You are on page 1of 19

TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMIAH

Harmonisasi Paradoks: Pariwisata Kerakyatan


Sebagai Akselerator Pengentasan Kemiskinan di Bali

PUTU DEVI ROSALINA


1491061017

PROGRAM STUDI KAJIAN PARIWISATA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

0
Harmonisasi Paradoks: Pariwisata Kerakyatan
Sebagai Akselerator Pengentasan Kemiskinan di Bali

Putu Devi Rosalina (1491061017)


Email: putudevi31@gmail.com

ABSTRACT

Tourism sometimes emerges the probability for the paradoxical paradigm. On one hand,
the increasing number of tourist arrival, unfortunately, could not distribute entirely to the whole
segmen of society and develop equally in all area in Bali. On the other hand, if tourism could be
established properly, it will result a myriad opportunity as a tool for the poverty alleviation. The
rising of community based tourism is starting to make an echo as the solution to harmonize the
contradictive impact at several sectors. The research problems in this article is to analyze how is
the development, correlation and implication of the community based tourism toward poverty
allevation in some villages, such as Jatiluwih, Pejeng, Munduk, Pemuteran and Ubud.
Data was collected through observation in qualitative, it is also supported by secondary
data from relevant institutions. Data was then analyzed by the theory of phenomenology, in order
to elaborate how this phenomenon could occur and further explain how the solution. Result of
discussion shows that community based tourism for bottom-up planning could give more
positive contribution as local community is the subject of tourism activity. This also gives impact
for the decreasing number of poverty, since the majority of local community takes advantage of
tourism as their livelihood. The most significant implication is to create sustainable tourism
because local community does not only focus on economy benefit, but also how to optimize it
while harmonizing with nature and society. As the conclusion, this article concludes that the
anxiety for the disparition of revenue and marjinalisation could be diminished through
community based tourism which could also contribute for the poverty alleviation.

Key words: community based tourism, poverty alleviation, paradox harmonization

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata telah menjadi industri terbesar pada abad ini, hampir semua negara melirik
dan mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sumber penerimaan devisa serta instrumen
penting penggerak perekonomian, begitu juga halnya dengan Indonesia, terutama Bali. Provinsi
Bali merupakan provinsi kecil yang tidak memiliki sumber daya alam sebagaimana beberapa
daerah lain di Indonesia. Luas Provinsi Bali hanya 0,29 % (5.632,86 km2) dari luas seluruh
Indonesia dengan jumlah penduduknya lebih dari 3 juta jiwa. Pemerintah Provinsi Bali
1
menetapkan tiga unggulan pembangunan yaitu: Pertanian dalam arti luas, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, serta pariwisata. Pemerintah berupaya menjadikan ketiga prioritas ini
bergerak maju secara simultan untuk menjadi lokomotif pembangunan Bali. Namun pada
kenyataannya sektor pariwisata yang bergerak paling cepat.
Secara geografis dan demografis tidak bisa dipungkiri lagi Bali memiliki keindahan
alam dan ragam budaya. Keindahan alam dan keragaman budaya yang unik dan menarik ini
kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar untuk mengunjungi Bali. Pesatnya
perkembangan pariwisata bali membuat struktur perekonomian Bali menjadi sangat spesifik dan
mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan Provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini
mengingat perekonomian Bali yang dibangun dengan mengandalkan industri Pariwisata sebagai
leading sector yang telah mampu mendorong terjadinya perubahan struktur perekonomian
Daerah Bali tersebut. Perubahan struktur ekonomi Bali juga terjadi yakni bila ditinjau dari segi
kesempatan kerja. Ternyata trend yang terjadi adalah semakin menurunnya pekerja yang bekerja
di sektor pertanian dan sebaliknya semakin banyaknya pekerja di sektor jasa.
Pemerintah Provinsi Bali memandang peranan pariwisata dalam pembangunan Bali
sangat menentukan. Peranan itu dapat dilihat dari kontribusi pariwisata terhadap Produk
domestik Regional Bruto (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja. Meningkatnya kunjungan
wisatawan ke Bali ternyata berpengaruh secara tidak langsung terhadap sumbangan sektor ini
kepada PDRB. Berdasarkan Statistik Pariwisata Bali oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali (2013),
bahwa semakin meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) pada awal pelita I
yang hanya 11.278 orang menjadi 170.505 pada akhir Pelita III, hingga saat ini sudah mencapai
3.278.598 wisman yang berkunjung ke Bali, begitu pula dengan pengeluarannya sebesar US$
147,33 per hari untuk wisman dan Rp. 494.000 untuk wisnus. Hal ini berkorelasi positif pula
terhadap peningkatan kontribusinya untuk PDRB, yakni berdasarkan Data Bali Membangun
(2013) kontribusi sektor Perdagangan, Hotel dan Restaurant dari 9,52% pada awal Pelita I (1969)
menjadi 13, 90% pada akhir Pelita III (1983) dan pada tahun 2013 sektor tersebut menyumbang
sebesar 29,89% untuk PDRB Bali.
Namun sangat disayangkan, sumbangan pesat pariwisata ternyata tidak mampu
memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakatnya. Hal ini dikarenakan adanya
disparitas distribusi pendapatan yang tidak berpihak kepada golongan menengah ke bawah. Bukti
yang paling mencolok terlihat dari distribusi pendapatan antar-golongan. Berdasarkan Badan

2
Pusat Statistik Bali bahwa presentase pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk
berpenghasilan terendah pada tahun 2013 adalah 16,32%. Hal ini menunjukkan ketimpangan
distribusi pada taraf sedang, sebab berdasarkan standar dari Bank Dunia, distribusi pendapatan
dikatakan sedang jika penduduk termiskin menerima antara 12%-17%. Meskipun demikian, jika
membandingkan dari tahun sebelumnya, Bali mengalami kemerosoton disparitas yang cukup
signifikan. Diketahui bahwa pada tahun 2011 Bali mampu memposisikan dirinya pada
ketimpangan taraf ringan, yakni berada pada 17,20%, begitu pula pada dua tahun terakhir, antara
lain 22,14% dan 20,75% pada tahun 2009 dan 2010 secara berurutan. Padahal jika bertumpu
pada pesatnya perkembangan pariwisata, sebagai penyumbang kontribusi terbesar, pada tahun
2011 pengeluaran per orang per hari untuk wisman mencapai US$ 154,87 atau peningkatan
sebesar 5,07%. Begitu pula dengan pengeluaran per orang per hari untuk wisnus sebesar Rp.
592.000 atau peningkatan sebesar 17,7%.
Secara awam, hal tersebut seakan menegaskan bahwa pariwisata justru tidak membantu
mengakselerasi pengentasan kemiskinan atau dampaknya tidak secara langsung cukup signifikan
terhadap pemerataan kesejahteraan tersebut. Jika dilihat secara global, para pakar justru menaruh
harapan besar terhadap pariwisata dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bahkan Bank Dunia
pada tahun 2000 mulai meluncurkan istilah Community-based Tourism dalam rangka mengajak
masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dan dapat menikmati hasilnya sendiri. Pariwisata
kerakyatan inilah yang hingga saat ini semakin didengungkan sebagai penyelamat paradoks
antara pariwisata dan kemiskinan, sehingga diharapkan dapat terjadi simbiosis mutualisme yang
berkelanjutan antara keduanya
Walaupun demikian, prakteknya ternyata tidak semudah teori yang diwacanakan, masih
banyak terjadi kebocoran dana dan pelanggaran aturan yang justru tidak berpihak kepada
masyarakat lokal, hingga akhirnya rantai kemiskinan kembali berputar. Walaupun Hendrayana
(2012) mengungkapkan harus diakui bahwa angka pengangguran di Bali relatif rendah (2,04
persen pada Agustus 2012) bahkan paling rendah di Indonesia. Namun justru, ketimpangan
pendapatan masih belum menyentuh taraf rendah, terlihat dari adanya Gini Rasio Provinsi Bali
sebesar 0,403 (BPS Provinsi Bali, 2013), yang mana untuk menyeimbangkan ketimpangan
tersebut, Bali harus berupaya lebih keras lagi mencapai angka Gini Rasio 0, salah satunya yang
dianggap efektif melalui pariwisata kerakyatan. Namun pemerintah seakan belum percaya
dengan kekuatan masyarakat lokal dalam mengelola pariwisata secara berkelanjutan termasuk

3
dapat mengurangi laju kemiskinan, yang padahal Woodly dalam Pitana (2006) mengungkapkan
bahwa local people participation is a prerequisite for sustainable tourism.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan untuk memahami, menganalisis dan membahas mengenai
bagaimana sebaiknya terjadi harmonisasi paradoks melalui peningkatan pembangunan pariwisata
kerakyatan, untuk mengentaskan kemiskinan. Tujuan khususnya dijabarkan sebagai berikut:
1. Mengetahui perkembangan pariwisata kerakyatan di Bali
2. Mengetahui program pengentasan kemiskinan Provinsi Bali dan kendalanya
3. Mengetahui kontribusi pariwisata dalam pengentasan kemiskinan
Sehingga, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbangan pemikiran dan
saran kepada seluruh stakeholders, seperti pemerintah, praktisi, dan masyarakat agar secara
bersinergi dapat mempertimbangkan kembali dan mengoptimalisasi pelaksanaan pariwisata
kerakyatan serta kontribusinya dapat membantu mengakselerasi pengentasan kemiskinan di Bali.

1.3 Metode
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif secara kualitatif dengan studi
dokumentasi yang dilakukan melalui pengamatan atau observasi, serta dukungan data sekunder
dari instansi terkait. Lokasi penelitian adalah di Provinsi Bali dengan mengambil sample
beberapa desa dengan pengembangan kepariwisataan berbasis Pariwisata Kerakyatan, seperti
Desa Jatiluwih, Pejeng, Munduk, Pemuteran dan Ubud. Data kemudian dianalisis dengan teori
Fenomenologi sehingga dapat menjelaskan bagaimana fenomena ini dapat terjadi dan membahas
lebih lanjut bagaimana solusi yang seharusnya diberikan.

2. PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Alternatif pengentasan kemiskinan melalui pariwisata telah lama menjadi topik hangat
yang memberikan harapan bagi kesejahteraan masyarakat dan pergerakan perekonomian yang
merata. Berikut dijabarkan beberapa jurnal terkait yang relevan mengenai isu serupa, salah
satunya dari Rukendi (2008) berjudul Menanggulangi Kemiskinan Melalui Agrowisata dan
Wisata Perdesaan yang Berkelanjutan. Pada jurnal ini, penulis menekankan bahwa kemiskinan

4
seharusnya sudah dapat ditanggulangi berpijak pada Millenium Development Goals seperti yang
sudah disepakati seluruh Negara di dunia melalui Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), termasuk
Indonesia. Fokus utama penelitiannya adalah bagaimana sinergitas pariwisata dan pertanian
dalam perkembangan dari produk pariwisata ini harus dilakukan dengan pariwisata berkelanjutan
dan paradigma pariwisata pro-poor. Kemudian diberikan contoh nyata pelaksanaan dari
agrowisata subak di Jatiluwih Tabanan dan Desa Wisata Tanjung Yogyakarta yang sangat
mencerminkan implementasi dari pariwisata kerakyatan. Penelitian ini menyarankan bahwa
pariwisata kerakyatan sangat efektif untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus menjaga
kelestarian dan keberlanjutan dari lingkungan alam, sistem sosial budaya masyarakat dan
perekonomian lokal tanpa mengeksploitasi sumber daya energi yang besar.
Penelitian selanjutnya yang juga mengenai pariwisata kerakyatan adalah dari Arieta
(2010) pada jurnalnya berjudul Community-based Tourism pada Masyarakat Pesisir:Dampaknya
terhadap Lingkungan dan Pemberdayaan Ekonomi. Fokus penelitiannya menekankan mengenai
bagaimana peranan community-based tourism yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam
menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan kemandirian komunitasnya. Digunakan metode
eksploratori dengan teknik pengumpulan data survey dan pengalaman. Penelitian ini
menawarkan hasil bahwa melalui Community-based Tourism, masyarakat dapat merancang dan
mengoperasikan dengan maksimal segala aktivitas pariwisata sesuai dengan karakteristik
wilayah melalui tolok ukur uji produktivitas dan uji pemberdayaan. Sehingga, dapat mendorong
masyarakat untuk memunculkan kekuatan mereka agar mampu berdiri sendiri dan mandiri dalam
memenuhi kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, disertai kearifan dalam mempertahankan
budaya lokal dan mengelola lingkungan
Penelitian yang lebih spesifik lagi adalah dari Zapata dkk (2011) berjudul Can
community-based Tourism Contribute to Development and Poverty Alleviation? Lessons From
Nicaragua. Penelitian ini menganalisis dan mengeksplor bagaimana keberadaan model
pariwisata kerakyatan dapat menyokong perkembangan sosial ekonomi dan mengentaskan
kemiskinan melalui studi kasus di Nicaragua, Amerika Tengah. Melalui metode analisis
kualitatif eksploratori dari 6 contoh pariwisata kerakyatan, survey dan diskusi kelompok
terfokus, peneliti menganalisa karakteristik dan efek dari mode yang berbeda. Hal tersebut
kemudian diklasifikasikan berdasarkan penilaian dampak dan analisis siklus kehidupannya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa model pariwisata kerakyatan top-down yang dibentuk organisasi

5
eksternal cenderung kurang bisa berkembang dengan signifikan. Sementara model bottom-up
yang berasal dari inisiatif masyarakat lokal justru dapat berkembang dengan lebih cepat dan
berdampak positif terhadap ekonomi lokal. Dengan demikian disarankan perlunya pembentukan
dalam mendonor dan membuat kebijakan terhadap kebijakan redistribusi yang dapat memperkuat
skill, sumber daya, kondisi mikro dan wirausaha berbasis keluarga, bersama dengan orientasi
kuat terhadap pasar domestik.

2.2 Landasan Dasar Relevansi Pariwisata dan Kemiskinan


Kontribusi pariwisata sudah tidak diragukan lagi dapat membantu mengentaskan
kemiskinan. Hal ini secara tegas diungkapkan oleh United Nations World Tourism Organization
(UNWTO) dalam Global Code of Ethics bahwa:
Recognizing the important dimension and role of tourism as a positive instrument
towards the alleviation of poverty and the improvement of the quality of life for all
people, its potential to make a contribution to economic and social development,
especially of the developing countries, and its emergence as a vital force for the
promotion of international understanding, peace and prosperity

Hal ini secara jelas terbukti bahwa pariwisata menjadi instrumen positif untuk
mengentaskan kemiskinan yang dapat berujung kepada perkembangan ekonomi dan sosial
terutama untuk Negara berkembang, serta merupakan hal yang vital untuk menjaga
keharmonisan dan kesejahteraan. Hal ini merujuk pula akan pentingnya peran pariwisata untuk
mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) terutama kepada empat poin target
utama, antara lain: MDG 1 penghapusan kemiskinan, MDG 3 persamaan Gender, MDG 7
keberlanjutan lingkungan dan MDG 8 persekutuan global untuk perkembangan. Substansi ini
kemudian dituangkan kembali ke dalam pasal yang paling terlihat jelas terhadap keberpihakan
masyarakat lokal adalah dari pasal 1, 2 dan 3, yakni Tourism’s contribution to mutual
understanding and respect between peoples and societies; Tourism as a vehicle for individual
and collective fulfilment; Tourism, a factor of sustainable development.
Berdasarkan pernyataan itu kemudian dirumuskan bagaimana langkah nyata dan
strategis berupa sifat-sifat kepariwisataan yang efektif dan optimal dalam pengentasan
kemiskinan dalam UNWTO (2004) sebagai berikut:
1. Kegiatan kepariwisataan dapat masuk hingga ke pelosok desa dan ke daerah-daerah
marjinal, tempat sebagian besar masyarakat miskin berada.

6
2. Kegiatan ekonomi dan bisnis pariwisata dapat dimasuki oleh usaha-usaha dengan skala
kecil dan menengah dengan modal terbatas dan berbagai tingkat ketrampilan.
3. Kegiatan kepariwisataan juga mampu mendorong perkembangan sektor-sektor tradisional
lain yang banyak digeluti oleh masyarakat miskin, seperti pertanian dan kerajinan.
4. Kegiatan kepariwistaan bersifat padat karya (labor-intensive), sehingga dapat membuka
kesempatan kerja yang beragam bagi masyarakat miskin baik formal maupun informal
5. Daerah-daerah marjinal, tempat bermukimnya masyarakat miskin, mungkin kaya dengan
sumber daya pariwisata, sehingga mempunyai competitive advantage dibandingkan
dengan daerah lain bila dikembangkan
Dalam mengupayakan terealisasinya sifat-sifat tersebut, diperlukan pula langkah-langkah yang
dapat diimplementasikan sehingga mewujudkan pengembangan pariwisata yang berpihak pada
masyarakat miskin oleh UNWTO (2004) berikut ini:
1. Memperkerjakan kaum miskin dalam usaha pariwisata
2. Menyediakan barang dan jasa bagi usaha pariwisata oleh kaum miskin atau oleh
perusahaan yang memperkerjakan kaum miskin
3. Menjual barang dan jasa secara langsung kepada wisatawan oleh kaum miskin (ekonomi
informal)
4. Mendirikan dan menjalankan usaha pariwisata oleh kaum miskin, seperti usaha kecil dan
menengah, atau perusahaan yang berbasiskan masyarakat lokal (ekonomi formal)
5. Pajak dan retribusi pada pendapatan atau keuntungan pariwisata diteruskan manfaatnya
kepada masyarakat miskin
6. Pemberian atau dukungan sukarela oleh usaha pariwisata dan wisatawan
7. Investasi dalam pembangunan infrastruktur yang didorong oleh pariwisata juga harus
menguntungkan masyarakat miskin dalam lingkungannya, baik secara langsung maupun
tidak langsung atau dengan mendukung sektor-sektor lainnya.
Merujuk pada yang telah dirumuskan UNWTO, Indonesia juga meratifikasinya ke
dalam Berdasarkan UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada Bab II pasal 4 dengan
tegas sudah dijelaskan bahwa tujuan kepariwisataan salah satunya adalah untuk menghapus
kemiskinan, sehingga ini dapat dijadikan acuan untuk selalu memprioritaskan penduduk miskin
dalam setiap kebijakan yang diperuntukkan untuk perkembangan pariwisata.

7
2.3 Konsep
Baskoro dalam Rukendi (2008) menjelaskan bahwa secara konseptual prinsip dasar
kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama
melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan kepariwisataan, sehingga
kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan bagi masyarakat. Pitana (2002)
menambahkan keterlibatan masyarakat lokal (community-based approach) dianggap sebagai
prasyarat tercapainya Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada hipotesis
bahwa masyarakat setempat sudah mempunyai pengetahuan di dalam mengelola sumber daya
alam yang ada di daerahnya, di mana pengetahuan ini didasarkan atas pengalaman yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam konsep pemberdayaan tersebut, Pitana (2006)
mensyaratkan bahwa harus ada tiga komponen, antara lain: Enabling setting untuk memperkuat
situasi kondisi di tingkat lokal menjadi baik; Empowering local community mengembangkan
Sumber Daya Manusia (SDM) seperti meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya sehingga
mampu memanfaatkan setting dengan baik; Socio-political support kesiapan perangkat
pendukung lainnya berupa dukungan sosial-politik yang memadai.
Terdapat dua konsep pariwisata kerakyatan yakni Top-down yang mana desa tersebut
ditunjuk dan difasilitasi pemerintah, serta bottom-up yang mana masyarakat lokal sendiri yang
berinisiatif untuk mengembangkan pariwisata di daerahnya. Secara umum, Pitana dalam Amiani
(2008) menyatakan pariwisata kerakyatan harus memenuhi ciri-ciri sebagai berikut:
1. Small scale yakni menggunakan prinsip keuangan dengan skala kecil
2. Locally owned & managed yakni mengupayakan kepemilikan masyarakat lokal termasuk
manajemennya, salah satu contohnya dengan pembuatan peraturan adat bahwa para
investor luar dilarang membeli tanah di Desa, termasuk dengan tidak mengandalkan
pemodal dari luar untuk menghindari bocoran dana
3. Spatial distribution yakni pembangunan pariwisata yang diharapkan dapat menjalankan
prinsip partisipasi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan, terutama pemerataan antar
daerah atau spasial.
4. Local culture & culture heritage yakni adanya unsur konservasi warisan budaya dengan
memberdayagunakan/mengembangkan kebudayaan masyarakat lokal melalui revitalisasi
5. Locality yakni bersifat spesifik/khusus/lokalitas sehingga muncul istilah local genius dan
masyarakat lokal mampu menyediakan jasa/kebutuhan untuk wisatawan bahkan dapat

8
memunculkan kreativitas dalam seni dan gaya hidup, sehingga wisatawan dapat
menikmati sesuatu yang berbeda
6. Quality experience yakni adanya pengalaman yang berkualitas karena produk yang
ditawarkan bersifat khusus misalnya menikmati kehidupan masyarakat desa
7. Authenticity mencerminkan keaslian yang sangat dicari wisatawan
8. Special niche – market yakni kecenderungan wisman untuk beralih dari mass tourism ke
alternative tourism
9. Participatory approach yakni keterlibatan masyarakat lokal untuk menjadi tujuan
pembangunan dalam community-based tourism development baik dalam perencanaan
maupun implementasinya, sehingga segala potensi daerah dan SDM masyarakat lokal
turut tergali dan berkembang
Menurut Narayan dkk dalam Budhi (2013) terdapat empat dimensi untuk
mendefinisikan kemiskinan, yakni dimensi material, psikologi, akses ke pelayanan prasaran serta
aset/milik. Sedangkan, definisi kemiskinan menurut Bank Dunia adalah ketidakmampuan untuk
membayar biaya hidup minimal. Kemiskinan dapat juga dilihat dari sisi relatif dan absolut.
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan
distribusi pendapatan, sedangkan kemiskinan absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan
untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan,
dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kementrian Sosial RI (2013)
mengungkapkan bahwa Indonesia menggunakan definisi kemiskinan secara absolut yang mampu
untuk membandingkan kemiskinan secara umum dan menilai efek dari kebijakan program-
program penanggulangan kemiskinan antar waktu.

2.4 Perkembangan Pariwisata Kerakyatan di Bali


Pada awalnya, istilah community-based tourism mulai populer sejak tahun 2000. Hal ini
dicetuskan oleh Bank Dunia pada bulan Juli 2000 yang mulai memikirkan bagaimana
mengentaskan kemiskinan melalui sektor pariwisata. Kemudian, ditemukan formulanya dalam
bentuk community-based tourism (CBT) yang selanjutnya diidentifikasi tiga kegiatan pariwisata
yang dapat mendukung konsep CBT, yakni adventure travel, cultural travel dan ecotourism.
Serta dengan memfokuskan akomodasi berupa small-family owned sehingga pariwisata dapat

9
meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, sekaligus memelihara dan menjaga alam,
kesenian, sosial-budaya serta gaya hidup yang menjadi daya tarik utama suatu destinasi. Berikut
diberikan elaborasi perkembangan pariwisata kerkayatan di Bali dengan mengambil contoh
kasus di Jatiluwih, Munduk, Pejeng dan Pemuteran.
Sebagai turunan dari CBT, terdapat turunan model pengembangan pariwisata berupa
Desa Wisata. Salah satu Desa Wisata yang bahkan diakui oleh UNESCO sebagai Warisan
Budaya Dunia adalah Jatiluwih. Desa yang ditetapkan menjadi Desa Wisata sejak tahun 1990 ini
menawarkan daya tarik wisata yang sangat apik dengan menampilkan terasering yang asri dan
alami, begitu pula dengan kehidupan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian
petani ikut berperan di dalamnya. Hal ini seakan siklus yang selalu dipegang oleh Jatiluwih,
yakni petani mendapatkan penghasilan dengan menggarap sawahnya sekaligus menjaga
keutuhan alam agar dapat disajikan kepada wisatawan. Bahkan, berdasarkan Dinas Pariwisata
Provinsi Bali (2013) kunjungan wisatawan ke Jatiluwih kian mengalami peningkatan.

Grafik 2.1. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Jatiluwih


150,000
97,909 101,560
100,000

36,342 44,058
50,000 29,407

0
2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2014

Menurut Rukendi (2008) tiket masuk wisatawan yang kemudian menjadi sumber
penghasilan untuk dibagi rata berdasarkan redistribusi sebagai berikut: 30% untuk Desa Dinas,
35% untuk Desa Adat Jatiluwih dan 35% untuk Desa Adat Gunung Sari. Dengan demikian,
masyarakat lokal dapat mengelola sendiri penghasilan keuangannya untuk kebutuhan desanya,
sehingga terjadi pengelolaan secara berkelanjutan. Sehingga, senada seperti yang diungkapkan
Zapata dkk (2011) bahwa top-down supportive policies might be useful to drive this potential for
growth towards more sustainable development. Secara lebih luas lagi, hal ini juga berdampak
baik kepada penurunan penduduk miskin di Kabupaten Tabanan pada tahun 2011 ke 2012

10
sebesar 13,22%. Namun sangat disayangkan, walaupun terjadi peningkatan jumlah kunjungan
wisatawan secara gradual, tidak menjamin penurunan jumlah kemiskinan juga demikian, terlihat
dari kembali meningkatnya penduduk miskin di kabupaten Tabanan sebesar 7,14%. Meskipun
tidak terlalu besar, hal ini sebaiknya perlu disikapi akan kemungkinannya terjadi kebocoran dana
atau distribusi pendapatan yang kurang merata, oleh karena itu model top-down ini hendaknya
tetap diawasi kembali keberlanjutannya oleh pemerintah.
Berbeda dengan top-down, kini beberapa wilayah mulai terlihat berkembang dengan
sendirinya dengan berinisatif mengelola keunikan alam dan budaya menjadi daya tarik wisata,
model ini yang kemudian disebut sebagai bottom-up. Beradasarkan lokakarya dengan tajuk
IPEC (Indonesia Poverty and Empowerment Conference) 2014 telah mengakui Desa yang dapat
mengembangkan daerahnya sebagai daya tarik wisata secara mandiri, antara lain: Desa Pejeng,
Desa Munduk dan Desa Pemuteran. Hal ini juga tidak terlepas dari pionir dan pengusaha yang
berani memadukan potensi lokal dan memberikan akses pariwisata. Salah satu motivasi
wisatawan untuk berpergian adalah untuk menikmati suasana yang baru dan ketiga desa ini
mampu memenuhinya dengan karakteristik mereka yang unik, Desa Munduk dengan pesona
alamnya, Desa Pemuteran dengan terumbu karangnya dan Desa Pejeng dengan situs purbakala
dan pertaniannya.
Desa Munduk terletak di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, desa ini baru
dikenal di kancah internasional dan berkembang pada tahun 1990-an yang pertama kali dirintis
oleh Nyoman Bagiarta yang juga merupakan pemilik penginapan terbaik di Desa Munduk, Puri
Lumbung Cottages. Desa yang berjarak 60 km dari Denpasar ini memadukan keasrian alamnya
yang belum terjamah perkembangan industri dan globalisasi serta dikemas dalam suguhan
ekowisata. Memasuki Desa Munduk, wisatawan akan dikelilingi perkebunan, persawahan dan
perbukitan yang justru lebih luas dibandingkan pemukiman warganya. Tidak ada gedung
pencakar langit, kebisingan kendaraan bermotor, apalagi polusi udara. Hawa sejuknya juga
menambah kenyamanan wisatawan. Atraksi wisata yang dapat dilakukan seperti trekking,
berinteraksi jarak dekat dengan masyarakat lokal, belajar memasak makanan Bali, belajar
menari, megambel dan masih banyak lagi. Desa ini berkembang dengan sendirinya seiring
dengan jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat dan kesadaran masyarakat lokal
untuk mendapatkan penghasilan sampingan selain bertani, dengan menyulap rumahnya menjadi

11
tempat menginap bagi wisatawan. Ada pula yang memanfaatkan seni kreatifitasnya berupa
cinderamata yang dapat menghasilkan nilai ekonomis.
Terdapat pula desa yang belum maksimal tersentuh gemerlap pariwisata, padahal desa
ini terletak berdampingan dengan Ubud yang notabene menjadi salah satu ikon pariwisata Bali,
inilah Desa Pejeng yang terletak di Kabupaten Gianyar. Desa yang sarat akan keunikan alam,
seni dan warisan budaya berupa seni purbakala ini semakin gencar menggenjot pariwisata dan
memperkenalkannya kepada wisatawan. Salah satu programnya adalah melalui pagelaran
bertajuk Cultural Wonders of The Royal Pejeng Performance di Puri Agung Soma Negara
Pejeng. Pertunjukan seperti ini rencananya akan rutin dilaksanakan setiap bulan purnama
dengan pementasan seni khususnya seni pertopengan sesuai dengan potensi yang dimiliki Desa
Pejeng. Desa ini cenderung mengedepankan unsur budaya dan sejarah sebagai daya tariknya
yang tentunya memerlukan partisipasi masyarakat baik dalam pemeliharaan maupun
pementasannya. Atraksi tersebut misalnya berupa cagar budaya yang menyimpan arca-arca kuno
antara lain Pura Kebo Edan, Pura Arjuna Metapa, Candi Kelebutan, Pura Ukur-Ukuran. Selain
itu juga memiliki tradisi unik, yaitu upacara perayaan atau odalan di Pura Penataran Sasih. Pada
saat upacara ditampilkan berbagai kesenian seperti Siat Sampian (Perang Janur) yang bermakna
gotong royong dan kebersamaan.
Daya tarik wisata lainnya yang tidak kalah mempesonanya adalah wisata bahari,
berdasarkan Laporan dari WWF (World Wide Fund) pada tahun 2007, sekitar 80 persen
pendapatan masyarakat Bali terkait dengan pariwisata, salah satunya adalah wisata bahari
(Asdhiana, 2013). Hal ini pula yang menjadikan Desa Pemuteran sebagai salah satu Desa yang
kini semakin tersohor. Bermula dari keprihatinan I Gusti Agung Prana terhadap kerusakan alam
yang terjadi di Pemuteran pada tahun 1990an, yakni hutan dibabat dan terumbu karang rusak
oleh aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, padahal jika bisa dikelola dengan
baik hal ini dapat menarik banyak wisatawan. Inilah yang menjadi dasar untuk mengajak
masyarakat mengelola terumbu karangnya, kegigihannya ini menuai sukses hingga saat ini
Pemuteran berhasil seluas 2,5 hektar yang dibangun dengan teknik biorock atau teknologi
percepatan pertumbuhan terumbu karang dengan aliran listrik. Namun Prana mengaku bahwa
teknologi tersebut hanyalah pendukung, tetapi yang inti yang diapresiasi oleh para ahli ini adalah
kesadaran dan partisipasi masyarakat setempat, dan ini yang ingin di inspirasikan secara global

12
kepada dunia1. Dengan demikian, partisipasi masyarakat lokal merupakan hal utama dan mutlak
dalam memajukan perkembangan suatu destinasi.

2.5 Program Pengentasan Kemiskinan Provinsi Bali dan Kendalanya


Indonesia selalu mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang
adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Upaya pemerintah menuai sukses walaupun masih dalam tempo perlahan, berdasarkan Analisis
Profil Kemiskinan Nasional (2013) terungkap bahwa Jumlah penduduk miskin pada tahun 2008
sekitar 34.96 juta jiwa menurun sekitar 20.05% hingga menjadi sekitar 28.07 juta jiwa.
Provinsi Bali sendiri mengantongi 185.200 jiwa penduduk miskin dengan prosentase
5,34% berada di pedesaan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah terutama melalui
program Bali MANDARA yakni mengurangi pengeluaran masyarakat miskin melalui program
jaminan sosial (JKBM, Beasiswa dan Bedah Rumah) serta memastikan keberlanjutan usaha
masyarakat miskin lewat program pemberdayaan masyarakat miskin (Gerbangsadu, Simantri,
Jamkrida, PNPM Perdesaan)2. Keberhasilan program pemerintah ini ternyata belum seutuhnya
bisa dikatakan sukses, terlihat dari adanya fluktuasi penduduk miskin dalam grafik 2.2.

Grafik 2.2 Jumlah Penduduk Miskin di Bali


185,200
190,000

180,000 174,900
168,800
166,200
170,000

160,000
162,510
150,000
2010 2011 2012 2013 2014

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2014

1
Pernyataan ini diwartakan pada www.beritabali.com dengan judul Menyemai Terumbu Karang Pemuteran dengan
Sel Surya yang diterbitkan pada tanggal 25 Maret 2014
2
Dikutip dari makalah yang disampaikan oleh Dwi Putra Darmawan dkk dengan judul Strategi Pembangunan
Ketahanan Pagan dan Daya Tahan Ekonomi Masyarakat Miskin di Perdesaan Bali dalam seminar Strategi
Implementasi Program Bali Mandara Jilid II: Harapan dan Kendala di Era Otonomi Daerah pada 25 September 2014

13
Berdasarkan grafik terlihat justru terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin, oleh karena itu
pula sebaiknya mulai dipikirkan alternatif lain yang dapat mendukung dan mengakselerasi
program pemerintah tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Korten dalam Pitana (2006) bahwa:
Dalam banyak kasus, masyarakat lokal hanya menjadi penerima pasif suatu
pembangunan, yang pada akhirnya bermuara pada ketergantungan yang berlebihan.
Hal ini terjadi karena pemerintah cenderung menganut teori modernisasi klasik dengan
konsep rasionalisasinya dalam pengelolaan sumber daya lokal, sehingga menihilkan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat lokal.

Program pemerintah saat ini cenderung memberi sesuatu secara berderma, bukannya
menerapkan bagaimana cara membantu mereka untuk belajar membantu dirinya sendiri untuk
keluar dari kemiskinan tersebut, atau istilahnya help people to help themselves (Soetomo dalam
Arieta, 2010). Lebih lanjut dijelaskan proses pemberdayaan masyarakat meliputi tahapan berikut:
(1) Tahap penggalian dan penggugahan masyarakat menurut motivasi dan proses penyadaran
kelompok; (2) Tahap pembentukan organisasi dan pemahaman prinsip-prinsip swadaya dan
kerjasama; (3) Tahap konsolidasi dan stabilisasi masyarakat yaitu penerapan prinsip manajemen
dalam organisasi; (4) Tahap pengembangan produksi dan pemasaran yaitu dengan peningkatan
berusaha dan kewiraswastaan; (5) Tahap lepas landas yaitu mampu menjaga kontinuitas
kelompok, mampu berpartisipasi dalam usaha pengembangan (Mualifaf dalam Arieta, 2010).

2.6 Kontribusi Pariwisata dalam Pengentasan Kemiskinan


Pariwisata masal seakan masih menjadi primadona dan fokus utama sebagian pelaku
pariwisata, tak heran banyak media masa lebih bangga akan angka kunjungan yang fantastis
dibandingkan peduli dengan bagaimana dampak dari serbuan wisatawan ini. Prinsip inilah yang
kemudian semakin mendesak masyarakat lokal menjadi termarjinalkan dan hanya menjadi
pendukung, bahkan parahnya penonton kemewahan pariwisata yang berkembang saat ini.
Pertanian yang dulu menjadi pemeran utama, kini hanya figuran yang enggan dilirik, serta justru
menimbulkan kebocoran dana. Beruntungnya, kita semua cepat tersadarkan pentingnya
sinergitas kedua pemeran ini, yakni melalui konsep bertajuk CBT yang mana mengedepankan
partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan pariwisata.
Diambilnya pariwisata kerakyatan ini, melihat dari jumlah penduduk miskin yang
sebagian besar berada di daerah pedesaan. Berdasarkan data BPS Bali bahwa pada bulan Maret

14
2014 terdapat 85.300 jiwa penduduk miskin di pedesaan yang meningkat sebanyak 5,34%. Jika
dibandingkan dengan penduduk di perkotaan yang hanya mengalami peningkatan sebesar 4,01%.
Disebutkan pula bahwa berdasarkan Data Bali Membangun (2013) meskipun sektor pertanian
dalam arti luas menempati posisi teratas sebagai mata pencaharian, namun mengalami penurunan
secara bertahap dan tergantikan dengan posisi pariwisata, dalam hal ini sektor Perdagangan,
Rumah Makan dan Jasa Akomodasi, seperti diilustrasikan pada grafik berikut:

Grafik 2.3. Perbandingan Jumlah Tenaga Kerja


800,000 673,928 672,204 653,787 625,302
600,000
571,274 647,678 572,685
400,000
472,840
200,000
0
Februari 2011 Agustus 2011 Februari 2012 Agustus 2012

Pertanian dalam arti luas


Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi

Sumber: Data Bali Membangun, 2013

Bahkan, berdasarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, meskipun terjadi pertumbuhan
ekonomi Bali mencapai 6,7%, tercatat bahwa penduduk miskin pada bulan Maret 2014 sebanyak
185.200 orang atau mengalami penambahan sebesar 0,04% dibandingkan pada data bulan
September 2013. Bila dibandingkan dengan bulan September 2013, jumlah penduduk miskin
perkotaan berkurang 3,1% sedangkan penduduk miskin pedesaan bertambah 6,5%. Ketimpangan
distribusi pendapatan masyarakat Bali masuk kategori sedang, dilihat dari Gini Rasio berada
pada 0,403 pada tahun 2013, hal ini membaik dari tahun sebelumnya yakni 0,43. Harapan untuk
mewujudkan realita dalam mengentaskan kemiskinan tidaklah mudah, namun memerlukan
berbagai tindakan yang bersinergi, salah satunya melalui pariwisata kerakyatan. Terakhir,
walaupun kemiskinan merupakan masalah kompleks yang tidak bisa diatasi sekejap dengan satu
cara saja, setidaknya kita masih bisa mengandalkan pariwisata, mengutip dari Zapata dkk (2013):
Poverty is one of the meta-problems of humanity for which there is not a unique answer
or solution. Multiple actions are necessary to eradicate poverty and, under certain
circumstances as those concluded above, CBT can make a contribution

15
3. SIMPULAN DAN SARAN
Kontribusi pariwisata memang telah diakui dunia, seperti yang diungkapkan UNWTO
bahwa pariwisata menyumbang 9% dari total GDP, 1 dari 11 pekerjaan seluruh dunia dan kunci
perkembangan ekonomi. Bahkan, pariwisata memiliki dampak yang luar biasa bagi sosial-
budaya, lingkungan dan ekonomi. Ironisnya, masih saja terjadi paradoks terutama antara
pariwisata dan kondisi ekonomi, semestinya kemajuan pariwisata diiringi dengan kesejahteraan
masyarakatnya, namun justru masih terlihat angka peningkatan jumlah penduduk miskin.
Program pengentasan kemiskinan Pemerintah saat ini masih belum terlalu efektif dengan fokus
utama berupa bantuan materi, padahal yang paling krusial adalah edukasi dan pembelajaran agar
mereka dapat menyelamatkan diri mereka sendiri untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Hal ini yang kemudian menjadi alasan utama munculnya konsep pariwisata kerakyatan
dengan memfokuskan bagaimana masyarakat sendiri menjadi subjek pariwisata. Pijakan
dasarnya adalah karena masyarakat lokal yang lebih tahu wilayahnya serta melalui pariwisata
kerakyatan ini mereka bisa mendapatkan penghasilan langsung dan mengurangi adanya
kebocoran dana, begitu pula dengan inisiatifnya untuk semakin mempreservasi kondisi
lingkungan dan budaya yang menjadi aset penting daya tarik wisata. Dengan demikian,
pariwisata yang dulunya dituduh menyebabkan disparitas pendapatan dan memarjinalkan
masyarakat lokal kini terbantah dengan hadirnya pariwisata kerakyatan yang justru berperan
sebagai akselerator pengentasan kemiskinan.
Terdapat contoh pariwisata kerakyatan yang sudah menuai dampak positif, seperti Desa
Jatiluwih, Pejeng, Munduk dan Pemuteran. Hal ini sebaiknya juga dijadikan contoh bagi Desa
lainnya, baik dari cara mengelola, memasarkan produk dan distribusi pendapatanya melalui
sinergitas dan kerja sama antara pelaku pariwisata, pemerintah dan kelian adat. Selain itu,
pemerintah juga harus selalu mengawasi pelaksanaan CBT dengan model top-down dan
menstimulasi daerah lainnya terutama yang belum tersentuh pariwisata untuk mengembangkan
model bottom-up. Sehingga pariwisata berkorelasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis menyampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang memberikan masukan, inspirasi
dan bantuan dalam penyusunan artikel ini. Ucapan terima kasih diucapkan kepada Prof. I
Nyoman Darma Putra, M.Litt., selaku Ketua Program Studi Kajian Pariwisata Universitas

16
Udayana dan Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A, selaku pengampu mata kuliah Teknik
Penulisan Ilmiah di Program Studi Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Terima kasih pula
kepada para instansi terkait, masyarakat lokal Desa Jatiluwih, Pejeng, Munduk, Pemuteran dan
Ubud yang sangat kooperatif dalam memberikan masukan dan informasi sebagai data dalam
penyusunan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Amiani, Nyoman Dini. 2008. “Pengembangan Ekowisata yang Berbasis Masyarakat Menuju
Pariwisata Berkelanjutan di Kelurahan Serangan, Bali”. Jurnal Kepariwisataan
Indonesia, Vo.3, No.2, hal. 331-339. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kepariwisataan
Arieta, Siti. 2010. “Community Based Tourism Pada Masyarakat Pesisir: Dampaknya Terhadap
Lingkungan dan Pemberdayaan Ekonomi”. Jurnal Dinamika Maritim, Vol.2, No.1.
Tersedia di http://riset.umrah.ac.id/ (Diunduh 27 april 2015)
Asdhiana, I Made. 2013. Lingkungan Pulih, Potensi Bali Membesar. Tersedia di:
http://www.balipost.co.id/ (Diunduh 27 april 2015)
Badan Pusat Statistik Bali. 2013. Distribusi Pendapatan Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota
Tahun 2013. Tersedia di http://bali.bps.go.id (Diunduh 27 april 2015)
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2014. Jumlah Penduduk Miskin di Bali. Tersedia di
http://bali.bps.go.id (Diunduh 27 april 2015)
Budhi, Made Kembar Sri. 2013. “Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap
Pengentasan Kemiskinan di Bali: Analisis FEM Data Panel”. Jurnal Ekonomi
Kuantitatif Terapan, Vol. 6, No. 1, hal. 1-6. Tersedia di: ojs.unud.ac.id (Diunduh 27
april 2015)
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2013. Statistik Pariwisata Bali. Denpasar: Dinas Pariwisata
Provinsi Bali
Dinas Pariwisata Provinsi Bali. 2014. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Jatiluwih. Tersedia di:
www.disparda.baliprov.go.id (Diunduh 27 april 2015)
Kementrian Sosial Republik Indonesia. 2014. Analisis Profil Kemiskinan Nasional. Tersedia di:
www.slideshare.net (Diunduh 27 april 2015)
Pemerintah Provinsi Bali Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2014. Data Bali
Membangun 2013. Denpasar: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Pitana, I Gde. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar: PT The Works
Pitana, I Gde. 2006. Kepariwisataan Bali dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta: Puslitbang
Kepariwisataan
Rukendi, Cecep dkk. 2008. “Menanggulangi Kemiskinan Melalui Agrowisata dan Wisata
Perdesaan yang Berkelanjutan”. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Vo.3, No.4, hal.
503-510. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan
17
UNWTO. 2001. Global Code of Ethics. Tersedia di: www.unwto.org (Diunduh 27 april 2015)
UNWTO. 2004. Indicators of Sustainable Development for Tourism Destinations: A Guide
Book. Madrid, Spain: WTO
UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
Zapata, M.J et al. 2011. “Can Community-based Tourism Contribute to Development and
Poverty Alleviation?” Lessons From Nicaragua. Current Issues in Tourism, Vol. 01,
No. 1, pg. 1–25. Tersedia di https://www.academia.edu/ (Diunduh 27 april 2015)

PROFIL PENULIS
Putu Devi Rosalina adalah mahasiswa Semester II Magister Kajian Pariwisata Universitas
Udayana angkatan 2014. Penulis menamatkan pendidikannya pada jenjang S1 di Jurusan Sastra
Inggris Universitas Udayana pada tahun 2014. Saat ini, penulis bekerja sebagai Instruktur Bahasa
Inggris di STPBI dan Guru Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing di Alliançe Francaise de Bali.

18

You might also like