You are on page 1of 26

REFERAT

DERMATOSIS ERITROSKUAMA

Disusun Oleh:
REZKY DWIPUTRA FELANY
1102013248

Pembimbing :
dr. Yeni, Sp.KK., M.Kes



DISUSUN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK SMF KULIT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD. ARJAWINANGUN
16 OKTOBER 2017 18 NOVEMBER 2017

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatosis Eritroskuamosa

Dermatosis eritroskuamosa merupakan penyakit kulit yang ditandai terutama oleh


adanya eritema dan skuama. Eritema merupakan kelainan pada kulit berupa kemerahan
yang disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah kapiler yang bersifat reversibel.
Skuama merupakan lapisan dari stratum korneum yang terlepas dari kulit. Maka,
kelainan kulit yang terutama terdapat pada dermatosis eritroskuamosa adalah berupa
kemerahan dan sisik/terkelupasnya kulit. Dermatosis eritroskuamosa terdiri dari
beberapa penyakit kulit yang digolongkan di dalamnya, antara lain: psoriasis,
parapsoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, dan eritroderma.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PARAPSORIASIS

Definisi
Parapsoriasis merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya, pada
umumnya tanpa keluhan, kelainan kulit ditandai dengan adanya eritema dan skuama,
pada umumnya tanpa keluhan dan berkembang secara perlahan-lahan dan kronik.
Tahun 1902, Brock pertama kali menggambarkan 3 tanda utama yaitu Pitiriasis
lichenoides (akut dan kronik), Parapsoriasis plak yang kecil dan Parapsoriasis plak
yang luas (parapsoriasis dan plak).
Epidemiologi
Diagnosis parapsoriasis jarang dibuat dikarenakan criteria diagnosis masih
controversial. Di Eropa lebih banyak dibuat diagnosis parapsoriasis daripada di
Amerika Serikat.

2

Klasifikasi
Pada umumnya parapsoriasis dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
Parapsoriasis gutata
Parapsoriasis variegate.
Parapsoriasis en plaque

Gambaran klinis
1. Parapsoriasis Gutata
Bentuk ini terdapat pada dewasa muda terutama pada pria dan relative paling
sering ditemukan. Ruam terdiri atas papul miliar serta lentikular, ertiema dan
skuama dapat hemoragik, kadang-kadang berkonfluensi, dan umumnya
simetrik. Penyakit ini sembuh spontan tanpa meninggalkan sikatriks. Tempat
predileksi pada badan, lengan atas dan paha, tidak tedapat pada kulit kepala,
muka dan tangan.
Bentuk ini biasanya kronik, tetapi dapat akut dan disebut parapsoriasis gutata
akut ( penyakit Mucha-Habermann). Gambaran klinisnya mirip varisela,
kecuali ruam yang telah disebutkan dapat ditemukan vesikel, papulonekrotik
dan krusta. Jika sembuh meninggalkan sikatriks seperti variola, karena itu
dinamakan pula psoriasis varioliformis akuta atau pitiriasis likenoides et
varioliformis akuta atau pitiriasis likenoides et varioliformis.
2. ParapsoriasisVariegata
Kelainan ini terdapat pada badan, bahu dan tungkai, bentuknya seperti kulit
zebra; terdiri atas skuama dan eritema yang brgaris-garis.
3. Parapsoriasis en Plaque
Insidens penyakit ini pada orang kulit berwarna rendah. Umumnya mulai pada
usia pertengahan, dapat terus-menerus atau mengalami remisis, lebih sering
pada pria daripada wanita. Tempat predileksi pada badan dan ektremitas.
Kelainan kulit berupa bercak eritematosa, permukaan datar, bukat atau lonjong

3

dengan diameter 2,5 cm dengan sedikit skuama yang berwarna merah jambu,
coklat atau agak kuning. Bentuk ini sering berkembang menjadi mikosis
fungoides.

Histopatologi
- Parapsoriasis gutata
Terdapat sedikit infiltrat limfohistiositik di sekitar pembuluh darah superficial,
hyperplasia epidermal yang ringan dan sedikit spongiosis setempat.
- Parapsoriasis variegate
Epidermis tampak meinipis disertai keratosis setempat-setempat. Pada dermis
terdapat infiltrat menyerupai pita terutama terdiri atas limfosit.
- Parapsoriasis en plaque
Gambarannya tak khas, mirip dermatitis kronik.

Diagnosis banding
Sebagai diagnosis banding adalah ptiriasis rosea dan psoriasis. Psoriasis berbeda
dengan parapsoriasis, karena pada psoriasis skuamanya tebal, kasar, berlapis-lapis, dan
terdapat fenomena tetesan lilin dan Auspitz. Selain itu gambaran
histopatologiknya berbeda.

Ruam pada pitiriasis rosea juga terdiri atas eritema dan skuama, tetapi perjalanannya
tidak menahun seperti pada parapsoriasis. Perbedaan lain adalah pada pitiriasis
rosea susunan ruam sejajar dengan lipatan kulit dan kosta. Pitiriasis roseaditandai
dengan suatu lesi yang berukuran 2-10 cm. Biasanya pitiriasis rosea berawalsebagai
suatu bercak tunggal dengan ukuran yang lebih besar, yang disebut herald patchatau
mother patch. Beberapa hari kemudian akan muncul bercak lainnya yang lebih
kecil.Bercak sekunder ini paling banyak ditemukan di batang tubuh, terutama di
sepanjangtulang belakang dan penyebabnya tidak diketahui.

4

Penatalaksanaan
Penyinaran dengan lampu ultraviolet merupakan terapi yang paling sering
mendatangkan banyak manfaat dan dapat membersihkan sementara ataupun menetap,
atau bahkan hanya meninggalkan scar yang minimal. Penyakit ini juga dapat membaik
dengan pemberian kortikosteroid topikal seperti yang digunakan pada
pengobatan psoriasis. Meskipun demikian hasilnya bersifat sementara dan sering
kambuh. Obat yang digunakan diantaranya : kalsiferol, preparat ter, obat antimalaria,
derivat sulfon, obat sitostatik, dan vitamin E.
Adapun pengobatan parapsoriasis gutata akut dengan eritromisin (40 mg/kg berat
badan) dengan hasil baik juga dengan tetrasiklin. Keduanya mempunyai efek
menghambat kemotaksis neutrofil.

Prognosis
Parapsoriasis secara khusus memiliki perjalanan penyakit yang kronik dan lama,
kecuali parapsoriasis en plaque yang berpotensi untuk menjadi mikosis
fungoides, yang berpotensi lebih fatal.

5

PITIRIASIS ROSEA

Definisi
Pitiriasis rosea adalah salah satu penyakit kulit yang digambarkan oleh Camille
Melchior Gilbert (tahun 1860) sebagai penyakit kulit papulosquamous (Robert A
Allen, MD), yakni penyakit kulit dengan tanda bercak bersisik halus, berbentuk
oval dan berwarna kemerahan. Sementara Richard Lichenstein, MD, menyebutkan
bahwa Pitiriasis rosea sudah dikenal sejak lebih dari 2 abad yang lalu. Pitiriasis rosea
bersifat self limited atau sembuh sendiri dalam 3-8 minggu.

Etiologi
Penyebab pitiriasis rosea masih belum pasti, tetapi banyak gambaran klinis
dan epidemiologi yang menunjukkan bahwa agen penginfeksi bisa terlibat. Epidemik
sejati belum dilaporkan, dan kemungkinan bahwa pengalaman klinis terbaru dengan
penyakit ini dapat meningkatkan kecenderungan untuk mendiagnosa kasus-kasus
selanjutnya bisa mengarah pada kesan yang keliru bahwa penyakit ini menular.
Akan tetapi, bukti epidemiologi yang dilaporkan untuk keterlibatan infeksi
(meskipun rendah) mencakup perjangkitan yang jarang dalam keluarga atau rumah
tangga, dengan fluktuasi musiman

6

dan dari tahun ke tahun, bukti statistik untuk pengelompokan dalam ruang dan waktu,
dan kejadian yang lebih tinggi diantara para ahli dermatologi dibanding para juru bedah
telinga, hidung dan tenggorokan dan ahli-dermatologi pra-spesialisasi.
Riwayat alami penyakit, yakni lesi utama yang bisa terdapat pada tempat
inokulasi, erupsi sekunder menular setelah interval tertentu dan tidak seringnya
serangan kedua, menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan banyak penyakit yang
penyebabnya telah dipastikan infeksi. Gejala-gejala konstitusional ringan yang sesekali
telah dilaporkan dan bisa mendukung keterlibatan infeksi pada penyakit ini, tetapi tidak
sering ditemukan pada 108 pasien yang mengalami pitiriasis rosea dibanding dengan
kontrol yang jumlahnya sama. Perburukan kondisi yang menyertai terapi steroid oral
ditemukan pada beberapa kasus dan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea telah
dilaporkan setelah transplantasi sumsum tulang, walaupun beberapa efek etiologi
bisa terlibat pada situasi seperti ini.
Ada beberapa laporan yang mengkaitkan erupsi-erupsi mirip pitiriasis rosea
dengan obat. Ruam-ruam yang disebabkan oleh arsenik, bismuth, emas dan
metopromazin tampaknya lebih besar kemungkinannya memiliki reaksi lichenoid
atipikal. Obat-obat lain yang terlibat mencakup antara lain metronidazol,
barbiturat, klonidin, captopril dan ketotifen. Pada beberapa laporan, kemiripan erupsi
dengan pityriasis rosea tidak terlalu dekat, dan pada beberapa laporan lainnya
kemiripan yang kebetulan ini bisa menjelaskan hubungan tersebut. Sehingga, meskipun
beberapa erupsi obat bisa menyerupai kondisi ini, belum ada bukti meyakinkan bahwa
pityriasis rosea tipikal bisa disebabkan oleh obat.
Sementara ahli yang lain mengaitkan dengan berbagai faktor yang diduga berhubungan
dengan timbulnya Pitiriasis rosea, diantaranya:
Faktor cuaca hal ini karena Pitiriasis rosea lebih sering ditemukan pada musim
semi dan musim gugur.

7

Faktor penggunaan obat-obat tertentu seperti bismuth, barbiturat, captopril,
merkuri, methoxypromazine, metronidazole, D-penicillamine, isotretinoin,
tripelennamine hydrochloride, ketotifen, dan salvarsan.
Diduga berhubungan dengan penyakit kulit lainnya (dermatitis atopi,
seborrheic dermatitis, acne vulgaris) dikarenakan Pitiriasis rosea dijumpai
pada penderita penyakit dengan dermatitis atopik, dermatitis seboroik, acne
vulgaris dan ketombe.

Gejala klinis
Tahap awal Pitiriasis rosea ditandai dengan lesi (ruam) tunggal (soliter) berbentuk oval,
berwarna pink dan di bagian tepi bersisik halus. Diameter sekitar 1-3 cm. Kadang
bentuknya tidak beraturan dengan variasi ukuran 2-10 cm. Tanda awal ini disebut
herald patch yang berlangsung beberapa hari hingga beberapa minggu. Rasa gatal
ringan dialami oleh sekitar 75 % penderita dan 25 % mengeluh gatal berat.

Tahap berikutnya timbul sekitar 1-2 minggu (rata-rata 4-10 hari) setelah lesi awal,
ditandai dengan kumpulan lesi (ruam) yang berbentuk seperti pohon cemara terbalik
(Christmas tree pattern). Tempat tersering (predileksi) adalah badan, lengan atas dan
paha atas. Pada tahap ini Pitiriasis rosea berlangsung selama beberapa minggu.
Selanjutnya akan sembuh sendiri dalam 3-8 minggu.
Selain bentuk ruam kemerahan bersisik halus, variasi bentuk yang tidak khas (atipik)
dapat dijumpai pada sebagian penderita Pitiriasis rosea, terutama pada anak-anak,
berupa urtikaria, vesikel dan papul.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan penemuan klinis. Pemeriksaan darah rutin
tidak dianjurkan karena biasanya memberikan hasil yang normal.

8

Diagnosis banding
- Tinea korporis
Gambaran klinis mirip yaitu berupa eritema dan skuama di pinggir serta
bentuknya anular. Perbedaanny yaitu pada pitiriasis rosea rasa gatal tidak
begitu berat jika dibandingkan dengan tinea korporis, dan skuama pada tinea
korporis lebih kasar. Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan KOH.

Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan bersifat simptomatis, untuk gatal dapat diberikan sedativa,
sedangkan sebagai obat topical dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi
mentol 1/2 1 %.

Edukasi
Walaupun Pitiriasis rosea bersifat self limited ( sembuh sendiri ), bukan tidak mungkin
penderita merasa risau dan sangat terganggu. Untuk itu diperlukan penjelasan kepada
penderita tentang penyakit yang dideritanya, antara lain:
Menjelaskan kepada penderita dan keluarganya bahwa Pitiriasis rosea akan
sembuh dalam waktu lama.
Lesi kedua rata-rata berlangsung 2 minggu, kemudian menetap selama
sekitar 2 minggu, selanjutnya berangsur hilang sekitar 2 minggu. Pada
beberapa kasus dilaporkan bahwa Pitiriasis rosea berlangsung hingga 3-4
bulan.

9

ERITRODERMA

Eritroderma dianggap sinonim dengan Dermatitis Eksfoliativa, meskipun


sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kedua istilah tersebut
(keduanya boleh digunakan) dipakai untuk menggambarkan keadaan dimana sebagian
besar kulit berwarna merah, meradang dan berskuama.

Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya eritem universalis (90-
100%), biasanya disertai skuama. Bila ertiemanya antara 50-90% dinamakan
pre-eritroderma. Pada definisi tersebut mutlak harus ada ialah eritema, sedangkan
skuama tidak selalu terdapat, misalnya pada eritroderma karena aleri obat sistemik,
pada mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul
skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jela karena
bercampur dengan hiperpigmentasi.

Patofisiologi
Pada dermatitis eksfoliatif terjadi pelepasan stratum korneum (lapisan kulit yang paling
luar) yang mencolok yang menyebabkan kebocoran kapiler, hipoproteinemia
dan keseimbangan nitrogen yang negatif. Karena dilatasi pembuluh darah kulit yang

10

luas, sejumlah besar panas akan hilang jadi dermatitis eksfoliativa memberikan efek
yang nyata pada keseluruh tubuh.

Pada eritroderma terjadi eritema dan skuama (pelepasan lapisan tanduk dari
permukaan kulit sel-sel dalam lapisan basal kulit membagi diri terlalu cepat dan sel-sel
yang baru terbentuk bergerak lebih cepat ke permukaan kulit sehingga tampak sebagai
sisik/plak jaringan epidermis.
Mekanisme terjadinya alergi obat seperti terjadi secara non-imunologik dan
imunologik(alergi). Tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada
mekanisme imunoligik, alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang
sudah tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah
awalnya berperan sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat/metaboliknya
yang berupa hapten ini harus berkojugasi dahulu dengan protein misalnya jaringan,
serum/protein dari membrane sel untuk membentuk antigen obat dengan berat
molekul yang tinggi daoat berfungsi
langsung sebagai antigen lengkap.

Manifestasi klinik
Eritroderma akibat alergi obat, biasanya secara sistemik. Biasanya timbul
secara akut dalam waktu 10 hari. Lesi awal berupa eritema menyeluruh,
sedangkan skuama baru muncul saat penyembuhan.
Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit yang tersering adalah psoriasis
dan dermatitis seboroik pada bayi (Penyakit Leiner).
Eritroderma karena psoriasis
Ditemukan eritema yang tidak merata. Pada tempat predileksi psoriasis dapat
ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan agak meninngi daripada
sekitarnya dengan skuama yang lebih kebal. Dapat ditemukan pitting nail.
Penyakit Leiner (eritroderma deskuamativum)Usia pasien antara 4-20
minggu keadaan umum baik biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit berupa

11

eritama seluruh tubuh disertai skuama kasar. Eritroderma akibat penyakit
sistemik, termasuk keganasan. Dapat ditemukanadanya penyakit pada alat
dalam, infeksi dalam dan infeksi fokal.

Pengobatan

1. Hentikan semua obat yang mempunyai potensi menyebabkan terjadinya


penyakit ini.
2. Rawat pasien di ruangan yang hangat.
3. Perhatikan kemungkinan terjadinya masalah medis sekunder (misalnya
dehidrasi,
4. gagal jantung, dan infeksi).
5. Biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis pasti.
6. Berikan steroid sistemik jangka pendek (bila pada permulaan sudah dapat
didiagnosis
7. adanya psoriasis, maka mulailah mengganti dengan obat-obat anti-psoriasis.
8. Mulailah pengobatan yang diperlukan untuk penyakit yang
melatarbelakanginya.

Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang


disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4 x 10 mg.
Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa minggu.

Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis
mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak
perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-
lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat
tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan
etretinat. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga
beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I.

12

Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang baik.
Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya terdiri atas
kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg
sehari.

Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi emolien
untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema, misalnya dengan salep
lanolin 10%.

Prognosis

Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara sistemik,
prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan
golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya,
pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, penderita akan
mengalami ketergantungan kortikosteroid.

DERMATITIS SEBOROIK

Dermatitis seboroik merupakan penyakit inflamasi kronik yang mengenai daerah


kepala dan badan di mana terdapat glandula sebasea. Prevalensi dermatitis seboroik
sebanyak 1% - 5% populasi. Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita.
Penyakit ini dapat mengenai bayi sampai dengan orang dewasa. Umumnya pada bayi
terjadi pada usia 3 bulan sedangkan pada dewasa pada usia 30-60 tahun.

Dermatitis seboroik dan Pityriasis capitis (cradle cap) sering terjadi pada masa kanak-
kanak. Berdasarkan hasil suatu survey terhadap 1116 anak-anak yang mencakupsemua
umur didapatkan prevalensi dermatitis seboroik adalah 10% pada anak laki-laki dan
9,5% pada anak perempuan. Prevalensi tertinggi pada anak usia tiga bulan, semakin

13

bertambah umur anaknya prevalensinya semakin berkurang. Sebagian besar anak-anak
ini menderita dermatitis seboroik ringan

Secara internasional frekuensinya sebanyak 3-5%. Ketombe yang merupakan


bentuk ringan dari dermatitis ini lebih umum dan mengenai 15 - 20% populasi.

Definisi

Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh
berambut, terutama pada kulit kepala, alis mata dan muka, kronik dan superfisial,
didasari oleh faktor konstitusi.

Etiologi

Etiologi dermatitis seboroik masih belum jelas, meskipun demikian berbagai macam
faktor seperti faktor hormonal, infeksi jamur, kekurangan nutrisi, faktor
neurogenic diduga berhubungan dengan kondisi ini. Menurut Djuanda (1999) faktor
predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik.

Keterlibatan faktor hormonal dapat menjelaskan kenapa kondisi ini dapat


mengenai bayi, menghilang secara spontan dan kemudian muncul kembali
setelah pubertas. Pada bayi dijumpai kadar hormon transplansenta meninggi beberapa
bulan setelah lahir dan penyakitnya akan membaik bila kadar hormon ini menurun.

Faktor lain yang berperan adalah terjadinya dermatitis seboroik berkaitan dengan
proliferasi spesies Malassezia yang ditemukan di kulit sebagai flora normal. Ragi genus
ini dominan dan ditemukan pada daerah seboroik tubuh yang mengandung banyak lipid
sebasea (misalnya kepala, tubuh, punggung). Selden (2005) menyatakan
bahwa Malassezia tidak menyebabkan dermatitis seboroik tetapi merupakan suatu
kofaktor yang berkaitan dengan depresi sel T, meningkatkan kadar sebum dan aktivasi
komplemen.

14

Dermatitis seboroik juga dicurigai berhubungan dengan kekurangan nutrisi tetapi
belum ada yang menyatakan alasan kenapa hal ini bisa terjadi. Pada penderita
gangguan sistem syaraf pusat (Parkinson, cranial nerve palsy, major truncal paralysis)
juga cenderung berkembang dermatitis seboroik luas dan sukar disembuhkan. Menurut
Johnson (2000) terjadinya dermatitis seboroik pada penderita tersebut sebagai akibat
peningkatan timbunan sebum yang disebabkan kurang pergerakan. Faktor genetik
dan lingkungan dapat merupakan predisposisi pada populasi tertentu, seperti
penyakit komorbid, untuk berkembangnya dermatitis seboroik. Meskipun dermatitis
seboroik hanya terdapat pada 3% populasi, tetapi insidensi pada penderita AIDS dapat
mencapai 85%. Mekanisme pasti infeksi virus AIDS memacu onset dermatitis
seboroik (ataupun penyakit inflamasi kronik pada kulit lainnya) belum
diketahui.

Berbagai macam pengobatan dapat menginduksi dermatitis seboroik. Obat-obat


tersebut adalah auranofin, aurothioglucose, buspirone, chlorpromazine,
cimetidin, ethionamide, griseofulvin, haloperidol, interferon alfa, lithium,
methoxsalen, methyldopa, phenothiazines, psoralens, stanozolol, thiothixene, dan
trioxsalen.

Klasifikasi dan Manifestasi Klinik

Dermatitis seboroik umumnya berpengaruh pada daerah kulit yang mengandung


kelenjar sebasea dalam frekuensi tinggi dan aktif. Distribusinya simetris dan biasanya
melibatkan daerah berambut pada kepala meliputi kulit kepala, alis mata, kumis dan
jenggot. Adapun lokasi lainnya bisa terdapat pada dahi, lipatan nasolabial, kanalis
auditoris external dan daerah belakang telinga. Sedangkan pada tubuh dermatitis
seboroik dapat mengenai daerah presternal dan lipatan-lipatan kulit seperti aksila,
pusar, inguinal, infra mamae, dan anogenital.

Menurut usia dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Pada remaja dan dewasa

15

Dermatitis seboroik pada remaja dan dewasa dimulai sebagai skuama
berminyak ringan pada kulit kepala dengan eritema dan skuama pada lipatan
nasolabial atau pada belakang telinga. Skuama muncul pada kulit yang
berminyak di daerah dengan peningkatan kelenjar sebasea (misalnya
aurikula, jenggot, alis mata, tubuh (lipatan dan daerah infra mamae), kadang-
kadang bagian sentral wajah dapat terlibat. Dua tipe dermatitis seboroik dapat
ditemukan di dada yaitu tipe petaloid (lebih umum ) dan tipe pityriasiform
(jarang). Bentuknya awalnya kecil, papul-papul follikular dan
perifollikular coklat kemerah-merahan dengan skuama berminyak. Papul
tersebut menjadi patch yang menyerupai bentuk daun bunga atau seperti medali
(medallion seborrheic dermatitis). Tipe pityriasiform umumnya berbentuk
makula dan patch yang menyerupai pityriasis rosea. Patch-patch tersebut jarang
menjadi erupsi.

Pada masa remaja dan dewasa manifestasi kliniknya biasanya sebagai scalp
scaling (ketombe) atau eritema ringan pada lipatan nasolabial pada saat stres
atau kekurangan tidur.

2. Pada bayi
Pada bayi, dermatitis seboroik dengan skuama yang tebal, berminyak pada
vertex kulit kepala (cradle cap). Kondisi ini tidak menyebabkan gatal pada bayi
sebagaimana pada anak-anak atau dewasa. Pada umumnya tidak terdapat
dermatitis akut (dengan dicirikan oleh oozing dan weeping). Skuama dapat
bervariasi warnanya, putih atau kuning. Gejala klinik pada bayi dan
berkembang pada minggu ke tiga atau ke empat setelah kelahiran. Dermatitis
dapat menjadi general. Lipatan-lipatan dapat sering terlibat disertai dengan
eksudat seperti keju yang bermanifestasi sebagai diaper dermatitis yang
dapat menjadi general. Dermatitis seboroik general pada bayi dan anak-anak
tidak umum terjadi, dan biasanya berhubungan dengan defisiensi system imun.

16

Anak dengan defisiensi sistem imun yang menderita dermatitis seboroik
general sering disertai dengan diare dan failure to thrive (Leiners disese).
Sehingga apabila bayi menunjukkan gejala tersebut harus dievaluasi sistem
imunnya.

Menurut daerah lesinya, dermatitis seboroik dibagi tiga:

1. Seboroik kepala
Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna
kekuning- kuningan sehingga rambut saling melengket; kadang-kadang
dijumpai krusta yang disebut Pitriasis Oleosa (Pityriasis steatoides). Kadang-
kadang skuamanya kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri
disebut Pitiriasis sika (ketombe). Pasien mengeluhkan gatal di kulit kepala
disertai dengan ketombe. Pasien berpikir bahwa gejala-gejala itu timbul dari
kulit kepala yang kering kemudian pasien menurunkan frekuensi pemakaian
shampo, sehingga menyebabkan akumulasi lebih lanjut.Inflamasi akhirnya
terjadi dan kemudian gejala makin memburuk. Bisa pula jenis seboroik ini
menyebabkan rambut rontok, sehingga terjadi alopesia dan rasa gatal. Perluasan
bisa sampai ke belakang telinga. Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi,
disebut Korona seboroik. Dermatitis seboroik yang terjadi pada kepala bayi
disebut Cradle cap.
Selain kulit kepala terasa gatal, pasien dapat mengeluhkan juga
sensasi terbakar pada wajah yang terkena. Dermatitis seboroik bisa menjadi
nyata pada orang dengan kumis atau jenggot, dan menghilang ketika kumis dan
jenggotnya dihilangkan. Jika dibiarkan tidak diterapi akan menjadi tebal,
kuning dan berminyak, kadang- kadang dapat terjadi infeksi bacterial.

17

2. Seboroik muka
Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabialis, dagu, dan lain-lain terdapat
macula eritem, yang diatasnya dijumpai skuama berminyak berwarna
kekuning-kuningan. Bila sampai palpebra, bisa terjadi blefaritis. Sering
dijumpai pada wanita. Bisa didapati di daerah berambut, seperti dagu dan
di atas bibir, dapat terjadi folikulitis. Hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang
sering mencukur janggut dan kumisnya. Seboroik muka di daerah jenggot
disebut sikosis barbae.

3. Seboroik badan dan sela-sela


Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframama,
umbilicus, krural (lipatan paha, perineum). Dijumpai ruam berbentuk makula
eritema yang pada permukaannya ada skuama berminyak berwarna kekuning-
kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran
dengan penyembuhan sentral. Di daerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul
fisura sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

Diagnosis

1. Anamnesis
Bentuk yang banyak dikenal dan dikeluhkan pasien adalah
ketombe/dandruft. Walaupun demikian, masih terdapat kontroversi para ahli.
Sebagian mengganggap dandruft adalah bentuk dermatitis seboroik ringan
tetapi sebagian berpendapat lain.
2. Pemeriksaan fisik
Secara klinis kelainan ditandai dengan eritema dan skuama yang berbatas relatif
tegas. Skuama dapat kering, halus berwarna putih sampai berminyak
kekuningan, umumnya tidak disertai rasa gatal.

18

Kulit kepala tampak skuama patch ringan sampai dengan menyebar, tebal,
krusta keras. Bentuk plak jarang. Dari kulit kepala dermatitis seboroik dapat
menyebar ke kulit dahi, belakang leher dan belakang telinga. Distribusi
mengikuti daerah berambut pada kulit dan kepala seperti kulit kepala, dahi, alis
lipatan nasolabial, jenggot dan belakang telinga. Perluasan ke daerah submental
dapat terjadi.
3. Histologis
Pemeriksaan histologis pada dermatitis seboroik tidak spesifik. Dapat
ditemukan hiperkeratosis, akantosis, spongiosis fokal dan paraketatosis. Biopsi
kulit dapat efektif membedakan dermatitis seboroik dengan penyakit sejenis.
Pada dermatitis seboroik terdapat neutrofil dalam skuama krusta pada sisi ostia
follicular. AIDS berkaitan dengan dermatitis seboroik tampak sebagai
parakeratosis, nekrotik keratinosites dalam epidermis dan sel plasma dalam
dermis. Ragi kadang tampak dalam keratinosites dengan pengecatan khusus.

Diagnosis Banding
1. Psoriasis
Pada psoriasis dijumpai skuama yang lebih tebal, kasar, berlapis-lapis, putih
seperti mutiara dan tak berminyak. Selain itu ada gejala yang khusus untuk
psoriasis. Tanda lain dari psoriasi seperti pitting nail atau onycholysis distal
dapat untuk membantu membedakan.
2. Kandidosis
Pada Kandidosis terdapat eritema berwarna merah cerah berbatas tegas dengan
stelit-
satelit di sekitarnya. Pada pemeriksaan histologis kandidiasis
menghasilkan pseudohifa.
3. Otomikosis
Pada otomikosis terlihat elemen jamur pada sediaan langsung
4. Otitis Eksterna

19

Pada Otitis Eksterna terdapat tanda-tanda radang dan jika akut terdapat pus.

Penatalaksanaan
Terapi yang efektif untuk dermatitis seboroik yaitu obat anti inflamasi, keratolitik, anti
jamur dan pengobatan alternatif.
1. Obat anti inflamasi
Terapi konvensional untuk dermatitis seboroik dewasa pada kulit kepala
dengan steroid topikal atau inhibitor calcineuron. Terapi tersebut pemberiannya
dapat berupa shampo seperti fluocinolon (Synalar), solusio steroid topikal, losio
yang dioleskan pada kulit kepala atau krim pada kulit.
Kortikosteroid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh kortek
adrenal yang pembuatan bahan sintetik analognya telah berkembang dengan
pesat. Efek utama penggunaan kortikosteroid secara topikal pada epidermis dan
dermis ialah efek vasokonstriksi, efek anti inflamasi, dan efek
antimitosis. Adanya efek vasokonstriksi akan mengakibatkan berkurangnya
eritema. Adanya efek anti inflamasi yang terutama terhadap leukosit akan
efektif terhadap berbagai dermatoses yang didasari oleh proses inflamasi
seperti dermatitis. Sedangkan adanya efek antimitosis terjadi karena
kortikosteroid bersifat menghambat sintesis DNA berbagai jenis sel.
Terapi dermatitis seboroik pada dewasa umumnya menggunakan steroid
topikal satu atau dua kali sehari, sering diberikan sebagai tambahan ke shampo.
Steroid topikal potensi rendah efektif untuk terapi dermatitis seboroik pada bayi
terletak di daerah lipatan atau dewasa pada persisten recalcitrant
seborrheic dermatitis. Topikal azole dapat dikombinasikan dengan regimen
desonide (dosis tunggal perhari selama dua minggu). Akan tetapi penggunaan
kortikosteroid topical ini memiliki efek samping pada kulit dimana dapat terjadi
atrofi, teleangiectasi dandermatitis perioral.

20

Topikal inhibitor calcineurin (misalnya oinment tacrolimus (Protopix), krim
pimecrolimus (Elidel)) memiliki efek fungisidal dan anti inflamasi tanpa resiko
atropi kutaneus. Inhibittor calcineurin juga baik untuk terapi dimana wajah dan
telinga terlibat, tetapi efeknya baru bisa dilihat setelah pemberian tiap hari
selama seminggu.
2. Keratolitik
Terapi lain untuk dermatitis seboroik dengan menggunakan keratolitik.
Keratolitik yang secara luas dipakai untuk dermatitis seboroik adalah tar, asam
salisiklik dan shampo zinc pyrithion. Zinc pyrithion memliki efek keratolitik
non spesifik dan anti fungi, dapat diberikan dua atau tiga kali per minggu.
Pasien sebaiknya membiarkan rambutnya dengan shampo tersebut selama lima
menit agar shampo mencapai kulit kepala. Pasien dapat menggunakannya juga
untuk tempat lain yang terkena seperti wajah.
3. Anti fungi
Sebagian besar anti jamur menyerang Malassezia yang berkaitan dengan
dermatitis seboroik. Dosis satu kali sehari gel ketokonazol (Nizoral) dalam dua
minggu, satu kali sehari regimen desonide (Desowan) dapat berguna untuk
dermatitis seboroik pada wajah. Shampo yang mengandung selenium sulfide
(Selsun) atau azole dapat dipakai Shampo tersebut dapat diberikan dua sampai
tiga kali seminggu. Ketokonazole (krim atau gel foaming) dan terbinfin
(Lamisil) oral dapat berguna. Anti jamur topical lainnya seperti ciclopirox
(Loprox) dan flukonazole (Diflucan) mempunyai efek ant inflamasi juga. Anti
jamur (selenium sulfide, pytrithion zinc, azola, sodium sulfasetamid dan topical
terbinafin) dapat menurunkan kolonisasi oleh ragi lipopilik.
4. Pengobatan Alternatif
Terapi alami menjadi semakin popular. Tea tree oil (Melaleuca oil)
merupakan minyak essensial dari seak belukar Australia. Terapi ini efektif dan
ditoleransi dengan baik jika digunakan setiap hari sebagai shampo 5%.

21

Penatalaksanaan dermatitis seboroik pada kulit kepala dan daerah jenggot

Banyak kasus dermatitis seboroik di kulit kepala dapat diterapi secara efektif dengan
memakai shampo tiap hari atau berselang satu hari dengan shampo anti ketombe yang
mengandung 2,5 persen selenium sulfide atau 1-2 persen pyrithione zinc. Alternatif
lain shampo ketoconazole dapat dipakai. Shampo sebaiknya mengenai kulit kepala dan
daerah jenggot selama 5 sampai 10 menit sebelum dibilas. Shampo moisturizing dapat
dipakai setelah itu untuk mencegah kerontokan rambut. Setelah penyakit dapat
dikendalikan frekuensi memakan shampo dapat dikurangi menjadi dua kali seminggu
atau seperlunya. Solusio topical terbinafin 1 % efektif untuk terapi dermatitis seboroik
pada kulit kepala.

Jika kulit kepala tertutupi oleh skuama difus dan tebal, skuama dapat dihilangkan
dengan memberikan minyak mineral hangat atau minyak zaitun pada kulit kepala dan
dibersihkan dengan deterjen seperti dishwashing liquid atau shampoo tar beberapa jam
setelahnya.

Skuama ekstensif dengan peradangan dapat diterapi dengan moistening kulit


kepala dan kemudian memberikan fluocinolone asetonid 0,01% dalam minyak
pada malam hari diikuti dengan shampo pada pagi harinya. Terapi ini dilakukan sampai
dengan peradangan bersih, kemudian frekuensinya diturunkan menjadi satu sampai
tiga kali seminggu. Solusio kortikostreroid, losion atau ointment dipakai satu atau dua
kali sehari di tempat fluocinolon acetonid dan dihentikan pada saat gatal dan
eritema hilang. Pemberian kortikosteroid dapat diulang satu sampai tiga
minggu sampai gatal dan eritemanya hilang dan kemudian dipakai lagi jika
diperlukan. Pemeliharaan dengan shampo anti ketombe dapat secara adekuat. Pasien
dianjurkan agar memakai steroid topikal poten dengan hemat sebab pemakaian yang
berlebihan dapat menyebabkan atrofi dan telangiectasi pada kulit.

Bayi sering terkena dermatitis seboroik, disebut cradle cap. Dapat mengenai kulit
kepala, wajah dan intertrigo. Daerah yang terkena dapat luas tetapi kelainan ini dapat

22

sembuh secara spontan 6-12 bulan dan tidak kambuh sampai dengan pubertas.
Terapinya dapat dengan memakai shampo antiketombe. Jika skuama mencakup daerah
luas pada kepala, skuama dapat dilembutkan dengan minyak yang disikan ke sikat
rambut bayi kemudian dibilas.

Penatalaksanaan pada wajah

Daerah pada wajah yang terkena dapat sering di cuci dengan shampo yang efektif untuk
seborik. Alternatif lain dapat dipakai kream ketokonazole 2%, diberikan 1-2 kali.
Hidrokortison 1% sering kali diberikan 1-2 kali dan akan menghasilkan proses resolusi
eritema dan gatal. Losion Sodium sulfacetamide 10% juga efektif sebagai agen topical
untuk dermatitis seboroik.

Penatalaksaan pada tubuh

Dapat diterapi dengan zinc atau shampo yang mengandung tar batu bara atau dengan
dicuci dengan sabun yang mengandung zinc. Sebagai tambahan dapat dipakai krim
ketokonazole 2 % dan atau krim kortikosteroid, losion atau solusion yang dipakai 1- 2
kali sehari. Benzoil peroksida dapat dipakai untuk dermatitis seboroik pada tubuh.
Pasien harus membilas secara menyeluruh setelah pemakaian zat tersebut.

Penatalaksanaan dermatitis seboroik berat

Pada pasien dengan dermatitis seboroik berat yang tidak responsif dengan terapi topikal
yang biasa dapat di terapi dengan isotretionoin. Isotretinoin dapat menginduksi
pengecilan glandula sebasea sampai dengan 90% dengan mengurangi produksi sebum.
Isotretinoin juga dapat dipakai sebagai anti inflamasi. Terapi dengan isotretinoin 0,1
0,3 mg/ kg BB/ hari dapat memperbaiki dermatitis seboroiknya. Kemudian
dosis pemeliharaan 5-10 mg/ hari efektif untuk beberapa tahun. Akan tetapi
isotretinoin memiliki efek samping serius, yaitu teratogenik, hiperlipidemia,
neutropenia, anemia danhepatitis. Efek samping mukokutaneus mencakup khelitis,

23

xerosis, konjungtivitis, urethritis dan kehilangan rambut. Penggunaan jangka panjang
berhubungan dengan perkembangan diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH).

Pendekatan lain pada pasien yang sulit dengan mencoba berbagai macam
kombinasi yang berbeda dari obat-obat yang biasa dipakai: shampo anti ketombe, anti
jamur dan steroid topikal. Jika ini gagal dapat dipakai steroid topikal poten jangka
pendek. Pilihan terapinya mencakup steroid kelas III non fluorinate seperti
mometasone furoate (Elocon) atau menggunakan steroid ekstra poten kelas I atau
steroid topikal kelas II seperti clobetasol propionate (Temovate) atau fluocinonude
(Lidex). Steroid topikal kelas III harus dipakai lebih dulu, tetapi jika masih tidak
resposif dapat menggunakan kelas I.Obat tersebut dapat diberikan satu sampai dua kali
sehari, bahkan untuk wajah, tetapi harus dihentikan setelah dua minggu sebab
terjadinya peningkatan efek samping. Jika pasien respon sebelum dua minggu, obat
harus di stop sesegera mungkin.

Sebagian besar kortikosteroid tersedia sebagai solusio, losion, kream dan


ointment. Penggunaan vehikulum ini tergantung pasien dan lokasi terapi. Losion dan
kream sering digunakan pada wajah dan tubuh sedangkan solusio dan ounment sering
digunakan pada kulit kepala. Umumnya pemakaian solusio kulit kepala lebih dipilih
pada orang kulit putih dan asia, untuk orang kulit hitam mungkin terlalu kering,
ointment merupakan pilihan yang lebih baik.

Prognosis

Pada sebagian kasus yang mempunyai faktor konstitusi penyakit ini agak sukar
disembuhkan.

Edukasi

Penderita harus diberitahu bahwa penyakit berlangsung kronik dan sering kambuh.
Harus dihindari factor pencetus seperti stress emosional, makanan berlemak
dan sebagainya.

24

DAFTAR PUSTAKA

Benny EW :Psoriasis. Penatalaksanaan; dalam Achmad Tjarta, Sri Adi Sularsito;


Fetty DK;Rahadi R. Dalam Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis dan
Dermatitis Seboroik 3-2 (FKUI, Jakarta 2003)

Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa: Psoriasis, in: Ilmu Penyakit Kulit Dan


Kelamin, Ed 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. 2006. p.189-95.

Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Book Co; 2008.
p. 22532.

Lui H.Plaque Psoriasis, Emedicine. Available


berat:http://www.emedicine.com/article/topic365.htm. September 30, 2011(Accessed:
Oktober, 28,2015)

Nickolof, B.J : Pathogenesis and immune intervention strategies for psoriasis.


Molecular Med.Today 512-513 (1998)

25

You might also like