

66

pada tanaman cabe keriting yang hanya ditanam di zona tengah dan zona hilir
(Gambar 4.11), dan tanaman tomat yang di tanam di zona hulu, zona tengah dan
zona hilir (Gambar 4.12), dimana di zona hilir tanaman tomat produktivitasnya
sangat rendah.

ton/ha/m us im tanam

R ata-rata produktivitas c abe keriting pada z ona


20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Tengah
Hilir
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.11. Rata-rata produktivitas cabe keriting di zona tengah dan hilir
Sistem agroforestri di zona hilir, berupa kebun campuran, kerapatan
pohon lebih tinggi, sehingga memungkinkan terjadi cekaman pertumbuhan yang
disebabkan oleh naungan. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa studi tentang
ekofisiologi tanaman di bawah naungan seperti pada padi gogo (Chozin et al.
2000), kedelai (Sopandie et al. 2004), talas (Djukri 2003) dan lada (Wahid 1997),
yang menunjukkan bahwa dampak dari cekaman intensitas cahaya adalah
terganggunya proses metabolisme tanaman

ton/ha/mus im tanam

R ata-rata produktivitas tomat pada z ona


45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Hulu
Tengah
Hilir
S urvei

P etak
C ontoh

A grofores try

S urvei

P etak
C ontoh

NonA grofores try

Dis perta
C ianjur

P otens i
Has il

Gambar 4.12. Rata-rata produktivitas tomat di zona hulu, tengah dan hilir

102

Fagi AM, Ismail IG, Kurnia U, Suwarjo dan Basyo AS. 1988. Sistem usaha tani
di daerah aliran sungai. Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi Di DAS. P3HTA. Salatiga Jawa Tengah.
Fuglie KO. 2000. Productivity growth in indonesia agriculture. CIP-ESEAP
Regional. Bogor, Indonesia.
Gathumbi SM, Cadisch G, Giller KE. 2004. Improved fallow: effects of species
interaction on growth and productivity in monoculture and mixed
stands. Ecology Forest and Management 187 (2004): 267-280.
Hadipoernomo 1983. Agroforestri di lingkungan perum perhutani. Duta Rimba
(42): 17-22.
Hairiyah K. 2005. Sistem agroforestri di indonesia . Bahan Ajar Agroforestri 1.
http://www. Icraf.cgiar.org/sea.
Hairiyah K dan Noordwijk MV. 2006. Intensifikasi pertanian, Biodiversitas
Tanah dan Fungsi Agroekosistem. Agrivita Vol 28 (3) 185-197.
Harashima K, Takeuchi K, Tsunekawa A dan Arifin HS. 2002. Estimation of
material flor due to human activities in three rural hamlets in The
Cianjur-Cisokan Watershed, West Java, Indonesia. Procceding JSPSDGHE Core University Program in Applied Biosciences. 109 - 118.pp
Haryati UA, Abdurrahman dan C Setiani. 1993. alternatif teknik konservasi
tanah untuk lahan kering di DAS Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah
Lokakarya Sistem Usahatani Konservasi di Lahan Kering. 7-8
Desember 1992. P3HTA
Irawan B, Pranadji T. 2002. Pemberdayaan lahan kering untuk pengembangan
agribisnis berkelanjutan. FAE. Vol. 20 (2): 60 76.
Kartasubrata J. 1992. Agroforestry. Manual Kehutanan Indonesia. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Kartono G. 1998. Keragaman zona agroekologi lahan kering podsolik merah
kuning di Sulawesi Tenggara.
Seminar Nasional Penerapan
Mikrobiologi pada Pertanian Lahan Kering. Kerjasama Univ Haluoleo
Kendari dan USAID. 14 hal.
Kaswanto, Arifin HS, Munandar A. 2007. Pengelolaan elemen air dalam lanskap
perdesaan berkelanjutan di DAS Citarum Tengah, Kabupaten Cianjur
Jawa Barat. Kompilasi Abstrak Agroforestri di Indonesia. Hal 46.

103

Keeney DR. 1990. Sustainable agriculture : Definitions and Concepts. Journal


of Production Agriculture. (3) : 281 285.
King KFS and Chandler 1978. The Wasled Land. The program of work of The
International Council for Research in Agroforestry (ICRAF). Rome.
Kiyotaka S, Suharso H, Arifin HS. 2001. Altitudinal changes of thermal
condition in the watershed of west java. proceedings of the 1st seminar
. toward harmonization between development and environmental
conservation in biological production. The University of Tokyo,
JAPAN.
Kobayashi M, Okuba S, Parikesit dan Takeuchi K. 2004. Cropping system and
their affecting factors in the agricultural landscape of the upper Citarum
Watershed, West Java, Indonesia. Kompilasi Abstrak Agroforestri di
Indonesia. Hal. 50.
Kurniawan I. 2004. Fungsi agronomi agroforestri pinus (Pinus mercusii) dan
kedelai (Glycine max L) dengan pemangkasan pohon dan pemberian
bahan organik. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya.
Kreating BA, Carberry PS. 1993. Resources capture and use intercropping solar
radiation. Field Crops Research. (34): 273-301.
Kusmana C. 1998. Evaluasi aspeks financial dan aspek fisik lingkungan
pemanfaatan lahan kering dengan pola agroforestri di Desa Palasari,
Kecamatan Parang Kuda, Kabupaten Sukabumi. Tesis Fakultas Pasca
Sarjana IPB. Bogor (tidak dipublikasi).
Kusmaryono, Y. 1999. Tanggap fotosintesis terhadap lingkungan. Pelatihan
dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang
agrometeorologi. Bogor.
Lai CK. 1995. Design of agroforestry system: some examples and lesson from
Bangladesh. Ecology Management (45) : 193-198.
Liu F, Liu J dan Ma J. 1999. Theorical study framework on sustainable agriculture
engineering. Http://WWW@Yahoo.com/sustainable. Desember 2005].
Msyahidryan. 2011. Aplikasi pemupukan.
http://www. Aplikasi pemupukan.com/pemupukan pada tanaman . htm.
(September 2011)
Mercado A, Duque-Pinon C, Palada M dan Reyes M. 2011. Vegetable
agroforestry system: Understanding vegetable-tree interaction as a key

104

to successful vegetable farming in the uplands of Southeast Asia. In D.


Catacutan et al. (editors) Vegetable Agroforestry System in the
Philippines. The World Association of Soil and Water Conservation,
and The World Agroforestry Center. In-press.
Mugnisjah WQ, Suwarto, Solihin AS. 2001. Agribisnis terpadu bersistem LEISA
di lahan basah. Bul Agron. (28) (2) : 49-61.
Nair P. 1989. Introduction for Agroforestry. ICRAF. Nairobi
Oldeman L R. 1975. Contribution of control research. Research institute for
agriculture Bogor (Indonesia). Publ by : Central Research Institute for
Agriculture Bogor (Indonesia).
Partohardjono S, Zaini Z dan Anwarhan H. 2003. Tantangan dan harapan
produksi pangan di wilayah lahan kering untuk memenuhi pangan
nasional. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Lahan Kering
Untuk Penyediaan Pangan Abad 21. PERHEPI. Jakarta.
Prasad R and J f Power. 1997. Soil fertility management for sustainable
agriculture. Lewis Publisher. New York.
Purwanto R. 2003. Praktek agroforestri di Samigalih Kulon Progo Daerah
Istimewa Jogjakarta. International of Center Research in Agroforestry.
Southeast Asia Region. Bogor Indonesia. 67p.
Raintree, JB. 1983. Strategies for enhancing the adoptability of agroforestry
innovations. Agroforestry Systems, 1(3): 173-187.
Rajati T. 2006. Optimalisasi pemanfaatan lahan kehutanan dalam rangka
peningkatan kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat desa sekitar hutan. Studi kasus di Kab Sumedang. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Retnaningtyas P. 2003. Fungsi agronomi sistem agroforestri pinus dan kedelai
melalui pemangkasan pohon dan pemupukan nitrogen. Skripsi. Fakultas
Pertanian Univ. Brawijaya Malang.
Reijntjes C, Haverkort B, Bayer W. 2004. Pertanian masa depan. Pengantar
untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit
Kanisius Yogyakarta.
Rositter D. 1994. Land Evaluation. SCAS Teaching Series T94-1. College of
Agriculture and Life Science. Cornell University.

105

Rosario DAD, Empiq LT dan Wallace DH. 1986. Variety, environment and their
interaction. Vegetable production. University of the Philippines at Los
Banos. College of Agriculture. 28-33.
Rozari MB. 1997. Bahan Training. Training Dosen Perguruan Tinggi Negeri
Bidang Agrometeorologi-Biotrop Bogor. IPB Bogor.
Rubatzky VE dan Yamaguchi M. 1998. Sayuran dunia 2 : Prinsip, produksi dan
gizi. Edisi 2. Bandung. Institut Teknologi Bandung.
Sitompul SM. 2003. Fungsi agronomi dan ekologi sistem agroforestri pinus
dengan kedelai dan jagung sebagai area resapan air (RAA):
transformasi energi radiasi dan persipitasi. Laporan Hibah Penelitian.
Program Due Like. PS Agronomi. Fak Pertanian. Univ Brawijaya.
Sabarnurdin S. 2005. Peranan strategis agroforestri dalam pengelolaan alam
secara lestari dan terpadu. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri.
Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta.
Sabarnurdin MS, Suryanto P, Aryono WB. 2004. Dinamika pohon mahoni
(Swietenia macrophylla King) pada agroforestri pola lorong (alley
cropping). Ilmu Pertanian Vol. 11 No.1 63-67.
Santosa E, Sugiyama N, Hikosaka S, Takano T dan Kubota N. 2005.
Intercropping practice in cacao, rubber and timber plantations in West
Java, Indonesia. Japan Agri. 49 (1) : 21 29.
Santosa E, Sugiyama N, Nakata M, Kawabata S. 2005. Profitability of vanilla
intercropping in pine forests in West Java, Indonesia. Japanese Journal
of Tropical Agriculture. 49 (3) : 207 - 214
Saroinsong F, Harashima K, Arifin HS, Gandasasmita K, Sakamoto K. 2007.
Practical application of a land resources information system for
agricultural landscape planning. Landscape and Urban Planning 79
(2007) 38-52
Satari G, Hilman N, Lubis A, Akman H. 1991. Pengembangan pertanian lahan
kering suatu urun pendapat. Prosiding Simposium Nasional : Malang
28-31 Agustus 1991. Puslit Unibraw, P2LK/BIMAS. hal. 54-58
Selari M, Hardjowigeno S, Sudarsono, Rustandi E, Sudrajat.
2007.
Pengembangan kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman sayuran
dataran tinggi berbasis wortel pada tanah berbahan induk volkan di
dataran tinggi. Jurnal Forum Pasca Sarjana Vol. 30 No. 4.

106

Shrotriya G C, Kaoke S U and Wankhade K G. 2002. Agriculture productivity


improvment system approach. IFFCO New Delhi. Fert News : 46 (11)
pp 53-55 dan 57-58
Sinukaban N. 2003. Masalah dan konsepsi pengembangan daerah aliran sungai
(das) terpadu. makalah seminar sehari perkembangan penelitian,
harmonisasi antara pembangunan dan konservasi lingkungan dalam
kegiatan biologis 15 April 2003 di IPB Bogor.
Sitompul SM. 2003. Fungsi agronomi dan ekologi sistem agroforestri pinus
dengan kedelai dan jagung sebagai area resapan air (RAA):
transformasi energi radiasi dan persipitasi. Laporan Hibah Penelitian.
Program Due Like. PS Agronomi. Fak Pertanian. Univ Brawijaya.
Sitorus S. 2001. Pengembangan sumberdaya lahan berkelanjutan. Jurusan Tanah
Fak. Pertanian IPB.
Smith H. 1982. Light quality. photoperception and plant strategy. Ann. Rev.
Plant Physiol. (33) : 481-518.
Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Universitas Indonesia Press.Jakarta
Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, T Handayani, A Jupri, T Takano. 2004.
Adaptability of soybean to shade stress : identification of
morphophysiological responses. Procceding JSPS-DGHE Core
University Program in Applied Biosciences. 131-137.
Squire GR. 1990. The physology of tropical crop production. CAB International.
Suhara O. 1991. Studi perencanaan penggunaan lahan pertanian terpadu dan
kaitannya dengan upaya pengelolaan DAS (Studi DAS Citarum Hulu
Jawa Barat). Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor (Tidak
Dipublikasikan).
Suharsono H. 1982. Beberapa aspek iklim di bogor. Skripsi. Jurusan
Meteorologi. Departemen Ilmu Pengetahuan Alam. Fakultas Pertanian
IPB.
Sukmana S, M Syam dan A Adimihardja. 1990. Petunjuk teknis usahatani
konservasi daerah aliran sungai. P3HTA. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta.
Suryanto P, Tohari dan MS Sabarnurdin. 2005. Dinamika sistem berbagi
sumberdaya (resources sharing) dalam agroforestri : Dasar
pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. Ilmu Pertanian.12 (2):
165 178.

107

Swallow B and S Ochola. 2006. Understanding the links between agriculture and
health. agroforestry, nutrition and health. Focus 13 Brief 11 of 16
Syarief R. 1997. Kawasan pedesaan ditinjau dari suatu sistem tata air daerah
aliran sungai (DAS). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota ITB
Bandung.
Thakur PS, V Dult, S Sehgal dan R Kumar. 2005. Diversivication and improving
productivity of mountain farming system through agroforestry practice
in Northwestern India. Conference Proceeding AFTA 2005. 1-7
Titi AE. 2003. Soil tillage in agroecosystems.CRC Press. Boca Raton London
New York Washington DC.
Utami SM, B Verbist, M V Noordwijk, K Hairiyah dan MA Sardjono. 2003.
Prospek penelitian dan pengembangan agroforestri di indonesia.
ICRAF Bogor.
Wahid 1984. Model sistem usaha tani lahan kering. Simposium Nasional dan
Konggres VI PERAGI. Jakarta 25-27 Juni 1996. hal 171-184
Wibowo S, Sitorus SRP, Sutjahjo SH, Marimin. 2007. Analisis kebrlanjutan
usahatani sayuran dataran tinggi di kawasan agrofolitan Pacet, Cianjur.
Jurnal Penyuluhan Pertanian Vol. 2 No.1
Widaningsih DS. 1991.
Peranan sistem pertanaman agroforestri dalam
penggunaan lahan kering pertanian yang berlereng curam di DAS
Cimanuk Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (Tidak
Dipublikasikan).
Wigunadi H, Chozin MA, Arifin HS. 2008. Fungsi ekologis dan produksi
tanaman dalam sistem pekarangan di Daerah Aliran Sungai Citarum
Tengah, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Kompilasi abstrak dan
ringkasan hasil penelitian Studi ekologi lanskap pada pengelolaan
sumberdaya hayati yang berkelanjutan di perdesaan Indonesia. Sekolah
Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor.
Wijayanto N. 2002. Agroforestry (secara umum). Makalah pada TOT
Entrepreneurship in Agroforestri Education. Bogor, 19 24 Nopember
2002.
Workman S W, S C Allen, S Jose. 2007. Alley cropping combinations for the
southeastern USA. U.S. Department of Agriculture, Cooperative
Extension Service, University of Florida, IFAS, Florida A & M.

108

Yaherwandi. 2005. Keanekaragaman hymenoptera parasitoid pada beberapa tipe


lanskap pertanian di DAS Cianjur. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana
IPB.

109

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN

PETANI
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A10
A11
A12
A13
A14
A15
A16
A17
A18
A19
A20
A21
A22
A23
A24
A25
A26
A27
A28
A29
A30

PENDAPATAN
(Rp. 000,-)
24684.78
12410.58
13638.00
13638.00
13638.00
17047.50
20457.00
13638.00
12274.20
10228.50
10228.50
20457.00
20457.00
13638.00
13638.00
20457.00
15001.80
13638.00
10228.50
10228.50
6819.00
13638.00
10228.50
6819.00
6819.00
6819.00
13638.00
13638.00
20457.00
6819.00

PEMELIHARAAN TANAMAN
(PUPUK DAN PESTISIDA)
(Rp. 000,-)
954.66
818.28
954.66
954.66
1022.85
954.66
954.66
954.66
818.28
681.90
954.66
886.47
954.66
1022.85
954.66
1022.85
1022.85
954.66
954.66
1022.85
1022.85
1022.85
954.66
954.66
954.66
681.90
954.66
1022.85
1022.85
681.90

TENAGA
KERJA
(HOK)
954.66
818.28
954.66
954.66
1022.85
954.66
954.66
954.66
818.28
681.90
954.66
886.47
954.66
1022.85
954.66
1022.85
1022.85
954.66
954.66
1022.85
1022.85
1022.85
954.66
954.66
954.66
681.90
954.66
1022.85
1022.85
681.90

LAMA
PENGELOLAAN
(Tahun)
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11
11

110

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN

PETANI
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
T9
T10
T11
T12
T13
T14
T15
T16
T17
T18
T19
T20
T21
T22
T23
T24
T25
T26
T27
T28
T29
T30

PENDAPATAN
(Rp. 000,-)
29884.40
29332.69
26091.38
5655.05
4735.53
2735.57
4689.55
4597.60
4942.42
4827.48
3563.14
23746.60
5057.36
4137.84
26505.16
25585.64
1379.28
4712.54
22873.06
10091.73
6896.40
4068.88
1632.15
2988.44
2206.85
4183.82
2896.49
2298.80
2298.80
8459.58

PEMELIHARAAN TANAMAN
(PUPUK DAN PESTISIDA)
(Rp. 000,-)
13792.80
4597.60
6896.40
4597.60
0.00
0.00
0.00
919.52
919.52
1149.40
0.00
1149.40
1149.40
0.00
9195.20
11494.00
0.00
2298.80
13792.80
11494.00
4597.60
4597.60
919.52
1149.40
1839.04
5747.00
2298.80
1379.28
1839.04
1839.04

TENAGA
KERJA
(HOK)
275.86
206.89
160.92
206.89
137.93
160.92
137.93
137.93
137.93
137.93
137.93
160.92
160.92
160.92
160.92
275.86
0.00
183.90
275.86
287.35
333.33
241.37
91.95
137.93
183.90
160.92
137.93
91.95
91.95
264.36

LAMA
PENGELOLAAN
(Tahun)
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
8
11
11
10
11
8
8
5
5

111

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN

PETANI
H2
H3
H4
H5
H6
H7
H8
H9
H10
H11
H12
H13
H14
H15
H16
H17
H18
H19
H20
H21
H22
H23
H24
H25
H26
H27
H28
H29
H30

PENDAPATAN
(Rp. 000,-)
1608.75
2598.75
8043.75
4269.38
1980.00
1113.75
1856.25
8204.63
680.63
482.63
111.38
1287.00
1113.75
1423.13
396.00
383.63
383.63
470.25
2017.13
1113.75
2598.75
3155.63
3712.50
2747.25
1670.63
507.38
1621.13
3749.63
3192.75

PEMELIHARAAN TANAMAN
(PUPUK DAN PESTISIDA)
(Rp. 000,-)
61.88
371.25
804.38
618.75
247.50
0.00
247.50
3712.50
123.75
0.00
371.25
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
309.38
0.00
371.25
0.00
371.25
371.25
371.25
928.13
371.25
556.88
371.25
371.25

TENAGA
KERJA
(HOK)
24.75
86.63
61.88
74.25
24.75
0.00
49.50
136.13
24.75
0.00
37.13
0.00
24.75
12.38
12.38
12.38
12.38
49.50
24.75
49.50
24.75
49.50
24.75
61.88
61.88
74.25
24.75
24.75
24.75

LAMA
PENGELOLAAN
(Tahun)
4
4
10
15
12
10
10
5
5
5
2
2
4
4
5
5
10
15
15
7
7
6
6
1
1
4
12
12
10

112

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN


ZONA HULU
PETANI
KA
KE
KSB
KEK
A1
1.00
0.92
1.00
1.81
A2
0.86
1.11
1.00
0.91
A3
1.00
0.87
1.00
1.00
A4
1.00
0.73
1.00
1.00
A5
1.07
1.21
1.00
1.00
A6
1.00
1.01
1.00
1.25
A7
1.00
1.20
1.00
1.50
A8
1.00
1.02
1.00
1.00
A9
0.86
0.87
1.00
0.90
A10
0.71
0.87
1.00
0.75
A11
1.00
0.87
1.00
0.75
A12
0.93
0.87
1.00
1.50
A13
1.00
1.20
1.00
1.50
A14
1.07
0.87
1.00
1.00
A15
1.00
1.16
1.00
1.00
A16
1.07
1.21
1.00
1.50
A17
1.07
1.21
1.00
1.10
A18
1.00
0.95
1.00
1.00
A19
1.00
0.83
1.00
0.75
A20
1.07
0.99
1.00
0.75
A21
1.07
1.40
1.00
0.50
A22
1.07
1.21
1.00
1.00
A23
1.00
1.30
1.00
0.75
A24
1.00
1.16
1.00
0.50
A25
1.00
1.01
1.00
0.50
A26
0.71
0.95
1.00
0.50
A27
1.00
0.92
1.00
1.00
A28
1.07
1.06
1.00
1.00
A29
1.07
0.87
1.00
1.50
A30
0.71
0.75
1.00
0.50

113

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN


ZONA TENGAH
PETANI
KA
KE
KSB
KEK
T1
1.71
6.33
1.00
7.50
T2
1.29
6.21
1.00
2.50
T3
1.00
5.52
1.00
3.75
T4
1.29
1.20
1.00
2.50
T5
0.86
1.00
1.00
0.00
T6
1.00
0.58
1.00
0.00
T7
0.86
0.99
1.00
0.00
T8
0.86
0.97
1.00
0.50
T9
0.86
1.05
1.00
0.50
T10
0.86
1.02
1.00
0.63
T11
0.86
0.75
1.00
0.00
T12
1.00
5.03
1.00
0.63
T13
1.00
1.07
1.00
0.63
T14
1.00
0.88
1.00
0.00
T15
1.00
5.61
1.00
5.00
T16
1.71
5.42
1.00
6.25
T17
0.00
0.29
1.00
0.00
T18
1.14
1.00
1.00
1.25
T19
1.71
4.84
1.00
7.50
T20
1.79
2.14
1.00
6.25
T21
2.07
1.46
1.00
2.50
T22
1.50
0.86
2.00
2.50
T23
0.57
0.35
2.75
0.50
T24
0.86
0.63
2.75
0.63
T25
1.14
0.47
2.50
1.00
T26
1.00
0.89
2.75
3.13
T27
0.86
0.61
2.00
1.25
T28
0.57
0.49
2.00
0.75
T29
0.57
0.49
1.25
1.00
T30
1.64
1.79
1.25
1.00

114

ANALSIS KEBERLANJUTAN SISTEM AGROFORESTRI DI SUB DAS CISOKAN


ZONA HILIR
PETANI
KA
KE
KSB
KEK
H1
2.50
2.82
0.91
2.73
H2
1.00
0.98
0.73
0.18
H3
3.50
1.58
0.73
1.09
H4
2.50
4.89
1.82
2.36
H5
3.00
2.59
2.73
1.82
H6
1.00
1.20
2.18
0.73
H7
0.00
0.68
1.82
0.00
H8
2.00
1.13
1.82
0.73
H9
5.50
4.98
0.91
10.91
H10
1.00
0.41
0.91
0.36
H11
0.00
0.29
0.91
0.00
H12
1.50
0.07
0.36
1.09
H13
0.00
0.78
0.36
0.00
H14
1.00
0.68
0.73
0.00
H15
0.50
0.86
0.73
0.00
H16
0.50
0.24
0.91
0.00
H17
0.50
0.23
0.91
0.00
H18
0.50
0.23
1.82
0.00
H19
2.00
0.29
2.73
0.91
H20
1.00
1.23
2.73
0.00
H21
2.00
0.68
1.27
1.09
H22
1.00
1.58
1.27
0.00
H23
2.00
1.92
1.09
1.09
H24
1.00
2.26
1.09
1.09
H25
2.50
1.67
0.18
1.09
H26
2.50
1.02
0.18
2.73
H27
3.00
0.31
0.73
1.09
H28
1.00
0.98
2.18
1.64
H29
1.00
2.28
2.18
1.09
H30
1.00
1.94
1.82
1.09

115

Analisis Keberlanjutan Menurut Zona


NO.

ZONA
1
2
3

Hulu
Tengah
Hilir

KA
2.80
3.00
2.60

KEBERLANJUTAN
KE
KSB
3.00
3.00
3.00
3.60
3.00
3.00

KEK
3.27
3.07
3.00

ST
12.07
12.67
11.60

You might also like