Professional Documents
Culture Documents
Intoksikasi Opioid
Intoksikasi Opioid
ABSTRACT
All opioid effects can readily be reversed with an opioid antagonist such
as naloxone or naltrexone. These competitive antagonists bind to the opioid
receptors with higher affinity than agonists but do not activate the receptors. This
displaces the agonist, attenuating and/or reversing the agonist effects. However,
the elimination half-life of naloxone can be shorter than that of the opioid itself,
so repeat dosing or continuous infusion may be required, or a longer acting
antagonist such as nalmefene may be used.
Opioid adalah obat kimia yang bekerja dengan mengikat reseptor opioid ,
yang ditemukan terutama dalam sistem saraf pusat dan saluran pencernaan.
Reseptor ini dalam sistem organ mempunyai efek yang menguntungkan dan juga
memiliki efek samping.
Semua efek opioid dengan mudah dapat diatasi dengan antagonis opioid
seperti nalokson atau naltrexone. Antagonis ini kompetitif mengikat ke reseptor
opioid dengan afinitas yang lebih tinggi daripada agonis tetapi tidak mengaktifkan
reseptor.
PENDAHULUAN
Sumber opium, zat zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber
dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih
dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam dokumen dokumen kuno
2
Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa sampai pada
abad ke 18 belum ada perhatian akan kecenderungan adiksi opium.1
Dasar dari farmakologi modern telah diletakkan oleh Sertner, seorang ahli
farmasi Jerman, yang mengisolasi suatu zat alkali murni yang aktif dari opium
pada tahun 1803. Hal ini peristiwa penting dimana telah dimungkinkan untuk
menstandarisasi potensi suatu produk alamiah. Setelah melakukan pengujian pada
dirinya sendiri dan beberapa kawannya, Sertner mengajukan morfin untuk
senyawa ini, yang berasal dari bahasa Yunani ; Morpheus yang berarti mimpi dari
Dewa (God of dreams).2
OPIOID
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptornya. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
paska pembedahan.4
Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya
dengan yang ada di sepanjang jaringan perifer. Reseptor reseptor ini normalnya
distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins)
diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen
dokumen yunani nama nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar
agonisnya.5
Ada empat jenis utama reseptor opioid yaitu mu (), delta (), kappa () dan
sigma (). Keempat jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan
3
dengan protein G, dan memiliki sub tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2,
dan kappa3. Karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda
sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis
reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat
memiliki efek farmakologik yang beragam.2
4
Obat Reseptor
mu () delta () kappa ()
Peptida Opioid
Enkefalin Agonis Agonis
(endorfin) Agonis Agonis
Dinorfin Agonis Lemah
Agonis
Kodein Agonis Lemah Agonis Lemah
Morfin Agonis Agonis Lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis Antagonis
Buprenorfin Agonis Parsial
Pentazosin Antagonis/Antagonis Agonis
Parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis
5
Tabel 2. Klasifikasi Obat Opioid dan Antagonis Opioid (dikutip dari daftar
pustaka no.1)
Tabel 3 : Analgesik Opioid yang Umum (dikutip dari daftar pustaka no.1)
2.1.1 FARMAKODINAMIK
a. Narkosis
6
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euphoria pada pasien yang
sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama
pada orang normal sering kali menimbulkan disforia berupa perasaan
kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa
kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis, aktivitas motorik
berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa
berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi
nafas dan miosis. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan
dosis terapi (15- 20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai
mimpi, nafas lambat dan miosis.3
b. Analgesia
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor
opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang
berperan pada transmisi dan modulasi nyeri.
c. Eksitasi
Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul.
d. Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor dan
menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada
segmen otonom inti saraf okulomotor. Pada intoksikasi morfin, pin point
pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi berlebihan hanya timbul pada
stadium akhir intoksikasi morfin, yaitu jika sudah ada asfiksia. Morfin
dalam dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan
tekanan intraokuler, baik pada orang normal maupun pada pasien
glaukoma.
e. Depresi nafas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan bersinambung
berdasarkan efek langsung terhadap pusat nafas dibatang otak. Pada dosis
kecil morfin sudah menimbulkan depresi nafas tanpa menyebabkan tidur
atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi
nafas 3-4 kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu
disebabkan oleh depresi nafas.
Faktor yang meningkatkan resiko depresi pada ventilasi7 :
7
- High opioid dose
- Low lipid Solubility of opioid
- Concomitant administration of parenteral opioids or other
sedatives
- Lack of opioid tolerance
- Advance age
- Increase intrathoracic pressure
f. Mual muntah
Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic
trigger zone di area postrema medulla oblongata, bukan oleh stimulasi
pusat emetic sendiri. Dengan dosis terapi (15 mg morfin sub kutan) pada
pasien yang berbaring, jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien
berobat jalan mengalami mual dan 15 % pasien mengalami muntah.3
2.1.1.2 SALURAN CERNA
a. Lambung
Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya
morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum
meninggi dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pylorus
berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat.
b. Usus halus
Mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat
pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi
kontraksi propulsive, meninggikan tonus dan spasme periodic usus halus.
c. Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar,
meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya
penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya
persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga pasien tidak merasakan
kebutuhan untuk defekasi.
d. Duktus koledokus
Dosis terapi morfin, kodein, dihidromorfinon dan metildihidromorfinon
menimbulkan peninggian tekanan dalam duktus koledokus; dan efek ini
menetap selama 2 jam atau lebih.
8
2.1.1.3 SISTEM KARDIOVASKULAR
2.1.1.5 KULIT
2.1.1.6 METABOLISME
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun,
vasodilatasi perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat
penglepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Setelah pemberian
morfin volume urin berkurang, disebabkan merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan penglepasan ADH.3
9
2.1.2 FARMAKOKINETIK
Morfin tidak menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorbsi melalui kulit
luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini
absorbs morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorbsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgetik yang timbul
setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid
opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan,
absorbsi berbagai alkaloid opioid berbeda beda. Morfin dapat melintasi sawar
uri dan mempengaruhi janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian
kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonjugasi
ditemukan dalam empedu. Sebagian sangat kecil dikeluarkan bersama cairan
lambung.
2.1.3 INDIKASI
a. Infark Miokard
b. Neoplasma
c. Kolik renal atau kolik empedu
d. Oklusio akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner
e. Perikarditis akut, pleuritis dan pneumothoraks spontan; dan
f. Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pascabedah
10
Penghambatan refleks batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Akan
tetapi dewasa ini penggunaan anlagesik opioid untuk mengatasi batuk telah
banyak ditinggalkan karena telah banyak obat-obat sintetik lain yang efektif
dan tidak menimbulkan adiksi.
Pasien akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi
nafas lambat, 2 4 kali/menit, dan pernafasan mungkin berupa Cheyne Stokes.
Pasien sianotik, kulit muka merah tidak merata dan agak kebiruan. Tekanan darah
yang mula mula baik akan menurun sampai terjadi syok bila nafas memburuk,
dan ini dapat diperbaiki dengan memberikan oksigen. Pupil sangat kecil (pin
11
point pupils), kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin
sangat berkurang karena terjadi pengelepasan ADH dan turunnya tekanan darah.
Suhu badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula
dalam keadaan relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan nafas. Pada bayi
mungkin timbul konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi nafas.
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek
eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara
teratur.
12
dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum timbul
adiksi.8
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa
derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat
antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk
menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan
euphoria morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan
sinergisme analgetik antara opioid dan obat obat sejenis aspirin.3
Kodein tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCl atau
fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15 atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang
ditimbulkan oleh kodein oral kira kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan
setelah pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg odein per oral memberikan
efek analgetik sama besar dengan efek 600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini
bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10
mg untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4 mg. untuk
menimbulkan emesis digunakan 5 -10 mg apomorfin subkutan.
13
Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin, secara kimia adalah etil-1-metil-
4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
2.2.1 FARMAKODINAMIK
- Analgesia
Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek analgetik
meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak
dalam 2 jam. Efek analgetik yang timbul lebih cepat setelah pemberian sub kutan
atau IM yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa
kerjanya 3 5 jam. Efektivitas meperidin 75 100 mg parenteral kurang lebih
sama dengan morfin 10 mg. Pada dosis ekui analgetik, sedasi yang terlihat sama
dengan sedasi pada morfin. Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita
nyeri atau cemas, akan menimbulkan euphoria. Berbeda dengan morfin, dosis
toksik meperidin kadang kadang menimbulkan perangsangan SSP misalnya
tremor, kedutan otot dan konvulsi. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh
metabolitnya yaitu normeperidin.
- Saluran nafas
14
dipengaruhi. Sebaliknya, morfin terutama menimbulkan penurunan frekuensi
nafas. Perubahan frekuensi nafas lebih mudah dilihat daripada perubahan tidal
volume, sehingga efek depresi oleh meperidin tidak disadari.
- Saluran Cerna
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah
daripada morfin. Kontraksi propulsive dan non propulsive saluran cerna
berkurang, tetapi dapat timbul spasme dengan tiba-tiba serta peninggian tonus
usus. Seperti morfin, kodein dan metadon, meperidin menimbulkan spasme
saluran empedu. Meperidin lebih lemah daripada morfin, tetapi lebih kuat
15
daripada kodein dalam menimbulkan spasme saluran empedu. Meperidin tidak
menimbulkan konstipasi sekuat morfin, sehingga meperidin tidak berguna untuk
pengobatan simtomatik diare.
- Otot Bronkus
- Ureter
Setelah pemberian meperidin dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini
disebabkan oleh berkurangnya produksi urin akibat dilepaskannya ADH dan
berkurangnya laju filtrasi glomerulus.
- Uterus
Meperidin sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas uterus
hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh meperidin; dan pada uterus yang
hiperaktif akibat oksitosin, meperidin meningkatkan tonus, menambah frekuensi
dan intensitas kontraksi uterus. Jika meperidin diberikan sebelum pemberian
oksitosin, obat ini tidak mengantagonis efek oksitosik.
2.2.2 FARMAKOKINETIK
16
manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konjugasi . N-demetilasi menghasilkan
normeperidin, yang kemudian dihidrolisis menjadi asam normeperidinat dan
seterusnya asam ini dinkonjugasi pula. Masa paruh meperidin + 3 jam.3
2.2.3 INDIKASI
- Analgesia
Efek samping meperidin dan derivate fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,
berkeringat, euphoria, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan
penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
17
refleks hiperaktif, dan konvulsi. Bila terjadi gejala perangsangan terhadap
meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opioid lain (misal morfin) untuk
mengatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan benzodiazepine bila diperlukan.
Gejala putus obat pada penghentian tiba tiba penggunaan meperidin timbul
lebih cepat tapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian
morfin dengan gangguan sistem otonom yang lebih ringan.8
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul 50
mg/ml. meperidin lazim diberikan per oral atau IM. Pemberian meperidin IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian meperidin subkutan
menyebabkan iritasi lokal dan indurasi; pemberian yang sering dapat
menyebabkan fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50 100 mg meperidin
parenteral dapat menghilangkan nyeri sedang atau hebat. Efektifitas meperidin
oral kurang, dan diperlukan dosis yang relative lebih besar dari dosis parenteral.
Difenoksilat. Derivate meperidin ini berefek konstipasi jelas pada manusia. Obat
ini dikenal sebagai antidiare. Tersedia dalam bentuk tablet dan sirop yang
mengandung 2,5 mg difenoksilat dan 25 g atropine sulfat tiap tablet atau tiap 5
mL sirop. Dosis yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada orang dewasa 20
mg per hari dalam dosis terbagi.
18
dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh
ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Efek samping yang sering dijumpai
ialah kolik abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali
terjadi. Sebagian besar obat dieksresi bersama tinja. Kemungkinan
disalahgunakan obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak menimbulkan
euphoria seperti morfin dan kelarutannya rendah. Loperamid tersedia dalam
bentuk tablet 2 mg dan sirup 1 mg/5 mL dan digunakan dengan dosis 4 8
mg/hari.
19
dan sedikit menurunkan tekanan darah. Akan tetapi karena obat obat ini tidak
melepaskan histamine dan pengaruh langsung depresi miokard minimal, maka
dosis tinggi fentanil dan sulfentanil sering digunakan sebagai anestetik pada
operasi kardiovaskular, atau untuk operasi pada pasien dengan fungsi jantung
yang buruk.
2.3.1 FARMAKODINAMIK
Efek analgetik 7,5 10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam
dosis yang tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat morfin. Dosis
ekuianalgetik menimbulkan depresi nafas yang sama kuat seperti morfin dan
dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon
berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotermia dan penglepasan ADH.
- Otot polos
Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada
pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
20
2.3.2 FARMAKOKINETIK
Metadon diabsorbsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma
setelah 30 menit pemberian oral, kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon
cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya
sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai
dalam 1 2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan
intensitas dan lama analgesia. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan
pirolin.
2.3.3 INDIKASI
- Analgesia
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat
dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira kira sama dengan morfin,
tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
Dosis ekuianalgetik metadon kira kira sama dengan morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik
mulai timbul 10 20 menit setelah pemberian parenteral atau 30 60 menit
setelah pemberian oral metadon. Masa kerja metadon dosis tunggal kira kira
sama dengan masa kerja morfin. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin
sehingga tidak dianjurkan sebagai analgesic pada persalinan. Metadon juga
digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain (misalnya heroin) untuk
mencegah atau mengatasi gejala gejala putus obat yang ditimbulkan oleh
metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi
berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lambat.
- Antitusif
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5 2 mg per oral sesuai
dengan 15 20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon
jauh lebih besar daripada kodein. Oleh karenanya dewasa ini penggunaannya
sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah ditinggalkan.
21
2.3.4 EFEK SAMPING
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik,
sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap
konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada konstipasi. Toleransi ini lebih
lambat lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Metadon dapat diberikan secara oral maupun maupun suntikan, tetapi suntikan
subkutan menimbulkan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan
10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL.
Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5 15 mg,
tergantung dari hebatnya nyeri dan respons pasien, sedangkan dosis parenteral
ialah 2,5 10 mg.
2.4 PROPOKSIFEN
2.4.1 FARMAKODINAMIK
22
mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia
yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen
menimbulkan perasaan panas dan iritasi ditempat suntikan. Seperti kodein
kombinasi propoksifen sengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
daripada jika masing masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek
antitusif.
2.4.2 FARMAKOKINETIK
2.4.3 INDIKASI
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, yang
tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama
asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis
propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa
asetosal.
2.4.5 ADIKSI
23
propoksifen yang besar (300 600 mg) menimbulkan efek subyektif yang
menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif
pada pemberian subkutan, sehingga tidak digunakan secara parenteral.8
3. ANTAGONIS OPIOID
3.1 FARMAKODINAMIK
(1) Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi.
(2) Mengantagonis efek analgetik placebo
(3) Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupunktur
Efek subyektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis,
sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10 15 mg nalorfin atau
10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri paska
bedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor .
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena
kerjanya pada reseptor . Berbeda dengan morfin, depresi napas ini tidak
bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan
memperberat depresi nafas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi
napas akibat morfin dosis besar.
24
Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor diantagonis oleh nalokson dosis kecil
(0,4 0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1 2
menit setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat agonis
opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada
dosis besar, nalokson juga menyebbakan kebalikan efek dari efek psikomimetik
dan disforia akibat agonis antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung
selama 1 4 jam, tergantung dari dosisnya.
3.2 FARMAKOKINETIK
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir
seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan
parenteral. Obat ini dimetabolisme dihati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya kira kira 1 jam dengan masa kerja 1 4 jam. Naltrekson efektif setelah
pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1 -2 jam,
waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Naltrekson
lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi opioid pemberian 100 mg secara
25
oral dapat menghambat efek euphoria yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV
selama 48 jam.
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi
hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari nalorfin.
Penghentian riba tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan
gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan
sebab :
3.4 INDIKASI
Antagonis opioid ini dindikasikan untuk mengatasi depresi nafas akibat over dosis
opioid.pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini
nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis
dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.
26
SK yang dapat diulang tiap 3 5 menit bila respons belum tampak. Tergantung
dari beratnya depresi nafas dosis ini dapat diulang tiap 30 90 menit. 1
KESIMPULAN
Opioid sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia
untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
Opioid mempunyai potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial,
atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka
senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam.
Intoksikasi opioid menyebabkan sindrom yang ditandai dengan koma, bradypnea
dan miosis. Depresi pusat pernafasan adalah penyebab kematian prinsip yang
terkait dengan intoksikasi ini. Nalokson, inhibitor kompetitif terhadap reseptor
mu-opioid, merupakan obat penawar untuk intoksikasi opioid.
DAFTAR PUSTAKA
27
7. Stoelting, Robert K, Simon C.H. Handbook of Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practise, Second Edition. USA : LWW; 2005;
151-154.
8. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Opioid . Accessed on November
3, 2012.
9. Increase in Fatal Poisonings Involving Opioid Analgesics in the United
States. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/709744 .
Accessed on November 3, 2012.
10. Martin WR. "Opioid antagonists". Pharmacol. Rev. 19 (4): 463521.
PMID 4867058. Available at
http://pharmrev.aspetjournals.org/cgi/pmidlookup?
view=long&pmid=4867058 . Accessed on November 3, 2012.
28