You are on page 1of 24

BAGIAN PENYAKIT DALAM KASUS BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

HIPERSPLEENISME

NAMA MAHASISWA :FITRIAH RAHMADANI


STAMBUK :K1A1 13 019
PEMBIMBING :dr. TETY YUNIARTI SUDIRO, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM BAHTERAMAS
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah kata hiperspleenisme lebih di fokuskan pada keadaan kerja limpa yang
berlebihan dan dapat menyebabkan penyakit. Jadi suatu keadaan pembesaran limpa dapat
akibat/bersama-sama dari suatu penyakit atau dapat menyebabkan penyakit sistemik.
Keadaan limpa yang dapat menyebabkan penyakit dicetuskan sejak 1866 oleh
Grestel dan 1880 Banti dan pada 1907 oleh Chuffard, kata hiperspleenisme mulai di
perkenalkan.
Hipersplenisme adalah keadaan dimana terjadi pembesaran limpa akibat dari suatu
penyakit. Pasien dengan hipersplenisme gambaran klinisnya akan mengalami anemia,
leukopenia, trombositopenia atau kombinasinya. Hal ini disebabkan limpa yang
membesar cenderung untuk menangkap dan menghancurkan sel-sel darah. Anemia yang
disebabkan oleh pembesaran limpa berkembang secara perlahan dan gejalanya
cenderung ringan.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama Penderita : Tn. S
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : buruh
Alamat : jl. Budi utomo
No. RM : 51 95 648
Tanggal Masuk : 13 desember 2018
DPJP : dr. Tety Yuniarti Sudiro Sp.PD.
Dokter Muda : Fitriah Rahmadani, S.Ked.

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : demam
Riwayat Penyakit :
Pasien masuk dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam
dirasakan naik turun & hilang timbul, tidak ada waktu khusus naiknya demam, disertai
mual tapi tidak sampai muntah. Pasien juga mengaku cepat lelah dan sesak jika
beraktivitas dan wajahnya selalu tampak pucat. Keluhan ini sudah di alami pasien selama
1 tahun. Dari anamnesis didapatkan jika mulut pasien mudah mengeluarkan darah pada
saat sikat gigi dan makan, pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 hari di rumah sakit,
pengelihatannya mulai kabur, padahal sebelum masuk rumah sakit, keluhan ini tidak ada.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (+), riwayat dm (-), riwayat HT (-), riwayat
keluarga (-), riwayat obat (+) PCT tapi tidak membaik dengan pengobatan. Riwayat BAB
dan BAK berdarah (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS PRESENT

Keadaan Umum : Sakit Sedang


Gizi : Normal
BB: 45 kg TB: 150 cm, IMT: 20 kg/m2
Kesadaran: Composmentis/apatis/somnolen

Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 22x/menit
Suhu : 38,20C /axillar

Kepala
Normocephal
- Muka Simetris : Simetris
- Deformitas : (-)
- Rambut : rambut hitam, tampak tumbuh jarang dan sedikit
Mata
- Eksoptalmus/ Enoptalmus : (-)
- Kelopak mata : Normal, tidak ditemukan kelainan
- Konjungtiva : Anemis(+)
- Sklera : Ikterus (-)
- Kornea : Reflex cahaya (+)/(+).
- Pupil : Isokor, diameter 2,5 mm / 2,5 mm.
Telinga

- Tophi : -/-
- Perdarahan : -/-
- Nyeri tekan di Proc. Mastoideus : -/-
Hidung

- Epitaksis (-)
- Rhinore (-)
Mulut

- Lidah : Stomatitis (-) ,tremor (-)


- Gigi geligi : Tidak ada kelainan
- Gusi : Perdarahan (+), Stomatitis (-)
- Tonsil : T1/T1
- Pharynx : Hiperemis (-)

Leher

- Kelenjar getah bening : Tanpa pembesaran


- Kelenjar Tiroid : Tanpa pembesaran
- JVP : Normal R + 2 cmH2O
- Pembuluh darah : Pulsasi (+), dilatasi (-)
- Kaku kuduk : Tidak ada
- Tumor : Tidak ditemukan

Thoraks

- Inspeksi : Bentuk: Simetris ki=ka; Retraksi (-); Sela iga lebar (-)
Spider nevi (-)
- Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri=kanan
Nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru (Kiri & kanan)
Batas paru hepar: Pekak hepar (+) pada ICS VI linea midklavikula
dextra
- Auskultasi: Bunyi pernapasan: Vesikuler (+/+) normal,
Bunyi tambahan: rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Pekak (+)
- Auskultasi: BJ I/II regular
- Bunyi tambahan : murmur (-), S3 gallop (-)
Abdomen

- Inspeksi : Datar , ikut gerak napas, caput medusa (-)


- Auskultasi : peristaltik (+)
- Palpasi : Nyeri tekan regio epigastrium (-), splenomegali (+) schuffner 3,
hepatomegali (-)
- Perkusi : redup

Punggung

- Inspeksi : Dalam batas normal


- Palpasi : Vocal Fremitus dalam batas normal
- Perkusi : dalam batas normal
- Auskultasi : dalam batas normal

Alat kelamin/Genitalia :Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan rektum : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas :

- Eritema palmaris (-)


- Akral hangat (+)
- edema (-)
- Kekuatan 5/5

Kulit : Ikterik (-) Pucat (+)


D. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pasien di Rumah Sakit Bhyangkara:
1. Darah Rutin : Hasil pemeriksaan tanggal 13 Oktober 2018
Parameter Hasil Nilai Rujukan

WBC 7,1 x 103/uL 4,00 – 10,00

RBC 1,06 x 106/uL 4,00 – 6,00

HGB 3,1 g/Dl 12,0 – 16,0

HCT 18,8 % 37,0 – 48,0

MCV 92 fL 80,0 – 97,0

MCH 29 pg 26,5 – 33,5

MCHC 31,4 g/dL 31,5 – 35,0

PLT 57 x 103/uL 150 – 400

RDW 19,3 % 10,0 – 15,0

PDW ----- 10,0 – 18,0

MPV ----- 6,5 – 11,0

P-LCR ----- 13,0 – 43,0

PCT ----- 0,15 – 0,50

NEUT 74,2 x 103/uL 52,0 – 75,0

LYMPH 22,6 x 103/uL 20,0 – 40,0

MONO 3,6 x 103/uL 2,0 – 8,0

EO ------ 1,0 – 3,0

BASO ------ 0,0 – 0,1

2. Kimia Darah: Hasil pemeriksaan tanggal 13 Oktober 2018


Parameter Nilai Rujukan

Glukosa Darah Sewaktu 205 mg/dl 70 – 180

SGOT/AST ------ L = < 45 P = < 31

SGPT/ALT ------ L = < 41 P = < 31


E. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pasien di Rumah Sakit Bahteramas.
3. Darah Rutin : Hasil pemeriksaan tanggal 13 januari 2018
Parameter Hasil Nilai Rujukan

WBC 6,66 x 103/uL 4,00 – 10,00

RBC 0,97 x 106/uL 4,00 – 6,00

HGB 2,5 g/Dl 12,0 – 16,0

HCT 9.6 % 37,0 – 48,0

MCV 99,0 fL 80,0 – 97,0

MCH 25,8 pg 26,5 – 33,5

MCHC 26,0 g/dL 31,5 – 35,0

PLT 19 x 103/uL 150 – 400

RDW-SD 74,3 % 37,0-54,0

RDW-CV 22,9 % 10,0 – 15,0

PDW ----- 10,0 – 18,0

MPV ----- 6,5 – 11,0

P-LCR ----- 13,0 – 43,0

PCT ----- 0,15 – 0,50

NEUT 4,43 x 103/uL 52,0 – 75,0

LYMPH 1.53 x 103/uL 20,0 – 40,0

MONO 0,56 x 103/uL 2,0 – 8,0

EO 0,13 x 103/uL 1,0 – 3,0

BASO 0,01 x 103/uL 0,0 – 0,1

4. Kimia Darah: Hasil pemeriksaan tanggal 13 Oktober 2018


Parameter Nilai Rujukan

Glukosa Darah Sewaktu 111 mg/dl 70 – 180


Ureum 32 L=19-44 P=15-40
Kreatinin 1,2 L=0,7-1,2 p=0,5-1,0
SGOT/AST 21 L = < 45 P = < 31
SGPT/ALT 19 L = < 41 P = < 31
5. Darah Rutin : Hasil pemeriksaan tanggal 18 januari 2018
Parameter Hasil Nilai Rujukan

WBC 6,56 x 103/uL 4,00 – 10,00

RBC 3,39 x 106/uL 4,00 – 6,00

HGB 9,8 g/Dl 12,0 – 16,0

HCT 29,9 % 37,0 – 48,0

MCV 88,2 fL 80,0 – 97,0

MCH 28,9 pg 26,5 – 33,5

MCHC 32,8 g/dL 31,5 – 35,0

PLT 53 x 103/uL 150 – 400

RDW-SD 60,6 % 37,0-54,0

RDW-CV 20,6 % 10,0 – 15,0

PDW ----- 10,0 – 18,0

MPV ----- 6,5 – 11,0

P-LCR ----- 13,0 – 43,0

PCT ----- 0,15 – 0,50

NEUT 3,26 x 103/uL 52,0 – 75,0

LYMPH 2,65 x 103/uL 20,0 – 40,0

MONO 0,29 x 103/uL 2,0 – 8,0

EO 0,14 x 103/uL 1,0 – 3,0

BASO 0,22 x 103/uL 0,0 – 0,1


6. Hasil pemeriksaan USG Abdomen tanggal 30 Oktober 2017
- Hepar: ukuran membesar (15,7), intesitas normal
- Kesan : splenomegali
Saat ini gall blader, ginjal kanan kiri, uterus, dan adneksa tidak tampak kelainan

F. RESUME
Pasien masuk dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam dirasakan naik turun & hilang timbul, tidak ada waktu khusus naiknya demam,
disertai mual tapi tidak sampai muntah. Pasien juga mengaku cepat lelah dan sesak jika
beraktivitas dan wajahnya selalu tampak pucat. Keluhan ini sudah di alami pasien selama
1 tahun. Dari anamnesis didapatkan jika mulut pasien mudah mengeluarkan darah pada
saat sikat gigi dan makan, pasien juga mengeluhkan bahwa selama 2 hari di rumah sakit,
pengelihatannya mulai kabur, padahal sebelum masuk rumah sakit, keluhan ini tidak ada.
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (+), riwayat dm (-), riwayat HT (-), riwayat
keluarga (-), riwayat obat (+) PCT tapi tidak membaik dengan pengobatan. Riwayat BAB
dan BAK berdarah (-).
Pemeriksaan fisik didapatkan Sakit sedang, composmentis, IMT baik. Tanda vital
didapatkan TD : 110/70 mmHg, N : 80x/menit, P : 22x/menit, S: 38,2˚C. Mata :
Konjungtiva Anemis (+). Abdomen Inspeksi : datar , ikut gerak napas, Palpasi:
pembesaran lien (schuffner 3).

G. ASSESMENT
Hiperspleenisme

H. DIAGNOSIS BANDING
- Leukimia mielositik cronik (CML)
- Anemia aplastik
I. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Hapusan darah tepi
- Aspirasi dan biopsi sumsum tulang
J. PENATALAKSANAAN

Non Farmakologi Farmakologi


 Bed rest  IVD NaCl 20 tpm
 Memberikan edukasi kepada  Transfusi trombosit 200cc/hari
pasien dan keluarganya  Asam traneksamat 1 A/ 8 jam/Iv
mengenai perjalanan penyakit  Pantoprazole 40 mg/ 12 jam/ iv
dan komplikasinya.  Sucralfat 3x1 syrup
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERSPLEENISME

A. Definisi

Hiperspleenisme adalah suatu keadaan dimana a) anemia , lekopenia,


trombositopenia atau kombinasinya; b). Normal atau hiperseluler sumsum
tulang; c). Pembesaran limpa; d). Klinis membaik bila dilakukan pengangkatan
limpa. Splenomegali akibat berbagai sebab dapat menyebabkan sekuestrasi
elemen-elemen darah sampai menghasilkan sitopenia. Ciri khas utama
hipersplenisme adalah (a) splenomegali; (b) berkurangnya jumlah satu atau
lebih elemen darah di sirkulasi yang berkaitan dengan peningkatan
prekursornya; dan (c) koreksi sitopenia setelah splenektomi. Splenomegali
hampir selalu merupakan akibat kelainan-kelainan lain (Tabel 9), paling sering
diakibatkan sirosis dengan hipertensi porta. Trombositopenia umumnya bersifat
sedang dan kadarnya jarang berada di bawah 40.000/µL. Pada kebanyakan
kasus, terapi spesifi k untuk trombositopenia tidak diperlukan. Transfusi
trombosit tidak efektif sebab trombosit yang ditransfusikan juga akan
disekuestrasikan dalam limpa. Terapi ditujukan pada sebab yang mendasari
splenomegali. Walaupun splenektomi dapat mengoreksi trombositopenia,
manfaatnya harus diperhitungkan dan dibandingkan dengan risiko-risiko
potensial splenektomi, termasuk risiko infeksi jangka panjang. Splenektomi,
embolisasi splenik, atau radiasi splenik dapat dipertimbangkan pada kasus-
kasus tertentu.
B. Patofisiologi
Hiperspleenisme dapat primer atau sekunder. Hiperspleenisme primer tidak
di ketahui penyebabnya, sedangkan sekunder hiperspleenisme dapat
disebabkan penyakit-penyakit Gaucher, leukimia, limfosarkoma. Begitu banyak
dan luas fungsi dari limpa, diantaranya pembersihan bakteri, antigen, antibodi,
penggantian darah dan lain-lain. Sehingga adanya pembesaran limpa dapat
menyebabkan kerja limpa bertambah atau sebaliknya. Beberapa penyakit dapat
disertai pembesaran limpa dan akan menyebabkan kenaikan kerja limpa.
C. Penyebab pembesaran limpa
a. Proses inflamasi
Akut/sub akut: tifoid, sepsis, abses limpa, infeksi mononukleosis,
endokarditis bakteria subakut
Kronik: tuberkulosis, sifilis, felty’s syndrome, rheumatoid arthritis,
malaria, leishmaniasis, trypanosomiasis (amazonian splenomegali dan
American splenomegalies, histoplasmosis), skistosomiasis, ekinokkosis,
sarkoid Boeck’s, beryllium disease.

b. Congestive/bendungan splenomegali:
- Sirosis hati
- Trombosis, stenosis atau cavernous transformasi vena porta
- Trombosis yang dapat terjadi penghambatan vena splenika
- Tidak diketahui penyebabnya
- Kegagalan jantung

c. Hiperplasia splenomegali
- Anemia hemolitik murni
- Anemia kronik dengan ada/tidak ada kerusakan darah:
 anemia pernisiosa, anemia mikrositik
 talasemia, hemoglobin C disease.
 Anemia mieloftisis mielosklerosis, mielosis, megakariositis
aleukemik, metaplasia mieloid agnogenik
 Penyakit hemolitik sejak bayi
 Lupus eritematosus sistemik
- Trombositopenia purpura
- Limfatik hipersplenisme yang jinak: penyakit Graves
- Polisitemia vera
- Splenik neutropenia/panhematopenia primer
- Kriptogenetik, splenomegali tropikal
d. Infiltratif splenomegali
- Penyakit gaucher’s
- Penyakit niemann-pick’s
- Amiloidosis
- Diabetik lipemia
- Gargoilisme

e. Kista dan neoplasma


- Kista limfa (epitel,endotel atau parasit, hemangioma)
- Kista palsu (perdarahan,serosa, inflamasi)
- Hamartoma
- Leukimia
- Penyakit Hodgkin’s
- Metastasis keganasan

D. Gejala klinis
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah rasa sakit di perut karena
pembesaran limpa dan peregangan kapsul limpa, infark ataupun inflamasi dari
kapsul limpa.
Pada anemia hemolitik, pembesaran limpa dapat mendadak sakit dan
disertai infeksi sehingga dapat terjadi secara tiba-tiba penghancuran eritrosit
yang berat.
Gejala klinis lainnya tergantung dari penyakit yang mendasari pembesaran
limpa (hiperspleenisme sekunder). Demikian juga hasil pemeriksaan
laboratorium selain anemia, leukopenia, trombositopenia, atau kombinasinya
dan ditambah gejala-gejala dari penyakit sekundernya.

E. Pengobatan
Pada pasien hiperspleenisme primer, splenektomi adalah yang terutama
sedangkan pada hipersplenisme sekunder sangat tergantung dengan penyakit
penyebabnya. Tindakan splenektomi dilakukan bila pemeriksaan sumsum
tulang normal atau hiperseluler. Banyak keadaan penyakit yang disertai
pembesaran limpa yang masif seperti leukemia mielositik kronik, limfoma,
leukimia haircel, mielofibrosis dan metaplasia mieloid, polisitemia vera.
Selain karena trauma, tumor limpa dan penyakit limpa primer. Tindakan
splenektomi biasanya di lakukan pada pasien anemia karena kelainan bentuk
eritrosit, kelainan hemoglobin dan pada keadaan trombositopeni sehingga
penghancuran eritrosit dan trombosit terhambat atau berkurang. Sehingga
splenektomi dapat di lakukan sebagai pilihan terakhir pengobatan penyakit-
penyakit hipertensi portal, leukimia dan lomfoma.

F. Risiko
Pengangkatan limpa dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri atau
sepsis terutama 1-3 tahun setelah operasi. Setelah pengangkatan limpa terjadi
kenaikan cepat jumlah trombosit yang disertai jumlah eritrosit.

2.2 DIAGNOSIS BANDING

A. Leukimia mielositik kronis (CML)


a. Definisi

LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan


produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang.
LGK/LMK mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang
dewasa usia pertengahan (40-50 tahun). Abnormalitas genetik yang dinamakan
kromosom philadelphia ditemukan pada 90-95% penderita LGK/LMK.
Sebagian besar penderita LGK/LMK akan meninggal setelah memasuki fase
akhir yang disebut fase krisis blastik yaitu produksi berlebihan sel muda
leukosit, biasanya berupa mieloblas/promielosit, disertai produksi neutrofil,
trombosit dan sel darah merah yang amat kurang.

b. Gejala klinis
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas.
Pada fase kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat
desakan limpa dan lambung. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan keluhan anemia yang
bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai infeksi.
c. Diagnosis
Pada LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90%
kasus. Selain itu Juga didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan
hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas,
pembesaran kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus. Keluhan lain
sering tidak spesifik, misanya rasa cepat lelah, lemah badan, demam yang tidak
terlalu tinggi, keringat malam. Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit
berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran
hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukimia. Apabila dibuat urutan
berdasarkan keluhan yang di utarakan oleh pasien, maka seperti terlihat seperti
tabel 1
Urutan keluhan pasien berdasarkan frekuensi
Keluhan Frekuensi (%)
Splenomegali 95
Lemah badan 80
↓ berat badan 60
Hepatomegali 50
Keringat malam 45
Cepat kenyang 40
Perdarahan/purpura 35
Nyeri perut 30
demam 10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau


mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa di tegakkan, pasien pasien berada pada
fase kronis, maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri
khas fase akselerasi adalah; leukositosis yang sulit di kontrol oleh obat-obat
mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, premielosit >30%, dan
trombosit <100.000/mm3. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia
bertambah berat, timbul petekie, ekomosis. Bila disertai demam, biasanya ada
infeksi.
d. Pemeriksaan penunjang
 Hematologi klinik
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, lekosit
antara 20-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil meningkat.
Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun
sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia.
 Apus darah tepi
Eritrosit sebagian normokrom normositer, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh
tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, presentasi sel mielosit
dan metamielosit meningkat, demikia juga persentasi eosinofil dan atau
basofil.
 Apus sumsum tulang
Selularitas meningkat (hiperseluler) akibat proliferasi dari sel-sel
leukimia, sehingga rasio mieloid: eritroid meningkat. Megakariosit juga
tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma
sumsum tulang mengalami fibrosis.
 Pemeriksaan laboratorium lain
Sering ditemukan hiperurikemia.

e. Pengobatan
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenetik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai
remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu
tercapi remisi hematologis, di lanjutkan dengan terapi interferon dan atau
dengan cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak
lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan resiko
rendah menurut perhitungan sokal.
Obat-obat yang di gunakan pada CML adalah
 Hydroxyurea (hydrea)
- Termasuk terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada
LGK.
- Leboh efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil
- Dosis 30 mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun
di bagi 2-3 dosis. Apabila leukosit >300.000/mm3, dosis boleh di
tinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari.
- Penggunaannya di hentikan dulu bila lekosit <8.000/mm3, dosis
boleh di tinggikan sampai maksimal 2,5 gram/hari.
- Selama menggunakan hydroxyurea harus dipantau Hb, lekosit,
trombosit, fungsi ginjal, fungsi hati.
 Busulfan (myleran)
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat.
- Dosis 4-8mg/hari/oral, dapat dinaikan sampai 12 mg/hari, harus
di hentikan bila lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru di mulai
kembali setelah lekosit >50.000/mm3.
- Tidak boleh di berikan pada wanita hamil
 Imatinib mesylate ( gleevec=glyvec)
- Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat
di tingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respons
hematologiksetelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai
respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik,
yakni Hb menjadi rendah dan/.atau lekosit meningkat
dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit.
- Dosis haru sdi turunkan apabila terjadi netropenia berat
(<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau
peningkatan sGOT/sGPT dan bilirubin.
- Untuk fase akselerasi atau fase krinis blas, dapat di berikan
langsung 800 mg/hari (400mg b.i.d)
 Interferon alfa-2a atau interferon alfa-2b
- Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi
sitogenik, biasanya setelah 12 bulan terapi. Berdasarkan data
penelitian di indonesia, dosis yang dapat di toleransi adalah 3 juta
IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi interferon,
sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap
hari.
 Cangkok sumsum tulang
- Merupakan terapi defentif untuk LGK. Data menunjukan bahwa
cangkok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa
remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik.
- Tidak di lakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau
BCR-ABL negatif.

f. Prognosis
Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun
setelah diagnosis ditegakkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru,
maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan.
Faktor-faktor di bawah ini yang memperburuk prognosis pasien LGK,
antar lain:
- Pasien : usia lanjut, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik,
seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam.
- Laboratorium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia,
eosinofilia, kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.
- Terapi : memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi,
memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

B. Anemia aplastik
a. Definisi
Anemia aplastik adalah kegagalan sumsum tulang baik secara fisiologis maupun
anatomis. Penyakit ini ditandai oleh penurunan atau tidak ada faktor pembentuk sel
darah dalam sumsum tulang, pansitopenia darah perifer, tanpa disertai
hepatosplenomegali atau limfadenopati.

b. Patofisiologi
Penyebab anemia aplastik sulit ditentukan, terutama karena banyak
kemungkinan yang harus disingkirkan. Jika tidak ditemukan penyebab yang
pasti maka digolongkan ke dalam penyebab idiopatik. Pendapat lain
menyatakan bahwa penyebab terbanyak dari kegagalan sumsum tulang adalah
iatrogenik karena kemoterapi sitostatik atau terapi radiasi. Kerusakan yang
terjadi pada anemia aplastik terdapat pada sel induk dan ketidakmampuan
jaringan sumsum tulang untuk memberi kesempatan sel induk untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik. Hal ini berkaitan erat dengan mekanisme yang
terjadi seperti toksisitas langsung atau defisiensi selsel stromal. Penyimpangan
proses imunologis yang terjadi pada anemia aplastik berhubungan dengan
infeksi virus atau obat-obatan yang digunakan, atau zat-zat kimia. Hematopoesis
normal yang terjadi di dalam sumsum tulang, merupakan interaksi antara
progenitor hematopoetik stem cell dengan lingkungan mikro
(microenvironment) pada sumsum tulang. Lingkungan mikro tersebut mengatur
hematopoesis melalui reaksi stimulasi oleh faktor pertumbuhan hematopoetik.
Sel-sel hematologik imatur dapat terlihat dengan pemeriksaan flouresent
activate flow citometry, yang dapat mendeteksi sel antigen CD34 dan adhsesi
protein kurang dari 1% pada sumsum tulang normal.
Anemia aplastik dapat terjadi secara heterogen melalui beberapa
mekanisme yaitu kerusakan pada lingkungan mikro, gangguan produksi atau
fungsi dan faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik, dan kerusakan sumsum
tulang melalui mekanisme imunologis. Limfosit T sitotoksik aktif, memegang
peran yang besar dalam kerusakan jaringan sumsum tulang melalui pelepasan
limfokin seperti interferon-a(IFN-γ) dan tumor necrosis factor ß (TNF-ß).
Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali terjadinya ekspansi poliklonal
sel T. Aktivasi reseptor Fas melalui fas-ligand menyebabkan terjadinya
apoptosis sel target. Efek IFNγ melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1),
adalah menghambat transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN-γ juga
menginduksi pembentukan nitric oxide synthase (NOS), dan produksi gas toksik
nitric oxide (NO) yang mungkin menyebabkan efek toksiknya menyebar.

c. Diagnosis
Diagnosis anemia aplastik ditegakkan berdasarkan keadaan pansitopenia
yang ditandai oleh anemia, leukopenia dan trombositopenia pada darah tepi.
Keadaan inilah yang menimbulkan keluhan pucat, perdarahan dan demam yang
disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
hepatosplenomegali atau limfadenopati. Di samping keadaan pansitopenia, pada
hitung jenis juga menunjukan gambaran limfositosis relatif. Diagnosis pasti
anemia aplastik ditentukan berdasarkan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang
yang menunjukkan gambaran sel yang sangat kurang, terdapat banyak jaringan
ikat dan jaringan lemak, dengan aplasi sistem eritropoetik, granulopoetik dan
trombopoetik.
d. Prognosis
Prognosis penyakit ini sukar diramalkan namun pada umumnya buruk,
karena seperti telah dikemukakan baik etiologi maupun patofisiologinya sampai
sekarang belum jelas. Sekitar dua pertiga pasien meninggal sekitar 6 bulan
setelah diagnosis ditegakkan, kurang dari 10-20 % sembuh tanpa transplantasi
sumsum tulang dan sepertiga pasien meninggal akibat perdarahan dan infeksi
yang tidak teratasi. Penyebab kematian pada umumnya adalah sepsis akibat
infeksi Pseudomonas dan Stafilokokus. Oleh karena itu, menentukan prognosis
pasien anemia aplastik penting karena akan menentukan terapi yang sesuai.
Beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan prognosis
pasien anemia aplastik adalah usia pasien, gambaran sumsum tulang hiposeluler
atau aseluler, gambaran darah tepi, dan ada tidaknya infeksi sekunder.
Prognosis pasien anemia aplastik disebut buruk jika ditemukan pada usia muda,
gambaran sumsum tulang aseluler dengan pengurangan proporsi komponen
mieloid dari sumsum tulang lebih dari 30% limfosit, gambaran darah tepi
dengan jumlah retikulosit<1%, leukosit<500/uL, dan trombosit <20.000/uL,
disertai infeksi sekunder. Di antara hal-hal di atas yang paling baik dijadikan
sebagai pegangan dalam menentukan prognosis adalah gambaran sumsum
tulang

e. Pengobatan
a. Tata laksana suportif
Tata laksana suportif ditujukan pada gejala-gejala akibat keadaan
pansitopenia yang ditimbulkan. Untuk mengatasi keadaan anemia dapat
diberikan transfusi leukocyte-poor red cells yang bertujuan mengurangi
sensitisasi terhadap HLA (human leukocyte antigen), menurunkan
kemungkinan transmisi infeksi hepatitis, virus sitomegalo dan
toksoplasmosis, pada beberapa kasus mencegah graft- versus host
disease (GVHD). Transfusi ini dapat berlangsung berulang-ulang
sehingga perlu diperhatikan efek samping dan bahaya transfusi seperti
reaksi transfusi, hemolitik dan nonhemolitik, transmisi penyakit infeksi,
dan penimbunan zat besi. Perdarahan yang terjadi sering menyebabkan
kematian. Untuk mencegah perdarahan terutama pada organ vital dapat
dilakukan dengan mempertahankan jumlah trombosit di atas 20.000/uL.
Hal ini dapat dilakukan dengan transfusi suspensi trombosit. Perlu diingat
bahwa pemberian suspensi trombosit dapat menyebabkan keadaan
isoimunisasi apabila dilakukan lebih dari 10 kali, dan keadaan ini dapat
mempengaruhi keberhasilan terapi. Isoimunisasi dapat dicegah dengan
pemberian trombosit dengan HLA yang kompatibel dengan pasien. Bila
perdarahan tetap terjadi dapat ditambahkan antifibrinolisis. Untuk
mengatasi infeksi yang timbul karena keadaan leukopenia, dapat
diberikan pemberian antibiotik profilaksis dan perawatan isolasi.
Kebersihan kulit dan perawatan gigi yang baik sangat penting, karena
infeksi yang terjadi biasanya berat dan sering menjadi penyebab kematian.
Pada pasien anemia aplastik yang demam perlu dilakukan pemeriksaan
kultur darah, sputum, urin, feses, dan kalau perlu cairan serebrospinalis.
Bila dicurigai terdapat sepsis dapat diberikan antibiotik spektrum luas
dengan dosis tinggi secara intravena dan kalau penyebab demam
dipastikan bakteni terapi dilanjutkan sampai 10-14 hari atau sampai hasil
kultur negatif. Bila demam menetap hingga 48 jam setelah diberikan
antibiotik secara empiris dapat diberikan anti jamur. Pada tata laksana
anemia aplastik, yang tidak kalah penting adalah penghindaran dari
bahan-bahan fisika maupun kimiawi, termasuk obat-obatan yang mungkin
menjadi penyebab. Bila zat-zat kimia atau fisika yang bersifat toksik itu
ditemukan dan masih terdapat dalam tubuh, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya walaupun hal ini kadang tidak dapat dilakukan.

b. Tata laksana medikamentosa


Tata laksana anemia aplastik dengan obat-obatan diberikan pada pasien
anemia aplastik derajat ringan, pasien yang tidak mendapatkan donor yang
sesuai untuk transplantasi, dan pasien yang mempunyai kontra-indikasi
untuk dilakukan transplantasi sumsum tulang. Tujuan pemberian obat-
obatan untuk mengurangi morbiditas, mencegah komplikasi, dan
eradikasi keganasan.
Pilihan obat yang dapat di berikan adalah :
 Androgen
 Imunosupresan
- Metilprednisolon
- Antilimfosit globulin (ALG)
- Antitymocit globulin (ATG)
- Siklospotrin A
- Sikosfamid
 Faktor-faktor pertumbuhan hematopoetik
 Terapi obat kombinasi’
 Transplantasi sumsum tulang
Daftar pustaka

1. Longo DL. Harrison’s Hematology and Oncology [monograph online]. New

York: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010 [cited 2013 July 29]. Available

from: Elibrary.

2. Sekhon S, Roy V. Thrombocytopenia in adults: A practical approach to

evaluation and management. South Med J. 2006;99(5):491-8.

3. Papadakis M, McPhee S. Current Medical Diagnosis & Treatment. 52 nd ed. New

York: The McGraw-Hill Co., Inc; 2013.

4. Sianipar Benedicticus Nicholas, trombositopenia dan berbagai penyebabnya,

CKD-127/vol.41 no. 6, th. 2014

5. Perkins S. Diagnosis of anemia. Sneek Peek Prac Diag of Hem Disorders, p : 3-16

6. Karnath BM. Anemia in the adult patient. Hospital Physician 2004:32-6.

7. Schrier SL. Approach to the diagnosis of hemolytic anemia in the adult. January

2011. [cited 2011, June

8. Schrier SL. Macrocytosis. January 2011. [cited 2011, June 9 ].

You might also like