You are on page 1of 4

Cuma Takut Tiga Roda

Suatu hari, saat Abdurarahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, ada pembicaraan serius.
Pembicaraan bertopik isu terhangat dilakukan selesai menghadiri sebuah rapat di Istana
Negara.
Diketahui, pembicaraan itu mengenai wabah demam berdarah yang kala itu melanda kota
Jakarta. Gus Dur pun sibuk memperbincangkan penyakit mematikan tersebut.
“Menurut Anda, mengapa demam berdarah saat ini semakin marak di Jakarta Pak?” tanya
seorang menterinya.
“Ya karena Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso melarang bemo, becak, dan sebentar lagi bajaj
dilarang beredar di Kota Jakarta ini. Padahal kan nyamuk sini cuma takut sama tiga roda…!”

Syukur Tidak Bisa memanjat

Guyonan itu, rupanya, tidak berlebihan. Meski sudah banyak yang meramalkan bahwa
penampilan Gus Dur di depan DPR Kamis lalu bakal ramai, toh tidak ada yang menyangka
bahwa sampai seramai itu. Kalau bukan kiai, mana berani menjadikan pidato Ketua DPR
Akbar Tandjung sebagai sasaran humor? Akbar sejak dulu memang selalu memulai pidato
dengan memanjatkan syukur. Maka, Gus
Dur pun melucu, yang membuat semua anggota DPR tertawa: syukur memang perlu
dipanjatkan karena Syukur tidak bisa memanjat

Begitu menariknya, karuan saja pidato presiden kini banyak ditunggu penonton televisi.
Padahal, dulu-dulu kalau presiden pidato di TV banyak yang mematikan TV-nya. Begitu
tidak menariknya pidato presiden di masa Orde Baru sampai-sampai pernah para anggota
DPRD diwajibkan mendengarkannya. Itu pun harus diawasi agar mereka sungguh-sungguh
seperti mendengarkan. Untuk itu,
perlu diadakan sidang pleno DPRD dengan acara khusus nonton televisi.

Latihan soal

Di bulan-bulan mendekati Ujian Nasional, hampir semua murid kelas tiga mulai deg-degan,
stress, dan tampak lelah.
Betapa tidak, di bulan-bulan ini, semua murid yang akan mengikuti ujian nasional terpaksa
harus menghafal rangkaian kalimat dan rumus dari berbagai macam buku pelajaran mulai
dari buku pelajaran kelas 1 sampai kelas 3.
Slamet adalah salah satu murid yang ikut-ikutan panik dan tegang; meski demikian ia tidak
pernah belajar karena saking paniknya maka ia sudah lelah duluan sebelum belajar.
Hal ini terjadi bahkan sejak dua bulan menjelang hari H.
Lantas apa akibatnya? Slamet sudah sangat malas mengikuti pelajaran di sekolah, semua
penjelasan guru tentang soal-soal pelajaran hanya berlalu begitu saja. Pikirannya sudah
penuh.
Nah, pada hari itu, di jam pertama pelajaran matematika di kelasnya, seperti biasanya pak
guru hanya memberikan soal-soal latihan ujian untuk dikerjakan siswa.
Pak guru menyuruh semua murid mengerjakan selama satu jam, lalu satu jam berikutnya
adalah pembahasan dengan cara menyuruh murid-muridnya satu-persatu menuliskan jawaban
di papan tulis.
Tidak seperi murid lainnya yang berusaha mengerjakan, eh si slamet malah baca buku cerita.
Itulah satu-satunya cara agar Slamet tetap selamat dan tidak gila gara-gara ujian.
Lalu tibalah waktunya pembahasan. Pak guru memanggil secara acak nama murid untuk
mengerjakan jawaban soal di papan tulis. Satu demi satu murid yang dipanggil menuliskan
jawaban di papan tulis hingga akhirnya tibalah giliran Slamet yang namanya tiba-tiba disebut
pak guru.
Dengan langkah lesu Slamet berjalan ke arah papan tulis, lalu ia mengambil kapur dan mulai
menggambar lima lingkaran kecil di papan tulis, lalu ia menebalkan salah satu lingkaran
dengan menggunakan kapur setelah itu ia kembali ke kursinya. Pak guru heran, murid-murid
lain juga tak jalah heran. Lalu guru bertanya pada slamet;
Pak Guru : Slamet, kamu sehat kan?
Slamet : Alhamdulillah sehat pak.
Pak Guru : Lalu yang kamu kerjakan itu apa ya?
Slamet : Itu jawaban saya pak.
Pak Guru : Kamu ngajak becanda dengan bapak atau mau menghina bapak?
Slamet : Lha kan ini latihan soal ujian pak, ya itu jawaban saya.
Pak Guru : Maksud kamu?
Slamet : Besok kan kami semua harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan memilih
salah satu jawaban lalu menebali jawaban tersebut dilembar jawaban pak. Setahu saya, besok
kami tidak perlu menuliskan jawaban seperti ini, cukup dengan menebali satu lingkaran
jawaban saja dengan pensin 2B.
Pak Guru : Lalu bagaimana kami bisa mengerti dengan jawabanmu di papan tulis itu?
Slamet : Tenang pak, besok yang mengkoreksi jawaban kami itu komputer. Hanya
komputer yang tahu apakah kami sudah menjawab dengan betul atau tidak.
Pak Guru : Ini kan kita sedang latihan, Slamet, ngerti nggak sih kamu! Makanya bapak
suruh kamu nulis jawaban seperti yang dilakukan teman-temanmu lainnya!
Slamet: Ya itu pak, sebaiknya kita juga latihan agar tidak mencontek jawaban teman, jadi
kalau saya menjawab dengan cara itu, yang tahu jawabannya hanya saya dan komputer pak.
Kalau bapak maksa saya menuliskan jawaban yang transparan, brarti bapak ngajarin kami
nyontek dong!
Pak Guru dan Murid Lain: ??????
Membaca
Hari itu diadakan Ujian baca Al-Qur’an di sekolah.

Bagi yang sudah bisa baca Al-Qur’an dengan baik maka hal itu tidak terasa seperti ujian,
namun bagi yang belum bisa membaca dengan baik, ujian tersebut terasa menakutkan.

Hal ini dirasakan pula oleh si Johan yang kebetulan ia buta huruf arab; meski sejak kecil ia
sudah diajari baca Qur’an, tetap saja ia tidak bisa membedakan satu huruf arab dengan huruf
lainnya, terlebih jika hurufnya huruf sambung.

Selama ini Johan belajar sholat dan berdoa dengan cara menghafalkan, jadi untuk ujian kali
ini ia mau tak mau harus menghafalkan semua ayat yang akan dijadikan bahan ujian.

Sudah jauh-jauh hari Johan menghafalkan Al-Qur’an dengan cara menyuruh temannya
membaca duluan dan ia merekamnya dengan smartphone. Kini Johan sudah hafal 3 surat Al-
Qur’an yang dijadikan bahan ujian.

Saat ujian, bu guru memanggil satu per satu murid untuk membaca di depan kelas.

Tibalah giliran Johan; keringat dingin mengalir deras dan Johan gemetar maju ke depan
kelas.

Bu guru menyodorkan Al-Qur’an dan menunjukkan satu halaman penuh untuk ia baca. Jelas
saja Jono tidak tahu surat apakah itu.

Lantas ia mengucapkan hafalannya, panjang, khusuk, khidmad, dan merdu (kebetulan Jono
dikaruniai suara yang indah). Seluruh kelas terdiam dan terpana dengan Johan. Selesai Johan
pura-pura membaca, ia mengembalikan kitab suci itu kepada bu guru, lalu bu guru
berkomentar.

Bu Guru : Indah sekali Jono.

Jono : Terimakasih Bu….

Bu Guru : Tapi tadi Jono baca yang mana?

Jono : Al-Baqoroh ayat 1-10 bu…

Bu Guru : Lho bukannya tadi ibu hanya suruh kamu baca Al-Fatihah? Coba sekarang kamu
baca surat yang lain. (Ibu guru membuka halaman kitab lalu menyodorkannya pada Johan).
Baca semua yang ada di halaman ini ya.

Jono : (pusing tujuh keliling, lalu daripada mati gaya maka ia mengucapkan hafalan surat
lainnya. Sekali lagi ketika Jono mengucapkan hafalannya, seluruh kelas hening dan larut
dalam kekhusyukan. Setelah itu, Jono mengembalikan kitab ke bu guru).

Bu Guru : Bagus Jono, ternyata kamu tidak bisa membaca Al-Qur’an. Maaf, ibu harus kasih
kamu nilai Nol karena kamu tidak mau belajar baca Qur’an.

Jono : Tapi bu….saya buta huruf arab…

Bu Guru: Maafkan ibu nak, sesuai dengan kurikulum sekolah, ibu hanya memberikan ujian
ini. Bila ada siswa yang tidak bisa baca, berarti memang kosong nilainya.

Jono hanya tertunduk lesu dan pasrah lalu kembali ke tempat duduknya.
Tas Sekolah

Hari itu ada razia mendadak di kelas-kelas. Jadi untuk kelas yang sedang diperiksa, semua
murid harus keluar ruangan dan meninggalkan seluruh barang bawaannya di dalam kelas lalu
para guru yang merazia memeriksa tas murid satu persatu.

Sial bagi Andi yang hari itu kedapatan membawa barang terlarang di sekolah. Maka setelah
seluruh murid masuk kekelas, pak guru menahan salah satu tas murid dan menanyakan
kepada para murid:

Pak Guru : Ini tas siapa?

Andi : Saya yang bawa tas itu pak…

Pak Guru : Yak, sekarang kamu ikut bapak ke kantor.

Andi : Baik Pak…

Lantas Andi mengikuti pak guru ke kantor

Pak Guru : Bapak menemukan kepingan vcd p*rno dan rokok dalam tas kamu Andi.
Sejujurnya bapak sangat kecewa mengingat kamu adalah anak Bupati di kota ini. Apakah
pantas bagi anak pejabat berperilaku seperti ini.

Andi : Maaf pak, tapi semua benda itu bukan milik saya.

Pak Guru : Jangan ngeles kamu, tadi kan kamu yang mengaku kalau tas ini milikmu!

Andi : Tadi kan saya bilang kalau memang saya yang membawa tas tersebut, namun bukan
berarti itu tas milik saya pak.

Pak Guru : Pandai pula kamu bersilat lidah, mentang-mentang anak pejabat.

Andi : Kenyataannya memang demikian kok pak, saya tidak bohong.

Pak Guru : Jika demikian, lalu tas ini punya siapa? Sebaiknya kamu mengaku saja sebelum
bapak menelfon ayahmu untuk datang kemari biar ayahmu tahu kelakuan anaknya di sekolah.

Andi : Tadi saya buru-buru ke sekolah pak, saya berangkat bareng ayah saya yang sekalian
berangkat ke kantor. Nah karena buru-buru, maka saya salah ambil tas pak. Tas saya masih
tertinggal di mobil ayah, sementara tas ayah yang terbawa oleh saya, jika mau silahkan pak
guru telfon ayah saya biar dia ambil sendiri tasnya ini sekalian saya nitip agar tas saya
sekalian dibawakan ke sini pak.

Pak Guru : (mati gaya)

You might also like