You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, tanpa mata manusia masih
dapat hidup, namun keberadaan mata sangatlah penting. Mata adalah jendela
kehidupan, tanpa mata manusia tidak dapat melihat apa yang ada di sekelilingnya.
Oleh karena itu pemeliharaan mata sangatlah penting.

Salah satu struktur penting yang menyokong mata adalah orbita. Struktur
tulang orbita yang kaku, dengan lubang anterior sebagai satu-satunya tempat
untuk ekspansi, setiap penambahan isi orbita yang terjadi di samping atau di
belakang bola mata akan mendorong organ tersebut ke depan dan akan
menimbulkan perubahan letak dari bola mata ke depan dan mengakibatkan
protrusio bulbi. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Lesi-
lesi ekspansif dapat bersifat jinak atau ganas dan dapat berasal dari tulang, otot,
saraf, pembuluh darah, atau jaringan ikat. Massa dapat bersifat radang, neoplastik,
kistik, atau vaskular. Penonjolan itu sendiri tidak bersifat mencederai kecuali
apabila kelopak mata tidak mampu menutup kornea. Namun penyebab yang
mendasari biasanya serius dan kadang-kadang membahayakan jiwa.2,3

Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan banyak petunjuk mengenai


penyebab protrusi. Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan penyakit
sistemik. Eksoftalmometer Hertel adalah metode pengukuran standar untuk
mengukur tingkat protrusi. Oleh karena itu, pada makalah ini kami mencoba
membahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan protrusio bulbi.4

1
1.2. Batasan Masalah

Referat meet the expert ini membahas tentang definisi, epidemiologi,


etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan dari
Protrusio Bulbi.

1.3. Tujuan Penulisan

Referat meet the expert ini bertujuan untuk menambah wawasan penulis
maupun pembaca mengenai Protrusio Bulbi.

1.4. Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan referat meet the expert ini adalah
tinjauan kepustakaan dengan merujuk kepada berbagai literature.

1.5. Manfaat Penulisan

Referat meet the expert ini diharapkan dapat bermanfaat dalam


memberikan informasi dan pengetahuan tentang Protrusio Bulbi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI RUANG ORBITA

Ruang orbita merupakan suatu piramid yang puncaknya di sebelah


posterior dibentuk oleh foramen optikum dan basisnya di bagian anterior di
bentuk oleh margo orbita. Dinding medial dari mata kanan dan kiri sejajar.
Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus terhadap dinding lateral mata kiri.
Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun dengan volume orbita dewasa
± 30cc, tinggi 35 mm dan lebar 40 mm. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5
bagian ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot
mata terdiri dari m. levator palbebra, m. rektus superior, m. rektus inferior, m.
rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior, m. obliqus superior. 1,5
Tulang-tulang orbita terdiri dari:

Bagian atas : os frontalis, os sphenoidalis

Bagian medial : os maksilaris, os lakrimalis, os sphenoidalis, os
ethmoidalis, lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis. Dinding ini
paling tipis.

Bagian bawah : os maksilaris, os zigomatikum,os palatinum.

Bagian lateral : os zigomatikum, os sphenoidalis, os frontalis. Dinding ini
paling tebal.5

Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, serat
saraf, yang masuk ke dalam mata, yang terdiri dari:

1. Foramen optikum yang dilalui oleh N. Optikus, A. Oftalmika.

2. Fisura orbita superior yang dialalui oleh v. Oftalmika, N. III, IV, VI untuk
otot-otot dan N.V (saraf sensibel).

3. Fisura orbita inferior yang dialalui oleh nervus, vena, dan arteri infra
orbita.

3
Ruang orbita dikelilingi sinus-sinus, yaitu :
 Atas : Sinus frontalis
 Bawah : Sinus maksilaris
 Medial : Sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan ruang hidung

4
Dinding Orbita :

Atap :

- facies orbitais ossis frontalis

- Ala parva ossis sphenoidalis (bgn posterior)  mengandung kanalis


optikus

Dasar :

- pars orbitais ossis maksilaris (bgn sentral yang luas)

- pars frontalis ossis maksilaris (medial)

- os zygomaticum (lateral)

- processus orbitais ossis palatini (daerah segitiga kecil di posterior)

Lateral :

- anterior : facies orbitais ossis zygomatici (malar)

5
Medial :

- os ethmoidale

- os lakrimale

- korpus sphenoidale

- crista lacrimalis anterior : dibentuk oleh processus frontalis ossis


maksilaris

- crista lacrimalis posterior yg dibentuk oleh :

Atas : processus angularis ossis frontalis

Bawah : os lacrimale

Diantara kedua crista lacrimalis terdapat sulkus lakrimalis dan berisi sakus
lakrimalis.

Vaskularisasi Orbita

Arteri utama : Arteri Oftalmika yang bercabang menjadi :

1. Arteri retina sentralis  memperdarahi nervus optikus

2. Arteri lakrimalis  memperdarahi glandula lakrimalis dan kelopak mata


atas

3. Cabang-cabang muskularis  berbagai otot orbita

4. Arteri siliaris posterior brevis  memperdarahi koroid dan bagian-bagian


nervus optikus

5. Arteri siliaris posterior longa  memperdarahi korpus siliare

6. Arteri siliaris anterior  memperdarahi sklera, episklera,limbus,


konjungtiva

7. Arteri palpebralis media ke kedua kelopak mata

8. Arteri supraorbitais

9. Arteri supratrokhlearis

6
Arteri-arteri siliaris posterior longa saling beranastomosis satu dengan
yang lain serta dengan arteri siliaris anterior membentuk circulus arterialis mayor
iris.

Vena utama : Vena Oftalmika superior dan inferior. Vena Oftalmika


Superior dibentuk dari :

Vena ini membentuk hubungan langsung antara kulit wajah dengan sinus
kavernosus sehingga dapat menimbulkan trombosis sinus kavernosus yang
potensial fatal akibat infeksi superfisial di kulit periorbita.mempercepat
penguapan. Air mata tidak meleleh melalui pipi juga, karena isi dari glandula
meibom, menjaga margo palpebra tertutup rapat pada waktu berkedip.

2.2. PROTRUSIO BULBI

2.2.1. DEFINISI

Protrusio bulbi merupakan keadaan dimana bola mata menonjol keluar.


Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita. Penyebabnya bisa
bermacam-macam, diantaranya:4

1. Kavum orbita terlalu dangkal.

2. Edema, radang, tumor, perdarahan di dalam orbita.

3. Pembesaran dari bola mata.

4. Dilatasi dari ruangan di sinus-sinus di sekitar mata dengan berbagai sebab,


radang, tumor, dan sebagainya.

5. Trombosis dari sinus kavernosus.

6. Eksoftalmus goiter.

7
Semua penyebab di atas mengakibatkan timbul bendungan di palpebra dan
konjungtiva, gerak mata terganggu, diplopia, rasa sakit bila bengkak hebat,
lagoftalmus karena mata tidak bisa menutup sempurna sehingga menyebabkan
epifora. Tarikan pada N. II menyebabkan gangguan visus.4

Gambar 3. Penderita Protrusio Bulbi

2.2.2. ETIOLOGI

Pada orang dewasa, thyroid orbitopathy adalah penyebab paling umum


dari protrusio bulbi unilateral dan bilateral. Penyebab lainnya adalah neoplasma
seperti hemangioma kavernosa, limfangioma, limfoma Wegener granulomatosis
dan selulitis orbital.3,5

Pada anak – anak, protrusio bulbi unilateral sering disebabkan oleh


selulitis; dan bila pada kasus protrusio bulbi bilateral sering disebabkan oleh
neuroblastoma dan leukemia.5

Apapun penyebab dari protrusio bulbi, mekanisme terjadinya tonjolan


pada bola mata merupakan akibat sekunder karena meningkatnya volume maupun
ukuran dari struktur penyokong bola mata, khususnya orbita.3

2.2.3. PEMERIKSAAN PROTRUSIO BULBI

Pemeriksaan pada protrusio bulbi yang harus dilakukan adalah:

1. Riwayat penyakit.

2. Pemeriksaan mata secara sistematis dan teliti, dapat dilakukan dengan


penyinaran oblik, slit lamp, funduskopi, tonometri, eksoftalmometer,
dimana normal penonjolan mata sekitar 12-20 mm. Selain itu dapat pula
dilakukan tes lapangan pandang dan pemeriksaan visus. Protrusi dari mata
merupakan gejala klinik yang penting dari penyakit mata.

8
Eksoftalmometer Hertel adalah sebuah alat yang telah diterima secara
umum untuk menilai kuantitas proptosis. Diperlukan metode untuk
mengukur diameter antero-posterior bola mata terhadap tepian tulang
orbita. Tepian orbita lateral adalah penunjuk yang jelas dan mudah diraba
serta dipakai sebagai titik rujukan. Eksoftalmometer adalah suatu
instrumen manual dengan dua alat pengukur yang identik (satu untuk
masing-masing mata), yang dihubungkan dengan balok horizontal. Jarak
antar kedua alat itu dapat diubah dengan menggeser salah satunya agar
mendekat atau menjauh , dan masing-masing memiliki takik yang pas
untuk menahan tepian orbita lateral yyang sesuai. Bila diposisikan dengan
tepat, satu set cermin yang dipasang akan memantulkan bayangan samping
masing-masing mata di sisi sebuah skala pengukur, yang terkalibrasi
dalam millimeter. Ujung bayangan kornea yang sejajar dengan bayangan
skala menunjukkan jaraknya dari tepian orbita.7

Pasien didudukkan menghadap pemeriksa. Jarak antara kedua alat


pengukur disesuaikan sehingga masing-masing berjajar dan menempel
pada tepian orbita yang sesuai. Agar pengukuran dapat diulang dengan
standar yang sama dikemudian hari, jarak antara kedua alat ini dicatat –
berupa skala tambaham di balok horizontal. Dengan menggunakan skala
cermin pertama, posisi mata kanan pasien diukur saat menatap mata kiri
pemeriksa. Mata kiri pasien diukur saat menatap mata kanan
pemeriksaan.7

Jarak dari kornea ke tepian orbita biasanya berkisar 12 sampai 20 mm, dan
ukuran kedua mata biasanya tidak lebih dari 2 mm. jarak yang lebih besar
terdapat pada protrusio bulbi, bisa uni- atau bilateral. Penonjolan mata
yang abnormal ini dapat disebabkan oleh penambahan masa orbita apapun,
,mengingat ukuran rongga orbita tetap. Penyebabnya antara lain
perdarahan orbita, neoplasma, radang atau edema.7

3. Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium, USG, CT-Scan,


arteriografi, dan venografi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.

9
-
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa uji antibodi (anti-
tiroglobulin, anti-mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan
kadar hormon-hormon tiroid (T3, T4 dan TSH).8
-
Pemeriksaan Ultrasound merupakan suatu penilaian terhadap
jaringan lunak dengan menggunakan getaran suara. Ada 2 cara
pemeriksaan yaitu A scan dan B scan. A scan adalah penilaian hasil
ekho, untuk mengetahui struktur jaringan, sedangkan B scan
memberikan penilaian topografis, untuk mengetahui besar, bentuk,
dan lokalisasi jaringan. USG dapat digunakan untuk mendeteksi
secara cepat dan awal orbitopati Grave’s pada pasien tanpa gejala
klinik. Yang dapat ditemukan adalah penebalan otot atau pelebaran
vena oftalmica superior.8
-
CT-Scan dan MRI dibutuhkan jika dicurigai keikutsertaan nervus
optic. CT-Scan sangat bagus untuk menilai otot ekstraokular, lemak
intraconal, dan apeks orbital. Sedangkan untuk MRI lebih baik
dalam menilai kompresi nervus optik dibandingkan CT-Scan.
Dengan bantuan kontras dapat membedakan tumor ganas dari yang
jinak, dimana tumor ganas akan meningkatkan densitas akibat
adanya pertambahan vaskularisasi, sedang pada tumor jinak tidak
ada pertambahan vaskularisasi.9,10,11
-
Arteriografi bisa dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui a.
Karotis dapat dilihat bentuk dan jalannya arteri oftalmika.
-
Venografi untuk melihat bentuk dan kaliber vena oftalmika
superior.
Di bawah ini akan dibahas beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
protrusio bulbi, yaitu Tiroid oftalmopati, periostitis orbita, selulitis orbita, dan
trombosis sinus kavernosus.

10
2.3. Tiroid Oftalmopati

Pada pendertia kelainan tiroid akan terlihat gejala protrusio bulbi ini yang
disebut sebagai eksoftalmus goiter. Bemacam penyebab yang diduga sebagai
eksoftalmus goiter seperti menebalnya jaringan otot penggerak bola mata,
bertambahnya jaringan lemak, lumpuhnya otot muller kelopak. Kelainan ini
biasanya binocular akan tetapi dapat juga monocular. Pada kelainan tirotoksikosis
akan terlihat kelainan lain sepeti tanda Grafe, Stellwag, dan Mobius.4

2.3.1. Definisi
Oftalmopati tiroid merupakan suatu kelainan inflamasi autoimun yang

menyerang jaringan orbital dan periorbital mata, yang juga berkaitan dengan

keadaan disfungsi tiroid. Pada berbagai kepustakaan,”tiroid oftalmopati” juga

kerap dikenal dengan istilah lain serperti oftalmopati Graves, penyakit mata tiroid,

oftalmopati terkait tiroid (thyroid-associated ophthalmopathy) dan dysthyroid

orbitopathy.18

2.3.2. Epidemiologi
Penyakit Grave memiliki insidensi pada perempuan sekitar 16/100.000

populasi per tahun dan pada laki-laki sekitar 3/100.000 populasi per tahun, dengan

keterlibatan okular sekitar 25%-50%, Grave’s ophthalmopathy merupakan

penyebab tersering dari eksoftalmos bilateral yaitu sekitar 85% kasus. Grave’s

ophthalmopathy juga dapat timbul sebagai eksoftalmos unilateral yaitu sekitar

15% - 28% kasus.18,19

2.3.3. Patogenesis
Patofisiologi yang mendasari Grave’s ophthalmopathy adalah adanya

reaksi imun yang dimediasi oleh antibodi yang menyerang reseptor TSH dengan

modulasi fibroblas orbita oleh sel T limfosit. Sel T limfosit bereaksi menyerang

11
sel folikel tiroid yang berikatan dengan epitop antigenik pada ruang retrobulbar.

Infiltrasi limfosit memicu aktivasi sitokin dan sel inflamasi serta edema interstisial

pada otot-otot ekstraokular. Sekresi glikosaminoglikan yang berlebihan oleh

fibroblas orbital diduga merupakan faktor penting yang ikut berkontribusi,

akibatnya terjadi penambahan volume otot-otot ekstraokular, lemak retrobulbar

serta jaringan ikat. Perubahan yang sama juga terjadi pada kelopak mata dan

jaringan periorbita anterior.18,19,20

2.3.4. Gambaran Klinis


- Iritasi okular dengan gejala kemerahan dan berair
-
Rasa tidak nyaman di permukaan mata
-
Proptosis yang disertai dengan retraksi kelopak mata, disebut lagoftalmus.

Inilah yang membedakannya dengan proptosis oleh penyebab lain.

Retraksi kelopak yang dikenal sebagai Dalrymple’s sign terjadi sekitar

37%- 92% pada penderita Grave’s ophthalmopathy dan dapat terjadi

bersamaan dengan eksoftalmos


-
Miopati restriktif yang menyebabkan gangguan atau adanya hambatan

pada pergerakan bola mata


-
Diplopia biasanya mulai di lapang pandang bagian atas. Semua otot

ekstraokular akhirnya dapat terkena, dan mungkin tidak ada posisi melihat

yang bebas diplopia. Apabila otot-otot ekstraokular mengalami

pembesaran masif, dapat teriadi kompresi nervus opticus pada apeks

orbita, tanpa harus disertai dengan proptosis yang nyata. Kompresi nervus

optikus terjadi sekitar 3-5% pada Grave’s ophthalmopathy .Tanda-tanda

awalnya antara lain defek pupil aferen/ gangguan penglihatan warna, dan

12
penurunan ketajaman penglihatan ringan. Dapat terjadi kebutaan apabila

kompresi tidak diatasi.


-
Gejala penyakit tiroid sebagai penyakit dasar.7,19,22

Gambar 4. Eksoftalmus pada tiroid oftalmopati

Tanda Spesifik

1. Tanda dari Von Graef : Palpebra superior tak dapat mengikuti gerak bola
mata, bila penderita melihat ke bawah palpebra superior tertinggal dalam
pergerakannya.

2. Tanda dari Dalrymple : Sangat melebarnya fisura palpebra, sehingga mata


menjadi melotot.

3. Tanda dari Stellwag : Frekwensi kedipan berkurang dan tak teratur.

4. Tanda Mobius : Kekuatan konvergensi menurun.

5. Tanda dari Gifford : Timbulnya kesukaran untuk mengangkat palpebra


superior karena menjadi kaku.7

2.3.5. Diagnosis

Tiroid oftalmopati secara klinis di diagnosa dengan munculnya tanda dan


gejala pada daerah mata, tetapi uji antibodi yang positif (anti-tiroglobulin, anti-
mikrosomal, dan anti-tirotropin reseptor) dan kelainan kadar hormon-hormon
tiroid (T3, T4 dan TSH) membantu menegakkan diagnosa.12

13
Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosa, antara
lain:

1. CT Scan dan MRI

CT scan dan MRI memberikan gambaran yang sangat baik dari otot-otot
ekstraokular, perlekatan otot, lemak intrakonal, dan anatomi apeks orbital.
Pembesaran otot muncul dalam berbagai bentuk diantara perut otot, dan
penebalan biasanya lebih dari 4 mm. Penonjolan lemak intrakonal dapat
menyebabkan proptosis. Kedua pemeriksaan ini dapat mendiagnosa tiroid
oftalmopati dengan atau tanpa penekanan saraf optik.12

2. Ultrasonografi Orbital

Pemeriksaan ini sangat baik untuk diagnosa tiroid oftalmopati, dan


kekhasan reflektivitas internal otot-otot ekstraokular dari sedang sampai
tinggi, sama halnya dengan pembesaran perut otot. Perlekatan dari otot
ekstraokular dapat digambarkan dengan mudah. Pasien dengan tiroid
oftalmopati menunjukkan peak-systolic rendah dan percepatan end-
diastolic yang dapat dinilai dengan pencitraan Doppler.12

2.3.6. Diagnosis Banding

1. Selulitis Orbita : infeksi yang serius dari jaringan mata dengan keluhan
demam, proptosis, pergerakan mata terbatas, kelopak mata merah dan
berair.

2. Selulitis Preseptal : inflamasi dan infeksi dari kelopak mata dan bagian
kulit di sekitar mata dengan gejala mata berair, mata merah, kotoran mata,
nyeri, injeksi konjungtiva dan demam.15

14
2.3.7. Tatalaksana

A. Medikamentosa
-
Terapi kelainan tiroid.
-
Obat mata topikal untuk mencegah keratitis
-
Steroid sistemik dosis tinggi (prednisolone 80-100 mg/hari atau
methylprednisolone intravena 1 g/hari selama 3 hari diulang setiap minggu
selama 3-minggu) untuk neuropati optikus kompresif dan proptosis
disertai keratitis pajanan berat yang tidak terkontrol dengan pelumas.7

B. Tindakan Bedah

Dekompresi orbita biasanya dilakukan dengan mengangkat dinding medial


dan inferior melalui pendekatan etmoidal. Dekompresi apeks orbita perlu
dilakukan agar hasil akhir baik. Dekompresi bedah orbita bertujuan
menghilangkan tekanan intraorbita. Pembedahan pada otot-otot yang
menggerakkan bola mata mungkin perlu dilakukan untuk meluruskan
pandangan pada penderita yang sudah lama mengidap diplopia.7

2.3.8. Komplikasi

Dengan tiroid eksoftalmos, dapat terjadi infeksi atau keterlibatan kornea.

2.3.9. Prognosis

Prognosis umumnya baik. Kebanyakan pasien tidak memerlukan tindakan


pembedahan. Faktor-faktor resiko untuk tiroid oftalmopati yang progresif dan
berat yang membuat prognosis menjadi buruk antara lain:

1. Merokok

2. Diabetes

3. Hipertiroidisme berat atau tidak terkontrol

4. Kemunculan miksedema pretibia

5. Kadar kolesterol tinggi (hiperlipidemia) .12

15
2.4. Periostitis Orbita

2.4.1. Definisi

Periositis orbita adalah peradangan dari periost tulang-tulang orbita. Dapat


bersifat dakut atau kronik dan dapat terbatas pada margo orbita atau lebih dalam.
Pada perjalanan penyakitnya mungkin dapat terjadi penebalan periost,
pembentukan tulang, abses, timbulnya nekrosis atau karies tulang orbita.16

2.4.2. Etiologi

1. Peradangan dari kulit atau sinus-sinus di sekitar mata.

2. Trauma yang disertai infeksi di orbita.

3. TBC terutama pada anak-anak. Biasanya mengenai margo orbita lateralis.


Pada tempat ini timbul benjolan berwarna merah tanpa rasa sakit yang
disebut cold abses. Perjalanan penyakinya menahun.

4. Lues stadium III pada dewasa. Biasanya mengenai margo orbita superior.
Perjalanan penyakitnya akut.16

2.4.3. Gejala Klinik

Mengenai margo orbita

1. Terasa sakit terutama pada penekanan margo orbita.

2. Timbul benjolan yang sukar digerakkan dari dasarnya.

3. Palpebra dan konjungtiva bengkak.

4. Bila berat, keadaan umum dapat terganggu. Sering berakhir dengan


absorbsi total dari peradangan tersebut bila pengobatan diberikan segera
secara intensif. Jarang timbul abses yang dapat menyebabkan perforasi si
kulit.16

16
Mengenai periost yang lebih dalam

1. Sakitnya lebih hebat disertai pembengkakan yang hebat dari palpebra dan
konjungtiva.

2. Terdapat protrusio bulbi

3. Keadaan umum terganggu, dapat berakhir dengan absorbsi total atau


menyebabkan penebalan periost dan nekrosis tulang.

4. Jika terbentuk abses keadaan menjadi lebih buruk dan sukar dibedakan
dari selulitis orbita. Pus dapat menjalar ke depan tetapi lambat. Yang lebih
berbahaya jika pus masuk ke dalam tulang tengkorak sehingga dapat
menyebabkan meningitis atau abses otak.16

2.4.4. Tatalaksana

Lokal diberikan kompres hangat. Pada yang supuratif dilakukan insisi


sepanjang margo orbita untuk mengeluarkan pusnya. Kemudian dimasukkan
tampon yodoform untuk mengeluarkan pusnya dari fistula dan tampon ini harus
diganti setiap hari sampai pus tidak keluar lagi. Bila ada karies dari tulang yang
nekrotik harus dikeluarkan dengan operasi.16

2.5. Selulitis Orbita

17
2.5.1. Definisi

Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat jarang


intraorbita di belakang septum orbita.4 Septum orbita adalah lapisan dari fascia
yang meluas secara vertikal dari periosteum di bagian orbita ke aponeurosis
levator pada bagian kelopak mata atas dan batas inferior lempeng tarsal pada
bagian bawah kelopak mata. Selulitis orbital (selulitis post septal) dan selulitis
preseptal merupakan infeksi tersering yang menyerang jaringan di orbita dan
adneksa mata. Selulitis orbita merupakan penyakit yang menyerang jaringan halus
pada bagian orbita posterior yang meluas sampai ke septum orbita dan bisa
dibedakan dengan selulitis preseptal yang merupakan penyakit yang menginfeksi
jaringan halus pada kelopak mata dan regio periocular anterior dari septum orbita.
Penyakit ini merupakan penyebab tersering proptosis pada anak-anak. Walaupun
sebagian besar kasus timbul pada anak-anak, orang dewasa, dan yang mengalami
gangguan kekebalan juga dapat terkena. Penyebab dari penyakit ini sangat
bervariasi dan dapat mengakibatkan komplikasi serius jika tidak ditangani
segera.17

2.5.2. Epidemiologi

Penyakit ini biasanya terjadi pada negara yang terdapat musim dingin
akibat meningkatnya insiden sinusitis. 90% kasus selulitis orbita disebabkan oleh
Sinusitis Ethmoid dan biasanya diikuti oleh penyakit-penyakit seperti
dakriosistisis, ostiomielitis pada tulang orbita, pleblitis pada vena fasial, dan
infeksi pada gigi. Di Amerika Serikat terdapat bukti peningkatan insiden penyakit
selulitis orbita pada mereka yang memiliki memiliki riwayat resisten metisilin
pada Staphylococcus Aureus salah satu bakteri penyebab selulitis orbita.
Berdasarkan ketersediaan antibiotik penderita yang mengalami selulitis orbital
mempunyai rasio mortalitas 17 % dan 20% yang hidup mengalami kebutaan.
Namun dengan diagnosa segera dan pemberian antibiotik yang tepat rasio
penyakit ini menurun hingga 11 %. Pada kasus selulitis orbita dengan penyebab
jamur, mempunyai angka mortalitas yang tinggi pada pasien dengan keadaan
imunosupresi. Namun perlu dicatat bahwa pada kasus selulitis orbita dengan
resisten metisilin pasien tetap akan mengalami kebutaan meskipun mendapat
18
terapi antibiotik. Secara umum penyakit ini lebih sering menyerang anak-anak
pada usia pertengahan daripada dewasa pada usia 7 – 12 tahun. Pada usia dewasa
penyakit ini bisa terjadi dengan rasio perbandingan yang sama baik pria maupun
wanita,kecuali pada kasus resisten metisilin dimana wanita lebih sering daripada
pria dengan rasio perbandingan 4:1, sedangkan pada anak-anak pria lebih sering
daripada wanita.17

2.5.3. Etiologi

Selulitis orbita biasanya disebabkan oleh :



Infeksi pada jaringan halus pada orbita akibat penyebaran infeksi dari
bagian periorbital.

Trauma yang mengakibatkan perforasi pada septum oribita yang dapat
mengakibatkan reaksi inflamasi dalam waktu 48-72 jam setelah terjadinya
trauma.

Infeksi post operatif.

Infeksi bakteri seperti Streptococcus Sp, Staphylococcus Aureus,
Haemophilus influenzae type B. Pseudomonas, Klebsiella, Eikenella, dan
Enterococcus sangat jarang.

Infeksi jamur seperti Mucor dan Aspergillus sp.17

2.5.4. Patofisiologi

Dinding bagian medial orbita sangat tipis dan dapat dilalui oleh pembuluh
darah dan saraf. Dengan adanya keadaan tersebut dapat memudahkan terjadinya
penyebaran mikroorganisme penyebab infeksi khususnya antara rongga ethmoid
dan ruang subperiorbital pada bagian medial orbita. Lokasi yang paling tersering
terkena abses subperiorbital adalah sepanjang dinding medial orbita, karena pada
medial orbita bagian ini termasuk jaringan penyambung jarang sehinga
memudahkan penyebaran material-material abses tersebut ke arah lateral, superior
dan inferior didalam ruang subperiorbital.17

Disamping itu penyebaran dari bagian otot-otot ekstraokular dan septum


intermuskular terjadi diantara otot rektus yang satu dan yang lain serta berinsersi
pada bagian posterior annulus zinii. Pada bagian posterior fascia diantara otot-otot

19
rektus yang tipis dan tidak sempurna ini dapat memudahkan penyebaran infeksi di
bagian intra dan ekstra piramid pada ruang orbita.17

Penyebaran infeksi juga dapat terjadi melalui vena orbitalis yang


memperdarahi sepertiga bagian medial wajah terutama sinus paranasal.17

Pada kasus selultis orbita dengan penyebabnya jamur terutama mucor dan
aspergillus sp bisa terdapat dua keadaan mucomycosis dan aspergillosis.17

20
2.5.5. Diagnosis

Penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan salah satu


elemen penting dalam mendiagnosa selulitis orbital. Pasien biasanya mengeluhkan
demam, malaise, riwayat sinusitis dan infeksi saluran nafas bagian atas. Perlu
untuk ditanyakan riwayat trauma, operasi yang pernah dilakukan atau ada
tidaknya infeksi sistemik yang sedang atau mungkin pernah dialami.17

Selain gejala-gejala diatas juga terdapat gejala-gejala tambahan yaitu :

1. Kemosis konjungtiva
2. Penurunan penglihatan
3. Peningkatan tekanan intraocular
4. Nyeri pada saat mengerakan mata
5. Sakit kepala
6. Edema palpebral
7. Rhinorhea

Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan :

 Proptosis dan oftalmoplegia (tanda cardinal dari selulitis orbital) biasanya


di ikuti oleh gejala 1-4 ditambah beberapa gejala seperti :
o Penglihatan yang awalnya normal namun semakin bertambah sulit
dievaluasi pada anak yang mengalami edema palpebra.
o Discharge cairan nasal yang purulent
o Konjungtiva yang hiperemis dan adanya kemosis
o Palpebra yang berwarna merah tua

Pembedaan antara selulitis orbita dan selulitis periorbita penting


dilakukan. Proptosis, nyeri tekan , resistensi terhadap tekanan pemeriksa pada
mata, keterbatasan gerakan ekstraokular, dan perubahan penglihatan seperti
penglihatan ganda atau penurunan ketajaman menunjukkan selulitis orbita. CT
scan wajib dilakukan untuk pasien yang dicurigai mengalami selulitis orbita.

21
Pasien dengan temuan CT normal tetapi mengalami tanda dan gejala yang
menunjukkan selulitis orbita harus dipertimbangkan menderita selulitis orbita.
MRI dapat membantu menujukkan tingkat keparahan penyakit ini.15

2.5.6. Diagnosa banding

o Retinoblastoma
o Sarciodosis
o Gigitan laba-laba
o Oftalmopati tiroid

2.5.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

 Hitung sel darah : leukositosis (leukosit >15.000) dengan netrofilnya shift


to the left.
 Kultur darah untuk dan papsmear untuk mengetahui penyebab penyakit
dan terapi yang akan digunakan.

Pemeriksaan radiologi

CT-Scan dengan kontras dengan dua cara pengambilan :

 Axial : untuk mengetahui ada tidaknya pembentukan abses otak pada


bagian peridural dan parenkim.
 Koronal : untuk mengetahui ada tidaknya abses subperiorbital, namun pda
potongan ini sangat sulit dilakukan pada anak-anak yang tidak kooperatif
dan yang sedang mengalami onset akut penyakit ini. Hal ini diakibatkan
karena membutuhkan hiperfleksi atau hiperekstensi dari leher.
 MRI : untuk mengetahui ada tidaknya abses orbital dan kemungkinan
terjadinya penyakit sinus kavernosa.

Jika terdapat gejala-gejala menigeal pungsi lumbar sangat penting untuk


dilakukan.17

22
2.5.8. Tatalaksana

Terapi medikamentosa

 Antibiotik :
o Vancomycin
o Clindamycin
o Ceftazidime
o Nafcilin
o Chloromycetin
 Dekongestan nasal
 Phenylephrine nasal
 Anti fungal
o Amphotericin B
Drug of choice dalam pengobatan selulitis orbital karena jamur.
Diberikan secar intravena dan sangat baik diberikan sebelum
konfirmasi hasil laboratorium pada kasus infeksi berat.
 Diuretik
 Acetazolamide

Tindakan operatif
-
Terjadi penurunan penglihatan.
-
Defek aferen pupil terjadi
-
Proptosis tetap terjadi meskipun telah diberikan antibiotik.
-
Ukuran dari abses pada sinus tidak berkurang pada CT scan dalam jangka
waktu 48-72 jam pasca pemberian terapi antibiotik.
-
Dapat dilakukan crainiotomy jika terdapat abses pada otak.17

23
2.5.9. Komplikasi

Komplikasi selulitis orbital dapat terjadi di bagian orbita itu sendiri atau
menyebar ke bagian intracranial. Abses subperiorbital dapat terjadi (7-9%).
Kehilangan penglihatan permanen dapat terjadi akibat kerusakan kornea atau
neurotropik keratitis, rusaknya jaringan intraokular, glaukoma sekunder, neuritis
optik, dan oklusi arteri centralis retina. Kebutaan juga bisa terjadi secara sekunder
akibat peningkatan tekanan intraorbital atau infeksi secara langsung pada nervus
optikus melalui sinus sfenoid dan nervus okulomotor sehingga dapat
mengakibatkan kelemahan otot-otot ekstraokular. Komplikasi intrakranial
meliputi meningitis (2%), trombosis sinus kavernosus (1%), abses intrakranial,
subdural dan epidural.17

2.6. Trombosis Sinus Kavernosus

2.6.1. Definisi

Trombosis Sinus Kavernosis adalah penyumbatan vena besar di dasar otak


(sinus kavernosus). 18 Sinus kavernosus merupakan jaringan yang saling berhub
pola drainase yang unik digabung dengan vena yang tidak berkatup.19

2.6.2. Etiologi

Penyebab TSK adalah bakteriemi, infeksi sinus paranasal, trauma kranial


dan infeksi pada gigi rahang atas. Staphylococcus aureus merupakan bakteri
predominan yang diisolasi pada kultur (70%) diikuti spesies Streptococcus (20%)
dan bakteri gram negative lainnya.Selain itu dapat juga disebabkan oleh
Pseudomonas dan jamur seperti Aspergilus.19

24
2.6.3. Gejala Klinis

Gejala klinis TSK adalah demam dan nyeri kepala disertai proptosis,
kemosis, bengkak periorbita dan kelumpuhan beberapa nervus kranial. Proptosis
dan kemosis terjadi akibat stasis aliran vena. Oftalmoplegia eksterna terjadi akibat
keterlibatan Nervus oculomotor (III), Nervus troklearis (IV) dan Nervus abducens
(VI) pada sinus kavernosus.20

2.6.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi dilakukan pemeriksaan terhadap
darah dan contoh cairan, lendir maupun nanah dari tenggorokan dan hidung.
Biasanya juga dilakukan CT scan sinus, mata dan otak.18

2.6.5. Tatalaksana

Antibiotik tetap merupakan pengobatan dasar untuk trombosis sinus


kavernosus. Antibiotik empiris harus mencakup gram positif, gram negatif dan
bakteri anaerob. Pengobatan dapat dipersempit, disesuaikan dengan kultur dan
sensitifitas. Terapi awal pendekatan antibiotik spektrum luas diberikan sampai
bakteri patogen diidentifikasi.21 Pembedahan hampir tidak pernah diindikasikan
untuk trombosis, tapi mungkin diperlukan untuk menghilangkan etiologi primer
seperti sinusitis, infeksi gigi, abses orbital atau infeksi intrakranial.22

25
BAB III

PENUTUP

2.1. KESIMPULAN

Protrusio bulbi merupakan keadaan dimana bola mata menonjol


keluar. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit orbita.
Penyebabnya bisa bermacam-macam, misalnya infeksi, tumor, gangguan
vaskular, dan gangguan sistem endokrin. Protrusio bulbi dapat menyebabkan
gangguan fungsi pada mata apabila tidak ditatalaksana dengan adekuat dan
sesuai dengan penyebabnya, maka dari pada itu diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta pengetahuan mengenai diagnosis banding dari
penyakit-penyakit yang bermanifestasi protrusio bulbi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Rene C. update on orbital anatomy. Nature publishing group all right


reserved 0950-222X/06.(2006). Available from : www.nature.com/eye
2. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2003. Jakarta
3. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Penerbit buku kedokteran EGC.
20120. Jakarta
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep-konsep dasar penyakit volume
2. Penerbit buku kedokteran EGC. 2006. Jakarta
5. WebMD. Exophthalmos – diagnosing exophthalmos. Updated : 2013.
Available from : http://www.webmd.boots.com/a-to-z-
guides/tc/exophthalmos-diagnosing-exophthalmos
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S. buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Pusat Penerbitan FK UI. 2007.
Jakarta
7. Greenberg I. teks – atlas kedokteran kedaruratan. Penerbit erlangga
medical series. 2007. Jakarta
8. Adam JMF, Adam-Sampelan MJ. Oftalmopati Graves, Epidemiologi,
Klasifikasi, dan Penatalaksanaan. http://med.unhas.ac.id/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=173. 2005. [diakses 04 Mai 2018]
9. Bodh SA, Kanal S. Thyroid associated ophthalmopathy. Delhi journal
ophthalmology.2012;22(4):249-255
10. Jack Rootman, Peter J Dolman. Thyroid Orbithopathy.2nd edition. USA,
lippincots. 2003; 169-212
11. Rebecca S Bahn,M.D. Mechanism of disease Grave’s ophthalmopathy.
N.England journal med.2010;362-368

12. Sharma R. Cavernous Sinus Thrombosis. Updated : 7 March 2013.


Available from : http://emedicine.medscape.com/article/791704-
overview#showall
13. Faridah M, Azhany Y, Omar N, Rasdi AR, Yaacob M. Bilateral orbital
cellulitis secondary to furunculosis a case series. Sch J Med Case Rep.
2015; 3(9B): 892-5.

27
14. Syed A, Bell B, Hise J, Philip J, Spak C, Michael J. Opatowsky. Bilateral
cavernous sinus and superior ophthalmic vein thrombosis in the setting of
facial cellulitis. Bayl Univ Med Cent. 2016;29(1):36–8.
15. Varshney S, Malhotra M, Gupta P, Gairola P, Kaur N. Cavernous sinus
thrombosis of nasal origin in children. 2015;7(1):100-15.
16. Ebright J, Pace M, Niazi A. Septic thrombosis of the cavernous sinuses.
Arch Intern Med. 2001; 161: 2671-6.

28

You might also like