Professional Documents
Culture Documents
HIPERSPLEENISME
Istilah kata hiperspleenisme lebih di fokuskan pada keadaan kerja limpa yang
berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat
akibat/bersama-sama dari suatu penyakit atau dapat menyebabkan penyakit sistemik.
Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit dicetuskan sejak 1866 oleh
Grestel dan 1880 Banti dan pada 1907 oleh Chuffard, kata hiperspleenisme mulai di
perkenalkan.
Hipersplenisme adalah keadaan dimana terjadi pembesaran limpa akibat dari suatu
penyakit. Pasien dengan hipersplenisme gambaran klinisnya akan mengalami anemia,
leukopenia, trombositopenia atau kombinasinya. Hal ini disebabkan limpa yang
membesar cenderung untuk menangkap dan menghancurkan sel-sel darah. Anemia yang
disebabkan oleh pembesaran limpa berkembang secara perlahan dan gejalanya
cenderung ringan.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita : Tn. S
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : buruh
Alamat : jl. Budi utomo
No. RM : 51 95 648
Tanggal Masuk : 13 desember 2018
DPJP : dr. Tety Yuniarti Sudiro Sp.PD.
Dokter Muda : Fitriah Rahmadani, S.Ked.
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : demam
Riwayat Penyakit :
Pasien masuk dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
dirasakan naik turun & hilang timbul, tidak ada waktu khusus naiknya demam, disertai
mual tapi tidak sampai muntah. Pasien juga mengaku cepat lelah dan sesak jika
beraktivitas dan wajahnya selalu tampak pucat. Keluhan ini sudah di alami pasien selama
1 tahun. Dari anamnesis didapatkan jika mulut pasien mudah mengeluarkan darah pada
saat sikat gigi dan makan, pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 hari di rumah sakit,
pengelihatannya mulai kabur, padahal sebelum masuk rumah sakit, keluhan ini tidak ada.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (+), riwayat dm (-), riwayat HT (-), riwayat
keluarga (-), riwayat obat (+) PCT tapi tidak membaik dengan pengobatan. Riwayat BAB
dan BAK berdarah (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENT
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 38,20C /axillar
Kepala
Normocephal
- Muka Simetris : Simetris
- Deformitas : (-)
- Rambut : rambut hitam, tampak tumbuh jarang dan sedikit
Mata
- Eksoptalmus/ Enoptalmus : (-)
- Kelopak mata : Normal, tidak ditemukan kelainan
- Konjungtiva : Anemis(+)
- Sklera : Ikterus (-)
- Kornea : Reflex cahaya (+)/(+).
- Pupil : Isokor, diameter 2,5 mm / 2,5 mm.
Telinga
- Tophi : -/-
- Perdarahan : -/-
- Nyeri tekan di Proc. Mastoideus : -/-
Hidung
- Epitaksis (-)
- Rhinore (-)
Mulut
Leher
Thoraks
- Inspeksi : Bentuk: Simetris ki=ka; Retraksi (-); Sela iga lebar (-)
Spider nevi (-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri=kanan
Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru (Kiri & kanan)
Batas paru hepar: Pekak hepar (+) pada ICS VI linea midklavikula
dextra
- Auskultasi: Bunyi pernapasan: Vesikuler (+/+) normal,
Bunyi tambahan: rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Pekak (+)
- Auskultasi: BJ I/II regular
- Bunyi tambahan : murmur (-), S3 gallop (-)
Abdomen
Punggung
Ekstremitas :
F. RESUME
Pasien masuk dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam dirasakan naik turun & hilang timbul, tidak ada waktu khusus naiknya demam,
disertai mual tapi tidak sampai muntah. Pasien juga mengaku cepat lelah dan sesak jika
beraktivitas dan wajahnya selalu tampak pucat. Keluhan ini sudah di alami pasien selama
1 tahun. Dari anamnesis didapatkan jika mulut pasien mudah mengeluarkan darah pada
saat sikat gigi dan makan, pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 hari di rumah sakit,
pengelihatannya mulai kabur, padahal sebelum masuk rumah sakit, keluhan ini tidak ada.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (+), riwayat dm (-), riwayat HT (-), riwayat
keluarga (-), riwayat obat (+) PCT tapi tidak membaik dengan pengobatan. Riwayat BAB
dan BAK berdarah (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan Sakit sedang, composmentis, IMT baik. Tanda vital
didapatkan TD : 110/70 mmHg, N : 80x/menit, P : 22x/menit, S: 38,2˚C. Mata :
Konjungtiva Anemis (+). Abdomen Inspeksi : datar , ikut gerak napas, Palpasi:
pembesaran lien (schuffner 3).
G. ASSESMENT
Hiperspleenisme
H. DIAGNOSIS BANDING
- Leukimia mielositik cronik (CML)
- Anemia aplastik
I. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Hapusan darah tepi
- Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
J. PENATALAKSANAAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIPERSPLEENISME
A. Definisi
b. Congestive/bendungan splenomegali:
- Sirosis hati
- Trombosis, stenosis atau cavernous transformasi vena porta
- Trombosis yang dapat terjadi penghambatan vena splenika
- Tidak diketahui penyebabnya
- Kegagalan jantung
c. Hiperplasia splenomegali
- Anemia hemolitik murni
- Anemia kronik dengan ada/tidak ada kerusakan darah:
anemia pernisiosa, anemia mikrositik
talasemia, hemoglobin C disease.
Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis, megakariositis
aleukemik, metaplasia mieloid agnogenik
Penyakit hemolitik sejak bayi
Lupus eritematosus sistemik
- Trombositopenia purpura
- Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Graves
- Polisitemia vera
- Splenik neutropenia/panhematopenia primer
- Kriptogenetik, splenomegali tropikal
d. Infiltratif splenomegali
- Penyakit gaucher’s
- Penyakit niemann-pick’s
- Amiloidosis
- Diabetik lipemia
- Gargoilisme
D. Gejala klinis
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena
pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari
kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat mendadak sakit dan
disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-tiba penghancuran eritrosit
yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasari pembesaran
limpa (hiperspleenisme sekunder). Demikian juga hasil pemeriksaan
laboratorium selain anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya.
E. Pengobatan
Pada pasien hiperspleenisme primer, splenektomi adalah yang terutama
sedangkan pada hipersplenisme sekunder sangat tergantung dengan penyakit
penyebabnya. Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperseluler. Banyak keadaan penyakit yang disertai
pembesaran limpa yang masif seperti leukemia mielositik kronik, limfoma,
leukimia haircel, mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia vera.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa primer. Tindakan
splenektomi biasanya di lakukan pada pasien anemia karena kelainan bentuk
eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambat atau berkurang. Sehingga
splenektomi dapat di lakukan sebagai pilihan terakhir pengobatan penyakit-
penyakit hipertensi portal, leukimia dan lomfoma.
F. Risiko
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri atau
sepsis terutama 1-3 tahun setelah operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi
kenaikan cepat jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.
b. Gejala klinis
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat
desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan anemia yang
bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai infeksi.
c. Diagnosis
Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90%
kasus. Selain itu Juga didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan
hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas,
pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus. Keluhan lain
sering tidak spesifik, misanya rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran
hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukimia. Apabila dibuat urutan
berdasarkan keluhan yang di utarakan oleh pasien, maka seperti terlihat seperti
tabel 1
Urutan keluhan pasien berdasarkan frekuensi
Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
↓ berat badan 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut 30
demam 10
e. Pengobatan
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai
remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu
tercapi remisi hematologis, di lanjutkan dengan terapi interferon dan atau
dengan cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak
lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan resiko
rendah menurut perhitungan sokal.
Obat-obat yang di gunakan pada CML adalah
Hydroxyurea (hydrea)
- Termasuk terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada
LGK.
- Leboh efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil
- Dosis 30 mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
di bagi 2-3 dosis. Apabila leukosit >300.000/mm3, dosis boleh di
tinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari.
- Penggunaannya di hentikan dulu bila lekosit <8.000/mm3, dosis
boleh di tinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari.
- Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, lekosit,
trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.
Busulfan (myleran)
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari/oral, dapat dinaikan sampai 12 mg/hari, harus
di hentikan bila lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru di mulai
kembali setelah lekosit >50.000/mm3.
- Tidak boleh di berikan pada wanita hamil
Imatinib mesylate ( gleevec=glyvec)
- Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat
di tingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respons
hematologiksetelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik,
yakni Hb menjadi rendah dan/.atau lekosit meningkat
dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit.
- Dosis haru sdi turunkan apabila terjadi netropenia berat
(<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
- Untuk fase akselerasi atau fase krinis blas, dapat di berikan
langsung 800 mg/hari (400mg b.i.d)
Interferon alfa-2a atau interferon alfa-2b
- Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi
sitogenik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data
penelitian di indonesia, dosis yang dapat di toleransi adalah 3 juta
IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap
hari.
Cangkok sumsum tulang
- Merupakan terapi defentif untuk LGK. Data menunjukan bahwa
cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa
remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik.
- Tidak di lakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau
BCR-ABL negatif.
f. Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun
setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru,
maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Faktor-faktor di bawah ini yang memperburuk prognosis pasien LGK,
antar lain:
- Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik,
seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam.
- Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.
- Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi,
memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.
B. Anemia aplastik
a. Definisi
Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara fisiologis maupun
anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan atau tidak ada faktor pembentuk sel
darah dalam sumsum tulang, pansitopenia darah perifer, tanpa disertai
hepatosplenomegali atau limfadenopati.
b. Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang
pasti maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain
menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah
iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang
terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan
jaringan sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang
terjadi seperti toksisitas langsung atau defisiensi selsel stromal. Penyimpangan
proses imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan
infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia. Hematopoesis
normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan interaksi antara
progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro
(microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur
hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor pertumbuhan hematopoetik.
Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan pemeriksaan flouresent
activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34 dan adhsesi
protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal.
Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa
mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau
fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum
tulang melalui mekanisme imunologis. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang
peran yang besar dalam kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan
limfokin seperti interferon-a(IFN-γ) dan tumor necrosis factor ß (TNF-ß).
Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal
sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya
apoptosis sel target. Efek IFNγ melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1),
adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga
menginduksi pembentukan nitric oxide synthase (NOS), dan produksi gas toksik
nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya menyebar.
c. Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia
yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan pansitopenia, pada
hitung jenis juga menunjukan gambaran limfositosis relatif. Diagnosis pasti
anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang
yang menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak jaringan
ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik, granulopoetik dan
trombopoetik.
d. Prognosis
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya sampai
sekarang belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggal sekitar 6 bulan
setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20 % sembuh tanpa transplantasi
sumsum tulang dan sepertiga pasien meninggal akibat perdarahan dan infeksi
yang tidak teratasi. Penyebab kematian pada umumnya adalah sepsis akibat
infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus. Oleh karena itu, menentukan prognosis
pasien anemia aplastik penting karena akan menentukan terapi yang sesuai.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan prognosis
pasien anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler
atau aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya infeksi sekunder.
Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk jika ditemukan pada usia muda,
gambaran sumsum tulang aseluler dengan pengurangan proporsi komponen
mieloid dari sumsum tulang lebih dari 30% limfosit, gambaran darah tepi
dengan jumlah retikulosit<1%, leukosit<500/uL, dan trombosit <20.000/uL,
disertai infeksi sekunder. Di antara hal-hal di atas yang paling baik dijadikan
sebagai pegangan dalam menentukan prognosis adalah gambaran sumsum
tulang
e. Pengobatan
a. Tata laksana suportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat
diberikan transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi
sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte antigen), menurunkan
kemungkinan transmisi infeksi hepatitis, virus sitomegalo dan
toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah graft- versus host
disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang
sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti
reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi,
dan penimbunan zat besi. Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan
kematian. Untuk mencegah perdarahan terutama pada organ vital dapat
dilakukan dengan mempertahankan jumlah trombosit di atas 20.000/uL.
Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi suspensi trombosit. Perlu diingat
bahwa pemberian suspensi trombosit dapat menyebabkan keadaan
isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan keadaan ini dapat
mempengaruhi keberhasilan terapi. Isoimunisasi dapat dicegah dengan
pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila
perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis. Untuk
mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat
diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi.
Kebersihan kulit dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena
infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering menjadi penyebab kematian.
Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan pemeriksaan
kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis.
Bila dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas
dengan dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam
dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil
kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan
antibiotik secara empiris dapat diberikan anti jamur. Pada tata laksana
anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah penghindaran dari
bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan yang mungkin
menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu
ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.
York: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010 [cited 2013 July 29]. Available
from: Elibrary.
5. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16
7. Schrier SL. Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January